By BBS
PEREBUTAN GIOK-CENG ( 1 )
Pagi yang cerah menambah suasan baru bagi kehidupan. Semuanya
terbangun untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Semuanya tampak mulai
kerja. Tukang kuda bekerja menyisir rambut kuda peliharaannya. Tukang kuli
bekerja mengangkuti barang-barang. Pelajar mulai bekerja menggunakan
segenap pikirannya untuk belajar. Bagi nelayan, menjaring ikan atau
memancingnya adalah sebuah pekerjaan. Bagi petani, pagi-pagi ke sawah,
walaupun hanya sekedar melihat pekerjaannya kemarin hari adalah bekerja.
Bagi sastrawan, menulis membuat puisi atau melamunpun adalah pekerjaan
baginya. Burung berterbangan mencari makan untuk anak-anaknya adalah
bekerja. Begitu indah kehidupan itu dilihat seandainya kita mau membuka
sedikit mata dan mendengarkan menggunakan kedua telinga. Kita bisa
melihat kehidupan yang mulai bergerak. Apakah bergeraknya mereka
adalah hanya sekedar KEBETULAN?, tentunya tidak. Kalau kita mau menarik
benang merah atau sedikit membuat contoh dari seorang tukang wayang,
maka kita akan menemukan jawabannya. Semuanya gerakan dalam
kehidupan manusia tidaklah KEBETULAN, di puncaknya ada namanya sang
PENGGERAK atau PENGEMUDI. Seorang petani datang ke sawah untuk
mencangkul, pada dasarnya hanya digerakkan oleh sesuatu yang tidak
nampak.
Pertama-tama sang petani digerakkan oleh hatinya yang sedang
dipenuhi oleh ratusan keinginan dan pemikiran. Keinginan dan pemikiran
yang ada di benak sang petani itu siapa sebenarnya yang memberikan,
apakah ia datang begitu saja? Tentunya tidak juga. Keinginan manusia yang
banyak adalah SEBUAH PILIHAN! Ya ! SEBUAH PILIHAN yang diberikan oleh
Tuhan. Siapa yang mampu memilihnya dengan baik, sesuai dengan
kapasitas dirinya, kebaikan dirinya dan sesuai PILIHAN yang DISENANGI
Tuhan, maka sudah bisa mencapai titik PENERANG. Kehidupannya sudah
mendapatkan setitik KEBAIKAN, walaupun kebaikan itu sebenarnya tidak
HAKIKI, atau kadang-kadang malah membuatnya sengsara, padahal
kesengsaraan ini sama dengan KEBAIKAN tadi, yaitu bukan HAKIKI. Artinya
ketika kita memilih salah satu dari KEINGINAN kita yang begitu banyak dan
mendapatkan hasil berupa ENAK dan PAHIT, maka dua sifat itu bukan asal
dari HASIL buah keinginan kita, tapi KEKOSONGAN belaka, karena BUAH
asal dari keinginan kita akan terbayar nanti di lain kehidupan, yaitu di
kehidupan ABADI bukan kehidupan SEMU dan PERMAINAN saat ini.
Sun Kay dan rombongannya sudah keluar dari penginapan setelah
sarapan pagi. Mereka akan bernagkat pagi ini menju gunung Siong-san.
Mereka naik kuda untuk mempercepat perjalanan menuju sana. Selain
mereka, ada beberapa rombongan lain yang sudah mulai berjalan menuju
puncak. Jarak antara Lok Yang dengan pegunungan Siong-san bisa
ditempuh sekitar setengah hari dengan naik kuda yang berjalan santai
seperti yang sedang dilakukan oleh rombongan Sun Kay. Memang pelan-
pelan adalah kehendak Lie Yang sambil menikmati pemandangan hutan dan
pegunungan. Lie Yang naik kuda dengan pelan jalannya, sambil membaca
puisi yang pernah dihapalnya, kadang-kadang bacaannya disela-selai siulan
merdu.
Puncak kesadaran adalah mengerti tentang Tuhan
Puncak kebodohan adalah mencaci Tuhan
Tahu boleh dikatakan
Namun tidak tahu jangan mengatakan tahu
Itulah kesesatan!
Nikmat hidup memang berdampingan
Lebih nikmat lagi tidak ada pembunuhan
Caci maki hilang menjadi kasih sayang dan puja-puji Tuhan
Sayang disayang manusia masih memiliki keegoan
Kesadaran tiba hidup disamping Tuhan
Alangkah enaknya mencicipi kenikmatan mistik Tuhan
Ia bersiul-siul sambil membaca puisi, sedangkan Sun Kay yang sedang
mendengarkan puisi itu menjadi kebingungan. Berkali-kali ia mencoba
memahami maksud kandungan puisi yang dinyanyikan oleh Lie Yang.
“Apakah kamu tahu maksud puisi yang kau baca itu, kongcu?”, tanya
Sun Kay tidak tahan lagi ingin tahu maksud puisi itu.
PEREBUTAN GIOK-CENG ( 2 )
“Suatu saat paman akan mengerti apa yang kukatakan tadi. Yang
terpenting adalah siapa yang melakukan pengerusakan, pembantaian atau
lain-lainnya adalah salah satu bentuk penghinaan terhadap penciptanya,
karena manusia tidak bisa menciptkan makhluk lainnya.”
Mereka sudah memasuki sebuah hutan yang lebat sekitar tiga puluh kilo
meter dari pegunungan Siong-san. Lie Yang masih tetap seperti tadi
membaca puisi sambil bersiul-siul merdu. Namun kali ini tema yang dibaca
bukan lagi tentang filsafat tinggi lagi, namun tentang percintaan.
Cinta itu datang menikam sanubari
Tertancap nikmat bagai manisnya madu di bibir bidadari
“Apakah paman bisa tahu siapa yang kumaksud dengan si baju merah di
dalam puisiku ini?”, tanya Lie Yang kepada pamannya Sam.
“Apakah nona baju merah di penginapan kemarin yang kongcu
maksud?” jawab paman Sam sambil memicingkan mata sebelah kiri.
“Ternyata paman dapat menebak isi hatiku. Entah apakah aku bisa
melihat wajah itu lagi apa tidak?” katanya senang.
“Apakah kongcu ingin aku menyampaikan rasa sayang dan cinta kongcu
kepadanya seandainya kita bisa menemuinya di Siauw-lim-sie?” tanya
paman Sam.
“Seorang laki-laki sejati harus berani mengutarakan isi hatinya sendiri,
bukan bersembunyi di belakang bayangan orang lain!” jawab Lie Yang
sambil membusungkan badannya meniru seorang jagoan tanpa tanding.
“Omongan bagus!” tiba-tiba terdengar suara seseorang menimbrung.
Semua mata beralih ke arah asal suara. Di samping kiri Lie Yang ada
seorang laki-laki kerdil gemuk. Laki-laki dengan memakai baju terbuat dari
kulit seekor serigala itu duduk di bawah pohon sambil bersendekap tenang.
Rambutnya sudah hampir beruban semuanya, namun tubuhnya yang kecil
pendek terlihat seperti masih bocah.
“Apakah locianpwe (Orang Tua Gagah) di sana adalah Thian-long-cu (Si
Serigala Langit)?” tanya Sun Kay agak tergetar melihat kedatangan Thian-
long-cu.
“Kalau sudah tahu kenapa tidak segera memberi hormat dan
memberikan Giok-ceng yang kamu bawa!” jawab Thian-long-cu acuh tak
acuh.
“Dari... dari mana locianpwe tahu kalau boanpwe saat ini membawa
Giok-ceng?” tanya Sun Kay lagi kaget.
“Apakah kamu belum tahu keahlianku mengendus barang-barang
istimewa?” jengek Thian-long-cu sambil berdiri.
“Hahaha.... Apakah locianpwe ini benar jelmaan siluman serigala
sehingga mempunyai kemampuan mengendus yang begitu hebat?” tiba-
tiba Lie Yang tidak sabar lagi untuk berkata sambil tertawa.
Perebutan Giok-ceng ( 2 ) Pelataran-42
MANUSIA SUCI BU ENG HU
By BBS
Pucat wajah Sun Kay mendengar omongan bocah ini. Lie Yang terlalu
berani berbicara seperti itu di depan Thian-long-cu yang bisa dikatakan
memang siluman serigala dari utara. Hakikatnya apa yang dikatakan oleh Lie
Yang adalah biasa saja baginya, ia tidak merasa ada sesuatu yang
menakutkan terhadap Thian-long-cu, karena memang ia tidak tahu siapa
sebenarnya Thian-long-cu yang sepak terjangnya sangat ditakuti oleh setiap
orang kang-ouw. Di utara sana ia menjadi raja dirajanya kaum sesat, namun
orang tua kerdil ini jarang keluar dari batasan wilayahnya. Namun sekarang
Sun Kay tidak mengerti kenapa orang ini sampai bisa kesasar ke tempat ini,
apakah hanya secara kebetulan saja, atau memang tujuan utamanya ingin
merebut Giok-ceng dari tangannya?.
Next Chapter: Perebutan Giok-ceng ( 3 )
PEREBUTAN GIOK-CENG ( 3 )
“Siapakah namamu pemuda?” tanya Thian-long-cu kepada Lie Yang
sambil berjalan tenang menghampirinya.
“Namaku Lie Yang she Song. Apakah keperluan locianpwe ke sini hanya
ingin merampas Giok-ceng milik orang lain? Ataukah karena ingin
mendatangi undangan Siauw-lim-sie?” tanya Lie Yang sambil tersenyum
ceriwis.
“Song Lie Yang! Nama seorang pemuda pertama kali berani berbicara
secara jujur dihadapanku. Kalau menurutmu apakah tujuan kedatanganku ke
sini ini, pemuda tampan?” Thian-long-cu sudah ada di samping dekat Lie
Yang.
“Em, lebih baik aku turun dari kuda, rasanya tidak sopan kalau berbicara
dengan locianpwe di atas kuda seperti ini!” kata Lie Yang tiba-tiba dan
disambung tawa Thian-long-cu. Teman-teman lainya melengak heran atas
kelakuan dua Lie Yang yang dianggap terlalu berani meladeni Thian-long-
cu.
“Menurutku locianpwe bukan orang yang begitu rendah untuk
merampas barang yang bukan menjadi hak locianpwe! Apalagi locianpwe
sudah punya nama besar di dunia kang-ouw sebelah utara sana. Tentunya
PEREBUTAN GIOK-CENG ( 4 )
Cerita tentang kekejaman dan kehebatan Bi-sianli ini memang hampir
tidak bisa dipercaya, karena tidak ada seorangpun yang pernah melihatnya.
Hanya di barat sana, ia sangat terkenal dan sangat ditakuti oleh orang-
orang kang-ouw di sana. Sering kali di sana didapatkan pemuda tewas
dalam keadaan mengering tanpa darah sama sekali. Tidak ada yang tahu
apakah itu perbuatan Bi-sianli atau iblis lainnya, namun orang-orang di sana
menyakini bahwa itu adalah akibat hisapan iblis Bi-sianli.
Kali ini ia berjalan sambil memandang tubuh Lie Yang yang tergeletak
tertotok tanpa bisa bergerak. Sambil tersenyum manis, sepertinya ia ingin
memakan bulat-bulat tubuh Lie Yang.
“Kenapa senyum-senyum? Apakah ingin merampas pemuda itu dan
menghisap hawa jantannya?”. Thian-long-cu bertanya sambil bersedakep
merintangi Yan-siali untuk merampas calon muridnya.