Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PEMIKIRAN KALAM ALIRAN MU’TAZILA

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mengikuti Mata Kuliah Ilmu
Kalam

DI SUSUN OLEH:
KELOMPOK IV

LOKAL G
1. Getrina Arabia Oktaviani (12020524985)
2. Lisa Septiani (12020524984)

DOSEN PENGAMPU
Muhammad Alfis,M.Sy

JURUSAN EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan selesai secara tepat
waktu. Makalah ini kami beri judul “Pemikiran Kalam Aliran Mutazila”.

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas perkuliahan dari


dosen pengampu. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk memberikan tambahan
wawasan bagi kami sebagai penulis dan bagi para pembaca. Khususnya dalam hal mata
kuliah Ilmu Kalam “Pemikiran Kalam Aliran Mutazila”.

Kami selaku pemakalah tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Muhammad Alfis,M.Sy sebagai dosen pengampu. Terakhir, kami menyadari bahwa
makalah ini masih belum sepenuhnya sempurna. Maka dari itu kami terbuka terhadap
kritik dan saran yang bisa membangun kemampuan kami, agar pada tugas berikutnya
bisa menulis makalah dengan lebih baik lagi. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
kami dan para pembaca.

Minggu, 31 Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER...................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 1
C. Manfaat ....................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................ 2
A. Latar Belakang Munculnya Mu’tazila ........................................................ 2
B. Arti dan Asal Usul Aliran Mu’tazila............................................................. 3
C. Sekte Dan Tokoh-Tokoh Mu’tazila............................................................. 4
D. Rasionalisme Aliran Mu’tazila..................................................................... 7
E. Prinsip-Prinsip Pokok aliran Mu’tazila........................................................ 8
BAB III PENUTUP ................................................................................................ 11
A. Kesimpulan .................................................................................................. 11
B. Saran ............................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 12

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Aliran mu‟tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan
teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang
dibawa kaum khawarij dan murjia‟ah. Dalam pembahasan. mereka banyak memakai
alat sehingga mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum
Rasionalis Islam”. Aliran ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2H tahun
105-110 H, tepatnya pada masa pemerintahan.
Munculnya aliran mu‟tazilah sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran
khawarij dan aliran murjiah mengenai soal orang mukmin yang berdosa besar.
Menurut khawarij, orang mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan umum
lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara itu, kaum murjiah tetap menganggap
orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin bukan kafir.
Menghadapi kedua pendapat yang kontroversial ini, Wasil bin Atha‟ yang
ketika itu menjadi murid Hasan Al-Basri seorang ulama terkenal di Basra, mendahului
gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar
menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan mukmin dan
bukan orang kafir, tetapi diantara keduanya. Oleh karena di akhirat nanti tidak ada
tempat diantara surga dan neraka.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang munculnya aliran mu’tazila?
2. Apa arti dan asal usul kata mu’tazila?
3. Apa sekte dan siapa tokoh-tokoh mu’tazila?
4. Bagaimana Rasionalisme aliran mu’tazila?
5. Apa prinsip-prinsip aliran mu’tazila?

C. Tujuan Permasalahan
1. Untuk mengetahui latar belakang munculnya aliran mu’tazila.
2. Untuk mengetahui arti dan asal usul kata mu’tazila.
3. Untuk mengetahui sekte dan siapa tokoh-tokoh mu’tazila.
4. Untuk mengetahui rasionalisme aliran mu’tazila.
5. Untuk mengetahui prinsip-prinsip aliran mu’tazila.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Munculnya Aliran Mu’tazila

Secara bahasa, Mu’tazil berasal dari kata azala, ta’zala dan i’tazala yang
artinya mengasingkan diri, menyingkir dan memisahkan diri. Aliran Mu‘tazilah
muncul di Basrah, Irak, pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari reaksi Wasil bin
Atha' (700- 750 M) memisahkan diri dari bagian kelompok pengajaran gurunya Imam
Hasan al-Bashri karena pertanyaan salah satu muridnya yang belum sempat dijawab
oleh Imam Hasan al-Bashri, lalu langsung dijawab oleh Wasil. 1
Pada suatu ketika ada seorang murid Hasan al-Basri yang bertanya mengenai
pendapatnya tentang seseorang yang berdosa besar, apakah ia masih termasuk
golongan mukmin atau bukan. Menurut pendapat kaum Khawarij, orang seperti itu
dianggap termasuk bukan mukmin, sedangkan menurut kaum Murji‘ah, mereka
memandangnya masih mukmin. Ketika Al-Hasan al-Basri masih berpikir, tiba-tiba
Wasil bin‗Ata‘, salah seorang anggota majlisnya, segera mengeluarkan pendapatnya
dengan mengatakan “Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah
mukmin dan juga bukan kafir, tetapi ia mengambil posisi di antara keduanya”.
Kemudian ia berdiri dan menjauhkan diri dari halaqah Hasan al-Basri, kemudian ia
pergi ke suatu tempat lain di mesjid. Di sana ia mengulangi pendapatnya lagi. Atas
peristiwa ini, Hasan al-Basri mengatakan Wasil bin ‗Ata‘ menjauhkan diri dari kita.
Dengan demikian ia beserta teman-temannya disebut dengan kaum Mu‘tazilah,
demikian kata Al-Shahrastani.2
Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin
bukan pula kafir, sehingga posisinya adalah fasik dan kelak melahirkan suatu
pemahaman bahwa orang tersebut tidak masuk ke dalam surga namun juga tidak
masuk ke dalam neraka dan diberikan tempat diantara (letak) surga dan neraka.

1
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, ( UI Press, 1986) jilid II hlm 36
2
Al-Shahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, Juz, I, (Kairo: Muassasah al Halabiy, 1968), h.48

2
B. Arti dan Asal-usul Kata Mu'tazilah
Mengenai arti dan asal-usul kata Mu'tazilah terdapat beberapa versi yang
dikemukakan oleh para ahli ilmu kalam. Di antaranya sebagai berikut:
a. Menurut Al-Syahrastani,
kata Mu'tazilah muncul dari peristiwa yang terjadi antara Wasil bin Atha’
bersama temannya Amr Ibn Ubaid dan Hasan Basri di Basrah. Wasil selalu aktif
mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh Hasan Basri di Masjid Basrah.
Pada suatu hari salah seorang yang mengikuti pengajian bertanya kepada Hasan
Basri tentang kedudukan orang yang berbuat dosa besar. Mengenai orang yang
berbuat dosa besar, kaum Khawarij memandang mereka itu kafir, sedangkan kaum
Murji’ah memandang mereka tetap mukmin.
Sementara Hasan Basri sedang berfikir, Wasil mengemukakan pendapatnya
bahwa orang yang melakukan dosa besar bukanlah kafir dan bukan pula mukmin.
Setelah itu ia berdiri menjauhkan diri dari Hasan Basri lantaran mereka tak
sependapat dengannya, lalu pergi ke tempat lain di masjid itu juga. Di sana ia
membentuk pengajian sendiri dan mengulangi pendapatnya. Atas peristiwa ini,
Hasan Basri berkata: “Wasil menjauhkan diri dari kita (i’tazala’anna). Kemudian
mereka disebut Mu'tazilah, artinya orang yang menjauhkan diri”.
b. Menurut Ahmad Amin,
Sebutan Mu'tazilah sudah ada kurang lebih 100 tahun sebelum terjadinya
perselisihan pendapat Wasil bin Atha dengan Hasan Basri di masjid Basrah.
Golongan yang disebut Mu'tazilah pada waktu itu adalah mereka yang tidak ikut
melibatkan diri dalam pertikaian sepeninggal khalifah Utsman bin Affan wafat.
Kelompok yang bertikai yaitu Thalhah dan Zubair di satu pihak dengan khalifah
Ali bin Abi Thalib di lain pihak, juga antara Ali dengan Mua’wiyah. Perselisihan
itu muncul karena pembunuhan atas diri khalifah Utsman bin Affan, dan karena
pro dan kontra terhadap pengangkatan Ali sebagai khalifah. Meskipun persoalan
itu bersifat politik, namun mempunyai corak agama, sebab dalam Islam persoalan
hidup sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya bercorak agama.
Golongan yang tidak ikut pertikaian itu mengatakan, “Kebenaran tidak mesti
ada pada salah satu pihak yang bertikai, melainkan kedua-duanya bisa salah,
sekurang-kurangnya tidak jelas siapa yang benar. Sedangkan agama hanya
memerintahkan memerangi orang-orang yang menyeleweng. Kalau keduanya
golongan menyeleweng, maka kami harus menjauhkan diri (i’tazalna).
Golongan yang menjauhkan diri ini memang dijumpai dalam buku-buku
sejarah. Al-Tabari umpamanya menyebut-kan bahwa sewaktu Qais Ibn Sa’ad
sampai di Mesir sebagai Gubernur pada zaman khalifah Ali bi Abi Thalib, ia
menjumpai pertikaian di sana, satu golongan turut padanya, dan satu golongan lagi
melarikan diri ke Kharbita (i’tazalat ila Kharbita). Dalam suratnya yang ia
kirimkan kepada khalifah, Qais menamai mereka Mu’tazilin. Kalau al-Tabari
menyebut nama Mu’tazilin, Abu al-Fida menyebutnya Mu'tazilah.

3
Dalam bukunya Al-Munawar wal Amal Ahmad bin al-Murthada menulis
bahwa aliran Mu'tazilah itu sendiri yang memberikan nama tersebut untuk dirinya,
dan mereka tidak menyalahi ijma, bahkan memakai apa yang telah diijma`kan
pada masa pertama Islam. Kalau mereka menjauhi sesuatu, maka pendapat-
pendapat baru dan bid’ah-bid’ah itulah yang mereka jauhi (i’tazalu-ha). Kemudian
sebutan Mu'tazilah itu disandarkan pada ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi saw,
antara lain Surat al-Muzammil ayat 10. Sebutan yang lebih disenangi oleh kaum
Mu'tazilah sebenarnya adalah Ahlu al-adli wa al-Tauhid (golongan keadilan dan
Tauhid).
Golongan Ahlusunnah menyebut aliran Mu'tazilah dengan sebutan Al-
Mu’atthilah. Mula-mula sebutan ini diberikan kepada aliran Jahamiah, karena
aliran ini mengosongkan Tuhan dari sifat-sifat-Nya (‘atthala = mengosongkan).
Karena sifat-sifat Tuhan dipersoalkan keberadaannya oleh aliran Mu'tazilah, maka
mereka juga disebut Mu’atthilah.3

C. Sekte dan Tokoh-tokoh Aliran Mu'tazilah


1. Sekte I’tiqadi
Sekte dalam aliran mutazila adalah sekte i’tiqadi(kepercayaan) dalam islam.
Para ulama mengatakan bahwasanya majelis ilmi merupakan bukti lahirnya sekte
i’tiqadi ini, seorang tabi’in yang bernama hasan al-basri memiliki sebuah majlis
ilmu yang dihadiri oleh banyak ummat muslim dan penuntut ilmu, diantaranya
ialah Wasil bin ‘Ata, pada suatu hari ia menghadiri majlis tersebut sambil
bertanya: pada zaman kita sekarang ini muncul suatu jamaah yang mengkafirkan
orang yang melakukan dosa besar – yang ia maksudkan ialah kaum (red:
Khawarij),  dan mengatakan: maksiat tidak membahayakan keimanan seumpama
keimanan tidak memberi manfaat bagi suatu kekafiran, bagaimana kita
menyikapinya?
Wasil bin Ata menghadiri majelis tersebut lalu pulang- sebelum Hasan
Albasri berbicara - dengan jawaban: saya tidak mengatakan pelaku dosa besar
mukmin, atau kafir, akan tetapi ia berada antara dua manzilah (posisi) supaya ia
menyetujui pendapatnya dan menjelaskannya kepada ummat manusia,lalu ia pun
meninggalkan majelis Hasan Albasri, lalu ia pun membuat majelis ilmu sendiri,
Hasan Albasri berkata: Wasil mengasingkan diri dari kita, oleh karena itu
dinamakan dengan Mu’tazilah.
Pendapat ini yang banyak dikemukakan oleh para ulama mengenai
perkembangan sekte Mu’tazilah, tetapi sebahagian ulama berpendapat
bahwasanya kelompok Mu’tazilah sudah dimulai oleh pengikut Khalifah Ali bin
Abi Thalib Ra, mereka mengasingkan diri dari perpolitikan lalu pindah ke sebuah
tempat yang bernama aqidah ketika Hasan bin Ali turun dari kekhalifahan dan
menyerahkannya kepada Muawiyah bin Abi Sufyan, Syeikh Muhammad Abu
Zahrah rahimahullah menjelaskan sembari menyebutkan perbedaan antara
pemikiran I’tizali dan kandungan dakwahnya: “Menurut kami mazhab tersebut
3
Hasan Bashri, dkk, Ilmu Kalam Sejarah dan Pokok-Pokok Aliran Cet I:(Bandung Azkia Pustaka
Utama, 2006). hlm. 38-40

4
lebih dahulu muncul daripada Wasil bin Ata, kebanyakan ahlu bait telah
mengambil posisi seperti manhajnya seperti Zaid bin Ali yang merupakan sahabat
dari Wasil bin Ata,  Wasil merupakan dai yang sangat hebat.”

2. Tokoh-tokoh mu’tazila
Aliran Mu‘tazilah banyak melahirkan pemuka dan tokoh-tokoh penting. Hal
ini tidak terlepas dari pusat pengembangannya yang sangat strategis, yaitu kota
Basrah dan kemudian di Baghdad, yang merupakan pusat kekuasaan dan kiblat
ilmu pengetahuan dunia pada saat itu.4
a. Wasil bin Atha (80 – 131 H).
Wasil bin Atha al-Ghazal terkenal sebagai pendiri aliran Mu'tazilah,
sekaligus sebagai pemimpinnya yang pertama. Ia pula yang terkenal sebagai
orang yang meletakkan prinsip pemikiran Mu'tazilah yang rasional.

b. Al-Allaf (135 – 235) H).


Nama lengkapnya adalah Abdul Huzail Muhammad Abu Al-Huzail Al-
Allaf. Disebut Al-Allaf karena ia tinggal di kampung penjual makanan binatang
(allaf = makanan binatang). Ia sebagai pemimpin Mu'tazilah yng kedua di Basrah.
Ia banyak mempelajari filsafat Yunani. Pengetahuannya tentang filsafat
memudahkan baginya untuk menyusun dasar-dasar ajaran Mu'tazilah secara
teratur. Pengetahuannya tentang logika, membuat ia menjadi ahli debat. Lawan-
lawannya dari golongan zindiq (orang yang purapura masuk Islam), dari kalangan
Majusi, zoroaster, dan ateis tak mampu membantah argumentasinya. Menurut
riwayat, 3000 orang masuk Islam di tangannya. Puncak kebesarannya dicapai
pada masa khalifah Al-Ma’mun, karena khalifah ini pernah menjadi muridnya.5

c. Bisyir Al-Mu’tamar (wafat 226 H).


Ia adalah pemimpin aliran Mu'tazilah di Baghdad. Pandangannya yang luas
mengenai kesusastraan menimbulkan dugaan bahwa ia adalah orang yang pertama
menyusun ilmu balaghah. Ia adalah seorang tokoh aliran ini yang membahas
konsep tawallud (reproduction) yaitu batas-batas pertanggungjawaban manusia
atas perbuatan-nya. Bisyir mempunyai murid-murid yan besar pengaruhnya dalam
penyebaran paham Mu'tazilah, khususnya di Baghdad.

d. An-Nazzham (184 – 221 H).


Nama sebenarnya adalah Ibrahim bin Sayyar bin Hani An-Nazzham. Ia
adalah murid Abul Huzail Al-Allaf. Ia juga bergaul dengan para filosof.
Pendapatnya banyak berbeda dengan aliran Mu'tazilah lainnya. An-Nazzham
memiliki ketajaman berfikir yang luar biasa, antara lain tentang metode keraguan
(method of doubt) dan metode empirika yang merupakan cikal bakal renaissance
(pembaharuan) di Eropa.

4
Quraish Shihab (ed), Eksklopedi Islam, Juz. III, Cet. III; (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hove, 1994),
h.293.
5
Abdul Rozak,Anwar ,Rosihoa. Ilmu Kalam, cet.iv, (Bandung : CV. PustakaSetia 2009), Hlm 80.

5
e. Al-Jubba’i (302 H).
Nama lengkapnya Abu Ali Muhammad ibn Abdul Wahhab Al-Jubba’i.
Sebutan al-Jubba’i diambil dari mana tempat kelahirannya, yaitu satu tempat
bernama Jubba, di propinsi Chuzestan-Iran. Al-Jubbai’ adalah guru imam
AlAsyari, tokoh utama dalam aliran Asy`ariyah. Ketika al-Asy'ari keluar dari
barisan Mu'tazilah dan menyerang pendapatnya, ia membalas serangan Al-Asy’ari
tersebut. Pikiran-pikirannya tentang tafsiran Al-Qur’an banyak diambil oleh
AzZamakhsyari. Al-Jubba’i dan anaknya yaitu Abu Hasyim AlJubbai
mencerminkan akhir kejayaan aliran Mu'tazilah.6

f. Al-Khayyat (wafat 300 H).


Abu al-Husein al-Khayyat termasuk tokoh Mu'tazilah Baghdad. Bukunya
yang berjudul Al-Intishar berisi pembelaan aliran Mu'tazilah dari serangan Ibnu
arRawandi. Ia hidup pada masa kemunduran aliran Mu'tazilah.

g. Al-Qadhi Abdul Jabbar (wafat 1024 H).


Ia diangkat sebagai kepala hakim oleh Ibnu Abad. Di antara karyanya yang
besar adalah ulasan tentang pokok-pokok ajaran Mu'tazilah. Karangan tersebut
demikian luas dan amat mendalam yang ia namakan Al-Mughni. Kitab ini begitu
besar, satu kitab yang terdiri lebih dari lima belas jilid. Al-Qadhi Abdul Jabbar
termasuk tokoh yang hidup pada masa kemunduran aliran Mu'tazilah, namun ia
mampu berprestasi baik dalam bidang ilmu maupun dalam jabatan kenegaraan.

h. Az-Zamakhsyari (467– 538 H).


Nama lengkapnya adalah Jarullah Abul Qasim Muhammad bin Umar. Ia
dilahirkan di desa Zamakhsyar, Khawarizm, Iran. Sebutan Jarullah artinya
tetangga Allah, karena beliau lama tinggal di Mekkah, dekat Ka’bah. Ia terkenal
sebagai tokoh dalam ilmu tafsir, nahwu (gramatika) dan paramasastra (lexiology).
Dalam karangannya ia dengan terang-terangan menonjolkan paham Mu'tazilah,
misalnya dalam kitab tafsir Al-Kassyaf, ia berusaha menafsirkan ayat-ayat Al-
Qur’an berdasarkan ajaran-ajaran Mu'tazilah, terutama lima prinsip ajarannya
yang akan diuraikan pada pasal berikutnya. Selain itu kitab Al-Kassyaf diuraikan
dalam ilmu Balaghah yang tinggi, sehingga para mufassirin banyak yang
menggunakannya hingga saat ini.

D. Rasionalisme Mutazila

6
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: dari klasik hingga modern, (Yogyakarta, eLSAQ Press, 2010) hlm
150.

6
Pandangan kaum Mu'tazilah yang terlalu menitik beratkan penggunaan
akal pikiran (ratio) dinilai oleh sebagian umat Islam bahwa mereka meragukan
bahkan tidak percaya akan kedudukan wahyu. Kesalahpahaman terhadap aliran
Mu'tazilah timbul, karena buku-buku mereka tidak dibaca dan dipelajari lagi pada
perguruan-perguruan Islam, kecuali pada permulaan abad ke-20 ini.
Terlepas dari pandangan orang terhadap ajaran-ajaran aliran Mu'tazilah itu
salah atau benar, yang jelas kehadiran kaum Mu'tazilah banyak membela
kemajuan umat Islam. Dalam hal ini Ahmad Amin dan Abu Zahrah mengakui dan
menghargai jasa-jasa kaum Mu'tazilah dalam membela Islam terhadap
seranganserangan dari luar Islam yang terjadi pada zaman mereka.
Dalam sejarah perkembangannya aliran Mu'tazilah pernah mengalami masa
kejayaan, terutama pada masa khalifah AlMa’mun, namun karena kaum
Mu'tazilah sering memaksakan kehendaknya dalam menyebarluaskan ajaran-
ajaran mereka, maka lambat laun mereka kurang mendapat simpati dari sebagian
umat Islam. Apalagi setelah timbulnya suatu peristiwa yang memperdebatkan
apakah Al-Qur’an itu qadim atau baru (makhluk yang diciptakan). Persoalan ini
memecah kaum muslimin menjadi dua golongan, yaitu golongan yang memuja
kekuatan akal pikiran, dan yang berpegang teguh pada nash-nash Al-Qur’an dan
Hadits, yang menganggap tiap-tiap yang baru itu bid’ah dan kafir.
Dengan kekuasaannya, Al-Mutawakkil, yang menjadi khalifah tahun 232
H, lawan Mu'tazilah, umat Islam diserukan untuk mempercayai keqadiman Al-
Qur’an. Sejak saat itu kaum Mu'tazilah mengalami tekanan berat. Buku-buku
karangan mereka dibakar dan kekuatannya dicerai-beraikan, terutama pada waktu
Mahmud Ghaznawi, seorang sunni dan penganut mazhab Syafi’i berkuasa dan
memasuki kota Rai (Iran) pada tahun 393 H. Beratus-ratus buku tentang aliran
Mu'tazilah di perpustakaan dibakarnya. Kejadian ini tentu saja merupakan
kerugian ilmiah yang sukar dinilai. Aliran Mu'tazilah sebagai satu golongan yang
kuat, berangsur-angsur melemah dan mengalami kemunduran total sesudah
golongan Al-Asy'ari yang didukung pemerintah mengalahkan mereka dalam
berbagai bidang.
Setelah aliran Mu'tazilah tidak berjaya lagi, dunia pikir Islam di bawah
kekuasaan golongan konservatif kurang lebih 1000 tahun lamanya mengalami
stagnasi sampai datang masa kebangunan baru (renaissance) di Eropa.
Renaissance ini ditandai dengan dua corak metode, yaitu keraguan (Cartesian
method of doubt = syak ) dan Empirika. Dua metode ini sebenarnya telah dipakai
oleh orang-orang Mu'tazilah, antara lain An-Nazzham dn Al-Jahiz jauh sebelum
munculnya renaissance. Hanya metode ini pada aliran Mu'tazilah didasarkan
kepada agama, sedangkan Renaissance menggunakan metodenya semata-mata
berdasarkan akal pikiran. 7
Setelah sekian lamanya ajaran-ajaran Mu'tazilah tenggelam dalam dunia
pikir Islam, atas pengaruh Jamaluddin Afgani dan Syekh Muhammad Abduh, dua
tokoh modernisme dalam Islam, keadaan dia atas berangsur berubah. terlebih di
7
Hasan Bashri, dkk, Ilmu Kalam Sejarah dan Pokok-Pokok Aliran Cet I:(Bandung Azkia Pustaka
Utama, 2006). Hlm 46-48.

7
zaman modern dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini ajaran-
ajaran Mu'tazilah yang bersifat rasional itu muncul kembali di kalangan umat
Islam, terutama kaum terpelajar. Secara tidak disadari mereka menerapkan metode
pemikiran rasional Mu'tazilah, tanpa memegang 5 (lima) prinsip ajarannya secara
utuh.

E. Prinsip-Prinsip Pokok Mumtazila


Ada lima pokok ajaran (Al-Ushul Al-Khomsah) yang menjadi prinsip utama
aliran Mu'tazilah. Kelima ajaran pokok tersebut adalah:

1. At-Tauhid (Ke-Mahaesaan Allah)


Ajaran dasar yang terpenting bagi kaum Mu'tazilah adalah AtTauhid atau
Ke-Mahaesaan Allah. Bagi mereka, Allah baru dapat dikatakan Maha Esa jika Ia
merupakan Zat yang unik, tiada ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Oleh
karena itu kaum Mu'tazilah menolak paham Anthropomerphisme, yaitu paham
yang menggambarkan Tuhan menyerupai makhluk-Nya. Mereka juga menolak
paham Beautific Vision, yaitu pandangan bahwa Tuhan dapat dilihat oleh
manusia. Satu-satunya sifat Tuhan yang betulbetul tidak mungkin ada pada
makhluk-Nya adalah sifat qadim.
Paham ini mendorong kaum Mu'tazilah untuk meniadakan sifat-sifat Tuhan
yang mempunyai wujud sendiri di luar Dzat Tuhan. Menurut paham ini tidak
berarti Tuhan tidak diberi sifat-sifat. Tuhan bagi kaum Mu'tazilah tetap Maha Tau,
Maha Kuasa, Maha Hidup, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan sebagainya,
tetapi itu tidak dapat dipisahkan dari Dzat Tuhan, dengan kata lain sifat-sifat itu
merupakan esensi Dzat Tuhan. Adapun yang dimaksud kaum Mu'tazilah dengan
pemisahan sifat-sifat Tuhan adalah sebagaimana pendapat golongan lain yang
memandang bahwa sifat-sifat Tuhan sebagian esensi Tuhan dan sebagian lain
sebagai perbuatan-perbuatan Tuhan. Bagi kaum Mu'tazilah paham ini mereka
munculkan karena keinginan untuk memelihara kemurnian Ke-Maha esaan.8

2. Al-Adl (Keadilan)
Jika dalam ajaran pertama kaum Mu'tazilah ingin mensucikan Tuhan dari
persamaan dengan makhluk-Nya, maka ajaran kedua ini mereka ingin mensucikan
perbuatan Tuhan dari persamaannya dengan perbuatan makhluk. Hanya Tuhan
yang berbuat adil seadil-adilnya. Tuhan tidak mungkin berbuat zalim.
Dalam menafsirkan keadilan, mereka mengatakan sebagai berikut: ”Tuhan
tidak menghendaki keburukan dan tidak menciptakan perbuatan manusia.
Manusia bisa mengerjakan sendiri segala perintah-Nya dan meninggalkan segala
laranganNya dengan kodrat (kekuasaan) yang dijadikan oleh Tuhan pada diri
mereka. Ia hanya memerintahkan apa yang dikehendaki-Nya. Ia menghendaki
kebaikan-kebaikan yang ia perintahkan dan tidak campur tangan dalam
keburukan-keburukan yang dilarang.

8
Sharif (ed). Aliran-aliran Filsafat Islam. (Bandung : Nuansa Cendekia2004), hlm. 21

8
Semua perbuatan Tuhan bersifat baik. Tuhan dalam paham kaum Mu'tazilah
tidak mau berbuat buruk, bahkan menurut salah satu golongan, Tuhan tidak bisa
(la yaqdir) berbuat buruk (zhulm) karena perbuatan yang demikian hanya
dilakukan oleh orang yang bersifat tidak sempurna, sedang Tuhan bersifat Maha
Sempurna.

3. Al-Wa’ad wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman)


Ajaran ini merupakan lanjutan dari ajaran yang kedua tentang keadilan
Tuhan. Kaum Mu'tazilah yakin bahwa Tuhan pasti akan memberikan pahala dan
akan menjatuhkan siksa kepada manusia di akhirat kelak. Bagi mereka, Tuhan
tidak dikatakan adil jika Ia tidak memberikan pahala kepada orang yang berbuat
baik dan tidak menghukum orang yang berbuat jahat. Keadilan menghendaki
supaya orang yang bersalah diberi hukuman berupa neraka, dan yang berbuat baik
diberi hadiah berupa surga sebagaimana dijanjikan Tuhan. Pendirian ini
bertentangan dengan kaum Murji’ah, yang berpendapat bahwa kemaksiatan tidak
mempengaruhi iman dan Aliran-aliran tak mempunyai kaitan dengan pembalasan.
Kalau pendapat ini dibenarkan, maka ancaman Tuhan tidak akan ada artinya. Hal
yang demikian mustahil bagi Tuhan. Karena itu kaum Mu'tazilah mengingkari
adanya syafa’at (pengampunan) pada hari kiamat, karena syafa’at menurut mereka
berlawanan dengan prinsip janji dan ancaman.

4. Al- Manzilah bainal Manzilatain (posisi di antara dua posisi)


Prinsip keempat ini juga erat kaitannya dengan prinsip keadilan Tuhan.
Pembuat dosa bukanlah kafir, karena mereka masih percaya kepada Allah dan
Rasul-Nya, tetapi mereka bukan pula mukmin, karena iman mereka tidak lagi
sempurna.
Karena bukan mukmin, para pembuat dosa besar tidak dapat masuk surga
dan tidak masuk neraka, karena mereka bukan kafir. Yang adil mereka
ditempatkan di antara surga dan neraka. Akan tetapi, karena di akhirat tidak ada
tempat selain surga dan neraka, maka mereka harus dimasukkan ke dalam salah
satu tempat ini. Penempatan ini bagi kaum Mu'tazilah berkaitan dengan paham
Mu'tazilah tentang iman. Iman bagi mereka bukan hanya pengakuan dan ucapan,
tetapi juga perbuatan. Dengan demikian pembuat dosa besar tidak beriman, tidak
pula kafir seperti disebut terdahulu. Berawal dari jalan tengah yang diambil untuk
menentukan posisi orang yang melakukan dosa besar, kemudian berlaku juga
dalam bidang lain.

Berdasarkan sumber-sumber keislaman dan filsafat Yunani, kaum


Mu'tazilah lebih memperdalam pemikirannya mengenai jalan tengah tersebut,

9
sehingga menjadi prinsip dalam lapangan berfikir (ratio). Prinsip jalan tengah ini
nampak jelas dalam usaha mereka untuk mempertemukan agama dengan filsafat. 9

5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar (menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat buruk)
Mengenai hal ini kaum Mu'tazilah berpendapat sama dengan pendapat
golongan-golongan umat Islam lainnya. Kalau pun ada perbedaan hanya pada segi
pelaksanaannya, apakah seruan untuk berbuat baik dan larangan berbuat buruk itu
dilakukan dengan lunak atau dengan kekerasan.
Kaum Mu'tazilah berpendapat bahwa seruan berbuat baik dan larangan
berbuat buruk sebaiknya dilakukan dengan lemah lembut. Akan tetapi sewaktu-
waktu, jika perlu dengan kekerasan. Dalam sejarah, mereka menggunakan
kekerasan dalam menyiarkan ajaran-ajaran mereka. Bagi kaum Mu'tazilah,
orangorang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus
diluruskan.

9
Thahir Taib, Abd.Mu‟in. Ilmu Kalam, (Jakarta : Penerbit Widjaya. 1986), hlm.84

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara bahasa, Mumtazil berasal dari kata azala, ta’zala dan i’tazala yang
artinya mengasingkan diri, menyingkir dan memisahkan diri. Aliran Mu‘tazilah
muncul di Basrah, Irak, pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari reaksi Wasil
bin Atha' (700- 750 M) memisahkan diri dari bagian kelompok pengajaran
gurunya Imam Hasan al-Bashri karena pertanyaan salah satu muridnya yang
belum sempat dijawab oleh Imam Hasan al-Bashri, lalu langsung dijawab oleh 98
Wasil. Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin
bukan pula kafir, sehingga posisinya adalah fasik dan kelak melahirkan suatu
pemahaman bahwa orang tersebut tidak masuk ke dalam surga namun juga tidak
masuk ke dalam neraka dan diberikan tempat diantara (letak) surga dan neraka.
Sekte dalam aliran mutazila adalah sekte i’tiqadi(kepercayaan) dalam
islam. Tokoh-tokoh yang ada pada aliran mutazila yaitu: Wasil bin Atha (80 –
131 H), Al-Allaf (135 – 235) H), Bisyir Al-Mu’tamar (wafat 226 H), An-
Nazzham (184 – 221 H), Al-Jubba’i (302 H), Al-Khayyat (wafat 300 H), Al-
Qadhi Abdul Jabbar (wafat 1024 H). Az-Zamakhsyari (467– 538 H).
Pandangan kaum Mu'tazilah yang terlalu menitik beratkan penggunaan akal
pikiran (ratio) dinilai oleh sebagian umat Islam bahwa mereka meragukan bahkan
tidak percaya akan kedudukan wahyu. Kesalahpahaman terhadap aliran Mu'tazilah
timbul, karena buku-buku mereka tidak dibaca dan dipelajari lagi pada perguruan-
perguruan Islam, kecuali pada permulaan abad ke-20 ini.
Prinsip-prinsip mu’mtazila adalah At-Tauhid (Ke-Mahaesaan Allah), Al-
Adl (Keadilan), Al-Wa’ad wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman), Al- Manzilah bainal
Manzilatain (posisi di antara dua posisi), Amar Ma’ruf Nahi Munkar (menyuruh
berbuat baik dan melarang berbuat buruk).

B. Saran
a. Untuk penulis makalah selanjutnya untuk lebih banyak membaca dan
mengumpulkan referensi agar dapata menyemputnakan makalah dengan
materi yang sama.
b. Untuk para pembaca makalah ini, untuk lebih giat mempelajari dan menelaah
pelajaran khususnya mata kuliah Ilmu Kalam tentang Pemikiran Aliran
Mu’tazila. Dan dapat mengamalkan serta mengingatkan penulis untuk
memperbaiki kesalahan yang terdapat dalam makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

11
Abdul Rozak, Anwar, Rosihoa. Ilmu Kalam, cet.iv, (Bandung : CV. Pustaka Setia
2009).

Al-Shahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, Juz, I, (Kairo: Muassasah al Halabiy, 1968).

Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, jilid II,( UI Press, 1986).

Hasan Bashri, Murif Yahya, Tedi Priatna, Ilmu Kalam Sejarah dan Pokok-Pokok
Aliran Cet I:(Bandung Azkia Pustaka Utama, 2006).

Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: dari klasik hingga modern, (Yogyakarta, eLSAQ
Press, 2010).

Quraish Shihab(ed), Eksklopedi Islam, Juz. III, Cet. III; (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van
Hove, 1994).

Sharif (ed). Aliran-aliran Filsafat Islam. (Bandung : Nuansa Cendekia2004).

Thahir Taib, Abd.Mu‟in. Ilmu Kalam, (Jakarta : Penerbit Widjaya. 1986).

12

Anda mungkin juga menyukai