Oleh :
Maplengkungan merupakan salah satu prosesi yang ada di pura samuan tiga yang dimana
maplengkungan itu sendiri mempunyai arti berperang atau mesiat. Prosesi ini dibagi menjadi 3
sub yaitu siat tombak, siat tedung, dan siat keris. prosesi maplengkungan yang ada di pura
samuan tiga ini mempunyai karakteristik yang keras atau kepahlawanan. Keunikan prosesi ini
terdapat pada struktur dan jenis gerakan yang dimana pengayah dalam prosesi ini melakukan
Keunikan yang paling menakjubkan dalam prosesi ini adalah semua pengayah yang
mempunyai karakteristik yang berbeda-beda dan pembagian sarana yang di gunakan dibagikan
secara acak. Secara keseluruhan, prosesi ini bertemakan kepahlawanan. Alur dari prosesi ini
sangatlah sederhana, yang pertamanya diawali dengan gerakan spontan seperti ngagem, malpal,
miles, nyeledet dan gerakan lainnya yang ada di dalam tarian dengan grafik atau tempo yang
sedang. Setelah beberapa lama kemudian dilanjutkan dengan gerakan saling berhadap-hadapan
yang dilalukan oleh sepasang pengayah tombak, sepasang pengayah keris,dan sepasang
pengayah tedung yang dilakukan secara bergantian, merupakan puncak atau klimaks dari
prosesi ini yang grafiknya naik dari gerakan sebelumnya. Prosesi ini dilakukan pada saat ida
bethara akan budal kapayogan masing-masing, dan juga prosesi ini tidak boleh dilakukan oleh
sembarang orang melain kan hanya boleh dilakukan oleh parekan(pengayah laki-laki) dan
permas(pengayah perempuan) due pura samuan tiga dan pura penataran sasih.(Mangku Ageng
PS3.04-10-21). Melihat dari segi prosesi tersebut, muncul sebuah imajinasi atau ide dalam
pikiran penata yang akan di tuangkan ke dalam media gambelan dengan bentuk musik tari
tradisi
Musik tari tradisi adalah sebuah komposisi musik tari yang masih terikat dengan tradisi
atau pakem yang sudah ada dan pepayasan yang terdapat di dalamnya merupakan sebuah
ornamentasi dari pikiran atau ide penggarap untuk menghiasi isi dari koposisi tersebut,
sedangkan aspek musical lainnya masih menggunakan materi tradisi secara umum. Dalam
bentuk komposisi ini, masih kental nuansa tradisinya dan sifat konfensionalnya masih sangat
kuat dilihat dari segi struktur garapan tersebut masih menggunakan struktur dari gending
gending tradisi. Dalam setiap komposisi, terdapat pengolahan unsur musikal yang disesuaikan
dengan apa yang dipikirkan oleh seniman yang bersangkutan. Hal ini bertujuan untuk
Keberadaan unsur musikal dalam musik tidak dapat dipisahkan, unsur-unsur ini merupakan
satu-kesatuan dalam musik, khususnya karawitan. Unsur-unsur musikal meliputi melodi, ritme,
tempo, dinamika, harmoni, birama, tangga nada dan timbre. Unsur-unsur ini diolah sedemikan
rupa oleh setiap individu seniman untuk menunjukan topik utama dari karya secara abstrak.
Serupa dengan kalimat tersebut, pencipta mencoba untuk mengolah unsur-unsur musikal
menyesuaikan dengan apa yang akan dijadikan sebagai topik utama oleh penata.
Pada karya yang akan diciptakan, pencipta berkeinginan untuk mengolah struktur gending
supaya bisa mengkuti alur dari prosesi maplengkungan itu sendiri. Akan tetapi penata hanya
tertarik dengan siat tedung itu saja dikarenakan dari segi properti yang berbentuk bulat, dengan
hal ini penata ingin menuangkan ide tersebut kedalam suatu gending dengan susunan
melodinya yang berulang-ulang atau berputar-putar yang dimana penata akan menyajikannya
di dalam pengadeng. Dengan paparan tersebut, timbul keinginan pencipta untuk mewujudukan
Ide Garapan
Dalam karya ini yang menjadi ide dasar penata adalah prosesi Maplengkungan. Ide ini
penata dapatkan dari pengalaman empiris penata yang sedari kecil selalu menyaksikan secara
lanang/parekan dan permas/pengayah istri menari dengan melakukan gerakan sepontan seperti
ngagem, nyeledet, miles, dan saling berhadap-hadapan layaknya seperti orang mesiat
(berkelahi) yang tempatnya di depan pengaruman Pura Samuan Tiga. Karena menyaksikan
prosesi ini sejak kecil, muncul intuisi penata untuk mengimplementasikan prosesi
maplengkungan ini kedalam bentuk komposisi tari yang berjudul Baris Tedung.
Maplengkungan sendiri adalah rentetan dari prosesi sesudah berlangsungnya prosesi Siat
Sampian.
Dari ide dasar tersebut, perlu adanya research untuk memperdalam ide karya. Hal ini penata
lakukan dengan mencari narasumber seperti Gusti Mangku Ageng Pura Samuan Tiga sendiri
yang mengetahui langsung rentetan prosesi maplengkungan itu sendiri, beberapa parekan yang
telibat langsung didalam prosesi maplengkungan, dan mencari referensi dari buku-buku atau
Setelah melalui ide dan research yang lebih mendalam, penata semakin merasa bahwa
prosesi maplengkungan ini perlu diketahui oleh khalayak banyak guna mengetahui makna dan
prosesnya. Inilah yang penata ingin implementasikan kedalam karya komposisi musik tari
Bentuk dari musik tari Baris Tedung ini adalah Tari putra berkelompok yang dimana masih
menggunakan struktur atau bagian bagian tradisi yaitu : Kawitan , pepeson, pengawak,
pengecet, dan pakaad. Tema yang terkadung dalam musik tari ini yaitu kepahlawanan, yang
dimana tema tersebut diambil dari hasil pengamatan penata terhadap siat tedung yang ada di
Didalam bagian pepeson, penata ingin mengolah atau menuangkan hasil pengamatannya
sendiri yaitu sebagai mana yang penata lihat prosesi siat tedung tersebut dilakukan dengan
degarakan sepontan yang sifatnya bersemangat dan penata tuangkan kedalam pepeson yang
lebih dominan dengan pola gegilakan menggunakan tempo sedang dan beberapa aksen untuk
mengimplementasikan bentuk tedung itu sendiri, yang dimana tedung tersebut berbentuk bulat.
Penata ingin mengolah awalan melodi dalam pengadeng yang berluang-ulang atau
melingkar seperti jatuhnya nada pertama di nada nding, setelah 32 ketukan yang berisikan 2
kempur dan 1 kempli dilanjutkan dengan nada kedua yaitu ndong, dan seterusnya yang
dilanjutkan dengan nada ndeng, ndung, ndang dan kembali lagi ke nding. Dalam bagian
pengecet dan pekaad penata ingin mengolah dari kata siat tedung itu sendiri yang dimana siat
berarti berperang. Penata juga menggunakan pola gegilakan dengan ditambahkan aksentuasi
Karya Musik tari Baris Tedung adalah sebuah ide pemikiran pengkarya yang keluar
dari pengalaman empiris pengkarya dalam melihat dan merasakan kegiatan parekan dan
rangsangan ide kreatif pengkarya untuk menuangkan kegiatan tersebut kedalam karya musik
tari prosesi yang menggunakan Tri Angga sebagai struktur dalam karya musik tari tradisi ini.
Dalam komposisi karya musik tari ini pengkarya sepenuhnya mentranspormasikan gerak
spontan dari siat tedung yang terdapat pada prosesi maplengkungan itu sendiri yang dalam
prosesi tersebut menggunakan tedung yang berbetuk bulat dalam tafsiran penata bagaikan
lingakaran yang dimana berputar atau berulang-ulang, hal ini pengkarya komposisikan
kedalam musik tari yang berulang-ulang di bagian pengadengnya seperti bentuk tedung yang
bulat.
Konsep karya
Tari tradisional atau komposisi tari tradisi merupakan suatu hasil ekspresi hasrat manusia
akan keindahan dengan latar belakang atau sistem budaya masyarakat pemilik kesenian
tersebut. Dalam tari tradisional tersirat pesan dari masyarakatnya berupa pengetahuan, gagasan,
kepercayaan, nilai dan norma. Karya tari yang dihasilkan sangat sederhana baik dari sisi gerak,
busana maupun iringan. Setiap karya tari tradisional tidak terlalu mementingkan kemampuan
atau tehnik menari yang baik, namun lebih pada ekspresi penjiwaan dan tujuan dari gerak yang
dilakaukannya.
Suatu konsep di dalam garapan sangatlah penting. Dalam hal ini penggarap memiliki konsep
Musik tari putra berkelompok yang di golongkan kedalam tari prosesi atau persembahan yang
dimana terinspirasi dari prosesi maplengkungan yang lebih difokuskan kepada bagian siat
Sarkar menguraikan bahwa ada beberapa catatan penting tentang music instrumental dan
music vocal, keduanya sangat ritmik. Ketika bunyi tersebut menyentuh membrane telinga,
suara ini juga menghasilkan getaran yang serupa (resonansi), sehingga tercipta getaran ritmik.
Pada saat seseorang mendengarkan nada ritmik dengan tidak sadar ia akan
menggoyang-goyangkan kakinya. Getaran dari nada ritmik itu membuat pikiran berdansa
kemudian diteruskan ke syaraf kaki (Sarkar dalam Donder, 2005:12). Maka dari itu konsep ini
penggarap sinergikan dengan prosesi keagamaan yaitu upacara Dewa Yadnya pada khususnya.
Penata memilih hal ini mengingat bahwa upacara keagamaan di Bali tidak akan lepas dengan
yang namanya seni, terlebih seni Wewalen pada khususnya. Dari konsep yang telah tergambar
kedalam bentuk seni karawitan Bali yang pada garapan ini mengambil konsep Tri Angga.
Adapun jenis musik dalam garapan ini adalah jenis musik Tari baris dalam instrument Gong
Gede.
Wujud Karya
Secara struktural, penata menggunakan struktur Tri Angga. Dalam bagian tersebut juga
dapat dikembangkan menjadi beberapa sub bagian seperti yang penggarap kembangkan dalam
garapan ini dibagi menjadi 5 sub bagian utama yaitu: kawitan, pepeson, pengawak, pengecet,
dan pekaad, serta adanya transisi antar satu bagian kebagian lainnya. Adapun pemaparan dari 5
• Kawitan : diawali dengan pukulan nada ndung pada semua instrument bilah yang dilakukan
secara bergantian mulai dari nyong-nyong ageng , demung , dan six group ,yang dilanjutkan
dengan kekilitan riong, Setelah itu dilanjutkan dengan transisi berupa kebyar ringan untuk
masuk ke six group (pasukan enam). Setelah itu masuk calung jegong, trompong dan
dilanjutkan dengan pola kendang sebagai transisi untuk menuju bagian selanjutnya yaitu
pepeson. Dalam kawitan ini mengambarkan bagai mana besiap siap untuk melakukan
• pepeson : dibagian pepeson lebih dominan menggunakan pola gegilakan dengan ketukan
delapan yang dilipatkan menjadi 2 rangkaian pola melodi. adapun ketukan melodi yang
dipergunakan dalam pepeson ini berjumlah 16 ketukan diulang 9 kali dalam tempo lambat, dan
dilanjutkan dengan tempo sedang yang brulang ulang. Setelah itu dilanjutkan dengan transisi
yang menghubungkan antara pola melodi satu dengan melodi selanjutnya yang menggunakan
ketukan sama dengan melodi sebelumnya yaitu 16 ketukan. Setelah itu dilanjutkan dengan
transisi untuk menuju kebagian selanjutnya yaitu pengawak. Dalam bagian pepeson
• Pengawak : ketukan melodi yang dipergunakan pada bapang ini berjumlah 32 ketukan yang
didalamnya dominan menggunakan teknik keklenyongan dan pola pola kendang yang lambat,
senta menggunakan teknik permainan riong norot. Dalam sub ini penata mengolah melodi
secara berulang ulang untuk menggambarkan bentuk tedung yang bulat diawali dengan
masuknya nada nding, dilanjutkan dengan nada ndong, ndeng, ndung, ndang, dan kembali lagi
ke nding. Setelah itu pengolahan dinamika tempo naik dibagian akhir pengawak yang akan
• Pengecet : dalam sub pengecet, penata menggunakan tempo yang ngebit dengan pola
gegilakan yang menggunakan 16 ketukan . Kemudian dilanjutkan dengan transisi menuju siat
yang menggunakan pola kale yang penata kembangkan menggunakan 2 melodi yaitu ndeng
dan ndung, dan pola kendang gilak sebagai pemurba akan terjadinya siat.
• Pekaad : dalam pekaad, penata juga menggunakan pola gegilakan yang dilakukan dengan