Anda di halaman 1dari 7

GARAP MUSIK TRADISI

Oleh :

I MADE NILA DARMATIKA


202002019
SENI KARAWITAN III A

FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN


INSTITUT SENI INDONESIA
DENPASAR
2021
Latar Belakang

Maplengkungan merupakan salah satu prosesi yang ada di pura samuan tiga yang dimana

maplengkungan itu sendiri mempunyai arti berperang atau mesiat. Prosesi ini dibagi menjadi 3

sub yaitu siat tombak, siat tedung, dan siat keris. prosesi maplengkungan yang ada di pura

samuan tiga ini mempunyai karakteristik yang keras atau kepahlawanan. Keunikan prosesi ini

terdapat pada struktur dan jenis gerakan yang dimana pengayah dalam prosesi ini melakukan

gerakan dengan sepontan seperti, ngagem, nyeledet, miles, dan malpal.

Keunikan yang paling menakjubkan dalam prosesi ini adalah semua pengayah yang

mempunyai karakteristik yang berbeda-beda dan pembagian sarana yang di gunakan dibagikan

secara acak. Secara keseluruhan, prosesi ini bertemakan kepahlawanan. Alur dari prosesi ini

sangatlah sederhana, yang pertamanya diawali dengan gerakan spontan seperti ngagem, malpal,

miles, nyeledet dan gerakan lainnya yang ada di dalam tarian dengan grafik atau tempo yang

sedang. Setelah beberapa lama kemudian dilanjutkan dengan gerakan saling berhadap-hadapan

yang dilalukan oleh sepasang pengayah tombak, sepasang pengayah keris,dan sepasang

pengayah tedung yang dilakukan secara bergantian, merupakan puncak atau klimaks dari

prosesi ini yang grafiknya naik dari gerakan sebelumnya. Prosesi ini dilakukan pada saat ida

bethara akan budal kapayogan masing-masing, dan juga prosesi ini tidak boleh dilakukan oleh

sembarang orang melain kan hanya boleh dilakukan oleh parekan(pengayah laki-laki) dan

permas(pengayah perempuan) due pura samuan tiga dan pura penataran sasih.(Mangku Ageng

PS3.04-10-21). Melihat dari segi prosesi tersebut, muncul sebuah imajinasi atau ide dalam

pikiran penata yang akan di tuangkan ke dalam media gambelan dengan bentuk musik tari

tradisi

Musik tari tradisi adalah sebuah komposisi musik tari yang masih terikat dengan tradisi

atau pakem yang sudah ada dan pepayasan yang terdapat di dalamnya merupakan sebuah

ornamentasi dari pikiran atau ide penggarap untuk menghiasi isi dari koposisi tersebut,
sedangkan aspek musical lainnya masih menggunakan materi tradisi secara umum. Dalam

bentuk komposisi ini, masih kental nuansa tradisinya dan sifat konfensionalnya masih sangat

kuat dilihat dari segi struktur garapan tersebut masih menggunakan struktur dari gending

gending tradisi. Dalam setiap komposisi, terdapat pengolahan unsur musikal yang disesuaikan

dengan apa yang dipikirkan oleh seniman yang bersangkutan. Hal ini bertujuan untuk

merelasikan apa yang digarap dalam komposisi melalui unsur-unsur musikal.

Keberadaan unsur musikal dalam musik tidak dapat dipisahkan, unsur-unsur ini merupakan

satu-kesatuan dalam musik, khususnya karawitan. Unsur-unsur musikal meliputi melodi, ritme,

tempo, dinamika, harmoni, birama, tangga nada dan timbre. Unsur-unsur ini diolah sedemikan

rupa oleh setiap individu seniman untuk menunjukan topik utama dari karya secara abstrak.

Serupa dengan kalimat tersebut, pencipta mencoba untuk mengolah unsur-unsur musikal

menyesuaikan dengan apa yang akan dijadikan sebagai topik utama oleh penata.

Pada karya yang akan diciptakan, pencipta berkeinginan untuk mengolah struktur gending

supaya bisa mengkuti alur dari prosesi maplengkungan itu sendiri. Akan tetapi penata hanya

tertarik dengan siat tedung itu saja dikarenakan dari segi properti yang berbentuk bulat, dengan

hal ini penata ingin menuangkan ide tersebut kedalam suatu gending dengan susunan

melodinya yang berulang-ulang atau berputar-putar yang dimana penata akan menyajikannya

di dalam pengadeng. Dengan paparan tersebut, timbul keinginan pencipta untuk mewujudukan

karya dengan judul Baris Tedung

Ide Garapan

Dalam karya ini yang menjadi ide dasar penata adalah prosesi Maplengkungan. Ide ini

penata dapatkan dari pengalaman empiris penata yang sedari kecil selalu menyaksikan secara

langsung bagaimana prosesi Maplengkungan tersebut. Bagaimana beberapa para pengayah

lanang/parekan dan permas/pengayah istri menari dengan melakukan gerakan sepontan seperti

ngagem, nyeledet, miles, dan saling berhadap-hadapan layaknya seperti orang mesiat
(berkelahi) yang tempatnya di depan pengaruman Pura Samuan Tiga. Karena menyaksikan

prosesi ini sejak kecil, muncul intuisi penata untuk mengimplementasikan prosesi

maplengkungan ini kedalam bentuk komposisi tari yang berjudul Baris Tedung.

Maplengkungan sendiri adalah rentetan dari prosesi sesudah berlangsungnya prosesi Siat

Sampian.

Dari ide dasar tersebut, perlu adanya research untuk memperdalam ide karya. Hal ini penata

lakukan dengan mencari narasumber seperti Gusti Mangku Ageng Pura Samuan Tiga sendiri

yang mengetahui langsung rentetan prosesi maplengkungan itu sendiri, beberapa parekan yang

telibat langsung didalam prosesi maplengkungan, dan mencari referensi dari buku-buku atau

jurnal yang membahas seputaran ritual.

Setelah melalui ide dan research yang lebih mendalam, penata semakin merasa bahwa

prosesi maplengkungan ini perlu diketahui oleh khalayak banyak guna mengetahui makna dan

prosesnya. Inilah yang penata ingin implementasikan kedalam karya komposisi musik tari

dengan barungan gambelan gong gede sebagai media ungkapnya.

Bentuk dari musik tari Baris Tedung ini adalah Tari putra berkelompok yang dimana masih

menggunakan struktur atau bagian bagian tradisi yaitu : Kawitan , pepeson, pengawak,

pengecet, dan pakaad. Tema yang terkadung dalam musik tari ini yaitu kepahlawanan, yang

dimana tema tersebut diambil dari hasil pengamatan penata terhadap siat tedung yang ada di

pura samuan tiga.

Didalam bagian pepeson, penata ingin mengolah atau menuangkan hasil pengamatannya

sendiri yaitu sebagai mana yang penata lihat prosesi siat tedung tersebut dilakukan dengan

degarakan sepontan yang sifatnya bersemangat dan penata tuangkan kedalam pepeson yang

lebih dominan dengan pola gegilakan menggunakan tempo sedang dan beberapa aksen untuk

menandakan angsel dari tari tersebut. Di bagian pengadeng, penata ingin

mengimplementasikan bentuk tedung itu sendiri, yang dimana tedung tersebut berbentuk bulat.

Penata ingin mengolah awalan melodi dalam pengadeng yang berluang-ulang atau
melingkar seperti jatuhnya nada pertama di nada nding, setelah 32 ketukan yang berisikan 2

kempur dan 1 kempli dilanjutkan dengan nada kedua yaitu ndong, dan seterusnya yang

dilanjutkan dengan nada ndeng, ndung, ndang dan kembali lagi ke nding. Dalam bagian

pengecet dan pekaad penata ingin mengolah dari kata siat tedung itu sendiri yang dimana siat

berarti berperang. Penata juga menggunakan pola gegilakan dengan ditambahkan aksentuasi

untuk pelengkap dari angsel angsel tari tersebut.

Karya Musik tari Baris Tedung adalah sebuah ide pemikiran pengkarya yang keluar

dari pengalaman empiris pengkarya dalam melihat dan merasakan kegiatan parekan dan

permas dalam melakukan prosesi MAPLENGKUNGAN. Dari kegiatan tersebut, muncul

rangsangan ide kreatif pengkarya untuk menuangkan kegiatan tersebut kedalam karya musik

tari prosesi yang menggunakan Tri Angga sebagai struktur dalam karya musik tari tradisi ini.

Dalam komposisi karya musik tari ini pengkarya sepenuhnya mentranspormasikan gerak

spontan dari siat tedung yang terdapat pada prosesi maplengkungan itu sendiri yang dalam

prosesi tersebut menggunakan tedung yang berbetuk bulat dalam tafsiran penata bagaikan

lingakaran yang dimana berputar atau berulang-ulang, hal ini pengkarya komposisikan

kedalam musik tari yang berulang-ulang di bagian pengadengnya seperti bentuk tedung yang

bulat.

Konsep karya

Tari tradisional atau komposisi tari tradisi merupakan suatu hasil ekspresi hasrat manusia

akan keindahan dengan latar belakang atau sistem budaya masyarakat pemilik kesenian

tersebut. Dalam tari tradisional tersirat pesan dari masyarakatnya berupa pengetahuan, gagasan,

kepercayaan, nilai dan norma. Karya tari yang dihasilkan sangat sederhana baik dari sisi gerak,

busana maupun iringan. Setiap karya tari tradisional tidak terlalu mementingkan kemampuan

atau tehnik menari yang baik, namun lebih pada ekspresi penjiwaan dan tujuan dari gerak yang

dilakaukannya.
Suatu konsep di dalam garapan sangatlah penting. Dalam hal ini penggarap memiliki konsep

Musik tari putra berkelompok yang di golongkan kedalam tari prosesi atau persembahan yang

dimana terinspirasi dari prosesi maplengkungan yang lebih difokuskan kepada bagian siat

tedung di Pura Samuan Tiga.

Sarkar menguraikan bahwa ada beberapa catatan penting tentang music instrumental dan

music vocal, keduanya sangat ritmik. Ketika bunyi tersebut menyentuh membrane telinga,

suara ini juga menghasilkan getaran yang serupa (resonansi), sehingga tercipta getaran ritmik.

Pada saat seseorang mendengarkan nada ritmik dengan tidak sadar ia akan

menggoyang-goyangkan kakinya. Getaran dari nada ritmik itu membuat pikiran berdansa

kemudian diteruskan ke syaraf kaki (Sarkar dalam Donder, 2005:12). Maka dari itu konsep ini

penggarap sinergikan dengan prosesi keagamaan yaitu upacara Dewa Yadnya pada khususnya.

Penata memilih hal ini mengingat bahwa upacara keagamaan di Bali tidak akan lepas dengan

yang namanya seni, terlebih seni Wewalen pada khususnya. Dari konsep yang telah tergambar

didalam benak penata maka muncullah keinginan penggarap untuk memvisualisasikan

kedalam bentuk seni karawitan Bali yang pada garapan ini mengambil konsep Tri Angga.

Adapun jenis musik dalam garapan ini adalah jenis musik Tari baris dalam instrument Gong

Gede.

Wujud Karya

Secara struktural, penata menggunakan struktur Tri Angga. Dalam bagian tersebut juga

dapat dikembangkan menjadi beberapa sub bagian seperti yang penggarap kembangkan dalam

garapan ini dibagi menjadi 5 sub bagian utama yaitu: kawitan, pepeson, pengawak, pengecet,

dan pekaad, serta adanya transisi antar satu bagian kebagian lainnya. Adapun pemaparan dari 5

sub tersebut beserta penggambarannya adalah :

• Kawitan : diawali dengan pukulan nada ndung pada semua instrument bilah yang dilakukan

secara bergantian mulai dari nyong-nyong ageng , demung , dan six group ,yang dilanjutkan
dengan kekilitan riong, Setelah itu dilanjutkan dengan transisi berupa kebyar ringan untuk

masuk ke six group (pasukan enam). Setelah itu masuk calung jegong, trompong dan

dilanjutkan dengan pola kendang sebagai transisi untuk menuju bagian selanjutnya yaitu

pepeson. Dalam kawitan ini mengambarkan bagai mana besiap siap untuk melakukan

melakukan suatu prosesi.

• pepeson : dibagian pepeson lebih dominan menggunakan pola gegilakan dengan ketukan

delapan yang dilipatkan menjadi 2 rangkaian pola melodi. adapun ketukan melodi yang

dipergunakan dalam pepeson ini berjumlah 16 ketukan diulang 9 kali dalam tempo lambat, dan

dilanjutkan dengan tempo sedang yang brulang ulang. Setelah itu dilanjutkan dengan transisi

yang menghubungkan antara pola melodi satu dengan melodi selanjutnya yang menggunakan

ketukan sama dengan melodi sebelumnya yaitu 16 ketukan. Setelah itu dilanjutkan dengan

transisi untuk menuju kebagian selanjutnya yaitu pengawak. Dalam bagian pepeson

menggunakan teknik keklenyongam dan beberapa teknik sesimbaran.

• Pengawak : ketukan melodi yang dipergunakan pada bapang ini berjumlah 32 ketukan yang

didalamnya dominan menggunakan teknik keklenyongan dan pola pola kendang yang lambat,

senta menggunakan teknik permainan riong norot. Dalam sub ini penata mengolah melodi

secara berulang ulang untuk menggambarkan bentuk tedung yang bulat diawali dengan

masuknya nada nding, dilanjutkan dengan nada ndong, ndeng, ndung, ndang, dan kembali lagi

ke nding. Setelah itu pengolahan dinamika tempo naik dibagian akhir pengawak yang akan

menghubungkan antara pengawak dan pengecet.

• Pengecet : dalam sub pengecet, penata menggunakan tempo yang ngebit dengan pola

gegilakan yang menggunakan 16 ketukan . Kemudian dilanjutkan dengan transisi menuju siat

yang menggunakan pola kale yang penata kembangkan menggunakan 2 melodi yaitu ndeng

dan ndung, dan pola kendang gilak sebagai pemurba akan terjadinya siat.

• Pekaad : dalam pekaad, penata juga menggunakan pola gegilakan yang dilakukan dengan

teknik keklenyongan dengan 16 ketukan.

Anda mungkin juga menyukai