Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jaipongan merupakan sebuah rumpun (genre) tari baru dalam khasanah tari

Sunda yang memiliki kekuatan basik estetika tari (subtantif kinetik) yang digali dari

kekuatan gerak-gerak kesenian rakyat, seperti: Ketuk Tilu, Bajidoran, Topeng Banjet,

dan jurus-jurus dalam ibing Penca/Maenpo. Hal tersebut berpengaruh terhadap pola atau

struktur koreografinya yang sederhana, yaitu terdiri dari bukaan, pencugan, nibakeun

dan motif gerak mincid. Melihat lebih jauh tentang kesejarahan Jaipongan, yang mana

rumpun/genre tari tersebut diciptakan oleh seorang seniman tari bernama Gugum

Gumbira Tirasondjaya sejak Tahun 1970-an hingga tahun 1990-an, karya-karya nya

antara lain; Rendeng Bojong, Keser Bojong, Oray Welang, Setra Sari, Toka-toka,

Sonteng, Iring-Iring Daun Puring, Pencug Bojong, Senggot, Rawayan, dan Kawung

Anten.

Edi Mulyana menjelaskan dalam tulisannya, bahwa: Jaipongan adalah sebuah

repertoar tari baru yang kekuatan geraknya digali dari berbagai kekuatan gerak pada tari-

tarian yang hidup di lingkungan masyarakat biasa, seperti; Ketuk Tilu, Bajidoran, Pencak

Silat, dan kesenian rakyat lainnya” (dalam Gugum Gumbira Dari Cha-Cha Ke

Jaipongan, Endang Caturwati dan Lalan Ramlan, ed., 2007: 58). Namun di sisi lain, tari

Jaipongan memiliki dinamika yang tinggi, enerjik, dan cenderung berkarakter maskulin,

walaupun ditarikan oleh penari perempuan.

Genre tari ini hingga sekarang sudah menjadi salah satu identitas seni dan budaya

Jawa Barat, dan sekaligus menjadi sebuah penanda dari letak geografis suatu wilayah di
2

Indonesia. Dengan kata lain, Jaipongan sudah menjadi identitas dari wilayahnya, yaitu

Jawa Barat. Sehubungan dengan hal itu Arthur S. Nalan mengatakan, bahwa: “imbalan

dari melanglang buananya Jaipongan ke mancanagara, telah menakdirkan Jaipongan

menjadi identitas diri Sunda, Jawa Barat, Indonesia” (2007: 5).

Meskipun struktur koreografi Jaipongan yang terdiri dari bukaan, pencugan,

nibakeun, dan mincid, tetapi tetap memiliki fleksibilitas yang tinggi, karena fase-fase

dalam struktur tersebut tidak mutlak berurutan. Dengan demikian, maka baik secara

langsung maupun tidak Gugum Gumbira telah memberi ruang kreatif yang bisa

dikerjakan oleh siapapun yang akan melakukan proses penyusunan repertoar atau

penciptaan tari Jaipongan. Berbicara mengenai kreativitas, Iyus Rusliana dalam

tulisannya mengatakan, bahwa: “… di dalam tari tradisi Sunda memang terdapat aturan-

aturan, tetapi tidak bersifat mutlak mengikat” (2007: 79). Bahkan Didik Nini Thowok

pernah mengatakan, bahwa: “Jaiponganpun secara tidak langsung telah mempengaruhi

beberapa seni-seni yang terdapat di Jawa Tengah dan sekitarnya” (2007: 90).

Alasan penyaji memilih minat utama penyajian dengan genre jaipongan ini,

karena pada awalnya penyaji menyukai tarian jaipongan karya Gugum Gumbira, tetapi

hanya sebatas menyukai saja karena pada dasarnya penyaji kurang mendalami dasar

jaipongan. Oleh karena itu, penyaji merasa terpacu untuk belajar lebih giat tari

jaipongan, dan berdasarkan hasil nilai dari Mata kuliah Jjaipongan I, II, III, penyaji

mendapakan nilai A, sehingga untuk Materi Tugas Akhir penyaji lebih percaya diri untuk

mencurahkan keinginan membawakan genre Jaipongan sebagai materi Ujian.

Oleh karenanya, dari sejumlah repertoar tari yang diajarkan di lingkungan Prodi

Tari, penyaji tertarik pada tarian Rasjati yang diberikan di semester VII sebagai materi

pendalaman. Menurut Edi Mulyana (dosen pengampu mata kuliah Penyajian Repertoar
3

Tari Jaipong). Tari Jaipongan yang berjudul Rasjati ini dipilih, karena tarian ini

memiliki tingkat kerumitan tersendiri dari segi kualitas gerak, kecepatan tempo, dan

keselarasan karakter. dimana penari harus tetap terlihat ngalagena (menikmati tarian

gerak demi gerak), walaupun temponya terbilang cepat.

Berdasarkan pemaparan di atas, penyaji melihat adanya peluang untuk melakukan

proses kreatif pengembangan Jaipongan, karena Tarian ini berbentuk Tunggal, maka

akan digarap secara kelompok dengan jumlah lima orang, selain itu banyak peluang

gerak dan musik yang bisa dikembangkan.

Sementara itu berdasarkan pendekatan etimologi, kata “rasjati” berasal dari

bahasa Sunda yang terdiri dari dua suku kata, yaitu; “ras” yang berarti inget; loba nu

dipikainget; inget kana rupa rupa hal nu geus kaliwat ( ingat, banyak yang diingat, ingat

kepada hal hal yang sudah terlewat). Sedangkan arti dari “jati” sendiri yaitu jenis pohon

keras berkualitas tinggi, ataupun bisa diartikan asal, asal muasal, wiwitan, tulen, asli.

asal, dari mana kita asal, asli (Kamus Bahasa Sunda, Lembaga Basa & Sastra Sunda,

2000:315). Akan tetapi, jati di sini dimaknai sebagai esensi keberadaan manusia di muka

bumi ini. Dalam naskah Sunda lama disebut sebagai Hakikat Keteguhan (Rawayan Jati

Kasundaan, H.R Hidayat Suryalaga, 2010:09). Maka dari itu, penyaji semakin

bersemangat untuk memilih, menetapkan, dan menjadikan Rasjati sebagai sumber garap

dalam Ujian Tugas Akhir Penyajian Tari. Lebih lanjut Edi Mulyana mengatakan sebagai

berikut:

Repertoar tari ini menggambarkan sebuah perenungan terhadap kesadaran jati


diri, bahwa hidup tidak sekedar hidup, tetapi harus menghidupkan hidup itu
sendiri. Bahwa hidup itu ada yang menghidupkan, sehingga dalam hidup itu tidak
bisa semena-mena. Jadi hidup dan kehidupan, adalah dua sisi yang saling mengisi
dan melengkapi menjadi satu kesatuan jati diri (perkuliahan, di STSI Bandung,
2014).
4

Repertoar Tari “Rasjati”, konsep garapnya mengacu atau mempertimbangkan

bobot kualifikasi sebagai materi pendalaman, di samping sisi kualitas teknik, struktur,

dan gaya penyajian, juga memuat kandungan kedalaman isi. Oleh karenanya, tarian ini

dibangun dengan menghadirkan berbagai unsur yang meliputi; (1) tema/isi, (2)

bentuk/struktur, dan tata busana yang berciri khas. Tema/Isi Tarian;

“kontemplasi/perenungan jati diri”

Bentuk/Struktur Koreografi;

Goongan Kahiji: pasang handap (depok nutup silang), galeong pasang suay, cengkat,

nangtung golong gibas, maju siku handap (ka), sogok (ka), muter, teundeut; angin-

angin, maju gunting, tutup handap, golong mundur (jerete), gibas (pling suay), muter

capang (ki-ka), sogok-kepret (ka-ki) maju, pring, jambreut nutup, muter soloyong,

banting sonten; muter golong, kuda-kuda capang (gunti luhur), eluk paku, maju

soloyong, capang-jeblag; depok tutup,

Goongan Kadua: usik nangtung, muter balungbang, capang kuda-kuda sabeulah, siku

handap 3x, golong jedag, suay jedag; lengkah (ki) sogok, salin, kadek, pasang angin-

angin, golong kepret maju 3x, muter, pring luhur, teundeut, beset (ka)-takis, beset (ki)

takis, pling, siku, ayun jagat, beset, gunting sirig, muter (ka), kuda-kuda barungbang;

golong seser, suay jeblag, soloyong-motong, beset handap, muter, sentingan.

Goongan Katilu: ombak banyu, kuda-kuda pasang sabeulah, beset (ka), sogok dobel,

siku (ka-ki); rogok handap (ka-ki), barungbang muter (ka-ki), suay (ka-ki), golong

handap, gunting handap, muter, kuda-kuda ngalaga, kepret capang, ngalumbay, panggal

muih, jedag, koma; capang siku, gibas luhur muter-malik, mincid hiji.

Goongan Kaopat: bukaan; giles, neunggas, sogok, jedag, gunting, jeblag, luncat pasang,

teundeut; seser kepret, barungbang muter, teundeut, jeblag hareup; bandras, capang,
5

mincid dua; ileug, luncat jerete, takis, teundeut, turus bumi 3x, sogok, pasang, kepret

muih, obah taktak, nutup mundur, jedag, koma, mincid tilu.

* Karakter Tari: “gagah-lungguh”

* Busana Tari; menggunakan kostum yang mengacu pada kebaya Sunda berwarna hijau

tua, bawahannya menggunakan kain saten yang di rempel pada bagian tengah, di

bagian dalam menggunakan celana panjang ketat (tayet), pada bagian rambut ditata

dalam bentuk sanggul cepol dengan asesoris tusuk konde berbentuk kujang, dan pada

bagian tubuh lainnya dilengkapi dengan kalung serta gelang.

Adapun bentuk garap yang akan penyaji proses, difokuskan pada garapan

kelmpok (rampak) sehingga memungkinkan terbukanya berbagai peluang yang dapat

dikembangkan. Hal itu dilakukan, demi mencapai bentukan baru yang berbeda dari

sumbernya, tetapi tidak berubah identitas sumbernya.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana konsep pengembangan dari repertoar tari Rasjati dalam garap

penyajian tari ini diwujudkan ke dalam bentuk penyajiannya yang baru, dengan tidak

merubah identitas sumbernya?

C. Tujuan Penyajian Tari

Mengacu pada rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dari garap

penyajian tari ini adalah tercapainya perwujudan bentuk penyajiannya yang baru dari

sumber repertoar tari dengan judul “Rasjati” dengan tidak merubah identitas repertoar

sumbernya.
6

D. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka dalam tradisi akademik, baik karya Pengkajian Tari, Penciptaan

Tari, maupun Penyajian Tari wajib dilakukan, guna meninjau ulang karya-karya

sebelumnya. Terlebih, agar penyaji terbebas dari kegiatan penjiplakan karya (plagiat).

Untuk itu, ada beberapa skripsi penyajian yang ditemukan, sebagai berikut:

- Skripsi Karya Seni Penyajian Tari berjudul “Kawung Anten”, karya Hani Hanifah,

tahun 2012.

Isi garapannya menggubah tarian Kawung Anten ke dalam bentuk penyajian yang

baru, dengan penambahan atau pengembangan koreografi dan dilengkapi dengan

garap artistik, sehingga bentuk sajiannya memiliki nilai tambah; atraktif dan

dramatis.

- Skripsi Karya Seni Penyajian Tari berjudul “Rawayan”, karya Pina Martiana, pada

tahun 2013.

Isi garapannya, mencoba menggubah sumber materi Rawayan menjadi bentuk

sajiannya yang baru, dengan mengembangkan bagian awal, tengah, dan akhir dari

sisi koreografi. Di sisi lain, garap setting cukup mendukung kesatuan estetik yang

artistik terhadap hasil bentukan Rawayan dalam bentukan sajian baru.

Berdasarkan hasil telaahan tersebut di atas, maka garap penyajian tari dengan

sumber repertoar tari Rasjati belum dilakukan oleh para penyaji terdahulu. Oleh

karenanya, yang sedang penyaji kerjakan dapat dikatakan berbeda atau orisinal, atau

terbebas dari kegiatan peniruan (plagiasi).

Namun demikian, penyaji menyadari atas kekurangan dan keterbatasan dalam

pengalaman dan pengetahuan dalam pengembangan pewacanaannya. Oleh karena itu,


7

diperlukan berbagai sumber literature, baik dalam bentuk tulisan maupun audio-visual,

yaitu sebagai berikut:

1. Sumber Literatur

- Laporan Karya Ilmiah yang berjudul “Pencugan Merupakan Kreativitas Tari

Jaipongan di Jawa Barat”, ditulis oleh Abdul Aziz, tahun 1999. Isi pembahasnnya

menjelaskan meliputi; Asal usul Jaipongan, Pengaruh Sistem Budaya Baru dan

Ekonomi Uang Terhadap Pertumbuhan Jaipongan, Sosialisasi Pertunjukan

Jaipongan, dan Pencugan sebagai Kreatifitas Tari Jaipongan. Tulisan tersebut

diperlukan untuk acuan dalam memahami garap koreografi, khususnya pada

bagian frase gerak pokok/isi.

- Buku berjudul Tari Jaipongan karya Edi Mulyana dan Lalan Ramlan, diterbitkan

tahun 2012. Isinya membahas pengenalan (identitas) sebagai sebuah latar

belakang dari Gugum Gumbira, jaipongan dalam kemapanan bentuk yang di

dalamnya memaparkan metode atau cara pencarian idiom-idiom gerak,

pengolahan, pengembangan, penyusunan, penerapan, dan uji coba, karya-karya

tari gugum gumbira yang ada dipadepokan jugala, pemahaman terhadap gagasan,

sumber inspirasi, karawitan tari, tata busana, serta deskripsi tari dari sebagian

karya-karya Gugum Gumbira. Maka dari itu, buku tersebut penting dijadikan

rujukan dalam memahami dan mengembangkan jaipongan, baik secara umum

maupun secara khusus.

- Buku berjudul Gugum Gumbira Dari Chacha ke Jaipongan, karya Endang

Caturwati dan Lalan Ramlan, ed., diterbitkan tahun 2007. Isi pembahasannya

meliputi asal usul jaipongan, perkembangan jaipongan, karya-karya tari Gugum

gumbira, dll. Buku ini menjadi sumber acuan dalam memahami repertoar tari
8

yang dipilih. Maka dari itu, buku tersebut penting dijadikan rujukan dalam

memahami dan mengembangkan jaipongan, baik secara umum maupun secara

khusus.

- Buku berjudul Kompilasi Istilah Tari Sunda, karya Iyus Rusliana dkk, diterbitkan

tahun 2009. Isi pembahasannya mengenai pengertian Tari Jaipongan, Keurseus,

Rakyat, Topeng Cirebon, Tari Wayang, Tari Topeng Priangan dan Tari Tjetje

Soemantri. Buku ini penting dibutuhkan dalam memahami berbagai istilah gerak

dan menjadi acuan dalam memahami membedakan antar genre tarian.

2. Sumber Kinesteti (Audio-visual)

Adapun sumber pustaka sebagai hal yang sangat penting dalam pelaksanaan ujian

akhir, penyaji melakukan apresiasi dan beberapa dokumen audio-visual berikut:

- Mengapresiasi video Pembelajaran Tari Pencug Bojong, sebagai bahan pengolahan

gerak awal Rasjati diciptakan;

- Mengapresiasi pertunjukan Tugas Akhir Tari Rawayan oleh Pina Martiana pada

tahun 2013. Hasilnya, digunakan sebagai pembanding berbagai motif, ragam,dan

gaya penyajian.

- Mengapresiasi pertunjukan Tugas Akhir Tari Kawung Anten oleh Hani Hanifah pada

tahun 2012 . Hasilnya, digunakan sebagai pembanding berbagai motif, ragam,dan

gaya penyajian.

E. Pendekatan Metode Garap

Untuk mencapai hasil yang optimal dalam garap pengembangan penyajian tari

Rasjati ini, maka penyaji menggunakan pendekatan metode “gubahan tari” yaitu proses

pengembangan sumber repertoar tertentu menjadi bentuk penyajiannya yang baru,


9

dengan tidak merubah identitas sumbernya. Untuk mendapatkan bahan yang optimal,

maka penyaji juga melakukan penggalian sumber dari Bapak Gugum Gumbira sebagai

pencipta Jaipongan, baik dari sisi teknik maupun dari sisi pewacanaannya/isi.

F. Rancangan / Sketsa Garap

1. Desain koreografi

Pada rancangan garapan ini, penyaji melakukan penjelajahan gerak yang

difokuskan untuk bagian ragam gerak pencugan sebagai penegasan terhadap kualitas

gerak. Pencugan sebagaimana yang dijelaskan oleh Gugum Gumbira : Dari Cha-Cha ke

Jaipongan yaitu, bahwa : “pencugan adalah gerakan yang kuat dan terpatah-patah atau

menunjukkan pada serangkaian jurus-jurus atau disebut juga ibing pola (2007: 7).

Pengolahan tersebut juga penonjolan terhadap sosok/figure perempuan yang sedang

melakukan pencarian jati diri yang digarap dalam kelompok. Digarap kelompok dengan

jumlah lima orang (ganjil) karena kebuuhan konsep pola lantai juga unuk menambah

keindahan kualias gerak dari tari Rasjati ini. Sedangkan kriteria untuk mendukung tarian

ini dibutuhkan penari yang daya ingat nya tinggi, mampu menggerakan uraian ragam

gerak secara detail dari awal sampai akhir hingga rampak dengan yang lainnya, serta

mampu mengimbangi kemampuan penyaji. Upaya yang dilakukan untuk bisa

dirampakan yaitu dengan jadwal latihan yang kondusif secara terus-menerus,

mengevaluasi uraian gerak secara detail bersama kelompok sampai menemukan titik

lemah dari masing-masing setiap penari agar bisa dirampakan dan gerakan tersampaikan

dengan baik.

Bentuk koreografi yang diungkapkan dalam tari Rasjati ini pada awal tarian diisi

dengan penari tunggal dengan menarikan gerak-gerak yang kuat dan enerjik, seperti
10

pencak silat, ini ditujukan untuk pengkuatan karakter dan penggambaran seseorang yang

sombong dengan apa yang dia miliki. Kemudian penari lainnya masuk berjajar diagonal

dari arah yang sama diiringi dengan kawih ‘’mun nyukcruk hirup manusa…’’. Garis

diagonal atau garis miring mengesankan objek dalam keadaan tak seimbang, Garis

diagonal melambangkan kedinamisan, kegesitan, kelincahan, dan kekenesan. Pada

bagian ini mulai penggambaran tarian sesungguhnya bahwa hidup tidak boleh sombong

kita harus memiliki ilmu padi semakin berisi semakin merunduk, begitu juga dengan apa

yang kita ketahui semakin banyak ilmu yang kita temukan, semakin banyak pula hal-hal

yang kita tidak ketahui. Pada bagian akhir setelah mincid ada penambahan gerak untuk

menuju ke akhir yang lebih klimaks penggambaran ketika sudah menemukan jati diri,

ternyata kita sadar bahwa kita bukan siapa siapa, tetap saja mau setinggi apapun derajat

nya , masih ada tuhan yang lebih tinggi. Jika sudah berada diatas harus ingat bahwa akan

kembali lagi ke bawah, asal dari tanah kembali lagi ke tanah.

2. Desain Karawitan Iringan Tari

Kekayaan motif tepak kendang yang energik, sangat mendukung kuat dalam

mengisi gerak serta suasana keseluruhan setiap karyanya. Walau demikian, tidak

terkesan monoton atau cape mendengarnya karena ditata apik pengaturan waktunya dan

selalu ada bagian koreografi yang dipadukan dengan pola irama lambat dari gending

berbentuk opat wilet. Selain itu, amat langka tarian atau karya tari Sunda yang nyanyian

atau rumpakanya secara khusus digarap tersendiri.

Tari Rasjati ini diiringi dengan lagu Renggong Kobongan naek Renggong Angle,

dan termasuk ke dalam lagu gede, memakai gamelan berlaras salendro, irama opat wilet

naek dua wilet. Dalam konsep garap ini, saya menambahkan pola iringan seperti pencak

silat untuk mengisi gerak gerak penegasan di awal tarian, kemudian pada bagian tengah
11

ditambahkan beberapa musik untuk pencugan agar penonjolan penari yang ujian dengan

penari pendukung terlihat berbeda, dan pada akhir setelah musik mincid ditambahkan

dengan musik lebih naik agar ending tarian lebih klimaks.

3. Desain Artistik Tari

3.1. Rias Busana Tari

Tata Rias cantik (Wanoja Geulis) menjadi cirri khas tarian ini. Meskipun

penataan busananya berorientasi pada kekayaan tari rakyat, tetapi hasilnya

menjadi lain, karena diolah dan dipadukan dengan elemen yang beraneka

macam sehingga nampak sebagai sosok baru busana tari yang tetap eksis,

bernuansa Sunda. Untuk busana tari Rasjati ini berorientasi pada kostum

Rawayan dan Kawung Anten. Seperti: kebaya buludru, rok rempel , sabuk,

gelang, kalung, anting, kerun, melai, cunrik kujang, bunga merah.

3.2. Setting

Pada tari Rasjati ini menggunakan setting kain dengan warna putih, putih

mempunyai watak positif, cerah, tegas, mengalah. Juga ditambah dengan symbol Padi,

dan dibantu dengan permainan lampu, symbol padi disini mengambil dari ilmu padi,

semakin berisi semakin merunduk, menggambarkan jika selama hidup kita tidak boleh

sombong, tetap saja harus ingat kembali dari mana kita berasal.

Anda mungkin juga menyukai