Anda di halaman 1dari 4

Bulughul Maram #3: Ambisi Jabatan &

Kekuasaan
2 Comments / Hukum, Politik, Terjemah / By Iskandar Alukal L.c.

Pembahasan ketiga tentang hadits-hadits hukum dari kitab Bulughul Maram Min Adillatil
Ahkam karya Al-Hafidz Ibnu Hajar (w: 852 H) Bab. Al-Qadha (Hukum). Pemaparan (syarh)
diterjemahkan dari kitab Subulus Salam karya Muhammad bin Ismail Al-Hasny Al-Kahlany
As-Shon’any Izzuddin Al-Amir (w: 1182 H).

Hadits #3

،‫ا َر ِة‬8‫ونَ َعلَى اِإْل َم‬8‫ص‬ ُ ‫ «إنَّ ُك ْم َستَحْ ِر‬:- ‫لَّ َم‬8‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس‬َ – ِ ‫ قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬:‫ال‬ َ َ‫ض َي هَّللا ُ تَ َعالَى َع ْنهُ – ق‬
ِ ‫َوع َْن أبي هريرة – َر‬
ُّ‫ُخَاري‬
ِ ‫ب‬ ْ
‫ال‬ ‫ه‬ ‫ا‬
ُ َ َ‫و‬‫ر‬ »ُ ‫ة‬ ‫م‬ ‫ط‬
َ ِ ‫ا‬ َ ‫ف‬ ْ
‫ال‬ ‫س‬ ‫ْئ‬‫ب‬‫و‬
َ َِ َ ِ ُ ،ُ ‫ة‬ ‫ع‬‫ض‬ ْ‫ر‬ ‫م‬ ْ
‫ال‬ ‫ت‬ْ ‫م‬ ‫ع‬ْ ‫ن‬َ ‫ف‬ ،‫ة‬ ‫م‬
َ ِ ِ َ َِ َ َ َ‫ا‬ ‫ي‬‫ق‬ ْ
‫ال‬ ‫م‬ ْ‫و‬ ‫ي‬ ً ‫ة‬ ‫م‬‫َا‬
‫د‬ َ ‫ن‬ ُ‫ون‬ ُ
‫ك‬ َ ‫ت‬‫س‬ ‫و‬
َ َ

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Sungguh kalian akan berambisi mendapatkan jabatan/kekuasaan, dan itu
akan menjadi penyesalan pada Hari Kiamat, maka betapa nikmat persusuan, betapa sengsara
penyapihan.” (HR. Bukhari)

Maksud jabatan/kekuasaan (Imarah) dalam hadits ini ialah secara umum, mulai dari yang
tertinggi (Imamah), seperti khalifah, presiden atau raja, hingga yang terendah walaupun atas
satu orang saja. Ambisi jabatan/kekuasaan itu akan menyebabkan penyesalan pada hari
kiamat. “Betapa nikmat persusuan” maksudnya ialah kenikmatan dunia yang diperoleh
dengan menyandang jabatan/kekuasaan tersebut, lalu “betapa sengsara penyapihan” berarti
keadaan akan berbanding terbalik menjadi kesengsaraan setelah melepas jabatan/kekuasaan
tersebut saat di akhirat.

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh At-Thabrany dan Al-Bazzar dengan sanad Shahih
melalui ‘Auf bin Malik bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

‫ إاَّل َم ْن َعد ََل‬،‫ َوثَالِثُهَا َع َذابٌ يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة‬8،ٌ‫ َوثَانِيهَا نَدَا َمة‬،ٌ‫َأ َّولُهَا َماَل َمة‬

“Awalnya (dari jabatan) ialah celaan, (lalu) kedua penyesalan, (lalu) ketiga siksa pada Hari
Kiamat, kecuali (bagi) yang adil”

Juga diriwayatkan oleh At-Thabrany secara marfu’ melalui sahabat Zaid bin Tsabit
radhiyallahu ‘anhu,

‫س ال َّش ْي ُء اِإْل َما َرةُ ِل َم ْن َأ َخ َذهَا بِ َغي ِْر َحقِّهَا تَ ُكونُ َعلَ ْي ِه َح ْس َرةً يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة‬
َ ‫ َوبِْئ‬،‫نِ ْع َم ال َّش ْي ُء اِإْل َما َرةُ لِ َم ْن َأ َخ َذهَا بِ َحقِّهَا َو َحلَّهَا‬

“Jabatan/kekuasaan ialah suatu hal yang begitu nikmat bagi yang mengambil hak dan
menempatkannya (dengan benar), (akan tetapi) menjadi sesuatu yang begitu menyengsarakan
bagi yang tidak menempatkan hak pada tempatnya serta akan menjadi penyesalan pada Hari
Kiamat.”
Maka kedua hadits ini mengikat (muqayyad) hadits pertama yang melepas (muthlaq). Karena
pada hadits pertama tidak disebutkan pegecualian, yaitu penyandang jabatan yang adil dan
mengembalikan hak dengan benar, akan tetap mendapatkan kenikmatan di akhirat.

Terdapat sebuah hadits terkait yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Abi Dzar
radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata,

‫ا َوَأ َّدى الَّ ِذي‬88َ‫ َذهَا بِ َحقِّه‬8َ‫ ةٌ إاَّل َم ْن َأخ‬8‫ي َونَدَا َم‬
ٌ ‫يف َوِإنَّهَا َأ َمانَةٌ َوِإنَّهَا يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة ِخ ْز‬ َ ‫ إنَّك‬:‫قُ ْلت يَا َرسُو َل هَّللا ِ َأاَل تَ ْستَ ْع ِملُنِي قَا َل‬
ٌ ‫ض ِع‬
‫َعلَ ْي ِه فِيهَا‬

“Aku (Abi Dzar) berkata, “Hai Utusan Allah, tidakkah kau memakaiku (untuk sebuah
jabatan)?” Maka Rasul-pun menjawab: “Sungguh kau itu lemah, sedangkan (jabatan) itu
sungguh ialah amanah, dan sungguh akan menjadi kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat,
kecuali bagi yang mengambil haknya (dengan benar) dan menjalankan kewajiban di
dalamnya.””

Al-Imam An-Nawawi berkata: “Hadits ini merupakan dasar besar supaya menjauh dari
jabatan/kekuasaan, terlebih bagi yang dirinya lemah, lemah dalam artian tidak memiliki
kredibilitas keahlian yang mumpuni, tidak mampu berbuat adil, lalu lalai dan pasti akan
menjadi penyesalan dan siksaan pada hari kiamat. Sedangkan bagi yang mumpuni (ahli) dan
bisa berlaku adil, maka ia akan mendapat balasan baik yang setimpal dengan tetap
mengambil resiko yang besar. Karena itulah banyak tokoh besar yang menolak menerima
jabatan, seperti Imam Syafi’i yang menolak diangkat menjadi hakim di daerah Timur dan
Barat pada masa kekhalifahan Al-Ma’mun, begitu pula Imam Abu Hanifah yang menolak
ketika dipanggil oleh Khalifah Al-Mansur untuk jabatan yang sama hingga dipukuli dan
dipenjara. Dan masih banyak lagi tokoh besar yang menolak menerima jabatan pemerintahan
sebagaimana disebutkan dalam kitab An-Najm Al-Wahhaj.

Sabda Nabi َ‫ َستَحْ ِرصُوْ ن‬pada hadits pertama yang berarti “kalian akan berambisi” menunjukkan
tabiat asli manusia yang menyukai jabatan/kekuasaan, karena dengan posisi itu ia
memperoleh keuntungan duniawi, kelezatannya serta ucapan yang dipatuhi (oleh orang lain).
Karena itu datanglah sebuah larangan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Syeikhan (dua
syeikh), bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abdurrahman,

‫ َوِإ ْن ُأ ْع ِطيتهَا ع َْن َغي ِْر َم ْسَألَ ٍة ُأ ِع ْنت َعلَ ْيهَا‬،‫إن ُأ ْع ِطيتهَا ع َْن َم ْسَألَ ٍة َو ِك ْلت إلَ ْيهَا‬
ْ ‫ فَِإنَّك‬،َ‫اَل تَ ْسَألْ اِإْل َما َرة‬

“Janganlah kamu meminta jabatan, karena jika kau mendapatkannya setelah meminta, ia akan
dibebankan kepadamu, tetapi jika kau mendapatkannya tanpa meminta, kamu akan dibantu
(mengembannya).”

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Tirmidzi bahwa Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ْ َ‫ َو َم ْن لَ ْم ي‬،‫ضا َء َوا ْستَ َعانَ َعلَ ْي ِه بِال ُّشفَ َعا ِء ُو ِك َل إلَ ْي ِه‬
ُ‫طلُ ْبهُ َولَ ْم يَ ْستَ ِع ْن َعلَ ْي ِه َأ ْن َز َل هَّللا ُ َملَ ًكا يُ َس ِّد ُده‬ َ َ‫ب ْالق‬ َ ‫َم ْن‬
َ َ‫طل‬

“Siapa yang meminta jabatan hukum dan meminta bantuan para perantara, maka (jabatan itu
sepenuhnya) akan dibebankan kepadanya, dan siapa yang belum memintanya dan belum
meminta bantuan para perantara, maka akan Allah turunkan baginya malaikat yang
mendukung/mengarahkannya.”
Dalam Shahih Muslim bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersumpah,

َ ‫ َواَل َأ َحدًا َح َر‬،ُ‫َوهَّللَا ِ إنَّا اَل نُ َولِّي هَ َذا اَأْل ْم َر َأ َحدًا َسَألَه‬
‫ص َعلَ ْي ِه‬

“Demi Allah, sungguh kami tidak mengangkat dan mempercayakan perkara ini kepada
siapapun yang memintanya, tidak pula bagi siapapun yang berambisi mendapatkannya.”

Pemimpin wajib mencari manusia calon pejabat terbaik dan paling bisa diterima kemudian
memilih dan mengangkatnya. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Al-
Baihaqy bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

َ‫ضى هَّلِل ِ تَ َعالَى ِم ْنهُ فَقَ ْد خَ انَ هَّللا َ َو َرسُولَهُ َو َج َما َعةَ ْال ُم ْسلِ ِمين‬
َ ْ‫صابَ ِة َم ْن هُ َو َأر‬
َ ‫ك ْال ِع‬
َ ‫صابَ ٍة َوفِي تِ ْل‬
َ ‫َم ْن ا ْستَ ْع َم َل َر ُجاًل َعلَى ِع‬

“Siapa yang mengangkat seorang lelaki karena faktor golongan (sendiri) padahal ada yang
lebih diridhai untuk Allah darinya, maka dia telah mengkhianati Allah, RasulNya serta kaum
muslimin.”

“Janganlah kamu meminta jabatan”

Nabi Muhammad S.A.W.

Yang dilarang ialah meminta jabatan/kekuasaan, karena jabatan itu akan memberikan
seseorang kekuatan setelah dirinya lemah, menganugerahkan kemampuan setelah dirinya
tidak berdaya. Sedangkan manusia memiliki sifat naluri alami jahat, yang berpotensi
menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan untuk membalas dendam kepada musuhnya di masa
lalu, memperhatikan (kesejahteraan) golongan sendiri, atau mencari-cari tujuan non produktif
yang tidak jelas hasil akhirnya, dan tidak bisa diprediksi kebaikan apakah nanti yang ada
dengan menempelnya jabatan pada dirinya.

Karena itu, sebisa mungkin janganlah meminta jabatan/kekuasaan. Meskipun terdapat hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad Hasan bahwa Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,

َ َ‫ب َع ْدلُهُ َجوْ َرهُ فَلَهُ ْال َجنَّةُ َو َم ْن َغل‬


‫ب َجوْ ُرهُ َع ْدلَهُ فَلَهُ النَّا ُر‬ َ َ‫ فَ َغل‬.ُ‫ضا َء ْال ُم ْسلِ ِمينَ َحتَّى يَنَالَه‬ َ َ‫َم ْن طَل‬
َ َ‫ب ق‬

“Siapa yang meminta jabatan hukum bagi kaum muslimin hingga ia mendapatkannya, lalu
keadilannya mengalahkan kelalimannya, maka dia akan mendapatkan surga, dan siapa yang
kelalimannya mengalahkan keadilannya, dia akan mendapatkan neraka.”

Referensi:

1. (w: 1182). Subulus Salam. Al-Maktabah As-Syamilah – Penerbit Darul Hadits.

Diterjemahkan dan diisusun di Universitas Islam Madinah, Kerajaan Arab Saudi, 4 Rabiul
Awal 1441 H (1 November 2019 M)

Oleh: Iskandar Alukal L.c.

Artikel hukumpolitiksyariah.com

Anda mungkin juga menyukai