Anda di halaman 1dari 5

Tembawang: Agroinvestasi Jangka Panjang Ala Dayak Kancikgh

Bawas dan tembawang dibawahnya

Apabila Anda menjelajahi hutan di wilayah adat Dayak Kancikgh, jangan kaget
jika menemukan banyak sekali pohon buah-buahan endemik yang tumbuh berkelompok
dan sengaja dibiarkan tetap asri. Hampir di setiap radius 500 sampai dengan 1.000 meter
Anda menemukan rumpunan pohon buah-buahan seperti itu. Suatu pemandangan dengan
nuansa rimba yang eksotis, apalagi jika dilihat dari udara. Bukan secara kebetulan,
pepohonan buah-buahan endemik tersebut memang sengaja ditanam oleh nenek moyang
Orang Kancikgh sejak ratusan tahun yang silam. Oleh karena itu pula, rumpunan pohon
tersebut tidak boleh digarap, ditebang atau dirusak. Orang Kancikgh menyebutnya
sebagai “tomawakh” atau tembawang, yaitu areal tertentu yang berisi pepohonan buah-
buahan lokal, berusia puluhan bahkan ratusan tahun, dipelihara bahkan dijadikan pusaka
oleh Orang Kancikgh.
Proses terjadinya tembawang sebenarnya sangat sederhana, dan hampir terjadi
secara alami. Pertama, seorang peladang menetapkan suatu areal sebagai tempat untuk
berladang dan membuat pondok sebagai tempat beristirahat. Pondok dibangun ditempat
tertentu yang strategis, tanahnya rata dan dekat dengan sumber air. Kedua, pada saat
musim buah-buahan tiba, peladang secara sengaja atau tidak sengaja menyemai biji buah-
buahan ke sekitar pondok yang mereka buat. Untuk buah-buahan tertentu yang
kualitasnya sangat baik, biasanya mereka tanam dengan apik, disiangi bahkan diberi
pupuk alam seperti busukan sampah dan lain sebagainya. Kejadian musim buah-buahan
ini terjadi berulang-ulang setiap tahun, sehingga semakin banyak jumlah dan jenis pohon
buah-buahan yang tumbuh di sekitar pondok tersebut. Ketiga, walaupun ladangnya
berpindah-pindah dalam radius yang tidak terlalu jauh, biasanya pondok tidak perlu
dipindahkan, bahkan ada peladang yang membuat secara permanen pondok mereka
sehingga mereka bisa selalu merawat tanaman-tanaman buah-buahan yang tumbuh di
sekitar pondok.
Selang beberapa tahun, tanaman buah-buahan tersebut menjadi besar dan
berbuah, si peladang tidak lagi merenovasi pondok mereka karena harus berpindah ke
lokasi baru untuk memperluas kepemilikan lahan mereka berhubung lahan di sekitar
pondok sudah habis tergarap semua, maka jadilah bekas pondok dan rumpunan pohon
buah-buahan itu sebagai tembawang. Tembawang juga bisa terjadi karena perpindahan
rumah atau suatu perkampungan.

Berbeda dengan kebun monokultur, tembawang berisi beraneka ragam jenis


pohon buah-buahan, bahkan ada diantaranya yang merupakan pohon buah-buahan
endemik. Disebut endemik karena sangat unik dan tidak ditemukan ditempat-tempat lain.
Berikut adalah beberapa jenis pohon buah-buahan yang lazim ditemui di
tembawang Dayak Kancikgh:
1. Durian (Latin: Durio Zibethinus); berbuah setahun sekali terutama jika
terjadi musim kemarau. Rata-rata berumur puluhan bahkan ratusan tahun
dengan lingkar batang mencapai 1,5 sampai dengan 3 meter. Menghasilkan
buah dalam jumlah antara 200 sampai dengan 700 buah perpohon;
2. Lai atau Pekawai (Latin: Durio Kutejensis); masih satu family dengan
durian, daging berwarna kuning/orange;
3. Lahung atau Temeranang (Latin: Durio Dulcis); juga termasuk family
durian. Kulit buahnya berwarna ungu sedangkan daging berwarna kuning.
Satu pohon lahung dengan lingkar batang 1,5 sampai dengan 3 meter bisa
menghasilkan buah sebanyak 300 sampai dengan 800 buah;
4. Kerantung (Kancikgh: Keyowet, Latin: Durio Oxleyanus); juga termasuk
family durian. Bentuk buahnya bulat berwarna hijau, daging berwarna
kuning. Satu pohon kerantung dengan lingkar batang 1,5 sampai dengan 3
meter bisa menghasilkan buah sampai ribuan biji;
5. Langsat (Latin: Lansium Domesticum) sejenis duku tapi warna kulit
buahnya lebih putih;
6. Rambutan (Latin: Nephelum Lappaceum);
7. Lengkeng (Latin: Dimocarpus Longan);
8. Asam Kalimantan atau Kemantan (Latin: Mangifera Similis) masih satu
family dengan mangga. Buah berwarna hijau dengan daging berserat.
Rasanya manis agak keasam-asaman;
9. Asam Bacang (Latin: Mangifera Foetida) sejenis asam kalimantan tapi rasa
asamnya sangat dominan;
10. Belimbing Darah (Kancikgh: Golimikh Ucokh, Latin: Baccaurea Angulata)
kulit buahnya berwarna merah darah dan menjadi pudar setelah masak.
Rasa dagingnya manis bercampur kecut;
11. Mentawa (Latin: Artocarpus Anisophyllus); pohon dengan daun berpola
jari-jari, buahnya berbulu kasar dengan daging berwarna orange (berubah
merah ketika masak). Rasa dagingnya manis beraroma harum.
12. Tengkawang (Latin: Shorea Stenoptera) sejenis meranti bardaun lebar dan
berbuah sebesar pergelangan tangan. Buahnya bersayap dan memiliki
daging berwarna kuning kecoklatan. Buah tengkawang diolah untuk
dijadikan minyak.

Masih banyak lagi jenis-jenis buah-buahan lainnya yang lazim ditemukan di


tembawang Orang Kancikgh yang tidak termuat dalam tulisan ini.
Bagi Orang Kancikgh, tembawang merupakan bentuk investasi jangka panjang
yang memiliki bukan hanya nilai ekonomi, namun di sana juga terkandung nilai sosial
(sebagai perekat tali kekeluargaan), nilai budaya (sebagai benda yang memiliki nilai
adat), nilai sakral (sebagai penyangga tanah dan air, pelindung terhadap musibah dan
bencana) dan nilai filosofis (sebagai bentuk bakti, ajaran dan kenangan bagi anak cucu).
Secara ekonomis, satu batang durian dengan lingkar batang 2 meter bisa dijual
dengan harga 500.000 Rupiah sampai dengan 1.000.000 Rupiah, belum lagi kalau batang
itu diolah menjadi bahan perabotan. Tapi transaksi dengan hitungan seperti itu tidak akan
pernah terjadi di kalangan Dayak Kancikgh, karena tradisi Kancikgh melarang orang
menjual benda pusaka dan tapang tembawang. Lantas, darimana mereka dapat profit dari
pohon buah-buahan itu? Mari kita berhitung lagi.
Walaupun rata-rata tanaman tersebut hanya berbuah setahun sekali, namun pada
saat berbuah, 1 pokok durian dengan lingkar 2 meter bisa menghasilkan sampai 500 buah
untuk sekali musim. Jika 1 buah durian saat ini harganya berkisar 5.000 rupiah sampai
25.000 rupiah, maka potensi pemasukan dari 1 pokok durian bisa mencapai 12.500.000
rupiah. Itu baru satu pokok durian. Bagaimana jika satu gugus tembawang memiliki
sebanyak 5 atau 10 pokok durian? Bagaimana jika keluarga kita memiliki 10 gugus
tembawang?
Begitu juga dengan buah-buahan jenis lain. Lahong dijual dengan harga 3.000
sampai 10.000 rupiah perbuah, pekawai 5.000 sampai 15.000 rupiah perbuah, kerantung
3.000 sampai 15.000 rupiah perbuah, mentawa 3.000 sampai 10.000 rupiah perbuah,
asam kemantan 2.000 sampai 5.000 rupiah perbuah, lengkeng 10.000 sampai 20.000
rupiah perkilogram, belimbing darah 5.000 sampai 10.000 rupiah perkilogram, langsat
3.000 sampai 8.000 rupiah perkilogram. Harga berfluktuasi tergantung pasokan dan
kualitas buah.
Orang Kancikgh yang menanam atau membuat tembawang biasanya tidak
kebagian memanen hasilnya. Mereka menanam karena merasa terpanggil untuk
menciptakan warisan sebagai kenangan kepada anak cucu. Oleh karena itu, salah satu
bentuk kearifan lokal Dayak Kancikgh yang masih terpelihara sampai saat ini adalah
menyebutkan nama tembawang sesuai dengan nama pembuatnya, seperti “Tomawakh
Akek Batok” (dibuat oleh seorang yang dulunya dipanggil Kakek Batok). Dinamakan
seperti itu sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan kepada si pembuat
tembawang.
Secara filosofis, kearifan lokal ini adalah bentuk edukasi dan keteladanan yang
harus diikuti oleh generasi penerus bahwa mereka bisa memanen pada hari ini itu karena
jasa para nenek moyang mereka. Oleh karena itu Orang Kancikgh sangat melarang siapa
saja yang berniat jahat membabat tembawang. Sumpah Adat Dayak Kancikgh
mengatakan: “barang osih nik moraka, ngomela tapakh tomawakh, odup noh lah nik
nangok tulah, dosa colaka solamak midup noh.” Barang siapa yang merusak atau
membabat pusaka tapang tembawang, kepadanyalah tulah, dosa dan celaka
ditanggungkan selama hidupnya.

(Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Durian dan berbagai sumber lainnya).

Anda mungkin juga menyukai