Anda di halaman 1dari 4

Negara harus penuhi janji lindung Masyarakat Adat (Pidato Sekjen AMAN, Rukka

Simbolinggi, Deli Serdang 20/03/2017)

“Ini sangat penting karena yang mematangkan apa yang disebut rekonsiliasi
antara masyarakat adat dengan negara. Rekonsiliasi ini hanya bisa terjadi ketika
negara mengakui, melindungi dan memihak masyarakat adat, (Rukka Simbolinggi,
20/03/2017)

Tantangan gerakan masyarakat adat kedepan, sebenarnya berkelahi dengan bayang-bayang


sendiri.

Kini, ada masyarakat adat yang dibelokkan kemana-mana. Sudah ada teman-teman AMAN
yang direkrut sejumlah perusahaan yang berkonflik dengan masyarakat adat, merebut hutan
adat. Mereka menyeberang dan akan menjadi lawan dan bayang-bayang masyarakat adat.
“Ini jadi tantangan gerakan masyarakat adat ke depan.”

Untuk itu, mulai saat ini, melalui Kongres AMAN V konsolidasi gerakan masyarakat adat
bukan hanya organisasi juga dengan pendukung organisasi. (Rukka Simbolinggi)

Di Bolivia dan Ekuador melalui gerakan sosial organisasi masyarakat adat mendirikan partai
politik lalu memenangkan elektoral pemilihan presiden.

Perbandingan masyarakat adat di Amerika Latin dan Indonesia dari sisi sejarah hingga
kemerdekaan tidak ada yang berbeda: selalu dipinggirkan secara politik, namun diberi ruang
saat elektoral.

Sebagaimana di Bolivia dan Ekuador, menurut Nur Iman, masyarakat di Indonesia juga
berada dalam posisi marjinal secara ekonomi dan subordinat secara sosial politik,”mereka
layaknya “orang lain” di negeri sendiri. Sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia juga
demikian, dicirikan dengan penaklukan dan pengambilalihan wilayah-wilayah adat dan
wilayah kelola adat, dengan satu asumsi, wilayah itu pada dasasrnya tidak bertuan (doktrin
“Terra Nullius”).

Peran masyarakat adat sangat berkaitan dengan tanah, sumberdaya alam, hutan dan
keberlangsungan lingkungan. Kehidupan mereka harmonis dengan alam. Namun,
kolonialisme dan kapitalisme hingga pemerintah telah merusak kehidupan masyarakat adat di
Indonesia dengan cara merampas hutan tanah mereka sebagai “hak menguasai negera” lalu
diberikan pada korporasi dalam bentuk lisensi, izin dan konsesi.

Cerita itu juga terjadi di Amerika Latin, dimulai dari penjajah Spanyol menghabisi sekitar 95
persen populasi masyarakat adat. Setelah kolonialisme, kapitalisme global berkolaborasi
dengan pemerintah suatu negara, juga menghancurkan keberadaan masyarakat adat.

Di tengah itu, perlawanan masyarakat adat, dari gerakan sosial hingga merebut kekuasaan
politik melalui pemilihan elektoral yang resmi. Bagaimana perjuangan dari adat ke politik
yang mencengangkan dunia di Amerika Latin?
Nur Iman Subono, menarasikan dengan baik dan mudah dipahami.

Tahun 1990-2000 an terjadi perubahan politik di Amerika Latin, ketika gerakan masyarakat
adat mulai dari Meksiko, Nikaragua, hingga terutama Bolivia dan Ekuador, yang
menampilkan diri sebagai subjek kekuatan politik yang menentukan dalam proses-proses
politik yang sedang berlangsung, bahkan mereka juga mampu masuk dalam struktur
kekuasaan melalui pendirian partai politik berbasis etnik dan politik elektoral. Kajian-kajian
ilmu politik selama ini hanya berfokus pada masalah-masalah elit politik, kekuatan bisnis
ekonomi, kalangan oligarki, kudeta militer dan kekuatan buruh, instabilitas politik dan krisis
ekonomi hingga demokrasi, tanpa memberikan tempat pada peran dan posisi penduduk asli
dalam proses-proses politik yang sudah dan sedang berlangsung kecuali sebagai objek politik
yang pasif, mudah diatur dan terbelakang. “Namun semuanya berbalik 180 derajat,” kata Nur
Iman Subono dalam kata pengantar yang tertarik melihat fenomena yang tidak dipikirkan
oleh para pengkaji politik.

Dengan mengumpulkan literatur lantas membingkai dengan pendekatan Struktur Politik,


Struktur Mobilisasi, Proses Pembingkaian dan Menuju Pendekatan Integrasi Gerakan Sosial,
Nur Iman mengajak kita melihat gerakan sosial dari era kolonial hingga kini perjuangan
masyarakat adat khususnya di Bolivia dan Ekuador.

Nur Iman mengutip  dalam Colonial Latin America, menghamparkan bagaimana sejarah
masyarakat adat di Amerika Latin bisa dibilang sebagai “sejarah hitam” yang penuh
penderitaan, kematian, epidemi, pengusiran, dan bencana.

Penaklukan oleh bangsa Eropa, khususnya Spanyol dan Portugis pada abad ke-15 dan ke-16,
setelah kedatangan Columbus pertama kali pada 1492, bisa dibilang sebagai malapetaka bagi
sekitar 50-100 juta masyarakat adat yang mendiami tempat yang lantas dijuluki sebagai
“dunia baru”. Para peneliti modern menyebutnya “malapateka demografi” yang dihadirkan
oleh berbagai penyakit baru seperti cacar, campak, tifus, penyakit kotor, dan influensa yang
tanpa sengaja dibawa oleh para penjajah Eropa dan memusnahkan sebagian besar masyarakat
adat yang ada.

Selama kolonialisme Eropa, mereka mengalami dispossession (tercabut hak miliknya),


exploitation (penghisapan), dan oppression (penindasan).

Nur Iman membagi tiga politik dan masyarakat adat di Amerika Latin: masa kolonialisme,
masa kemerdekaan dan kebangkitan gerakan masyarakat adat. Di tiap masa itu
pemberontakan masyarakat adat selalu ada, namun berhasil ditumpas. Pun di era
kemerdekaan, masyarakat adat tetap berada di bawah timbunan paling bawah dalam struktur
masyarakat nasional, dan elit kreollah yang mendominasi kekuasaan politik dan ekonomi di
Amerika Latin. Hanya elitnya saja yang mengalami sirkulasi pergantian, tanpa mengubah
struktur masyarakat.

Lalu, apa yang baru dari gerakan masyarakat adat di Amerika Latin?

Menurut Donna Lee Van Cott adanya transformasi gerakan dari yang tadinya hanya “pihak
luar” yang cuma memiliki kapasitas untuk memengaruhi kemudian berkembang menjadi
aktor politik kolektif yang efektif dan berkuasa yang dapat mempertahankan kehadirannya
baik di tingkat nasional, regional maupun internasional. “Untuk pertama kalinya pueblos
(rakyat jelata) tampil sebagai aktor politik baru, yang masuk dalam politik dengan agenda-
agenda perjuangan mereka sendiri,” kata Lucas Savino.

Sama seperti organisasi AMAN, gerakan sosial adat di Bolivia dan Ekuador dimulai dari
sebuah organisasi untuk memperjuangakan hak adatnya. Conaie di Ekuador dan Cocaleros di
Bolivia.

Conaie di Ekuador. Konfederasi Nasional Masyarakat Adat Ekuador (Conaie). Ia terbesar di


Ekuador berdiri pada 16 November 1986, representasi dari penduduk asli terdiri dari suku
Shuar, Achuar, Siona, Secoya, Cofan, Huaorani, Zaparo, Chachi, Tsachila, Awa, Epera,
Manta, Wancavilca dan Quichua. Ia juga representasi tiga federasi regional terdiri dari
konfederasi masyarakat adat amazon ekuador yang mewakili wilayah timur amozon atau
oriente, konfederasi masyarakat Quichua Nasional Ekuador yang mewakili wilayah
pegunungan Andes dan koordinasi organisasi-organisasi masyarkat adat dan kulit hitam
pesisi ekuador yang mewakili wilayah pantai. Conaie satu-satunya organisasi di seluruh
Amerika Latin yang bisa menyatukan semua organisasi penduduk asli sampai ke tingkat
regional, nasional bahkan internasional.

Conaie pada 1995 mendirikan partai politik Movimiento de Unidad Plurinacional


Pachakutik-Nuevo Pais (MUPP-NP) agar bisa terlibat dalam proses elektoral.

Cocaleros di Bolivia. Cocaleros (Petani Koka) hanya muncul dan berkembang di dua tempat
Los Yungas di departemen La Paz dan El Chapare di departemen Cochabamba. Dua tempat
itu markas besar gerakan Cocaleros. Ia sering juga disebut “generasi kedua” gerakan sosial
masyarakat adat di Bolivia, karena jauh sebelumnya sudah ada banyak organisasi dan
gerakan sosial yang cukup mengemuka di Bolivia: Konfederasi Sindikalis Tunggal Buruh
Tani Bolivia dan Konfederasi Masyarakat Adat Bolivia. Namun Cocaleroslah yang paling
menarik, karena:

Pertama, visi aksi gerakan sosial perlawanan terhadap globalisasi neoliberal dan perjuangan
kelas melawan kekuasaan negara. Ia membangun basis strategi kehidupannya di tingkat lokal
dalam melakukan perlawanannya terhadap kebijakan negara, sekaligus mengaitkannya
dengan gerakan lebih luas dalam melakukan perlawanan terhadap globalisasi dan neoliberal.
Kedua, melalui partai politiknya Movimiento Al Socialismo (MAS) dibantu dan beraliansi
dengan berbagai pihak, pada akhirnya mampu menjadikan ketuanya Evo Morales dari suku
Aymara sebagai presiden pada 2015 dengan perolehan suara sekitar 53,7 persen. Morales
adalah presiden pertama di Bolivia, bahkan di Amerika Latin, yang berasal dari penduduk
asli.

Neoliberalisme berdampak besar pada kaum buruh dan tani (termasuk petani adat), bukan
hanya terjadi pemotongan besar-besaran anggaran untuk subsidi pertanian dan akses kredit,
tetapi ideologi dan kebijakan neoliberalisme—dalam bentuk privatisasi dan sertifikasi
individu—secara langsung mengancam hak adat atas tanah komunal yang merupakan konsep
kewilayahan utama penduduk asli. Pada titik inilah, menurut Nur Iman, wacana anti-
neoliberalisme menjadi semacam amunisi pencetus atau daya ledak gerakan penduduk asli.

Dua organisasi masyarakat adat itu berhasil memenangkan elektoral dengan caranya sendiri.
Nur Iman juga menceritakan konflik internal di dalam dua organisasi itu sebelum
memutuskan mendirikan partai politik hingga berhasil memenangkan elektoral Presiden.
Buku dari Adat ke Politik ini hendak saya narasikan semua di sini, namun lebih seru bila
membacanya langsung: emosi anda akan terbawa untuk melakukan perubahan. Persis seperti
pertanyaan Nur Iman di atas.

Lantas bagaimana dengan gerakan masyarakat adat di Indonesia? Dari Amerika Latin, apakah
berdampak pada gerakan masyarakat adat Indonesia?

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendukung Joko Widodo pada Pilpres 2014.
Jokowi jadi presiden ketujuh. AMAN mendesak Jokowi segera membentuk Satgas
Masyarakat Adat, mendorong UU Masyakarat adat, dan Jokowi memberi sertifikat reforma
agraria kepada masyarakat adat. Meski AMAN terus mengkritik Jokowi karena tidak
sepenuhnya memenuhi tuntutan AMAN.

Itu satu gerakan politik. Lantas, Abdon Nababan Calon Gubernur SUMUT dari jalur
independen dan dukungan resmi AMAN kepada Abdon Nababan, akan menuju ke dari adat
ke politik? atau barangkali  “tanda-tanda yang dicoba masyarakat adat Indonesa”?

Yang jelas, Abdon Nababan sedang berjuang di jalur politik elektoral menjadi Gubernur
Sumut periode 2018-2023. “Semuanya baik-baik saja. Yang kurang adalah uang. Mari
gotong-royong mengumpulkannya.” (Sumber:
https://madealikade.wordpress.com/2017/11/02/dari-adat-ke-politik/; disadur dari Buku “Dari
Adat ke Politik oleh Nur Iman Subono)

Anda mungkin juga menyukai