PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik, penyakit ini bawaan sejak lahir
yang didapat dari kedua orang tuanya yang diwariskan secara autosom karena adanya
kelainan hemoglobin, yang disebabkan karena kurang atau tidak terbentuknya satu atau
Hemoglobin merupakan zat didalam sel darah merah yang mengangkut oksigen dari paru-
paru keseluruh jaringan tubuh dan memberi warna merah pada eritrosit. Gejala dari
penyakit thalasemia menyerupai gejala pada penyakit anemia yang ditandai dengan gejala
lemah, letih, dan lesu. Dapat diartikan juga bahwa thalasemia merupakan penyakit anemia
hemolitik, yang disebabkan karena Hb yang tidak normal akibat gangguan pembentukan
jumlah rantai globin struktur Hb sehingga menyebabkan umur eritrosit kurang dari 120
hari sebagai akibat dari kerusakan sel darah merah didalam pembuluh darah
(Susilaningrum, 2013).
World Health Organization (WHO) menyatakan sekitar 250 juta penduduk dunia
(4,5%) membawa gen thalasemia, sedangkan 80-90 juta diantaranya membawa gen
8% dengan prevalensi tertinggi berada di Provinsi Aceh, DKI Jakarta, Sumatera Selatan,
Gorontalo, Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Barat, Maluku dan Papua Barat. Jika
persentase mencapai 5% dengan angka kelahiran 23 per 1000 dari 240 juta penduduk,
1
2
maka diperkirakan ada sekitar 3000 bayi penderita thalasemia yang lahir setiap tahunnya
Penanganan thalasemia terdiri atas transfusi darah, terapi kelasi besi dan terapi
transfusi darah seumur hidup. Pemberian transfusi darah yang terus menerus sering
mengakibatkan penimbunan besi dalam tubuh yang ditandai dengan nyeri abdomen, diare
mengalami gangguan pertumbuhan dan malnutrisi, dimana berat badan dan tinggi badan
menurut umur berada dibawah persentil 50 dengan mayoritas gizi buruk. Aspek klinis ini
tambahan dan dampak psikologis pada keluarga dan penderita (Santoso, 2017).
maka dampak penyakit dan penanganannya semakin meningkat secara fisik maupun
psikologis. Dampak fisik yang dialami berupa perubahan warna kulit menjadi kehitaman,
pucat, rambut menipis, dan perut membesar dimana hal ini dapat berdampak pada
masalah psikologis. Masalah psikologis yang dapat muncul meliputi perasaan berbeda
dengan teman sebayanya, perasaan sensitif, perasaan cemas dan rasa takut pada
lingkungannya, bosan, jenuh, putus asa. Keadaan tersebut membuat kehilangan rasa
percaya diri dalam berinteraksi sosial, hingga dapat memengaruhi psikososial penyandang
thalasemia.
hubungan interpersonal yang tidak stabil, kemampuan bekerja yang buruk, dan
berada dalam kondisi tersebut akan merasakan situasi yang menekan (Nurvitasari, 2019).
Reaksi psikososial yang dialami penderita ini terutama anak-anak sering kali
memunculkan sikap rendah diri yang mempengaruhi karakteristik kepribadian dan psikis.
Beberapa hambatan psikis dan sosial ini akan mempengaruhi perkembangan diri,
keyakinan diri terhadap masa depannya karena penyakit yang dideritanya. Jika reaksi
psikososial yang ditunjukkan anak positif, anak akan memberi dorongan, kekuatan dan
keberanian untuk bertindak positif dalam bentuk penerimaan dan kesiapan menjalankan
tugas atau melakukan sesuatu. Sebaliknya reaksi psikososial yang ditunjukkan anak
negatif, maka beban emosi pun muncul dan mendorong respon negatif dalam bentuk
poliklinik thalasemia RSUD Sumedang didapatkan bahwa kurang dari 31% anak
internal, 7,7% anak mengalami masalah eksternal dan 11,5% anak mengalami masalah
akan merasa cepat putus asa untuk menjalani transfusi darah rutin, enggan minum obat
faktor lama pengobatan, pendapatan keluarga, serta tingkat pendidikan orang tua, usia
anak, dan jenis kelamin (Adriani, Rusmil, & Hilmanto 2012). Pengalaman awal pasien
4
pada individu, terutama untuk masa-masa yang akan datang. Pengalaman awal ini sebagai
bagian penting dan bahkan sangat menentukan bagi kondisi mental individu di kemudian
hari. Apabila pengalaman individu tentang transfusi darah atau kemoterapi kurang, maka
transfusi darah atau kemoterapi selanjutnya (Kaplan & Sadock dalam Mulyani, 2011).
Kondisi pemberian transfusi dalam jangka waktu lama pada anak thalasemia tidak
intergritas sosial dan masalah sekolah (Rahayu, 2012). Hasil dari penelitian Adji (2010)
yang dilakukan di Rumah Sakit Sanglah Bali membuktikan bahwa 37,5% anak yang
mengalami penyakit kronis mengalami masalah perilaku, selain itu manifestasi klinis
Jumlah pasien di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru pada tahun 2017 dengan
thalasemia sebanyak 1095 orang sedangkan pada tahun 2018 sebanyak 1020 orang
(Rekam Medis RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, 2019). Hasil studi pendahuluan
menggunakan youth pediatric symptom checklist terhadap 7 orang tua dengan anak
anak (71,4%) merasa sedih, 4 anak (57,1%) tampak murung, 6 anak (85,7%) sulit
bahwa anaknya sering melamun, terkadang terlihat murung atau tidak bersemangat dan
malu untuk bermain dengan teman sebayanya walaupun orang tua sudah menasehati anak
tersebut agar tetap semangat untuk bermain dengan teman-temannya. Hal ini berdampak
pada program pengobatan. Anak menjadi tidak semangat saat dilakukan terapi, mood
5
menurun, tidak mau minum obat, takut untuk datang ke rumah sakit serta menolak jika
diajak kerumah sakit. Hasil wawancara dengan 2 orang perawat di ruangan thalasemia
RSUD Arifin Achmad mengatakan ada sebagian anak yang menolak untuk dilakukan
tindakan medis, tidak mau diajak komunikasi, tampak murung dan menjawab pertanyaan
pertanyaan dari perawat hanya seperlunya saja. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk
B. Rumusan Masalah
Terjadinya penyakit thalasemia sebagai penyakit genetik dan kronis yang diderita
anak tentu saja akan mempengaruhi fungsi fisik dan psikologis pada penderita dalam
putus asa. Keadaan perasaan sensitif, perasaan cemas dan rasa takut pada lingkungannya
membuat kehilangan rasa percaya diri dalam berinteraksi sosial, hingga dapat
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor lama pengobatan, lama
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan dasar untuk mengetahui gambaran
Arifin Achmad Pekanbaru. Serta diharapkan menjadi masukan bagi ruangan untuk
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan bagi mahasiswa kesehatan,
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi pasien dan keluarga dalam
menjalani pengobatan pada anaknya sehingga anak terhindar dari masalah psikososial.
7
Penelitian ini diharapkan bagi peneliti selanjutnya sebagai bahan acuan untuk
diharapkan dapat melanjutkan penelitian dengan faktor lain seperti faktor lingkungan.