3.1. Pendahuluan
Gelombang sinusoidal merupakan bentuk gelombang AC yang paling penting. Hal ini karena listrik
dibangkitkan dari generator sinkron besar di pusat-pusat pembangkit dalam bentuk gelombang
sinusoidal. Daya didistribusikan ke beban-beban, baik residensial, bisnis, maupun industri, juga dalam
bentuk tegangan sinusoidal.
Dalam bentuk standar, sinyal/gelombang sinusoidal dinyatakan dengan fungsi cosinus, yaitu
𝑣(𝑡) = 𝐴 cos(𝜔𝑡 + 𝜃) (0.1)
dimana 𝑣(𝑡) adalah nilai sesaat sinyal sinusoidal, 𝐴 adalah nilai maksimum/puncak sinyal, 𝜔𝑡 adalah
argument sinyal, 𝜔 adalah frekuensi angular sinyal, dan 𝜃 adalah sudut fase sinyal.
Persamaan (3.1) merupakan representasi sinyal dalam domain waktu. Kelemahan representasi
sinyal dalam domain waktu ini adalah kurangnya fleksibilitas dalam operasi aritmatika dua sinyal
sinusoidal atau lebih. Oleh karena itu, sinyal sinusoidal dalam rangkaian AC pada umumnya dinyatakan
dalam domain frekuensi atau phasor. Phasor adalah bilangan kompleks untuk merepresentasikan
magnitudo dan sudut fase sebuah sinyal sinusoidal. Ekivalensi representasi dalam domain waktu di
Persamaan (3.1) dengan bentuk phasor-nya adalah sebagai berikut,
𝑣(𝑡) = 𝐴 cos(𝜔𝑡 + 𝜃) ↔ 𝐕 = 𝐴∠𝜃 (0.2)
Bentuk 𝐴∠𝜃 merupakan bentuk polar dari phasor 𝐕. Selain dalam bentuk polar, sebuah phasor dapat
juga dinyatakan dalam bentuk rectangular. Bentuk rectangular dari 𝐕 adalah 𝑎 + 𝑗𝑏. Ilustrasi relasi
antara bentuk polar dan rectangular 𝐕 dalam bidang kompleks ditunjukkan pada Gambar 3.1.
Berdasarkan ilustrasi di Gambar 3.1, konversi dari bentuk rectangular ke polar dilakukan melalui
persamaan berikut,
𝐴 = √𝑎2 + 𝑏 2 (0.3)
𝑏
𝜃 = tan−1 (0.4)
𝑎
q
Sumbu riil Sumbu riil
a
Bentuk polar Bentuk rectangular
Sedangkan konversi dari bentuk polar ke bentuk rectangular dilakukan melalui persamaan berikut,
𝑎 = Re{𝐕} = 𝐴 cos 𝜃 (0.5)
𝑏 = Im{𝐕} = 𝐴 sin 𝜃 (0.6)
Apabila diketahui dua sinyal sinusoidal yang dinyatakan dengan phasor berikut,
𝐕1 = 𝑎 + 𝑗𝑏 = 𝐸∠𝜃 dan 𝐕2 = 𝑐 + 𝑗𝑑 = 𝐹∠𝜙
Operasi aritmatika yang dapat dilakukan pada kedua sinyal tersebut adalah sebagai berikut,
1. Penjumlahan
𝐕1 + 𝐕2 = (𝑎 + 𝑗𝑏) + (𝑐 + 𝑗𝑑) = (𝑎 + 𝑐) + 𝑗(𝑏 + 𝑑) (0.7)
2. Pengurangan
𝐕1 − 𝐕2 = (𝑎 + 𝑗𝑏) − (𝑐 + 𝑗𝑑) = (𝑎 − 𝑐) + 𝑗(𝑏 − 𝑑) (0.8)
3. Perkalian
𝐕1 𝐕2 = (𝐸∠𝜃)(𝐹∠𝜙) = 𝐸𝐹∠(𝜃 + 𝜙) (0.9)
4. Pembagian
𝐕1 𝐸∠𝜃 𝐸
= = ∠(𝜃 − 𝜙) (0.10)
𝐕𝟐 𝐹∠𝜙 𝐹
5. Konjugasi
𝐕1∗ = (𝑎 + 𝑗𝑏)∗ = 𝑎 − 𝑗𝑏
(0.11)
𝐕1∗ = (𝐸∠𝜃)∗ = 𝐸∠ − 𝜃
A. Impedansi, Tegangan dan Arus Pada Rangkaian AC
Impedansi adalah rasio phasor tegangan terhadap phasor arus pada rangkaian AC. Karena tegangan dan
arus pada rangkaian AC adalah besaran vektor, impedansi pun akan berupa bilangan vektor yang
mempunyai magnitudo dan sudut fase. Oleh karena itu, impedansi juga dapat dinyatakan dalam bentuk
rectangular yang mempunyai komponen riil dan komponen imajiner. Impedansi pada dasarnya adalah
bentuk yang lebih umum dari resistansi.
Apabila tegangan dan arus pada sebuah elemen rangkaian AC adalah
𝐕 𝑉𝑚 ∠𝜃 𝑉𝑚
𝐙= = = ∠(𝜃 − 𝜙) Ω (0.13)
𝐈 𝐼𝑚 ∠𝜙 𝐼𝑚
Besaran yang menjadi kebalikan dari impedansi, yaitu admitansi, dinyatakan sebagai berikut,
𝟏 𝐈 𝐼𝑚
𝐘= = = ∠(𝜙 − 𝜃) Ω (0.14)
𝒁 𝐕 𝑉𝑚
Hubungan antara tegangan, arus, dan impedansi pada resistor, induktor, dan kapasitor di rangkaian AC
dirangkum dalam Tabel 3.1. Gambar 3.2 menunjukkan diagram phasor tegangan/arus dan impedansi
berdasarkan Tabel 3.1.
.Tabel 0.1. Tegangan, arus, dan impedansi pada elemen listrik di rangkaian AC
Resistor
+ 𝑣(𝑡) 𝐕
𝑖𝑅 (𝑡) = 𝐙𝑅 =
v(t) iR(t) 𝑅 𝐈𝑅
𝐴 𝐴∠𝜃
- = cos(𝜔𝑡 + 𝜃) A =
𝑅 𝐴
𝐴 𝑅 ∠𝜃
𝑣 = 𝐴 cos(𝜔𝑡 + 𝜃) V
𝐈𝑅 = ∠𝜃 𝐴 =𝑅Ω
𝑅
𝐕 = 𝐴∠𝜃 V
Induktor
+ 1 𝐕
𝑖𝐿 (𝑡) = ∫ 𝑣(𝑡) 𝑑𝑡 𝐙𝐿 =
𝐿 𝐈𝐿
v(t) iL(t) 𝐴 𝐴∠𝜃
= sin(𝜔𝑡 + 𝜃) =
𝜔𝐿 𝐴 0
- 𝐴 𝜔𝐿 ∠(𝜃 − 90 )
= cos(𝜔𝑡 + 𝜃 − 900 ) A = 𝜔𝐿∠900
𝑣 = 𝐴 cos(𝜔𝑡 + 𝜃) V 𝜔𝐿
𝐴 = 𝑗𝜔𝐿 Ω
𝐕 = 𝐴∠𝜃 V 𝐈𝐿 = ∠(𝜃 − 900 ) A
𝜔𝐿
Kapasitor
+ 𝑑𝑣(𝑡) 𝐕
𝑖𝐶 (𝑡) = 𝐶 𝐙𝐶 =
iC(t) 𝑑𝑡 𝐈𝐶
v(t)
= −𝜔𝐶𝐴 sin(𝜔𝑡 + 𝜃) 𝐴∠𝜃
- =
= 𝜔𝐶𝐴 cos(𝜔𝑡 + 𝜃 + 900 ) A 𝜔𝐶𝐴∠(𝜃 + 900 )
𝑣 = 𝐴 cos(𝜔𝑡 + 𝜃) V 1
𝐈𝐶 = 𝜔𝐶𝐴∠(𝜃 + 900 ) A = ∠ − 900
𝜔𝐶
𝐕 = 𝐴∠𝜃 V 1
= Ω
𝑗𝜔𝐶
Tabel 3.1 dan Gambar 3.2 mengindikasikan bahwa impedansi pada induktor dan kapasitor
menyebabkan pergeseran sudut fase, sehingga terjadi perbedaan sudut fase antara arus dan tegangan.
Pada induktor, arus tertinggal dari tegangan sebesar 900, sedangkan pada kapasitor arus mendahului
tegangan sebesar 900. Selain itu, impedansi pada induktor dan kapasitor juga dipengaruhi oleh frekuensi
𝜔. Hal ini berbeda dengan impedansi pada resistor yang tidak menyebabkan pergeseran fase dan tidak
dipengaruhi oleh frekuensi. Magnitudo impedansi pada induktor disebut sebagai reaktansi induktif
𝑋𝐿 , dimana 𝑋𝐿 = 𝜔𝐿 dan magnitudo impedansi pada kapasitor disebut sebagai reaktansi kapasitif 𝑋𝐶 ,
dimana 𝑋𝐶 = 1/𝜔𝐶.
Pada rangkaian kombinasi (𝑅𝐿, 𝑅𝐶, 𝑅𝐿𝐶 dengan berbagai konfigurasi), beda sudut fase antara tegangan
dan arus akan mengikuti 0 < (𝜃 − 𝜙) < 900 , dimana 𝜃 adalah sudut fase tegangan dan 𝜙 adalah sudut
fase arus. Pada rangkaian 𝑅𝐿𝐶, (𝜃 − 𝜙) ditentukan oleh nilai 𝑋𝐿 dan 𝑋𝐶 . Apabila 𝑋𝐿 > 𝑋𝐶 , akan berlaku
0 < (𝜃 − 𝜙) < 900 , dimana arus tertinggal dari tegangan. Sebaliknya, apabila 𝑋𝐿 < 𝑋𝐶 , arus akan
mendahului tegangan dengan 0 < (𝜃 − 𝜙) < −900. Kondisi khusus terjadi apabila 𝑋𝐿 = 𝑋𝐶 , dimana
tidak ada beda fase antara tegangan dan arus, atau (𝜃 − 𝜙) = 0.
IR V ZR
Sumbu riil Sumbu riil
(a) (b)
IL ZC
Gambar 0.2. Diagram phasor resistor, induktor, dan kapasitor: (a) tegangan/arus, (b) impedansi
Untuk rangkaian yang tersusun atas beberapa impedansi, impedansi ekivalen dapat dihitung
sebagaimana perhitungan resistansi ekivalen pada rangkaian DC. Impedansi ekivalen susunan seri
impedansi (Gambar 3.3 (a)) adalah sebagai berikut,
𝐙𝑒𝑞 = 𝐙1 + 𝐙2 + ⋯ + 𝐙𝑛 (0.15)
Sedangkan impedansi ekivalen susunan paralel impedansi (Gambar 3.3 (b)) adalah sebagai berikut,
1
𝐙𝑒𝑞 =
1 1 1 (0.16)
𝐙1 + 𝐙2 + ⋯ + 𝐙𝑛
Z1 Z2 Zn
Zeq Zeq Z1 Z2 Zn
(a) (b)
Impedansi ekivalen susunan kombinasi seri-paralel dapat dengan mudah dicari menggunakan
kombinasi Persamaan (3.15) dan (3.16). Perhitungan tegangan dan arus adalah sebagaimana pada
rangkaian DC, hanya saja perhitungan pada rangkaian AC melibatkan operasi aritmatika bilangan
kompleks.
Pada unit praktikum ini, akan diamati sebuah rangkaian AC yang melibatkan susunan seri dan
paralel impedansi. Konfigurasinya ditunjukkan pada Gambar 3.4.
I1 Z1
I2 I3
+ V1 - + +
V V2 Z2 V3 Z3
- -
Tegangan dan arus pada rangkaian di Gambar 3.4 dapat dicari dengan metode yang mirip dengan
metode analisis rangkaian DC. Nilai impedansi totalnya adalah
𝐙𝑒𝑞 = 𝐙1 + 𝐙2 ||𝐙3 (0.17)
Sedangkan nilai ketiga arus pada rangkaian adalah
𝐕 𝐙3 𝐈1
𝐈1 = 𝐈2 = 𝐈3 = 𝐈1 − 𝐈2 (0.18)
𝐙𝑒𝑞 𝐙3 + 𝐙2
Dengan hukum Ohm, tegangan pada rangkaian dapat dengan mudah dihitung sebagai berikut,
𝐕1 = 𝐈1 𝐙1 𝐕2 = 𝐈2 𝐙2 𝐕3 = 𝐈3 𝐙3 (0.19)
Ingat bahwa cetak tebal pada simbol tegangan, arus, dan impedansi menandakan bahwa ketiganya
adalah besaran vektor (phasor) yang mempunyai magnitudo dan sudut fase. Impedansi 𝐙1 , 𝐙2 , dan 𝐙3
dapat berupa 𝐙𝑅 , 𝐙𝐶 , 𝐙𝐿 , atau kombinasi dari ketiganya.
V Z2 RL
Z1 Z1
+
Z2 V Z2
ZTh VTh
-
(a) (b)
ZTh
I
VTh RL
(c)
Gambar 0.6. Ilustrasi pembentukan rangkaian ekivalen Thevenin untuk rangkaian di Gambar 3.5
D. Teorema Transfer Daya Maksimum pada Rangkaian AC
Teorema transfer daya maksimum menyatakan bahwa untuk rangkaian dengan sumber AC, daya
maksimum akan ditransfer ke beban ketika impedansi beban sama dengan konjugat dari impedansi
Thevenin rangkaian tersebut. Perhatikan rangkaian ekivalen Thevenin di Gambar 3.7.
ZTh
VTh = VThq ZL
Apabila impedansi Thevenin-nya adalah 𝐙𝑇ℎ = |𝐙𝑇ℎ |∠𝜃, transfer daya maksimum terjadi ketika
𝐙𝐿 = |𝐙𝑇ℎ |∠ − 𝜃 (0.20)
6. Hitung tegangan Thevenin secara teoritis. Catat di laporan dam bandingkan dengan hasil
simulasi.
7. Lihat Gambar 3.10. Hitunglah impedansi Thevenin (ZTh). Nyatakan komponen riil 𝐙𝑇ℎ sebagai
resistansi 𝑅𝑇ℎ dan komponen imajiner-nya sebagai reaktansi 𝑋𝑇ℎ . Catatlah hasilnya di lembar
pengamatan.
2 2
1 𝑉𝑜(𝑝−𝑝) 𝑉𝑜(𝑝−𝑝)
2 ( ( 2 )) ( 8 ) 2 (0.21)
𝑉𝑜(rms) √2 𝑉𝑜(𝑝−𝑝)
𝑃𝐿 = = = =
𝑅𝐿 𝑅𝐿 𝑅𝐿 8𝑅𝐿
UNIT 3
Catatan: untuk gambar, praktikan di dorong untuk menyimpan data dalam bentuk excel (export plot
CSV) dan mem-plot di excel agar font di sumbu X dan Y bisa diatur serta tebal garis juga bisa diatur.