Anda di halaman 1dari 399

2

Dari

Dwi Indriati, Bina Lohita Sari,


Sri Wardatun, Kasman Marsuan,
Ilham Saputra Fauzi, Irvan Lesmana

Hibah Pengabdian kepada masyarakat


Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas Pakuan
Tahun 2021
SYIFA NURIL IZZATILLAH & IIS SUMIATI
Tentang Bumi dan Semua Cerita Diatasnya

Penulis :
Syifa Nuril Izzatillah & Iis Sumiati
Tata letak: Aldi Nugroho
Penyunting naskah: Ilham Saputra Fauzi
Ilustrasi Sampul dan isi: Mario Yohanes

Diterbitkan melalui:

Diandra Kreatif (Kelompok Penerbit Diandra)


Anggota IKAPI (062/ DIY/ 08)
Jl Melati 171, Sambilegi Baru Kidul, Maguwoharjo,
Depok, Sleman, Yogyakarta.
Email: diandracreative@gmail.com
Telpon: 0274 485222 (fax)
www.diandracreative.com
Instagram: @diandraredaksi @diandracreative
Twitter: @bikinbuku
Facebook: www.facebook.com/diandracreativeredaksi

Cetakan 1, November 2021


Yogyakarta, Diandra Kreatif, 2021
400 hlm, 13 x19 cm

Hak Cipta dilindungi Undang-undang


All right reserved

Isi di luar tanggung jawab percetakan


Cerpen
Diare, Pucuk Daun
dan Baikan
Di dalam ruangan besar dan luas yaitu
ruangan kelas XII terdapat siswa siswi yang
sedang serius memperhatikan guru nya yang
sedang menjelaskan pelajaran kimia.
Tuuut csss...
“Suara apa tuh?” Tanya Sarina kepada Liana
yang duduk disebelahnya.
“Sttt jangan bilang-bilang, awas aja kalo
bilang-bilang aku gak bakal maafin!” Ancam
Liana kepada Sarina
Untung yang lain ga nyadar kalo aku kentut.
Ujar Liana dalam hati
Duuut...

8
Aduh kenapa kentut lagi, kalo kecium bau
sama orang lain gimana? Ujar Liana dalam hati
dengan wajah pucat.
Sedangkan Sarina menutup hidungnya
karena mencium bau busuk, dan sebagian lagi
ada yang menutup hidung, namun tidak tau
siapa yang kentut.
Daritadi si Liana kentut terus, tersiksa ni
hidung, keluh Sarina.
“Kenapa sih daritadi kentut terus?” Tanya
Sarina pelan
“Diem gak usah nanya!, entar kalo ketauan
sama semua gimana?apa lagi disini banyak
banget ada 50 siswa sama Bu guru 51” Larang
Liana cemas
Untung duduknya paling belakang, di pojik
lagi jadi gak kedengeran sama orang lain kalo
kentut.
Sementara sang guru masih sibuk
menjelaskan dengan suara lantang hingga
suara kentut Liana tidak terdengar.
Tuuut csss...

9
Aduh kentut lagi, ini perut daritadi
ngebulukbuk terus, padahal di rumah udah
BAB, kenapa pengen BAB lagi? Mana bau telor
busuk. Gerutu Liana
Sementara Sarina kembali menutup hidung.
Kasian juga sih Sarina daritadi nyium bau
kentut, sabar yah Sarina, tapi anggap aja ini
hukuman buat kamu, karena pacar aku suka
sama kamuarina, tapi anggap aja ini hukuman
buat kamu, karena pacar aku suka sama
kamu, kan jadi kesel, udah mah pacar aku
suka minta duit buat beli kuota, ternyata
emang rugi yah punya pacar, entar aku putusin
ah. Keluh Liana dalam hati

“Ibu maaf, saya ijin ke kamar mandi boleh


gak?” Ijin Liana sambil mengacungkan telunjuk
“Oh boleh silahkan” Jawab sang Guru
Liana langsung lari ke luar kelas dengan
terburu-buru karena merasa kebelet, Liana
menutup pintu kamar mandi, langsung
menyalakan keran

10
Sedangkan di dalam kelas, Teman
sekelasnya Liana mencium bau tidak sedap,
ternyata bau kentut Liana sudah menyebar
kemana mana
“Bau apa nih?” tanya salah satu murid
cowok diantara mereka
“Bau telor busuk” jawab yang lainnya
“Iya ni bau kentut!” ujar pacarnya Liana
“Siapa sih yang kentut? Tanya Eva
“Kayaknya si Liana” Ujar Via
“Cantik-cantik kentutnya bau banget sih,
pacar sendiri lagi yang kentut!” ujar pacarnya
Liana sedikit malu
“Kok berisik, Ibu masih ngejelasin nih,
dengerin coba!” seru guru tersebut
“Iya Bu maaf tadi bau kentut!” ujar salah
satu murid
Saat pulang sekolah, mereka berhamburan
keluar gerbang, Sarina yang biasanya berjalan
di samping Liana kini berjalan dibelakang
Liana, karena ia tau Liana teman dekatnya
sedang marah kepadanya karena pacar Liana

11
pernah curhat dia menyukai Sarina karena
lebih canti dibanding Liana
Dengan keberanian diri, Sarina berjalan
disamping Liana lalu bertanya
“Liana kamu lagi sakit bukan?” katanya
“Udah sakit perut, sakit hati juga lagi,
mencret tau gak gara-gara pacar aku suka
sama kamu!” jawab Liana gusar
“Tapi Liana maafin aku dong, aku kan
gasuka sama pacar kamu, salah pacar kamu
kenapa pacar kamu sukanya sama yang cantik”
Ucap Sarina
Liana terdiam
“Atau mungkin pacar kamu playboy” Ujar
Sarina
“Tau ah bodo amat sakit perut bye!” respon
Liana
Liana cepat-cepat lari menuju rumah nya,
lalu berlari ke toilet.

Esok harinya di sekolah

12
“Sekarang kalian kerjakan paket MTK hal.
187, habis itu kumpulkan ke Ibu, oh iya Liana
ga masuk soalnya lagi sakit Diare, tadi Ibunya
Liana telfon ke saya, do’ain aja ya semoga cepat
sembuh.”
“Aamiin” Sahut mereka
“Kasian Liana” Ujar Sarina
Yah gak bisa minta duit lagi dong, kalo si
Liana ga masuk sekolah, ya kali kalo ke
rumahnya, ntar ketauan orangtua nya
dimarahin lagi, gumam pacarnya Liana
Di rumah Sarina
Sarina sedang memikirkan bagaimana
caranya untuk membantu teman dekatnya agar
cepat sembuh dari diarenya.
“Kira-kira apa yah, apa beliin obat? Tapi
percuma dibeliin obat gak bakal diminum,
Liana gak suka banget sama obat.”
“Oh iya aku kan waktu itu dikasih tau sama
nenek aku, kalo diare itu bisa pake pucuk daun
jambu.” Ujar sarina

13
Sarina langsung berjalan keluar rumah dan
menghampiri pohon jambu yang rimbun dan
subur, jambunya berwarna hijau muda yang
berarti sudah matang
“Wah jambunya udah banyak yang matang,
ambil ah 2 biji, pucuknya 3 aja apa yah, 3 aja
deh”
Sarina berjalan ke dapur
“Ibu, Sarina minta buah jambu ya 2, sama 3
pucuk daun!” pinta Sarina kepada ibunya yang
sedang masak
“Iya sok ajah, jambu nya udah banyak yang
matang?”
“Udah” Jawab Sarina
“Yaudah yang udah matang tolong masukin
ke plastik!” perintah Ibunya sambil
menyodorkan plastik hitam berukuran sedang
“Oke” jawab Liana
Setelah itu Liana langsung merebus 3 pucuk
daun jambu, lalu menuangkan nya ke dalam
gelas kecil, lalu menuangkan madu agar tidak
terlalu pahit dan ia aduk.

14
Sesampainya di rumah Liana
Tok…Tok…Tok
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” jawab Liana membuka
pintu
“Eh Sarina, mau ngapain?” tanya nya sedikit
jutek
“Ini buat kamu, biar cepet sembuh.” Sarina
menyodorkan gelas dan sebuah jambu
berwarna hijau muda
“Baik amet!” respon Liana
“Yaudah aku pulang yah, jangan lupa
gelasnya balikin, bye.”
Sarina langsung berjalan pulang ke
rumahnya, karena ia tau kalau Liana masih
marah dengan nya, dan ia juga malas melihat
wajah Liana yang jutek.
“Gatau diri tuh orang udah dikasih jambu,
sekalian sama pucuk-pucuknya tetp aja masih
marah!” Gerutu Sarina kesal lalu masuk ke
dalam rumahnya.

15
Hari ke 2, hari ke 3, hari ke 4 Sarina masih
setia mengantarkan pucuk daun jambu hangat
untuk Liana.
“Assalamualaikum Liana!”
“Waalaikumsalam Sarina, sini masuk!” ajak
Liana
“Tumben boleh?” tanya Sarina jutek
“Maafin aku yah! Udah sering marah sama
kamu, padahal kamu baik sama aku, jadi
gaenak maaf banget yah, makasih banyak aku
jadi cepet sembuh, udah ga mencret mencret
lagi!” ucap Liana sambil memeluk Sarina
“Iya udah aku maafin, kok.” jawab Sarina,
mereka lalu duduk di sofa
“Ibu sama Bapak kamu kemana masih
kerja?” tanya Sarina
“Iya mereka masih kerja dari pagi sampai
malam, jadi aku disini sendiri.” jawab Liana
“Kasian, gitu ya resiko punya orang tua yang
sibuk, oh iya kamu kenapa bisa diare?” tanya
Sarina

16
“Iya soalnya aku sebelum diare makam
kacang 2 piring penuh, sering makan telor,
makan pedes wae, besok nya tiba-tiba mencret
wae.” ujar Liana
“Pantes kamu pas kentut bau telor busuk!”
celetuk Sarina.
“Hahaha, maaf yah!”
“Lagian itu makan kacang banyak banget
nyampe 2 piring.”
“Iya kan aku suka banget sama kacang”
“Seengganya jangan berlebihan makan
kacangnya, jadi mencret kan!” ujar Sarina
menasehati
“Aku sekarang seneng banget udah putusin
pacar aku, soalnya gaada yang mintain duit.”
“Hahaha,” mereka tertawa bersama
walaupun gak lucu, Sarina tertawa karena
membayangkan wajah Liana yang sedang
kentut di sekolah.
Prepet Prepet Prepet
“Suara apa tuh?” tanya Sarina terkejut

17
“Hehe tadi aku nahan kentut, tapi kentutnya
maksa keluar.”
“Beneran bau!” keluh Sarina
“Maaf yah tadi aku abis makan jengkol!”
Sarina hanya menggeleng-gelengkan kepala.

Tamat

18
Herbal Yang
Tertunda
Suara gema takbir terdengar hingga ke
penjuru langit, lantunan takbir Allahu Akbar
membuyarkan lamunan gadis cantik bernama
Izzira Syaimah, Zira panggilannya. Sudah 2
tahun bertemu Idul Fitri, Zira tidak bisa pulang
ke rumah karena jaraknya yang tidak
memungkinkan, apalagi dalam kondisi seperti
ini. Dalam satu pekan ini saja, Izzira
merasakan lelah, letih, lesu, dan tidak berdaya.
Efek dari kerja keras dan semangat yang tinggi
membuat Izzira rapuh saat Idul Fitri kali ini.
Di Kost yang jauh dari orang tua dan
saudara membuat Zira semakin teguh
pendirian bahwa ia harus jadi manusia
19
seutuhnya tanpa adanya kata benalu. Kerja di
Café sekitar wilayah Jogja dan Alhamdulillah
dapat menghidupi dirinya sekaligus celengan
ayamnya yang telah usang, ya meskipun Zira
mendapat beasiswa, namun tidak dipungkiri
jika biaya sehari-hari harus ia tanggung
sendiri.
Bukan orang tuanya yang tidak sayang,
bukan. Namun permasalahan keluarganya
yang begitu miris sangat berlawanan dengan
cita-cita yang Zira kelak ingin menjadi seorang
dokter, seseorang yang dapat menyembuhkan
segala macam penyakit, menyembuhkan
keluarganya juga dapat berjasa untuk orang
lain. Ambisi itulah yang membuat Zira ingin
merubah nasib dan kelak akan membuktikan
jika ia mampu untuk sukses. Ambisinya
menutupi banyak hal dalam perjalananya,
tidak jarang ia harus menghirukan
kesehatannya demi masuk kelas, tidak boleh
ada satu ada absen di catatannya. Yah, tidak
hanya itu, ada satu lagi..

20
“ZIRA, bantuin dong! Ya ya ya?”
Seseorang menghadangnya di Lorong kelas,
sedikit lagi ia sampai.
“Aku sedang tidak enak badan Lar,”
Jelas Zira setengah tidak semangat
menghadapi Lara, tangannya sesekali memijat
pelipisnya demi mengurangi sakit kepala.
“Tugas Lara masih banyak yang belum
selesai!” Ucap Lara sedikit memelas.
“EH LARA! Kamu mau saya bejek kaya
oncom!?” Irsyad datang menengahi mereka
berdua.
Irsyad adalah teman yang paling
mengerti Zira, dalam keadaan apapun. Irsyad
tidak akan meninggalkan Zara. Lawannya
adalah Lara, dia adalah ketua dari Geng-geng
dikampus, yang sudah menjadi kesehariannya
menganggu Zira seenaknya.
“EH EH, dateng-dateng udah marah aja!”
Ketus Lara, matanya menatap tidak suka.
“Zira lagi gak enak badan, gak bisa liat
mukanya pucet begitu?!” Intonasi Irsyad agak

21
meninggi, menunjuk wajah Zira yang memang
lebih pucat dari biasanya.
Lara menghela nafas Panjang, tidak
peduli, “Lara gak peduli ya, pokoknya Zira
harus mengerjakan tugas Lara. NIH!” Tangan
Lara menyodorkan tugasnya dengan paksa
kearah Zira, balik kanan lalu pergi tanpa
memperdulikan dua orang yang menatapnya
gemas.
Kenapa Lara bisa seenaknya seperti
kepada Zira? Karena Zira bekerja di Café milik
ayahnya Lara. Karena status itulah membuat
Lara seakan berada setingkat lebih tinggi, dan
terlalu beresiko untuk Zira untuk macam-
macam dengan Lara.
Masih di Lorong yang sama, Irsyad
menyandarkan badan di dinding lorong,
menghela nafas panjang, dengan sesekali
melihat Zira yang masih dengan wajah
pucatnya melihat lembaran kertas
ditangannya.

22
“Zir, lawan dong dia tuh seenaknya sama
kamu!” akhirnya Irsyad buka suara.
“Aku gak bisa Syad,” Zira mengambil
nafas panjang, matanya berkaca-kaca “Aku
takut dipecat kalau harus lawan Lara.”
Tanpa menunggu jawaban dari Irsyad,
Zira memungut beberapa kertas yang terjatuh
ketika dilempar kearahnya tadi. Uhuk…uhuk…
Zira segera menutupnya, membatin dalam diri,
sejak tadi dia menahan batuk di depan orang.
Irsyad menyerahkan beberapa lembar
kertas yang ikut ia pungut dilantai, “Kayaknya
kamu harus ke dokter, aku antar ya.”
Zira menggeleng, “Gak, aku gak apa-apa.
Lagian ini cuma sakit biasa.” Dirinya bangkit
berdiri, selesai mengambil semua tugas Lara,
“Aku hanya minta ke kamu untuk jauh dari
aku untuk saat ini.” Ucapnya, langsung pergi
dari sana tanpa menunggu jawaban dari Irsyad.
Zira hanya tidak mau sakitnya bisa
menularkan teman-temannya. Karena saat ini
sedang pandemic Covid 19, Zira menjadi

23
Paranoid. Akhirnya hari itu Zira datang ke
dokter.
Kini, keadaan Zira makin memburuk
setelah diagnosa yang diberikan dokter adalah
dia positif Covid-19—virus yang mewabah itu.
Sambil meratapi hidupnya yang malang,
berbekal uang saku yang ada karena cuti kerja,
dikecilkan oleh tetangga, dan dalam keadaan
demam tinggi pun Zira tetap mengerjakan
tugas Laura.
Dalam keterpurukan itu, Zira
kedatangan kurir yang mengirim paket
untuknya.
“Atas nama Izzira Syaimah?” Ujar kurir
itu.
“ Iya Saya Sendiri,” tanpa diduga Zira
bersin dan mengeluarkan lendir berwarna hijau
dihidung. Seketika kurir tersebut sedikit
tertawa yang ditahan dibalik maskernya.
Kemudian dengan cepat Izzira menyekanya
menggunakan tissue.
“Malu Gila.” Batin Zira dalam hati.

24
“Ini mba paketnya dan semua sudah
dibayar lunas oleh pengirim.” Kata kurir
tersebut sambil menahan tawa dan tidak lupa
juga menahan masker agar tidak melorot
karena ia tahu bahwa paket tersebut
dikirimkan kepada orang yang terpapar virus.
Kurir tersebut sampai tak mau menyentuh Zira
sekalipun malah ngibrit dari dalam keadaan
menggunakan jas hujan, sarung tangan, dan
kondisi helm tidak dibuka sama sekali. Hahaha
lucu sekali, padahalkan tinggal simpan aja
paketnya depan pintu, pikir Zira.
“Terimakasih,” Izzira berteriak kepada
kurir tersebut yang sudah menghilang
beberapa detik lalu.
Di dalam kostannya, perlahan-lahan
Zira membuka paket tersebut. Disitu juga
memang tidak dicantumkan pengirimnya.
Namun, setelah dibuka, ternyata isi paketnya
adalah berbagai macam minuman herbal,
semacam tanaman obat yang telah digodok
atau direbus dan diracik sendiri. Zira tahu itu,

25
karna sebelumnya Zira suka diberi minuman
itu oleh mamanya semasa dirumah.
Ada surat yang tercantum dalam paket
tersebut yang isinya seperti ini.
“Diminum ya jamunya, disitu ada daun
sirih merah campur jahe tanpa gula biar batuk
kamu reda. Ada juga kunyit asam biar kamu
nafsu makan, terus yang ini spesial dikasih
gula merah sedikit biar manis kayak aku
hehehehe tapi bohong, biar kamunya vit aja
dan pereda batuk juga yaitu seduhan jahe
merah campur gula merah.
“Stok jamu disitu untuk satu minggu
agar kamu cepat pulih. Jangan lupa simpan
dikulkas biar awet. Jangan minum obat kimia
terus ya, gak baik. Jangan lupa juga minum
madunya sama vitaminnya biar sehat,
semangat, cepet sembuh yaaa :)”
Zira bingung siapa pengirimnya baik
misterius itu? Kok baik sekali membuatkan
seduhan tanaman herbal untuk Zira.
Barangkali itu semua dari Irsyad, fikirnya.

26
Semakin hari keadaan Zira semakin
membaik dan dengan perbelakan yang
dicukup-cukupkan selama isoman, Zira tidak
lagi membeli obat kimia yang ternyata efek
sampingnya kurang baik, dibandingkan jamu
herbal yang ia minum tanpa efek samping
selama seminggu ini secara rutin.
Hari pelepasan isoman sudah berakhir,
ciee pelepasan hehehe. Dan akhirnya jika bisa
keluar lagi dan melanjutkan aktivitas sambil
kuliah.
“Hai Zir, gimana obat
herbalnya?Manjurkan? Bikinan aku sendiri loh
hasil searching di mbah Google, berarti
sekarang bisa dong kerjakan tugas aku,
hahahahaha yes!” bisikan dibelakang telinga
Zira sontak membuat Zira kaget dan berdiri
mematung, sedangkan orang yang berbisik
telah melenggang pergi begitu saja. Zira baru
sadar ternyata yang selama ini memberinya
Jamu adalah Lara.

27
“Emang ya herbal yang tertunda. Kalau
aja aku minum jamu dari kemarin pasti aku
langsung sembuh kali ya, tanpa efek
samping.”ucapnya dalam batin. Memang
berkat Lara ia sembuh, namun ia tidak terima,
Lara tetaplah Lara, pasti selalu ada maksud
yang terselip. Dengan hati yang jengkel juga
senang, Zira melenggang perti dan masih tetap
bersyukur telah diberi kesehatan lagi.”

Tamat.

28
Novel

29
Hari Ini
Pak Rahmani menutup buku pelajaran
matematikanya. Kebetulan pelajarannya ada-
lah pelajaran yang paling terakhir. Panas di
siang itu tidak terlalu terik cahayanya, karena
terhalang rindangnya pohon sekolah yang
menutupi sampai ke depan ruang kelas lantai
2. Murid-murid mulai merapikan buku-buk-
unya dan menunggu bel pulang berbunyi 3 kali.
“Oy, BRO! Pak Kumis dah keluar
belum?” Ryo berlari dari luar kelas dan ber-
teriak di dekat pintu kelas. Di tengah pelajaran
matematika tadi Ryo minta izin ke pak
Rahmani untuk ke kamar mandi. Namun,

30
bukannya kembali Ryo mengulur waktu untuk
tidak kembali lagi ke kelas sampai pak
Rahmani selesai mengajar.
“Gila lu ya, dari tadi kaga balik-balik ke
kelas. Boker lu ya, Yo?” salah seorang yang
merupakan ketua kelas menghampiri lantas
langsung menjitak kepalanya.
“Untung kaga dicariin pak Kumis lu tadi,
gara-gara kaga balik dari kamar mandi!”
“Aman dong berarti gue.” tawa Ryo
sambil berjalan ke mejanya dan merapikan
meja dan buku matematikanya tadi.
***
Sebelumnya
Ssssssst sssssst stttt..... Dic.. Dicky.
Kepala Ryo muncul di jendela kelas 9-I
yang paling belakang. Dicky sama sekali tidak
bergeming, perhatiannya sangat terfokus pada
komik Naruto yang sedang dibacanya, tiap
lembar, tiap sudut, tidak ada yang boleh
terlewat dari matanya yang sudah berkaca-
mata itu. Tapi untungnya ada yang menyadari

31
kepala muncul dibelakang kelas dan terus
berteriak-teriak.
“Ada guru kaga?” Ryo berseru, matanya
mengecek penjuru kelas itu apakah ada guru
atau tidak. Melihat sepertinya aman dan sudah
mendapat kofirmasi dari teman yang ada di
dalam kelas kalau guru sudah keluar akhirnya
Ryo masuk. Langkah kakinya lang-sung
menuju temannya yang sedari tadi sudah
tenggelam di dalam dunianya sendiri. Ryo
menghampiri meja Dicky, berdiri persis di
sebelahnya. Saking seriusnya membaca komik,
Dicky tidak merasakan hawa keha-diran Ryo
yang sudah berada di depannnya.
Rasa jengkel mulai merasuki tubuh Ryo.
Tak habis pikir, ia berjalan ke belakang Dicky
dengan tangan kanan dan kirinya yang sudah
siap di pinggang Dicky untuk menggelitik.
Dalam hati Ryo mulai meng-hitung,
1…2…3…ddrtttt... Sontak badan Dicky menjadi
tegak kaget, komik yang sedari tadi di tangan
entah sudah terlempar kemana. Mata-nya

32
langsung tertuju kepada sosok orang yang
tertawa keras dari belakang.
“Ehh, sialan lu, ya, ngapain lu di sini?
ada pak Kumis kan di kelas lu!” Seru Dicky
dengan Jengkel
“Dahh, lah biarin aja, tinggal sejam lagi
ini. Bosen lama-lama belajar terus. Kan kita itu
harus belajar sesuai dengan mood kita. Agar
pelajaran itu bisa masuk dengan lancar dan
deras ke dalam otak kita nanti, Ituuu…” jelas
Ryo, menirukan gaya bicara tokoh mot-ivator
besar Indonesia yang biasa di tv.
“Dih apaan, sih. Gaje.” Seruan lain
terdengar diantara mereka. Asalnya dari bela-
kang Ryo. Mereka berdua menoleh ke asal
suara.
“Apaan, sih, Zur?” Ryo balas meledek.
Ternyata itu adalah Azzuri yang sudah
menunjukkan pipi chubby-nya sudah meng-
gembung bilamana sedang marah atau kesal,
sepertinya dia terganggu dengan tingkah dua
orang aneh di hadapannya. Melihat Azzuri

33
kesal dengan dirinya, Ryo hanya tersenyum
dan tertawa kecil menanggapinya. Perlahan
tawanya reda, Ryo memperbaiki posisinya ber-
diri.
“Dah, gua pergi. Lanjut belajar, sono!”
“Ah, udah males kan jadinya buat
ngelanjutin. Lu sii rese!” Azzuri menutup bu-
ku, memperbaiki anak rambutnya.
Dengan cepat Ryo mengambil komik
yang ternyata sudah kembali tangan Dicky,
“Nih, baca komik Naruto aja. Suka kan loe?”
Tanpa harus ditanya lagi, Azzuri
langsung mengambil buku komik itu dari tan-
gan Ryo, “Thanks ya, Yo. Dicky pinjem dulu ya.
Gua balikin kalo inget.”
“Eh, eh itu buku gua Yo! Sue lu, ah! sono
napa. Sini balikin bukunya.” Protes Dicky,
meminta kembali komik miliknya.
“Dah, lu dengerin Ipod gue aja nih, dari
pada ngomel. Mumpung lagi ga ada guru, kalau
ada nanti disita.” Rayu Ryo, menju-lurkan
tangannya yang sudah berisi Ipod ke Dicky agar

34
tidak ngambek lagi. Dicky tidak bergeming dan
membiarkan Azzuri membaca buku miliknya
bersama Ryo yang nampaknya juga penasaran.
Diam-diam Dicky mengambil karet
gelang yang sudah putus di bawah mejanya.
Dipegang kedua ujung karet itu dan diarahkan
ke lengan Ryo. Ryo tak menyadari apa yang
sedang di lakukan oleh Dicky, karena Ryo ikut
sibuk mengobrol tentang buku komik itu
dengan Azzuri. Dengan kesempatan yang jara-
ng-jarang ini dan untuk membalas kejahilan
Ryo tadi, Dicky tak menyia-nyiakan kese-
mpatan.
Dengan hati-hati, Dicky mulai menarik
salah satu ujung karet itu sampai ke tingkat
maksimal karet itu bisa memanjang. Saat
dirasa sudah pas, saat semua persiapan sudah
matang. Raut wajah Dicky menam-pilkan
wajah jahat, bibirnya melipat—tanda gregetan
sudah sampai ubun-ubun untuk membalas
dendam. Hitung mundur dari dalam hati
kembali terjadi.

35
5…4…3…2....1...... lepas....TAKKK!!
Sontak badan Ryo kaget, memegangi
lengannya yang baru saja seperti kena sengat
lebah setan. Tergambar garis merah bengkak
menonjol di lengannya.
“DICKYYYYYYYYYY!!!!!!!! KAMPRET LU
YA!!!” Ryo teriak, matanya melotot melihat
Dicky yang sudah setengah lari keluar kelas.
Setelah menunaikan niatnya yang picik
itu, Dicky meluncur keluar kelas, menuruni
tangga, melintasi ladang, memasuki lembah,
menerobos Gua, dan bersembunyi di kantin.
Dengan nafas yang terengah-engah ia memes-
an minuman dingin, sambil duduk dengan
terus memperhatikan kondisi sekitar. Perasa-
annya kini senang dan dengan tertawa kecil-
kecil sambil mengatur nafasnya. Sekali-sekali
melihat ke koridor sekolah, untuk memastikan
kehadiran temannya yang sedang menjadi
pemburu dirinya.
Disisi lain, Ryo berusaha mengejar Dicky
yang jejaknya sudah tidak tercium lagi. Sudah

36
sejak menuruni tangga dirinya tidak
menemukan kemana arah Dicky berlari. Ke
koridor kanan atau kiri. Beragam strategi mulai
terbentuk di dalam otaknya. Jika Ryo mencari
ke 2 koridor, ada kemungkinan bisa bertemu
dengan guru piket. Apabila itu terjadi, maka
akan terjadi sebuah drama akting yang akan
dilakukan oleh Ryo seorang, agar dirinya tak
dikira kabur dari pelajaran—meskipun benar
begitu adanya. Masih di atas lantai yang sama,
Ryo bersandar di tiang, mengatur napasnya
yang terengah-engah. Keringat yang tembus
baju belakangnya itu juga berhasil tembus
hingga terlihat di tiang. Putus asa dan merasa
sudah terlalu lama meninggalkan kelas.
Akhirnya Ryo memut-uskan untuk kembali ke
kelasnya, ke alamnya. Meski sudah beberapa
menit, bekas karet tadi masih cukup terasa
nyeri di tangan.
“Haduuuh, merah nih tangan jadinya.
Cepat juga Dicky larinya. Awas aja tar pulang
sekolah.”

37
***
Kring Kring Kring
“Sip, ayo balik semuanya!” Ryo berseru
paling keras di kelas. Segera Tas itu dilempar
dan langsung tepat mendarat di punggung.
Semangat terus kalau urusan pulang sekolah.
Walaupun salah satu murid cerdas di sekolah,
Ryo juga merupakan murid yang becicilan atau
tidak bisa diam. Mungkin karena memang
hormon remaja yang tidak stabil. Tapi mem-ang
itulah dirinya; Jahil, iseng, becicilan, baik,
pintar, dan semangat kalau urusan pulang.
Tak lama setelah bel berbunyi. Murid
kelas satu sampai tiga mulai beramai-ramai
keluar kelas, termasuk rombongan kelas Ryo.
Suara bising mulut mulai memenuhi koridor
sekolah. Ada beberapa yang berkumpul di
tengah lapangan untuk lanjut Ekstrakulikuler.
Diluar pelajaran wajib, setiap sekolah memiliki
kegiatan ekstra yang biasanya dilakukan
setelah pulang sekolah. Ryo tidak mengikuti
Eskul apapun. Memang karena dirinya tidak

38
ingin terlalu lelah, sebab diluar sekolah saja
kegiatan seperti kursus menjadi kegiatan
tambahan yang tidak boleh dilewatkan untuk
dilakukan Ryo.
Didepan mading salah satu koridor
sekolah, Ryo berdiri dan bersandar di tembok.
Menghadap mading dan membaca semua yang
tertempel. Tempatnya berdiri adalah jalur
utama untuk keluar dari gedung sekolah yang
berbentuk persegi, simetris, dengan lapangan
di tengahnya. Dengan wajah santai, Ryo
menunggu seseorang yang memang sedang dia
incar hari ini. Perhatiannya tertuju pada salah
satu murid laki-laki yang berjalan didepannya
dengan wajah yang ditutupi dengan topi.
Sontak Ryo langsung berdiri tegak, tangan
kirinya mencengkeram pundak laki-laki itu.
Tindakan itu menghentikan laju jalan murid
laki-laki tersebut.

“Hey, hey, hey. Ketahuan kau—“


“—Dicky.” lanjut Ryo.

39
Wajah yang sedari tadi ia incar kini
persis ada di hadapannya. Penyamaran Dicky
kini terbongkar. Tidak ada jalan lain selain
menyerah.
Perlahan Dicky melepas topi yang sedari
tadi menjadi senjata pelindungnya agar tidak
ketahuan. Menatap raut wajah muka Ryo yang
nampak puas dengan hasil tangkapannya.
Dicky menyeringai lebar, terlintas ide dalam
pikirannya.
“Eh, pak Rahmani—“ mata Dicky
menatap tajam ke belakang badan Ryo,
tersenyum tipis, agak menunduk sedikit, seak-
an memberi hormat. Ryo sontak langsung
membalikkan badannya, rasa merinding lang-
sung menjalar ke seluruh tubuh. Tidak ada
siapa-siapa di belakangnya. Bangke, Ryo
mengumpat. Kembali Ryo membalikkan bada-
nnya, malang, tangkapannya sudah lari
terbirit-birit menuju pintu gerbang, sambil
terus menoleh kebelakang.

40
Menyerah menjadi kata yang paling sulit
ditemukan di kamus Ryo. Tanpa perlu aba-aba
dan pertanyaan apakah akan mengejar? Tentu,
dia akan mengejar. Rasa jengkelnya lagi-lagi
sudah sampai di ubun-ubun. Ramainya orang
yang juga menuju keluar sekolah menghambat
pengejaran terse-but. Beberapa kali Ryo hampir
menabrak orang di depannya. Kemacetan tepat
di pintu gerbang terjadi, kendaraan yang hilir
mudik untuk menjemput tidak ada yang ingin
mengalah. Ryo menyeka peluh di dahinya.
“Hiii…bener dah, ngeselin, sih Dicky,
kaga lagi dah gua ngerjain dia.” ucapnya sambil
bersandar di pohon yang tidak jauh dari pintu
gerbang, sambil menunggu pintu gerbang tidak
lagi macet.
Tidak berlangsung lama, jalan mulai
bisa dilalui lagi. Hal ini tidak akan terjadi tanpa
Pak Susanto—satpam sekolah—yang berteriak-
teriak sambil mengatur mobil jemputan yang
keluar masuk. Disela mobil terakhir yang
keluar, mangsa buruan Ryo terlihat tengah

41
rehat juga tidak jauh dari pintu gerbang.
Gelagatnya untuk pura-pura minum di tukang
es sama sekali tidak bisa keluar dari jangkauan
mata elang Ryo. Perlahan tapi pasti, untuk
mengurangi kecurigaan, Ryo berjalan perlahan,
bersamaan dengan romb-ongan geng-geng yang
biasa selalu bergerombol jika pulang. Tak lama
jarak antara mereka semakin kecil. Tanpa
harus menunggu lagi, cengkraman kini
melayang ke tali tas.
“Hahahaha, kena lu sekarang, kambing!”
seru Ryo. Seruannya membuat beberapa orang
menoleh kearah mereka. Murid-murid yang
lain hanya geleng-geleng melihat kebiasaan
atletik kedua orang ini ketika pulang sekolah.
Dicky menyeringai lebar, meminta
ampun, “Ampun Yo, ampun. Ayo udah pulang.
Bapak lu dah ada tuh. Gue nebeng, kan.”
Dengan sekantong es Marimas mangga,
ternyata mampu meredakan keringat Ryo yang
mengucur dari kening. Perdamaian kembali
terjalin diantara mereka berdua. Mereka berja-

42
lan menuju jemputan. Itu adalah bapak Ryo
yang menjemput dengan motor bebek miliknya.
Itulah kendaraan yang selalu menje-mput
Dicky dan Ryo setiap hari. Tiap pagi giliran
bapak Dicky yang mengantar ke sekolah,
begitupun sebaliknya.
“Kalian itu dari sekolahan apa main bola
sih, keringatan begitu.” bapak membe-rikan
sapu tangan miliknya untuk mengelap
keringat.
“Gak, kok, om. Tahu, nih, si Ryo, ngejar-
ngejar kaga jelas dari tadi.” Jelas Dicky,
disambung tertawa.
***

43
Kertas Yang Tertulis

Tiga tahun setelahnya.


Masa-masa sekolah menengah pertama
sudah lama lewat. Cepat atau lambat jalan
hidup setidaknya harus ditemukan pada masa
remaja, agar tidak bingung saat dewasa nanti.
Jika berpedoman dengan tokoh anime yang
sangat terkenal, yaitu Naruto, dirinya sudah
menentukan jalan ninjanya, yaitu menjadi
Hokage—sejenis presiden. Oke, kembali ke
dunia nyata. Setelah sempat lulus Ujian
Nasional dengan nilai yang cukup tinggi, tentu
Ryo dapat memasuki SMA manapun yang dia

44
inginkan. Ternyata nilai tinggi saja tidak
membuat Ryo senang, di dalam jiwanya masih
terpatri jiwa abg labil.
Dalam masa memilih ingin melanjutkan
kemana, di dalam masa itu juga sedang ramai
jurusan yang banyak peminatnya, dan sedang
booming. Salah satu jurusan yang ramai
diperbincangkan adalah Farmasi. Ya, betul. F-
A-R-M-A-S-I. Dalam artiannya kerennya,
Farmasi adalah bidang kesehatan yang
menggabungkan ilmu kesehatan dan ilmu
kimia, lebih khususnya dalam obat-obatan.
Pas! Seru Ryo dalam jiwanya yang makin
bergelora setelah mendengar penjelasan
panjang lebar ibunya yang menceritakan anak
temannya yang sudah lulus jurusan tersebut.
Terlihat keputusan sudah dibuat. Lalu
terjunlah Ryo ke dalam dunia yang baru,
tantangan baru, tempaan baru.
Dalam perjalanannya, meski Ryo unggul
sejak dulu dalam bidang sains. Tapi tetap saja,
Ryo pernah menangis karena stress ketika di

45
lab, tepatnya ketika sedang meracik obat. Saat-
saat itulah mental tempe ditempa menjadi
mental baja. Suasana di lab seolah sedang ada
di instalasi farmasi, yang mana para pasiennya
sedang menunggu di ujung meja dengan wajah
galak dan jiwa macan. Siap dengan segala
pertanyaan tentang obat yang sedang dibuat.
Belum lagi jika para pengawas mulai
melangkahkan kakinya untuk berkeliling,
melihat kinerja para siswa. Mata elang para
pengawas tidak luput pada satu kesalahanpun
dalam pengerjaan obat. Ketel-itian dan
kejujuran menjadi faktor yang sangat ditempa
dalam jiwa masing-masing murid.
Sebelum praktikum dimulai, setiap
murid diwajibkan untuk membuat jurnal dari
setiap resep yang akan dia buat, baik itu
monografi, perhitungan dosis, cara kerja,
maupun penulisan etiket. Semuanya harus
dalam keadaan benar, dan semua itu harus di
topang dengan referensi buku seperti
Farmakope Indonesia, Formularium Nasional,

46
ISO, dan masih banyak lagi. Semua itulah yang
mampu membuat mental tempe Ryo hingga
merengek. Akhirnya Ryo menyadari
kelemahannya itu, dan akhirnya terus melewati
semester-semester selanjutnya. Sampai
akhirnya Ryo mampu berhasil menga-tasi
dirinya sendiri, dari pengawas yang ada di lab
dipilihkan beberapa anak yang akan ditunjuk
menjadi mentor untuk ikut membantu
mengajar murid-murid lain, dan Ryo adalah
salah satu mentor tersebut.
***
Setelah hari-hari sulit itu, hari minggu
adalah hari yang paling membahagiakan.
Sejenak, bisa lepas dari semua jurnal-jurnal
yang ada. Sunyinya suasana pagi semakin
pudar tiap menitnya menandakan sang mata-
hari mulai memperlihatkan cahaya dan bunyi
alarm di minggu pagi mulai mengganggu telinga
orang yang ingin bangun. Dari balik selimut
tebal, satu tangan muncul, meraba-raba
sekitar, mencari asal suara alarm itu dengan

47
kondisi setengah sadar. Bermodal indra
peraba, ponsel itu akhirnya ketemu. Seperti
sudah hafal yang harus dilakukan, jemari itu
sudah mampu mematikan suara alarm itu,
tanpa bantuan mata sang majikan. Alarm
ponsel itu sudah mati. Lupa mematikan alarm
tadi malam memang membuat repot di minggu
pagi. Tangan itu kembali masuk ke dalam
lingkungan hangat bawah selimut. Atmosfer
kamar kembali tenang sediakala. Dengkuran
halus kembali terdengar.
Selimut itu kembali menyelimuti tubuh
yang tidak terlalu tinggi dan ideal untuk
seorang laki-laki dengan kulit hitam manisnya.
Jangan lupa juga dengan ciri khasnya yaitu alis
tebal dan model rambutnya dengan jambul
yang kini sedang rusak terkena selimutnya.
Namanya Ryo Rizky Abadi dengan panggilan
biasanya Ryo, nama yang sudah tidak asing lagi
oleh orang-orang di dunianya. Bagaimana tidak
namanya tidak asing lagi di sekolah, kini Ryo
sudah menduduki kelas 3. Kakak kelas yang

48
sering dan rajin memanggil guru apabila sudah
memasuki jam pelajaran.
Kalau dilihat dari kamarnya. Tidak akan
ada menemukan barang-barang seperti poster
bola, kaset PS, atau yang lainnya, yang
mencirikan kehidupan anak laki-laki normal
pada umumnya. Beda dari perkiraan, kini
terpampang di tembok kamarnya yang beru-
kuran 3x3m kertas-kertas materi yang harus
dipelajari, serta rak buku yang penuh dengan
buku-buku pelajarannya tebal membuat sesak
rak bukunya. Ditambah lagi dengan hobi baca
yang membuat dirinya mempunyai banyak
sekali buku-buku. Tidak pilih kasih dalam
memilih sebuah buku. Menurutnya, buku akan
memilih pembacanya sendiri. Jadi jan-gan
aneh kalau Ryo senang menghabiskan waktu
berjam-jam di toko buku, berkeliling melihat-
lihat buku. Sampai akhirnya dia menemukan
dorongan untuk memilih sebuah buku. Dalam
berbagai hal, Ryo suka mengandalkan firasat,
semacam dorongan alamiah yang tercetus

49
begitu saja dalam diri. Diluar kemampuan
logika yang dia punya, Ryo paham betul ada
kekurangan atau kebutuhan yang tidak dia
sadari, dan beberapa kali terpenuhi dengan
caranya mengikuti firasat itu. Hasil dari
caranya itu, membuat Ryo punya beragam
buku di dalam kamar. Dia tidak akan membaca
buku yang lainnya, jika buku yang satu belum
habis. Baginya, mem-ulai dan mengakhiri
sama-sama penting. Banyak yang ahli dalam
hal memulai, namun buruk dalam hal
mengakhiri.
Jam terasa begitu cepat. Diluar matahari
sudah berlari naik ke cakrawala. Suara alarm
yang tadi membangunkan kini sudah tidak
terdengar lagi, tergantikan oleh suara langkah
kaki yang getarannya mampu terasa hingga ke
tulang. Ryo tersadar, bahkan sebelum ketukan
pintu hendak terjadi.
Tok Tok Tok…
Bunyi ketukan pintu itu benar terjadi.

50
“Bangun, kak. Sudah siang.” Suara
serak ibu terdengar.
Tok tok tok
Selimut langsung tersingkir dari badan,
Ryo terduduk di bibir kasur, membiarkan
nyawanya terkumpul.
“Iya.” Jawaban Ryo menghentikan ketu-
kan pintu.
Lampu belajar yang berwarna kuning
masih berpendar menerangi meja belajar. Ryo
bangkit dari kantuknya yang mulai memudar.
Dengan masih mengenakan celana pendek dan
baju kaos, kakinya melangkah mendekati meja
belajar. Lampu belajar itu mati, bersam-aan
dengan buku dan jurnal-jurnal yang dirapikan
ke sisi meja. Tangannya kini meraih saklar
lampu utama kamar. Lamat-lamat badannya
menunduk, mencari ponsel yang tadi dia taruh
dimana. Pasrah tidak menem-ukan, Ryo
memilih untuk menyegarkan dirinya dulu
dengan membasuh muka. Masih belum terlihat
Jambul di rambutnya yang acak-acakan

51
setelah tidur. Selesai membasuh muka dan
kembali segar seperti sedia kala, telinganya
menangkap tanda dering yang dia kenal. Alarm
itu, seharusnya sudah mati. Berg-egas dia
mencari asal suara itu ke kamar, sebelum
suara itu hilang dan dia akan sibuk mencarinya
lagi.
Dapat. Ponsel itu ternyata tergulung
selimut. Nada dering masih terdengar mengg-
ema di kamar. Itu bukan suara alarm. Ada
panggilan masuk dari nomor yang tidak
terdaftar.
Duh, siapa lagi, dah, pagi-pagi gini sudah
telfon, Gerutu nya dalam hati.
“EH, KAMBING! DIMANA LU?”
“Eh? maaf dengan siapa ini.” jawab Ryo,
hentakan suara dari ujung ponsel itu membuat
telinganya berdengung. Segera tangannya
memindahkan ponsel ke telinga kiri.
“Penyakit lupa lu udah Kronis ternyata,
Yo! Ini gua Dicky! Lu inget gak hari ini ada
bedah buku? Buku lu, kambing!”

52
“Eh?”
“Bentar lagi mau mulai, penulisnya
malah belom dateng! Inget gak lu tempatnya
dimana? Cafe Miranda, Margonda. Cepet
kesini!” Jelas Dicky, tidak membiarkan Ryo
membalas.
Ryo melirik ke kalender, benar, tanggal
itu sudah dilingkarinya beberapa hari yang
lalu. Mampus gue! Ryo mengaduh dalam hati.
“OKE-OKE, GUA JALAN!”
Segera Ryo menutup panggilan.
Bergegas menyiapkan ala kadarnya. Tanpa
mandi, minyak wangi sebotol menjadi senjata
cadangan yang mampu membuatnya segar.
Suara berisik keluar dari kamar, dirinya benar-
benar lupa akan acara bedah buku. Beberapa
kali dia menghadiri bedah buku penulis lain,
kali ini, buku dialah yang akan di bedah. Proses
pembuatan bukunya tidak digarap serius,
karena memang salah satu hobi. Mungkin
karena keberuntungannya, tulisan yang dia
buat dilirik oleh seorang editor yang tertarik

53
dengan tulisannya. Berlanjutlah, sampai buku
dirilis.
Cafe yang menjadi tempat Launching
Buku pertama Ryo ternyata terletak di dekat
kampus UI, lebih tempatnya di pinggir Jl. Raya
Margonda. Cafe Miranda adalah salah satu
Cafe yang ramai di kalangan pelajar dan
mahasiswa. Terlebih lagi corak nama Kota
Depok sebagai Kota Pelajar menjadi julukan
yang pas untuk Kota yang banyak terdapat
sekolah-sekolah dari dasar hingga perguruan
tinggi. Jarak dari rumah Ryo yang berada di
dekat Simpangan Depok ke Cafe Miranda
lumayan menempuh jarak kurang lebih 10 Km,
kalau naik angkot mungkin memb-utuhkan
waktu sekitar 30 menit, sedangkan dengan
naik motor membutuhkan waktu 20 menit.
Selama persiapan, notifikasi bermun-
culan di layar ponsel. Kebanyakan pesan dari
teman-teman sekolahnya. Di sisi lain ternyata
banyak notif yang masuk ke ponsel Ryo,
kebanyakan berasal dari teman-temannya yang

54
mendapat kabar tentang Launching Buku
pertamanya.
“Yo, bener lu mau Bedah buku?”
“Ihhh dimana??? GUE KESANA YA…”
Begitulah kira-kira pesan yang banyak
muncul.
“Sudah selesai siap-siapnya, sekarang
tinggal berangkat”
“Bu, Ryo berangkat ke Cafe Miranda ya.”
“Loh, kamu mau ngapain? kalau ga
penting-penting banget mending ga usah!”
“Ini, Bu Ryo ada bedah buku. Tadi udah
di telfon sama Dicky. Cepet katanya, udah
ditungguin.” Jelas Ryo, dengan senyum semr-
ingah.
“Wah, keren! semoga lancar ya nanti.
Oiya kamu naik apa ke sananya? “
“Pake motor aja, biar cepet.”
Ryo bergegas naik ke atas motor
kesayangannya. Di sebelah, Ibu masih bersa-
ndar di dekat pintu.

55
“Yaudah kamu hati-hati ya, jangan lupa
bawa STNK sama SIM-nya. Helm pake. Jangan
dipakai karena takut sama polisi doang.
Jangan takut sama polisi, yang penting mah
keselamatan nomor satu.”
“Aaasyiap, jalan, ya.”
“Ya, hati-hati.”
***

Sesampainya di Cafe Miranda ternyata


sudah banyak orang berada di dalamnya,
kehadiran Ryo ternyata di sambut oleh Agus—
editor bukunya.
“Akhirnya datang. Saya kira mas lupa.”
sambut Agus.
Memang, ucap Ryo dalam hati, mencoba
menahan tawa.
Mereka lanjut ke tempat yang sudah
disediakan. Kerumunan orang sudah duduk
berdekatan demi bisa duduk paling depan.
Gugup bercampur senang dalam hati Ryo
karena inilah pertama kalinya ia akan bicara di

56
depan banyak orang, terlebih dia tidak tahu
siapa saja yang sedang menontonnya bicara di
depan. Dari kejauhan terlihat satu per satu
teman dari sekolahnya datang, lalu ikut
bergabung dalam kerumunan orang. Tidak
lupa dengan Dicky, sejak tadi matanya sudah
melekat dengan lensa kamera, dirinya sibuk
mengambil gambar. Tidak hanya sahabatnya,
banyak orang-orang juga di Cafe mulai dari
pengunjung maupun pembeli bukunya. Dalam
acara bedah bukunya ini Ryo menjelaskan inti
dan cerita dalam bukunya ini, dan menjawab
segala pertanyaan yang di ajukan penonton
maupun pembawa acara. Tidak sendiri, Agus
sekaligus editor menjadi teman duduk di
depan. Puluhan pasang mata menatap,
memperhatikan Ryo yang menjelaskan proses
kreatif dalam pembuatan bukunya.
Dua jam berlalu, acara bedah buku
berakhir dengan menyenangkan, yang datang
senang dengan obrolan yang menarik. Bertemu
dengan banyak orang, dan kenal dengan

57
banyak orang. Acara itu benar-benar berakhir
setelah ditutup dengan sesi tanda tangan dan
berfoto dengan pengunjung Cafe yang datang
dan membeli bukunya.
“Good Job, bro.” seru sahabat-sahabat
Ryo dengan gembira ketika bisa bertemu
langsung dengannya.
“Makasih, ya, semuanya sudah datang.”
Akhir dari Launching buku itu
merupakan peristiwa luar biasa hari ini untuk
Ryo, yang terpenting untuk Ryo adalah
semuanya merasa senang akan hasil karyanya.
Sahabat-sahabatnya yang tidak sempat datang
ke acaranya itu tidak hilang akal mereka
membom pesan banyak dan membanjiri notif
pada ponsel Ryo dengan ucapan selamat
kepadanya.
“Wih, banyak juga ya pesannya.” Ryo
mengecek dan membalas pesan-pesan yang
masuk di Cafe Miranda sambil melihat orang-
orang mulai membubarkan diri. Dengan
ditemani secangkir Latte, ia ingin bersantai

58
sejenak waktu bersama dirinya sendiri,
menikmati keberhasilannya sejenak, sebelum
pulang ke rumahnya.
“Good Job, Yo.” Dicky menepuk pundak
Ryo, langsung mengambil kursi dan duduk.
“Kaya mimpi ya, Dic?”
“Tidak juga—“ Dicky meraih latte yang
belum tersentuh sejak tadi, menyeruputnya.
“Butuh gue gampar atau siram etanol
biar lu sadar?” lanjut Dicky.
Ryo tertawa. Keramaian tadi sudah
hilang, kondisi café sudah seperti sedia kala.
Mereka berdua duduk di sisi café yang
menghadap jalanan. Kaca tebal yang mengg-
antikan dinding ampuh menangkal terik
matahari yang masuk.
“Ini semua akibat, Yo. Atas semua yang
sudah lu lakuin kemarin-kemarin. Efek kupu-
kupu. Keterkaitan apa yang kita lakukan
sekarang dengan apa yang akan terjadi di masa
yang akan datang. Edward Lorenz?”
Ryo mengangguk.

59
“Bagaimana fotonya? Dapet banyak?
Kirimin nanti.”
“Nanti gue kirimin korannya.”
Gelas yang isinya tinggal setengah itu
kembali mendarat di atas meja.
“Bangke, gua belum minum sama sekali
itu!”
Dicky menyeringai lebar, bangkit dari
tempat duduknya.
“Tenang-tenang, gua pesen lagi, sekalian
makan.”
Tak terasa makin lama matahari
semakin beranjak naik, Dicky sudah kembali
dengan dua gelas Latte plus roti bakar. Obrolan
mereka berlanjut, topik berpindah-pindah, dari
soal buku hingga berita yang sedang diulas
Dicky. Dicky biasa menulis artikel di koran-
koran, dia juga punya website sendiri yang
sejak dulu dibuatnya. Dengan nama samaran,
hampir tidak ada yang tahu kalau penulis
artikel itu adalah anak SMA, karena hampir
berita yang diangkatnya rata-rata dalam porsi

60
berat untuk dibicarakan; Politik, Ekonomi,
Negara, berita international. Semua dibahas
dengan gaya bahasa yang kritis, tidak heran
jika pengetahuannya bisa lebih luas dibanding
anak seumurannya. Sampai kini, Ryo jadi salah
seorang yang paling sanggup menanggapi
pembicaraan yang berat, apapun itu, mereka
teguh dalam pendapat masing-masing, dan
saling membuka alasan-alasan kuat yang
melatarb-elakangi pendapat mereka. Seperti
ada pepatah bijak mengatakan, berbincang
dengan orang bijak sebanding dengan
membaca puluhan buku.
KRINGG KRINGG KRINGG
Getaran ponsel membuat meja bergetar,
begitu juga dengan mereka yang tersadar dari
obrolan mereka. Ryo melongok ke layar
ponselnya yang menyala.
“Hallo, ada apa bu?”
“Kamu ibu WA, kok, gak dibaca?”
“Oh, dari tadi gak pegang hp. Lagi
ngobrol sama Dicky?”

61
“Oh..ada Dicky, kirain kamu sendiri. Eh,
cepet pulang! Ada tamu nyariin kamu.”
“Siapa emangnya? Raisa?” Ryo
menyeringai, di depannya Dicky tertawa.
“Yakali, Raisa. Udah kamu pulang cepet,
yah.”
“Oke, otw.”
*OTW adalah On The Way
Panggilan berakhir, Ryo memasukan
ponselnya ke saku celana. Dalam hatinya
bertanya-tanya. Siapa ya yang ke rumah?
“Ada apaan, Yo?” Pertanyaan Dicky
membuyarkan keheningan.
Ryo menenggak minumannya hingga
setengah kosong, merapikan beberapa baran-
gnya, lalu bangkit dari tempat duduknya, “Gua
cabut, ditungguin Raisa di rumah.”
“Dasar Gila! Hati-hati lu.”
Keluar dari Café, yang pertama kali
menyambutnya adalah terik matahari yang
langsung memanggang halus kulitnya yang
sudah kehitaman, belang sudah tubuhnya

62
lama-lama. Bergegas dia memberanikan dud-
uk di bangku jok motor yang pasti sudah
bersuhu tinggi itu, mungkin seratus derajat.
Cukup membuat pantat seperti dipasang koyo
cabe level sepuluh. Helm sudah melekat pas di
kepala, waktunya untuk mengikuti arus jalan
Margonda yang sedang senggang kalau siang.
Motor sudah dipacu, terpaan angin yang
bercampur panas matahari mengharuskan Ryo
menurunkan kaca helm sepenuhnya. Lagi,
dirinya bertemu dengan lampu merah di
barisan paling depan, berjejer dengan para
pengendara motor yang lain. Rasanya berada di
barisan paling depan saat lampu merah itu
seperti sedang menunggu lampu hijau di
kompetisi moto GP, semua siap untuk saling
dahulu dalam memacu motornya.
Sudah dua kali lampu merah, dua kali
barisan paling depan, dua kali juga Ryo
memenangkan kompetisi tancap gas paling
dulu. Sudah tidak ada lampu merah yang akan
menghadangnya, penghadangnya yang sedang

63
menunggu adalah polisi tidur yang tidak
bangun-bangun sejak pertama kali dibuat.
Apapun penghalangnya, dia tidak bol-eh
membuat orang lain menunggu lebih lama,
cepat tapi aman, motor itu kembali menyusuri
jalan.
Pertanyaan itu kembali terulang, siapa
yang sedang menunggunya? Sepanjang peng-
alaman Ryo sebagai anak dari ibunya. Ibunya
tidak pernah sampai menelfonnya jika memang
itu bukanlah hal yang terlalu penting. Terakhir
kali ibunya menelfon adalah ketika Ryo sedang
mengerjakan soal saat ujian, kala itu ibu sudah
putus asa untuk mencari remot tv kemana-
mana, karena yang terakhir kali menonton tv
adalah Ryo. Itu penting, karena ibunya tidak
ingin ketinggalan drama korea di tv.
Sepuluh menit perjalanan sudah
ditempuhnya di atas motor. Ryo memutuskan
untuk menepikan motor setelah melihat
pedagang pempek Palembang. Dari sejak pagi
dia belum makan apapun, kopi dan setengah

64
roti bakar di café tadi hanya menahan sebe-
ntar perutnya untuk berbunyi. Aroma pempek
dari kejauhan sudah merebak masuk ke dalam
hidung, bahkan sebelum melihat pedagangnya
saja sudah berhasil membuat perut kembali
keroncongan. Padahal tinggal sebentar lagi
sampai ke rumah, namun urus-an pempek
tidak bisa ditolerir. Susah mencari tukang
pempek dekat rumahnya.
“Permisi bang, beli pempek kapal selam
dua.” pinta Ryo ke pedagang tersebut.
“Oke, siap bos!” Sigap jawab pedagang
itu penuh semangat sambil menggoreng
pempek
Sambil menunggu, Ryo mengistira-
hatkan tubuhnya dengan duduk di atas trotoar,
posisi pedagang pempek ini sungguh pas, jadi
inilah yang disebut DPR(Di bawah Pohon
Rindang). Pohon beringin besar yang tepat di
atas kepala Ryo itu sukses menghalau
panasnya sorotan sinar matahari, pantas
kuntilanak banyak yang suka tinggal di pohon

65
beringin, mungkin karena sejuk ini menjadi
alasan mereka. Seperti oasis di tengah hari,
keputusan Ryo untuk berhenti sejenak di
pedagang pempek memang keputusan yang
tepat.
Ternyata siang itu banyak sekali
kendaraan yang berlalu lalang di depannya
mulai dari yang paling sering seperti Angkot,
sepeda motor. Kepadatan tidak terhindarkan,
karena di depan sana memang terdapat lampu
merah yang lama menyalanya sudah terkenal
hingga seantero kota.
“Wew, ramai kali ya bang jalanan siang-
siang begini, kaya lebaran aja.” Gumam Ryo
setelah motor dengan knalpot racing lewat tepat
di depannya.
“Ehh, iya nih, gara-gara hari minggu
mungkin, pada jalan-jalan gitu.” Jelas pedag-
ang itu.
Tengah asyik mengobrol sambil
menunggu pempek itu matang, suara decit ban
angkot yang mengerem mendadak berhasil

66
menyita perhatian Ryo sejenak untuk
menghentikan obrolan. Turun dari angkot itu
seorang ibu bersama anaknya yang baru
pulang dari pasar dengan belanjaan yang
berkantung-kantung besar di tangannya,
belum lagi dengan kardus-kardus berisi semb-
ako yang masih ada di dalam angkot. Entah
seperti apa di dalam sana, berdesakan dengan
barang bawaan penumpang lain, siapa saja
yang di dalam angkot saja tidak begitu terlihat
wajah dan keberadaannya, bagai hilang ditelan
belanjaan.
“Sini bu, saya bantu turunin barang-
nya.” Ryo bangkit, menawarkan bantuan.
“Ehh, iya mas.” kata ibu tersebut.
Satu persatu barang-barang yang dari
dalam angkot mulai diturunkan. Orang-orang
yang ada di dalam angkot itu juga membantu
mengeluarkan barang yang ada di dalam. Tidak
lama mobil lain ikut merapat di belak-ang
angkot, itu mobil yang hendak menjemput ibu
tersebut.

67
“Udah mas, makasih banyak ya, jadi
ngerepotin nih.”
“Terima kasih banyak ya mas udah
bantu istri saya.” lanjut suami ibu tersebut.
“Iya bu, bukan apa-apa kok, hanya
membantu.”
Mereka masuk ke dalam mobil, Ryo
berdiri tidak jauh dari mobil itu. Angkot yang
berada didepannya belum juga pergi, mesinnya
mati, beberapa kali terdengar rau-ngan mesin
yang mencoba menyala. Tidak butuh waktu
lama, raungan mesin angkot terdengar
panjang, menandakan mesin berhasil
dinyalakan, sopir angkot terus men-erus
menginjak pedal gas, menjaga mesin tidak lagi
mati. Terlintas di mata Ryo ada seorang pria
pindah tempat duduk ke belakang supir,
tampilannya rapi sekali memakai kemeja putih,
berkacamata, dengan tas punggung warna
hitam, rambut hitam, dan kulit putih.
Wajahnya tak asing sama sekali, walau begitu
tetap saja Ryo tak bisa mengingat itu siapa.

68
Lamunannya terhenti ketika angkot itu
sudah benar-benar menjauh dan orang itu
tidak lagi terlihat jelas.
“Mas, ini pempeknya sudah jadi.”
“Oke, bang makasih.”
Setelah transaksi selesai, Ryo kembali
melanjutkan perjalanan dengan pertanyaan
baru. Siapa orang tadi? Siapa? Siapa yang akan
ke rumah?
***
Pemandangan di rumah tidak ada yang
berbeda ketika Ryo sampai ke rumah. Tidak
ada tanda-tanda tamu yang datang. Sepi, tidak
ada suara obrolan terdengar sampai ke luar
rumah. Untuk memastikan, Ryo memar-kirkan
motornya, berjalan berlahan ke pintu depan.
Tangannya mengetuk pintu perlahan, lalu
membukanya.
“Bu, Ryo pulang.” ucap Ryo sembari
membuka pintu.
Ternyata yang terlihat sepi di luar tidak
selamanya sepi di dalam. Butuh waktu

69
beberapa detik untuk Ryo menyadari apa yang
terjadi. Pandangan matanya tertuju pada orang
yang duduk bersebelahan dengan ibu-nya, Pria
putih tinggi memakai kemeja putih dan
berkacamata. Benar-benar persis dengan orang
yang tadi ia lihat di dalam angkot. Namun,
wajahnya kini terlihat jelas olehnya. Dengan
ekspresi yang sama, pria itu terdiam menatap
Ryo.
“Bapak.” terlontar kata yang sudah tiga
tahun hilang dari mulut Ryo.
Pria itu berdiri, membuka tangannya
dan tersenyum. Tanpa perlu diminta, Ryo
berjalan cepat dan langsung memeluknya,
memeluk orang yang sudah lama sekali tidak
bertemu, orang yang selama ini seakan
menghilang ditelan bumi selama tiga tahun.
Tidak peduli orang-orang di sekitarnya, sea-
kan ingin menumpahkan semua rasa rindunya
pada saat itu juga. Kehangatan itu, aroma itu,
pelukan itu, ini benar-benar bapak, Ryo berucap
dalam hati.

70
***

“Ini bapak, kamu masih ingatkan?”


bapak melepas pelukannya.
Ryo mengangguk pelan, tersenyum
lebar. Bagaimana mungkin aku lupa?
Banyak sudah terjadi, banyak yang ingin
diceritakan. Jika tahu tiga tahun yang lalu
adalah perpisahan yang begitu panjang,
mungkin Ryo tidak akan pernah merestui sama
sekali bapak pergi. Meski begitu Ryo tahu,
bapak akan tetap pergi, entah apa alasannya.
Kepergiaannya yang mendadak karena
tuntutan perkejaan, mengharuskan bapak
pergi dari rumah dan dia tidak bisa
menolaknya. Terbayang sudah bagaimana
perasaannya dulu ketika pulang dari sekolah
didapatinya bapak sudah tidak ada di rumah,
pergi tanpa tahu kapan akan pulang, dan
kapan akan bertemu lagi.
***

71
72
You’re My Hero

Tiga tahun sebelumnya.


Srekk…srekk…srekk…
Suara lembaran buku yang sedang
dibedah terdengar berulang kali dan terdengar
seperti tergesa-gesa. Seakan-akan sedang
mencari satu kata penting dalam buku itu,
yaitu Jawaban. Diambilnya beberapa buku lagi
di rak yang berisi buku-buku tebal, meja lebar
yang terbuat dari kayu jati itu penuh dengan
buku-buku dan lembaran kertas diatasnya.

73
Beberapa jam sudah habiskan di ruangan
tersebut, dengan badan masih berbalut jas
putih laboratorium, dirinya masih
berkonsentrasi mencari-cari apa yang
kepalanya inginkan.
“Lembur lagi pak Andi?” seseorang
datang dari balik pintu.
“Iya, kamu sudah mau pulang? Hati-hati
ya.”
“Siap, pak. Mau dibawain makanan?”
Andi menggeleng, seraya tersenyum.
Dengan tampilan memakai jas putih
laboratorium, sudah jelas sekali bahwa Andi
adalah seorang peneliti. Ia bekerja menjadi
seorang peneliti bagian Bioteknologi di
Laboratorium GAP. Sudah menjadi kebias-
aanya untuk selalu lembur dan pulang paling
larut malam di lab. Kini yang sedang ia dan
teman-temannya teliti adalah sebuah jenis
Virus yang baru saja ditemukan. Sudah 2
tahun berjalan ia bekerja keras untuk meneliti
virus itu dan menemukan antivirusnya.

74
Dengan pekerjaan yang beresiko tinggi,
Andi tetaplah seorang bapak yang bertan-
ggung jawab dan mencintai keluarganya.
Pekerjaan di rumah sering dilakukannya
seperti mengantar Ryo ke sekolah saat pertama
kali masuk SMP. Semua dilakukan-nya hanya
ingin keluarganya menjadi keluarga yang
bahagia dan damai. Meski lelah bekerja,
melihat istri dan anaknya tersenyum adalah
asupan energi tambahan yang menyenangkan
baginya.
Sebagian waktu kosongnya selalu
dihabiskan bersama keluarga. Entah itu jalan-
jalan atau bermain di dalam rumah. Ya seperti
itu lah seharusnya keluarga, bisa saling ber-
sama menghabiskan waktu.
Menjadi seorang peneliti mencerminkan
Andi adalah orang yang pintar, cerdas, dan
kreatif dalam menjalankan setiap pekerja-
annya. Bagi Ryo pekerjaan bapaknya adalah
tugas yang luar biasa, bekerja untuk
kepentingan banyak orang dan itu membuat

75
Andi menjadi sosok pahlawan di mata Ryo.
Setiap hari Andi selalu menemani Ryo dalam
belajarnya, membuat tugas yang harus dikerj-
akan oleh anaknya, bahkan sampai mengetes
apa saja yang sudah dipelajari di sekolah.
“Masa lupa, ayo diingat lagi. Ulang-ulang
terus, nanti kamu akan terbiasa.”
“Tapi males pelajaran susah!” Ryo
menggerutu, melihat barisan deret matematika
di hadapannya.
“Sulit bukan berarti tidak bisa bukan?
Coba lagi, bapak bantu.”
“Ingat Ryo, semua itu perlu perju-
angan.” Lanjut Andi.
Ryo mengangguk, kembali berjibaku
dengan angka-angka.
Andi kembali menjadi guru untuk
anaknya. Semua terasa begitu sempurna di
hidupnya, seakan sudah berada di dalam surga
dunia yang sangat nikmat sekali, di dalam
balutan kasih sayang keluarga.
***

76
Pagi-pagi sekali setiap hari Andi mulai
mempersiapkan dirinya untuk berangkat kerja.
Jas lab, kacamata, dan barang-barang yang
dibutuhkan saat kerja dibawanya. Biasa
bangun dari tidur tepat jam 3 pagi sudah
menjadi sistem tubuh yang dimiliki Andi untuk
bangun. Setelah semua persiapan dirinya
selesai, Andi selalu menyempatkan untuk
sarapan pagi bersama-sama.
“Awali pagi dengan menyenangkan,
maka setelahnya hari-hari kamu akan
menyenangkan.” Ucap Andi di sela kunyahan.
“Kalau orang lain yang bikin mood ancur
gemana?”
“Yang memutuskan itu diri kamu
sendiri. Kamu yang memilih hari kamu menye-
nangkan atau hari kamu suram?”
Kuliah pagi di atas meja makan, salah
satu kegiatan yang tidak mungkin terlewat-
kan. Setiap sarapan pagi, Andi selalu
memberikan motivasi dan mindset tentang
semangat belajar dan bagaimana jadi orang

77
hebat. Mungkin tidak baik bicara sambil
makan, tapi itu tidak menghalangi Andi untuk
selalu mengingatkan keluarganya tentang
pentingnya berusaha dan tetap semangat. Coba
terus! Serunya disela-sela obrolan. Sepasang
bola mata yang berbinar hampir tidak berkedip
muncul dari salah satu sudut meja. Selain telur
mata sapi dan nasi goreng buatan ibunya,
cerita yang didengar Ryo dari bapaknya adalah
salah satu yang tidak boleh dia lewatkan di pagi
hari.
Teruslah bermimpi besar. Manusia itu
harus punya mimpi yang besar. Ingat bermi-
mpilah hanya di malam hari, lalu wujudkan di
siang hari
Setelah selesai sarapan. Andi dan Ryo
bersiap-siap memakai sepatu. Hampir setiap
hari mereka berjalan bersama ke sekolah yang
letaknya tidak begitu jauh dari rumah, setelah
itu Andi baru lanjut ke tempat kerjanya. Tiap
hari perjalanan ke tempat kerjanya ditempuh
dengan naik angkutan umum, bukan karena

78
tidak ingin membeli kendaraan untuk keluarga.
Menurutnya dengan berjalan dan naik
angkutan umum membuat kita dapat
berinteraksi dengan sesama serta dapat
melatih fisik tubuh dengan berjalan. Jadi sama
saja setiap hari berolahraga ringan, yang cocok
untuk melatih fisik dengan santai.
Sampai ditempat kerja kira-kira pukul 7
pagi. Andi dikenal memang orang selalu tepat
waktu di tempat kerjanya, absensinya juga
bagus. Oleh sebab itu dirinya disukai oleh para
atasan maupun rekan kerjanya di lab. Ada juga
teman sekaligus mitra kerjanya di dalam lab
yaitu Rendi. Rendi juga salah satu peneliti yang
sudah cukup lama bekerja disana, satu tahun
sebelum Andi bergabung disana.
Selesai dengan urusan absensi, Andi
melangkahkan kaki menuju ke loker
pribadinya. Ruang loker cukup besar, dan
terdapat puluhan loker yang memang sengaja
sedemikian ketatnya demi kenyamanan para
pekerja disana. Pekerjaan yang digelutinya

79
memang super ketat, sebelum masuk ke
ruangan loker ini saja dirinya perlu melewati
beberapa lapis pengamanan, mulai dari pintu
masuk gerbang hingga pintu masuk utama.
Awalnya menganggu, lama kelamaan prosedur
itu menjadi hal yang biasa. Jas putih yang
menjadi identitas pekerjaannya sudah melekat
pas di tubuh, juga berbagai alat pelindung diri
yang memang harus dikenakan sebelum masuk
ke dalam lab.
Suara langkah kaki terdengar sedari
tadi, dan mulai mendekat. Rendi muncul
dengan wajah datar yang biasa dia pasang, juga
rambutnya yang tidak selalu lupa untuk
dipakaikan gel rambut. Di awal mungkin Rendi
terlihat tidak bersahabat, dengan wajah
datarnya itu siapa saja bisa menganggapnya
demikian. Sebetulnya tidak, Rendi hanyalah
salah seorang yang selalu serius dengan apa
yang dia lakukan. Dan dia tahu kapan
seharusnya bekerja dan bercanda.

80
“Ohh, selamat pagi pak Rendi.” sambut
Andi dengan mulut yang sudah tertutupi
masker.
“Yo, selamat pagi juga pak Andi,
semangat untuk hari ini ya.” Jawab Rendi
dengan penuh semangat.
Andi tertawa kecil, “Ayo kita siap-siap.”
Mereka berdua mulai bersiap di ruang
loker. Tepat pukul setengah 8, mereka sudah
berpindah tempat menuju bagian pekerjaan
masing-masing. Tidak ada banyak orang
disana, suara desing pendingin ruangan yang
terpasang untuk menjaga suhu tetap stabil
terdengar di seluruh ruangan. Laboratorium itu
super bersih dan steril, tiap ruangan di sekat
dengan kaca setebal 3 cm, semua orang yang
diruangan itu sudah tenggelam dalam
pekerjaan dan keseriusan.
Puluhan cawan petri berjejer hingga
menutupi meja yang juga terbuat dari kaca
tebal. Di sebelahnya, Andi sudah sibuk dengan
mikroskop. Tangannya telaten meng-ganti

81
setiap sampel yang sedang diujinya, sebuah
komputer yang tersambung langsung dengan
mikroskop menujukkan gambar sampel yang
sedang ditelitinya selama beberapa tahun ini.

***

“Ayo pak, makan dimeja sini aja.” Seru


Rendi yang tiba-tiba menghampiri Andi yang
baru selesai mengambil makan siang.
Seperti biasa, kantin ramai pada jam
makan siang. Semua orang yang bekerja disana
rata-rata menghabiskan waktu makan
siangnya disana. Lagi-lagi ruangannya cukup
luas, berbagai sajian makanan berjajar di atas
meja, setiap orang dapat mengambil makanan
sesuai selera mereka. Jika dilihat dengan
saksama, seluruh meja dan kursi di kantin ini
terbuat dari stainless steel, putih yang menjadi
warna utama di kantin ini menja-dikannya
sejuk untuk ruangan yang selalu menyajikan
makanan mengepulkan uap. Suara sendok

82
yang beradu dengan piring terdengar dari
setiap meja, juga obrolan yang berbagai macam
tumpah ruah saat itu juga. Setelah bekerja
beberapa jam dengan obrolan yang terbatas
membuat waktu makan siang adalah waktu
yang terbaik untuk mengobrol dengan rekan
kerja.
“Maaf pak Andi, saya ingin bertanya
sesuatu kepada bapak.”
Rendi meletakkan sendoknya, raut
wajahnya serius. Melihat lawan bicaranya, Andi
dengan cepat bisa membaca situasi. Dirinya
menenggak habis air yang ada di gelas,
menyelesaikan makan.
“Ya?”
Rendi agak memajukan wajahnya, “Pak
Andi, bapak sudah cukup lama bekerja disini.
Apa bapak tidak melihat suatu kecurigaan di
dalam tempat ini?” tanya pak Rendi dengan
suara pelan, mata melirik kanan-kiri, mema-
stikan tidak ada yang mendengar.

83
Andi melipat tangannya di atas meja,
menunjukkan wajah heran. Selama ini dirinya
tidak merasa ada yang janggal selama bekerja.
Setidaknya, tidak ada yang perlu dikhaw-
atirkan.
“Maksud bapak?” tanya Andi dengan
wajah yang kini tidak kalah serius, matanya
sama sekali tidak putus menatap Rendi yang
seakan sedang menyembunyikan sesuatu.
Rendi terdiam, melepar pandangannya
kearah lain. Kantin mulai ramai, mulutnya
bungkam.
“Begini pak Andi—“
Mulut Rendi kembali bungkam, sebuah
tangan menepuk pundaknya. Sorot mata
mereka berpindah pada orang yang tiba-tiba
datang dan berdiri di ujung meja, tepat di
antara mereka.
“Selamat siang, sedang istirahat makan
siang?” tanya orang tersebut dengan suara
yang dalam, dan senyum semringah.

84
Mereka dua lantas berdiri, melempar
senyum yang sama dan berjabat tangan, “Siang
juga Prof. Heru.” Seru Andi.
Pria berkepala pelontos itu memperbaiki
kacamata tebalnya.
“Jadi bagaimana, ada perkembangan
apa hari ini?”
“Kami masih terus menguji temuan kita,
pak. Kita selangkah lagi menuju pengobatan.”
Jelas Rendi dengan senyum tipis.
Prof. Heru mengangguk, “Baik, kalian
sudah bekerja keras. Silahkan lanjutkan
istirahat kalian.”
“Ingin bergabung, pak?” ajak Andi.
“Terimakasih, tadi saya sudah makan
siang. Pak Andi, setelah istirahat nanti tolong
keruangan saya.” Jelasnya.
Andi mengangguk mengerti.
Prof. Heru lantas pamit dan berjalan
meninggalkan mereka.

85
Setelah moment itu, mereka kembali
duduk. Perhatian Andi kembali ke lawan bicara
yang ada dihadapannya.
“Pak Rendi, tadi mau bicara apa?” tanya
Andi, berusaha mengembalikan topik bahasan.
Pertanyaan itu berhasil mengambil
perhatian Rendi yang seakan ingin melupakan
pembicaraan tadi.
“Begini pak, hmm sepertinya kita harus
segera menyelesaikan penelitian kita tentang
virus tersebut. Pemerintah ingin kita cepat
mencari informasi lebih virus itu agar dapat
dicari cara menghindari dan penanganannya.”
“Ohh seperti itu, sepertinya memang
harus begitu. Tapi yang sekarang kita tahu
hanyalah dampak yang virus ini timbulkan.
Virus ini bisa sangat berbahaya bila sudah
terkena ke manusia, bukan hanya menyerang
fisik. Virus ini juga menyerang sisi biologis dari
induknya. Jadi kita memang harus cepat dan
tepat dalam melakukan penelitian ini.” jelas
Andi tanpa putus.

86
“Ada yang perlu saya tahu?” lanjutnya.
“Tidak ada pak, ayo kita lanjut makan
lagi. Nanti kan bapak harus menghadap Prof.
Heru.” Jawab pak Rendi, kembali mengambil
sendok.
“Oh, ya. Bagaimana kabar Ryo? Sudah
lama sekali tidak bertemu dengan dia. Pasti
sudah setinggi bapaknya sekarang.” seru
Rendi, lalu tertawa.
“Kau benar, bisa-bisa kalah tinggi saya.”
Sahut Andi.
Suasana kembali cair, mereka kembali
ke topik lain.
***
“Maaf membuat bapak menunggu.” Andi
menutup pintu rapat, berjalan perlahan
mendekati meja.
“Ya, silahkan duduk.” jawab Prof.Heru,
tangannya sibuk membolak balik kertas yang
beberapa menumpuk di tengah meja.
Ruangan kerja Prof. Heru terlihat
minimalis hanya terlihat meja kerjanya, rak

87
buku dan sebuah sofa berwarna abu-abu yang
bertempat duduk 3 dan 1 orang, ditambah
hiasan berupa meja antaranya. Ini adalah
sekian kalinya Andi bertatap muka dengan
Prof.Heru di ruangannya, terlebih soal
pekerjaan yang selama lima tahun ini
mengharuskannya menjadi ketua riset.
Pertemuan ini adalah hal yang biasa, dan tidak
menentu kapan akan terjadi.
“Pak Andi, anda sudah bekerja disini
selama 5 tahun, dan saya tahu betul
bagaimana kinerja bapak, oleh sebab itu saya
banyak memberi kepercayaan kepada anda—“
Prof.Heru berhenti, tangannya menutup
dokumen yang tadi dibacanya, matanya kini
fokus menatap lawan bicaranya.
“Sampaikan saja, apa yang ingin bapak
sampaikan. Saya akan mendengarkan.” Pan-
cing Andi.
“Perkembangan tentang virus yang
sedang kita teliti ini diminta oleh pemerintah
untuk disegerakan secepat mungkin, karena

88
beberapa kemungkinan. Mereka memberikan
nama kamu sebagai salah satu dari peneliti
yang harus dipindah tugaskan dalam penelitian
ini ketingkat selanjutnya—“
“Beberapa nama yang sudah dipilih oleh
pemerintah, akan di pindah tugaskan dan
dikarantina demi menjaga kerahasiaan sampai
penelitian tentang virus ini selesai, serta dapat
diketahui manfaat, bahaya dan pengoba-
tannya lebih lanjut.” Jelas Prof.Heru.
Lengang, Andi tetap terdiam
mendengarkan. Pikirannya kini mulai berca-
bang, beberapa variable muncul seketika,
menebak segala kemungkinan yang akan
terjadi.
“Dan demi keselamatan semua, pak Andi
tidak boleh menghubungi siapa pun sampai
penelitian ini selesai. Itu isi dari surat yang
saya dapat. Anda dapat baca sendiri bila perlu.”
“Apa benar saya, pak?” tanya Andi.
“Saya pikir kamu adalah orang yang
pantas mendapatkan kesempatan ini, peker-

89
jaan kita adalah pekerjaan yang mulia, sebab
hasil pekerjaan kita untuk kepentingan
keluarga dan banyak orang.” Jawab Prof.Heru
dengan nada meyakinkan.
“2 hari lagi bapak akan di pindah
tugaskan, untuk sekarang hanya itu yang bisa
saya sampaikan.” Lanjutnya, kembali melihat
ke berkas yang ada di meja.
“Baik, pak. Terima kasih.” jawab Andi,
lalu berdiri berjalan kearah pintu.
“Saya harap bapak menemukan sesu-
atu...” ucap Prof.Heru tiba-tiba.
Andi terhenti demi memastikan suara itu
benar dari Prof.Heru. Ruangan kembali lengang
dengan cepat.
“Baik, pak.” Ucap Andi sambil mengan-
ggukkan wajahnya kearah Prof.Heru.
Dug. Pintu itu sempurna menutup. Andi
terdiam sejenak di depan pintu, nafasnya
seakan terhenti selama beberapa detik. Tidak
sampai satu jam, Andi mulai merasa ada yang

90
tidak beres sejak obrolannya dengan Rendi
tadi.
Suara troli yang didorong offriceboy
menyusuri lorong menyadarkan lamunan Andi.
“Eh, pak Andi. Ngapain toh diem disini?”
tanya officeboy itu.
“Tidak..tidak, its ok.” Seru Andi sambil
tersenyum, lalu berlalu pergi ke lab.
Jas lab sudah kembali melekat
ditubuhnya, niatnya untuk kembali melanj-
utkan pekerjaannya seketika buyar ketika
melihat Rendi yang sedang bekerja persis
bersebelahan dengan ruangannya. Jika mem-
ang benar, dirinya masih punya waktu dua hari
sebelum pindah, dan Andi tidak ingin pergi
dengan rasa yang janggal terhadap teman
kerjanya sendiri.
Pintu otomatis yang terbuat dari kaca itu
bergeser ketika Andi berjalan mendekati, Rendi
yang menyadari kedatangan seseorang segera
melepas fokusnya pada microscope yang sedari
tadi jadi teman kerjanya selepas makan siang.

91
Senyum tipis yang terutup masker N95 itu
tetap muncul ketika melihat Andi datang
menghampirinya. Sebuah kejutan yang
menyenangkan, biasanya Andi adalah orang
yang anti sekali untuk mengobrol saat jam
kerja. Setelah tahu siapa yang datang, pelan-
pelan Rendi kembali melanjutkan
pekerjaannya, sebuah pekerjaan di layar
monitor sudah menunggunya.
“Bagaimana pak tadi?” tanya Rendi
dengan mata masih tertuju ke arah objek yang
ia amati di microscope.
“Oh yang tadi, hanya membicarakan
perkembangan penelitian kita dan pemindahan
saya ke tempat lain.” jawab Andi,
menyandarkan tubuhnya di meja kaca.
Seketika Rendi memutar kursinya,
menjulurkan tangan, “Selamat ya pak,
akhirnya bapak dapat diberi kepercayaan yang
lebih tinggi lagi oleh atasan. Selamat pak,
bapak memang orang yang pantas.”

92
Andi menyambut jabat tangan itu, meski
wajahnya tertutup, Andi tetap senang karena
merasa temannya terlihat baik-baik saja.
“Baik, saya kembali ke ruangan saya.”
Satu hal yang pasti, keraguan yang
sedari tadi menghantui dirinya adalah satu hal
yang tidak perlu di khawatirkan. Yang pasti
adalah dirinya masih punya beberapa hari
untuk menyiapkan semua sebelum kepergian-
nnya. Setidaknya, dia ingin menyelesaikan
pekerjaannya dengan cepat hari ini, dan dia
ingin cepat pulang.
***

93
Kembali

Matahari yang sejak pagi sudah


bersinar kini mulai redup sinarnya bersamaan
dengan pulangnya Andi ke rumah dengan
bingkisan berupa buah pisang yang tadi ia beli
di perjalanan. Tidak seperti biasanya,
langkahnya tampak ringan, hari ini dirinya
tidak ingin membawa pekerjaannya ke rumah.
Sisa hari ini adalah untuk keluarganya.
Ketukkan pintu pertama di rumah langsung

94
disambut cium tangan oleh istri dan Ryo.
Senyum mereka tidak kalah lebar karena
melihat Andi pulang lebih cepat dari biasanya,
mengalahkan matahari yang belum pulang.
Beranda rumah sudah sepi, matahari
yang terbenam memaksa orang-orang untuk
masuk ke dalam rumah. Di ruang tengah Ryo
dengan pulpennya sudah asyik berjibaku
dengan buku latihan untuk tryout. Di dapur,
Andi yang sudah lebih segar selepas mandi ikut
membantu istrinya memasak pisang yang tadi
dia bawa.
“Tumbenan kamu bawa pisang?”
“Aku pikir enak kali ya, sore-sore
minum the sambil makan pisang goreng.” Seru
Andi lalu tertawa, tangannya masih sibuk
mengupas kulit pisang.
“Sinta?” Andi menyodorkan piring yang
sudah berisi potongan pisang.
“Ya? Kenapa?” tanyanya heran.
“Bagaimana Ryo hari ini?”

95
“Baik, seperti biasa. Ada apa
memangnya?” Sinta berhenti mengaduk adon-
an tepung yang akan digunakan untuk melapisi
pisang nanti.
Andi menyeringai lebar, membuat
penasaran istrinya adalah salah satu keise-
ngan yang paling dia sukai.
“Udah cepet masaknya, aku tunggu di
meja makan. Sudah lapar, nih.” Seru Andi
seraya meninggalkan dapur dengan langkah
setengah berlari.
***
“Ayo semuanya makan dulu. Ryo
tinggal dulu bukunya, makan dulu. Bapak ayo
makan dulu.” Sinta berseru dari ruang makan,
suaranya hampir terdengar seisi rumah.
Tanpa perlu diulang, Andi dan Ryo
langsung beringsut ke meja makan. Tradisi
makan malam bersama tidak boleh
terlewatkan. Piring-piring sudah terisi beragam
lauk pauk, suara sendok bersahut-sahutan
dari setiap sisi meja. Andi tetap menyantap

96
makanan di depannya, meski pikirannya kini
tidak lagi di meja makan.
“Kenapa? Enakkan?” Sinta menyikut
Andi yang ternyata sedari tadi melamun.
“Eh, tidak. Enak kok.”
“Makanya, kalau gak biasa pulang
cepet ya gak usah. Kamu lagi mikirin kerjaan
ya?” tanya Sinta lagi, memastikan.
Andi menggeleng tegas, kembali
melahap sendok terakhir makanannya.
“Ryo, bagaimana sekolahmu tadi?”
Topik kembali berubah, Andi mencoba
mencairkan suasana.
Ryo mengacungkan jempol, mulutnya
masih penuh dengan makanan. Hari ini ada
makanan favoritnya, telur kocok disampur
sambal terasi. Biasanya dia tidak akan berhenti
makan sampai makanan di hadapannya habis,
sering kali nambah jika ada menu favoritnya.
Ryo mengambil segelas air di depannya,
menenggaknya habis.

97
“Seperti biasa, mantap.” Seru Ryo,
menghela nafas panjang.
“Ohya, nilai ujian matematika dari
sekolah sudah keluar tadi, disebutkan wali
kelas. Sialnya aku dapat nilai tertinggi lagi,
pak.” Ryo mendongakkan kepalanya keatas.
“Loh, sial bagaimana?”
“Dengan tahu nilai dia paling tinggi,
teman-temannya pasti akan banyak yang
bertanya dengannya, pak. Satu dua tidak
masalah, bahkan ada yang tetap menelfonnya
tengah malam untuk minta diajari.” Jelas Sinta
seakan mengerti arti raut wajah anaknya.
“Memangnya sulit?”
“Aku tidak tahu dengan yang lain,
menurutku sulit, pak. Dan setiap ujian aku
selalu keringat dingin melihat soal yang
beranak cucu. Apa lagi soal cerita, amsyong!”
Andi tertawa, suasana di meja itu
menghangat.

98
“Selagi kamu bisa bantu, bantu saja ya.
Tidak ada salahnya membantu, tapi mengajari
ya, bukannya dikasih tahu saja.”
Ryo mengangguk, tersenyum tipis, “Bu,
boleh nambah lagi gak?”
“Yakin kamu?” dahinya melipat.
“Sudah, makan pisang goreng aja, nih. Pakai
saus jika perlu, bayangin aja telor ceplok.”
Lanjut Sinta.
Dengan sedikit terpaksa akhirnya
pisang goreng itu menjadi makanan penutup
Ryo. Dia bukannya tidak suka pisang goreng,
selain pare, makanan lain dapat masuk dengan
mudah ke mulutnya.
Lampu kuning yang menggantung di
atas meja makan membuat suasana menjadi
hangat, topik pembicaraan berganti-ganti, dan
selalu berakhir dengan guyonan Andi yang
tidak jarang garing dan renyah. Untungnya
pisang goreng yang enak itu menjadi
penyelamat obrolan malam, taburan coklat dan

99
parutan keju menjadikannya perpaduan yang
enak sebagai makanan penutup.
“Bapak, bagaimana pekerjaannya tadi,
lancar?” Tanya Sinta.
“Ohh, iya. Baik sekali perkem-
bangannya tadi.” Jawab Andi spontan, “Tadi
bapak juga sempat di panggil atasan, bapak
mendapat kepercayaan dengan dipindah
tugaskan ke laboratorium daerah lain untuk
perkembangan lanjutan.” Lanjut Andi.
Dengan saksama, perhatian langsung
tertuju pada Andi, informasi yang dibawanya
mereka rasa adalah penting, tidak boleh
terlewat. Selain Sinta yang nampak antusias
dan senyum-senyum, Ryo juga tidak kalah
perhatiannya, matanya membulat tiap kali
Andi menyebut kata laboratorium. Mungkin
memang sudah darah yang diturunkan bapak
ke anaknya, jadi kesukaan mereka sama.
“Wahh dengar Yo, kamu harus belajar
lebih giat lagi, biar lebih hebat lagi dari bapak.”

100
ucap Sinta menepuk-nepuk pundak Andi. “Bisa
kan kamu?”
Ryo menyeringai lebar, tanda dia belum
punya jawaban, lebih tepatnya dia belum
pernah berpikir sampai sana.
“Kapan berangkatnya?”
“Oh untuk itu, bapak harus berangkat
besok pagi dengan pesawat. Untuk tahu
tempatnya terlebih dahulu. Makanya bapak
datang lebih awal.” jawab Andi dengan jelas.
Dia belum tahu akan kemana, yang jelas itu
adalah jawaban yang masuk akal dan tidak
memancing pertanyaan yang lainnya. Dia
belum tahu apa perjalanan ini akan baik
nantinya.
“Wahh bapak besok berangkat, hmm.
Kerjanya yang semangat ya, pak. Biar cepet
pulangnya.” Ryo berseru, lalu sibuk meniup
tehnya yang masih mengepul.
Andi mengangguk, itu benar, dia harus
segera menyelesaikannya. Lebih cepat akan
lebih baik.

101
Jarum jam menunjukkan pukul sem-
bilan, obrolan mereka terhenti, waktu memang
pandai menghancurkan kehangatan yang
sudah terbentuk. Ryo merapikan buku-
bukunya yang berserakan di ruang tengah,
dengan langkah sedikit cepat dirinya sudah
berada di kamar, besok dia tidak boleh
terlambat bangun. Sebenarnya, dirinya tidak
pernah terlambat bangun, Sinta selalu sudah
mengetuk pintu kamarnya satu jam sebelum
alarm berbunyi. Memang benar, ibu adalah
alarm alami yang terbaik. Esok pagi, mungkin
bukan Sinta saja yang membangunkan, bisa
jadi Andi, besok adalah hari yang penting.
Lampu kamarnya padam, gelap meny-
eruak seketika, tapi tidak lama, stiker fosfor
yang ditempelnya dengan Andi sebulan lalu
mulai bersinar di langir-langit. Cahaya redup
kehijauan yang hampir memenuhi langit-langit
menjadikan pemandangan galaksi buatan yang
indah sebagai teman sebelum tidur.

102
“Tunggu—“ tangan Ryo merambat ke
meja kecil di sebelah ranjang, mencari saklar
lampu meja. Cahaya kuning yang muncul dari
bohlam lampu Edison cukup membuat sisi
ranjang terang, sebuah buku usang bersampul
cokelat sudah tergeletak disana, hanya tersen-
tuh setiap malam.
Ada sebuah pelajaran penting yang
pernah diajarkan Andi pada Ryo, dan sampai
saat ini sudah begitu tertanam di kepalanya.
“Kamu tahu apa yang terpenting
sebelum tidur? Yaitu bermimpi sebelum tidur.”
Tangannya yang penuh dengan coretan
angka, bekas menghitung tadi mulai membuka
halaman pertama. Ryo mengambil nafas
panjang, melihat tulisan tangannya dua tahun
yang lalu adalah cobaan, meski begitu, hanya
dia yang dapat membaca tulisan yang macam
ceker ayam itu.
“Kamu tahukan setiap orang itu harus
punya mimpi? Itu memang benar, semua orang

103
memang pernah bermimpi, tapi tidak semua
orang mengingat mimpinya.”
Di awali dengan rasa ragu yang
menyelimuti sejak awal, akhirnya Ryo menye-
lesaikan misi itu, menulis lima puluh mimpi
yang ingin dia capai. Awalnya Andi meminta
menulis hingga seratus mimpi, tapi dengan
umurnya saat itu apalah yang dapat dia
impikan. Alhasil Ryo hanya mampu menulis-
kan hingga lima puluh mimpi, itupun hingga
otaknya serasa ingin meledak, dia tidak pernah
tahu bahwa bermimpi akan sesulit ini. Semua
mimpi, mulai dari yang masuk akal hingga yang
aneh, seperti juara satu lomba makan kerupuk
nasional juga ditulisnya saat itu.
Setelah dua tahun berlalu, dia tetap
mempertahankan mimpinya. Kini dirinya
bersyukur mulai ada mimpi yang telah ia capai,
dan tangannya bisa dengan senang hati
mencoret mimpi itu dari daftar. Masih ada tiga
puluh lebih mimpi yang belum dia capai, dan

104
sepertinya Juara satu lomba makan kerupuk
skala Nasional akan yang paling sulit dia capai.
IMPIANKU
1. Naik haji bersama bapak dan ibu
2. Ingin punya rumah besar
3. Dapat rangking 1
4. Dapat sepeda dari presiden
5. Mendaki gunung
6. ...........
7. .........

50. Juara satu lomba makan kerupuk Skala


Nasional

“Nah, lihat, tiap kali sebelum mata kamu


terpejam ketika ingin tidur. Hadapakan wajah
kamu ke langit-langit dan lihat lah impian-
impian yang sudah kamu tulis tadi. Lihat-baik-
baik semua impian-impian itu, kuatkan niat
dalam hati kamu untuk dapat meraihnya. Lalu
pejamkan lah mata kamu, bayangkan semua
impian kamu. Bayangkan lah, saat impian kamu
sudah kamu dapatkan. Rasakan, peganglah,

105
rabalah, ingatlah rasa saat kamu
mendapatkannya. Lihatlah betapa bahagianya
bapak dan ibu nanti jika kamu dapat meraih
impian besar kamu.”
“Ingat terus cara yang bapak
sampaikan tadi. Dengan keyakinan besar dan
kemauan yang besar untuk meraih impian itu.
Dunia ini perlu orang-orang yang bermimpi
dengan mata terbuka. Selain bermimpi,
mewujudkannya juga penting.”
Ryo memejamkan mata. Kini tidak ada
yang dapat menghentikannya, imajinasinya
sudah melalang buana, menjelajah mimpinya
sendiri. Hingga kelak terwujud.
***

“Say, kamu kerjanya berapa lama?”


tanya Sinta, sambil merebahkan dirinya di
samping Andi.
“Hmm, aku juga belum tahu pasti, bu.”
Andi terdiam, memiringkan tubuhnya ke Santi.

106
“Tapi aku mau ngomong sesuatu.
Nanti, selama aku bekerja disana, aku tidak
diizinkan punya akses keluar. Oleh sebab itu
aku tidak bisa kontak kalian nanti. Jadi aku
minta tolong sama kamu, jika nanti aku
perginya lama. Tolong beri tahu kalau aku
selalu menghubungi kamu terus. Aku tidak
mau Ryo merasa kehilangan.”
“Tapi...kamu baik-baik disana. Jaga
kesehatannya, kalau punya kesempatan
hubungi aku ya. Kabarin aku.” Jelas Sinta
dengan suara yang serak.
Pandangan mereka bertemu, tidak ada
satu kedipan yang mampu mengganggu
mereka, malam itu adalah malam terakhir
mereka bertemu. Setidaknya untuk semen-
tara.
“Kamu baik-baik juga disini. Tidak
usah khawatirkan aku.” Ucap Andi, terse-
nyum.
***

107
“Ryo, ayo bangun. Bapak mau
berangkat.”
Pukul empat pagi, burung pun masih
terlelap tidur. Lampu kamar Ryo sudah meny-
ala terang, Sinta membangunkan anaknya
yang masih terperangkap hangatnya selimut,
udara langit subuh memang suka membawa
hawa dingin yang menusuk tulang. Cela
ventilasi yang tidak bisa menghalau angin
masuk membuatnya tidak punya pilihan lain
untuk menyembunyikan diri di balik selimut
tebal.
Di sisi rumah yang lain, Andi sudah
bersiap-siap dengan semua keperluan yang
mengharuskan dirinya membawa koper besar.
Sebuah mobil sedan berwarna hitam sudah
menunggu sejak pukul tiga pagi. Mereka
datang lebih cepat dari dugaan, lebih tepatnya
Andi tidak tahu jam berapa mereka akan
datang, yang pasti tidak mungkin datang sepagi
ini, kecuali mereka punya pesawat pribadi yang
memang bisa terbang kapan saja.

108
“Hmm, iya bu, sejam lagi.” suara Ryo
dari balik selimut terdengar terdengar samar-
samar. Mulutnya saja yang mulai sadar, tapi
matanya masih terpejam.
“Itu bapak mau berangkat, ayo
bangunn…cepet!” seru Sinta sambil menarik
selimut.
Akhirnya Ryo tampak sadar, duduk di
sisi tempat tidur, melangkah sungut-sungut
menuju pintu kamar. Masih dengan kondisi
setengah sadar, dirinya berjalan ke kamar
mandi, hendak mencuci muka.
Dua orang berpakaian jas sudah
menunggu di luar pintu rumah. Ryo berjalan ke
ruang tamu dengan kondisi yang lebih baik.
“Sudah mau berangkat, pak?” tanya
Ryo, sedikit menguap.
Andi tersenyum, memberi kode agar
Sinta pergi keluar rumah dahulu. Seakan
mengerti dengan cepat kondisinya, Sinta
langsung bergegas membawa koper besar yang
sedari tadi sudah berdiam diri di sebelah meja,

109
dua orang yang tadi berdiri juga nampak
membantu Sinta membawa koper besar itu
menuju mobil.
“Ryo, bapak mau ngomong sebentar
sama kamu.”
Ryo mengangguk, kantuknya hilang.
“Kamu harus berjanji, selama bapak
gak ada, kamu harus menjaga ibu. Kamu harus
gantiin posisi bapak. Oke?” Andi terse-nyum,
tangan kanannya mengangkat.
“Siap!” Ryo menyambut tangan bapak
dengan melakukan Tos.
Suara deru mobil sedan itu terdengar
hingga ke dalam rumah, pintu belakang itu
berdebam ketika Andi menutupnya dengan
kencang, kacanya masih setengah menutup.
“Ryo, ingat janjimu.” Seru Andi, terse-
nyum. Melihat Ryo dan Sinta bergantian.
Ryo mengangguk dengan tegas, Sinta
juga tersenyum tipis.
“Bapak pergi dulu, ya.”

110
Sebuah perjanjian singkat, yang tidak
dia tahu akan berjangka panjang, bukan jam,
bukan juga hanya hari atau bulan, atau tahun
bahkan bertahun-tahun. Semua fakta itu
terkunci rapat, menanti untuk ditemukan Ryo
sendiri suatu hari nanti.
***

111
Starting

Langkah kaki seseorang menghampiri


Ryo dari belakang. Kakinya merasakan geta-
ran langkah kaki yang semakin lama makin
terasa. Seakan tidak bergeming dengan apa
yang sedang menghampirinya, Ryo tetap fokus
ke buku yang sedang ia baca di meja belajar.
“Heyy kamu sedang apaaa...”
Seruan itu berhasil membuat Ryo
berkedip, dan membuyarkan konsentrasi. Ryo
menghela nafas panjang, waktu membaca buku

112
adalah waktu yang tidak boleh di ganggu gugat
oleh orang lain.
“Huh! bapak, kagetin aja.” Grutu Ryo,
menutup buku tebal yang sedang dia baca.
Setelah tiga tahun berlalu, Ryo masih
belum terbiasa dengan orang baru di rumah,
yaitu Andi. Bukan orang baru sebenarnya,
lebih tepatnya orang yang baru datang setelah
tiga tahun begitu saja menghilang. Hingga saat
ini, dirinya masih belum begitu tertarik untuk
menanyakan kenapa? Dan apa alasannya yang
pantas untuk membayar semua rasa
kehilangannya selama ini.
“Kamu sedang baca apa?” tanya Andi
melihat buku yang sampulnya hanya
menunjukkan foto tengkorak manusia, “Ohh,
buku anatomi tubuh manusia. Kamu suka
membaca buku tentang makhluk hidup ya
ternyata.” lanjut Andi
“Iseng-iseng, seru juga.” Jawab Ryo,
tertawa.

113
Sudah hampir 3 hari Andi berada di
rumah. Kebanyakan Andi menghabiskan
waktunya di dalam rumah, menebus semua
waktu yang tidak bisa di ulang sebisa yang dia
mampu. Ya sesekali ke rumah kerabat dekat,
untuk bertegur sapa, maupun berkeliling saat
pagi dan sore hari, sekedar bertemu dengan
orang-orang dan berolahraga dengan jalan
santai. Ia tak sendiri, biasanya ditemani oleh
Ryo. Selama jalan santai, obrolan tidak bisa
terhindarkan, meski masih canggung untuk
bertanya macam-macam, tapi tetap saja kabar
yang terbaik adalah kabar dapat diucapkan
langsung dari orangnya.
“Jadi, kamu udah ngapain aja selama
gak ada bapak?” tanya Andi, melepaskan
ketegangan.
“Mau dari mana dulu, baik atau
buruk?”
Andi tertegun, respon yang tidak dia
duga sebelumnya. Senyum muncul dari
wajahnya, dia dapat melihat perkembangan

114
anaknya yang mulai dewasa dari caranya
bicara saja.
“Ok, dari buruk dulu.”
“Ryo masih belum jadi Juara satu
makan kerupuk skala Nasional.” Seru Ryo, lalu
tertawa sendiri.
“What?”
Ryo menggeleng, mengerti bapaknya
tidak paham apa yang baru saja dia ucapkan.
Tentu saja mimpi-mimpi yang dia tulis di
selembar kertas itu hanya dialah yang tahu,
Andi tidak pernah sekalipun menanyakan
mimpinya. Demi menghentikan wajah bingung
Andi, akhirnya Ryo menjelaskan bahwa itu
hanyalah satu dari beberapa impian konyol
yang pernah dia buat lima tahun yang lalu.
Selesai dijelaskan, kini giliran Andi
yang tertawa, dia mengingat semua yang dia
ajarkan.
“Oke-oke, jadi apa baiknya?” Andi
menepuk-nepuk pundak Ryo.

115
“Kemarin, aku bedah buku
pertamaku.” Seru Ryo, menyeringai lebar.
Andi menggeleng-geleng tidak percaya.
“Kamu tahu, Ryo. Kamu udah bikin
bapak bangga. Itu impian bapak dulu, eh,
malah kamu duluan. Mantap betul!”
Mereka berdua tertawa, jalan santai itu
berhasil membuat rasa canggung menguap dan
menghilang terbawa angin.
Perjalanan mereka lanjut ke arah
persawahan dekat rumahnya. Jalan sebagian
sudah ada yang terlapisi dengan aspal, tapi
tidak seluruhnya, hanya mulai dari jalan utama
hinga seratus meter ke depan, sisanya
hanyalah jalan tanah berbatu. Ryo melihat
sekeliling sawah, tanaman padi tengah
menguning, tanda hari panen akan segera tiba.
“Cari Zingiberis rhizoma, yuk!” seru
Ryo, seringai lebar terbentuk di wajahnya.
Sederhananya dia ingin mencari jahe, tapi dia
malah menyebut nama latinnya, sengaja, ingin

116
mengerjai bapaknya. Mata Ryo melirik, bapa-
knya masih belum bergeming.
“Mana ada jahe di sawah yang isinya
padi semua begini?” seru Andi, tangannya di
pinggang, sepertinya dia tidak merasa sedang
dikerjai.
Ryo melipat bibir, usahanya baru saja
gagal. Seharusnya dia tahu, bapaknya lebih
pintar dibanding dirinya.
“Kamu mau ngerjain bapak, ya?” Andi
menyikut.
Ryo menoleh, tertawa, rencananya
benar-benar gagal.
“Seharusnya kamu tidak mengerjai
orang bertitle Master Sains di belakang
namanya dengan lelucon itu.”
“Baku banget bahasanya,” Ryo berseru,
melipat tangannya, masih tidak men-erima
perbandingan antara bapak dan anak yang
ada.
“Tapi bapak bangga juga sama kamu,
dapat menghafal nama latin tanaman.

117
Tingkatkan lagi ya, kalahkan bapak.” Andi
tertawa, berjalan lebih dulu, “Yaudah, ayo kita
cari Zingiber officinale atau tanaman jahenya
dulu.”
KTRANGG KTRANGGG DUGGGGGGG
GRDDDUKK.....
Baru beberapa langkah berjalan, tiba-
tiba terdengar suara keras sekali dari arah
belakang mereka. Mereka membalikkan
badannya, terlihat sebuah pria tua sudah ada
di tanah tertimpa sepeda yang mengangkut
karung-karung penuh padi. Pria tua itu terlihat
kesusahan untuk bangun karena badannya
tertimpa tumpukan padi yang dia bawa di
sepedanya.
Andi langsung berlari, segera meno-
long.
“Cepet bantu!.” Seru Andi sambil
berlari.
Seperti tertampar dengan teriakan itu,
Ryo baru tersadar akibat terpaku melihat
kejadian yang berlangsung dengan cepat itu.

118
Dirinya langsung berlari dengan cepat memb-
antu, menyingkirkan karung berisi penuh padi
yang beratnya lebih dari sepuluh kilo. Beberapa
menit ditolong, bapak tua itu terlihat baik-baik
saja. Topi dari anyaman bambu yang dia bawa
nampak penyok di beberapa sisi, bukan
masalah besar, hanya perlu didorong dari
dalam, bentuknya langsung berubah seperti
sedia kala.
“Ayo pak biar kami bantu memba-
wakannya.”
“Ohh tak usah pak, ngerepotin banget.
Barusan saja saya ngerepotin bapak.
Terimakasih ya, pak, ade juga.” jawab pria itu
dengan nada yang sopan sekali, mengga-
mbarkan keramahan pribumi.
“Gak ngerepotin kok, pak. kita juga
sekalian ingin jalan-jalan di sawah. Ya gapapa
sekalian bantu-bantu bapak bawaain ini.” ucap
Ryo sambil menaikkan sekarung padi ke atas
sepeda.

119
Pria tua tidak bisa menolak, mereka
melanjutkan perjalanan, urusan jahe di
kesampingkan dulu. Sedikit tertatih pria itu
berjalan sambil membawa sepedanya, Ryo
asyik melihat sekitar sambil terus memegang
tumpukan karung padi yang hampir setinggi
tubuhnya. Di ujung jalanan berbatu yang
ditumbuhi ilalang sebuah saung sudah
menunggu mereka. Saung milik pria tua itu
menempel dengan pohon kapuk yang sudah
berbuah lebat, beberapa kapuk yang keluar
dari buah yang mengering terlihat berte-
rbangan. Jauh dari jalan utama yang lumayan
bagus untuk diinjak, mereka perlu melewati
tepi sawah yang hanya bisa dilewati satu orang
aja. Perlahan tapi pasti mereka bisa melewati
dengan lancar, beruntung tepi pesawahan yang
mulai mengering membuat ketakutan akan
tercebur ke dalam lumpur agak berkurang.
Pria tua itu masuk ke dalam bilik kecil
yang terbuat dari bambu. Ryo dan Andi duduk
bersandar di tiang saung yang sudah agak

120
lapuk. Meski begitu, saung itu cukup besar dan
lebar, pantas hasil panen dibawa kesana.
“Maaf ya, Cuma ada air putih disini.”
Pria tua itu mengambil teko besi dan beberapa
gelas kaca di atas nampan plastik.
“Bapak tidak perlu repot-repot seben-
arnya.” Andi menyambut gelas kaca yang
sudah terisi air penuh, disebelahnya Ryo sudah
menenggak habis seisi gelas.
“Ah, tidak masalah, hanya air putih
saja. Jika ada yang lain akan saya kasih.” Pria
tua itu tertawa, lalu duduk bersila, nafasnya
terdengar sedikit terengah-engah.
“Maaf, bapak ini namanya siapa ya?
Tidak sopan saya tadi sudah dibantu tapi tidak
kenal nama.” Pria tua itu tertawa lg, keringat
yang mengalir di lehernya sudah kering terkena
baju.
“Betul, saya Andi, dan ini anak saya
Ryo.” Jelas Andi.
“Oh, saya Mbah Asep. Kalian bukan
orang sini ya? Baru lihat saya.”

121
“Kami orang sini kok, pak. Memang
saya baru pulang karena kerja diluar kota, jadi
jarang ada disini.”
“Sejuk sekali disini ya, pak.” Lanjut
Andi, matanya menyibak seluruh hamparan
padi yang mulai menguning.
Sejuk sekali saung yang mereka
duduki, dengan langit-langit yang berhias
daun- daun kelapa dan genteng dari tanah.
Anginnya pun tidak kalah, membuat suasana
panas siang hari menjadi kalah karena
sejuknya. Mereka bertiga duduk di lantai saung
yang dibuat tinggi, kira-kira setengah meter
dari tanah. Andi masih berbincang-bincang
dengan Mbah Asep. Sedangkan Ryo
merebahkan dirinya di pelataran dengan
memandang langit-langit yang cerah saat itu.
Kedua telapak tangannya membantali kepala.
Angin yang lewat membuat suasana menjadi
makin nyaman. Dirinya terlena, hampir saja
kantuk melanda dirinya, sontak dirinya terd-
uduk, mereka masih belum menemukan jahe.

122
“Bapak kita kan lagi nyari jahe.” Ryo
berseru.
Obrolan terhenti, Andi menjentikkan
jari, dirinya juga lupa.
“Benar, Mbah Asep, tahu dimana kita
bisa cari jahe?”
Mbah Asep tersenyum, mengangguk
semangat. Tanpa bicara apa-apa, Mbah Asep
berjalan menuju pekarangan belakang saung.
Ryo segera turun dan mengikuti ke belakang.
Sampai ke belakang, Ryo menjentikkan jari,
beberapa tanaman jahe tumbuh rapi dan
subur.
“Keren!” Ryo tertawa, memperhatikan
tanaman jahe mulai dari yg baru tumbuh tunas
hingga yang sudah cukup matang.
“Ini dek tanaman jahenya, kalau mau
kamu ambil saja. Bapak punya banyak.” Mbah
Asep menunjuk kearah tanaman jahe yang
sudah siap panen. Ryo mengangguk, memang
cukup banyak, dua puluh lebih yang ditanam,
belum yang ada di pot.

123
“Banyak sekali, pak. Tanaman sirih
juga tumbuh sampai ke atas saung, saya tidak
lihat tadi dari depan.” Ryo berjalan,
memperhatikan dinding saung yang sepen-
uhnya sudah tertutupi daun sirih hijau dan
merah. Tidak jauh, di dekat kakinya juga
tumbuh tiga pohon. Keren! Ryo berseru lagi.
“Ini semua bukannya tanaman obat
ya? menanamnya sampai sebanyak ini?” tanya
Ryo saking penasaran. Sebab kebanyakan
tanaman yang ada di sawah paling tidak seperti
padi atau jagung. Pria tua berumur 50 tahun
itu hanya tersenyum. Belum sempat menjawab
pertanyaan dari Ryo, perhatian mereka
teralihkan oleh suara dari jauh yang tadi kecil
kini seakan mulai mendekat dan jelas.
“Mbahh...Mbahh...Asepppp....” dari
jauh ada pria yang berlari sambil meneriakkan
nama Mbah Asep beberapa kali, keringat dari
keningnya mulai mengucur, wajahnya panik,
pasti itu berita buruk.

124
Kami semua berjalan cepat menuju
depan saung, terlebih Mbah Asep yang seketika
langkahnya jadi lebih cepat. Asal suara tadi
sudah berdiri dengan nafas berderu di depan
saung.
“Mbahh…tolong anak saya, dia panas
tinggi badannya tolong mbah...” Jelas pria itu
sambil terus memegang tangan Mbah Asep,
berkali-kali dirinya memohon.
“Ayo cepat!” Mbah Asep berlari kecil ke
dalam saung, mengambil beberapa barang dan
memasukkannya ke dalam tas coklat lusuh.
Tanpa pikir panjang lagi, mereka segera
bergegas pergi. Beberapa orang juga berlari
datang, mereka punya niat yang sama.
“Ayo kita lihat anak bapak.” Mbah Asep
terlihat sangat serius menanggapi pertolongan
itu. Ryo merasa sepertinya ia harus mengikuti
begitu pun juga Andi. Akhirnya mereka semua
bergegas berjalan ke rumah pria tadi. Di
sepanjang jalan Mbah Asep terus menanyakan
apa yang terjadi dengan tenang. Sebentar saja

125
mereka sudah sampai di rumah pria itu.
Sesampainya disana Mbah Asep langsung
memeriksa keadaan anak pria itu. Ryo melihat
tangan Mbah Asep lihai sekali memeriksa anak
tersebut. Siapa dia sebenarnya? tanya Ryo
dalam hati. Andi yang sedari tadi melihat Mbah
Asep juga turut membantu dalam memeriksa
anak perempuan berusia 8 tahun yang sudah
terbaring lemas di atas tempat tidur. Dari
dalam tasnya ia mengeluarkan beberapa botol
yang berisi cairan.
“Begini pak, sepertinya anak bapak
hanya masuk angin ditambahan juga kelel-
ahan. Ini saya kasih obat racikan herbal yang
bisa meredakan panas badannya dan mena-
mbah nafsu makannya. Pasti kalau sakit kaya
gini nafsu makannya berkurang. Ini pak
silahkan ambil. Sebaiknya minum sampai dia
sembuh saja ya pak, aman kok ini kan herbal.”
Mbah Asep menjelaskan keadaan anak tersebut
dan memberikan obat. Ternyata yang ada di
dalam botol itu obat racikan herbal.

126
“Terima kasih banyak Mbah Asep,” Pria
itu merogoh saku celananya, “Hmmm ini,
mohon diterima.” pria tersebut menyodorkan
beberapa uang yang ada. Seketika juga Mbah
Asep menolak pemberian dari pria tersebut.
“Sebelumnya terima kasih atas
kebaikan bapak, tapi saya disini bukan apa-
apa. Saya hanya membantu. Sudah, saya
pamit, biar si ade bisa istirahat. Kalau sudah
lebih baik, sebaiknya bawa ke dokter, ya.” Jelas
Mbah Asep, senyumnya tidak terputus sejak
tadi, dia benar-benar menolong dengan
sukarela.
Selesai dengan urusan, mereka bertiga
kembali ke saung Mbah Asep.
“Oh jadi Mbah Asep ini semacam tabib
ya?” tanya Andi di tengah perjalanan.
“Ga gitu kok pak, saya hanya kebetulan
bisa dan ada pengalaman dengan tanaman
obat. Ya jadi saya membantu sebisa saya bila
ada yang membutuhkan.” jelas Mbah Asep
sambil tersenyum.

127
“Tapi belakangan ini ada beberapa
orang yang meninggal dengan tak wajar,
mereka seperti dihinggapi penyakit yang
langka. Saya sudah melihat gejalanya, mereka
hanya tertidur seperti koma tapi beberapa hari
kemudian mereka meninggal. Saya sudah
mencari-cari apa tanaman yang cocok untuk
mengobatinya, tapi hasilnya nihil.” lanjut Mbah
Asep, raut wajah sedih begitu tampak di balik
kerutan wajahnya yang sudah semakin terlihat.
Dari sekian banyak obrolah Mbah Asep
dan Andi. Obrolan mereka tentang penyakit
aneh ini adalah yang paling menyita perhatian
Ryo.
“Oh jadi begitu ya, sepertinya sudah
menyebar sampai sini penyakit itu. Penyakit
baru itu kini dinamakan Midnight, ya seperti
yang bapak jelaskan tadi. Seperti tertidur tapi
dalam waktu 5 hari tanpa ada pengobatan
pasien akan meninggal. Itu karena virus.” jelas
Andi, wajahnya tidak jauh berbeda.

128
Sampai lah mereka di saung Mbah
Asep. Melihat kondisi hari yang mulai panas,
Andi memutuskan untuk pamit, karena ingin
membiarkan Mbah Asep istirahat. Setelah
jatuh dari sepeda tadi, dia belum istirahat sama
sekali, belum lagi dengan peristiwa tadi.
Dengan umurnya yang sudah kepala lima,
pastilah sangat melelahkan.
“Mbah Asep, kita pamit ya. Sudah
lama juga kita disini, biar bapak bisa
istirahat—“
“Tunggu-tunggu,” Mbah Asep berjalan
cepat ke dalam saung, mengambil kantong
kresek hitam, “Nah, ini jahemu, lumayan buat
bikin jahe anget. Seger, Toh.” Jelasnya sambil
tertawa.
“Ehh, iya, makasih banyak, tahu aja
nih mbah. Kalau saya ingin buat itu
hehehehe...” Ryo segera mengambil kantong
kresek yang penuh dengan jahe itu.
Mereka berpamitan, dan segera
berjalan menuju rumah. Peluh di dahi belum

129
juga surut setelah dari rumah anak tadi,
untungnya jahe yang menjadi objek pencarian
mereka sudah ada di tangan. Dalam waktu
singkat, banyak yang telah sudah terjadi. Di
perjalanan, Ryo masih kepikiran tentang virus
berbahaya yang kini sudah mulai tersebar. Ia
mengira pasti bapak tahu tentang penyakit ini.
Tapi Ryo mengurungkan niatnya untuk
bertanya sekarang, karena yang ada
dipikirannya sekarang adalah dapat menik-
mati minuman jahe buatan ibu tercinta
bersama bapak nanti malam.
***

130
Keluar
From : Dicky
Yo, ke rumah gue ya jam 8. Disini udah
ada Arif. Jadi cepetan ya!! Sampe loe telat traktir
mie ayam dua mangkok!!!

Pukul lima pagi, hari libur. Manusia


jenis apa yang bangun pagi-pagi di hari libur,
Ryo menggerutu dalam hati. Salah satunya
dirinya. Tentu saja dia bangun, selain alarm,
nada dering pesan di ponselnya juga terbilang

131
keras. Pagi itu, misi sudah di tangan, hari ini
dia akan ke rumah Dicky, entah apa yang akan
terjadi disana. Dicky tidak akan pernah
memberi tahu dirinya kalau belum sampai di
rumahnya nanti. Jengkel memang, tapi masih
dalam skala wajar. Lagipula jarang-jarang
Dicky mengirim pesan padanya.
. Kantuknya hilang setelah Dicky bilang
Arif juga ada disana. Sepertinya bakal seru! Ryo
menyeringai. Mereka bertiga sudah berteman
akrab sejak duduk di bangku SD, setelah lulus
SD, dan masuk dengan SMP yang sama mereka
mulai jarang kumpul, terutama setelah masuk
SMA yang membuat mereka semakin pecah,
lupa mungkin. Lantai sudah di sapu dan di pel
basah semuanya kamarpun sudah dibersihkan
kembali seperti semula saat barang-barang
tidak lagi berserakan. Badan pun sudah segar
selepas mandi. Hari libur ini tidak akan
membo-sankan! Seru Ryo dalam hati.
Pukul 6 pagi, dirinya bergegas beran-
gkat.

132
“Dompet, jam tangan, tas selempang,
nyawa juga udah, sudah pakai minyak wangi
juga. Sudah semuanya kayanya.” Ryo keluar
kamar, pamit dengan ibunya yang sedang
sibuk masak di dapur, “Bu, ke rumah Dicky ya.
Jangan nyariin.”
“Iya, salamin sama ibunya Dicky, ya.”
Satu syarat sudah terpenuhi, izin
sudah di kantongi, dirinya bisa melenggang
keluar rumah tanpa beban sekarang. Di teras
depan ada Andi yang sedang melakukan
pemanasan untuk olahraga minggu pagi.
Memakai celana pendek, baju kaos dan sepatu
olahraga putih nya.
Satuu..dua...tiga..empat..lima...
“Loh kamu tidak bawa motor?” tanya
Andi, menghentikan pemanasan.
“Gak usah, rumah Dicky lumayan
deket dari sini. ya hitung-hitung untuk
olahraga dengan jalan kaki.”
Pagi itu banyak orang yang melakukan
lari pagi bersama-sama keliling kampung.

133
Mungkin juga karena cuaca sedang cerah tidak
seperti minggu-minggu yang lainnya, yang
biasanya kalau malam minggu hujan lebat
sering sekali turun, mungkin itu doa para
jomblo, entahlah. Alhasil paginya jalanan
menjadi becek dan air menggenang ada
dimana-mana. Tapi, pagi ini berbeda, semalam
hujan tidak turun, matahari cerah tanpa
tertutup awan. Orang-orang yang biasanya di
dalam rumah, keluar untuk berolahraga dan
beraktivitas di hari libur. Lebih penting lagi
adalah bertegur sapa dan saling berinteraksi
dengan warga yang lainnya, membuat setiap
pagi menjadi lebih menyenangkan. Tidak
terasa, perjalanan menyusuri gang-gang kecil
menuju rumah Dicky berlalu begitu cepat.
“Pagi amat lu Yo! kebiasaan Mr.On
Time. Hahaha….” kalimat selamat datang yang
diserukan orang yang tengah duduk santai di
sofa.
“Mau bagaimana lagi, gua diancam.”
Seru Ryo, berjalan menuju sofa. “Ming-

134
gir...minggirr…makan lapak banget lu, Rif.” Ryo
menggeser badan Arif yang hampir menutupi
seluruh sofa. Tidak lama Dicky datang dari
dalam membawa botol minuman dan
melemparkannya.
Wuuushhhh......tangkapp...
Dengan tangkas kedua tangan mereka
menangkap botol yang dilempar tadi dengan
pas dan tepat.
“Udah diminum dulu, lagian datangnya
kepagian banget. Ah, mungkin karena kalian
jomblo, gak ada yang ngajak lari pagi.” Dicky
berseru, tertawa sendiri.
Arif melempar tutup botol yang sedari
tadi dia pegang, “Ngaca dulu kalau mau
ngomong!”
“Baru juga jam setengah tujuh, udah
dateng. Kan jam 8, broo.” lanjut Dicky, dirinya
berhasil mengelak dari lemparan tutup botol.
Pada dasarnya mereka tidak akan
pernah akur jika bertemu, sudah kebiasaan
sedari dulu. Itulah mereka Tiga serangkai.

135
***
Tiga serangkai
Sebutan ini pertama kali mereka
dapatkan ketika SD. Bertiga di dalam kelas
yang sama. Saat itu adalah kelas 5A. Jumlah
siswa yang ada di dalam kelas kira-kira 40
orang. Setiap meja yang pada umumnya selalu
diisi oleh 2 orang siswa. Setiap istirahat seko-
lah mereka terlihat seperti umumnya murid-
murid yang lainnya. Bermain satu sama lain,
kejar-kejaran, dan ada juga yang belajar di
kelas. Tidak lupa pula mereka pernah bermain
bola dengan anak-anak yang lainnya saat
istirahat, bukan dengan bola biasa tapi Ryo
pernah mengambil Bola Dunia berukuran
setengah meter yang sudah tidak terpakai lagi
di gudang. Tebalnya dan kerasnya plastik yang
membentuk Bola Dunia itu membuat perma-
inan bola saat tidak berlangsung lama, hanya 5
menit saja, permainan selesai. Barang siapa
yang menendang bola besar itu tidak ada yang
tidak berujung pincang, akhirnya mereka

136
berjalan pincang ke kelas. Wajar saja mereka
pincang karena jarang sekali ada yang
memakai sepatu saat bermain bola masa itu,
apa lagi dengan bola sebesar itu.
KRIIINGNNNGGGG....bel sekolah tanda
berakhirnya istirahat. Murid-murid bergegas
menuju ruang kelas nya masing-masing. Begitu
juga Ryo, Arif, dan Dicky. Mereka masuk
keruang kelas 5A. Disaat murid yang lain
bersiap dengan pelajaran yang akan di mulai,
Ryo menarik bangkunya ke depan serta
membawa tasnya ke meja paling depan. Sampai
akhirnya mereka duduk bertiga dalam satu
meja. Jadi dalam satu meja yang paling depan
itu diduduki oleh 3 orang yaitu Arif, Dicky, dan
Ryo. Pemandangan yang sudah tidak asing lagi
dilihat teman sekelasnya. Bahkan wali kelas
dan guru-guru juga tahu kebiasaan mereka
bertiga. Memang sehar-usnya dalam satu meja
ditempati oleh 2 orang saja, tetapi mereka
mendapat pengecualian dari setiap guru.
Dalam satu sekolah mungkin hanya mereka

137
yang melakukannya. Bukan karena faktor
orang tua mereka yang meminta. Tapi
keistimewaan Arif, Dicky, dan Ryo dalam
menerima pelajaran yang diajarkan. Mereka
tidak segan-segan saling berlomba dalam
mengisi soal yang diberikan oleh guru dan
menuliskannya di depan. Bahkan soal
Matematika pun mereka selesa-ikan secara
tuntas. Kerja sama mereka dalam belajar
memang membuat setiap guru senang
melihatnya.
Senin pagi di setiap sekolah pasti
mengadakan upacara bendera untuk mengib-
arkan Sang Merah Putih dan untuk menghargai
jasa para pahlawan. Perlengkapan setiap
petugas upacara selalu lengkap dan gagah bagi
siapa saja yang melihatnya. Di kepala selalu
ada peci hitam yang dipakai petugas lelaki.
Susunan petugas upacara selalu di bentuk oleh
wali kelas yang menjadi pembina upacara.
Untuk senin kali ini yang berkesempatan
adalah kelas 5A dengan wali kelas Bu Lia. Tidak

138
seperti biasanya Bu Lia menyusun semua
petugas upacaranya adalah laki-laki bahkan
pengibar bendera pun yang biasanya dilakukan
oleh wanita kini diganti dengan murid laki-laki.
Setiap pulang sekolah dan hari minggu kelas
5A berlatih keras untuk upacara yang akan
datang. Untuk pengibar bendera Bu Lia
memilih 1 paket anak yaitu Arif, Dicky, dan
Ryo. Mau tidak mau mereka harus tetap
melakukannya dan berusaha yang terbaik.
“Untuk yang menjadi pengibar bendera
ibu pilih Arif, Dicky, dan Ryo. Kalian akan
menjadi pengibar bendera laki-laki pertama
dalam Upacara nanti. Oke. Jadi ibu harap
kesiapan kalian bertiga untuk latihan.” tutur
Bu Lia.
Sesi latihan mereka berlangsung seru
dan tertib. Mengingat ini adalah upacara yang
cukup unik dengan petugas yang keselur-
uhannya adalah laki-laki.
Saat upacara dimulai semua berjalan
dengan lancar. Para peserta upacara juga

139
terlihat tertib dan antusias dalam mengikuti
upacara. Susunan acara dalam upacara di
laksanakan dengan rapi dan lancar. Sampai
dengan waktu amanat yang disampaikan oleh
Bu Lia sebagai pembina upacara. Ia sempat
memuji kerja dari petugas-petugas yang ada
karena telah bekerja dengan bagus. Ditambah
lagi dengan menyebutkan bahwa semua
petugas upacara adalah laki-laki, karena pada
sebelumnya laki-laki hanya diberi peran sedikit
dalam melaksanakan dalam upacara. Namun
kini diberi kesempatan oleh bu Lia.
“Ya saya tunjukan terima kasih juga
para petugas yang sudah melaksanakan tugas
dengan baik. Bisa dilihat kalau semua petugas
disini adalah laki-laki. Ayo kita ancungin jempol,
karena biasanya cewek yang banyak jadi
petugas kini laki-laki juga punya kesem-patan.
Ibu dan bapak ibu guru sekalian, disini saya
memilih anak-anak yang super untuk menjadi
petugas. Seperti pengibar bendera disana bisa
bapak ibu lihat. Mereka itu super. Super apa?

140
Super bandel, super pinter, super rajin dah
pokoknya.......”
Ternyata tidak hanya dalam belajar.
Keunggulan di dalam diri juga ada. Seperti Ryo,
Gambarnya yang diwarnai dengan krayon tidak
pernah absen dari mading sekolah. Mulai dari
SD dan SMP, gambarnya selalu ada di mading
sekolah. Beda dengan SD, di SMP lebih sering
menggambar komik dengan pulp-en ditambah
tulisan-tulisan positif seperti membuang
sampah pada tempatnya. Beda satu sama lain,
diantara ketiganya, Dicky adalah salah satu
yang paling jago main PS, ditambah dengan
anime yang tidak pernah putus dilihat. Hingga
sampai SD saja, Dicky sudah bisa melafalkan
huruf Hiragana dan Katakana. Bicara soal Arif,
manusia inilah yang paling pendiam jika dilihat
dari luar, tapi jangan ragukan soal otak encer,
dibanding mereka bertiga, Arif lah yang otaknya
paling encer. Namanya tidak pernah longsor
dari rangking satu kelas. Dan lagi dalam Tiga
serangkai, Arif lah yang paling bisa

141
memperbaiki suasana yang hancur sekalipun.
Itulah mereka.
Melihat dari perjalanan 3 orang ini.
Membuat orang-orang yang sudah mengenal
mereka berkata mereka pantas untuk menda-
patkan sebutan Tiga serangkai.
***

142
Say Hi

Suasana ramai sudah menyelimuti


ruang tamu rumah Dicky sejak pagi,
kedatangan dua sahabatnya dari masa lalu
memang mampu membuat rumahnya ramai
kembali seperti lima tahun yang lalu. Sebotol
teh Sosro yang tadi penuh dan dingin kini
sudah menipis. Obrolan mereka sudah berlari
kemana-mana, mulai dari saling ejek

143
kejombloan akut yang mereka rasakan, hingga
membahas teman SD mereka yang dulu sering
sekali buang air besar di celana, yang
menyebabkan dirinya seperti punya
kemampuan alelopati—kemampuan dimana
sekitarnya tiba-tiba menjauh dari darinya.
Bagaimana tidak, saking seringnya hampir
jarang yang mau duduk sama dia, dan
biasanya yang menjadi tumbal untuk duduk di
sebelahnya adalah Ryo. Karena guru biasanya
tidak akan mau memulai pelajaran jika tidak
ada yang mau duduk disebelahnya.
“Kampret emang!” seru Ryo.
Kedua temannya malah tertawa,
terutama Arif, dia ingat betul bahwa dirinya
yang menjadi penyebab Ryo sampai jadi
tumbal. Benar-benar musuh dalam selimut
sejak dini.
“Oiya gemana kabarnya si Vidya?” Arif
menengahi, masih setengah tawa, “Lu dulu
naksir banget kan sama dia? Sampe dia pindah
lu gak ngomong-ngomong.” Jelas Arif.

144
“Udah lah, cinta monyet anak SD itu
mah. Lagian juga dia sampe sekarang gak
mungkin pacaran, Rif. Dari pindah juga dia kan
di Pesantren.” Jelas Ryo, menenggak
minumannya hingga habis.
“Wihhh…” Seru Arif
“Ampe hapal begitu ya!” Timpal Dicky.
Mereka tertawa terbahak-bahak. Ryo
baru saja kena jebakan batman. Habis sudah
dia jadi bulan-bulanan selama beberapa menit
kedepan.
“Eh, pada ketawa aja! Dicky, lu gak
mau nyediain makanan apa. Kalau enggak
nanti tagline teh botol Sosro jadi ganti nih.”
“Jadi apaan?” tanya Arif.
“Apapun obrolannya! minumnya teh
botol Sosro!” Seru Ryo sambil memegang botol.
Mereka tertawa terpingkal, ruang tamu
jadi semakin gaduh. Obrolan mereka jadi
melebar kemana-mana, hingga lupa tujuan
mereka berkumpul sedari awal untuk apa.

145
“Oiya baru ingat, apa yang membuat loe
menyuruh gue kesini Dicky?” tanya Ryo dengan
penasarannya. Dicky tidak langsung menjawab
pertanyaan Ryo, dirinya malah fokus menatap
jam tangan. Melihat pukul berapa sekarang.

“Anjir gua lupa, kita nih sedang


mengadakan bantuan untuk anak-anak yang
kurang mampu dijalanan. Jadi gue dan Arif
coba ajak temen-temen, nih. Untuk dapat ambil
bagian dalam kegiatan ini. Selain menggalang
dana, kita juga ingin dan berusaha untuk
meningkatkan semangat belajar anak-anak
yang kurang beruntung. Begitu, Yo.”

“So, gue dan Arif ingin mengajak lu


dalam kegiatan ini. Untuk menambah banyak
orang yang membantu dan kita juga bisa
menolong orang lain. Makin rame kan makin
asyik!” Lanjut Dicky.

“Jadi begitu. Ok, gue akan ikut


berpartisipasi dalam kegiatan ini dengan

146
sepenuh hati! Ayo kita menolong adik-adik kita
dan membuat mereka jadi semangat untuk
dapat merubah hidup jadi lebih baik lagi!” Ryo
bangkit dari duduknya dengan semangat yang
membara.

“Kesambet setan apaan lu Yo?” Arif


menendang pantat Ryo yang tadi tidak sengaja
menabrak wajahnya.

“Kayanya minuman lu kedaluwarsa.”


Dicky tertawa.

Tinn....Tinnn....Tiinnn.....Ryo menoleh
kearah pintu, di depan gerbang sudah ada
mobil pick up berwarna hitam.

“Sudah waktunya jam 8, ayo kita


berangkat.” Arif bangkit dari tempat duduknya
dan berjalan menghampiri mobil yang di depan
gerbang. Berbincang dengan supir yang
membawa mobil tersebut. Dicky dan Ryo
mempersiapkan tas mereka dan barang-barang

147
yang sudah disiapkan dari tadi. Tidak lupa
berpamitan dengan orang tua Dicky.

Memang benar disana sudah ada mobil


pick up yang penuh dengan kardus-kardus mie
instan, kebanyakan diantara berisi baju-baju
sumbangan dan makanan untuk dibagikan ke
anak-anak. Ryo menutup kembali kardus-
kardus itu dengan terpal berwarna biru
menutupi penuh isi mobil tersebut dibantu oleh
Dicky. Lalu mereka berdua masuk ke dalam
mobil, disana sudah ada Arif dan sopir. Duduk
berdempetan dan menyesuaikan dengan
kenyamanan di dalam mobil. Setelah siap, roda
mobil mulai berputar menandai perjalanan
sudah dimulai. Menjauhi rumah Dicky ke
tujuan berikutnya.

“Sekarang kita akan kemana?” tanya


Ryo.

“Hmm, sekarang kita akan menuju ke


Rumah Aman yang memang menjadi tempat

148
anak-anak yang kurang beruntung untuk
belajar.” jelas Arif

Tak lama mobil mulai memasuki jalan


raya, nampak senggang sekali jalanan.
Mungkin masih banyak orang yang tertidur
karena hari minggu atau karena masih
berolahraga. Namun ternyata disaat kita
sedang tertidur nyenyak diatas ranjang dan
menikmati hidup dengan uang yang pasti di
akhir bulan. Membuat sebagian mata kita
tertutup. Tanpa disadari masih ada yang
membutuhkan dan hidup serba kekurangan
dari yang selayaknya. Dengan masih ada sikap
peduli dari sahabat-sahabat Ryo setidaknya
memberikan dampak yang kecil. Namun Ryo
dan sahabatnya percaya, bahwa perubahan
yang besar selalu berawal dari perubahan kecil.

“Kita juga akan bertemu teman-teman


kita yang lain disana.” Arif membuka pesan
yang ada di hp nya.

149
“Banyak juga yang lainnya ya? Wah
bakal luar biasa hebat ini kegiatan.” Ryo yang
sejak tadi duduk dipinggir dan menatap
jalanan, membalas perkataan Arif.

Sudah 30 menit mereka di dalam mobil.


Saat ini mobil sudah memasuki jalan yang
tidak terlalu ramai dari jalan raya tadi, jalannya
agak berlubang yang membuat mobil
berguncang-guncang tak menentu.

Disepanjang jalan yang disusuri


mereka, sudah terlihat ada rumah yang
didepannya terdapat banyak orang dan anak-
anak. Mereka seperti sedang menanti sesuatu
bersama-sama. Itu adalah Rumah Aman.
Terlihat mereka sedang asyik bercanda satu
sama lain. Tak lama mobil yang ditumpangi Ryo
dan sahabatnya berhenti di antara kerumunan
tersebut. Anak-anak yang sedari tadi bermain,
beralih mengerubuni mobil dengan wajah yang
bahagia. Seperti memang ini lah yang ditunggu
mereka sejak tadi. Ryo turun terlebih dahulu
150
dari mobil, anak-anak menarik tangannya
seperti mengajak bermain.

“Hay kakak, nama kakak siapa?” tanya


salah satu anak perempuan yang rambutnya
dikuncir kebelakang. Anak-anak yang lain juga
ikut mengajak Ryo untuk bermain bersama-
sama. Dicky memandangi Ryo yang sedang
dikerubuni oleh anak-anak, padahal Ryo baru
saja datang dan mereka belum kenal. Anak-
anak itu sepertinya tidak takut dengan orang
asing, beberapa dari mereka tidak segan untuk
mengajak Ryo bermain.

“Ohh ya, nama kaka Ryo.” Ucap Ryo


memperkenalkan diri. Satu per satu anak
mulai mencoba melafalkannya, dan mulai
berseru-seru girang memanggil nama Ryo.

“Kalian main duluan saja ya sama


kakak-kakak yang lainnya tuh, kakak Ryo mau
bantu kak Dicky dulu. Setelah itu baru kakak
ikutan. Okee semuanya.” Anak-anak menuruti

151
dan mulai bermain dengan kakak yang lainnya.
Ryo langsung menghampiri Dicky dan Arif yang
sudah menuruni barang-barang dari atas
mobil.

Suara kardus berdebam menghantam


tanah terdengar, Ryo refleks menghindari
kardus yang berisi penuh dengan bahan baku.
Dicky menyeringai lebar, menyeka dahinya,
“Baru kali ini gue lihat anak-anak deket sama
orang baru.” Serunya.

“Jangankan anak-anak, Dic. Monyet


kalau ketemu dia juga langsung akrab, kaya
saudara sendiri.” Arif datang menimpali. Habis
sudah Ryo jadi bulan-bulanan temannya lagi

Disana sudah ada beberapa teman-


teman yang ikut membantu. Jika dilihat ada 10
orang yang ada disana ada sekitar 6 perempuan
dan 4 laki-laki. Mereka semua adalah teman-
teman yang seumuran dengan Ryo. Rata-rata
mereka semua teman sekolah Dicky dan Arif.

152
Karena kebetulan mereka berdua adalah teman
satu sekolah, jadi mudah saja untuk
mengumpulkan mereka semua.

Satu persatu kardus tadi dibawa


masuk ke dalam rumah. Di dalam ternyata
anak-anak sedang berkumpul di depan papan
tulis hitam. Tangan mereka semua sibuk
dengan buku tulis dan pensil. Terlihat sekali
keseriusan mereka dalam belajar, walau
diselingi dengan guyonan yang dibuat-buat
oleh kakak didepannya. Mereka terlihat
semangat belajar, meski tidak jarang mereka
memakai baju kotor. Nampaknya itu sama
sekali tidak mengganggu niat mereka untuk
belajar

Ryo berhenti melangkah, matanya


serius memperhatikan mereka belajar dari
belakang, dengan tangan yang masih
membawa kardus yang tidak ringan.

153
“Permisi ka, saya mau lewat.” pundak
Ryo ditepuk dari belakang. Dirinya segera
menyingkir dari depan pintu. Dibelakangnya
sudah ada perempuan berkerudung pink dan
teman-temannya membawa makanan ke
dalam. Mempersiapkan untuk makan siang
anak-anak. Ryo kembali menaruh baju-baju
dalam kardus itu di tempatnya sebelum
dibagikan ke anak-anak. Kardus terakhir
dibawa oleh Arif, masih di dekat pintu Ryo
menawarkan bantuan ke Arif. Kardus yang
dibawanya lumayan besar dan berat, “Sini gue
bantu, berat banget pasti ini.” mereka berdua
masuk ke dalam rumah dan menaruhnya di
tumpukan kardus. Memisahkan dan
mengelompokan sesuai dengan isi yang ada di
dalam dus tersebut.

Setelah selesai, Ryo ikut ambil dalam


mengajar anak-anak disana. Anak-anak begitu
senang saat mereka sedang diajar oleh Ryo.
Saat ini dirinya mencoba mengajarkan mereka

154
nama-nama angka dalam bahasa inggris, cara
mengajarnya yang menggunakan nyanyian
ternyata membuat anak-anak semakin
semangat. Suara nyanyian itu berhasil
smembuat perhatian tertuju kepada Ryo yang
sedang mengajar, Dicky dan Arif pun turut ikut
ada diantara anak-anak membimbing dengan
sabar. Perhatian kakak-kakak perempuan yang
sedari tadi menyiapkan makanan juga beralih
ke anak-anak. Tak terasa matahari sudah
beranjak naik.

“Hany, makanan sudah siap nih. Ayo


ajak anak-anak makan siang.”

Perempuan berkerudung pink itu


menoleh, “Eh iya, nih sudah siap.” Balas Hany
menghampiri anak-anak dan mengajak mereka
makan siang dahulu. Makanannya sederhana
tapi sehat seperti sayur-sayuran dan disana
juga ada buah, makanan yang tak selalu
mereka bisa santap setiap hari. Dengan duduk
bersama-sama dialasi tikar, menjadi bagian
155
yang penuh dengan kebersamaan. Kakak-
kakak yang lain mengutamakan anak-anak
terlebih dahulu saat makan siang itu sebelum
mereka.

“Waduhh, air nya kurang nih Dicky.


Bagaimana dong?” Arif datang dari arah dalam
setelah memeriksa air yang ternyata kurang.
Ryo yang saat itu disebelah Dicky langsung
mengajukan diri untuk membelinya.

“Yasudah gue saja sini yang beli airnya.


Pinjam motor temen lu dulu ya, sini kuncinya.”
Meski sudah berniat menolong dalam
pikirannya masih belum tahu harus beli air
dimana yang terpenting harus dicari dahulu,
agar air tersedia banyak. Takut terlalu lama
saat memikirkan ingin kemana, akhirnya Ryo
mulai menarik gas dan menjalankan motornya.

“Tunggu..Tunggu..Hey kamu.”

156
Ryo berhenti mendadak, menoleh
kebelakang. Di belakang sudah ada Hany yang
sedang berjalan dengan tergesa-gesa
menghampiri.

“Aku boleh ikut kamu tidak? Mau beli


lauk nih buat anak-anak kurang ternyata.”
Jelasnya, nafasnya berderu.

Ryo mengiyakan. Hany naik ke motor


dan mereka melanjutkan perjalanan.

***

“Oiya, nama kamu siapa?” Hany


menoleh ke depan, melihat Ryo dari spion
motor.

“Nama asli atau palsu” jawab Ryo


dengan mata masih fokus ke jalanan.

“Apa keduanya?”

157
“Aslinya Ryo, palsunya Ferguso.” Seru
Ryo mengalahkan angin yang terus menerpa
wajahnya.

“Ohh, Ryo..”

Hany melihat-lihat jalan yang mereka


lewati, dirinya minta menepikan motor.

“Kamu sebenernya tahu tidak beli air


nya dimana?” Hany penasaran.

Ryo menaikkan bahu, tidak tahu.

Hany mencubit gemas pinggang Ryo,


“Tanya atuh kalau tidak tahu mah, sini Hany
kasih tahu jalannya. Sekalian yang ada jual
lauknya.”

Sesuai dengan arahan yang diberikan


Hany, akhirnya mereka berhenti di sebuah
agen makanan. Ryo membeli 2 dus minuman di
agen tersebut. Sementara Hany menyebrang ke
warung makan yang ada diseberang agen.

158
Keperluan mereka sudah ada semua. Mereka
berdua lalu beralih kembali ke Rumah Aman
untuk mengantarkannya. Di perjalanan pulang
mereka tidak terlalu banyak bercakap-cakap
seperti sebelumnya. Mungkin agar mereka
cepat sampai, karena sedang di tunggu.

Tak lama akhirnya mereka berdua


sampai disana, Arif membantu Ryo
mengangkat air minum ke dalam tempat
makan diikuti dibelakang Hany membawa
beberapa bungkus makanan. Memang benar
sedang ditunggu, Ryo duduk dibawah dan
langsung membagikan air minum ke anak-
anak. Pundak Ryo ditepuk dari belakang
dengan tangan masih membagikan air minum,
wajahnya menoleh kebelakang.

“Makasih ya tadi Yo, udah mau kasih


tumpangan.” Hany duduk dibelakang Ryo
menyiapkan makanan yang tadi dibelinya.

159
“Iyaa, tidak masalah. Kan memang
arahnya memang sama.”

Kegiatan itu tidak berlangsung lama,


setelah makan siang bersama. Kakak-kakak
yang lain membagikan baju-baju yang sudah
dikemas rapi dan bersih untuk mereka semua.
Anak-anak yang kruang beruntung tersebut
seakan-akan melupakan semua kepahitan
dalam hidup mereka. Dengan kehadiran orang-
orang yang peduli akan sesamanya. Membuat
senyuman dari wajah mereka terus ada dan
membuat semangat untuk menjadi lebih baik
selalu membara di dalam diri anak-anak itu.
Tak ada bayaran untuk mereka yang peduli
dengan sesamanya, yang mereka lakukan
hanya ingin memberi dan membuktikan bahwa
setiap orang di dunia ini memiliki kesempatan
untuk hidup layak, berpendidikan, sehat dan
bahagia.

Kakak-kakak tadi mulai meninggalkan


Rumah Aman bersama-sama diiringi dengan
160
suara tawa bahagia anak-anak dengan
senyuman dari wajah mereka. Sebuah
senyuman dari anak-anak yang seakan berarti
‘Terima Kasih banyak kakak, aku senang ada
kakak semua.’ Menjadi pengalaman yang
sangat berharga bagi semuanya hari itu. Saat
bisa berbuat lebih dari yang bisa dilakukan,
dengan harapan semakin banyak lagi orang-
orang yang peduli dengan sesama. Tak sedikit
yang mereka terima hari itu, yang ada banyak
sekali pelajaran hidup dan meningkatkan rasa
syukur atas pemberian tuhan.

Di benak Ryo dan sahabat-sahabatnya


saat itu tak lain hanya rasa bahagia dan senang
tak terhingga dalam diri. Membuat senyuman
yang terlukis di wajah anak-anak menjadi
hiasan dan ingatan indah di kepala.

Drttt...Drrrttt.... hp yang ada di saku Ryo


bergetas, ada panggilan masuk.

161
“Hallo Ryo? Ini bapak. Dengarkan baik-
baik...” Andi yang menelfon saat itu.

“Maaf bapak menelfon mendadak.


Bapak harus kembali ke tempat kerja bapak.
Tadi bapak sudah berpesan kepada ibu untuk
memberitahu tahu kamu, tetapi bapak berpikir
untuk langsung memberitahu kamu. Kamu
tahu bapak tidak menentu akan pulang kapan
dan mungkin akan lama. Bapak akan
menitipkan suatu benda penting ke kamu,
bapak tidak bisa memberi tahunya langsung ke
kamu. Tapi kamu akan segera menem-ukannya
dan jaga baik-baik barang itu. Satu lagi. Bapak
ingin berpesan, selama bapak tidak di rumah
tolong jaga ibu kamu yah. Tidak bisa berlama-
lama lagi bapak bicara, tapi yang terpenting
jangan percaya siapa-siapa selama kamu
belum menemukan yang bapak titipkan, ingat
itu. Jaga kesehatan kamu terus yah, kamu lah
cahaya bapak dan dunia ini......” telefon
terputus, tak sempat ia berbicara dengan

162
bapaknya. Setidaknya Ryo dapat menerima
semua pesan yang bapak sampaikan.
Menganalisa dari pesan bapak tadi, sepertinya
ia harus menemukan barang yang titipkan
secepatnya.

***

163
Adikku

Saat siang hari yang tidak terlalu


mencolok panasnya, ditutupi dengan awan
tipis yang menyejukkan suasana dan berhias
dengan rindangnya pepohonan membuat siapa
pun merasa sejuk jika berada di taman dengan
suasana seperti itu. Suatu sabtu sore beberapa
minggu setelah diterbitkannya buku pertama
karya tangan Ryo yang diselen-ggarakan di
Cafe Miranda, membuat lebih banyak
pengunjung yang datang ke cafe itu. Mulai dari

164
yang sekedar mencari sarapan atau menghadiri
launching buku Ryo. Banyaknya orang-orang
yang datang ke cafe itu tentu saja tidak bisa
diperhatikan oleh Ryo satu per satu terlebih lagi
dengan susunan acara yang harus diikutinya.
Kini bukunya sudah tersebar ke berbagai
kalangan di masyarakat mulai dari laki-laki
maupun perempuan. Terlebih lagi wanita yang
dominan lebih suka cerita romantis di novel.
Di bawah pohon mangga yang rindang
tepat tengah taman. Terdapat kursi panjang
yang terbuat dari kayu kuat nan kokoh untuk
menopang siapa saja yang duduk di atasnya.
Terlihat dari jauh ada seorang perempuan
muda sedang berjalan menghampiri kursi kayu
itu. Siang itu, bisa jadi kursi kayu itu tempat
terbaik untuk berteduh. Berbalut kerudung
berwarna pink, kain baju yang jatuh menutupi
aurat di tubuhnya membuat hati siapa pun
yang melihatnya menjadi seperti diterpa angin
segar. Berkulit putih, bulu mata yang lentik,
hidung yang tidak terlalu mancung, dan

165
pipinya yang terlihat tembem ditambah lesung
pipit di kedua pipinya sudah menjadi ciri khas
dirinya sudah hampir menyempurnakan
ciptakan Tuhan yang satu ini.
Sambil memandang sekeliling, peremp-
uan itu mengeluarkan sebuah buku dari tas
kecilnya. Lalu dibacanya dengan seksama dan
penuh perhatian melihat buku itu. Terlihat
jelas di caver buku itu nama penulisnya yaitu
Ryo Rizky Abadi, yang sudah tak asing lagi itu
adalah buku Ryo.
“Ini buku yang baru di terbitin kemarin
kan ya? Tanggalnya masih baru. Kenapa kak
Yola aku kasih ke aku ya?” Melihat-lihat buku
itu sambil sedikit membaca isi di dalamnya.
***
Seminggu sebelumnya.
Di hari saat penerbitan buku Titik
Terjauh itu ternyata dihadiri Yola yang
kebetulan ingin beristirahat di cafe tersebut.
Karena keramaiannya akhirnya Yola memut-
uskan untuk turut ikut ke dalamnya.

166
Mendengar dan ikut memperhatikan setiap
ucapan Ryo yang menceritakan tentang buku
novel itu, membuatnya ingat sekilas tentang
adiknya Hany.
“Jadi inget adik gue yang di rumah nih,”
Yola berkata.
“Lah, emangnya adik lu kenapa?” teman
di sebelahnya menimpali.
“Sejak gue kuliah, jarang banget gue
ngobrol sama dia. Pengen gitu kasih sesuatu
buat niat, ya setidaknya buat temen dia di
rumah.”
“Kasih aja boneka jalangkung,” seru
temannya menggoda.
Yola menyikut temannya, matanya sinis.
“Bokap nyokap lu kemana emang?”
“Nyokap Bokap kan tinggalnya di
Bandung, disini gue kan sama Hany doang di
rumah.” Jelas Yola, matanya masih mempe-
rhatikan acara yang masuk ke sesi tanya jawab.

167
“Yaudah, kalo gitu beli aja novelnya. Gue
juga mau beli, nih, kayanya seru novelnya
drama-drama cinta gitu.”
“Iya, mumpung bisa dapet tanda
tangannya juga. Tapi kalau dilihat-lihat
penulisnya masih muda banget ya, kayanya
seumuran sama adik gue.”
“Iya-iya tadi gue denger juga umurnya
masih 17 tahun dan kelas 3 SMK, keren juga ya
tuh anak. Emang ya klo yang namanya bakat
terus diasah jadi kaya begini. Terutama jalan
ceritanya sama kaya kehidupan sehari-hari,
tetapi anak itu bisa menuliskannya dalam
bentuk novel kaya gitu. Ih! Good Job, dah,
pokoknya!”
Tiga puluh menit menunggu dalam
barisan, akhirnya kesempatan Yola dan
temannya untuk tanda tangan terpenuhi.
“Ehh abis ini kita kemana? Mau buru-
buru baca buku ini, nih!” teman Yola berseru,
masih sibuk membolak-balik halaman.

168
“Apa langsung cabut aja, yuk, pulang.
Mau kasih ini ke adek gue juga mumpung
masih jam 2, nih, acaranya juga udah selesai
dari tadi, semoga dia udah pulang sekolah ya.”
Jelas Yola, perlahan mengambil Latte yang tadi
dia pesan. Suasana Café sudah mulai sedia
kala.
“Liat deh itu penulisnya kan, kalo ga
salah tadi namanya Ryo Rizky Abadi ya Yol?”
tanyanya sambil menunjuk ke arah belakang
Yola.
Patah-patah Yola menoleh ke belakang,
lalu kembali melihat temannya, mengangguk.
“Kayanya, sih, bener. Kenapa dia
keliatannya biasa aja ya? “
“Hmm, walaupun keliatannya biasa aja
ternyata dalamnya emas. Mungkin dia pengen
buktiin istilah jangan nilai buku dari cavernya
Yol!” seru temannya semangat.
“Wihhh, bijak juga lo.” Seru Yola,
tertawa.

169
Setelah cukup lama membahas tentang
Ryo akhirnya mereka memutuskan untuk
beranjak dari tempat duduknya dan
meninggalkan Cafe Miranda. Di depan Cafe
Yola dan temannya berpisah karena arah
rumah mereka yang berbeda, sambil menunggu
mobil angkot di depan cafe, ia membaca
sebagian isi dari novel yang baru saja dibeli
tadi. Asyik membaca dari tadi dan tak
memperhatikan jalan di depannya, ternyata
mobil angkot sudah beberapa kali lewat di
depannya. Mungkin karena sedang asyiknya
membaca buku tersebut, lembar per lembar di
bacanya dengan seksama. Tiba-tiba hp yang
ada di sakunya bergetar, perlahan tangnnya
merogoh saku. Tampilan di layar menunjukkan
pesan dari adiknya, Hany.
From : Adikku
Kak Aku udah pulang.

“Waduh, iya ya kan mau pulang, tuh


udah ada orangnya di rumah.” Yola berkata

170
sendiri, tangannya segera melambai ke arah
angkot yang akan lewat.
Setelah 30 menit berlalu sudah akhirnya
Yola sampai rumah. Dibukanya pintu rumah,
ia lantas langsung mencari adiknya ke kamar,
terlihat jelas Hany sedang serius belajar di atas
meja belajarnya. Hany menoleh, suara pintu
yang berdebam berhasil menyita perhatian.
“Eh, kakak udah pulang.” tengok Hany
ke arah Yola yang tengah memegang gagang
pintu
“Iya, tadi kakak nyariin kamu ternyata
kamu ada di kamar.”
“Iya, kak, maaf. Aku kan lagi kejar
materi, sebentar lagi UN.” jawab Hany dengan
senyum dan tatapan mata manja ke kaka-knya.
Mengetahui adiknya sudah ada di kamar
Yola lalu pergi ke arah dapur untuk
menyiapkan makanan untuk mereka berdua.
Setelah menyiapkan makanan, Yola bergegas
untuk mandi karena sudah seharian ini dia
banyak kegiatan, mandi menjadi pilihan

171
terbaik untuk menyegarkan diri. Sementara itu
Hany terlihat sedang pergi meninggalkan
kamarnya menuju dapur untuk merapikan
meja makan dan menyiapkan makanan dia
atas meja.
Disaat merapikan meja, Hany mene-
mukan tas kakaknya yang masih tergeletak di
meja. Tanpa pikir panjang Hany langsung
bergegas membawanya ke kamar kakaknya.
Suara benda jatuh terdengar ketika Hany baru
naik beberapa anak tangga, dirinya baru
menyadari resleting tas itu belum tertutup
rapat. Akhirnya Hany menyusuri jalannya tadi,
kembali memungut barang-barang kakaknya
jatuh, khawatir ada barang yang hilang.
Setelah yakin sudah ada semua, Hany mulai
berjalan ke kamar kakaknya lagi.
Tok...Tok...Tok...Tok..
“Kak, tasnya, nih.” Hany mengetuk pintu
dan memanggil kakak yang ada di dalam.
“Masuk aja Hany.” Yola berseru dari
balik pintu.

172
“Eh, iya, kak.” Perlahan Hany membuka
pintu, dan masuk ke kamar. Terlihat Yola
sedang mengeringkan rambutnya dengan
handuk menghadap cermin.
“Ini kak tasnya dan ini tadi bukunya
jatuh pas aku bawa ke sini, kaka baru beli ya
bukunya. Masih bau pabrik,” Hany tertawa,
memperagakan caranya mencium aroma buku.
“Ohh, buku ini tadi ada launching buku
gitu di cafe jadi kakak beli deh. Kakak beli ini
buat kamu.” Jelas Yola, melihat adiknya dari
cermin, tangannya masih sibuk menyeringkan
rambut.
“Loh, kok buat aku kak?”
“Yaa buat kamu baca-baca di waktu
senggang aja dan penulisnya juga seumuran
sama kamu, loh, dek. Jadi tadi kakak inget
sama kamu aja, dari pada kakak kasih kamu
boneka jalangkung, kan, mending itu.” Jelas
Yola sambil menggoda adiknya.

173
“Ohh makasih banyak ya kak, yaudah
ayo kak makan dulu. Aku udah siapin tadi di
atas meja” ajak Hany, mulai keluar kamar.
***
Mengingat kembali tentang Yola yang
memberikan buku itu ke Hany membuatnya
ingat lagi apa alasan kak Yola. Dilihatnya
bagian belakang novel itu yang berisi tentang
penulis Novel tersebut, disitu jelas sekali foto
dari sosok penulis novel yaitu Ryo Rizky Abadi
terasa tidak asing sekali wajah itu bagi Hany.
Di perhatikan lagi dengan baik-baik foto nya
dan terus mengingat-ingat siapa kah dia.
Beberapa lama kemudian terpintas diinga-
tannya, “Lohh dia kan....”
“Dia ini cowok kemarin kan ya? Yang
waktu itu ada di acara Rumah Aman. Wah aku
tidak menyangkanya. Coba aja aku baca novel
ini sebelum ketemu dia, kan aku bisa minta
foto. Ya sudahlah siapa tahu nanti bisa
bertemu dengannya lagi” lanjut Hany
berangan-angan.

174
***

175
Ada Guru Baru

“Sini Yo makan dulu, ibu sudah masakin


telur buat kamu.” Seru Sinta dari dapur.
“Cangkangnya jangan ikut di masak,
Bu.” Seru Ryo balik dari kamar.
Hari ini adalah satu hari setelah bapak
pergi dari rumah. Kemarin seharian berada di
Rumah Aman menjadi salah satu kegiatan yang
pas untuk mengisi libur yang hanya sehari.
Di kamar, Ryo sibuk mempersiapkan
perlengkapannya untuk sekolah senin ini.
Setelah semuanya siap dan sudah sarapan
176
juga, Ryo langsung bergegas ke sekolah dengan
motornya. Berangkat pagi-pagi terny-ata ada
baiknya juga, yaitu jalanan lebih lancar dan
tidak ada macet yang terlalu parah di lampu
merah. Tidak butuh waktu lama, lima belas
menit sampai ke sekolah dan parkiran masih
sangat sepi, bahkan satpam saja belum terlihat
barang hidungnya. Untun-gnya lampu sekolah
sudah padam, Jikapun nyala Ryo pasti akan
mengira kalau sekarang hari libur.
Sekolah ini mempunyai dua gedung dan
masing-masing memiliki lima lantai.
Lapangannya pun ada di lantai paling atas
yaitu lantai lima. Jadi setiap hari senin, semua
murid dari kelas 1-3 harus berjalan mendaki
puncak sekolah bersama-sama untuk melak-
sanakan kewajiban seorang anak bangsa, yaitu
upacara.
“Lah, iya masih sepi juga kelas ini....”
gerutu Ryo, bersandar pada pintu.
Ritualnya tiap pagi adalah menden-
garkan musik lewat Ipodnya, yang tidak boleh

177
absen di saku celananya. Sambil duduk santai,
dirinya mulai menikmati musik. Satu per satu
temannya mulai memasuki kelas. Ada yang
masuk tergesa-gesa dan langsung membuka
buku, ini adalah tipe yang masuk pagi demi
mengerjakan tugas. Ada yang masuk beberapa
detik setelah bel sudah berbunyi, ini adalah
tipe yang rumahnya deket, berangkatnya
bareng atau cewek yang dandannya lama.
Hampir tiap hari Ryo mengamati itu.
Di kelas ini muridnya berjumlah 25
orang yang terdiri dari 2 laki-laki termasuk Ryo
dan sisanya wanita. Selain Ryo, laki-laki lain
yang ada disana hanyalah wahyu. Sedangkan
di kelas sebelah ada Rama, Asrul dan ada juga
yang hanya laki-laki seorang diri di kelas yaitu
Hendra. Sebelumnya di kelas 11, Ryo-lah yang
pernah merasakan menjadi laki-laki sendiri di
kelas, dan kini giliran Hendra yang
merasakannya. Tapi itu semua tidak menjadi
mental mereka menjadi turun, bahkan bisa jadi
menjadi semakin tinggi dan kuat, karena

178
seperti ada rasa tanggung jawab untuk
menjaga teman-teman yang lainnya.
Diluar telinganya yang masih
mendengarkan lagu Sammy Simorangkir,
pikirannya masih tertutupi oleh pesan
bapaknya yang penuh dengan tanda tanya.
Tanganya kini berkutik dengan memo kecil
yang tidak boleh absen dari kantung bajunya.
Ia menulis semua apa yang pernah dikatakan
bapaknya dan saling mengaitkannya agar ia
tidak lupa sedikit pun—karena salah satu
kelemahannya adalah soal ingatan.
Apa yang sebenarnya sedang bapak
lakukan?
Kalimat itu menjadi yang terakhir ia
tulis. Ryo kembali fokus mendengarkan lagu
yang kini berganti ke lagu Sheila On 7.
Plakkkkkkkkk,,.........
Sebuah buku menghantam tepat di atas
meja Ryo dan menimpa buku catatannya. Ryo
melepas earphonenya, melihat dengan baik
siapa yang melihat itu. Ada apa?

179
“Woyy ayo upacara tidak dengar ya?
Pakai earphone mulu siihh!”
Ternyata itu adalah ketua kelasnya,
namanya Sita, mungkin sedari tadi Ryo tidak
mengengar bunyi bel 3x tanda untuk segera
mendaki puncak sekolah. Tanpa basa basi Ryo
segera bersiap, merapikan barang-barangnya,
dan kembali mengecek pakaiannya—razia bisa
terjadi kapan saja, lebih baik bersiap, pikirnya.
Tangga demi anak tangga di dakinya
bersama-sama sampai atas. Tangga itu penuh
dengan murid yang ingin ke atas. Tak hanya
murid, guru pun ada yang ikut masuk ke dalam
kerumunan orang yang naik keatas. Mata Ryo
menangkap wajah asing yang ikut naik ke atas.
Sepertinya ada beberapa guru yang baru,
mungkin guru yang sedang pkl.
Semua murid kini sudah berada di
puncak gedung. Dengan barisan yang masih
berantakan. Satu per satu guru yang galak
mulai naik ke atas puncak, salah satunya
menaiki podium upacara. Pandangan murid

180
kini mengarah ke depan, dengan kaki sibuk
merapikan diri di barisan. Mereka semua tahu
siapa yang sudah ada di atas podium upacara.
Badan tinggi agak kurus dan kulit sawo
matang, memakai kaca matanya membuat
dirinya melihat siapa saja murid yang bercanda
di barisan, akan di tarik ke depan olehnya. Dia
adalah guru mata pelajaran Pkn bernama Pak
Darisun. Hampir seluruh murid kenal dengan
dirinya, karena setiap upacara dirinya pasti
berdiri di atas podium untuk merapikan
barisan sebelum upacara dimulai.
***
“Eh tugas Biologi udahan belum lu? Mau
nyamain dong.”
Pelajaran hendak dimulai, Ryo sibuk
meliaht jawaban teman yang lain.
“Dih nyamain apa liat loe?” seru Viya,
memberikan bukunya dengan nada jengkel.
Tidak jarang ada yang belum
mengerjakan tugas dan itu menjadi suasana
yang sudah biasa di setiap kelas. Tidak jarang

181
juga saling mengerjakan tugas bersama sebel-
um pelajaran dimulai. Apa bila semuanya
belum mengerjakan, serentak mereka akan
mengatakan, tidak ada pr kok bu, kemarin kan
baru sampai ini... sampai ini...sampai ini...
Masih 15 menit lagi sebelum bel sekolah
masuk. Biasanya guru-guru setelah upacara
selesai akan sarapan dulu di kantin. Sementara
beberapa itu murid-murid akan mengerjakan
tugas bersama di kelas, beberapa lagi pergi
jajan di kantin.
Kringg….Kriiing…Kriingng...
Tak lama bel pun berbunyi, murid-murid
yang ada diluar mulai masuk ke dalam kelas
satu per satu. Wahyu kembali ke kelasnya
dengan tangan membawa makanan dari
kantin, lalu ia duduk di sebelah Ryo yang
sedang duduk sambil mendengarkan lagu.
“Yo mau gak nih kripset ‘keripik setan’?
buat nanti sambil belajar.”

182
“Dih kaga ah Yu, itu kan pedes banget.
Makanannya para setan.” Menjauhkan keripik
itu dari mejanya.
“Sue lu! Yaudah buat gue aja berarti.
Oiya tadi gue dikasih tau guru piket kalau nanti
yang ngajar Biologi guru baru.” Jelas Wahyu,
tangannya menyembunyikan kripset itu di
dalam tempat pensil.
Tak lama waktu berselang, murid-murid
lain yang tadi sedang duduk-duduk diluar
kelas berlarian masuk ke dalam kelas
menduduki tempat duduk mereka. Mereka
berlarian seperti melihat setan.
“Cepet….cepet…..ada dia....”
Semua murid di sekolah ini tahu apa arti
kata ‘dia’ di mulut murid-murid yang sedang
berlarian.
Ryo melepaskan earphone dan
merapikan tempat duduknya. Kondisi kelas
kini sudah penuh dengan semua murid. Pintu
kelas di buka oleh pak Darisun dan ia

183
melangkah masuk ke dalam kelas diikuti oleh
satu orang guru piket.
“Selamat Pagi semuanyaa!”
“PAGI, PAK!” Murid menjawab dengan
serentak
“Baiklah, bapak akan memberitahukan
kepada kalian semua. Bahwa sehubung dengan
cuti melahirkan Bu Putri selaku guru Biologi
kalian. Maka untuk sementara ini sekolah
sudah menyarikan guru untuk menggantikan
Bu Putri mengajar. Namanya bapak Rendi.
Kalian bisa berkenalan nanti. Mungkin ini saja
yang dapat bapak sampaikan. Sekian
terimakasih.” Jelas pak Darisun,
mempersilahkan guru baru itu untuk
meneruskan, lalu pergi keluar dengan guru
piket.
“Hai semuanya, Selamat Pagi.”
Sapanya. Wajah Pak Rendi begitu bersahabat,
juga ramah senyum.
Pak Rendi mulai memperkenalkan diri-
nya di dalam kelas, 1 jam pelajaran di pakai

184
untuk saling mengobrol antara guru dan murid
untuk melihat sampai mana materi yang sudah
diajarkan oleh Bu Putri. Anak-anak juga
tampak antusias melihat Pak Rendi yang
ramah senyum dan Humoris dan lagi dirinya
juga sangat pintar. Dengan nama Dr. Rendi
Himawan M.Si.,Apt. Jelas sekali bukan
sembarangan orang yang mengajar mereka.
Satu jam terakhir dipakai oleh Pak Rendi untuk
bermain game dicampur dengan materi Biologi
yang dapat mengasah ingatan. Semua murid di
kelas itu sempurna senang dengan pak Rendi.
“Sepertinya ada wajah tak asing disini,
Hey kamu.” Tangannya menunjuk ke arah Ryo
yang sedang menulis materi yang tadi
diucapkan oleh pak Rendi. Semua sorot mata
langsung terarah ke Ryo.
“Iya pak saya?” Ryo menunjukan diri-
nya.
“Nama kamu Ryo Rizky Abadi bukan?
Banyak guru yang menceritakan tentang kamu

185
ke saya, salam kenal ya.” Pak Rendi langsung
menyodorkan tangannya ke Ryo.
Dengan wajah bingung Ryo menyambut
jabat tangan itu.
“Baik anak-anak semua, untuk hari ini
kita perkenalan saja. Kita akan mulai belajar
pada pertemuan selanjutnya, jadi siapkan
buku sesuai yang sudah kita sepakati tadi,
yang tidak membawa buku. kalian tau sendiri
apa hukumannya, Oke Semua?”
“Okeeee….Pakkkk...” Jawab semua
murid serentak.
Kriiing…..Krinnggg….Kringgg….
Suara bel berbunyi tidak pada saatnya.
Murid-murid saling melempar tatapan.
“Loh guru piket lagi kurang minum aqua
kali ya...” salah seorang berseru.
“LAH IYA....PULANG CEPETT YEA-
EYYYY.....” yang lain menimpali.
Tak ada angin dan hujan kencang yang
mendera sekolah, bahkan hanya dengan mati
lampu saja sekolah disana akan dipulangkan.

186
Bukan karena apa, ruang kelas yang rapat
sebab di fasilitasi dengan AC menjadi unsur
yang membuat pulang sekolah menjadi cepat.
“Tapi kenapa sekarang pulang cepat ya?
Abis ini kita kemana ya?” Ryo membereskan
barang-barangnya dan memasukannya ke
dalam tas.
“Dah ya semua gue balik duluan,
ngapain juga lama-lama.” setelah berpamitan
dengan beberapa temannya. Ryo pergi men-
inggalkan kelas bersama teman-teman lainnya
yang juga bergegas pulang, sebelum guru piket
berubah pikiran.
Ternyata memang benar itu adalah bel
pulang, di parkiran pun sudah ramai murid-
murid yang sedang mengambil motor.
“Pak saya ngambil motor ya.” Teriak Ryo
ke satpam yang sedang ada di pos keamanan.
Seperti biasa untuk mengambil helmnya yang
di titipkan di pos.
Ternyata matahari masih ada di atas,
masih terik mataharinya. Jok motor pun masih

187
terasa sekali panas terkena cahaya matahari.
Tidak habis akal, air yang masih ada di dalam
botol menjadi solusi untuk mengatasi jok yang
panas ini. Hanya perlu di siram merata ke
seluruh jok, lalu di keringkan dengan kanebo,
selesai sudah permasalah jok panas yang bisa
membuat pantat seperti dipanggang.
***
“Lah kok pulangnya cepat Yo?” Tanya
ibu yang kebingungan saat Ryo pulang siang.
“Tahu tuh, guru piketnya lagi khilaf
kayanya”
“Yaudah nih sekalian bawain ke dalam.”
Ibu memberikan semua kantong plas-tik yang
penuh sayuran. Kelihatannya saja hanya berisi
sayuran tetapi saat di bawa berat sekali isinya.
Kedua tangan Ryo penuh dengan kantong yang
berat di tambah lagi tas masih menggantung di
punggung. Rasanya seperti gendong plus plus.
Sesampainya di meja makan, kantung plastik
itu diletakkan semua di atasnya.

188
“Apaan ya ini isinya, berat banget gila.”
Ryo berseru kesal, menyeka keringat di dahinya
yang belum surut. Dibuka salah satunya,
kantung besar berwarna hitam yang terlihat di
double. Bukan main, ternyata isinya batu-batu
kali kecil tapi banyak sekali. Mata Ryo tidak
berkedip melihatnya.
“Bu buat apaan sih ini batu, kok banyak
banget....”
Ibu datang menghampiri sambil tertawa
kecil. “Itu loh, tadi ibu di bagi batu hias dari
tetangga kita. Lumayan kan buat hiasan di
halaman depan.”
Ryo hanya bisa geleng-geleng kepala,
tapi untungnya ibu tidak terkena demam batu
cincin yang sekarang banyak dan lagi trendy di
kalangan sekitar rumah. Selesai urusan di
dapur Ryo pergi ke kamarnya untuk mengg-
anti pakaian baju dan menggambil tas yang
berisi laptop di lemari pakaiannya. Mengingat
kemarin minggu sebelum berpamitan Dicky
bilang sesuatu,

189
“Oiya Ryo, minggu besok kalau mau
main, main aje! Lagi libur sekolah nih satu
minggu, lagi ada rapat dan guru-guru pada
liburan.” Ucap Dicky waktu itu.
Selain itu, Ryo juga punya alasan
penting, salah satunya untuk minta copy film
anime yang seru-seru. Mereka berdua memang
salah satu penggemar dan penikmat salah satu
kartun Jepang. Terutama lagi anime Naruto,
bukan menjadi hal yang aneh lagi apabila di tv
sedang ada serial Naruto. Maka otomatis tv
akan menjadi kuasa penuh Ryo di rumah. Oleh
sebab itu, untuk melengkapkan koleksi seri
anime. Ia ingin memintanya ke Dicky sebelum
dihapus.
“Bu, Ryo ke rumah Dicky dulu ya mau
main......nanti sore pulang.” Setelah berpami-
tan, Ryo bergegas pergi berjalan kaki dengan
membawa tas jinjing yang berisi laptop.

***

190
“Nih Dicky, copy-in anime yang seru, nih
laptopnya....Mau ke kamar mandi dulu.”

Ryo memberikan tas laptop ke Dicky


yang sedang main game dengan komputernya.

“Pakai flashdisk lu dulu ya?” Ryo tidak


menjawab, sudah ada di dalam kamar mandi.

Sambil menunggu, Dicky sudah


mengambil Flashdisk yang ada di dalam tas
laptop. Ternyata di dalamnya ada dua
Flashdisk.

“Lah yang mana ya flashdisknya?


Yaudah tunggu dia balik dari kamar mandi
dulu dah.”

15 Menit Kemudian.

“...Ahhh Lega Rasanya..” seru Ryo


berjalan dari kamar mandi sambil menepuk-
nepuk perutnya.

191
“Wahh abis bongkar muatan lu ya,
pantesan lama.” Sindir Dicky nada mengejek.
Dicky langsung menanyakan kepada Ryo
tentang flashdisk mana yang digunakan untuk
menyimpan anime.

“Dua? Gue cuma punya satu.” Jelas Ryo,


menunjuk flashdisk miliknya.

“Lantas?” tanya Dicky. Mereka berdua


bingung.

Akhirnya Ryo mencoba membuka


flashdisk itu di komputer Dicky. Kelanj-
utannya adalah ternyata flashdisk itu terkunci.
Di sana tertulis empat digit kode sandi yang
harus di masukan.

“Wah, apaan kodenya? keren juga nih


flashdisk bisa dikode-in. Gue kira cewek doang
yang bisa dikode-in” tanya Dicky sambil
mencoba-coba untuk membukanya.

192
Mereka berdua masih mencoba untuk
membuka folder apa yang ada di dalamnya.

“Eh, coba deh liat di flashdisknya ada


kertas yang ditempel.” tak sengaja Ryo melihat
ada kertas kecil yang di tempel dengan solatip
di salah satu sisinya.

“Coba liat.”

“Tapi tulisannya agak pudar, tulisannya


mau ilang nih.”

Ryo membantu melihatnya dengan flash


yang ada di handphonenya. Tidak kunjung
jelas tulisannya dan semakin geregetan
akhirnya Ryo melepas kertas itu dari flashdisk.
Lalu mengarahkannya ke arah lampu,
menerawang agar bisa terlihat lebih jelas.

“Nih kelihatan, coba nih......2.....4.....


0..........7......atau...1 ya? Yang terakhir antara
itu lah. 7 deh. Ayo coba-coba.” Ucap Ryo

193
terbata-bata, matanya menyipit, mencoba
melihat lebih jelas.

“...2-4-0-7...” Dicky mengulangi angka


itu, dan memasukkannya.

Enter

“Yess Kebuka!” Dicky berseru.

Berhasil sudah terbuka flashdisknya.


Setelah bersusah payah mencari kode rahasia
untuk membukanya, ternyata rasa ingin tahu
isi flashdisk ini sudah mencapai ubun-ubun.
Mereka sepakat untuk melihat isinya bersama-
sama. Dengan cermat mereka memb-uka satu
persatu folder yang ada dengan hati-hati. Isinya
kebanyakan dokumen-dokumen dan gambar-
gambar di laboratorium. Kalau dilihat
sepertinya ini flashdisk punya Andi. Dibaca
juga salah satu dokumen yang berisi data tiap
percobaan yang dilakukan oleh Andi di lab.

194
“Ini punya bapak,” ucap Ryo, tangannya
kembali meng-klik folder lain.

Ada juga video dokumentasi yang


mereka buka. mereka mencoba mencermati
setiap tayangan yang berisi saat-saat
percobaan yang mungkin seharusnya bersifat
sangat rahasia. Dipenggalan video tersebut ada
sekilas terekam suatu hal yang janggal, seperti
memang sengaja video ini dicampur dengan
video lain. Jelas disalah satu penggalannya
terdapat percakapan antar 3 orang atau lebih
disuatu ruangan. Mata mereka berdua persis
membulat, dan memasang kuping benar-benar.

“...percobaan sudah dilakukan dibebe-


rapa tempat dan memang benar virus ini
memang menguntungkan dan tidak bisa
terdeteksi.” ucap salah satu orang.

“...ya jelas tentu..memang sangat


berguna untuk menyingkirkan orang yang
mengganggu kita. Hahhahahahahaaha..........”

195
Pause

Video tersebut di hentikan oleh Dicky. Ia


membalikan badannya menghadap Ryo.

“Ini seharusnya tidak dilihat orang


umum seperti kita. Ini bisa berbahaya kalau
ketahuan.” Dicky menghela nafasnya, wajah-
nya serius.
***

196
Istirahat

Andi terbangun dari tidurnya. Seperti


merasakan sesuatu di dalam dirinya dan juga
tiba-tiba teringat dengan Ryo. Bersama dengan
itu, mobil yang sedang ditumpanginya berh-
enti.
“Baik pak, kita sudah sampai. Bapak
sudah ditunggu.” Salah seorang membukakan
pintu.

197
Andi segera keluar dari dalam mobil
sambil membawa barang bawaannya.
“Selamat datang kembali pak Andi.”
Seseorang dengan setelan Jas menyambut,
tersenyum ramah. Dia adalah salah satu
pemimpin penelitian.
“Mari saya perkenalkan dengan orang
yang akan menjadi partner anda di lab.”
Jelasnya, menunjukkan orang yang sudah ada
di sebelahnya sejak tadi.
“Hi, pak! Perkenalkan pak Andi. Nama
saya Reno.” ucapnya memperkenalkan diri
dengan nada yang semangat.
“Ya, senang bisa bertemu dengan anda.”
Jawab Andi.
Setelah sambutan itu Andi lalu diberi
jalan untuk pergi ke ruangannya untuk men-
aruh barang-barangnya di sana, ruangan yang
akan menjadi tempat tinggalnya selama bekerja
di lab. Untuk menikmati waktu yang ada
sebelum ke lab, Andi mencoba mereng-gangkan
tubuhnya di atas tempat tidur dan tak mencoba

198
untuk mengistirahatkan matanya.
Perjalanannya cukup panjang juga, setelah dari
bandara harus naik mobil lagi selama 18 jam
untuk sampai ke laboratorium yang berada di
daerah yang cukup jauh dari jangkauan dan
kawasan perkotaan. Sebab itu lah Andi tidak
bisa menghubungi siapa pun bila sudah di
sana. Sinyal pun tidak ada di kawasan lab. Kota
yang paling dekat membutuhkan waktu 3 jam
untuk ke sana. Andi memandang langit-langit.
“Apa dia sudah menemukannya?” pert-
anyaan itu terlintas dalam benak.
Tangannya merogoh saku, mengambil
dompet. Sebuah foto dirinya tengah foto
bersama keluarga kecilnya. Hanya foto itu yang
ia punya untuk melepas rindu.
****

“Terus kita harus bagaimana?” Dicky


masih merasa kebingungan dengan apa yang ia
dan Ryo temukan saat ini.

199
Disisi lain Ryo tengah berbaring di
tempat tidur yang dekat dengan komputer.
Kepalanya terasa pusing tiba-tiba. Ia mencoba
membaringkan badannya, sambil mencoba
untuk mencari solusi.
“Apa lapor sama pak Rt aja ya?” ucap
Dicky, menatap datar layar monitor
Tiba-tiba sebuah bantal terbang dan
mengenai kepala Dicky.
“Kenapa gak sekalian apa satpam yang
di pos ronda, jangan ngajakin berantem dulu,
deh. Lagi pusing gue.” Ryo kembali
merebahkan badannya di kasur.
Tok tok tok...
“Hallo om boleh masuk ga?” suara
samar-samar terdengar dari balik pintu.
Mereka saling lempar tatap. Tutup
filenya, mungkin itu arti tatapan Ryo. Seakan
mengerti, Dicky segera mengalihkan file
tersebut. Tidak lama, pintu terbuka. Nampan
kayu dengan mangkuk berisi cemilan datang

200
bersama dua kaleng soda. Bapak Dicky
tersenyum ramah.
“Sedang apa nih kalian?” tanyanya
sambil menaruh nampan di salah satu meja
dekat komputer.
.“Nih, minum.” Dicky melemparkan kal-
eng tersebut ke arah Ryo.
“Ga ngapa-ngapain kok om, ini cuma
mau copy film aja.” Ryo bangkit dari tempat
tidur, mencabut flashdisk yang masih
menancap.
“Nih Dic, pakai flashdisk ini aja.” Ryo
memberikan flashdisk yang lainnya ke Dicky
dan menyembunyikan flashdisk tadi.
“Ohh, saya kira ada apaan. Lagian kalian
terlihat serius sekali, seperti sedang mau UN.
Yaudah om tinggal keluar lagi ya. Jangan lupa
di makan itu.”
Pintu kamar berdebam, tertutup rapat.
Ryo langsung menaruh flashdisk itu ditempat
yang aman di tasnya. Agar tidak gampang
hilang. Tapi sebelum itu, ia terlebih dahulu

201
mengcopy data tersebut ke dalam file khusus di
komputer Dicky.
“Yaudah Yo, copy film dulu aja, nih, ya.”
“Oke deh, tapi tolong ya dirahasiain yang
tadi itu.” Pinta Ryo.
Dicky mengangguk dan tangannya
kembali sibuk dengan mouse, mem-blok sem-
ua episode anime yang jumlahnya puluhan.
“Oiya Yo, ada yang mau gue omongin
sama lu.” Dicky sekejap berhenti.
“Apaan Dicky?”
“Gue mules.”
“Makan sono lu.” Seru Ryo dengan nada
jengkel, untuk sesaat dia benar-benar ingin
mendengar apa yang ingin dikatakan Dicky,
dan nyatanya sahabatnya itu memang tidak
bisa diprediksi.
Dicky hanya tertawa dan beranjak dari
tempat duduknya pergi ke kamar mandi.
“Makannya yang banyak sekalian.”
lanjut Ryo saat melihat Dicky memasuki kamar
mandi, kesalnya masih di ubun-ubun.

202
Kamar lengang seketika, suara CPU
komputer terdengar mendominasi. Ryo bangkit
dari tempat tidur, beringsut mengambil hp
Dicky. Pertama yang ia buka yaitu adalah folder
gambar dan video.
“Wah coba kita lihat videonya. Jangan-
jangan banyak bokepnya. Biasanya orang yang
pendiem. Tak diduga memiliki banyak.” Ryo
tertawa sendiri.
Dirinya kembali merebahkan badan di
kasur, tangannya mulai membuka galeri di hp
itu. Ternyata banyak sekali videonya ada
sekitar dua puluh. Ryo memperbaiki posisi jadi
duduk, seringai di wajahnya muncul,
dugaannya mungkin benar. Dilihatnya satu-
satu video itu karena tak ditampilkan nama-
nya. Ternyata dan sangat mengagetkan adalah
cuma anime Naruto saja isinya bukan film blue.
Di galeri fotonya masih ada foto-foto kegiatan
bakti sosial saat minggu lalu. Dilihatnya satu
per satu foto itu mulai dari foto Ryo dan anak-
anak yang ada disana. Ryo masih ingat tentang

203
perempuan yang pernah nebeng satu motor
dengan dirinya untuk membeli makanan. Saat
itu Ryo belum sempat menanyakan siapa
namanya. Tapi kalau diin-gat-ingat wanita itu
pernah menyebutkan namanya saat sedang
mengobrol di motor. Mencoba mengingat-ingat
sambil memandang foto wajah perempuan yang
berkerudung pink itu.
“.....sinih Hany kasih tahu jalannya.....”
“Nah itu dia namanya, Hany. Inget juga
akhirnya”
Dug...nyiiitttt
Suara pintu kamar mandi terbuka dan
Dicky mulai berjalan ke kamar. Letak kamar
mandi itu dekat dengan kamar Dicky. Di dalam
kamar Ryo belum menyadari kehadiran Dicky
yang mulai dekat dan saat pintunya terbuka.
“Hayo loh ngapain, nonton ituan lu ya
sendirian. Kaga ada di hape gua mah.” Dicky
merampas hpnya dari tangan Ryo.

204
“Ohhh Hany, ngapain lu liatin fotonya.
Naksir ya?” menepuk-nepuk pundak Ryo,
tertawa puas.
Ryo hanya senyum-senyum kecil dan
geleng-geleng kepala mendengarnya.
Copy Complete
“Dicky, udahan nih. Gue cabut ya” Ryo
beringsut mengambil flashdisk di komputer
yang letaknya tidak jauh dari tempat tidur.
“Dic, gue tidur dulu ya bentar.”
“Iya udah, Oiya Yo. Gue mau analisa isi
dari Flashdisk bapak lu ya.” Jelas Dicky,
kembali duduk di kursi depan komputer.
“Iya udah, kalau ada sesuatu bilangin
gue ya.” Jawab Ryo.
Dicky membalikkan badannya
kehadapan monitor.
“Oiya, nanti gue salamin ke Hany ya.”
Dicky kembali menggoda, “Mau no telfonnya ga
sekalian?” lanjutnya
Sekejap bantal terbang mulai muncul
lagi dan kembali mengarah ke Dicky.

205
“Duhh... sue lu.”
***

206
Pertama

Tidak semua sekolah mengalami guru


piket yang sedang error. Buktinya sekolah yang
lain masih melaksanakan kegiatan belajar
seperti biasanya. Untuk sekolah SMA negeri
pulang jam 2 sudah menjadi hal yang biasa dan
teriknya matahari sudah menjadi makanan
sehari-hari. Beruntung sekali karena memakai
hijab, membuat Hany tidak terlalu
mengkhawatirkan tentang panas yang

207
menyengat kulitnya. Perjalanan naik ojek dari
sekolah ke rumahnya cukup lancar tanpa
hambatan. Sepanjang jalan dirinya sibuk
membaca isi novel yang diberikan kakaknya.
Sampai-sampai tidak sadar bahwa ojek yang
dinaikinya sudah berhenti lama. Hany mengira
sedang macet di dekat rumahnya. Oleh sebab
itu ia tidak mempedulikannya dan tetap
membaca lembar per lembar.
“Neng, udah sampe ini. mau muter-
muter lagi ya sama abang?” ucap abang ojek
yang sedang melihat lewat kaca spion.
Hany tersentak, wajahnya tidak lagi
menunduk dan melihat sekitarnya. Pipinya
mulai menampakkan lesung pipitnya tanda ia
tersenyum malu. Hany turun dari motor
dengan buku menutupi sebagian wajahnya
karena malu.
“Ini bang uangnya, maaf ya. Makasih.”
Hany membalikkan badannya dan membuka
pintu pagar rumah. Setelah melepas sepatu, ia
langsung masuk ke dalam rumah.

208
“Eh kamu udah pulang Hany? Tumben
cepet.” Di dalam sudah ada Yola yang sedang
santai di depan tv sambil membaca buku
majalah.
“Cepet dari mana sih kak, emang jam
segini aku pulangnya. Wleee.” Seru Hany,
lanjut jalan ke kamarnya, “Yaudah, kak aku
mau ganti baju dulu ya kak.” lanjut Hany.
Ping
Ping
Ping
Yola, gue minta data file, rekaman pas
kunjungan. Pakai Hardisk aja biar semuanya.
Hp gue low soalnya.
From : Mira Chubby

Yola beranjak dari sofa dan berjalan ke


kamar Hany.
“Hany, kakak pinjam hardisk kamu
dong. Gak kamu pakai kan?” Yola berdiri di
depan pintu sambil membalas pesan.

209
“Tunggu sebentar. Iya nanti aku keluar
bawain.” Hany menjawab dari balik pintu,
karena ia belum selesai memakai baju.
Yola kembali ke tempat duduknya
sambil mencari file yang diminta Mira di
laptopnya.
Ctek.... suara pintu terbuka, begitu juga
Hany keluar dari kamarnya membawa hardisk
dan novel.
“Nih kak, buat apaan sih? Dokumen aku
jangan di hapus ya kakak cantik. Nanti aku
hajar kalau dihapus.” Hany terkekeh, duduk
disebelah Yola.
“Paling korea.” Yola balas tertawa.
Ruang tengah lengang. Yola masih sibuk
memindahkan file, dan Hany sudah tenggelam
dalam kata-kata. Sejak duduk di sebelahnya
dari tadi Yola tidak mendengar suara Hany.
Dengan tangan yang masih sibuk
memindahkan data. Matanya melirik ke
sebelah. Dilihatnya Hany sibuk sekali
membaca novel. “Hey, seru banget kayanya

210
kamu baca novel.” Kak Yola menyandarkan
badannya ke badan Hany untuk melihat apa
yang dibaca oleh adiknya.
“Kak yola mau baca juga ya?” Hany
menutup novelnya agar kak Yola tidak melihat
isinya.
“Kakak tahu ga? Aku pernah ketemu
sama Ryo ini tahu kak, di acara minggu
kemarin.” Hany bercerita dengan semangat ke
kakaknya.
“Ah masa, kamu bohong kali.” Yola
menggoda.
“Beneran kak, aku aja sempet
boncengan sama dia. Kakak sih baru kasih
novelnya, jadi aku ga tahu.” Hany menya-
kinkan Yola bahwa dirinya pernah bertemu
dengan Ryo.
“Nih kak, aku ada fotonya.” Hany
menunjukan foto yang ada di hpnya. Disitu
terlihat foto bersama saat mereka sedang di
penghujung acara dan menyempatkan diri
untuk berfoto bersama. Di sebelah bawah Hany

211
ada Ryo yang sedang jongkok di paling depan.
Kak Yola mengambil hp Hany, agar terlihat
lebih jelas fotonya.
“Wah, iya bener ini orangnya. Kok, kamu
bisa ketemu sih sama dia?” Kak Yola tampak
kaget juga adiknya bisa bertemu dengan Ryo.
“Itu loh kak, dia itu temennya temen aku
di acara itu. Jadi temen aku Dicky ngajak Ryo
buat ketemu sama anak-anak kecil gitu. Buat
bantu-bantu dan main sama anak-anak gitu
kak.” Hany menjelaskan semua dan
menceritakannya ke Yola. Mereka berdua terus
saja bercerita tentang apa yang terjadi minggu
lalu. Sambil menunggu proses pemindahan file,
Yola masih mendengarkan dengan penuh
perhatian cerita adiknya.
Tidak puas hanya menceritakan, Hany
mencoba untuk membuka Instagram milik Ryo.
Tak terasa posisi Hany yang tadi duduk jadi
tiduran di sofa. Yola masih sibuk dengan laptop
dan buku bacaanya. Dengan petunjuk nama

212
akun yang ada di akhir buku novel. Hany
mencari lewat akun instagramnya.
“Wah, dasar Instagram nya di gembok
kak. Aku follow dulu deh.” Hany bicara sendiri.
Yola hanya diam saja, karena jarang-jarang
adiknya bicara panjang lebar seperti tadi.
***
Drrrttt...drrttt....
“Dic, diem napa, ah!” Mata Ryo masih
terpejam hanya mulutnya yang bicara. Dirinya
terbangun sebab hp yang di sakunya bergetar.
Tapi Ryo mengira Dicky iseng.
“Apaan dah! gue aja lagi sibuk ini.” Dicky
melempar bantal yang sebelumnya dilempar
Ryo ke padanya. “Hp lu tuh yang dari tadi getar,
di saku lu coba lihat.” Lanjutnya.
Benar yang di katakan Dicky. Ada
notifikasi banyak di hpnya. Dicek satu persatu
notifikasi itu dengan posisi masih berbaring di
tempat tidur. Salah satunya adalah instagram
miliknya punya pemberitahuan tentang orang
yang ingin mengikuti. Disitu tertulis nama

213
akun Hany_PZ yang meminta untuk mengikuti.
Jangan-jangan Hany nih. Dari pada penasaran,
Ryo membuka akun tersebut dan terpampang
nama Hanifah Putri Zulhiyah.
“Eh Dicky, gue mau nanya sama lu.
Nama panjang Hany apaan ya? Tahu ga lu?”
Ryo memperbaiki posisinya jadi duduk,
kantuknya hilang.
“Kenapa? Lu pengen ngapalin Ijab
Qobul?” Dicky memutar kursinya dan tertawa
mendengar jawabanya sendiri.
“Dicky, lu kaga liat apa yang gue pegang
sekarang?” Ryo memegang sebuah gelas kaca di
tangannya dan mengetukannya ke dinding
untuk membuktikan kalau itu memang benar
gelas kaca.
“Wait...wait... tunggu..tunggu.. lu ga liat
apa yang gue pegang juga?” Dicky langsung
memegang monitor dengan kedua tangannya,
ditambah dengan wajah yang mengejeknya.

214
“Oke..Oke You Win Dicky..” Ryo
menaruh gelas itu dan mengangkat kedua
tangannya, tanda menyerah.
“Oke jadi begini……” Dicky memperbaiki
posisi duduknya, ruangan jadi lengang, kedua
mata mereka bertemu serius, “…gak gitu, Yo.”
“Dihh sumpah lu Dicky, Gue cium lu
lama-lama.” Ryo mulai mengancam Dicky.
Dengan ancaman yang sangat mengerikan.
Dicky mengangkat tangannya,
menyerah, “Kalau ga salah sih Hanifah
Zulhiyah gitu. Kenapa emangnya?”
Ryo menunjukan hpnya ke Dicky.
“Ohh, ini—“ belum selesai bicara, Dicky
langsung menekan tombol Terima.
“Lah apaan lu Dic, main terima aja.”
protes Ryo.
“Udah biarin aja.” Dicky kembali ke
pekerjaannya dan tak pedulikan protes Ryo.
Tanpa sepengetahuan Ryo, Dicky
mengirim pesan ke Hany, bahwa Ryo ingin
kenalan dengan dirinya. Bukan apa-apa, ini

215
dilakukan Dicky agar Ryo tidak terlalu
memikirkan tentang apa yang mereka berdua
temukan. Dicky ingin agar ia juga bisa
membantu masalah ini.
Tak lama Hany membalas pesan dari
Dicky.
“Lah, becanda ya Dicky?”
Dicky menutup mulutnya, menahan ta-
wa.
Segera Dicky membalasnya, “Katanya
kalau ada waktu luang, dia mau ketemu.
Hehehe.”
Disebelahnya, Ryo terlihat sedang
merapikan barang-barangnya. Tak sadar sudah
3 jam ia tertidur.
”Dic, gue balik ya, udah lumayan sore.
Mau lari sore dulu gue nanti.” Jelas Ryo,
merapikan barangnya dan memasukannya ke
dalam tas laptop. Tidak lupa memastikan
flashdisk bapaknya tak ketinggalan.
“Mau lari apa nyari cabe-cabean lu? Gue
bilangin Hany loh nanti.”

216
Ryo tak menghiraukannya. Setelah
berpamitan dengan bapak Dicky, Ryo lang-
sung pergi keluar rumah dengan membawa tas
di pundaknya. Sedangkan Dicky kembali ke
tempat duduknya untuk menganalisa isi dari
dokumen yang tadi ia copy. Masih dengan niat
yang sama untuk menolong temannya yang
kini sedang mendapat hal yang tak terduga.
Saat berjalan keluar pintu, Ryo berpesan
sesuatu.
“Dic, kalau ada petunjuk sesuatu,
kumpulkan ya. Biar gue nyari informasi yang
mungkin ada di rumah. Satu lagi, rahasiakan
ini!”
***

“Kamu mau kemana?” Ibu heran melihat


Ryo sedang memasang tali sepatu olahraga
miliknya.
“Ini bu, mau lari sore. Selagi ada
kesempatan pulang cepet.” Jelas Ryo, masih
sibuk mengikat tali sepatu. Selesai memakai

217
sepatu, Ryo mengambil hot cream lalu mengol-
eskannya ke seluruh kakinya. Tujuannya biar
terasa panas dan meredakan nyeri di kaki saat
lari nanti, karena ini pertama kalinya Ryo lari
sore lagi semenjak selalu pulang sore jika
sekolah. Jaket, earphone, Ipod dan jam tangan
untuk timer nanti saat ia lari sudah terpasang
di tubuhnya. Tidak lupa juga membawa sedikit
uang untuk membeli air nanti.
“Bu, berangkat ya.” Seru Ryo dari teras
rumah, sambil melakukan gerakan peman-
asan, lalu dimulai dengan berjalan santai
keluar rumah.
“Ehh Ryo, pulang bawain cabe ya
sebungkus. Ibu nanti mau masak nasi goreng
yang special hot.” Ibu berlari kecil meng-
hampiri Ryo yang sudah mulai berjalan keluar
rumah.
“Cabe sayur apa cabe-cabean, bu?” Ryo
membalikkan badannya dengan wajah terse-
nyum meledek.

218
“Dih dasar, udah sana cepet jangan lupa
cabe nya ya sebungkus.”
“Okee.”
Jalan santai dilanjutkan, tidak lupa
dengan memakai earphone di telinganya.
Didahului dengan berjalan kaki di jalan
setapak dekat rumahnya. Mencari-cari tempat
yang cocok untuk melakukan pemanasan.
Masih terus berjalan-jalan menyusuri jalan
bebatu yang belum sepenuhnya tersentuh
aspal hitam. Masih asri jalannya, bisa dilihat
dari kanan dan kiri jalan banyak ditumbuhi
tanaman alang-alang yang tingginya sepaha.
Terus mengikuti jalan setapak yang
lama-kelamaan mengarahkannya ke sawah
padi. Matanya dimanjakan dengan hijaunya
dedaunan dan hamparan tanaman padi yang
mulai menguning, tanda bahwa mulai mema-
suki panen. Di tengah-tengah lautan tanaman
padi itu, ada petani yang sedang sibuk
mengambil rumput-rumput yang mengganggu
tanaman padi. Senyum para petani tak bisa

219
tertutupi oleh keringat di wajah mereka, saat
melihat tanaman mereka tumbuh dengan baik
dan subur.
Kreteng...kreteng...kreteng...kreteng..
suara kaleng-kaleng yang saling bertubrukan.
Sengaja di pasang petani menggantung di atas
lahan pertanian mereka. Untuk menghalau
burung-burung yang memakan padi-padi
mereka. Terlihat jelas petani yang satu sedang
menarik-narik tali yang terhubung dengan
kaleng-kaleng saat melihat ada banyak burung
yang hinggap di tanaman padinya. Seketika
bunyi kaleng itu membuat ratusan burung
terbang secara serentak, membuat suatu
pemandangan yang sayang untuk dilewatkan.
Satu-dua dari petani itu menyapa ramah,
“Mampir atuh mas sini, minum dulu.” Teriak
salah satu petani yang tadi menarik tali dari
dalam gubuk. Ryo mengangkat tangannya
sambil tersenyum ke arah petani itu, “Oh iya
pak, saya mau lari sore dulu.” Petani itu
membalas dengan senyum ramah. Ryo

220
melanjutkan perjalananya menyusuri jalan
setapak.
Di tengah perjalanan Ryo melihat pohon
mangga yang cukup rindang dan dibawahnya
sepertinya cocok sekali untuk melakukan
pemanasan. Masih dengan mendengarkan
lagu, badannya mulai asyik melakukan
pemanasan mengikuti irama musik RAN feat
Tulus yang berjudul Para Pemenang. Sudah
hampir dua puluh menit melakukan
pemanasan, badan sudah terasa panas dan
mulai mengeluarkan keringat sedikit-sedikit,
“Oke udah cukup pemanasannya. Badan
ini sudah mulai terasa panas rasanya.” Dengan
menirukan logat Medan, Ryo mulai bersiap-
siap untuk Jogging. “Oke..Ayo kita mulai......”
serunya serak.
Baru berapa langkah lebar ia berlari,
suara bising menganggu membuatnya menoleh
kebelakang badan.
“Eh Awas....awass.....awasss...minggir.”

221
Teriakan cukup dekat dari arah
belakang, sebuah sepeda melaju kencang tidak
tentu arah, persis mengarah ke Ryo. Tak jelas
memperhatikan rupa orang yang diatasnya,
Ryo juga panik dengan keadaannya yang ada di
tengah jalan dirinya refleks menghindar.
Sepertinya rem sepeda itu tidak berfungsi.
Ryo jatuh terduduk di pinggir jalan.
Sedang kan orang yang menggendarai sepeda
tadi menabrak batu yang ada di tengah jalan
dan membuatnya oleng ke arah alang-alang
dan terjatuh di tengah alang-alang.
“Waduhh.. jatuh dia.” Ryo berlari
menghampirinya. Diangkatnya sepeda yang
menimpa sebagian badan. Kini terlihat jelas
bahwa yang tadi mengendarai sepeda adalah
Hany. Tapi Ryo belum menyadarinya, lebih
memilih untuk membantunya duduk, wajah-
nya masih tertutupi daun alang-alang yang
kering. Hany membersihkan wajahnya sendiri.
“Aduh kaki ku sakit..” Hany mengaduh
sakit, memegang salah satu bagian kakinya.

222
Celana panjang yang tadi menutupi kaki itu
robek di bagian lutut, ada luka tergores jalanan
di lututnya.
Bergegeas Ryo mengambil air yang ada
di sepeda tadi untuk membersihkan luka.
“Aduhh..” Hany merintih.
“Eh maaf ya.” Ryo berhenti menyiram air
karena sudah bersih, lalu menoleh kearah
wajah orang yang sedang dia obati.
“Loh, Hany ya?”
“Iyaa, aduhh. Kamu Ryo kan?” Hany
mencoba berdiri, tapi tertahan karena lukanya
terasa perih.
“Jangan berdiri dulu, biar aku anterin
pulang ya.” Ryo mencoba meluruskan kaki
Hany agar ia rileks untuk sementara waktu.
Sementara itu Ryo mencoba memperbaiki rem
sepeda yang tadi rusak. Hany memperhatikan
Ryo yang sedang memperbaiki sepeda, dirinya
tak menyangka akan bertemu lagi.

223
“Oke, udah bener nih remnya. Kamu
bisa ga aku boncengin di belakang?” tanya Ryo,
sambil menyanggap sepeda dengan tangannya.
“Gak tahu, kaki aku sakit banget
rasanya.” Hany mencoba berdiri sambil
dibantu. Tapi saat berdiri pun, masih terasa
sakitnya bahkan bekas goresan itu menge-
luarkan sedikit darah. Berpikir sejenak, Ryo
melihat kondisi kaki itu. Hany juga terlihat
lemas.
“Gemana kalau kamu duduk aja depan,
duduknya menyamping.” Ryo memberi usul.
Hany mengangguk. Ryo membantu
untuk duduk di bagian tengah sepeda tangan-
nya memegang bagian tengah stang. Dengan
sedikit hati-hati dan menjaga keseimbangan,
Ryo mulai mengayuh sepeda.
“Ryo?”
“Iya ada apa, Hany?” fokus menjaga
keseimbangan sepeda.
“Makasih banyak ya—“

224
“Eh sepertinya inget jalan ini deh.” Tak
mendengar apa yang tadi di ucapkan Hany tadi.
Sepeda berhenti. Ryo ingat sesuatu tentang
jalan yang sedang ia lalui sekarang. Jalan yang
ia lalui sekarang adalah jalan saat dirinya dan
Bapak sedang mengantar pak Asep ke gubuk
miliknya. Tanpa pikir panjang, Ryo
mengarahkan sepedanya ke arah gubuk pak
Asep. Tujuannya adalah untuk meminta obat
untuk kaki Hany.
“Ryo kita mau kemana?” Hany bertanya
bingung, dia yakin ini bukan jalan yang benar.
”Kita obatin kaki kamu dulu ya.”
Tak lama perjalanan itu. Akhirnya
mereka sampai di depan gubuk pak Asep. Di
teras gubuk juga sudah ada pak Asep yang
sedang duduk mengamati ladang miliknya,
menyadari kedatangan mereka dengan sepeda.
“Hey Ryo, dari mana kamu?” Pak Asep
menyapa ramah, dia masih ingat.
Mereka berdua berlahan turun dari
sepeda, Ryo membantu Hany berjalan tertatih

225
ke arah gubuk. Melihat itu pak Asep bangkit
dari tempat duduknya dan mempersilahkan
tempat duduk untuk Hany, lalu masuk ke
dalam untuk mengambil obat herbal untuk
luka. Hany didudukan di bangku dan kakinya
diluruskan. Perlahan lukanya di tutup dengan
tumbukan tanaman obat yang tadi dibuat. Dari
dalam datang Ryo membawa teh hangat untuk
memberikannya ke Hany. Sambil mengobati,
Ryo menceritakan kejadian yang membuat kaki
Hany luka.
”Nah, udah di kasih obat nih kakinya.
Insyaallah cepet kering.” Pak Asep menyele-
saikan pengobatannya.
“Nih Ryo, kamu harus belajar tanaman
obat. Jadi kalau pacar kamu sakit lagi, kamu
bisa ngobatin.” Lanjut Pak Asep, menepuk
pundak Ryo.
Ryo dan Hany saling lempar tatap.
“Bukan, pak, Bukan.” Mereka berdua
geleng-geleng dan menjawab dengan kompak.

226
“Tuh kan kompak. Yasudah bapak
tinggal ke dalam dulu ya, mau merapikan ini.”
Pak Asep bangkit dari duduknya sambil
membawa lumpang ke dalam gubuk.
“Sini saya bantu.” Ryo ikut berdiri.
“Udah tidak usah, temani pacar kamu
saja disini. Biar dia istirahat dulu ya.” Pak Asep
berjalan ke dalam membawa barang-barang
yang digunakan untuk mengobati Hany tadi.
Perasaan Hany kini lebih tenang, sakit
yang tadi diakibatkan luka di lututnya kini
berangsur-angsur mulai mereda sakitnya. Ryo
duduk di dekat kaki Hany yang sedang diluru-
skan.
“Emang sakit ya?” Ryo mencoba
menyentuh luka yang tadi dengan jarinya.
Hany dengan cepat menangkis tangan
Ryo yang mulai mendekati lukanya, “Eits, aku
hajar ya kalau kamu nyentuh. Sakit tahu!”
Ryo tersenyum, karena sekarang ia tahu.
Hany sudah lebih baik dari tadi, “Oiya tadi
kamu ngomong apa pas di sepeda?”

227
Hany melihat ke mata Ryo, ia sekarang
sadar tadi Ryo tidak mendengar apa yang ia
ucapkan. Malu untuk mengucapkannya lagi,
Hany berlagak untuk jual mahal, “Engga tuh,
gak ngomong apa-apa tadi. Jangan ge’er ya
kamu.”
“Yaudah kamu istirahat dulu saja, abis
itu baru anterin kamu pulang ke dunia kamu.”
seru Ryo membalas.
****
Perjalanan mereka jauh lebih mudah
dari sebelumnya. Hany sudah membaik, jadi
dia bisa naik sepeda, sedangkan Ryo disebe-
lahnya menuntun sepeda. Tidak banyak yang
mereka bicarakan, kebanyakan hanya saling
ejek satu sama lain.
Sekarang mereka sudah ada di depan
rumah. Di rumah hanya ada Yola. Mereka
berdua mengetuk pintu dan menunggu pintu
dibuka. Tak lama terdengar orang yang
menjawab salam dari dalam rumah, lalu
membuka pintu. Yola tampak bingung saat

228
Hany pulang bersama lelaki, namun saat
melihat kaki adiknya terluka ia panik dan
langsung membawa adiknya ke bangku ruang
tamu. Dengan cepat Yola berlari ke dalam
mengambil kotak P3K. Semua terjadi begitu
cepat, Yola termasuk orang yang cepat tangg-
ap urusan ini.
Yola kaget melihat luka adiknya sudah
diobati, “Loh ini lukanya sudah diobati. Siapa
yang mengobati Hany?”
Hany menunjuk ke arah orang di
sebelahnya, “Itu pamannya dia yang tadi
mengobati. Pakai tanaman obat. Udah
mendingan, kok, kak ini. Obatnya ternyata
manjur banget, besok juga aku bisa sekolah
lagi, kak.”
Hany menceritakan semua kejadian
yang ia alami ke kakaknya. Tidak lupa ia juga
menceritakan tentang Ryo yang membuat kak
Yola tidak percaya kemarin.
“Iya kak, saya Ryo Rizky—“ belum selesai
Ryo bicara Yola kembali lari lagi ke dalam, tak

229
lama ia kembali lagi membawa pulpen dan
buku novel.
“Ini, tanda tanganin ya.” Yola menyod-
orkan kedua benda itu.
Ryo tanpa pikir dua kali langsung
membuka lembar pertama, dirinya tersenyum,
“Udah ada, kok, kak.”
“Dihh kakak ya. Salting banget,
bukannya buatin adiknya minum juga.” Hany
merasa dirinya dilupakan Yola.
Ruangan itu jadi ramai, tidak seperti
biasanya.
“Oke, kakak buatin minum ya, sayang.
Oiya Ryo mau minum apa?”
“Oh, tidak udah ka. Saya langsung
pulang saja. Tadi sudah minum berdua sama
Hany di rumah paman.” Ryo beranjak dari
tempat duduknya. Tiba-tiba, topi jaketnya
ditarik kencang oleh Hany yang masih dalam
posisi duduk, Ryo terhentak hingga terduduk
kembali.
“Eh, kamu kenapa buru-buru, sih.”

230
“Kan jauh kalau kamu pulang jalan, biar
kakak aku yang anterin kamu yah.” Lanjut
Hany.
“Udah tidak usah, biar kakak kamu
jagain kamu aja. Sekalian aku mau lari juga,
tadi kan memang niatnya mau lari.” Jelas Ryo,
beranjak dari tempat duduknya dan berjalan
keluar.
”Kak saya pamit pulang ya.”
“Eh iya, terima kasih banyak ya Ryo.”
Yola ikut berdiri, mengantar Ryo hingga pintu.
Dibelakangnya, Hany sudah bertolak
pinggang dan menyeringai lebar.
“Tuh kan kak, bener aku kenal sama
dia.” Ucap Hany dengan percaya diri, luka di
kakinya sudah tidak terasa.
Yola tersenyum, menghampiri adiknya
itu, duduk di sebelahnya, “Tapi kalian
bicaranya sudah aku kamu, jangan-jangan
pacaran ya kalian berdua.”
“Dih, engga kak. Dari tadi ya gak
berhenti-berhenti orang pada ngomong kaya

231
begitu.” Hany melipat kedua tangannya,
wajahnya melipat, menandakan kini sedang
ngambek.
Tidak menghiraukan adiknya, Yola
membantu Hany untuk berdiri, menuntun ke
kamar untuk istirahat. Sambil merayu-rayu
Hany agar tidak ngambek lagi.
***

232
Waktunya Tiba

Pintu rumah terbuka, di dalam ada Sinta


yang sedang menonton tv dengan serius sekali.
Sampai tidak dengan kalau Ryo sudah masuk
ke dalam rumah.
“DORRR.”
Ryo mengagetkan Sinta dari belakang
dengan menepuk pundaknya.
“Ihh dasar kagetin aja! Lari kemana
kamu lama banget?”
“Sekitar sini aja bu, mau mandi dulu ya.”
Ryo berjalan sambil membawa handuk
di pundaknya. Sedangkan Sinta melanjutkan
nonton tv yang sedang menampilkan drama
India. Rumah kembali lengang. Musik ala India
yang keluar ketika para pemainnya keluar

233
mulai terdengar, suara air yang menghantam
bak mandi juga sudah mulai terdengar.
Mata Sinta melirik ke arah kamar mandi,
mengangkat 3 jarinya, mulai mengh-itung
mundur.
“Oke, ayo kita hitung mundur.
Satu….dua—“
“Bu…….tolong ambilin shampo dong.”
Seru Ryo dari dalam kamar mandi.
“Tuh kan bener, kebiasaan nih anak.
Kayanya harus di sediain shampo satu renceng
di kamar mandi.” Sinta bangkit dari tempat
duduknya sambil ngedumel karena terganggu
nonton drama India nya.
“Nih, ibu selipin di bawah pintu kamar
mandi.” Seru Sinta dari luar kamar mandi.
Ryo melihat ke bawah pintu kamar
mandi. Lampu kamar mandi memang tidak
seterang lampu lain yang ada di rumah,
lampunya redup. Samar-samar dilihatnya
memang ada yang terselip di bawah kamar
mandi itu, “Oh ini bu, oke makasih, bu.”

234
Sinta tak menjawabnya karena memang
sudah kembali menikmati serial India kesuka-
annya, dan keseriusannya menonton sudah
masuk level dewa, tidak boleh ada yang
mengganggu lagi.
Di kamar mandi Ryo masih sibuk
menyegarkan badannya yang tadi lengket
karena penuh dengan keringat, setelah berlari
dari rumah Hany yang lumayan jauh dari
rumahnya. Kalau dari tempat ia bertemu
dengan Hany memang tidak terlalu jauh untuk
ke rumah Hany, tapi beda lagi urusannya kalau
dari rumah ke rumah.
Hampir limabelas menit di dalam kamar
mandi. Di rumah, Ryo memang terkenal mandi
paling lama dari pada yang lainnya. Akhirnya ia
keluar dengan handuk yang menyelimuti dan
menutupi tubuhnya dari pinggang ke bawah.
“Bu?”
Sinta tidak bergeming.

235
“BU?” Ryo mengulang lagi, suaranya
kalah dengan musik India yang memang
sengaja Volumenya diperbesar.
“IBU?” mengulang ketiga kalinya.
Mungkin kalau mengulang sampai ke lima
kalinya, nanti Ryo dapet mangkok gratis. Tapi
ternyata tidak, Sinta mulai sadar Ryo
memanggilnya.
“Ohh, iya kenapa?”
“Tadi ibu kasih shampo apaan ya? Kok,
perih jadinya kulit kepala ini.” Ryo meraba-raba
sekeliling kepalanya dengan ekspresi orang
yang sedang menahan rasa perih dan panas.
“Ya shampo yang biasa. Coba kamu lihat
bungkusnya.” Sinta kembali menonton.
Biasanya Ryo main lempar saja bungkus
shampo di kamar mandi dan pada akhirnya
Sinta sendiri yang marah-marah kalau buang
sampah shampo tidak pada tempat sampah.
Karena bungkus shampoo sering kali membuat
saluran tersumbat, dan kamar mandi jadi
sering tergenang air.

236
Ryo kembali masuk ke dalam kamar
mandi dan pintunya dibiarkan terbuka agar
terlihat lebih terang. Sambil meraba-raba
akhirnya ketemu bungkus merah shampo tadi,
lalu dibawa keluar agar dilihat lebih jelas.
“Lohh—“ Ryo berseru, membolak-balik-
kan bungkus kecil di tangannya, “Ibu.. Ini kan
SAUS ABC!” lanjut Ryo, dengan wajah setengah
tidak percaya dan terkejut juga.
“Maklum, lah. Tahu sendiri kamu mata
ibu kaya gemana.” Sinta tersenyum dan
tertawa puas. Sedangkan Ryo sudah berlari ke
kamar mandi dengan membawa shampo yang
sesungguhnya.
Sinta masih menahan tertawa sambil
menonton. Sebenarnya ini memang sudah
direncanakan sejak awal, “Pasti setelah ini dia
bakal ambil shampo sendiri.”
****
Drrrttttttttt...drrrt......ddddrrrrrtttt.........
“Ada apaan nih getar-getar gini.” Sinta
berdiri, mencari-cari sesuatu yang bergetar di

237
sekitar sofa yang didudukinya. Diangkat satu
per satu bantal yang menutupi sofa. Ternyata
ada hp yang terselip di sofa.
“Ryo, hp kamu getar, nih, ada yang
telfon. Mandinya jangan lama-lama kenapa.”
Seru Sinta.
“Iya, bu. Bentar, lagi pakai handuk.”
Seru Ryo samar-samar.
Selesai memakai handuk, Ryo segera
menghampiri Ibunya yang kini sudah beralih
menonton sinetron alay.
“Mana mah hp nya?”
Sinta memberikan hp itu ke Ryo, “Udah
mati hpnya juga.”
Ryo berjalan menuju kamarnya sambil
melihat riwayat telfon. Ketemu, Dicky
orangnya. Sejauh ini, Dicky hanya akan telfon
jika ada sesuatu yang penting. Meski termasuk
sahabat yang konyol, Dicky termasuk orang
yang benar-benar serius pada waktunya, dan
Ryo sudah betul-betul mengerti sifat

238
sahabatnya itu. Ryo segera mengenakan baju
dan berjalan keluar rumah.
“Ihh serem banget, yah.” Sinta meng-
eluh panjang, siaran berita di televisi terdengar
lebih keras.
“Ada apa?” Ryo beringsut ikut menonton
berita.
“Itu lihat tuh ada berita mendadak di tv
yang potong sinetron. Kamu lihat sendiri deh
tuh yang mereka beritain.” Sinta menunjuk-
nunjuk kearah tv memberitahu apa yang ada di
tv.
Perhatian Ryo beralih ke siaran langsung
di tv. Seorang presenter pria sedang
mengabarkan tentang sebuah penyakit
misterius yang kini mulai muncul.
“Diberitakan kini banyak laporan tentang
banyaknya orang yang meninggal di akibatkan
oleh sebab yang tidak jelas. Menurut keterangan
dari keluarga yang telah ditinggal. Awalnya
mereka mendapat kabar kalau keluarga mereka
tengah koma secara misterius dan setelah lima

239
hari seperti itu, tiba-tiba jantung berhenti
berdetak..........”
“Para dokter berusaha mencari tentang
penyakit misterius yang sedang terjadi
belakangan ini, mereka baru dapat menyi-
mpulkan bahwa gejala yang terlihat adalah
seperti tidur lebih dari 2 hari dan pada
kebanyakan kasus meninggal setelah 5 hari
walaupun sudah di beri beberapa
obat......masyarakat terus berharap agar segera
dapat ditemukan kejelasan dan obat untuk
penyakit ini, Kami menghimbau kepada masya-
rakat semua untuk lebih berhati-hati dan
menjaga kesehatan……”
Berikutnya berita menampilkan beber-
apa foto dan skema gejala yang kini baru bisa
terindentifikasi, dan berharap agar masya-
rakat lebih peka dengan gejala yang
ditimbulkan. Ryo masih memperhatikan berita
itu, sesekali harus menahan nafas ketika
mendengar jumlah orang yang sudah
meninggal karena penyakit misterius ini.

240
Di benaknya Ryo merasa sepertinya ini
ada kaitannya dengan apa yang telah dititip-
kan bapaknya.
“Ini harus segera di selesaikan, kalau
begini terus bisa bahaya. Jangan sampai ada
korban lagi.” Ucapnya dalam hati.
Dirinya belum begitu yakin hubungan-
nya dimana, tapi firasatnya tidak bisa
dikesampingkan untuk saat ini.
Drrrttttttttt...drrrt......ddddrrrrrtttt.........
Panggilan itu masuk lagi, Ryo berjalan
menuju luar rumahnya sambil mengangkat
telfon dari Dicky.
“Oke Dicky, ada apa?”
“Lu udah liat berita yang ada di tv? Gila!
Serem banget!”
“Iya, gue udah lihat di tv barusan, kita
bakal ada di jalan buntu kalau hanya
mengandalkan data aja.” Ryo menghela nafas.
“Hmm, gue berhasil nyatet beberapa
nama yang menurut gue penting dalam data
ini.” Jelas Dicky dengan suara yang lebih pelan.

241
“Oke, kirimin ke gue. Nanti gue cari
informasi lebih dalam lagi tentang mereka
malam ini.”
“Siapp!”
***

“Pak Andi sudah berapa lama pak


bekerja di bidang kaya gini?” Reno bersandar di
pintu.
“Sampai sekarang sudah 3 tahun lebih.”
Andi masih memandangi foto itu sambil
menanggapi pertanyaan dari Reno. Reno yang
usianya jauh lebih muda dari Andi. Oleh sebab
itu, gaya bahasa yang digunakannya seperti
anak muda di zaman sekarang. Mereka
berbincang-bincang sedikit, meskipun bisa
dibilang alot. Selama mengobrol Andi masih
terlihat memegangi foto. Reno melirik sedikit ke
foto tersebut, “Foto apa pak yang sedari tadi
bapak pegang?”

242
Andi menoleh, memandang lagi foto itu,
“Oh ini? Ini foto anak dan istri saya.” Jelasnya,
menunjukan dengan jelas ke arah Reno.
“Ohh, anaknya siapa pak namanya?
Pasti sangat cerdas seperti bapaknya kan?”
Reno mencoba untuk lebih akrab lagi.
“Namanya itu Ryo Rizky Abadi.”
Reno mengangguk setelah mendengar
nama itu, “Wah, perlu saya ingat. Nanti dia bisa
jadi ilmuwan juga kaya bapaknya.”
“Oiya Reno, ada apa urusan apa kamu
langsung kesini?” lanjut Andi.
“Hanya ingin berbincang sedikit dengan
bapak, kalau begitu terimakasih pak atas
waktunya. Maaf menanggu, silahkan istira-
hat.” Ucap Reno, lalu beranjak keluar, menutup
pintu.
Andi segera bangkit dari tempat tidur,
mengintip dari celah pintu. Dilihatnya dari
belakang Reno mulai berjalan menjauh sembari
mengambil hp di sakunya. Setelah itu Andi
mulai menutup pintu dan menguncinya.

243
Selesai mengunci pintu ia terlihat seperti
sedang melihat-lihat ke setiap sudut ruangan
kamarnya. Dalam benaknya tiba-tiba muncul
waspada, berulang kali ia memeriksa seluruh
ruangan. Memastikan apakah ada sebuah
kamera pengintai atau penyadap suara, karena
kamar yang ia tempati sekarang, beda dari
kamar sebelum ia pergi ke rumah.
“Sepertinya tidak ada apa-apa disini.
Aman berarti.” Ucapnya dengan suara serak.
Bukan peneliti namanya kalau hanya
mencoba satu kali. Ia memastikan dengan
melihat sekeliling sekali lagi. Sebuah tempat
tidur, meja kerja lengkap dengan bangku yang
nyaman, kamar mandi sendiri, lemari baju dan
sebuah pendingin ruangan menjadi fasilitas
yang ada di kamar tersebut. Masih tampak
lengang dari tata tempat barang yang rapi,
cahayanya juga cukup terang di kamar itu.
Andi mulai merapikan barang-barangnya,
seperti baju-baju ke dalam lemari dan beberapa
buku di meja kerjanya. Sesekali ia selalu

244
melihat sekeliling saat sedang merapikan
barang-barang untuk memastikan kembali.
Andi merebahkan badannya di kasur,
“Uhh lelah sekali hari ini, cukup baik untuk
hari ini.”
Andi terdiam sejenak, kedua telapak
tangannya membantali kepala, dengan kacam-
ata masih terpakai ia memandang ke langit-
langit kamarnya, “Semuanya akan baik-baik
saja, aku percaya dengan anakku untuk dapat
menyelesaikannya. Tenanglah nak pasti ada
yang selalu datang untuk membantu kamu.”
Ucapnya dalam hati.
***

Abi Dan Umi


245
Yola berjalan ke arah kamar Hany,
tangannya membawa nampan yang diisi
dengan segelas susu putih hangat dan roti yang
sudah diolesi dengan mentega dan selai
kacang.. Pagi ini Yola tidak berangkat kuliah,
sama seperti hari sebelumnya demi untuk
merawat adiknya yang kemarin jatuh dari
sepeda. Alarm yang biasa dipasang Hany untuk
berangkat sekolah juga sudah dimatikan. Ini
dilakukan Yola, agar Hany bisa beristirahat dan
tidak terlalu memikirkan urusan sekolahnya
untuk sementara waktu.
“Tak apalah, jarang-jarang buatin Hany
sarapan spesial. Biar juga dia ga marah kalau
ga dibangunin buat berangkat sekolah.” Ucap
Yola, dia berhenti di depan pintu kamar.
Masuk ke dalam kamar Hany secara
berlahan. Mengintip ke arah dalam untuk
memastikan Hany masih tertidur. Benar,

246
ternyata masih tertidur lelap dengan selimut
yang masih mengelimuti tubuhnya. Yola
menaruh nampan yang berisi sarapan itu di
atas meja belajar, lalu duduk di sisi tempat
tidur. Menyingkap selimut untuk melihat luka
yang ada di lutut Hany.
“Hmm, sudah mulai kering yah, bagus
deh.”
Hany...bangun...Hany.. menepuk-nepuk
pipi Hany. Sekarang sudah jam 8 pagi, Hany
tidak kunjung bangun. Tidak habis akal, Yola
mencoba mengguncang tubuh adiknya itu.
“Hany bangun ihhh kebo dasar! Cakep-
cakep tidurnya Kebo!”
Bangkit dari duduknya, Yola mengambil
segelas air dan memasukan tangannya ke
dalam gelas yang penuh air itu, “WAHAI
HANY.... Bangun lahh wahai adikku...”
dicipratkan air ke wajah Hany terus menerus.
Wus... Wus.. Wuss.. Rasakan jurusku
ini....

247
Yola berlaga seperti ninja yang ada di
anime Naruto. Empat sampai Lima kali sudah
ia mencipratkan air ke muka Hany, tak juga
membuat adiknya bangun.
Raut wajah Yola berubah, ini tidak lagi
lucu. Dirinya mulai panik melihat adiknya tak
kunjung bangun juga. Yola mengguncang
tubuh adiknya lebih keras lagi sambil terus
berusaha membangunkan dan memanggil
namanya. Tapi hasilnya nihil. Keringat dingin
mulai keluar dari wajahnya, mengucur turun
ke leher, ia kehabisan cara.
Yola tetap mencoba untuk
membangunkan Hany sambil terus memanggil
namanya, “Hany bangun sayang.....bangun...
jangan tinggalin kakak sayang....”
Keringat yang tadi mengucur dari
keningnya kini mulai bercampur dengan air
mata yang sedikit demi sedikit mulai deras.
Selimut yang tadinya menyelimuti tubuh Hany
dengan rapi kini tersingkir ke bawah tempat
tidur. Masih tetap mencoba membangunkan

248
dengan berbagai cara yang terpikirkan oleh
Yola, terus berharap agar adiknya segera
bangun.
Ping...ping...ping...ping.. Yola memaling
kan wajahnya kearah suara yang berasal dari
hp Hany. Hp itu ada di sebelah Hany persis.
Diambilnya hp tersebut dan melihat kenapa hp
Hany berbunyi, mengusap air mata yang ada di
pipinya. Hanya sms, entah dari siapa, hpnya
dikunci pola.
Mata Hany terbuka, tanpa sepatah kata
pun keluar dari mulut, tangannya langsung
mengambil hp dari tangan Yola, “Sini kak
hpnya, sms dari siapa yah?”
Sontak Yola kaget bukan kepalang, sejak
tadi membangunkan Hany mulai dari
mencipratkan air ke wajahnya, digoyang-
goyangkan badannya, sampai ditiupkan
terompet tahun baru di telinganya saja tidak
membuatnya bangun. Ternyata hanya dengan
bunyi sms dari hpnya doang yang bisa
membuatnya bangun. Mungkin kalau di

249
kartun-kartun marahnya Yola sudah sampai
membuatnya mengeluarkan tanduk merah di
kepalanya.
Seakan tidak menghiraukan wajah
kakaknya yang merah padam akibat menahan
kesal, Hany mulai fokus dengan hp di depan
wajahnya.
Hany, ini Ryo
Bagaimana keadaan kamu?

Hany bangkit dari tempat tidur, “Ohh,


dari Ryo.”
“Sini kakak liat smsnya.” Yola mencoba
meraih hp adiknya
Dengan gerakan cepat Hany langsung
mendekap dan menyembunyikan hp nya saat
tahu kakaknya ingin mengambilnya, “Eittsss,
Noo.. Ini privasi aku kakakku yang cantik.”
“Ihh yasudah! dimakan dulu nih
sarapannya.” Yola berseru ketus.
Hany memakan roti yang tadi disiapkan
untuknya dan tangan satunya membalas sms

250
dari Ryo. Di sebelahnya Yola masih menemani.
Sekejap Hany berhenti menguyah makan-
annya dan terlihat seperti sedang berpikir,
“Hmmm, kayanya ada yang aneh. Kok, kak Yola
tumben bikin sarapan dan susu buat aku. “
matanya menyelidik.
Kamar lengang seketika.
“Ihhhh kakak........ Kok, gak bangunin
aku buat sekolah sihh!” tangannya melipat,
bibirnya maju dan melihat ke arah lain. Benar
seperti perkiraan Yola.
***
15 menit sebelumnya.

Dicky hari ini lu masuk sekolah ga?

Masuk, ada apa?

Nanti aja deh Dicky,


pengen bahas masalah itu aja.

Oke deh nanti kita omongin aja.

251
Ryo menaruh hp di meja belajar, lalu
merebahkan diri di atas kasur kamar milik-nya.
Memang, kalau penyakit malesnya kumat
seperti sekarang dan dilandasi dengan quote
salah satu guru gokil yang ada disana ‘Kalian
kan sabtu minggu sudah masuk, jadi tidak apa-
apa klo g masuk di hari lain, guru juga pasti
toleran’
“Rezeki anak farmasi. Yang lain masuk
gue libur nanti yang lain libur gue masuk.
Dilema.”
Di sela istirahatnya di atas tempat tidur,
terlintas dipikirannya tentang kondisi kaki
Hany, tanpa pikir panjang hp sudah berpindah
kembali ke tangannya, sambil rebahan dirinya
mulai mengetik pesan.

Hany, ini Ryo


Bagaimana keadaan kamu?

252
Smsnya tidak langsung dibalas, “Apa dia
masih tidur ya? Padahal kan udah jam segini
apa..”
Tak lama, saat Ryo hendak pergi keluar,
hpnya bergetar
Eh, iya Ryo, Alhamdulilah udah mend-
ingan, nih, kaki aku.

“Hmm, apa gue jenguk dia ajah ya?”


bukan lantaran ingin mendekati Hany atau
alasan yang lainnya. Salah satu yang menjadi
dorongannya untuk pergi ke rumah Hany yaitu
satu, bosan, ya bosan. Dengan tipe orang
seperti Ryo, yang tidak bisa diam dan tak suka
diam, menurutnya waktu itu sangat berharga.
Bagaimana kalau waktu ini manfaatkan untuk
melakukan kegiatan yang baik, menjenguk itu
salah satunya. Keputusannya sudah bulat.
Sebelum benar-benar pergi, Ryo terlebih
dahulu mengabari. Setelah itu ia langsung
mengambil handuk dan pergi mandi.
***

253
Hari ini Ryo tahu betul apa yang akan
dilakukannya, berbekal dari data yang diterima
dari Dicky semalam. Ia mencari informasi
secara detail lewat media online, hasilnya Ryo
mendapat salah satu kontak yang bisa
dihubunginya. Walaupun yang dia dapatkan
hanyalah nama Prof.Rendi, semalam suntuk ia
mencoba mencari wajah orang yang bernama
Rendi tersebut. Di benaknya yang ia kenal
bernama Rendi hanyalah guru baru yang
pertama kali ia temui saat hari senin ketika
ingin pergi ke upacara bendera. Tapi
kemungkinan kalau pak Rendi adalah orang
yang ia cari perbandingannya 1:1000. Tidak
ada salahnya mencoba.
“Apa mungkin pak Rendi ya? Ya kali
masa dia ya? Yaudah coba gue kontak dia buat
bikin janji besok.”
Malam itu, ia ditemani Dicky lewat video
call di laptopnya. Semalam suntuk mereka
mencoba untuk mencari orang-orang yang

254
berkaitan. Sampai-sampai jam satu dini hari
baru mereka menyudahi untuk mencari
informasi. Waktu di malam hari dipilih mereka
untuk meminimalisir ada orang mengetahui
tentang masalah ini.
Janji untuk bertemu kira-kira jam
sepuluh pagi. Oleh sebab itu Ryo mulai bersiap-
siap dari sekarang, karena ia juga harus ke
rumah Hany untuk menjenguk. Jadi setelah
mandi dan memakai pakaian rapi. Ia langsung
pergi dengan berjalan kaki, sebelumnya
menghampiri Sinta yang sedang menonton tv.
“Bu, pergi dulu yah mau jenguk teman.”
Sinta tidak bergeming, matanya masih
terpaku dengan tv yang bergerak hanya
tangannya yang mengacungkan tanda untuk
dicium tangannya.
“Iyah, hati-hati ya kamu. Naik apa
kamu perginya?”
“Intinya ga bawa motor, yasudah pergi
ya.”
***

255
“Waduh kak, Ryo mau kesini. Jenguk
akuh, nih. Gemana dong.” Menunjukan pesan
yang masuk ke hpnya.
“Wah iya bener, ya tak apa-apa, dek.”
“Kakak mau kebelakang dulu yah buatin
minuman.” Lanjut Yola.

Tok tok tok tok.....


Sebenarnya suara itu tidak benar-benar
diharapkan akan datang secepat ini. Padahal
pesan dari Ryo baru sampai dan Yola baru ingin
keluar dari kamar. Langkah kaki Yola terhenti.
Mereka berdua menghentikan apa yang sedang
mereka lakukan, mendengar lebih seksama,
memastikan mereka tidak salah dengar.
Tok tok tok tok.....
Suara itu terdengar lagi. Mereka
bertatap-tatapan seperti mengisyaratkan,
“Kamu aja gih yang buka.”
“Ga ahh, kakak aja.”
“Kamu aja, ih!”

256
Mungkin seperti itu arti dari bertatap-
tatapan mereka berdua. Tak berlama-lama,
Yola mencoba untuk membuka pintu depan.
Sampai di ruang tamu, Yola membuka pintu itu
berlahan. Sedikit demi sedikit mulai terlihat
cahaya yang datang dari luar, Yola kini terpaku
dan terdiam sejenak, kaget bertemu dengan
siapa, tamu yang tadi mengetuk itu tersenyum.
“Lohh, Abi?” suara Yola sampai ke kamar
Hany sayup-sayup.
Hany menoleh kearah pintu kamar,
memastikan apa yang baru saja ia dengar.
“Kak Yola kenapa, yah? Coba deh aku
pengen lihat.” Patah-patah Hany bangkit dari
tempat tidur, meraba dinding. Perlahan ia
mulai mencapai pintu kamarnya, pintu
kamarnya tak jauh dari ruang tamu. Jadi Hany
bisa melihat siapa saja yang datang hanya
dengan mengintip lewat pintu kam-arnya.
Tidak dengan semua tamu Hany mau
menampakan wujudnya, terlebih lagi dengan
teman Yola yang lelaki, lebih baik di kamar

257
mendengarkan lagu kesukaannya dibanding
bertemu dengan orang yang tak ingin
ditemuinya. Kali ini beda, karena suara Yola
yang tak biasa dan sebab Ryo ingin ke rumah
juga, akhirnya Hany mencoba untuk melihat
siapa yang datang. Perlahan Kepalanya keluar
sedikit dari ambang pintu, matanya tersorot
langsung ke depan pintu ruang tamu yang
terbuka lebar.
“Lohh Abi..... atuh itu teh Abi!” Hany
berseru. Tidak menghiraukan luka di kakinya,
dia mulai berjalan perlahan ke ruang tamu.
“Kamu kenapa nak, kakinya?” tanya Abi
menanggapi tangan Hany, membantunya ber-
diri.
Yola menjelaskannya, “Itu bi, jatuh dari
sepeda dia. Untung ada yang tolongin dia waktu
itu.”
Yola mengantar Abi dan Umi duduk di
ruang tamu lalu pergi untuk menyiapkan
minum dan Hany menemani mereka di ruang

258
tamu, menceritakan tentang luka yang ia
dapatkan.
“Ini minumnya Abi, Umi.” Yola menyo-
dorkan minuman ke meja ditambah dengan
makanan di dalam toples.
Abi duduk di sofa yang hanya untuk
diduduki satu orang, sedangkan yang lainnya
duduk berhadapan dengan Abi sofa lainnya.
Minuman teh biasa menjadi minuman favorit
Abi.
“Ahh, seger. Mantap teh buatan kamu
Yola.” Tersenyum ke arah Yola.
Umi yang duduk di antara Hany dan Kak
Yola menyambung perkataan Abi, “Maaf ya, Abi
dan Umi tidak menghubungi kalian
sebelumnya. Ya, rencananya sih buat kejutan.”
Memandangi kedua anaknya. Panda-ngan yang
penuh dengan kerinduan karena sudah lama
tidak menengok anaknya di Depok. Pandangan
rindu itu selalu dibalas dengan senyuman
manis dari Hany dan Yola. Senyuman yang tak
pernah irit dikeluarkan setiap melihat Umi.

259
Mereka semua bercakap-cakap melepas
kerinduan, tak lupa Abi selalu bertanya tentang
sekolah mereka disini. Seperti biasa, Abi selalu
irit bicara dan tegas kalau bertanya. Walaupun
begitu, Abi tetap bisa bercanda dan cukup
humoris kalau sedang mengobrol.
Di keluarga ini Abi hanya mempunyai 2
orang putri yang sangat di sayanginya. Dengan
latar belakang keluarga yang taat pada ajaran
agama, Abi menjadi cukup membatasi
pergaulan kedua anaknya yaitu Hany dan Yola.
Sebagai anak, mereka berdua menurut saja
yang dikatakan oleh Abi, ya, namanya juga
remaja pasti ada khilafnya. Walaupun tidak
ada Abi yang selalu mengawasi, mereka berdua
tetap menghargai peraturan yang di buat oleh
Abi.
“Eh, ayo kita sarapan dulu yuk, tadi Yola
udah buat nasi goreng banyak, kayanya udah
feeling mau ada yang datang.” Ajak Yola,
menarik tangan Umi, agar segera berdiri.

260
Abi bangkit dari tempat duduknya
sambil merapikan Kopia di kepalanya, “Wahh,
Yola masak. Ayo Umi kita cobain makanan
anak kita.”
Hany mendekap tangan Abi dengan
kedua tangannya, lalu menuntun Abi ke ruang
makan bersama-sama, meski agak terpincang
Hany tetap setia untuk mendampingi Abi.
Abi melihat wajah Hany berada di
sampingnya, “Hmm, Ryo sifatnya bagaimana
Hany?” bertanya sambil tersenyum. Hany
heran kenapa tiba-tiba Abi bertanya seperti itu,
lantas membuatnya menoleh ke Abi. Saat
menoleh Abi terlihat tersenyum becanda
menahan tawanya. Hany tak menanggapi
serius pertanyaan itu.
“Ihh Abi, mana aku tahu.”
Tok tok tok tok
***

261
Sisi Lain

Malam kemarin..

“Pah, ajakin Dicky makan itu. Dari


pulang sekolah kerjaan dia di depan komputer
terus. Dipanggilin dari luar ga jawab terus.”
Ucap Ibu Dicky, menghampiri bapak Dicky
yang duduk di ruang tamu.
Menunjukan dua piring berisi makan
malam, “Nih, kamu temenin dia makan aja di

262
kamar.” Melirik ke arah makanan yang di atas
piring.
“Aduhh bu, kan aku sudah makan tadi
sama Ibu, nanti aku gendut terus di kira hamil
gemana?”
Ibu Dicky geregetan mendengarnya lalu
mencubit gemas, “Ihhh, udah sana. Kamu ajak
makan anak kita.”
“Aduh, iya bu. Siap!” Tangannya
bersikap memberi hormat layaknya seorang
tentara yang memberi hormat kepada
atasannya.
Bapak Dicky mengambil piring yang tadi
diterimanya. Dengan kedua tangannya ia
membawa dengan hati-hati ke arah kamar
Dicky. Sampai di depan pintu kamar Dicky.
Dari cela-cela udara yang ada di kamar
memperlihatkan lampu kamar sudah mati.
Melihat kearah jam dinding, masih jam 8.
“Ga biasanya, nih dia sudah tidur,
biasanya jam 1 juga baru tidur.” Penasar-annya
masih menjadi, ditempelkannya kuping ke

263
pintu kamar. Ada suara, terdengar samar-
samar, berpadu dengan kecilnya suara musik,
bunyi mouse komputer yang di klik.
Senyum kecil muncul di wajah, dengan
sedikit anggukan kepala seakan sudah
menyimpukan sesuatu, “Masih belum tidur
dia.”
***

“Bagaimana? Ada tambahan orang lagi


ga menurut lu? Analisa gua baru segitu, ini
masih di periksa lagi setiap dokumen yang ada.
Masalahnya, apa setiap nama yang udah kita
dapat ini bisa dipercaya? Atau malah bisa
berakibat fatal kalau sampai mereka tahu kita
memegang dokumen ini.
Gue tunggu kabarnya.”

Dicky membaca pesan masuk di hpnya.


Matanya melirik hamparan kertas-kertas yang
hampir memenuhi mejanya.

264
“Bagaimana ya? Ada beberapa nama
disini.” Dia menulis di kertas kecil yang ia
coret-coret. Kertas yang berada di samping
keyboard itu masih penuh dengan coretan-
coretan nama yang muncul di setiap berkas
yang ia temukan. Tidak menampilkan beribu-
ribu nama seperti kasus korupsi yang sering
melanda setiap negara. Hanya beberapa nama
yang muncul secara berulang-ulang sampai
sudah tak asing lagi untuk dibaca.

dr.Reno..
Prof.Rendi..
Dr.Andi...
Pak Broto..

Mengetuk-ngetuk pensil yang ada di


tangannya ke arah satu nama, Broto.
Melingkari nama itu berulang kali, seperti
menandakan nama yang sangat penting ada
disitu. Tangannya tak berhenti memutari nama

265
itu dengan pensil saat melihat rekaman
perbincangan Broto.
“..setelah semua penelitian yang sudah
dilakukan mereka selama bertahun-tahun itu,
kita akan mengambil semuanya, tuntas! Dan
kamu Reno. Setelah mereka berhasil
mendapatkan obat untuk menghadapi virus
itu. Cepat kamu selesaikan tugas kamu! Masih
ingatkan? apa yang akan kamu dapatkan
setelah semua ini selesai. Pemerintahan dan
negara ini akan ada di tangan kita….
hahahaha....setelah kita dapat apa yang kita
inginkan, hapus semua yang ada!.....”
DAAAAARRRR.......... pintu kamar terbu-
ka dan membanting dinding, hempasan angin-
nya melemparkan kertas-kertas yang ada di
meja komputer, jatuh berserakan ke lantai dan
ke kasur. Mengacaukan keseriusan Dicky.
“HAIIII, makanan datanggg.” Bapak
Dicky tampil membawa piring di kedua
tangannya dengan senyum puas setelah
mengagetkan anaknya dengan menendang

266
pintu kamar seperti saat penggerebekan yang
dilakukan polisi.
Dicky membalikkan badan dengan
ekspresi shok. Bapaknya mungkin ada benar-
nya, dengan situasi ini, pintu itu bisa saja
didobrak oleh polisi atau lebih buruknya,
semua nama yang ia tulis dikertas itu sudah
tahu keberadaannya.
“Aduh, pak, ngapain sih? Kirain mah
ada apaan.”
“Kamu kan disuruh makan dari tadi, tapi
ga keluar-keluar. Bapak kira udah tidur tadi,
tapi pas bapak denger masih belum tidur.
Makanya bapak kerjain aja.” Jelasnya, sambil
membawa piring-piring di tangannya itu ke
meja.
“Bapak duduk ya..” lanjut bapak Dicky,
“Nih, makan dulu, bareng sama bapak.”

Dicky berdiri untuk menyalakan lampu


kamarnya. Di kamarnya punya 2 lampu yaitu
lampu putih dan kuning. Lampu kuning

267
biasanya dinyalakan untuk malam dan belajar.
Karena memberi efek yang lebih tenang untuk
bersantai dan berpikir. Tangannya meraba
saklar untuk lampu putih, ditekan dan lansung
menyala terang. Dicky sudah duduk kembali di
depan komputer dan bapaknya di pinggir
kasur.
“Hey kamu sedang apa, sih sedari tadi,
tumben kamu serius banget di depan
komputer?”
Sendok demi sendok penuh makanan
dimasukan ke dalam mulutnya, belum sempat
menjawab pertanyaan bapaknya karena sibuk
mengunyah.
“Ini, kok, bapak kaya dudukin sesuatu
ya? Kamu naruh apa dikasur?” merasa tak
nyaman, bapaknya menggeser tempat
duduknya sedikit. Sambil sibuk dengan
makanannya. Dari meja, Dicky memper-
hatikan kelakukan bapaknya dengan hati-hati.
“Loh, ini kertasnya bapak duduki, lecek
jadinya.” Tangannya mengambil kertas yang td

268
ia duduki, membaanya sekilas, “Loh, ada
Prof.Rendi disini.” Lanjutnya, sambil meng-
unyah.
“Bapak kenal?” Dicky menoleh cepat.
“Prof. Rendi ini, dosen kakak kamu Dic.
Bapak kan kenal semua sama dosen Rudi.”
Jelasnya dengan senyum bangga.
Mendengar apa yang diceritakan oleh
bapaknya, Dicky berhenti menyendok nasi,
memilih untuk menyimak. Ini informasi bagus,
serunya dalam benak. Memutar kursi dan
beralih komputer, membuka sebuah file-file
dari dokumen Ryo. Teringat sesuatu setelah
mendengar cerita bapaknya, dia ingat ada foto
Prof. Rendi yang terlampir. Dengan cepat ia
mencarinya di beberapa folder.
“Bapak beneran pernah ketemu?” tan-
yanya sekali lagi, mencoba menyakinkan. Tan-
gannya dengan cekatan memilih beberapa file
secara cepat.
Heran melihat anaknya yang serius
sekali membuka setiap file di komputernya,

269
“Beneran, pernah. Bapak aja punya nomernya
nih, kalau tidak percaya—“
Braggg.....Dicky menepak meja komp-
uter, “Nah ketemu, lihat yah, benar ga dia
orangnya?” menggeser monitor ke arah
bapaknya.
Mendekatkan wajahnya ke monitor,
“Hmm, Masih kelihatan muda, putih, rambut-
nya sering berjambul kaya Ryo dan satu lagi di
kantungnya itu selalu ada cemilan miliknya,
yaitu kacang Almond.” Jelasnya.
Kalau benar pernyataan dari bapaknya,
mungkin memang orang ini yang bisa bantu.
“Coba, aku minta nomer telfonnya.”
Dicky, segera meminta nomer dari bapaknya.
Dengan cermat, ditulisnya setiap nomer tanpa
ada kesalahan sedikitpun dalam kertas kecil
miliknya. Bapaknya kembali duduk di pinggir
kasur, melanjutkan ceritanya, “Kemarin yang
bapak dengar dari Rudi, dia udah jarang ngajar
pas jamnya. Kabarnya di sedang melakukan
riset belakangan ini. Oleh sebab itu, si Rudi jadi

270
cepet terus pulangnya, Prof. Rendi itu juga
orangnya baik, tutur katanya terhadap orang
juga seperti sangat menghargai setiap orang
yang ingin menem-uinya. Memangnya kamu
ada urusan apa sama dia?”
Dicky tidak bergeming, serius
memeriksa lagi nomor hp yang ia tulis.
“Ehh itu yah, teman aku ada yang
pengen les sama dia, tapi ga tau hubunginnya
gemana.”
“Ohh, yasudah kamu kasih saja nomer
yang bapak kasih itu, masih aktif. Kemarin
terakhir bapak hubungin dia untuk
menanyakan kuliah Rudi.”
“Nih, pak, makasih ya.” Dicky member-
ikan hp milik bapaknya.
“Hmm, yasudah kamu lanjutkan ya
makannya. Habiskan makannya lalu cuci
piringnya. Bapak mau kebelakang dulu,
temenin ibu nonton tv.” Bapak Dicky beranjak
dan berjalan keluar membawa piring.

271
“Oke, pak, sipp. Makasih ya infonya.”
Mengancungkan jempol.
Bapaknya menutup kembali pintu
kamar yang sebelumnya ia tendang untuk
mengagetkan Dicky.

Good NEWS JI!

WHATS?

THIS NUMBER, 081********* PROF.RENDI

Dicky mengirim pesan dan langsung


menghapusnya. Itu kesepakatan mereka unt-
uk saat ini, menghilangkan jejak lebih cepat,
lebih baik.
True?
Ryo mengirim pesan lagi, memastikan.
Lalu, Dicky menceritakan dari mana info ini
berasal. Pasalnya, hanya ini informasi akurat
yang bisa di dapat.

272
Sebelum muncul variabel lagi, lebih baik
manfaatin ini.
Tambahan dari Dicky di pesan
terakhirnya, pesan penutup malam ini. Lalu
mereka berdua mulai menghapus pesan yang
saling mereka terima. Informasi penting dicatat
dan disembunyikan.
Sejauh ini mereka sudah tahu nama dari
penyakit yang ternyata memang ada
hubungannya dengan fenomena penyakit
misterius yang sekarang lagi menganggu.
Midnight, setidaknya nama itu selalu
disebutkan dalam beberapa berkas dan
rekaman yang mereka lihat. Jika memang
benar namanya sama dengan ciri-ciri penyakit
misterius yang sekarang sedang terjadi, bisa
dibilang apa yang sedang mereka tangani
sekarang lebih penting dibanding mengakhiri
episode anime yang Ryo minta kemarin.
Sudah larut malam, Dicky mematikan
komputer dan menyimpan semua catatannya.
Merebahkan dirinya di kasur, dan meng-

273
istirahatkan kembali otaknya. Lampu yang
bersinar putih tadi sudah di ganti dengan
lampu yang bercahaya kuning, untuk
menenangkan dan membuat rileks kembali.
Cukup untuk hari ini.
***

274
Pertigaan

Masuk ke dalam ruangan pak Broto,


duduk di depan meja kerja. Dengan kursi
kerjanya yang memiliki sandaran tinggi, pak
Broto membelakangi Reno sejak masuk dan
duduk. Mereka masih terdiam, salah satunya
tak ada yang ingin memulai pembicaraan. Pak
Broto memandangi dinding yang terbuat dari
kaca di kantornya, menghisap cerutu yang
selalu menjadi kebiasaannya saat di kantor,
kaki kanan diangkat, menyilang ke kaki
275
kirinya. Kulit dahinya mengkerut, terlihat
sedang berfikir. Rambut uban di kepala
semakin banyak, saksi telah terjun lama di
dunia perkembangan negara, khususnya di
penelitian. Memang bukan latar belakang
seorang peneliti melainkan seorang pembisnis,
menjadikan dirinya mudah goyah dengan
urusan uang, membutakan mata dan hatinya.
“Bagaimana? Kamu tak akan kesini
dengan tangan kosongkan?” Broto meng-
hebuskan asap cerutu.
Menegakan badan, “Tidak, pak. Tidak.
Saya sudah punya informasi keluarganya.”
“Bagus, bagus. Kamu memang bisa di
andalkan.” Broto bangkit dari tempat
duduknya, merapikan jasnya, berjalan memu-
tari meja, menghampiri Reno, “Tak usah
khawatir, tetap ingat perjanjiannya kan?”
lanjutnya, tertawa serak, menepuk pundak
Reno.
“Dengan adanya dia disini, dia tak bisa
berbuat apa-apa lagi. Kita sudah punya

276
semuanya, dia dan keluarganya. Pilihannya
mau keluarganya mati atau memberikan data
itu pada kita. Persiapan matang seperti ini,
memang sangat menguntungkan.” Jelasnya
berjalan menuju dinding kaca, melihat keluar
dari lantai tertinggi gedung.
Memang benar, salah satu biang keladi
untuk menjadikan virus itu sebuah wabah yang
mematikan adalah Broto. Reno menjadi tangan
kanannya selama penelitian ini, karena Reno
bisa terjun langsung dalam lab dan mengamati
setiap perkembangan tiap harinya. Tidak jauh
berbeda dengan Broto akal pikiran yang
dimilikinya, yang didambakan setiap orang
yang ingin pintar, kini tertutup tujuan
mulianya hanya karena uang. Bagaimana bisa
nyawa yang hanya satu bisa diganti dengan
uang yang setiap hari dicetak.
Reno tertunduk saja mendengar setiap
kalimat Broto.
“Pak, kemarin saat dia datang. Saya
memasang penyadap di kamarnya, untuk

277
mengetahui setiap komunikasi yang ia buat—“
belum selesai, sudah dipotong Broto.
“Lalu, bagaimana? Dia menghubungi
siapa?”
“Tidak, pak. Tidak ada. Dia tidak
mengkontak siapapun sejak semalam. Tapi—“
selama bicara terus menunduk sesekali melirik
ke pak Broto.
“Tapi apa?” Broto kembali duduk di-
tempatnya, kini menghadap Reno.
Reno menegakan kepalanya, menatap
mata Broto, “Anaknya, Ryo. Tahu tentang ini.
Sepertinya pak Andi memberikan data itu ke
anaknya.”
Takkk…..tubuh Reno yang tadi tengah
duduk terhempas ke lantai, tamparan keras
Broto berisi pelampiasan kekesalan, kekec-
ewaan.
“Ga Becus kamu!!” matanya yang
melotot mengarah fokus ke Reno yang masih
belum berdiri.

278
Broto melonggarkan dasi yang tadi
terpasang di kemejanya, dirinya mulai gerah
setelah mendengar penjelasan Reno tadi.
“Bagaimana ini bisa terjadi! Jawab!”
Perlahan mencoba berdiri, menghadap
Broto yang tengah panas. Tidak ada lagi wajah
yang menunduk, wajahnya tegak, badannya
sigap, mata menatap tengah kening Broto,
mulutnya mulai berkata, tenang sekali seperti
sudah tak ada rasa takut lagi, “Saya akan
menyelesaikan ini dalam 3 hari, saya permisi.”
Tanpa menunggu jawaban dari Broto,
Reno langsung meninggalkan ruangan.
Broto melihat Reno mulai berjalan
meninggalkannya, merapikan jas dan dasinya,
“Memang harus seperti itu, kalau kamu tak
ingin seperti kakakmu—“
Langkahnya terhenti, matanya agak
melirik kebelakang, tangannya mengepal keras
menahan marah. Menoleh ke belakang tanpa
membalik badannya ditambah senyum sinis
menantang, “Tak akan.” Berbalik lagi

279
menghadap depan, membuka pintu tanpa
menoleh lagi kebelakang.
***
Abi sampai di meja makan. Yola berlari
kecil ke arah dapur untuk mengambil kursi
lagi, “Nih, Hany kursinya buat kamu.” Yola
menaruh kursi itu dekat dengan Abi.
Abi mengangkat tudung saji di atas
meja, “Waduh, masak ayam yah kamu. Enak
nih kayanya.”
“Nih, Umi juga bawain makanan. Umi
taruh di meja makan yah, buat di makan
bareng-bareng.”
Mereka duduk di bangku masing-
masing, Abi hendak memimpin berdoa sebelum
makan. Tapi perhatiannya teralihkan ke ruang
tamu, “Ada apa Abi?” tanya Hany.
Melirik ke Hany, berdiri, “Sepertinya ada
orang di depan, Abi liat dulu yah.” Berjalan
meninggalkan meja makan.
Syut..syut.. Yola memberi Kode. Hany
menengok, “Kenapa kak?”

280
Abi mulai membuka pintu, ternyata
memang benar ada orang di depan, Abi terlihat
keluar dan menutup pintu. Mulut Yola
menyebutkan sesuatu tapi tak mengeluarkan
suara. Hah? Hany tidak mendengar.
“Ryo..Han.” Yola menaikkan volume
suaranya.
“Oooiya, aku mau lihat dulu kak.” Hany
bergegas meninggalkan tempat duduknya, tak
mempedulikan luka di kakinya. Sampai di
ruang tamu, Hany mengintip lewat jendela
dengan wajah yang agak khawatir.
“Maaf pak, Hany ada?” suara sayup-
sayup terdengar dari luar.
Benar itu adalah Ryo yang menunggu di
depan pintu.
Kedua tangan Abi melipat di belakang,
“Hany ada, ada perlu apa kamu kesini?”
“Saya mau menjenguk Hany dan lihat
keadaannya, pak.” Menjelaskan apa tujuannya
kesini. Dibalik jendela, Hany tampak deg-degan
dan gusar melihatnya. Tahu betul, Abi selalu

281
melarang ada tamu laki-laki yang hendak
bertemu dengan anaknya. Hany tetap ingin
melihat, demi melihat apa Abi memperbolehkan
Ryo masuk apa tidak. Dalam benaknya
terngiang-ngiang, kalau Ryo tidak ingin
bertemu dengannya lagi nanti setelah hari ini.
“Aduh, semoga tidak di marahin.”
Doanya dalam hati.
“Ryo yang tolongin Hany itu, kak?” tanya
Umi ke Yola.
“Iya, Umi. Aduh gemana yah? Nanti pasti
diceramahin Abi. Padahal tadi Ryo udah bilang
mau kesini, buat jenguk Hany.”
“Ohh, seperti itu? Yasudah niat dia kan
sudah baik, mau sampai atau tidak yang
penting niatnya dulu yang baik, ya kan?” Jawab
Umi dengan senyum hangat, “Baik juga yah
Ryo itu anaknya. Kalau dia boleh masuk, nanti
Umi mau bicara sama dia.” Lanjut Umi, melirik
Hany yang sibuk mengintip dari jendela.
Abi mengangguk mendengar jawaban
Ryo, “Oh, terimakasih ya kamu sudah ingin

282
menjenguk Hany—“ berjalan menghampiri Ryo,
merangkulnya, menuntunnya kearah luar,
“Tapi, kami belum siap menerima tamu laki-
laki, Jadi saya harap kamu bisa pergi dari sini
ya.” Jelas Abi dengan tutur kata yang baik, dan
tidak kasar seperti yang di harapkan Hany.
Hany menghela nafas panjang, angin
segar seperti menerpa dirinya, “Huuft, syukur
Abi gak marahin dia. Tidak seperti sebelum-
sebelumnya kalau ada temen aku yang mau
main kesini, pasti selalu dimarahin.”
Sampai di pintu gerbang, Ryo berbalik
badan menghadap Abi, mengangguk, “Baik
pak, Kalau begitu saya permisi.”
Abi membalas dengan senyum “Ya, hati-
hati.” Kembali lagi ke dalam. Melihat Abi
mendekati pintu depan, Hany bergerak cepat ke
meja makan, duduk seperti semula, seakan tak
terjadi apa-apa. Melirik Yola dan Umi,
senyumnya menandakan terjadi hal yang tidak
biasa. Tahu apa maksud Hany, mereka

283
berpura-pura tidak ada apa-apa dan tenang,
karena Abi tidak marah ke Ryo.
“Oke, mari kita makan.” Abi sudah
sampai ru ruang makan, menarik bangkunya
lalu duduk.
“Siapa tadi yang datang?” tanya Umi,
sambil menyendoki nasi ke piring Abi.
“Ohh yang tadi Umi? Abi belum tahu,
tapi anaknya sopan. Abi jadi tak ingin marahi
dia,” Abi tertawa, “Udah, mi, cukup nasinya.”
Yola membalas senyum adiknya. Jarang-
jarang Abi seperti ini atau karena baru datang
dari jauh, makanya malas untuk marah-
marah. Tapi bukan hal yang salah, justru
malah bagus tak marah ke Ryo.
Umi mengajak kita untuk mulai, “Yuk
kita makan.”
***
Tak seperti yang diperkirakan, sebelum
bertemu dengan orang yang bernama Prof.
Rendi, Ryo menyempatkan diri dulu untuk ke
rumah Hany. Rencananya awal adalah mulai

284
dari perjalanan sampai ke rumahnya dan
mengobrol lalu pamit sudah diperkirakan 2
jam, cukup untuk menunggu pertemuannya.
Lalu bagaimana sekarang? Mencoba memi-
kirkan sesuatu, apa bisa dipercepat saja
pertemuannya. Masih berjalan saja, tak tentu
arah, yang di kantonginya hanya alamat
rumah—tempatnya janjian. Tidak jarang untuk
mengusik kebosanan, batu yang di jalanan
ditendanginya ke sisi jalan.
“Pak, saya sudah di perjalanan menuju
tempatnya.” Mengirim pesan ke Prof.Rendi.
Ryo melanjutkan lagi perjalananya,
ditemani dengan Ipod Shuffle miliknya yang
selalu memutarkan musik-musik kesuka-
annya. Sepanjang jalan masih dikerubuni
dengan pepohonan, jadi tak terasa panas terik
matahari yang saat itu mulai menyengat. Angin
sejuk menghambat keluarnya keringat dari
tubuh akibat suhu yang mulai naik. Sampai di
pertigaan jalan, ada belokan ke kiri atau ke
kanan. Di sekitar tidak ada orang yang tampak,

285
jalanan lengang, tidak terlihat kendaraan yang
lalu lalang, hanya ada mobil yang terlihat
sedang berjalan jauh di belakang Ryo mengarah
ke pertigaan itu juga. Sampai sekarang tidak
ada balasan dari Prof.Rendi, mungkin karena
bukan waktunya ia untuk menghubungi, diluar
waktu pertemuan.
Menungu di tepi jalan sebelah kiri,
menunggu ada orang yang lewat. Bersandar di
pohon, mobil yang tadi di belakang Ryo
berhenti tepat didepannya. Dari kursi
penumpang ada yang keluar. Melihat itu, Ryo
tak lagi bersandar, laki-laki berkaca mata
hitam mendekati Ryo, meninggalkan pintu
mobil yang masih terbuka.
“Maaf, mas, saya ingin bertanya, kalau
pom bensin terdekat di mana ya?”
Mengangguk karena tahu dimana
letaknya, “Oh, pom bensin yah? Coba sini,
mas.” Berdiri di depan orang berkacamata
hitam tadi, mengarahkan dengan tangannya.

286
Mulai merentangkan tangannya,
menunjuk kearah yang dituju, “Nah dari sini
mas nanti belok kanan, lurus saja terus—“ pria
itu masih mendengarkan dengan seksama. Ryo
masih fokus pandangan ke depan
mengarahkan.
“Nanti bertemu pertigaan lagi belok kiri.
Nah disitu, mas.” Menengok kebelakang.
Dengan cepat tangan pria tadi menyekap
mulut Ryo dengan sapu tangan. Gerakannya
cepat sekali, Ryo bahkan tidak bisa
menghindar. Gengaman tangannya kuat sekali,
tidak bisa dilepas. Tidak hanya dengan sapu
tangan, sebelumnya sudah ditaruh obat bius.
Setengah menit meronta-ronta, pria tadi lalu
menyeret Ryo masuk ke dalam mobil, satu
orang lagi keluar dari mobil, mengangkat kaki
Ryo. Sudah tak bisa lagi melawan, efek obatnya
mulai bereaksi, badannya mulai lemas,
matanya berkunang-kunang. Di sekitar tak ada
yang melihat, sepi sekali tidak ada orang
maupun kendaraan yang lain melintas. Sudah

287
di rencanakan dengan matang, memang
tujuannya untuk menculik Ryo sejak awal.
Kenapa ini? Kenapa bisa begini? Mata Ryo
mulai terpejam, tak sadarkan diri. Mobil hitam
tadi segera meninggalkan tempat dengan cepat
membawa Ryo. Tidak ada yang bisa melacak
keberadaan Ryo, hp yang seharusnya bisa
untuk melacak, terjatuh tepat di mana pria
berkacamata hitam itu mulai menyekap dengan
sapu tangan. Tidak jauh dari mobil hitam tadi
berhenti, ada mobil lain yang sebenarnya ada
di belakang. Namun jaraknya masih cukup
jauh, ada kemungkinan tidak ada yang melihat.
Walaupun melihat, tidak sempat untuk
mengejar, kejadiannya begitu cepat.
***

288
289
Di Dalam

Baru satu jam sejak Ryo pergi dari


rumah, Sinta sibuk sekali dengan hp nya untuk
menghubungi. Di ruang tengah dengan pakaian
yang sudah rapi dan koper yang sudah terisi
penuh dengan baju, serasa ingin pergi
beberapa hari.
“Duh, nih anak kemana ya? Ditelfonin,
kok, gak diangkat-angkat.” Gemas sekali,
sampai-sampai berulang kali ditelfon. Disisi
lain hp Ryo terus berdering di pinggir jalan,
290
tidak tahu kalau Ryo sudah diculik. Mungkin
feeling seorang ibu yang mengatakannya. Dari
dapur, kakak Ryo datang menghampiri,
“Bagaimana dek? Ayo berangkat sekarang,
nanti ketinggalan pesawat.”
Masih sibuk menelfon, berulang kali,
“Bentar kak, ini mau kasih tahu anakku dulu.
Biar nanti ga nyariin.”
Tin…tin...kakak ibu melirik ke arah luar
rumah, mobil yang digunakan untuk
menjemput sudah datang. Itu artinya sudah
tidak lama lagi pesawat akan segera berangkat.
Menarik pegangan koper ibu, “Ayo dek, nanti
kamu titipkan saja kunci rumah. Terus kamu
kirim sms saja ke Ryo. Kalau dia sudah pegang
hp, nanti pasti kebaca. Ayo berangkat
sekarang, bapak pengen kamu cepet-cepet
pulang.” Jelasnya sambil berjalan ke luar.
Masih agak ragu-ragu untuk pergi,
mengingat bapaknya ingin bertemu, Sinta
memaksakan diri untuk segera pergi

291
menggunakan mobil yang sudah dijemput
bersama kakaknya.
“Bagaimana dek? Sudah kamu sms
kan?”
“Sudah nih, tak apalah. Di kulkas juga
banyak makanan. Dia juga pinter masak.
Jadinya ga terlalu khawatir.” Jelasnya, sambil
menutup pintu.
Bersandar dan menghela nafas, “Huft,
pinter juga ya anak kamu. Kaya kamu dulu ya
mas,” seru kakak Sinta, menepuk pundak
suaminya, Sofyan, yang sedang mengemudi. Di
mobil itu mereka bertiga, menuju ke rumah
bapak di Surabaya. Disana keluarga sedang
berkumpul, biasa acara tahunan. Kalau saja
bapak bilang kumpul, ya semuanya pasti harus
kumpul.
Melirik istrinya lewat kaca, “Laki itu
harus begitu, kalau nanti istri sedang
ngambek, jadi bisa buatin masakan yang enak
biar ga ngambek lagi.”

292
Mata kakak Sinta sekejap berubah sinis,
alisnya naik sebelah, mukanya masam, “Hiiii,
rese ya kamu.” Mencubit pinggang suaminya.
“Aduhh!”
Mereka semua tertawa dan bercanda
mengisi waktu perjalanan sebelum ke pesawat.
Drrrttt...ddrrrt..
“Ya, Hallo?”
“Sudah dibawa?”
Melirik ke belakang, “Sudah.” Telfon itu
terhenti, Sofyan menaruh lagi hpnya.
“Siapa itu pah?”
“Temen kantor mah, nanyain kerjaan
udah apa belum.”
***
Andi berjalan menyusuri lorong menuju
laboratorium. Hari ini ia akan mulai bekerja di
lab lagi, setelah kemarin beberapa hari libur.
Kekhawatiran terus melanda dirinya, terutama
saat ia mengambil data penting dan sangat
rahasia milik perusahaan. Di dalam terlihat
dirinya sangat khawatir, karena sekarang

293
dirinya tidak lagi diluar. Seperti penjara disini.
Dengan sikap profesionalnya, ia akan terus
mencoba bertingkah seperti biasa di hari-hari
sebelumnya. Prioritas sekarang di lab adalah
menemukan obat yang bisa digunakan untuk
mengatasi penyakit midnight.
Reno berlari kecil menghampiri Andi dari
arah belakang, “Tunggu, pak, tunggu.”
nafasnya terengah-engah.
Mendengar itu Andi lantas menengok
dan menghentikan langkah kakinya. Reno
tertunduk, membungkuk, kedua tangannya
memegang lututnya, nafasnya terengah-engah
karena sejak tadi berlarian mencari Andi.
Tampak bingung melihat keadaan Reno, “Nih
kamu minum dulu, kayanya kelelahan banget.
Tuh lihat, baju kamu lepek karena keringat.”
Tangannya menyerahkan botol yang berisi air
mineral.
Menenggak minuman yang tadi
diberikan, mulai mengatur nafasnya, “Begini

294
pak, pak Andi di panggil oleh pak Broto di
kantornya.” Jelasnya dengan suara serak.
Dahi bapak mengkerut, “Pak Broto?
Siapa dia?” berlagak seperti orang yang tidak
kenal. Padahal dia tahu betul siapa pak Broto
itu. Reno mulai menjelaskan sambil berjalan
menuju kantor, “ Dia itu pimpinan dalam riset
ini, pak Andi.”
“Jadi, ayo, pak. Saya antar ke
kantornya.” Ajak Reno.
Bapak berdalih kalau sedang melakukan
hal yang penting dan harus segera ke lab
sekarang, “Tak bisa Reno, saya harus ke lab
sekarang. Ini waktunya saya untuk
melanjutkan pekerjaan saya. Dia bisa bertemu
saya nanti saat pekerjaan saya selesai.” Bisa
gawat nanti kalau pak Broto tahu, kalau Andi
menyimpan rekaman dirinya. Walaupun
begitu, waktu antara Andi mengambil data itu
dan menyembunyikannya sangat singkat
sekali. Jadi sampai saat ini, Andi tidak tahu
sama sekali tentang Reno. Sekarang yang ia

295
tahu Reno hanyalah anak baru kemarin sore
yang beruntung bisa masuk ke riset ini karena
otak pintar miliknya.
“Sudah sampaikan saja itu ke pak
Broto.” Jelasnya, lalu berbalik badan dan
meninggalkan Reno,.
Tidak ingin terjebak lebih panjang lagi,
Andi memutuskan untuk pergi saja ke lab,
menghindar. Bisa gawat, bukan untuk dirinya,
tapi karena data yang sangat rahasia itu di
pegang oleh anaknya. Sekarang yang harus
dilakukannya adalah mengulur waktu sampai
semuanya dibongkar, harapannya ada di luar
sana, karena disini layaknya penjara.
Reno memegang erat kepala botol yang
tadi ia terima. Air di dalamnya masih banyak
hanya seperempat yang tadi diminum,
“Bagaimanapun juga, saya harus
membawanya.” Dengan botol itu, Reno
menghantam kepala Andi dengan keras.
Kepalanya juga terhantam ke dinding,
membuat Andi tak sadarkan diri. Beruntung

296
tidak ada luka apapun, hanya pukulan kecil,
dan menyisakan luka lebam yang membiru.
Berlagak seperti orang yang ingin
menolong, Reno berteriak minta tolong, “Tolong
pak, tolong ada yang pingsan disini.” Beberapa
orang langsung keluar dari ruangan mendekati
asal suara, “Bawa langsung saja ke kantor, pak.
biar di sana istirahatnya.” Timpalnya, ikut
membantu membawa tubuh Andi ke kantor.
Mengarahkan ke ruangan dekat kantor yang
sudah lama tak terpakai, kebetulan terhubung
dengan kantor pak Broto.
“Sudah disini saja, terimakasih
semuanya. Biar saya yang urus pak Andi.”
Merebahkannya di tempat tidur.
***

297
Gone

Satu jam sudah berlalu.


Dicky berjalan cepat ke rumah Ryo.
Sejak pulang sekolah tadi, dia terus
menghubungi Ryo, tetap saja hasilnya nihil.
Tak puas hanya menelfon, rumahnya kini di
datangi.
“Yo….Yo..” Dicky mengetuk pintu rumah
berulang kali sambil memanggil.

298
Mengintip lewat jendela juga tidak
terlihat ada orang di dalamnya. Dicky sungguh
khawatir, terakhir mereka saling kontak itu
pagi tadi. Tak ada perasaan lainnya selain
gelisah, Bagaimana ini? Dia mencoba duduk di
teras rumah. Menanyakan ke teman-temannya,
dan sesekali mencoba menelfon lagi.
Drrrt…..drrt….hp nya bergetar, ada
pesan masuk.

Dicky, lu tau ga Ryo dimana? Abis dari rumah


gua, udah g bisa dihubungin lagi.

Ternyata sms dari Hany. Gak tahu,


balasan Dicky. Teranehnya lagi, ibu Ryo juga
tidak ada. Andai saja, sebelumnya ia bisa
bertemu dengan Ryo. Mungkin saja Dicky bisa
tahu, apa yang sedang terjadi sekarang.
Memandangi sekitar, termenung sebentar,
berpikir, apa yang harus dilakukan. Seakan
mendapatkan hembusan angin segar yang

299
menerpa tepat di atas kepalanya, Dicky
langsung berlari menuju rumahnya.
Secepatnya ia mencoba mencapai rumah. Ia
tahu harus segera menyembunyikan data di
komputernya. Seperti tidak terjadi apa-apa
terhadapnya.
***
“Kak, Ryo sejak dari sini masa ga bisa
dihubungi.” Menunjukan hp nya yang tidak
berisi balasan dari Ryo.
“Kamu sudah menanyakan ke teman-
temannya?” Yola menyeka tangannya yang
basah karena sedang mencuci piring.
Bersandar di dinding dapur,
memandangi hp nya, “Sudah kak, Dicky bilang
juga belum tahu. Tadi Dicky juga udah ke
rumahnya, rumahnya sepi. Aku masa jadi
khawatir kak, jangan-jangan tadi dia kesini
mau ngomong sesuatu juga.” Jelasnya
menghela nafas panjang. Yola tersenyum me-
ndengarkan adiknya bercerita, diambilnya jus
tomat dari kulkas yang tadi pagi dibuatnya,

300
“Nih, kamu minum dulu, biar seger badan-
nya.”
“Nanti juga kamu dihubungin, kok.
Yasudah kakak ke atas dulu, yah. Umi panggil
kayanya.” Jelasnya sambil menengok ke atas,
suara Umi sayup-sayup terdengar.
“Makasih ya, kak.” Ucap Hany,
menunjukan gelas yang berisi jus di tangan-
nya. Meminum hampir setengah gelas besar
habis, tak kuat, dimasukan lagi ke dalam
kulkas.
Rumah terlihat lengang.
“Wah, pada di mana yah?” Hany
beranjak dari tempat duduk, menengok kanan
dan kiri keluar dapur.
“Umi?” Hany memanggil, ingat tadi
kakaknya pergi keatas dipanggil Umi. Hany
langsung mengambil langkah ke lantai atas.
Perutnya terisi kenyang jus tomat yang tadi
diberi Yola, kakinya juga sudah tidak terasa
sakit lagi. Obat yang diberikan pak Agus cukup
ampuh. Melewati ruang tamu, tidak ada siapa-

301
siapa, ruang tv juga tak ada. Sepertinya Abi dan
Umi sedang merapikan bawaaannya di kamar.
Huuaahhh... sesekali tangannya menutupi
mulutnya saat menguap.
“Aduh, kekenyangan kali ya ini, minum
jusnya.” Hany bicara sendiri, terkantuk-kantuk
berjalan di tangga.
Kamar Umi ada di sebelah tangga, di
dalam ada Umi sedang sibuk merapikan baju
bersama Yola. Sepertinya akan tinggal lama
disini, karena Abi sudah dapat libur panjang
dari tempatnya bekerja. Bersandar di pintu
kamar itu, matanya berat sekali, rasanya ingin
segera tidur. Melirik ke setiap ujung kamar, Abi
tak ada disana. Jarum pendek menu-njukan
jam 12 lebih, tanda adzan dzuhur sudah
berkumandang tadi, pantas saja Abi tidak ada
disini.
Umi menyadari ada Hany yang sejak tadi
bersandar, memperhatikan, “Kamu ngap-ain
Hany disitu, sini-sini sama Umi.” Ajak Umi.

302
Hany mengangguk, berjalan sempo-
yongan.
“Ngantuk banget aku Umi.” badannya
lunglay, terasa tak bertenaga, “Ka, aku tidur di
kamar kakak ya.” Pinta Hany.
Yola mengangguk, meng-iya kan.
***
Matanya mulai terbuka sedikit, masih
terasa kantuk. Mencoba membuka lebar mata,
dilihatnya pertama kali lampu putih bersinar
terang tepat di atasnya. Badannya masih
berbaring, belum ingin bergerak, memper-
hatikan sekeliling, ruangan itu penuh dengan
dekorasi putih. Mencoba untuk duduk,
badannya terselimuti, ternyata tertidur di atas
ranjang yang serba putih juga. Dimana ini?
Bertanya di hati.
“Bagaimana Ryo? Ini warna kesukaan
bapak kamu dan ini juga kamar bapak kamu.”
Suara itu asing. Ryo menengok
kebelakang, menghela nafas. Ternyata sedari
tadi ada yang menunggunya, di belakang

303
tempat tidur, duduk diam menunggunya
bangun. Pria berdasi itu berdiri menghampiri,
membawa segelas air putih yang penuh dan
segar.
“Silahkan, minum dulu.” Tangannya
menyodorkan gelas kaca bening penuh dengan
air.
Tangan Ryo meraih gelas itu, mulutnya
terbata-bata ingin mengucapkan sesuatu.
“Ba..pak.. Rendi..?”
Orang didepannya mengangguk.
“Iya sebelumnya kita sudah pernah
bertemu kan. Di hari pertama saya masuk
sekolah dan hari ini kamu tidak masuk
sekolah.” Jelasnya dengan senyum yang
ramah.
Ryo tersenyum, baru pertama kali
dirinya terpergok tidak masuk sekolah
langsung oleh guru.
“Maaf, pak.”
Rendi mempersilahkan Ryo untuk
minum dulu sampai habis. Sementara Rendi

304
menarik bangku lalu mendudukinya,
berhadapan. Di kantung kemeja, tercantum ID
Card lengkap dengan foto dan nama, Prof.
Rendi.
“Saya tahu, apa yang sedang kamu
hadapi. Pak Andi pasti sudah merencanakan
dengan sempurna apa yang akan dia perbuat
dan saya tak menyangka kalau kamu menjadi
terlibat.” Rendi membuka pembicaraan.
Penjelasannya berhasil menyita
perhatian Ryo.
“Ini bukan sepatutnya yang di lakukan
anak seumuran kamu, disaat yang lain sedang
asyik dengan masa mudannya, disini kamu
bertaruh nyawa. Tak diragukan lagi, identitas
kamu pasti sudah dikantongi mereka. Saya
tahu itu, sebab itu saya kerja cepat, saya
jemput paksa kamu disaat ada mobil lain yang
bermaksud sama. Beruntung saya bisa lebih
cepat.” Lanjutnya.
Keningnya mengkerut, menyadari satu
hal, “Pak, bagaimana dengan ibu saya?” tanya

305
Ryo, meninggikan suara. Pikirannya menjadi
suram, khawatir terjadi hal yang tidak
diinginkan. Mencoba menenangkan, Rendi
menjelaskan keadaan yang sebenarnya, kalau
ibunya sudah di jemput orang suruhan,
Sofyan.
Ruangan lengang.
“Apa benar bapak ini Prof.Rendi?”
Rendi terdiam, melihat wajah Ryo yang
menunggu kepastian.
“Ryo, aku ini teman bapak kamu dulu di
tempat kerjanya sebelum dia pindah dan jarang
pulang seperti sekarang. Saya juga disini
sebagai polisi. Oleh sebab itu kita ada di pihak
yang sama....Mari ikuti saya.” Rendi berdiri dan
berjalan ke sisi kamar yang terdapat tirai putih
yang memanjang di dinding, setinggi dua meter.
Ryo beranjak dari tempat tidur,
menyingkirkan selimut yang menutupi
kakinya, satu persatu kakinya menyentuh
lantai putih yang mengkilat itu. Perhatiannya
tidak luput dari foto yang terpajang di dinding

306
lainnya, benar ada foto bapaknya bersama
Rendi. Tirai itu ditarik dari ujung ke ujung, ada
kaca yang jernih di sana, tembus dengan
laboratorium, tempat bapaknya dulu bekerja.
Matanya terpaku melihat ada beberapa orang
dengan pakaian lengkap, dan pengaman.
Semuanya didominasi warna putih.
Langkah kakinya mendekati kaca,
matanya kini melihat jelas apa yang sedang
mereka lakukan. Ruangan itu senyap,
beberapa alat analisis canggih terlihat
menakjubkan. Berdasarkan keterangan Rendi,
mereka sedang berupaya untuk menemukan
obat untuk penyakit misterius itu, dan mereka
juga menyebutnya midnight.
Menurut Rendi, pembuatan obat secara
kimia untuk mengatasi virus ini malah
membuat penyakit ini tambah parah karena
muncul gejala lain efek samping dari obatnya.
Sampai kini, percobaan masih terus di
lakukan.

307
Pintu terbuka, sekretaris mengkodekan
ada telfon yang masuk, “Sebentar, saya mau
angkat telfon dulu.”
Rendi meninggalkan Ryo yang masih
serius memperhatikan keadaan lab. Baru
pertama kali ini ia lihat, kesibukan dalam lab.
Jika saja keadaannya berbeda, dia ingin sekali
ada disana dan belajar banyak menggunakan
alat-alat canggih itu, yang entah apa namanya.
Suara pintu terdengar lagi, Ryo
menengok ke arah pintu, Rendi masuk dengan
membawa telfon. Rendi mengisyaratkan untuk
mengambil telfon itu.
“Hallo.”
“Ohh, ya hallo-hallo, ini Ryo yah?
Senang bisa bicara dengan kamu. Ahahaha.
Begini-begini, saya tidak suka berlama-lama,
jadi saya akan tutup point saja. Saya rasa anda
punya barang yang sebenarnya itu milik saya.
Mungkin Anda ingin dengar ini... Tak usah
pikirkan bapak, lanjutkan sa—Oke stop-stop
sampai disitu ngomongnya. Ahahahaha dan

308
satu lagi pacar kamu tuh! Mungkin sekarang
dia sedang tidur cantik, terlelap di
rumah...Tidur terus....dalam 5 hari...kamu
pasti tahu apa yang terjadi. Ahahahaha—“
“Hey, apa yang bapak mau! Tak usah
bawa-bawa orang lain, bawa saja saya. Mereka
tak ada hubungannya!” Ryo memotong ucapan
di telfon itu.
Kini jadi lebih rumit, dan lebih
berbahaya dari yang ia bayangkan. Andi sudah
berada di tangan mereka, sedangkan Hany kini
ikut berdampak dalam urusan ini. Ryo
menyandarkan badannya pada kaca, dirinya
bersiap atas semua kemungkinan yang akan
terungkap.
Orang tadi melanjutkan lagi, “Ahahaha,
saya ingin sedikit bermain dengam Anda.
Aturannya adalah 2 hari dari sekarang, saat
tengah malam bawa data itu semua ke tempat
yang nanti saya tentukan. Jika aturan
dilanggar, bapak tercinta anda akan tidur
selamanya. Tak perlu khawatir, selama

309
mengikuti aturan main semuanya akan
selamat dan untuk pacarmu itu, saya punya
obatnya. Semakin banyak yang tahu tentang
ini, semakin banyak yang mati! Ahahahaha.
Oke, sampai bertemu 2 hari lagi. Ohh ya, saya
sedikit menambahkan percobaan ke pacar
tercinta kamu itu, kalau diperhitungkan
waktunya 3 hari lagi. Ahahahaha, selamat
bermain.”

Tit.. telfon itu terputus.


Ryo terdiam, badannya mematung,
pikirannya kacau balau.
Ruangan itu lengang. Rendi memberikan
waktu untuk Ryo menerima keadaan yang
sudah pasti sangat sulit untuk diterima banyak
orang.
“Pak?”
“Ya, Ryo ada apa?”
“Tolong bawa teman saya kesini,
sekarang. Namanya Dicky.” Pinta Ryo dengan
wajah yang serius.

310
***

311
Waktu Genting

Menutup pintu pagar rapat-rapat,


bergegas masuk ke kamar dan menyalakan
komputer miliknya. Cepat... cepat... cepat....
kalimat itu terus diulang dalam pikirannya,
memacu komputernya untuk cepat menyala.
Rambut acak-acakan, gerah, sedari tadi berlari
agar cepat sampai ke rumah.
YES!
Dengan flashdisk yang sudah disiapkan,
Dicky mengcopy semua data-data yang pernah
312
ia dapatkan dari Ryo. Bagaimana pun juga ia
harus menyembunyikan segala catatan yang
berkaitan dengan ini. Selesai dipindahkan
datanya, semua file itu langsung dihapus
bersih dan tuntas dari komputer. Keringat
mulai mengucur sedikit demi sedikit dari
kening, mengalir ke pelipis, pipi, setetes demi
tetes keringat terjatuh ke meja.
Suara samar-samar terdengar.
“Dicky, ada yang cariin kamu nih.”
Suara itu makin jelas, di balik pintu kamar ada
bapaknya, tidak seperti sebelumnya yang
menendang pintu kamar. Ada tamu yang
datang ke rumah Dicky, mencarinya. Pria dan
wanita, berpakaian seperti orang pada
umumnya.
“Aduh, si bapak segala bilang ada aku
lagi.” dia mengeluh dalam hati.
Dicky bergegas membuka pintu kamar,
bapak masih menunggu di depan kamar. Tidak
sempat mengucapkan sepatah kata, bapak
menyodorkan hp, bukan hp miliknya. Ada

313
panggilan masuk di hp itu, Dicky langsung
mengambilnya, didekatkan ke teli-nga.
“Hallo.” Pelan dan jelas Dicky mengecek
apa masih ada orang atau tidak.
“Hallo, Dic. Ini Ryo. Dicky sekarang lu
ikut sama mereka, mereka bawahan
Prof.Rendi. Kita bertemu disini. Oke.” Pang-
gilan itu terputus.
“Ada apa nak?” tanya bapak Dicky
perihal panggilan yang masuk tadi, “Eh, ini. si
Ryo, aku mau temuin dia dulu ya, mereka
temen Ryo yang jemput aku.” Jelasnya.
Bapaknya mengangguk meng-iyakan,
berpesan nanti jangan pulang terlalu malam.
Jaket diambil dari kursi komputer, flashdisk
yang tadi disimpan semua data yang sudah dia
cari, diselipkan pada lengan jaketnya yang
bolong. Berjalan menemui kedua orang tadi,
yang tetap menunggu di depan pintu rumah.
“Ini hp nya. Mari kita pergi.”
Mencoba untuk tetap tenang dan
waspada, Dicky mengajak untuk segera

314
bergegas pergi karena ini pasti mendesak
sekali. Dari nada suara yang keluar dari mulut
Ryo, singkat sekali ucapannya, jelas itu
bukanlah Ryo dengan sifat kalemnya. Sudah
bertahun-tahun bersahabat dengan Ryo, jadi
tahu betul setiap sisi sifat yang sedang di
rasakan sahabatnya itu.
Mobil sudah menanti di depan pagar,
tidak banyak bicara dengan orang yang baru di
temuinya, langsung naik ke dalam mobil. Tidak
banyak menit yang terbuang, mereka langsung
pergi bergegas menuju lokasi Ryo.
***
Jika tahu ini akan terjadi, serasa ingin
waktu di putar saat ingin memberikan jus
tomat itu. Diberi tetangga baru, Yola yang
kebetulan tidak suka tomat, memberikan tomat
yang sudah di ubah menjadi jus itu ke adiknya.
Tidak hampir setengah jam, Hany terjatuh saat
hendak tidur di ranjang kakaknya.
Suster dan satpam berlari menyusuri
lorong rumah sakit, suara roda tempat tidur

315
dorong terdengar sepanjang lorong menuju
UGD. Bukan ini yang diinginkan, tidak
terpikirkan oleh siapapun di rumah, ketika
Hany tidak kunjung bangun. Abi dan Umi,
terus mengikuti, membantu mendorong agar
cepat sampai di UGD, tidak terkecuali anak
tertuanya yang sedari tadi terus menangis.
Khawatir dengan keadaan adiknya. Suasana
menjadi kelam, matahari terang yang datang
bersama kedatangan Abi dan Umi, justru
mengundang awan hitam yang menutupi
matahari itu. Beruntung ada Umi, Yola tidak
menanggung ini sendirian, ada tempat
untuknya bersandar dan menenangkan diri.
Mereka diberhentikan di depan ruang
periksa, “Bagaimana ini Umi?” Yola tidak
kunjung melepas tangan Umi, air matanya
terus saja keluar.
“Aku kakak yang bodoh Umi....gak bisa
jaga adik aku Umi... Bagaimana ini Umi?”
tangisnya tersedu-sedu memeluk Umi.

316
Umi mengelus pundak Yola, terus
menenangkan anaknya.
“Pak Umar?” suster muncul dari balik
pintu. Abi kebetulan ada di samping pintu itu,
menanggapi suster itu.
“Silahkan masuk, pak. Dokter ingin
bicara dengan bapak.” Suster membuka pintu
itu, mempersilahkan masuk.
Yola menyela, “Tunggu... Saya juga
harus masuk.” Abi merangkul Yola dan Umi,
“Mari kita masuk bersama-sama, yah.”
Mereka melangkah masuk bersama.
Benar di dalam dokter sudah menunggu. Apa
yang sudah di katakan pak Broto di telfon itu,
persis sama dengan kondisi yang dialami Hany.
Diagnosa dokter persis sama, ada yang berbeda
dengan penyakit yang belakangan sering
terjadi, virusnya lebih aktif. Tidak ingin
mengambil resiko lebih dokter sudah mema-
sang beberapa alat di sekitar, pendeteksi detak
jantung juga sudah dipasang untuk mengontrol
kondisi secara terus menerus. Selang untuk

317
memasukan makanan sudah terpasang,
mengupayakan agar makanan tetap masuk
meskipun tidak bangun. Menghadapi gejala
seperti ini sebelumnya membuat rumah sakit
tempat Hany kini terbaring lebih siap dari
sebelumnya.
Tidak hanya dipantau dengan alat yang
lebih canggih, Hany juga masuk ke dalam
ruangan VIP. Umi menjadi salah seorang yang
tidak pernah putus untuk tidak di sebelah
anaknya. Mulai dari masuk ruangan Umi terus
melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran di sisi
tempat tidur. Di benak nya selalu yakin,
anaknya akan bisa mendengarkan ayat-ayat
Allah SWT. Meskipun sedang tidur, hanya
matanya terpejam, tapi telinganya masih tetap
mendengar. Disisi lain, Abi tetap tegar dengan
segala kemungkinan yang akan terjadi,
kemungkinan yang terburuk sudah siap untuk
di hadapi.
***

318
Di Basement, Ryo bersandar di salah
satu tiang, wajahnya menadah ke atas menatap
lampu yang sesekali berkedip. Dirinya minta
waktu sebentar dari Rendi untuk sekedar
mencari udara segar, menenangkan pikiran
sementara Rendi sedang sibuk bersama yang
lain di lab. Bagaimana ini? Bertanya dengan
diri sendiri.
“Apa benar ia bisa dipercaya, orang yang
ditelfon itu punya obatnya? Tapi, jika data itu
diambil, hilang sudah kesempatan untuk
menemukan obat dan bencana yang besar
mungkin saja terjadi.”
“Bapak.” Panggilnya dalam hati.
Sudah lebih dari tiga tahun tidak
bertemu. Hanya beberapa hari, waktu yang
bisa dinikmati bersama bapaknya. Rindu yang
selama ini dinantinya sudah hilang sebagian.
Setelah bapak pergi lagi, mulai bertambah lagi
rasa rindu itu. Pertemuannya dengan beberapa
orang, yang sebelumnya tidak pernah
diperkirakan ternyata mempunyai pengaruh

319
besar di masyarakat, seperti Pak Agus. Sepak
terjangnya di lingkungan kampung tempat
tinggal Ryo, sudah dikenal karena pangobatan
herbal darinya. Dari pelajaran yang pernah di
beri pak Agus, membuat Ryo menjadi tahu
bahwa sekitar kita ini banyak yang berguna.
Bukan hanya sebagai penghias saja, semua
yang diciptakan Allah SWT. Ini pasti punya
tujuan dan fungsinya masing-masing.
“Hany.” Nama itu kembali tersebut.
Wanita yang tadinya bertemu tidak
sengaja karena ingin berbelanja dan arahnya
sejalan. Kerudung pink, menjadi pengingat
rupa Hany yang ia lihat lewat spion motor kala
itu. Ryo mengusap pinggangnya, Ryo mengi-
ngat betul letak dimana saat Hany mencubit.
Pemalu, tidak bisa diam, baik, murah senyum,
selalu menunduk bila ditatap matanya,
pertama yang bisa dilihat dalam waktu yang
singkat saat itu. Pertemuan keduanya dengan
Hany, musibah. Kebetulan sekali ada Ryo
disitu, saat Hany terjatuh dari sepeda yang

320
membuat lututnya terluka. Membawa Hany ke
pak Agus yang kebetulan ada di saung. Dengan
telaten pak Agus mengobati lutut yang terluka,
Ryo di samping turut ikut membantu
memegang mangkuk berisi campuran tanaman
obat yang sudah dihaluskan. Selesai diobati,
Hany diantarkan pulang ke rumahnya. Karena
mengantar, Ryo justru jadi tahu sekarang
dimana rumah Hany. Tidak pernah sampai
sekarang ini bisa sedekat itu dengan wanita
yang belum dikenalnya, Ya walaupun baru
beberapa kali berkomunikasi.
Huuuuffftttt….menghela nafas panjang
dari mulutnya. Sekarang Hany tidak bisa
menampilkan senyum di wajahnya, lesung
yang menjadi ciri kini tidak tampak.
***
“Kita kan belum ada obat nya pak?
Kenapa bapak bilang ada?”
Reno berseru tidak setuju. Ia mengawasi
Andi yang kaki dan tangannya terikat di
bangku. Broto Meletakkan telfon yang tadi

321
digunakan untuk menghubungi Ryo,
pandangan tertuju Reno, tersenyum, lalu
tertawa puas “Kenapa? Saya ingin bermain-
main dengan anak ini.”
“Bukankah kita hanya berurusan
dengan Ryo saja, wanita itu tidak ada
hubungannya, pak.” Reno kembali menun-
jukkan ketidaksepakatannya.
Di sebelahnya Andi meronta, tangannya
berusaha untuk melepas ikatan tangannya,
mulutnya tertutup lakban. Andi tidak bisa
melakukan apa-apa, selain mendengar mere-
ka. Mulutnya selalu berusaha untuk bicara,
“Sialan kamu Broto, kenapa kamu mengambil
nyawa orang yang tak bersalah lagi? Kenapa
Broto!?”
Percuma kalimat itu tersimpan hanya
sampai di mulut, berputar-putar, tidak bisa
terlampiaskan.
Tangannya teracung menunjuk ke arah
Reno, “kamu diam saja! Disini tugas kamu
hanya membersihkan saja oke, ingat itu!”

322
Pandangan Reno beralih, tidak
menghiraukan ucapan Broto.
“Yang terpenting, kamu harus dapatkan
data itu kembali, lalu habiskan semua yang
tahu tentang ini.” Broto menyeruput kopi yang
sedari tadi ada di mejanya.
***

323
Kepastian

AAAAHHHHH....!!
“Suara siapa itu?” Dicky mencari asal
suara dari kursi belakang, melirik keluar dari
kaca mobil. Suara teriakan itu sampai ke pintu
masuk basement, bahkan sampai terdengar
oleh Dicky. Mobil yang menjemput sudah
masuk ke area basement, mencari tempat

324
parkir yang tepat. Masih jarang-jarang mobil
yang parkir, hanya ada beberapa, semuanya
berwarna hitam. Terus masuk ke bagian dalam
basement. Lampu disana menerangi dari setiap
sudut, membuat basement terlihat jelas. Tidak
jarang ada yang berkedip-kedip.
Di arah mobilnya melaju, depan sana
ada orang yang sedang bersandar, tepat di
bawah lampu yang berkedip-kedip. Dicky
memajukan duduknya, memperjelas siapa
yang ada di depan.
“Stop pak!” Dicky berseru. Mobil
berhenti mendadak.
Tak ada kata lain yang keluar, Dicky
membuka pintu mobil, berjalan mendekati
orang yang ada tepat di depan mobil, itu Ryo.
Mobil tadi segera meninggalkan mereka ber-
dua.
“Lu ngapain disini sendirian?” menepuk
pundak Ryo, mengbuyarkan lamunan.
Badannya bergetar sedikit, lepas dari
lamunan, matanya berkedip-kedip, melihat

325
kesebelah, “Eh lu Dicky, maaf ya jadi bawa lu
kesini.”
“Ada apa Yo sebenarnya?”
Ryo tidak langsung menjawab, melihat
kearah lain, mencari kata yang tepat untuk
menjelaskan.
“Hany ikut ke bawa, Hany jadi terkena
imbasnya juga. Bapak gua udah di tangan
mereka. Gua harus selesaiin ini sekarang juga,
ga boleh ada yang kena imbasnya, termasuk lu.
Jadi, sekarang lu lupain ini aja, anggap gak
pernah terjadi. Buang semua data yang ada di
lu, musnahin semua. Gue gak mau lu ikut
terlibat juga.” Jelas Ryo dengan suara serak.
Lengang sejenak.
“Ryo?”
“Ya?” Ryo menoleh.
Duugg...seketika Ryo tersungkur di
lantai basement. Dicky tetap berdiri, dengan
kepalan tangan kanan yang sedari tadi sudah
mengeras. Baru saja kepalan itu melesat cepat
menghantam tepat ke wajah Ryo. Tangannya

326
masih mengepal keras, membiarkan Ryo yang
masih tersungkur di lantai mencoba berdiri.
“Lu ngomong apaan Yo? Ga denger! Kita
ini sahabat, masalah lu jadi masalah juga buat
gua. Disini bukan masalah yang biasa lagi, ini
menyangkut tentang nyawa. Nyawa orang yang
lu sayangin! Gak mau denger lagi gua lu
ngomong kaya gitu! Kita selesain ini bersama,
kita cari jalan keluarnya!” suara Dicky
menggema ke setiap ruang basement.
Ryo masih mencoba berdiri dari lantai,
pukulan tadi membuat ludahnya bercampur
darah. Bajunya menjadi berantakan, badannya
sudah berdiri tegak di depan Dicky.
“Nyawa kita juga bisa jadi terancam.”
Ryo menatap dengan serius.
Dicky menggeleng-gelengkan kepalanya
sambil tertawa kecil, tangan kanannya
mengancungkan dua jari, “Dua nyawa? Apa
ruginya memberikan satu nyawa kita untuk
menyelamatkan jutaan nyawa lain?”

327
Kalimat itu sempurna menggugah hati
Ryo, kalimat yang mungkin hanya bisa keluar
dari mulut orang yang benar-benar jadi
sahabat. Ryo tertunduk menyembunyikan
senyumnya, lalu kembali tegap. Berjalan
mendekati, tangan kirinya memegang pundak
kanan sahabatnya itu.
“Gua gak tau, apa otak lu yang udah
gesrek, atau bagaimana. Tapi gua bahagia
punya sahabat kaya lu.”
“Oiya sebelumnya Dic. Gue pengen
balikin sesuatu yang pernah lu kasih ke gua.”
“Apaan tuh?” Dicky menaikkan alis,
penasaran.
Ryo tersenyum, kepalan tangannya
dengan cepat melesat ke wajah Dicky.
Tubuhnya terhempas kebelakang, tapi tidak
tersungkur. Dicky mengusap wajahnya.
“Lu barusan itu pukul apa ngelus-ngelus
Yo? Lembut banget.” Dicky berseru.
Mereka berdua tertawa, basement itu
ramai dengan suara gema tawa mereka.

328
Mereka tidak bisa berlama-lama, Ryo
mengantar sahabatnya itu ke dalam, menemui
Rendi.
Di ruangan yang sama, tempat dimana
Ryo pertama kali bertemu dengan Rendi. Rendi
masih tegak berdiri mengawasi kerja anak
buahnya dari kaca kamar bapak. Saat mereka
masuk ke dalam ruangan, Rendi tampak tidak
menghiraukan karena sedang sibuk
memperhatikan lab. Sampai namanya di
panggil, “Pak Rendi.” Dirinya berbalik,
menyadari ke datangan tamu.
“Kenalkan Dicky, ini Prof. Rendi.” Ryo
mencoba mengenalkan mereka berdua. Dicky
tidak langsung percaya kalau orang ini benar
orang yang dibicarakan bapaknya malam itu.
Dirinya mengingat-ingat salah satu kebiasaan
yang menjadi ciri Prof.Rendi, sebelum ini
semakin berlanjut, ada baiknya di pastikan,
apakah benar ini orangnya?.

329
Rendi mendekat, menjabat tangan
Dicky, “Oh, yah. Senang bisa berkenalan
dengan anda.”
“Iya pak, senang bisa berkenalan
dengan anda. Maaf saya lancang, apa bapak
punya almond? Saya sedikit lapar belum
makan.” Dicky berkata dengan percaya diri,
matanya tidak berkedip.
Ryo menyikut, sedikit aneh dengan
perkataan sahabatanya barusan. Ternyata
Dicky cukup berhati-hati menyingkapi masalah
ini. Rendi merogoh saku kirinya, mengambil
sebuah kotak kecil yang muat di kantung.
Sedikit terdengar ada benda di dalamnya, saat
diguncang.
“Masih ada nih kayanya sedikit. Kamu
mau?” memberikan kotak itu dengan isi-isinya.
Dicky tersenyum, analisanya berhasil,
orang yang tepat, “Baik pak, terimakasih
banyak, saya kelaparan soalnya.” Dicky meraih
kotak itu dan membukanya, masih tersisa satu
almond.

330
Tidak berlama-lama, Rendi mence-
ritakan semuanya ke Dicky secara runtut dan
jelas. Semua data yang sudah mereka cari dan
di perdalam, diserahkan ke Rendi agar dibantu
penyelesaiannya, sebagai barang bukti.
***
Mereka semua langsung bergerak cepat.
Untuk mendapat informasi yang terbaru,
Dicky beralih pergi ke rumah sakit tempat
dimana Hany sedang dirawat. Sekedar untuk
mengawasi disana, dirinya di temani 2 orang
yang sudah menyamar disana.
Dua orang sahabat ini berpisah, ada
tugas besar di masing-masing pundak mereka.
Lebih dari jutaan nyawa yang tidak bersalah,
bisa selamat karena mereka. Keringat dingin
terus muncul di tangan Ryo, tidak tahu kenapa
ini bisa terjadi. Sesekali badannya bergetar,
setiap kali mencoba memikirkan cara untuk
menyelamatkan mereka berdua, sekaligus.
Belum terpikir sekarang, yang ter-penting
sekarang Ryo tahu ada orang yang

331
membantunya; Dicky, Rendi, Bapak, Pak Agus,
dan rekan di lab, yang secara tak langsung
membantu dan siap untuk selalu membantu.
Berada di dua tempat berbeda, dengan
satu tujuan yang sama, saling menolong. Di
rumah sakit ataupun di lab, sama saja.
***

332
Reno

Satu hari sudah terlewat, waktu tersisa


dua hari. Sudah satu hari Dicky tidak
meninggalkan rumah sakit bersama dua rekan
yang lainnya, jam tiga sore tepat seperti
kemarin ketika sampai di rumah sakit. Di hari
pertama, Dicky sudah bertemu dengan orang
tua Hany dan kakaknya. Bergantian menga-
wasi di dekat ruang perawatan, tidak ada yang
menjenguk sejak kemarin kecuali dirinya,
sepertinya mereka tidak menyebarkan kondisi
anaknya. Bagaimana pun juga, Dicky tetap

333
pada tujuannya, mengawasi. Rutin tiap satu
jam melakukan komunikasi ke bagian lab.
Urusan sekolah Ryo dan Dicky, sudah
dibereskan Rendi. Dengan memberi izin mereka
tidak masuk selama satu minggu, berdalih
sedang mengikuti Olimpiade Sains di luar
negeri, membuat mereka tidak terlalu
memikirkan. Apa lagi dengan bapak Dicky,
bergembira saat di beritahu kabar anaknya
oleh Rendi. Selama tiga hari kedepan, Dicky
dan Ryo seakan menghilang dari dunia mereka,
masuk ke dunia yang seharusnya tidak
dimasuki oleh anak-anak. Tidak tertutup
kemungkinan, nyawa menjadi taruhannya.
Tapi, tekad mereka sudah kuat, tidak goyah
hanya karena angin, siap untuk segala
kemungkinan yang terjadi.
Pintu yang menjadi jalan masuk ke
ruang VIP itu terbuka. Sudah tiga jam tidak ada
yang membuka pintu itu sejak magrib. Berjalan
dengan gagah, berpakaian rapi, kemeja putih
dan rompi hitam menjadi satu. Tangannya

334
tidak kosong, dengan tangan kanan
menggenggam rangkaian bunga. Tidak jauh
dari kamar Hany, Dicky memperhatikan orang
itu bersama rekannya yang laki-laki,
sedangkan yang wanita di dalam ikut
mengawasi dan menolong Yola.
“Itu, Reno.” Dicky berbisik ke
sebelahnya.
Wajah Reno tampak segar, berjalan ke
arah kamar Hany. Kenapa dia kesana? Dicky
mencoba tidak gegabah, pulpen di tangan
sudah disiapkan. Sudah tepat di depan pintu
kamar, Reno langsung membuka pintu yang
otomatis langsung tertutup, Dicky dengan
cepat menyelipkan pulpen tadi di bagian bawah
pintu, mengganjal. Dirinya langsung berdiri
tegap di samping pintu yang terbuka sedikit,
demi untuk mendengar apa saja yang
dibicarakan di dalam. Memang ada rekan
wanita di dalam, tapi dirinya ingin mendengar
secara langsung.

335
Setelah masuk, ia terdiam sebentar,
“Abi?”
“Hah? Abi? Apa dia anaknya?” wajah
Dicky terlihat kaget dengan apa yang
didengarnya. Kini ia lebih serius lagi
mendengarkan.
Ternyata Reno adalah anak angkat dari
Abi dan Umi, karena sebelumnya pernah di
vonis oleh dokter tidak bisa punya anak.
Bersama dengan kakaknya, Reno terus dibiayai
sekolahnya oleh Abi sampai ke perguruan
tinggi. Selepas dari adanya kelahiran Yola,
Reno dan kakaknya sudah bisa hidup sendiri.
Jadi secara tidak langsung Hany memiliki
saudara darah dengan Reno. Pertama kali
mendengar nama Hany diucapkan pak Broto,
dia mencoba terus agar tidak terjadi apa-apa
dengan adiknya. Di dalam sana, seperti orang
normal biasanya, mereka berbincang-bincang
seputar keadaan Hany. Dengan latar belakang
orang yang ikut dalam penelitian, Reno secara
tidak langsung mengecek kondisi adiknya.

336
Hmm, belum parah. Ucapnya dalam hati.
Reno menghela nafas panjang.
Menengok ke sebelah, ada orang asing
yang melihatnya sejak tadi, “Oiya, ibu ini siapa
yah?” bertanya dengan serius.
“Oh, ya, maaf. Saya disini ingin tolong
Umi ajah.” Mencoba untuk tidak mencuri-
gakan di depan Reno.
Suasana wajahnya berubah, “Begitu ya?
Abi, saya keluar sebentar ya.”
Diluar Dicky sudah mengambil ancang-
ancang untuk segera mengambil jarak yang
jauh dari tempatnya berdiri sekarang. Saat
terdengar Reno mulai berjalan keluar, Dicky
langsung bergegas pergi menjauh. Terlambat,
Reno sudah terlebih dulu membuka pintu dan
menengok keluar, terlihat Dicky seperti
berjalan membelakangi.
“Tunggu.” Reno berkata pelan, berjalan
mendekati.
Dengan cepat rekan yang berada di sisi
pintu lain bergegas menghentikan gerak Reno.

337
Stop!!
Reno merentangkan tangan kirinya,
menghentikan orang yang berusaha
mendekatinya. Dirinya berpaling lagi ke Dicky.
“Saya ingin bicara dengan kamu, Dicky.”
Dicky terkejut namanya barusan dise-
but.
“Dengarkan saya, Dicky. Yang di
katakan pak Broto tentang obat yang dia miliki
itu, bohong. Dia sama sekali tidak memilikinya,
bahkan ditemukan saja belum. Tidak ada jalan
lain lagi. Semua yang akan diputuskan Ryo,
tetap saja membuat keuntungan untuk Broto.
Kamu harus beritahu Ryo tentang ini.”
Dicky berbalik, berhadapan dengan
Reno, “Tunggu, Buat apa saya percaya dengan
semua omongan anda?”
Reno tampak kalut, bibirnya terasa
susah untuk mengucap karena ini semua
tentang keluarganya. Keluarga yang sudah
membuat dirinya sampai seperti ini, sekolah
sampai perguruan tinggi, menjadi cerdas, dan

338
seorang ilmuwan muda. Hanya itu yang bisa
dia ceritakan sekilas ke Dicky, tidak bisa
menjawab secara langsung pertanyaan itu.
Setidaknya bisa untuk menyakinkan Dicky.
Aduh..kenapa ini...
Suara tidak jelas muncul dari dalam
ruang Hany. Perhatian Dicky tertuju ke arah
pintu. Menyingkirkan sementara apa yang
sedang dibicarakannya tadi, Reno langsung
berlari ke dalam, melihat apa yang sebenarnya
terjadi. Disisi lain, Yola berlari ke ruang
perawat, memanggil dokter agar segera
memeriksa Hany.
“Kenapa ini?” nafas Reno terengah-
engah.
“Kontraksi jantung Hany mulai turun
kak Reno.” Umi terisak-isak memeluk putrinya
dari samping.
Mereka masih menunggu dokter, tidak
ada yang bisa dilakukan. Reno tampak terasa
kaku berdiri, baru kali ini ia melihat gejala yang
secepat ini. Apa yang sudah anda lakukan pak

339
Broto? Hatinya terasa semakin benci dengan
atasannya itu. Di dalam, Abi beberapa kali
mencoba menenangkan Umi.
***
“Tahan diri, kamu jangan gegabah Ryo,
bisa saja ini hanya jebakan. Kita masih punya
waktu dua hari lagi. Kita akan terus mencoba
mencari obatnya Yo, kamu jangan gegabah.”
Ryo keluar dari lab.
“Aaaahhhh...” Ryo melampiaskan keke-
salannya ke pintu.
Ryo bersandar di luar lab, jas lab putih
masih melekat di tubuhnya. Dirinya sudah
tidak tidur semalam suntuk, karena ikut ambil
alih mengecek data bapak dengan komputer
lab.
Kepalanya terasa pusing sekali, setelah
dapat kabar dari rumah sakit. Dirinya
bersandar di luar lab, badannya lemas sampai-
sampai terduduk ke lantai. Tangannya
menjambak rambutnya yang mulai
berantakan.

340
“Bagaimana ini bapak?”
Rendi mengintip dari kaca pintu,
membiarkan Ryo sendirian. Tahu betul berat
sekali beban yang sekarang Ryo terima.
Berpikir bila ini terjadi kepada dirinya,
mungkin ia juga tidak akan sanggup, walaupun
sebagai orang dewasa. Karena ia harus memilih
salah satu nyawa yang paling berharga, dengan
merelakan yang lainnya. Tidak ada yang
menguntungkan untuknya disini, semuanya
menyudutkan.
Kring...kring...
Telfon kantor berdering di samping
Rendi.
“Ya Hallo?”
“Berikan ke anak itu.”
Melihat ke gagang telfon yang ia pegang,
dihatinya berprasangka kalau ini adalah orang
yang sebelumnya menelfon. Tidak ingin berkata
banyak, karena bisa bahaya. Rendi
memberikan telfon itu ke Ryo yang sedang
tertunduk di luar lab. Setelah tahu siapa yang

341
menelfon, Ryo segera berdiri dengan sigap dan
merebut gagang telfon itu.
“Ya, ini saya.”
“Hey Hey, what about your choice boy?”
Tidak langsung menjawab, melirik ke
Rendi yang ada di sebelahnya, meng-
hembuskan nafasnya panjang, menenangkan
diri.
“Dimana tempatnya?”
“AHAHAHA, pasti karena kondisi pacar
kamu semakin memburuk, yah. Pantas kamu
cepat. Oke, pas satu jam lagi tepat jam 12. Kamu
ke tempat pabrik bekas dekat rumah sakit,
terlambat? Kamu sendiri yang rugi.”
Tit…
Rendi tetap memperhatikan, “Jadi ini
keputusan kamu?”
Ryo memberikan gagang telfon tadi ke
Rendi, “Bagaimana kalau bapak tahu obatnya?
Ini harus dilakukan, pak. Saya harus kesana
sendiri!” berbalik dan meninggalkan Rendi.

342
Tidak membalas apa yang sudah
diucapkan Ryo. Tapi Rendi tahu, tidak mung-
kin ia membiarkan Ryo pergi sendiri ke sana,
dia segera menghubungi beberapa orang untuk
membantu anak itu, membututi dari belakang..
***
Satu jam lagi sebelum pertukaran itu.
Data yang diminta sudah dikantongi rapi di
saku jaket. Memakai jaket hitam, celana jeans
biru, kaos putih dan sepatu yang ia dapat dari
kantor Rendi. Dengan diantarkan mobil yang
sudah disediakan, Ryo pergi ke rumah sakit,
tempat Hany di rawat. Wajah tegang tidak bisa
disembunyikan, tetap mencoba untuk rileks.
Tidak di temani siapa pun, Ryo naik ke lantai
lima dengan lift. Tidak banyak orang yang ada
di lift, hanya ada suster dan officeboy yang
membawa ember dan pel. Hanya dalam waktu
hitungan detik mereka sampai di lantai yang
sama, pintu lift segera terbuka. Ryo dan suster
keluar bersamaan dengan orang yang masuk ke
lift, tidak banyak, hanya satu orang. Cukup

343
lama pintu lift belum tertutup, Ryo menengok
ke arah belakang, pintu lift sudah mulai
tertutup. Benar, masih ada officeboy dan orang
yang tadi masuk. Awalnya ia tidak
menghiraukan siapa, tapi Ryo mencoba
menengok lagi.
“Itu Reno. Sedang apa dia disini?”
berkata dalam hatinya. Reno tidak melihat Ryo
saat itu, ia juga terlihat terburu-buru.
Dicky melihat sahabatnya tengah
memperhatikan lift tertutup
“Hey, Kenapa lu kesini?” menepuk
pundak Ryo.
Sedikit terkejut dengan tepukan itu, Ryo
menyadari siapa yang barusan menepuknya.
Bisa dibilang ia sekarang lebih waspada dari
sebelumnya, ia tidak tahu siapa yang akan ia
hadapi diperjalanan nanti.
“Loh, lu ternyata. Tak ada apa-apa.
Antar gue keruangan Hany.” Jelasnya, lalu
lanjut berjalan, menarik tangan Dicky agar
segera menunjukan jalannya. Tidak banyak

344
yang dikatakan Ryo di sepanjang jalan, belum
ingin memberitahu rencananya ke Dicky.
“Ryo, lu belum jawab pertanyaan gue
tadi yang pertama?” Dicky terus mencoba
kenapa ia kesini.
***

345
Hening

Lantunan bacaan Al-Quran tidak pernah


terhenti di ruang rawat Hany, secara
bergantian Umi dan Abi dengan setia membaca
untuk anaknya. Mba Ais—rekan Dicky—tetap
menunggu di bangku tidak jauh dari tempat
tidur Hany. Sesekali Yola mengecek setiap
monitor yang tertata di sekitar tempat tidur.
“Terimakasih yah, mba Ais, sudah repot-
repot kesini untuk membantu.” Yola berkata
pelan ke sebelahnya, tersenyum ramah.

346
“Iya, bukan masalah.” membalas
senyum Yola.
Dikelilingi dengan orang yang setia
menemani di saat susah lebih berarti dari pada
dikelilingi ratusan orang di saat senang.
Alat bantu masker oksigen sudah
terpasang di wajah Hany, tidak ada yang
berbeda, wajahnya tetap sama seperti orang
yang benar-benar sedang tertidur. Yola
menarik bangku mendekati adiknya itu,
mengelus kepalanya berulang kali, sesekali
bercanda mencoba membangunkan.
“Hany bangun, ada sms dari Ryo, nih.
Ayo bangun nanti dia datang kamu belum
mandi gemana hayo?” senyum kecil tergambar
di wajah Yola. Jika ini akan terjadi, mungkin ia
akan memanfaatkan waktu kemarin bersama
adiknya lebih dekat lagi. Tangan kirinya
melingkar memeluk Hany, tangan yang lainnya
tetap mengelus lembut kepala, menidurkan
kepala di sisi adiknya.
***

347
Ryo mengintip dari kaca pintu,
bersandar dengan tangan kiri. Ini pertama
kalinya Ryo melihat Hany terbaring di rumah
sakit.
“Kenapa lu ga masuk aja Ryo? Gua
temenin ke dalam.”
Pintu itu sedikit terbuka, yang
membuatnya dapat mendengar apa saja di
dalam. Apa yang sudah diucapkan Yola juga
terdengar, membuat senyum kecil muncul di
wajah Ryo.
“Tidak perlu, biarkan di istirahat disini.
Disini kita berusaha untuk membuatnya
terbangun, hanya itu. Gue ga bisa maafin diri
gue sendiri jika terjadi apa-apa.”
Dicky berada disisi lain pintu,
menyimak.
“Dari sini, gue bakal temuin Broto. Kasih
data ini. Bapak sudah lama ada di lab Broto,
jadi ada kemungkinan bapak akan sangat
membantu dan akan menolong. Waktu gue
sedikit, gue harus pergi sekarang. Gue butuh

348
bantuan, jadi lu tetap disini. Jika nanti Hany
bangun, tolong bisikin ini ke dia—“ mendekat
ke telinga, Dicky mengangguk mengerti yang
sudah direncanakan sahabatnya itu. Tidak bisa
dihentikan lagi, tahu betul tatapan Ryo yang
sedang serius dan tidak akan gentar itu. Dari
semua orang yang ia kenal, tidak ada yang
memiliki tatapan mata yang tajam seperti yang
dimiliki sabahatnya itu.
Tangan kanan mengancungkan jempol
ke arah Dicky, tanda kepercayaan yang tinggi.
Ryo bergegas pergi, waktunya sedikit.
***

349
21 menit

Sudah hampir tengah malam, tinggal 21


menit lagi.
Jalanan dekat rumah sakit sudah sepi
dilalui kendaraan. Hanya ada beberapa suster
yang berjaga di setiap lantai. Reno bergegas
keluar dari rumah sakit, karena setelah ini ia
disuruh menemui Broto di pabrik bekas dekat
rumah sakit. Tidak banyak tanya, hanya
mengikuti perintah saja. Masih teringat

350
bayang-bayang adiknya yang membutuhkan
pertolongan. Hanya lima menit di tempuhnya,
berjalan kaki ke pabrik bekas yang ada di
seberang jalan rumah sakit, sedikit jalan
berliku untuk ke dalam. Masih ada beberapa
tiang jalan yang menerangi, walaupun tidak
sebanyak tiang jalan yang terpasang. Itu saja
sudah sangat membantu untuk melihat ke
bawah.
Dirinya tidak ragu lagi untuk masuk ke
dalam pabrik bekas itu, pabrik bekas industri
pakaian, sudah tidak terlihat lagi mesin-mesin
bekas, yang ada hanya pabrik kosong.
“Kunci sudah dikasih tadi sama pak
Broto, mungkin dia sudah di dalam.” Gagang
pintu itu sedikit macet, dengan sedikit dipaksa
ternyata bisa membuka pintu.
“Hey Reno, dari mana saja? Cepat
kesini.”
Suara yang bergema menyambut
kedatangannya.

351
Tak….tak…tak.. gema langkah sepatu
pak Broto terdengar sampai ke telinga, berjalan
mendekati Reno. Tangan kanannya menarik
bangku yang di duduki Andi dengan kondisi
terikat.
“Hey..hey..kita mulai mencapai final!”
Berhenti tepat di depan Reno, bersandar pada
bangku yang di duduki Andi. Dengan tangan
dan kaki yang masih terikat, Andi masih
tersadar, mencoba untuk tetap tenang, hanya
itu yang bisa dilakukan.
Bukan Broto sendiri yang mengambil
data itu, dirinya hanya akan memantau dari
jauh, menunggu satu suara yang menandakan
akhir dari masalahnya.
Broto mengambil pistol yang
disembunyikan di belakang bajunya, “Ini,
sekalian kamu bersih-bersih ya. Saya tunggu di
kantor secepatnya.” Jelasnya, lalu berjalan
pergi menuju pintu belakang.
“Apa harus pakai ini, pak? Tidak ada
cara yang lain?” tangan Reno tampak sedikit

352
bergetar, baru pertama kali memegang sebuah
pistol.
Broto tertawa geli mendengarnya,
menggeleng-geleng tidak percaya mendengar
keluhan itu.
“Ya, biar cepat sajalah Reno, masa kamu
mau kelitikin dia sampai mati? Ga kan?” Broto
melihat hpnya yang bergetar, “Jadi cepat, Dia
sudah sampai disini.” Lanjutnya, lalu bergegas
pergi.
Mulut bapak masih tertutup kain, susah
untuk bicara. Tangannya masih men-coba
untuk membuka ikatan, tapi sudah mulai
lemas karena tidak makan dari kemarin. Mata
bapak memandang lurus ke Reno, berharap
tidak melakukan yang di perintah tadi. Lampu
yang menyala hanya di depan pintu, pintu
masuk Reno tadi. Sedangkan di dalam hanya
ada 1 lampu tua yang masih menyala di balik
pintu masuk tadi, tempat sekarang Reno
berdiri melihat Broto yang semakin tak tampak
karena berjalan semakin jauh ke dalam.

353
Pabrik menjadi lengang, sampai
terdengar hanya suara jangkrik. Reno
menghela nafas panjang, jantungnya mulai
berdebar. Dirinya membalik kursi yang
diduduki Andi menjadi menghadap pintu, lalu
ditarik menjauhi pintu kira-kira berjarak 6
meter.
“Maaf, pak Andi.” Reno berkata pelan,
dirinya mengumpulkan keberanian untuk tetap
memegang pistol itu.
Andi tertunduk pasrah, masih terlihat
karena tersorot lampu yang diatur Reno agar
Andi terlihat.
Reno mengambil kain hitam untuk
menutup mulutnya, dan topi hitam yang sudah
disiapkan Broto tadi. Reno berdiri di luar, dekat
dengan pintu. Pistol diselipkan di celananya,
dalam hati sedang menguatkan mentalnya
untuk menembak. Sesekali lampu yang ada di
atasnya berkedip, hanya beberapa menit ia
menunggu diluar.

354
Bulan di atas akan menjadi saksi bisu
malam ini, disaat Reno sudah melihat Ryo
berjalan sendirian mendekat. Matanya
menyelidik jauh kebelakang Ryo, ternyata tidak
ada yang mengikuti.
***
Nafasnya terengah-engah karena berja-
lan cepat, tapi Ryo terus berjalan, tidak ingin
terlambat sedikitpun.
“Sedikit lagi.” Berkata dalam hati. Di
depannya sudah ada orang yang berdiri di
samping pintu, jelas langsung terlihat karena
hanya itu lampu yang menyala.
Sudah hampir sepuluh meter lagi ke
arah orang yang menutupi seluruh wajahnya
itu. Tangan Ryo mulai dingin dan berkeringat
seraya mulai memperlambat gerak jalannya,
sudah dekat Reno. Tidak terucap sepatah
katapun dari Reno, tangan kanannya hanya
menjulur panjang, meminta. Dinginnya angin
malam menusuk sampai ke tulang, hanya
cahaya bulan yang sempurna menerangi di

355
tengah gulita. Dari jaket yang tadi di pinjam,
Ryo mengeluarkan flashdisk dengan tangan
kanannya, menunjukkan, “Perlihatkan pak
Andi dulu!” teriaknya tegas.
Menurunkan tangan yang tadi meminta,
dengan keras Reno menendang pintu yang
semula tertutup. Daaarrrr.....debu yang lama
menumpuk di ambang pintu berterbangan,
terlihat jelas dengan cahaya lampu kuning yang
menyoroti bapak.
Ryo mematung melihat bapaknya di
dalam dengan tangan kaki terikat dan mulut
tertutup kain hanya terdiam melihatnya dari
dalam pabrik gelap. Mereka terdiam saling
bertatapan dan berkontak mata, jika hati bisa
berkata mungkin sudah banyak yang mereka
bicarakan saat itu juga. Reno kembali
menjulurkan tangannya, “Datanya?” berjalan
selangkah demi selangkah mendekati Ryo.
“Jika data yang kamu kasih palsu,
bapak kamu mati!” Reno mengancam lebih
parah lagi. Tanpa pikir panjang lagi, Ryo sudah

356
berhadapan dengan Reno, langsung memberi
flashdisk yang ada di tangannya. Reno
mengambil flashdisk itu memeriksa, benar ini
milik Andi.
Tidak mempedulikan orang di depannya
lagi, Ryo berlari membelakangi Reno
menghampiri bapaknya. Dari belakang Reno
mengambil pistol yang diselipkan, tangannya
masih tampak gemetar memegang pistol. Ryo
masih tidak menyadari, dirinya sudah di todong
pistol dari belakang. Jalannya yang tidak rata,
memperlambat lari Ryo. Di depannya, Andi
tampak melotot memberi tahu apa yang ada di
belakang anaknya, awas dibelakang kamu,
mulutnya tertahan kain. Semuanya sia-sia.
Kini yang ada dibenaknya hanya ingin
menyelamatkan bapaknya, lalu segera
membuat obat untuk Hany. Dirinya tidak tahu
apa yang ada di belakangnya.
Dengan tangan kanan yang sudah tegak,
mengukur jarak tembak.
“Ini adalah pembersihan.”

357
Jarak Ryo dan bapaknya semakin dekat,
tidak ada waktu lagi Reno harus menembak
sekarang. Mengambil nafas panjang, target
sudah tepat, lalu ia menutup matanya,
menghembuskan nafas panjang berbarengan
dengan menarik pelatuk pistol.
DAAARRRrrr....... peluru panas keluar
dari mulut pistol melesat cepat.
Lari Ryo terhenti, dirinya terjatuh dan
tersungkur ke tanah yang lembab di malam
hari. Mata Andi terpaku melihat anaknya
terjatuh tidak bergerak di tanah, emosinya
memuncak terlihat dari mata yang tajam
menatap ke arah Reno penuh dendam. Jari-jari
tangan Ryo sempat terlihat bergerak sedikit,
sampai akhirnya tidak bergerak lagi. Kondisi
yang gelap karena malam, tidak terlihat apa
yang tertembak. Reno membuka matanya,
melihat Ryo sudah terjatuh dan tidak bergerak
sama sekali. Tangannya semakin bergetar,
membuat senjata di tangan terjatuh. Tidak
tahu apa yang akan dilakukannya, Reno

358
langsung berlari pergi menjauh dari sana, pistol
itu ditinggalkan disana.
Teriakan-teriakan yang terhalang
dengan kain di mulut, memenuhi seluruh
pabrik, bergema. Berharap ada orang yang
mendengarnya. Terus menggerakan bangku
yang terbuat dari kayu membuat salah satu
kaki bangku patah, membuat tangannya yang
terikat menjadi longgar dan dapat terbuka.
Bergegas melepas ikatan kaki dan membuka
kain yang menutupi mulutnya. Bulan hanya
bisa melihat dari atas, membantu Andi dengan
cahayanya menerangi jalan menuju Ryo yang
tersungkur di tanah.
Mendekati Ryo dengan langkah yang
tertatih, lemas tapi terus mencoba menggapai
anaknya. Andi menidurkan kepala Ryo di
pangkuannya, menepuk-nepuk pipi agar tetap
sadar. Dering telfon di saku Ryo membu-yarkan
suasana sunyi. Dicky yang menelfon. Tidak
pikir panjang lagi Andi langsung mengangkat
telfon, “Hallo, tolong...tolong.. Ryo tertembak

359
cepat tolong kesini...tolong!” belum sempat
selesai bicara, mobil hitam datang dengan
cepat mendekati mereka. Lampu mobil semakin
terang saat semakin dekat, membutakan mata
seketika. Mobil hitam itu berhenti, mobil yang
sama ketika menculik Ryo di pertigaan. Dari
kursi penumpang keluar satu orang, Andi tidak
bisa melihat siapa yang turun karena mobil
berhenti tepat di depan mereka dan lampu
mobil terus menyala terang. Suara langkah
kaki itu terdengar cepat menghampiri, sampai
di hadapan mereka orang itu menjulurkan
tangannya.
“Mari Andi, saya bantu.”
Itu adalah Rendi, ternyata dia yang
datang. Sekejap mengucapkan itu, dua orang
dari dalam mobil turun dan segera membawa
Ryo ke dalam mobil begitu juga Andi. Mobil
segera melaju cepat meninggalkan lokasi
***
15 menit sebelumnya..

360
Jalanan tidak rata dan mulai menyempit
ketika sudah mulai masuk ke daerah
pesawahan. Mobil sudah tidak bisa masuk
lebih dalam lagi, walaupun dipaksakan tetap
saja tidak bisa, kanan kiri sudah terkepung
dengan lahan padi yang basah. Resiko yang
paling mungkin terjadi apabila dipaksa, mobil
akan terperosok ke sawah.
“Sudah, pak, sampai sini saja, kita akan
berjalan kaki.” Dicky membuka pintu mobil.
Dengan bantuan dari salah satu warga yang
anaknya pernah di tolong pak Agus, mereka
berhasil mencapai rumah gubuk yang ada di
tengah persawahan. Dengan dua rekan yang
ikut membantu dan mengawal Dicky, mereka
menjemput pak Agus yang kebetulan sekali
baru saja terbangun akibat mendengar ada
orang yang datang.
Sesampainya disana Dicky mengetuk
pintu yang sudah agak tua itu beberapa kali.
Tidak berlama-lama pak Agus keluar dengan
sarung dan baju kaos putih, menyapa

361
bersahabat dan bertanya tujuan mereka
datang.
“Maaf, menganggu malam-malam. Saya
temannya Ryo. Saya dapat kabar ada yang
dapat menyembuhkan dari penyakit yang
misterius ini. Apa itu bapak orangnya?”
Tidak langsung percaya dengan
omongan Dicky, “Maaf, bukan saya orangnya.”
Segera menutup pintu.
“Tunggu pak..Tunggu...” terlambat,
pintu itu sudah tertutup dengan rapat. Dicky
masih berusaha, mengetuk beberapa kali.
Salah satu orang disana menyarankan untuk
mendobrak saja pintu itu dan membawa pak
Agus dengan paksa. “Jangan…jangan begitu
pak, kita sekarang sangat butuh bantuannya.”
Tidak ada respon sama sekali kalau pak
Agus akan membuka pintu itu. Lama kelamaan
ketukan Dicky semakin pelan, sudah bosan
mengetuk pintu itu. Kedua tangannya
memegang sisi pintu, menghela nafas panjang.

362
“Pak, mungkin sekarang sahabat saya,
Ryo. Nyawanya sedang dipetaruhkan disana.
Sedangkan bapaknya, Pak Andi dengan susah
payah memberitahu informasi yang sangat
berguna ini, ia menitipkan obat itu ke pak
Agus. Ryo sedang mencoba menyelamatkan
bapaknya yang sekarang sedang disekap dan
teman kami ikut terkena dampaknya. Mungkin
bapak masih ingat dengan Hany? Yang pernah
dibawa Ryo kesini karena terluka, jatuh dari
sepedanya. Dia, dia yang kini terkena
dampaknya. Terbaring, tertidur karena
penyakit ini. Jadi saya mohon pak, tolong
bantu teman saya.”
***
Broto memainkan flashdisk dengan
tangan kanannya, memutar-mutarkannya di
meja dengan jari telunjuk. Reno melepaskan
topi dan penutup wajah yang tadi dia pakai,
ditaruh di kursi depan meja Broto. Detak
jantungnya masih berdebar tak beraturan,
telunjuknya masih bergetar mengingat dengan

363
telunjuknya itu ia menekan pelatuk pistol tadi.
Sesekali terdengar Broto tertawa dengan
kemenangannya itu, memuji hasil kerja Reno.
“Oiya, Reno. Kamu bawa cerutu yang
saya pesan itu?” pertanyaan menunda Reno
yang ingin duduk. Berjalan ke meja, “Ya, pak,
saya bawa. Lalu bagaimana sekarang?”
mengambil sebungkus cerutu dari sakunya.
Jam dinding di kantor sudah
menunjukan pukul satu pagi. Hanya kantor
saja yang lampunya menyala dan masih ada
pelayan dapur yang setiap hari kerja malam
untuk melayani Broto.
“Hmm, yah kita akan bersih-bersih
setelah ini. Menurut kamu siapa yang akan
dibersihkan terlebih dahulu?” tanyanya
menghembuskan asap cerutu.
Tok…tok…tok..
“Ya, masuk.” Broto menanggapi ketu-
kan pintu itu. Pintu kantor terbuka perlahan,
ada pelayan wanita yang masuk membawa
minuman dengan nampan. Minuman kopi

364
menjadi menu favorit di malam hari buat Broto,
jadi pelayan sudah biasa dan tidak perlu
bertanya lagi.
“Ini pak kopinya, masih hangat.” Pelayan
itu berbalik dan melihat Reno yang sedang
bersandar di sofa, Reno juga menatap balik
sampai pelayan itu keluar.
“Hey, Reno.” Broto menegur Reno yang
tidak menghiraukan pertanyaannya tadi.
“Ehh, iya pak maaf.”
Broto menggeleng-gelengkan kepalanya,
“Kamu tuh ya, masih muda kok sudah tidak
konsen jam segini. Minum kopi sini.”
Mengangat kopi tadi, menawarkan ke Reno.
Suara jarum jam detik terdengar,
menandakan ruangan kantor itu benar-benar
sunyi. Di sofa kantor yang panjang, Reno
bersandar masih menangkan dirinya. Tapi
tidak bisa, karena masih memikirkan tentang
adiknya di rumah sakit. Masih ingat betul ia
saat Andi meminta penutup mulutnya dibuka.
Saat itu Broto sedang tidak ada diruangan.

365
***
Sebelumnya

Broto pergi keluar menuju ruang rapat


untuk bertemu dengan para pengusaha lain.
Reno diberi kepercayaan untuk menjaga Andi
di kantornya saat itu. Sudah tigapuluh menit
secara terus menerus Andi meronta-ronta di
atas kursi kayu.
“Hey..hey diam kenapa!”
Tidak tahan dengan kelakuannya itu,
Reno akhirnya membuka penutup mulut
bapak.
“Reno...Reno….Kamu tahu kan siapa
yang sudah di kasih virus itu? Tolong Reno, dia
adik kamu, saya tahu dimana obatnya. Tapi
tolong, tolong anak saya. Kalau tidak adik
kamu juga akan mati. Saya titipkan obat itu
untuk di kembangkan, namanya Pak Agus.
Jadi tolong beritahu anak saya...” Andi berhenti
bicara. Suara langkah kaki terdengar
mendekati kantor. Reno bergegas menutup

366
kembali mulut Andi. Setidaknya ada informasi
yang ia dapat.
***

367
Diagnosa

Jendela mobil terbuka sepenuhnya,


dengan senjata api laras panjang yang berisi
penuh dengan peluru bius. Mengambil jarak
jauh seratus meter dari tempat berdirinya
Reno. Ketepatan mengenai sasaran menjadi
prioritas saat ini, pilihannya hanya dua; polisi
yang mengenai Ryo terlebih dahulu atau Reno
yang mengenai terlebih dahulu. Semuanya

368
harus terseting dengan rapi, seakan-akan Reno
telah berhasil menembak Ryo dengan tepat dan
merenggut nyawanya. Dengan sabar Rendi
menunggu disamping penembak yang
menunggu waktu pasti. Sudah banyak yang
dilakukan Ryo sampai saat ini, tetap saja untuk
kelanjutannya harus ada polisi yang ikut
membantu secara diam-diam. Ini keputusan
yang dilakukan Rendi, dengan menembak bius
Ryo karena baginya ini waktunya untuk
gilirannya bertugas.
Satu suara yang ditunggu, masih dengan
tenang penembak di mobil memperhatikan
gerak-gerik Reno. Sampai tidak lama ada
gerakan ingin menembak, dengan cepat
penembak langsung menembakkan peluru
biusnya, tepat mengenai lengan kanan Ryo.
Hanya sepersekian detik celah waktu yang
ditimbulkan, syukurnya penembak mengenai
sasaran terlebih dahulu sebelum Reno.

369
“Oke, kerja bagus. Terimakasih Ryo,
sekarang giliran kami yang bekerja.” Ucap
Rendi.
***
Masih berada dikantor tengah malam,
Broto menyeruput kopi hangat yang tadi
diseduhkan pelayan. Sudah hampir setengah
gelas ia minum. Kembali memainkan flashdisk
yang sekarang menjadi barang berharga
untuknya. Melihat Reno sudah terlihat agak
tenang duduk di sofa, Broto kembali
mengatakan pertanyaannya yang tadi belum
dijawab.
“Begini Reno. Tadi saya tanya sama
kamu. Menurut kamu siapa yang akan
dibersihkan terlebih dahulu?”
Merespon pertanyaan Broto, tidak
langsung menjawab, kedua telapaknya
menyatu saling bergesekan untuk meng-
hasilkan kehangatan.
“Mungkin bisa kita bersih kan dari orang
yang lebih tahu tentang masalah ini, pak.”

370
Ucap Reno dengan raut wajah yang sudah
tenang.
Broto, bersandar di bangkunya, “Ohh
begitu, bagus-bagus. Kapan kamu akan
memulainya?” dia tersenyum senang.
Reno beranjak dari sofa yang tadi
didudukinya, membalas senyum Broto,
“Tenang saja, pak. Saya sedang member-
sihkannya dari dua menit yang lalu.”
“Maksud kamu?” tanya Broto tidak
mengerti.
Broto melihat tangannya, pandang-
annya sedikit tampak kabur, tiba-tiba
kepalanya terasa berat dan semakin berat.
“Cerutu apa yang sudah kamu kasih? Hah!”
membentak keras, mencoba untuk bangkit,
dan melawan Reno.
Reno tertawa kecil melihat kondisi Broto,
“Ohh tidak pak, tidak. Mungkin maksud bapak
kopi itu. Tenang saja pak, saya sedang
melakukan tugas, bersih-bersih. Bagaimana
pak rasanya dengan virus yang sudah

371
merenggut banyak nyawa orang ini, berbeda
dengan tahapan mereka yang ringan. Khusus
untuk bapak saya kasih yang spesial 2 kali
lebih cepat dari sebelumnya. Jadi saya
perkirakan—“ Reno berhenti, melihat jam di
tangan kirinya.
Rintihan sakit pak Broto semakin
menjadi-jadi, setiap detik rasanya semakin
naik level kesakitan yang diterima. Reno masih
menatap arloji, lalu memasukan tangannya ke
saku.
“Saya perkirakan lima detik lagi tugas
bersih-bersih saya selesai.” Ucap Reno dengan
santai, dan tersenyum tipis.
“Aaahhhh!!!” tubuhnya mulai kejang-
kejang. Jarum detik di jam dinding meng-
hitung mundur waktu yang tersisa dari Broto,
menjadi saksi bisu dari kekejaman dan menjadi
benalu di negara. Sebagai petani yang tidak
ingin ada benalu di pohonnya, Reno mencabut
dengan paksa agar tidak ada benalu lagi di
pohonnya. Tidak lama kejangnya berhenti,

372
terduduk di bangku singgasananya. Flashdisk
tadi masih tergeletak utuh diatas meja, Reno
mengambilnya dan berjalan keluar
meninggalkan kantor. Sudah tidak peduli lagi
akan perjanjian yang sudah pernah dibuatnya
dengan Broto. Sekali-kali ada yang
mengganggu keluarganya, maka akan ia
disingkirkan.
“Oke, saya akan kembalikan ini ke orang
yang semestinya.” Berkata dalam hati,
meninggalkan atasannya yang sudah
menghembuskan nafas terakhir.
***
Sudah tidak memikirkan jam berapa,
malam ini adalah malam terpanjang dalam
hidupnya.
Jalan masuk utama rumah sakit sekilas
kotor penuh dengan lumpur sawah, bukti
sebuah mobil yang tidak mengenal lagi jalur
yang pantas untuk dilintasi. Hanya berfokus
untuk cepat sampai di rumah sakit. Di depan
Dicky memimpin dengan cepat jalan ke arah

373
ruang rawat Hany, diikuti pak Agus yang sudah
berpakaian pantas seperti biasanya, kemeja
dan celana bahan hitam. Salah satu rekan
memanggil dokter dan suster yang memang
bertugas untuk merawat Hany. Abi dan Yola
sudah tertidur pulas, hanya Umi yang
senantiasa terus mendampingi anaknya,
harapan untuk anaknya masih terangan-angan
di benaknya. Bergantian berjaga, tadi Umi
sudah tidur barang setengah jam, lalu
terbangun, sholat malam dan menjaga Hany,
yang lainnya tertidur.
Gagang pintu sudah dipegang dengan
tangan kirinya, Dicky mengintip dahulu dari
kaca pintu, pak Agus sudah siap dengan apa
yang dipinta tadi. Mendengarkan semua yang
sudah diceritakan Dicky, hatinya terketuk dan
percaya kalau Dicky memang sahabatnya Ryo.
Tok…tok…tok… Tiga ketukan yang
membuyarkan lamunan Umi melihat anaknya.
Sudah satu hari masih terbaring di tempat
tidur, tidak terbangun juga karena ketukan

374
pintu itu, justru Abi dan Yola beranjak bangun.
Di dahului dengan dokter yang sebelumnya
sudah diberitahu apa yang akan di lakukan,
dengan modal obat yang dimiliki dari pak Agus.
Untuk mempercepat reaksi obat dengan tubuh,
dokter melakukan metode suntik pada
pembuluh darah, dibantu dengan suster,
dokter segera melakukannya.
Melihat dari jauh, hanya dokter dan
suster yang berada di sekitar Hany. Karena ini
adalah pengobatan yang pertama dilakukan
dengan dokter. Obat sudah disuntikan ke
dalam saluran infus yang ada di tangan kanan
Hany. Detak jarum jam terdengar keras sekali,
bukti keadaan saat itu sangat sunyi, semua
jantung berdebar-debar menanti apa obat itu
berhasil atau tidak, sedangkan kondisi Hany
semakin memburuk. Beberapa kali dokter
melihat arloji di tangan kirinya, tidak ada
komentar apa-apa. Sementara detak jantung
Hany semakin lemah. Orang-orang dalam
ruangan itu saling melihat, kanan dan kiri,

375
bertanya-tanya dalam hati bagaimana ini? Yola
mendekati adiknya, duduk disamping,
mengelus lembut kepala adiknya.
“Hany, bangun dong, ayo.”
Yang lain tidak bisa berbuat apa-apa,
memperhatikan apa yang di lakukan Yola.
Dicky menghela nafas panjang dan
meninggalkan kerumunan, bersandar di dekat
pintu. Tidak bisa menghubungi Ryo saat itu,
tidak tahu bagaimana keadaan sahabatnya. Hp
yang dipegangnya sepi sekali, tidak ada yang
menghubungi. Menatap langit-langit, berharap
keajaiban turun langsung kesini. Lamunannya
terhenti, ada dorongannya untuk menatap
layar hp saat itu juga. Mengikuti kata hatinya,
Dicky menatap layar hp sejenak, tidak ada apa-
apa kecuali hanya widget jam yang terus
bergerak memutari lingkar jam, lalu dikunci hp
itu dan layarnya menghitam. Kembali ingin
dimasukan lagi ke dalam saku, seketika layar
hp menyala sendiri tanpa ada tombol yang
tertekan.

376
Ping..ping...ping…. ringtone pesan
terdengar keras, membuat perhatian semua-
nya tertuju ke Dicky, hanya bisa tersenyum
konyol mengangguk-angguk. “Maaf maaf,
belum saya silent.”
Mengampiri Dicky, Abi berusaha tegar
dan terlihat sabar menghadapi semuanya.
“Terimakasih yah Dicky, kamu sudah berusaha
untuk membantu sampai sejauh ini. saya
secara pribadi sangat mengucapkan
terimakasih.” Air matanya mengumpul di
kelopak mata, hanya soal waktu untuk pecah
menjadi tangis. Dicky tidak dapat berkata apa-
apa mendengar ucapakan dari seorang bapak
yang akan kehilangan anaknya, tapi mencoba
untuk tetap tegar, hanya mengangguk yang
bisa dilakukan Dicky.
Sudah tidak ada lagi waktu yang bisa di
harapkan, Umi menyeka kerudung yang
menutupi kening Hany, lantas langsung
menciumnya dengan penuh cinta. Disaksikan
semua yang mengintari tempat tidur, Abi dan

377
Dicky masih terdiam di dekat pintu. Suasana
bertambah kalut, seakan percuma cahaya
terang yang dikeluarkan lampu tak bisa
menerangi suasana yang kelam.
“Eehhmm, kak, tolong ambilin hp aku.
Ada sms itu.” Terdengar suara gumam, dibalik
masker oksigen.
Tidak banyak yang mendengar, Yola
mencoba memastikan, melepaskan masker
yang menutupi mulut adiknya. Tampak ragu
dengan apa yang tadi didengarkannya.
Kelihatannya mungkin tampak gila, tapi Yola
mencoba bicara ke Hany. Mendekatkan diri ke
wajah Hany, “Kamu ngomong apa barusan
Hany?”
Disaksikan Umi sendiri yang ada di
sebelah lain. Mata nya masih terpejam, tidak
merespon apa-apa.
“Ambilin hp aku kakak.”
Tidak ada yang tidak mendengar suara
Hany barusan, kaget bukan kepalang. Dokter
saja tertegun melihat pasiennya yang biasa di

378
diagnosa tidak lama lagi akan meninggal,
justru kini mulai terbangun, semuanya
diagnosanya dipatahkan langsung.
Yola lantas langsung memeluk erat
adiknya itu, Umi menangis bahagia melihat
anaknya kembali sadar. Tidak sadar tentang
apa yang sudah terjadi selama ia tertidur,
eratnya pelukkan Yola mulai membuat jengkel
Hany yang masih mengantuk.
“Uhh kak Yola kenapa sih, masih
ngantuk tahu.” Matanya terpaksa terbuka,
padahal masih mengantuk berat. Rasa
jengkelnya tiba-tiba berubah menjadi bingung,
melihat banyak pasang mata yang menatap
dirinya.
“Hmm, ini ada apa ya sebenernya?”
senyum bingung Hany yang menampilkan
lesung di pipinya itu menjadi bukti bahwa telah
kembalinya Hany dari dunia mimpi ke dunia
nyata.
Sekilas orang-orang disekitarnya terta-
wa kecil, termasuk Abi yang tadi langsung

379
berlari setelah mendengar suara Hany. Tidak
lama tergegun, dokter kembali memeriksa
kembali kondisi untuk memastikan.
Setelah semua kembali normal dan
dokter juga telah memberi sinyal sudah aman.
Dicky dan rekan yang lainnya, pergi keluar
ruangan, memberi waktu untuk suasana
kekeluargaan mereka sejenak. Angin sejuk di
tengah musim panas sudah menerpa dengan
sejuknya, menembus jaket yang tebal,
menyegarkan kembali tubuh yang sudah
bertarung habis-habisan 2 hari terakhir.
Senyum mereka saat keluar ruangan tidak bisa
disembunyikan, rasa senang karena sudah
menyelamatkan satu nyawa yang berharga.
“Pak, sekarang kita melihat kondisi Ryo
saja.” Ajak Dicky.
Salah satunya mengatakan jika peluru
bius yang biasanya digunakan memiliki efek
yang lama, “Bisa-bisa dia baru bangun besok.”
Tersenyum lebar, tidak bisa menahan
tawanya, “Ya, benar setelah dia bangun, semua

380
ini sudah tuntas. Selesai. Dasar keenakan tuh
anak.”
Dua orang yang menemani Dicky juga
ikut tertawa.
***
Salah satu polisi memberikan nampan
yang terisi penuh dengan makanan dan
minuman ke Andi, ia sedang menunggu Ryo
yang terlelap tidur.
Rendi mencoba menggoda temannya
yang saat itu terlihat melamun saja, “Jangan
malu-malu, Andi. Makanan enak loh ini.”
“Saya bukan malu-malu, pak. Tapi data
itu pasti sudah di tangan Broto sekarang.”
Mereka sekarang berada di kamar Andi
yang ada di sebelah lab, lengan Ryo yang tadi
terkena peluru bius sudah diperban dengan
rapi. Tidak ada yang parah dengan kondisinya,
hanya tertidur lelap, karena dosis obat biusnya
tinggi. Kemungkinan baru besok ia terbangun.

381
“Kami akan berusaha lagi, pak. Untuk
mendapatkan data itu, secepatnya.” Rendi
bersandar di jendela kamar.
Ctek.. gagang pintu bergerak, “Maaf pak
ada yang ingin bertemu.” Sekretaris masuk ke
kamar.
Ya, silahkan. Jawab Rendi. Lantas
sekretaris itu membuka lebar pintu kamar,
mempersilahkan tamu itu masuk.
“Reno.” Andi mengawali pembicaraan.
“Maaf pak Andi, saya mengganggu. Saya
ingin mengantar barang yang seharusnya ada
di tangan bapak.” Reno mengambil flashdisk
dari sakunya, memberikannya ke Andi.
Menyela sedikit, Rendi tampak heran
kenapa dengan mudah Reno bisa mendapat
data itu. Bukankan ada di tangan Broto
seharusnya? Reno menjelaskan tentang apa
yang sudah dilakukan terhadap Broto. Selesai
menjelaskan semuanya, Reno menyatukan
kedua pergelangan tangannya, mengarah ke
arah Rendi. Paham betul apa yang dimak-

382
sudkan Reno, dari dalam Rendi memanggil
petugas yang berjaga di depan pintu kamar.
Satu orang masuk membawa borgol besi,
dengan seksama dikunci dengan kuat.
Selesai, petugas membawa Reno keluar
dari kamar.
Andi menghentikan. Tunggu. Bangkit
dari tempat duduknya, terlihat terpapah
karena lemas. Reno membalikkan badannya ke
arah suara tadi. Sedikit demi sedikit Andi
sampai di hadapan Reno, “Terimakasih Reno,
atas semuanya. Saya tahu kamu akan berbuat
baik dan tahu mana yang baik. Jika nanti
kamu keluar, kami selalu membuka pintu
untuk kamu.”
Andi memberi senyum hangat, tanda
terimakasih yang dalam karena sudah menjaga
anaknya.
Reno membalas mengangguk dan
tersenyum tipis.
“Maaf pak, bagaimana dengan
Hany?Adik saya? Apa dia baik-baik saja?” Reno

383
mengentikan tarikan dari petugas. Melirik ke
arah Rendi, karena hanya dia yang bisa
menghubungi orang-orang di rumah sakit,
termasuk Dicky. Dengan wajah yang ramah,
Rendi memberikan jawaban yang sangat
penting itu dengan jelas, “Saya dapat infomasi,
dia sudah kembali sadar dan bertingkah seperti
biasanya.”
Reno menghela nafas panjang. Dirinya
semakin tenang mendengar adiknya sudah
baik-baik saja. Petugas menarik lengannya lagi,
agar segera ikut ke sel.
“Terimakasih, pak.” Satu kalimat yang
terdengar sebelum pintu menutup rapat.
Musim panas sudah berganti ke musim
hujan, tanah yang kering mulai dihujani
dengan air dari langit. Menyejukkan suasana
yang sejak kemarin panas. Memapah Andi
untuk kembali ke tempat duduk dan
memberikan sepiring nasi.
“Sudah selesai semuanya, sekarang
kamu makan dulu. Lalu istirahat. Biarkan data

384
ini saya yang urus, besok semua orang yang
terlibat sudah kandas di pengadilan.” Rendi
meninggalkan mereka berdua.
Tirai jendela sudah tertutup rapat,
dinginnya AC mulai terasa. Sendok demi
sendok Andi mengambil makanannya. Di
depannya Ryo sedang terlelap, jagoannya kini
sudah menyelamatkan banyak orang.
***

385
Normal

Sudah dua hari berlalu. Tidak banyak


yang terjadi. Setelah polisi berhasil memasukan
setiap orang yang bersangkutan ke penjara.
Hany sudah terlebih dahulu keluar dari rumah
sakit. Baru setelahnya Ryo yang pulang ke
rumah. Satu minggu libur di sekolah, Ryo dan
Dicky mendapat sambutan besar di hari
pertamanya masuk kembali, hari senin. Di

386
kabarkan telah menang olimpiade sains,
menjadikannya populer di sekolah.
Kesehariannya mereka semua berubah
180 derajat, Andi sudah tidak lagi pergi lama
dan kembali ke pekerjaan lamanya bersama
Rendi. Burung sudah kembali lagi ke
sarangnya, setelah lama pergi keluar mencari
makan untuk anak-anaknya. Seperti burung
merpati yang tidak pernah lupa jalan untuk
pulang. Dalam keluarga, Hany juga berubah,
yang tadinya terpisah jauh di Bandung
sekarang orang tuanya memutuskan untuk
tinggal bersama di Depok. Semuanya menjadi
lebih baik setelah peristiwa kelam itu.
Abi selonjoran di bale bambu depan
rumah, bangku yang jadi tempat favoritnya
duduk. Dari ruang garasi, Hany berjalan
menuntun sepeda gunungnya, sekarang dia
menggunakan helm sepeda dan pelindung siku
lutut.

387
Abi melipat koran yang sedari tadi ia
baca, menghampiri anaknya, “Kamu mau
kemana dek?”
Hany menaiki sepeda ke sayangannya
itu, “Aku mau main sepeda, Abi. Muter-muter
aja.”
“Wow, mau muter-muter apa main sama
Ryo?.” Teriak Yola dari lantai dua.
Tak acuh dengan teriakan Yola tadi, dari
pada tak diizinkan main sepeda, lebih baik
Hany langsung pergi dengan sepedanya.
Selama perjalanan terngiang-ngiang
diingatannya, tentang pesan yang disam-
paikan Dicky malam itu, malam disaat dia
terbangun. Hany semangat mengayuh
sepedanya, meliak-liuk disetiap tikungan jalan
sempit dan sampai di jalan lebar. Setiap
pertigaan dia bertanya, kemana arah ke rumah
Ryo. Tidak lama waktu yang ditempuhnya
karena menggunakan sepeda. Lututnya yang
sudah sembuh menambah skill bersepedanya,
kali ini dia tidak ingin jatuh lagi dari sepeda.

388
Seperti biasa disore hari, Ryo dengan
santai menarik selang panjang yang sudah
disambungnya dengan keran air. Tanaman-
tanaman yang haus sudah menanti. Di dalam,
Andi sedang sibuk menyelesaikan bersih-bersih
rumah, karena Sinta belum pulang dari rumah
bapaknya. Matahari sedang bersa-habat,
sinarnya tertutup awan tipis yang membuat
suasana menjadi sejuk dengan angin sore yang
selalu berhembus. Keran air dibuka, salah satu
jarinya menutup sebagian lubang selang, agar
aliran air lebih deras. Ia mengarahkan ke arah
tanaman hias di pot-pot, sedikit demi sedikit
Ryo membuka jari yang menutupi selang dan
air menyemprot dengan deras, membasahi
setiap tanaman yang terkena, merembes
sampai ke dalam tanah.
“Hey, anakku, nih, bapak bikinin teh
hangat dan bakwan sayur. Ayo kita makan
bareng-bareng.” Andi keluar dari garasi dengan
berpakaian santai, kaos dan celana pendek.

389
“Oke, pak. Sebentar, dikit lagi.” Ryo
mempercepat menyiram ke seluruh tanaman
sekaligus, bakwan sayur adalah salah satu
makanan yang tidak bisa ia tolak.
Ngiikk... suara rem sepeda yang waktu
itu rusak, kini sudah kembali bekerja dengan
normal. Tidak hanya normal, justru lebih bagus
dapat menghentikan laju sepeda dengan cepat.
Andi berdiri, melihat-lihat ke arah pagar yang
berongga, hanya terlihat sebagian saja.
Bergegas jalan ke arah pagar.
“Assalammualaikum.” Hany mengucap
salam dari luar pagar.
“Waalaikumsalam. Eh Hany ya?” Andi
menggeser pagar.
Hany tersenyum dan mengangguk.
“Hey Ryo, liat tuh siapa yang datang.”
Andi menoleh ke dalam, memanggil anaknya.
Ryo tidak langsung bangkit dari tempat
duduknya, melongok ke arah pagar, tidak jelas
siapa yang datang. Keran air dimatikan, Ryo
menghampiri ke arah pagar. Tampak terkejut

390
sekali, ini petama kalinya Ryo melihat lagi Hany
yang tersenyum menyambut kedata-ngannya.
Matanya melirik dari bawah ke atas,
memastikan kalau yang dilihatnya tidak salah.
“Aduh, si Ryo ngelihat doang, ga kangen
apa?” Hany berseru, aneh melihat Ryo hanya
diam saja melihatnya
“Hah?” Ryo tersadar, “Ngapain kamu
kesini?”
Hany menahan tawa ketika melihat
wajah Ryo yang tampak kaget mendengar
ucapannya, lalu Hany menjelaskan maksud
kedatangannya, “Kamu lupa ya? Waktu itu
Dicky pernah bilang ke aku. Katanya dia dapet
pesen dari kamu. Dia bilang, Jika kamu sudah
bangun, Aku dengan senang hati mau
menemani kamu bersepeda.” Ucap Hany,
menirukan cara bicara Dicky.
Kedua alis Ryo terangkat, seakan
bertanya, Benarkah? Senyum di wajahnya
terbentuk.

391
Hany ikut tersenyum, ditambah dengan
lesung pipinya yang menambah kekuatan
kecantikan wanita itu.
Lengang diantara mereka berdua.
“Tunggu sebentar yah, aku ambil
sepeda dulu.” Ryo segera tersadar, berlari
dengan cepat mengambil sepeda. Sekejap kilat
sudah berada lagi di depan Hany.
“Ayo kita jalan.” Ajaknya.
Tidak sampai mengayuh sepeda, mobil
sedan hitam sudah menghalangi jalan mereka.
Siapa lagi ini? Tanya Ryo dalam hati, kali
ini dia lebih siap jika ada yang menculiknya
lagi.
Pintu penumpang mobil itu terbuka
perlahan lalu melebar. Orang di dalamnya
keluar, “Hey..hey Ryo kamu mau kemana?
Main mulu ya kamu—“
“Loh itu ibu ternyata, kirain siapa mah.”
Ucap Ryo mengelus dada.
Ryo melirik ke Hany, memberi kode
dengan matanya, agar mereka cepat berangkat.

392
Sinta membuka pintu belakang mobil,
menunjukan koper besarnya. Dari teras
rumah, Andi mendengar seperti orang yang
sedang ribut, tidak pikir panjang lagi Andi
langsung keluar menghampiri.
Sinta menunjuk koper miliknya di dalam
mobil, “Nih bantuin ibu dulu bawain kopernya
ke dalam.”
“Ryo, bantuin ibu kamu dulu tuh. Aku
tungguin, kok.” Ucap Hany, tersenyum jahil
Sorot mata Ryo melihat Hany tajam. Ih
kamu mah.....mungkin itu arti tatapannya a.
“Tenang mah, Ryo tahu siapa yang bisa
bantu. Jreng jreng jreng—“ Andi muncul dari
balik pagar. Bingung apa yang barusan
dilakukan anaknya, Andi melirik ke arah mobil.
Dengan cepat Ryo mengayuh sepedanya ke
arah berlawanan. Dadah, Ryo berseru. Hany
tertinggal, dirinya tersenyum malu, “Maaf ya
tante, om. Saya permisi dulu.”

393
Andi dan Sinta mengangguk. Dengan
cepat Hany mengejar Ryo yang sudah
menunggu di pertigaan dan bersembunyi.
“Bapak, bantuin aku dong, kopernya
berat nih.” Sinta mencoba merayu. Tahu betul
apa yang menjadi kebiasaan istrinya itu, selalu
membawa barang bawaan yang berat.
***
Masih setia menunggu Hany di atas
sepedanya. Sore itu terasa sangat sejuk dengan
langit yang mulai berubah menjadi orange,
tanda matahari semakin terbenam.
Pemandangan yang sangat indah, menye-
garkan mata, bersyukur dihari ini masih bisa
melihat panorama alam. Menjadi lebih
bermakna lagi, disaat dapat menikmati
pemandangan ini bersama dengan orang yang
disayangi. Dari sisi jalan yang lain datang Dicky
mengayuh pelan sepedanya, tidak
direncanakan tapi begitulah tadir Allah SWT.
Yang mampu mempertemukan. Dipertemukan
dengan orang-orang yang mengubah hidup

394
seluruhnya, menjadi lebih baik lagi. Dengan
cinta dan percaya kepadaNYA, membuat hidup
ini lebih bermakna dan banyak berguna dengan
sesamanya.
Kisah ini telah membuat mereka belajar
arti dari setiap kehidupan, pertaruhan,
pengorbanan yang baik untuk orang lain.
Dengan mereka telah berhasil sebagai petani
yang mencabut banyak benalu dari pohon yang
kelak akan terus berkembang menjadi besar
dan daun-daunnya yang lebat mampu
membuat sejuk tanaman kecil yang ada di
bawahnya.
***

TAMAT

395
Note

396
397
398

Anda mungkin juga menyukai