Anda di halaman 1dari 1

membeli pakaian jadi.

Tak ada lagi keriuhan suara mesin jahit di kota ini setiap menjelang
lebaran. Zaman, barangkali, memang mengubah selera, Nak. Maka, para tukang jahit yang
masih muncul pun lebih banyak menghabiskan waktu mereka dengan melinting dan
mengisap tembakau. Mereka hanya duduk-duduk tanpa mengerjakan jahitan, memandangi
orang-orang yang lalu lalang keluar masuk pusat perbelanjaan menenteng tas-tas
belanjaan berisi pakaian. Mungkin para tukang jahit itu merasa betapa kota ini tak lagi
membutuhkan mereka, lalu mereka memilih mendatangi kota-kota lain yang masih mau
menerima kedatangannya. Entahlah, Nak. Yang jelas sudah sejak lama, setiap menjelang
Lebaran, tak ada lagi pemandangan menakjubkan arak-arakan serombongan tukang jahit

yang muncul di kota ini.

Tinggal tukang jahit itu, satu-satunya tukang jahit, yang masih muncul di kota ini. la seperti

laskar terakhir prajurit yang terusir. Berjalan keliling kota menawarkan jahitan. Tapi ia lebih

sering terlihat di sudut dekat gang kecil agak di pinggiran kota. Menisik dan menjahit.
Perawakannya kurus, kulitnya seperti kulit mahoni yang menua, tak banyak bicara, dan
wajahnya seperti rahasia yang tak mau dibuka. Memang tak banyak lagi orang yang mau
menjahitkan pakaian padanya, Nak, tapi kau lihat, selalu saja ada orang yang datang
padanya. Dan itu karena ia tak hanya pintar menjahit pakaian, tetapi juga kebahagiaan.
Orang tak hanya menginginkan baju baru saat Lebaran, Nak. Tapi juga ingin bahagia di saat
Lebaran. Bila ada orang sedih yang datang padanya, maka tukang jahit itu akan menjahit
hati orang yang lagi sedih itu. Kau tahu, Nak, di tangan tukang jahit itu, kebahagiaan yang
robek dan koyak menjadi seperti selembar kain lembut yang bisa dijahit kembali, la

menjahitnya dengan rapi, halus, dan membuat orang-orang itu merasa tenteram.

Ibu pernah menggendongmu datang ke tukang jahit itu, Nak. Delapan Lebaran lampau. Kau
masih empat tahun saat itu. Mungkin kau tak ingat. Saat itu Ayahmu baru meninggal, tiga
bulan sebelum Lebaran. Ibu merasa kesepian dan sedih membayangkan Lebaran tanpa
Ayahmu. Lalu diantar Pamanmu, Ibu mendatangi tukang jahit itu. la sempat mengelus
rambutmu, la menjahit luka hati ibu, Nak. Di dada sebelah sini. Rabalah, begitu halus. Tak
bertilas. Tak berbekas.

Lalu Ibu bercerita tentang jarum dan benang yang dimiliki tukang jahit itu. Kau tahu, Nak,
Nabi Khidir muncul dalam mimpinya suatu kali. Memberi tukang jahit itu segulung benang
dan jarum. Benang itu tipis dan bening, seperti senar, tetapi lebih lembut dan halus. Kau
bisa melihatnya, tetapi tak bisa menyentuhnya. Benang yang tak akan habis bila dipakai

untuk menjahit seluruh pakaian yang ada di dunia ini. Dan jarum itu, Nak, kadang tampak
memancarkan cahaya lembut ketika dipegangi tukang jahit itu. Dengan jarum dan benang
itulah tukang jahit itu menjahit kembali kebahagiaan orang-orang....

Begitulah, dari tahun ke tahun, selalu kulihat tukang jahit itu muncul di kota ini setiap kali
menjelang lebaran. Cerita Ibu hanyalah salah satu cerita dari banyak cerita yang kudengar
tentang tukang jahit itu. Ada yang mengatakan, ia sebenarnya tinggal di balik bukit itu. Tapi
cerita lain membantahnya. Kisah tentang kampung para penjahit juga pernah aku dengar.
Sebuah kampung, yang seluruh penghuninya adalah tukang jahit. Di kampung itulah ia

tinggal. Namun sudah berpuluh tahun lalu kampung itu lenyap. Seluruh tukang jahit yang
tinggal di kampung itu mati oleh wabah yang tak pernah diketahui apa. Hanya ia, tukang

Anda mungkin juga menyukai