1
Jurnal II
Pisau, Orang, dan Berita
2
Jurnal II
Pisau, Orang, dan Berita
3
Jurnal II
Pisau, Orang, dan Berita
4
Jurnal II
Pisau, Orang, dan Berita
mengibas spanduk makanan dan pakaian bekas di pasar itu juga berasal
dari angin yang sama. Tepat di atas alis kananku, angin mencium dingin
sebuah bekas luka yang sudah lama sembuh. Namun nyerinya,
senantiasa menganga di dalam sukma. Kala itu, sebuah sikat baju dari
kayu pernah menghantam dan mendarat di sana. Plak. Lain bukan
ibulah pelakunya. Ia berdiri, membiarkan sejenak tumpukan baju itu
berbuih sabun di dalam ember. Gantian, giliran aku yang disikatnya,
“Segera sembunyikan batang hidungmu. Jangan pernah pulang
sebelum kau jadi orang. Kalau tidak, lebih baik mati saja!”. Aku masih
ingat bagaimana darah itu mengalir bermuara di mataku: pelan dan
hangat. Aku terkesiap karena ibu segera lanjut mencuci, seolah tidak
terjadi apa-apa. Bangsat. Jika bukan orang, selama ini kau anggap aku
apa ibu? Anjing kurap? Sungguh bangsat. Entah sudah berapa ribu kali
aku memaki dengan kata bangsat. Meski semua itu hanya tinggal di
dalam hati. Kubiarkan memborok dan menanah keji di lubuk terdalam.
Sebab aku tidak mau seperti bapak.
5
Jurnal II
Pisau, Orang, dan Berita
6
Jurnal II
Pisau, Orang, dan Berita
7
Jurnal II
Pisau, Orang, dan Berita
8
Jurnal II
Pisau, Orang, dan Berita
9
Jurnal II
Pisau, Orang, dan Berita
tak masuk akal. Tapi apa yang terlalu mustahil bagi suatu berita? Sudah
puluhan bahkan ratusan berita aneh pernah kubaca. Dari berita
manusia yang menyerupai babi hutan, sampai berita sapi bertubuh
mirip manusia. Oh, sekiranya nanti dia menjawab panggilanku, akan
kuajak ia bertemu secara langsung. Di manapun tempatnya, bukan
sebuah persoalan bagiku. Bahkan bila jalan yang ditempuh harus
bertaruh nyawa, akan kuburu dia. Sebab apalah arti kehidupan bila mati
tak meninggalkan makna, apalagi untuk diri sendiri? Namun
seandainya hal ini benar-benar terjadi, pastinya akan sangat sulit
bertemu dengannya. Aku tidak mungkin sendiri. Pasti ada jutaan ribu
jiwa di luar sana yang kebingungan seperti aku. Mungkin mereka telah
lebih dulu menghubunginya dibanding aku dan masih menunggu
giliran. Aku bisa membayangkan, betapa sibuknya dia meladeni satu
demi satu pertanyaan tentang orang. Itu berarti, akan memakan waktu
berbulan-bulan bahkan tahunan. Bangsat. Kalau begini jadinya, aku
bisa keburu mati duluan. Jelas gawat. Jadi kurombak ulang rencana
yang sudah tertata rapi, merancangnya sedikit licik. Ketika dia
menjawab panggilanku, akan kutanyakan berapa nominal yang
dibutuhkan supaya aku tidak perlu mengantri. Semua uang hasil
menjual surat kabar sore selama dua belas tahun menjadi modalnya.
Tapi setelah dipikir-pikir, apakah itu cukup? Masih banyak di luar sana
yang lebih kaya dariku. Tidak menutup kemungkinan, sudah ada yang
melakukannya lebih dulu dan nantinya dia lebih mengutamakan angka
yang meledakkan mata. Itu berarti aku hanya pindah antrian; dari yang
resmi menuju yang sogok. Bangsat. Satu-satunya cara terakhir yang aku
punya adalah menjelaskan kejujuran dan niat mulia di hatiku. Bahwa
sesegera mungkin aku harus jadi orang, supaya genaplah apa yang
dituntut bapak dan ibuku. Lalu aku akan pulang, dan diterima penuh
kasih oleh ibu karena sudah jadi orang. Aku tidak perlu lagi berkelana
di Jakarta dalam kesendirian, pula ibu tak butuh lagi meluapkan
kemarahan kepadaku. Tapi tak berhenti sampai di situ. Karena aku
tahu persis bagaimana caranya menjadi orang, akan kuajari juga bapak
dan ibu. Supaya tidak dibutuhkan lagi yang namanya saling memaki.
Tidak perlu lagi saling mencabik-cabik perasaan. Bapak tidak butuh lagi
kabur dari rumah untuk mencari kata cacian baru. Pun nantinya damai
bersemayam di antara bapak dan ibu. Sebab dengan menjadi orang
10
Jurnal II
Pisau, Orang, dan Berita
berarti dendam telah diredam dan amarah diubah menjadi ramah. -Ah.
Bapak, ibu, mengapa kita tak bisa baik-baik saja?
11
Jurnal II
Pisau, Orang, dan Berita
tidak tercipta dari tangan Tuhan―ia lahir dari gagasan. Ia adalah istilah
yang sekian lama digunakan dalam sejarah budaya kata-kata untuk
mempermudah kehadiran suatu wujud. Sehingga ia bisa diucapkan dan
digunakan dengan penuh makna atau tanpa makna. Ia tidak lebih dari
sebuah konsep. Ia merangkum tentang kesuksesan maupun kegagalan,
tentang kebaikan maupun keburukan, tentang keterbatasan maupun
kelebihan, tentang kebenaran maupun kesalahan, atau tentang segala
sesuatu yang bertentangan. Ia hidup ketika diakui pemikiran namun
juga mati ketika disepakati pemahaman. Ia bisa saja benar-benar ada
atau sama sekali tidak pernah ada. Ia seperti aku. Ya, persis seperti aku.
Malam akhirnya menjadi dirinya lagi, yang sepi dan tidak gemerlapan.
Ia menyisakan aku bersama keheningan, angin dingin, deretan lampu
jalanan, sepuluh eksemplar surat kabar sore, dan sebilah pisau laga
buatan Jerman. Bersamaan dengan malam yang indah, bukankah ada
pagi yang terlalu buta untuk melihat?
12