Anda di halaman 1dari 12

Jurnal II

Pisau, Orang, dan Berita

Pisau, Orang, dan Berita


Telah lama malam mengulum Jakarta.

Namun di dalam mulut ibu kota, kesibukan masih juga alot.


Betapa sorotan cahaya tiada henti bergilir menerangi tubuhku yang
kuyup dibilas gerimis sore. Ketika cahaya membentur-bentur titik air
di kulitku, aku sedikit berpendar. Dalam dekapan, lekukan pada plastik
bening yang membungkus sepuluh eksemplar surat kabar sore hari ini,
juga ikut berkilap-kilap. Bersamaan dengan terang yang menyergap,
udara terasa begitu bising untuk dihela. Kendaraan boleh saja
berkelebat ke kejauhan, tapi deru mesinnya masih sayup-sayup
terdengar. Bahkan sesekali suaranya menciptakan getar di dada. Langit
memang telah mengemban malam, tapi di Jakarta, apalah arti dari kata
pergi dan pulang, bila pergi ke rumah berarti pulang dan pulang ke
pusat kota berarti pergi?
Jalan menyisakan aroma khas hujan sore tadi. Hujan
menjadikan coak-coak jalan sebagai wadah untuk menghimpun
rintiknya sebelum dilenyapkan waktu. Beberapa darinya, telah buyar
lebih dulu ketika ban motor menggilas. Sisanya mungkin sedang
menanti diserap aspal, atau menunggu menguap lalu menyatu dengan
awan. Dalam naungan lampu hias yang membentang dan berkerlapan
di sepanjang sisi jalan, aku melangkahkan kaki ke tengah pasar kaget.
Betapa aku mengerti bahwa kehadirannya selalu muncul menghiasi
tiap-tiap malam minggu. Sehingga pasar kaget bukanlah sesuatu yang
mengejutkan lagi bagiku. Namun yang sesungguhnya mengagetkan
adalah kelihaian para pedagang menyelinap di antara hiruk-pikuk
perkotaan. Seolah tersedia celah bagi mereka untuk menyusup,
kemudian membeberkan harga yang kelewat miring di antara
kegaduhan kota. Aku tidak pernah tahu, bagaimana suara mereka
mampu bersaing melawan pengeras suara yang sedari tadi, berdentum
musik dangdut. Anehnya, ada saja telinga yang bisa mendengar
tawarannya. Ibu kota hanya membawaku pada kebingungan. Di mana-
mana bertebar keramaian. Mataku menangkap bahwa keramaian

1
Jurnal II
Pisau, Orang, dan Berita

bukanlah urusan waktu, terlebih di Jakarta. Ia seperti rindu, yang bisa


datang kapan pun lalu mengusik ketenangan batin. Tapi boleh jadi,
keramaian sebenarnya tidak pernah ada. Keramaian ialah bukan soal
keramaian itu sendiri. Mungkin keramaian justru adalah kumpulan
kesepian yang paling berbunyi. Sehingga musik yang dipasang kencang-
kencang, lampu warna-warni yang nyala-redup, candaan receh di
antara sesama pedagang yang diikuti dengan meledaknya tawa pada
raut mereka, dan semua ingar bingar yang terbentuk melalui pasar
kaget, tidak bermaksud menarik perhatian pembeli, melainkan upaya
dalam menanggulangi kesepian di dalam hati. Tentang arti kata ramai
dan sepi, ibu kota tidak menunjukkan batasan yang nyata bagiku.
Kerancuan makna kembali menyeruak di saat salah satu pedagang
pakaian bekas itu mulai menyeruput kopi yang terseduh pada gelas
plastik. Agaknya, kepulan-kepulan asap yang bermain di atas
permukaannya mengisyaratkan kopi terasa lebih mantap jika dinikmati
selagi hangat. Namun entah tujuannya untuk mengistirahatkan raga
atau menambah gairah kerja, aku benar-benar tak tahu. Di ibu kota,
istirahat bisa berarti bekerja dan begitu juga sebaliknya. Ada yang
menganggap bermain gitar adalah istirahat, namun bagi pengamen-
pengamen jalanan ibu kota, bermain gitar ialah bekerja. Atau tentang
memancing ikan, merawat pekarangan rumah, dan melukis
pemandangan. Bahkan, di ibu kota, tidur pun bisa berarti bekerja! Oh,
Jakarta memang tidak pernah menjanjikan apa-apa untuk rakyatnya.
Apalagi untuk diriku, seorang penjual koran sore. Namun semua orang
masih saja berbondong-bondong mengadu nyawa ke ibu kota. Maksud
hati ingin mencari makna kehidupan, malah di sanalah kebingungan
semakin menjadi-jadi. Kira-kira begitulah yang terjadi padaku selama
dua belas tahun terakhir. Sibuk mencari arti dari menjadi orang,
dengan berjualan surat kabar sore yang besok sudah tidak lagi
diproduksi.

Mungkinkah aku ini orang?

Adapun malam ini begitu jernih. Tanpa bongkahan mega-


mega yang menghiasi. Mungkin deras hujan tadi sore telah membilas
bersih angkasa. Namun di langit yang teramat luas dan terbuka ini,

2
Jurnal II
Pisau, Orang, dan Berita

bulan begitu lihai menyembunyikan dirinya. Maka bukan sebuah


kesalahan bila bintang-bintang nampak berhamburan di sepanjang
lengkung langit. Betapa malam ini tidak seperti malam-malam
sebelumnya, gelap dan menghembus hawa kelembaban. Malam ini ada
angin yang bersilir-silir membelai lembut keningku. Aku jadi teringat
malam-malam di desa yang dingin dan menyejukkan. Langitnya tetap
berada di kesucian alam, sebab belum ada gedung-gedung bertingkat
yang sanggup menggerayanginya. Apakah ibu masih juga bekerja
sebagai tukang cuci pakaian di kampung? -Ah, apakah ibu sehat-sehat
saja di sana? Aku menengok ke arah surat kabar dalam pelukanku.
Mereka masih rapi sebagaimana aku menerimanya. Desau hujan telah
mengusai, namun beberapa bintik air masih tertinggal di atas plastik
bening yang membungkus surat kabar hari ini. Dengan telapak tangan
yang mengigil, aku mencoba menyekanya. Berharap jangan sampai
airnya merembes ke dalam. Ya, setidaknya aku harus menjaganya tetap
kering. Persis seperti keadaan mereka ketika keluar dari mesin
percetakan. Sepanjang karirku sebagai penjual koran sore, baru kali ini
aku begitu merawat kondisi sebuah surat kabar. Mungkin karena aku
tahu, bahwa besok sudah tidak ada lagi surat kabar sore untuk dunia.
Semakin hari, memang semakin tidak jelas nasib keuntungannya.
Berjualan surat kabar sore hanya meledakkan angka kerugian.
Kemarin, di saat langit berwarna keemasan dan ribuan cahaya
membentuk garis yang menyayat ujung-ujung angkasa, sekumpulan
bocah ingusan menghampiriku. Semerbak terik matahari terendus dari
puncak kepala mereka. Rupanya mereka ingin membeli sebuah surat
kabar dan menjadi satu-satunya pembeli hari itu. Ketika diterimanya
surat kabar itu dariku, salah satu dari mereka dengan cepat
merampasnya, kemudian meremasnya kuat-kuat hingga menjadi bola.
Lalu ditendangnya surat kabar berbentuk bulat tak sempurna itu ke
angkasa sambil berteriak, “Ayo main, bolanya udah ada nih!”. Bangsat.
Tapi untuk apa aku marah. Mungkin merekalah yang paling memahami
keadaan nurani kita. Betapa kita terlalu sibuk menjenuhkan diri dengan
berita-berita kekejaman dan kesedihan. Sampai-sampai kita lupa
caranya untuk bahagia. Dan di kolong cakrawala yang kian jingga itu,
berita-berita kekelaman disepak manis penuh kegirangan. Lagipula, di
dunia yang melesat begitu cepat bak pesawat jet, siapa yang masih sudi

3
Jurnal II
Pisau, Orang, dan Berita

meluangkan waktu untuk membaca berita? Apalagi, beritanya baru


disebarkan menjelang hari mulai gelap. Tentu, kepentingan suatu
berita hanya bertahan untuk satu hari. Dan besok, berita lain akan
bermunculan, kemudian meninggalkan berita hari ini dalam
kesendiriannya masing-masing. Namun adapun semua itu tidak
berlaku bagi berita hari ini. Aku sangat mengerti bahwa mereka adalah
yang terakhir. Beritanya akan selalu menjadi yang terbaru. Selalu
menjadi berita terhangat untuk sore-sore yang akan datang. Oleh
karena itu, aku menjaganya dengan sangat baik. Merawatnya bagai
satu-satunya peninggalan sejarah dari kebudayaan manusia yang
terlupakan. Entah untuk apa aku melakukan itu semua, aku benar-
benar tak tahu. Nyatanya, memang tidak ada yang bisa dibanggakan
dari sepotong surat kabar yang dijual sore hari. Di pojok kanan dari
surat kabar itu tertera tanggal 20 Mei 2018. Itu berarti tepat dua belas
tahun lamanya aku tak bertatap muka dengan ibu. Ya, sejak ibu
mengusirku hari itu, aku belum pernah sekali pun berani untuk
kembali ke rumah.

Bukankah aku ini orang?

Barangkali seharusnya, dan sudah sewajarnya, ibu tidak lagi


cantik. Sudah jamaknya wajah ibu penuh kerutan. Kulitnya pasti
mengendur karena dilumat usia. Mungkin telapak tangannya juga tak
lagi mulus karena kesehariannya hanyalah mengaduk sabun dengan
pakaian. Atau bahkan justru ibu sedang berbaring lesu, sakit-sakitan di
atas kasur. Tak berdaya menandingi derasnya waktu. Lalu berdiam
diri, tanpa melakukan apa-apa seraya menunggu diterkam maut.
Bangsat. Sungguh mati kenapa aku harus peduli? Mengapa juga aku
perlu menaruh perhatian kepada seseorang yang menganggapku sama
sekali bukan orang?
Gempar gempita pasar kaget tak kunjung mereda. Lagu
dangdut telah diganti dengan musik bernuansa elektro dengan lirik
yang menggelitik di kuping. Dzak-dzik-dzak-dzik kau pelakor si kecebong
amis dzak-dzik-dzak-dzik. Sedari tadi, angin malam masih juga
membelai lembut keningku. Ia dengan gagah menerobos tirai-tirai
rambutku yang belum juga mengering. Besar kemungkinan yang

4
Jurnal II
Pisau, Orang, dan Berita

mengibas spanduk makanan dan pakaian bekas di pasar itu juga berasal
dari angin yang sama. Tepat di atas alis kananku, angin mencium dingin
sebuah bekas luka yang sudah lama sembuh. Namun nyerinya,
senantiasa menganga di dalam sukma. Kala itu, sebuah sikat baju dari
kayu pernah menghantam dan mendarat di sana. Plak. Lain bukan
ibulah pelakunya. Ia berdiri, membiarkan sejenak tumpukan baju itu
berbuih sabun di dalam ember. Gantian, giliran aku yang disikatnya,
“Segera sembunyikan batang hidungmu. Jangan pernah pulang
sebelum kau jadi orang. Kalau tidak, lebih baik mati saja!”. Aku masih
ingat bagaimana darah itu mengalir bermuara di mataku: pelan dan
hangat. Aku terkesiap karena ibu segera lanjut mencuci, seolah tidak
terjadi apa-apa. Bangsat. Jika bukan orang, selama ini kau anggap aku
apa ibu? Anjing kurap? Sungguh bangsat. Entah sudah berapa ribu kali
aku memaki dengan kata bangsat. Meski semua itu hanya tinggal di
dalam hati. Kubiarkan memborok dan menanah keji di lubuk terdalam.
Sebab aku tidak mau seperti bapak.

Di lidahnya, setiap kata tidak lain adalah jahanam yang


merocos deras ke liang telinga ibu. Tiada waktu dilewatkannya tanpa
memaki ibu. Bahkan, dalam tidur yang lelap pun, bisa-bisanya dia
mengigau cacian kepadanya. Aku bisa mengerti betapa bapak sangat
membenci ibu. Namun entah apa alasannya. Ya, melalui kata-katanya,
bapak meyakini bahwa ibu sejatinya bukanlah orang. Mungkin itu
sebabnya setiap kali aku bertanya tentang bapak, ibu selalu merapal
dendam, sama-sama meyakini bahwa bapak juga bukanlah orang,
“Bapak kau itu, anjing liar!”. Bagaimana persisnya identitas bapak, aku
tak tahu. Tapi mungkin ibu ada benarnya ketika menjuluki dia sebagai
anjing liar. Setiap pagi buta ia pergi keluar, berkeluyuran layaknya
seekor anjing liar. Tujuannya ialah mencari warga desa. Sebuah pisau
laga buatan Jerman miliknya selalu terjerat tanpa sampul di balik ikat
pinggang berbahan kulit. Menurut kabar yang beredar, pisau itu selalu
unjuk garang ketika warga menolak memberi uang. Dan semua kisah
berakhir sama; bersamaan dengan uang di tangannya, terdengar
lolongan panjang yang bahagia. Awuuuuu. Jika dirasanya sudah
lumayan, ia pergi menuju tempat perjudian kecil di pinggir desa.
Berbekal uang hasil memalak, ia mengadu peruntungan. Setiap kali ia

5
Jurnal II
Pisau, Orang, dan Berita

menang, lolongan panjang itu terdengar lagi. Namun sekali-kalinya


menderita kekalahan, ia mulai menggonggong tak terima. Kepalanya
menganguk-anguk, mulutnya mengatup-atup. Di saat pejudi lain
hendak melawan, di saat itulah sebuah pisau laga buatan Jerman
kembali unjuk garang. Dan lagi-lagi, semua kisah berakhir sama;
diambilnya semua uang dan melolonglah ia dengan bahagia. Tentu,
seekor anjing liar selalu tahu kapan harus tidur. Begitulah yang terjadi
saat malam mulai nyata. Ia pulang, sambil membawa ratusan ribu
rupiah di kantung sakunya. Sesampainya di rumah, tak lupa ia berjalan
menuju dapur, memesan ibu untuk dibuatkan makanan. Belum genap
lima menit lamanya ia menanti, dari ruang tamu mulutnya mulai
menyalak. Ibu yang tidak pernah tahu caranya mengayuh sepeda itu,
kemudian balas memaki meminta sabar. Namun tiap kali makanan
telah siap untuk disajikan, bapak sudah lebih dulu mendengkur keras
di atas sofa. Ya, di atas sofa yang reyot, akhirnya seekor anjing liar pun
boleh jinak dalam mimpi.
Sampai suatu hari bapak pergi dan tak pernah kembali. Mungkin ia
belum mau pulang karena semua kata-kata serapah sudah pernah
dilafalkannya. Boleh jadi ia bosan mengulang-ulang kata dengki yang
sama. Sehingga ia menuai embara, berkelana ke seluruh penjuru dunia,
menelusuri kata cacian baru yang belum tercantum dalam kamus
bahasa kita, lalu berencana pulang sekadar untuk mencela.
Kepergiannya meninggalkan ibu seorang diri dalam kenangan kekejian
yang belum tuntas terbayarkan. Namun sebilah pisau laga buatan
Jerman punyanya sengaja ia riwayatkan untukku. Tak lupa sebuah
pesan singkat ia sertakan, “Kelak, pisau inilah yang akan menjadikanmu
orang. Dengan atau tanpa dirimu sendiri, anak anjing.” Bangsat.
Sungguh bangsat.

Mungkinkah aku ini orang?

Anehnya, apa yang dikatakan oleh seekor anjing liar tentang


orang, benar-benar terjadi. Tepat seminggu yang lalu, saat malam
menaungi Jakarta dan langit masih menyisakan ruang bagi bulan,
seorang pekerja lepas nampak kelimpungan menatap tiga kardus yang
tertumpuk rapih di sebuah pasar. Ia mengintip ke sisi kiri kardus, lalu

6
Jurnal II
Pisau, Orang, dan Berita

beralih ke kanan. Setelah itu ia berdiri, mengusap-usap kepalanya


dengan cepat, lalu memutar badannya ke sekeliling seperti mencari
sesuatu. Di sampingnya berdiri tegap seorang lelaki bertelanjang dada
dengan perut membuncit. Gambar perempuan di lengan kanannya pun
ikut-ikutan telanjang dada. Dari sorot matanya, terpancar kegeraman.
Dan setiap kali telunjuknya menuding-nuding tumpukan kardus,
pekerja lepas itu hanya sanggup mengangguk. Jika dia dibilang sebagai
majikan atau bos, aku meragukan. Penampilannya tidak menunjukkan
hal yang selaras. Tapi pastinya, dia memiliki kedudukan yang lebih
tinggi ketimbang pekerja lepas itu. Aku berandai, seberapa
berhargakah benda di dalamnya, sampai-sampai semua permukaannya
dilapisi lakban coklat. Tapi atas perlu apa aku harus mengetahui isinya.
Toh, selayaknya malam yang sudah-sudah, aku harus menyibukkan diri
dengan membaca surat kabar. Menelaah segala berita atau informasi
yang menyingung cara menjadi orang. Lagipula, untuk apa aku
memandang dua mahkluk yang belum tentu sejatinya adalah orang?
Biasanya, pisau laga buatan Jerman itu kusimpan sebagaimana ia dulu
diperlakukan; menjeratnya tanpa sampul di balik ikat pinggang
berbahan kulit. Namun tiap kali aku duduk di kursi warung untuk
membaca berita, pisau itu kubaringkan di atas meja. Selalu
berdampingan dengan asbak. Tujuannya supaya tiap kali aku
menjentikkan rokok, pisau tersebut dapat kuperhatikan. Selain itu,
tentu akan sangat mengganjal bila pisau laga itu tetap menyangkut di
balik ikat pinggangku. Mungkin karena pisauku kedapatan
menganggur, maka mampirlah pekerja lepas itu tepat di hadapanku.
“Permisi mas, boleh pinjem pisaunya?” begitu katanya dalam napas yang
mengap-mengap. Belum sempat aku menjawab, dengan cekatan pisau
itu disambarnya, lalu ia segera berlari menuju tumpukan kardus itu
berada. Bangsat, tak tahu sopan santun. Dari balik kaca warung,
terlihat bagaimana pisau menikam dan menyayat kejam ketiga kardus
itu. Srek, srek, srek. Kini puluhan buah jeruk berhamburan, berserakan
di jalanan. Diangkatnya satu demi satu buah jeruk itu, lalu disusunnya
bagai piramida dalam wadah kayu berlapis terpal. Bangsat, pikirku.
Pisau yang semula sanggup merubuhkan nyali ribuan jiwa, kini hanya
berfungsi untuk membongkar muatan dagang. Tapi setidaknya, itu
lebih baik. Lebih manusiawi. Tak kusangka sejarah kelam sebuah pisau

7
Jurnal II
Pisau, Orang, dan Berita

laga berhenti hari itu. Untuk pertama kalinya, ia melahirkan


ketenangan bukan kegetiran. “Kalau tidak ada mas, mungkin saya udah
dipecat. Terima kasih!” ujarnya sembari menyerahkan pisau laga itu.
Aku diam saja. Hanya menatapnya dalam hening. Bukan marah karena
ia seenaknya saja mengambil. Tapi atas dasar apa aku harus berkata
sama-sama untuk suatu kebaikan yang tidak pernah kulakukan?
Nyatanya, pisau itu memang diambilnya sendiri, dipakainya sendiri,
dan untuk keuntungannya sendiri. Jadi aku segera beranjak, membayar
segelas kopi hitam, melipat-lipat berita yang kubawa. Pisau laga itu
kembali kujerat di balik ikat pinggang, lalu melangkah keluar melewati
tubuh pekerja lepas itu. Tidak ada kata perpisahan yang terucap dari
mulut. Namun sangat tak terduga, dan aku tidak pernah mengira
bahwa malam itu, akan diakhiri oleh sebuah pernyataan darinya yang
terus kupertanyakan hingga hari ini. “Dunia ini butuh orang seperti
anda!” teriaknya dari kejauhan, ketika aku telah lenyap bersama
gelapnya malam.

Benarkah aku ini orang?

Orang, orang, dan orang. Kalau benar aku ini orang,


mengapa ibu dan bapak berkata lain? Namun jika aku bukan orang,
mengapa pekerja lepas itu begitu yakin bahwa aku adalah orang?
Orang, orang, atau orang. Siapa dia sebenarnya?
Di mana ia tinggal? Apakah di pegunungan, pelosok pedesaan,
perumahan elite, pinggir pantai, pinggir jalan, dalam kardus, bawah
jembatan, apartemen, rumah susun, gorong-gorong, gubuk, dalam
mobil, tepi tebing, dalam hutan, tengah laut, di atas kapal, atau tak
tentu tempatnya karena dia seorang musafir?
Bagaimana dengan wujudnya? Apakah ia besar, kecil, tinggi,
pendek, kerdil, tampan, cantik, buruk rupa, gendut, kurus
kerempeng, atletis, semok, keriting, ikal, berambut lurus, botak
plontos, rambut jagung, beruban, cacat fisik, tak punya tangan, buta,
tuli, bisu, tua, pincang, penuh tahi lalat, penuh kutil, hitam, putih,
albino, sipit, muda, bayi, dekil, rapi, berkaca mata, atau tak kasat mata
karena dia seorang yang sakti?

8
Jurnal II
Pisau, Orang, dan Berita

Apa pekerjaannya? Apakah ia presiden, mentri, tentara,


tukang kebun, pengemis, pengamen, penjual buah, penjual koran,
pembantu rumah tangga, pendeta, insinyur, ahli sains, arkeolog,
astronot, arsitektur, dokter, nelayan, muncikari, pelacur, konselor,
motivator, pembawa acara, artis, pemain bola, komentator, koki,
pebisnis, musisi, masinis, penjaga palang pintu kereta api, seniman,
dosen, guru, atau tidak bekerja karena dia seorang pengangguran?
Namun dari semuanya itu, apa yang telah dicapai olehnya,
sampai-sampai kehidupan mengharuskan aku menjadi dia? Tapi tentu
ibu, bapak, dan pekerja lepas itu tak mungkin melantur, menyebut
kata orang secara asal. Pasti ada alasannya. Pasti ada acuannya. Ya, aku
yakin itu. Jadi aku kembali ke dasar, di mana kata-kata diberi arti dan
telah disepakati sedemikian rupa. Aku memulainya dari sebuah Kamus
Bahasa Indonesia. Tertera, bahwa orang diterangkan sebagai manusia
dalam artian khusus. Lantaran tak paham maksudnya, jariku lanjut
melangkah ke bagian ‘M’, menyusuri kata manusia. Tercantum, bahwa
manusia dijabarkan sebagai makhluk berakal budi. Sebab belum puas,
jariku lanjut mengambil sikap ke bagian ‘A’, menelusuri kata akal.
Tercetak, bahwa akal dijelaskan sebagai daya pikir untuk memahami
sesuatu dan sebagainya, sedangkan akal budi diartikan sebagai pikiran
sehat. Bangsat. Kamus ini bercanda. Dan ini tidak akan ada habisnya.
Nalarku terang sehat. Bukankah itu daya pikir yang membangun
pertanyaan serta pemahaman terhadap situasiku? Kalau memang orang
diukur berdasarkan pikirannya yang sehat, lantas mengapa yang sedeng
tetap disebut sebagai orang?
Orang, orang, bahkan orang. Selama dua belas tahun, aku
mencoba menangkap kehadirannya melalui berita. Bagiku kamus
terlalu sempit untuk membahas tentang orang. Dan boleh jadi dia
memang tidak pernah ada di sana. Siapa tahu, justru dia timbul di berita
utama suatu surat kabar. Mungkin beritanya bertajuk “Kebenaran
terungkap: kiat-kiat menjadi orang” atau “Dunia dibuat geger,
beginilah metode teraktual menjadi orang” atau “Sudah saatnya kita
menjadi orang” atau “Resmi, ruang pelatihan menjadi orang telah
dibuka untuk umum”. Bagaimanapun judulnya, yang terpenting
beritanya selalu diakhiri dengan kalimat “Selebihnya, silakan hubungi
nomor pribadi saya yang tercantum di bawah ini.” Memang terkesan

9
Jurnal II
Pisau, Orang, dan Berita

tak masuk akal. Tapi apa yang terlalu mustahil bagi suatu berita? Sudah
puluhan bahkan ratusan berita aneh pernah kubaca. Dari berita
manusia yang menyerupai babi hutan, sampai berita sapi bertubuh
mirip manusia. Oh, sekiranya nanti dia menjawab panggilanku, akan
kuajak ia bertemu secara langsung. Di manapun tempatnya, bukan
sebuah persoalan bagiku. Bahkan bila jalan yang ditempuh harus
bertaruh nyawa, akan kuburu dia. Sebab apalah arti kehidupan bila mati
tak meninggalkan makna, apalagi untuk diri sendiri? Namun
seandainya hal ini benar-benar terjadi, pastinya akan sangat sulit
bertemu dengannya. Aku tidak mungkin sendiri. Pasti ada jutaan ribu
jiwa di luar sana yang kebingungan seperti aku. Mungkin mereka telah
lebih dulu menghubunginya dibanding aku dan masih menunggu
giliran. Aku bisa membayangkan, betapa sibuknya dia meladeni satu
demi satu pertanyaan tentang orang. Itu berarti, akan memakan waktu
berbulan-bulan bahkan tahunan. Bangsat. Kalau begini jadinya, aku
bisa keburu mati duluan. Jelas gawat. Jadi kurombak ulang rencana
yang sudah tertata rapi, merancangnya sedikit licik. Ketika dia
menjawab panggilanku, akan kutanyakan berapa nominal yang
dibutuhkan supaya aku tidak perlu mengantri. Semua uang hasil
menjual surat kabar sore selama dua belas tahun menjadi modalnya.
Tapi setelah dipikir-pikir, apakah itu cukup? Masih banyak di luar sana
yang lebih kaya dariku. Tidak menutup kemungkinan, sudah ada yang
melakukannya lebih dulu dan nantinya dia lebih mengutamakan angka
yang meledakkan mata. Itu berarti aku hanya pindah antrian; dari yang
resmi menuju yang sogok. Bangsat. Satu-satunya cara terakhir yang aku
punya adalah menjelaskan kejujuran dan niat mulia di hatiku. Bahwa
sesegera mungkin aku harus jadi orang, supaya genaplah apa yang
dituntut bapak dan ibuku. Lalu aku akan pulang, dan diterima penuh
kasih oleh ibu karena sudah jadi orang. Aku tidak perlu lagi berkelana
di Jakarta dalam kesendirian, pula ibu tak butuh lagi meluapkan
kemarahan kepadaku. Tapi tak berhenti sampai di situ. Karena aku
tahu persis bagaimana caranya menjadi orang, akan kuajari juga bapak
dan ibu. Supaya tidak dibutuhkan lagi yang namanya saling memaki.
Tidak perlu lagi saling mencabik-cabik perasaan. Bapak tidak butuh lagi
kabur dari rumah untuk mencari kata cacian baru. Pun nantinya damai
bersemayam di antara bapak dan ibu. Sebab dengan menjadi orang

10
Jurnal II
Pisau, Orang, dan Berita

berarti dendam telah diredam dan amarah diubah menjadi ramah. -Ah.
Bapak, ibu, mengapa kita tak bisa baik-baik saja?

Hancur. Asaku seperti dicincang sembarangan. Teguhnya tak lagi


utuh. Jiwaku porak poranda karena ternyata berita seperti itu tak
pernah ada. Tidak ada dalilnya menjadi orang. Pula semacam kursus
maupun pelatihan. Walaupun begitu, berita tetap berisik dan ramai
akan orang. Hanya saja, mengapa yang mati karena menenggak
minuman keras oplosan di Depok, yang mati karena kurang tidur
akibat kecanduan bermain game online di China, yang mati karena
perilaku bestialitas, bersenggama dengan seekor kuda sehingga timbul
luka besar di dubur serta traumatis pada usus besarnya, yang mati
karena terinjak janggutnya sendiri berakibat pada leher yang patah,
yang mati karena menahan air kencing agar memenangi hadiah dari
kontes “Hold Your Wee For a Wii”, dan yang mati terbakar karena
teringat ponsel pintarnya masih berada di dalam kobaran api, oleh
media massa disebut sebagai orang? Mungkinkah satu-satunya kaidah
menjadi orang ialah mati terlebih dahulu?
Di sisi bersebrangan, orang tidak melulu tentang kematian.
Aku pernah menelusuri berbagai berita keagamaan, katanya orang
tidak diukur berdasarkan pencapaian atau kesuksesan. Ia justru dinilai
dari yang tak kasat mata, batiniah. Tentang kebaikan, keikhlasan,
maupun ketabahan. Namun tiap kali aku melihat berita yang serupa,
timbul pemberontakan dalam kepalaku: Sesat, berita sesat! Dengan
segala caci makian yang pernah diucapkan serta tindakan merampas
ketenangan warga, aku bisa menilai bapak itu jahat. Tapi siapakah aku
sampai-sampai mampu menghakimi bahwa sejatinya bapak bukanlah
orang? Apakah karena tindakan kekejiannya, lantas di depan cermin
bapak tidak lagi berbentuk orang? Lalu pekerja lepas itu, atas dasar apa
ia boleh menyatakan diriku adalah orang, meskipun aku―secara tidak
langsung―sudah berperilaku baik kepadanya? Itu berarti, bahkan
diriku sendiri pun tak mampu menyebut diriku orang atau bukan.
Bukankah kekuasaan tertinggi menentukan orang melalui yang batinah
itu milik Tuhan semata?
Atau jangan-jangan, memang Tuhan pernah menciptakan
orang. Setiap dari kita dibentuk dan bermula dari perut ibu. Tapi orang

11
Jurnal II
Pisau, Orang, dan Berita

tidak tercipta dari tangan Tuhan―ia lahir dari gagasan. Ia adalah istilah
yang sekian lama digunakan dalam sejarah budaya kata-kata untuk
mempermudah kehadiran suatu wujud. Sehingga ia bisa diucapkan dan
digunakan dengan penuh makna atau tanpa makna. Ia tidak lebih dari
sebuah konsep. Ia merangkum tentang kesuksesan maupun kegagalan,
tentang kebaikan maupun keburukan, tentang keterbatasan maupun
kelebihan, tentang kebenaran maupun kesalahan, atau tentang segala
sesuatu yang bertentangan. Ia hidup ketika diakui pemikiran namun
juga mati ketika disepakati pemahaman. Ia bisa saja benar-benar ada
atau sama sekali tidak pernah ada. Ia seperti aku. Ya, persis seperti aku.

Malam akhirnya menjadi dirinya lagi, yang sepi dan tidak gemerlapan.
Ia menyisakan aku bersama keheningan, angin dingin, deretan lampu
jalanan, sepuluh eksemplar surat kabar sore, dan sebilah pisau laga
buatan Jerman. Bersamaan dengan malam yang indah, bukankah ada
pagi yang terlalu buta untuk melihat?

Ibu, bapak, kini berbahagialah.


Sebab malam ini anakmu akan pulang
sebagai orang dalam berita.

12

Anda mungkin juga menyukai