Anda di halaman 1dari 3

Judul: bulan terbingkai jendela

Pengarang: indro tranggono.


Penerbit: kompas.
Sinopsis:
Perempuan itu membuka gorden jendela. Angin malam menyisir rambutnya yang
memerak dibakar usia, menerpa kerut-merut wajah yang dipahat waktu. Bertiup dari perbukitan
yang jauh, angin itu seperti pengembara abadi yang setia mengunjunginya malam-malam begini.
Itu memang kurang baik bagi dirinya yang sering batuk-batuk.Bertahun-tahun ia menjadi sahabat
angin, toh aman-aman saja. Kalau sedikit batuk, itu tak lebih dari ongkos yang harus ia bayar
buat mengagumi ketegaran dan kesetiaan angin yang tetap saja bertiup, entah sampai kapan.
Hanya air yang selalu mengalir, pikirnya, yang mampu menandingi kesetiaan angin.
Nama Sum begitu melekat di hatinya. Bahkan lebih dari sekadar sahabat. Sahabat?
Mendadak ia mempertimbangkan sebutan itu. Sum, yang ia kenal sejak remaja, semula memang
teman karibnya. Di balik bintik-bintik jerawat puber pertama dan rambut ekor kuda, ia dan Sum
mereguk keceriaan. Mereka menjadi pujaan para jejaka yang masih memelihara jambul pada
potongan rambutnya yang lengket dengan minyak rambut dengan aroma menyengat serta dengan
celana komprang dari dril.
Salah satu perjaka yang menarik hati mereka adalah Gangsar. Ia datang dari keluarga
terpandang: ayahnya priayi dan orang pergerakan. Wajahnya ganteng, tatapan matanya tajam
menghunjam, senyumnya indah mengembang, tubuhnya tinggi besar dengan dada bidang.
Gangsar juga dikenal pemuda yang penuh semangat. Matanya bersinar ketika ia berdebat
bersama kawan-kawannya di Lembaga Kebudayaan Rakyat. Didih persaingan politik antarparpol
waktu itu membuat orang begitu suka dengan mulut berbusa. Kalimat-kalimat gagah disertai
tatapan mata yang berkilat-kilat hampir dimiliki setiap anak muda dari berbagai organisasi yang
menjadi underbouw parpol. Mereka bersaing untuk menjadi yang utama buat menentukan “hari
depan bangsa”.
Gangsar percaya bahwa lewat kesenian ia mampu ikut mengangkat orang-orang kalah
yang tenggelam di lautan lumpur. Setidaknya mampu mengubah tatapan mata mereka yang
redup menjadi tatapan mata yang bersinar. Drama-drama yang dipentaskan adalah drama-drama
yang penuh kepalan tinju, penuh tanda seru dan sarat teriakan seperti dalam pamflet atau
spanduk. Ia menolak sandiwara yang mendayu-dayu, yang baginya tak lebih dari candu yang
hanya membikin mental jadi lembek dan layu. Begitulah kelompok sandiwara Gangsar berdetak-
berderap seiring dengan kelebat bendera merah darah dengan lambang alat produksi kaum tani
dan buruh.
Tidak seperti malam-malam sebelumnya, hari itu Gangsar memutuskan menghentikan
kegiatan kelompok sandiwaranya untuk sementara. Gangsar lebih banyak rapat dengan orang-
orang Lekra, seperti juga malam itu. Rapat itu berlangsung sangat tegang. Kepala-kepala mereka
seperti mengepulkan asap kecemasan. Sambil menyeduh kopi di dapur, Asih lamat-lamat
mendengar ucapan galau suaminya.
“Usaha kita makin menunjukkan hasilnya, kawan. Lewat seni, partai kita berhasil bikin
kawan-kawan tani dan buruh di desa ini punya tatapan mata bertenaga dan punya sinar. Luar
biasa, mata mereka tidak lagi loyo, kosong, tapi bersinar. Mereka makin berani dan gagah
menatap mata para tuan tanah yang hendak merampas tanahnya. Begitu juga kawan-kawan kita
kaum buruh. Mereka makin punya nyali menghadapi para juragan yang memeras tenaganya.”
Benturan pintu besi terdengar sangat keras. Jantung Asih berdetak cepat. Ia masih
tertegun, tidak menduga akan bertemu dengan Sum di rumah tahanan itu. Kenapa dia ada di sini?
Siapa Sum? Ia mulai menebak-nebak. Tapi rasa penasaran itu tak jadi mekar ketika ia ingat dua
anaknya. Gema tangis mereka memenuhi rongga dadanya. Dadanya pun makin terasa sesak,
jantungnya terasa diremas ketika ia ingat suaminya.
Pintu sel dibuka. Seorang wanita didorong masuk. Asih kaget, perempuan itu ternyata
Wikan, kawannya saat main sandiwara. Mereka berpelukan. Mata mereka basah. Namun, tak ada
kata yang terucap. Yang terdengar hanya tarikan nafas mereka. Ketika Asih mampu menguasai
perasaan, ia pun berucap pelan.
Ia kembali teringat kabar yang baru saja diterimanya bahwa “Bu Sum telah meninggal
dunia”. Wajah Sum hadir kembali. Juga saat ia berpapasan dengan Asih di ruang menuju kamar
tahanan lebih dari 30 tahun lalu. Ia menarik nafas dalam-dalam. Dalam beberapa saat, ia
berbenah. Ia raih baju hangat, kemudian keluar kamar. Ia bergegas menuju rumah Bu Sum, yang
terletak di ujung jalan desa. Kedatangan Asih membuat tercengang para pelayat. Asih menyalami
mereka, menyalami suami, anak-anak Bu Sum. Menyalami handai tolan Bu Sum.
Di depan peti jenazah yang terbuka, ia menatap lekat-lekat wajah Sum yang bulat,
seperti bulan sebesar semangka yang terjebak di bingkai jendela kamarnya. Wajah itu terasa
damai. Seperti tersenyum kepada Asih. Asih pun membalas senyuman itu. Tangan Bu Sum
terasa diulurkan kepadanya. Asih menggenggamnya erat-erat. Seusai berdoa, ia merasakan
kehangatan mengalir di rongga dada. Ia merasakan matanya basah.
Analisi intrinsik:
1. Tema: ideologi terhadap kelas sosial
2. Alur: mundur
3. Sudut pandang: kedua
4. Latar:
 Waktu:pada tahun 1960
 Suasana: mencekam dan penuh kewaspadaan
5. Amanat:
6. Watak:
 Protagonis: asih, hardo
 Antagonis: tentara, para kapitalis birokrat

Kesan/tanggapan:
Bulan terbingkai jendela merupakan pandangan dunia kaum borjuis kecil, priyayi, yang
melakukan penolakan terhadap system kelas social yang merebak dimasyarakat. System kaum
kapitaslis yang dianggap terlalu berkuasa atas kaum proletar, membuat kaum borjuis kecil
melakukan penekanan terhadap kehidupan matrealistik masyarakat kapitalis modern. Penolakan
ini dilakukan dengan penanaman pemahaman oleh kaum borjuis kecil kepada kaum buruh atau
proletar melalui perantara kebudayaan atau kesenian.
Hakikat mereka sebagai pendidik, motivator, maupun fasilitator tidak hanya memberikan
pendidkan semata melalui berbagai cara. Tetapi juga merencanakan masa depan masyarakatnya.
Akan tetapi, disisi lain manusia juga memiliki hak untuk bersikap dalam merespon pendidikan
atau ajaran yang diberikan. Adanya aspek kemanusiaan bahwa setiap warga Negara memiliki
hak asasi manusia untuk turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat, bebas
mengutarakan pikiran dan perasaan, hak menikmati kesenian dan turut sarta dalam kemajuan
keilmuan dan hak untuk hidup.

Anda mungkin juga menyukai