ن ٰ
ْح
َّ ْ َّ الر ِ
هللا بِ ْس ِم
Pada abad ke-7 di masa kekuasaan Ratu Simha di kerajaan Kalingga yang terkenal
keras dalam penegakan hukum, datangnya para pedagang Arab diberitakan cukup
banyak oleh sumber-sumber dari Dinasti Tang di Cina.
Sumber sejarah dari Dinasti Tang pada tahun 674 Masehi memberikan petunjuk bahwa
memang pada masa-masa awal pertumbuhan Islam, saudagar-saudagar muslim dari Arab
sudah memasuki wilayah Nusantara.
Dorongan kuat bagi saudagar-saudagar Arab pada masa-masa awal Islam untuk menyebarkan Islam
sampai ke wilayah Nusantara tersebut didorong oleh hadis Rasulullah Saw. yang berbunyi:
Dari Abdullah bin Amr r.a. berkata, bahwa Nabi Saw. bersabda; “Sampaikan apa yang dari aku, sekalipun satu ayat.” (H.R. Bukhari)
Pasca para pedagang Arab, munculah para imigran Persia.
Yaitu keluarga yang datang ke Nusantara pada zaman Raja Nashirudin bin Badr
yang memegang pemerintahan di wilayah Lor, Persia pada tahun 300 H/912 M.
Keluarga Lor Keluarga Lor ini tinggal di Jawa dan mendirikan sebuah perkampungan dengan
nama Loran atau Leran, yang artinya adalah tempat tinggal orang Lor.
Keluarga Jawani adalah keluarga yang datang pada zaman Jawani al-Kurdi yang
memerintah Iran pada kurun waktu tahun 301 H/913 M. Keluarga ini menetap di
Keluarga Jawani Pasai, Sumatera Utara. Keluarga inilah yang menyusun khat Jawi, yang artinya
IMIGRAN tulisan Jawi yang diambilkan dai nama Jawani, Sultan Iran waktu itu.
BANGSA
PERSIA Yaitu keluarga yang datang ke Nusantara pada masa pemerintahan
Ruknuddaulah bin Hasan bin Buwaih ad-Dailami pada kurun waktu 357 H/969 M.
Keluarga Syiah Keluarga ini tinggal di bagian tengah Sumatera Timur, dan mendirikan
perkampungan dengan nama Siak, yang kemudian berkembang menjadi Negeri
Siak
Adalah keluarga yang datang dari Puak Sabankarah yang menetap di utara dan
Keluarga Rumai timur Sumatera. Penulis-penulis Arab, kemudian memberikan sebutan untuk
pulau Sumatera dengan nama Rumi, al-Rumi, Lambri atau Lamuri.
Kedatangan saudagar-saudagar muslim sejak tahun 674 M tersebut, dan imigran keluarga Persia, ternyata belum
diikuti dengan penyebaran Islam secara massif di kalangan penduduk pribumi, hingga munculnya para penyebar
Islam di tanah Jawa yang dikenal dengan sebutan Wali Songo.
SEBAGIAN ULAMA PENYEBAR ISLAM DI NUSANTARA SEBELUM WALISONGO
Sultan Malik al-Saleh (1267 – 1297 M). atau Meurah Silu merupakan pendiri dan raja pertama Samudra Pasai (berdiri pada tahun 1267 M).
Meurah Silu memeluk Islam berkat pertemuannya dengan Syekh Ismail dari Mekah. Setelah masuk Islam, Meurah Silu bergelar Sultan Malik al-
Saleh, dan berkuasa selama 29 tahun. Kesultanan Samudra Pasai merupakan gabungan dari Kerajaan Peurlak dan Kerajaan Pase
Sultan Ahmad (1326 – 1348 M). Beliau merupakan sultan Samudera Pasai yang ketiga, bergelar Sultan Malik al-Thahir II. Pada masa
pemerintahannya, Kesultanan Samudra Pasai dikunjungi oleh seorang penjelajah dari Maroko, yaitu Ibnu Batutah. Menurut catatan Ibnu Batutah,
Sultan Ahmad sangat memperhatikan perkembangan dan kemajuan agama Islam. Beliau berusaha keras untuk menyebarkan ajaran Islam ke
berbagai wilayah di sekitar Samudra Pasai.
Syekh Datuk Kahfi adalah tokoh penyebar Islam di wilayah yang sekarang dikenal dengan Cirebon dan leluhur dari Pembesar Sumedang. Dia
pertama kali menyebarkan ajaran Islam di daerah Amparan Jati, Desa Astana, Gunungjati, Cirebon. Dikenal juga dengan Syaikh Nurjati. Beliau
adalah guru dari Syaikh Siti Jenar. Syarifah Mudaim (Ibunda Sunan Gunungjati). Pangeran Walangsungsang (Raja Kerajaan Cirebon Pertama).
Syekh Maulana Akbar merupakan ulama pertama yang menyebarkan Islam di daerah Kuningan dengan mendirikan pondok pesantren di
Sidapurna-Kuningan. Tutur lisan mengatakan bahwa Syekh Maulana Akbar pernah singgah dan berdakwah di Desa Sagarahiang, yang
dibuktikan dengan adanya makam atau petilasan Syekh Maulana Akbar.
Husain Jamaluddin Akbar atau Syekh Jumadil Kubro dikenal sebagai seorang mubaligh terkemuka. Dia menyebarkan Islam di Nusantara. Wali
Songo yang terkenal di tanah jawa berasal dari keturunannya. Ia dilahirkan pada tahun 1310 M di negeri Malabar, di dalam wilayah Kesultanan
Delhi. Dalam berbagai kitab sejarah dan babad Jawa, Syekh Jumadil Kubra disebut sebagai leluhur Wali Songo. Petilasan yang diyakini
sebagai makamnya berada di beberapa tempat di Jawa. Dalam Babad Cirebon disebutkan bahwa Syekh Jumadil Kubra sebagai leluhur Sunan
Gunung Jati, Sunan Bonang, Sunan Ampel, dan Sunan Kalijaga
Syekh Quro adalah putra ulama besar Perguruan Islam dari negeri Campa yang bernama Syekh Yusuf Siddik yang masih ada garis keturunan
dengan Syekh Muhammad Jamaluddin Akbar al-Husaini serta Syekh Jalaluddin ulama besar Mekah. Beliau ulama yang berdakwah di Karawang.
Jalur Dakwah
Islam di Nusantara
Langkah-langkah yang Dilakukan Para Wali dalam Berdakwah di Nusantara
Para wali memiliki metode yang sangat bijak dalam memperkenalkan Islam yaitu tidak dengan serta
merta, tidak juga secara instan, melainkan dengan strategi jangka panjang.
Tadrij (bertahap)
Tidak ada ajaran yang diberlakukan secara mendadak, segala sesuatu melalui proses
penyesuaian, bahkan sering bertentangan dengan Islam. Misalnya tradisi minum tuak,
LANGKAH kepercayaan animisme dan dinamisme, maka secara bertahap, hal tersebut diluruskan oleh
STRATEGIS para wali dengan metode dakwah yang penuh kelembutan dan kedamaian.
PARA WALI
Para wali tidak menyebarkan ajaran Islam dengan mengusik tradisi asli masyarakat Nusantara,
bahkan tidak mengusik agama dan kepercayaan mereka, namun memperkuatnya dengan cara-
cara yang islami. Para wali menyadari betul ciri khas Nusantara yang beragam suku, multi
etnis, beragam budaya, dan ragam bahasa merupakan anugerah Allah Swt. yang tiada tara.
Jalur-Jalur yang Dilakukan Para Wali dalam Berdakwah di Nusantara
1. JALUR PERDAGANGAN
2. JALUR PERNIKAHAN
3. JALUR POLITIK
5. JALUR PENDIDIKAN
Para walisongo, ulama, guru agama, dan kyai mempunyai peranan yang
besar. Dibangun pesantren untuk mempermudah penyebaran dan
pemahaman agama Islam. Misalnya pesantren pesantren yang didirikan
oleh Sunan Ampel di Ampel Denta, Surabaya. Pesantren Sunan Drajat,
Pesantren Sunan Giri, Pesantren Cipta Rasa Sunan Gunung Jati, dll.
6. JALUR TASAWUF
Para ahli tasawuf hidup dalam kesederhanaan. Memiliki
keahlian lain yang dapat membantu masyarakat, seperti
menyembuhkan penyakit.
Ceramah
Keteladanan
STRATEGI
DAN
METODE Pendidikan
DAKWAH
WALI
Bi’tsah (mengutus da’i) dan Ekspansi Syiar
Kesenian
Silaturrahim
Sejarah Dakwah
Islam di Masa Wali
Songo
Walisongo berperan penting dalam upaya dakwah dan perkembangan peradaban Islam
pada abad ke-15 dan abad ke-16 Masehi. Dalam buku Sekitar Wali Songo yang
dituliskan oleh Solichin Salam, Wali Songo berasal dari Wali dan Songo.
Kata Wali Songo merupakan perubahan atau kerancuan dalam pengucapan kata sana
yang berasal dari kata tsana (mulia) yang serupa dengan kata terpuji, sehingga
menurutnya pengucapan yang benar adala Wali Sana yang berarti wali-wali yang
Prof. K.H. Raden terpuji.
Muhammad Adnan
Wali Songo berarti Wali Sembilan yakni sembilan orang terpuji yang dicintai dan mencintai
Allah Swt. Sembilan wali tersebut dipandang sebagai mubaligh Islam yang bertugas
mendakwahkan Islam di daerah-daerah yang belum memeluk Islam di pulau Jawa.
WALIYULLAH
orang-orang yang dekat dengan Allah Swt., terpelihara dari kemaksiatan
PERAN WALI
(waliyullah).
WALIYUL AMRI
Pemegang kekuasaan atas hukum kaum muslimin, pemimpin, yang berwenang
memutuskan dan menentukan perkara di masyarakat, baik dalam hal keduniawian
maupun dalam hal keagamaan.
Pangeran
Mangkubumi atau
Amangkurat 1 atau Amangkurat 3 atau Raden Mas Garendi Sunan Kabanaran
Sunan Tegal Arum Sunan Mas atau Sunan Kuning
Kenapa ya, fokus
dakwah para
walisongo itu di
daerah pesisir
utara?
Kemungkinan para wali memilih Pulau Jawa pesisir karena melihat Jawa sebagai
pusat kegiatan ekonomi, politik, dan kebudayaan di Nusantara pada saat itu.
Sebagai pusat perniagaan, tentunya Jawa pesisir banyak dikunjungi oleh
pedagang dari luar Jawa sehingga diharapkan para pedagang inilah yang akan
menyebarkan ajaran Islam di daerah asal mereka. Daerah Demak, Jepara, Kudus,
Pati, Juwana, dan Rembang adalah pusat perniagaan laut yang ramai pada abad
XVI sehingga memungkinkan penyebaran Islam akan bisa masif.
Silsilah Para Wali
Songo yang Berdakwah
di Tanah Nusantara
Mengenal Silsilah Keluarga Para Wali Songo yang
Berdakwah dengan Santun di Nusantara
1
Sunan Gresik
SILSILAH SUNAN GRESIK
Nabi Muhammad SAW Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib Al-Imam Husain Al-Imam Ali Zainal Abidin
Al-Imam Muhammad an-Naqib Al-Imam Ali Al-Uraidhi Al-Imam Ja’far Shadiq Al-Imam Muhammad Al-Baqir
Al-Imam Isa ar-Rumi Al-Imam Ahmad Al-Muhajir As-Sayyid Ubaidillah As-Sayyid Alwi As-Sayyid Muhammad
As-Sayyid Alwi Ammil Faqih As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath As-Sayyid Ali Khali’ Qassam As-Sayyid Alwi
Syeikh Jamaluddin Syah Jalal (Syeikh As-Sayyid Barakat Zainal Alam menikah Amira Fathimah binti Amir Husain bin
Jumadil Kubra) Muhammad Taraghay
Meinsma, J.J., 1903. Serat Babad Tanah Jawi, Wiwit Saking Nabi Adam
Dumugi ing Tahun 1647. S'Gravenhage.
Raffles, Sir Thomas Stamford, F.R.S., 1830. The History of Java, from the
earliest Traditions till the establisment of Mahomedanism. Published by John
Murray, Albemarle-Street. Vol II, 2nd Ed, Chap X, page 122.
Moquette, J.P., 1912. "De oudste Mohammedaansche inscriptie op Java end
Madura de graafsteen te Leran".
3 Wan Jamilah
binti
Ibrahim Zainuddin KELUARGA
Al-Akbar Asmaraqandi Sayyid Abbas Sayyid Yusuf
SUNAN GRESIK
menikah
2
Siti Maryam
binti Syaikh Subakir
Sayyid Abdullah
Sayyid Ahmad
Maulana Syarifah menikah Sayyid Fadhal Ali Murtadha
Moqfaroh Sarah. [Sunan Santri/ Raden Santri –
Adik Sunan Ampel]
Disebut juga sebagai Syekh Maghribi, yang kemungkinan mengisyaratkan asal keturunannya, yakni wilayah
Arab Maghrib di Afrika Utara (Maroko)
Disebut juga Kakek Bantal, karena sering menggunakan bantal sebagai sandaran al-Quran dan kitab.
GRESIK
Pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379
Diyakini, penyebar Islam pertama yang masuk tanah Jawa. Beberapa versi menyatakan bahwa
kedatangannya disertai beberapa orang.
Tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya, berlabuh di
Gerwasani atau Gresik, tepatnya di Desa Sembalo..
Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan
Majapahit, yang kebanyakan masyarakatnya masih menganut ajaran Hindu atau Budha.
Desa Sembalo sekarang adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik
Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu
menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah, wilayah dagangnya di Desa Roomo, Manyar-Gresik.
Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis dengan sikap ramah dan penuh
kedamaian, sehingga dikenal sebagai tokoh yang dikagumi dan dihormati.
SUNAN Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam (irigasi, tambak, dll). Ia merangkul masyarakat
GRESIK bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati
masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara
Maulana Malik Ibrahim lalu pergi ke Trowulan, ibukota Majapahit untuk bertemu Raja. Agus Sunyoto dalam buku
Atlas Walisongo menjelaskan bahwa meskipun Raja tidak berkenan masuk Islam, namun kehadirannya disambut
baik bahkan ia diberikan sebidang tanah di daerah pinggiran Gresik (kini dikenal dengan nama Desa Gapura).
Di Gapura Sunan Gresik membangun masjid dan pondok pesantren. Selesai membangun dan menata pondokan
tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M (Senin 12 Rabiul Awal 822 H) Maulana Malik Ibrahim wafat.
Makamnya kini terdapat di kampung Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur
MURID-MURID SUNAN GRESIK
Di antara peninggalan-peninggalan Sunan Gresik adalah
Masjid Maulana Malik
Ibrahim di Leran Gresik percampuran, asimilasi dan akulturasi
adalah salah satu tempat budaya. Hal tersebut menunjukkan bahwa Islam adalah
yang pernah dipakai
agama yang fleksibel, tidak kaku dan tidak mengandung
sebagai pesantren,
lokasinya 3-4 km dari
unsur paksaan bagi pemeluknya. Dan seharusnya metode
makam Sunan Gresik. dakwah seperti inilah yang dianut oleh para pendakwah
kontemporer saat ini. Dalam menghadapi adat istiadat,
tradisi, kepercayaan, aliran dan kelompok-kelompok yang
berbeda golongan, hendaklah yang dikedepankan adalah
sifat humanis, ramah, damai dan menebar kemuliaan.
Sunan Ampel
SILSILAH SUNAN AMPEL
Nabi Muhammad SAW Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali Al-Imam Husain 17 silsilah
bin Abi Thalib
1
Sayyid Ali Murtadho
(Raden Santri)
Siti
Zainab
Sayyid Ali Rahmad
(Sunan Ampel)
2
Dalam buku Tarikh al-Awliya’ (1942) yang berbahasa Jawa
dengan aksara pegon, Kiai Bisri Mustafa menyebutkan
bahwa kehadiran para Walisongo tidak dapat dilepaskan dari
kerajaan Champa sekitar tahun 1300-an Masehi. Di antara
keterikatan itu antara lain adanya seorang tokoh ulama
penyebar Islam bernama Ibrahim Asmaraqandi atau
masyhur dengan nama Ibrahim Asmara di Champa. Dalam
dakwahnya itu ternyata Raja/Ratu Champa masuk agama
Islam. Pernikahannya dengan keturuan Ratu Champa,
Asmaraqandi mempunyai tiga putra; Raja Pendeta/ Raden
Santri, Raden Rahmat, dan Siti Zaenab. Raden Rahmat
inilah yang dikenal sebagai Sunan Ampel.
Sunan Ampel hidup pada zaman Majapahit yang mengalami kemunduran drastis pasca ditinggal wafat Maha
Patih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk. Majapahit terpecah karena terjadi banyak perang saudara dan para
SUNAN adipati tidak loyal lagi kepada pemerintah kerajaan.
AMPEL
Kaum bangsawan dan para pangeran juga memiliki kebiasaan buruk dengan berpesta pora, berjudi dan mabuk-
mabukan. Prabu Brawijaya yang melanjutkan pemerintahan Prabu Hayam Wuruk menyadari bahwa apabila
kebiasaan tersebut dilanjutkan, maka negara akan menjadi lemah, dan jika negara lemah, dengan mudah
musuh akan menghancurkan kerajaan Majapahit.
Pada Babad Diponegoro disebutkan bahwa akhirnya Raden Rahmat (Sunan Ampel) memiliki pengaruh yang
cukup kuat di kerajaan Majapahit. Meskipun Raja Brawijaya menolak masuk Islam, namun ia memberikan
keleluasaan kepada Sunan Ampel untuk mengajarkan Islam kepada rakyatnya, asalkan dilakukan dengan tanpa
paksaan.
Raden Rahmat kemudian membangun pesantren sebagai lembaga pendidikan untuk terus mengajarkan nilai-
nilai Islam kepada masyarakat, sehingga Islam semakin berkembang di wilayah Ampel.
Pesantren tersebut mengadopsi konsep pusat pendidikan yang telah berdiri pada masa Hindu Budha. Ia tidak
pernah memaksanakn ajaran-ajaran lama untuk serta-merta dihapuskan. Bahkan ia justru menjadikannya
sebagai sarana untuk mengenalkan Islam.
Misalnya penamaan tempat ibadah dari kata ‘sanggar’ pada era Hindu Budha diganti menjahi ‘langgar’. Kata
‘shastri’ yang merujuk pada orang-orang yang membaca kitab suci agama Hindu diubah menjadi ‘santri’ yaitu
orangorang yang sedang memperdalam ajaran Islam, menggunakan istilah untuk salat dengan kata
SUNAN sembahyang yaitu berasal dari kata ‘sembah’ dan hyang.
AMPEL
Sunan Ampel tidak melakukan konfrontasi atau pemaksaan terhadap masyarakat untuk memeluk agama Islam.
Sunan Ampel yang diminta oleh kerajaan untuk mengembalikan budi pekerti dan akhlak masyarakat Majapahit
yang mengalami degradasi dan kemerosotan moral pasca wafatnya Maha Patih Gajah Mada dan Prabu Hayam
Wuruk.
Sunan Ampel menyampaikan ajaran tersebut dengan cara yang lembut dan tanpa paksaan, tanpa kekerasan dan
semua aktivitas dakwahnya dilakukan dengan cara ‘mengundang’ bukan dengan ‘menyuruh’
Diperkirakan wafat pada tahun 1481 di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
Sunan Ampel mengenalkan ajaran
yang sangat berkaitan dengan
kebiasaan masyarakat kala itu, yaitu
ajaran Moh Limo. Moh Limo berasal
dari bahasa Jawa yaitu emoh (tidak
mau) dan limo (lima).
1) Moh mabok yaitu tidak mau
mabuk, minum-minuman keras
dan mengkonsumsi arak/tuak.
2) Moh main yaitu tidak mau
berjudi, mengundi nasib dan
memasang taruhan
3) Moh madon yaitu menolak untuk
bermain perempuan yang bukan
istrinya.
4) Moh madat yaitu menolak untuk
merokok, menggunakan
narkotika dan hal-hal lain yang
memabukkan
5) Moh maling yaitu tidak mau
mencuri dan mengambil barang
yang bukan miliknya.
Merubah nama Sungai Brantas menjadi
Sungai Kali Emas
Penggunaan kata emas dan perak ini ada alasannya sendiri. Dengan menyematkan kata emas dan
perak, maka orang-orang akan berbondong-bondong datang ke Jawa Timur, terutama Surabaya
karena percaya kalau di daerah tersebut terdapat harta karun yang melimpah seperti emas dan perak.
Banyaknya orang yang berbondong-bondong datang ke Jawa Timur membuat Sunan Ampel
memanfaatkan kesempatan tersebut untuk berdakwah dan menyebarkan agama Islam.
Pada tahun 1479, Sunan Ampel mendirikan Masjid Agung Demak bersama para wali lainnya. Dan yang menjadi
penerus untuk melanjutkan perjuangan dakwah beliau di Kota Demak adalah Raden Zainal Abidin yang dikenal
dengan Sunan Demak, yang merupakan putra beliau dari istri Dewi Karimah.Sehingga Putra Raden Zainal Abidin
yang terakhir tercatat menjadi Imam Masjid Agung tersebut yang bernama Raden Zakaria (Pangeran Sotopuro).
Sistem dakwah dilakukan dengan pengenalan ajaran Islam melalui pendekatan persuasif yang
LANGKAH berorientasi pada penanaman akidah Islam yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.
DAKWAH
SUNAN AMPEL Melakukan “perang Ideologi” untuk memberantas mitos dan nila-nilai dogmatis yang bertentangan
dengan akidah Islam, di mana para ulama harus menciptakan mitos dan nilai-nilai tandingan baru yang
sesuai dengan Islam.
Berusaha menguasai kebutuhan-kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat, baik itu
kebutuhan yang bersifat material maupun spriritual. Pendekatan ini sangat ampuh dilakukan dan bisa
membuat masyarakat tertarik untuk belajar agama Islam karena merasa Islam adalah agama yang
mengajarkan untuk saling berbagi.
Makam Sunan Ampel di Surabaya
Penulis di depan Makam Siti Syarifah, putri Sunan Ampel. Lokasi di Tuban
3
Sunan Bonang
SILSILAH SUNAN BONANG
Nabi Muhammad SAW Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib Al-Imam Husain Al-Imam Ali Zainal Abidin
Al-Imam Muhammad an-Naqib Al-Imam Ali Al-Uraidhi Al-Imam Ja’far Shadiq Al-Imam Muhammad Al-Baqir
Al-Imam Isa ar-Rumi Al-Imam Ahmad Al-Muhajir As-Sayyid Ubaidillah As-Sayyid Alwi As-Sayyid Muhammad
As-Sayyid Alwi Ammil Faqih As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath As-Sayyid Ali Khali’ Qassam As-Sayyid Alwi
Maulana Makdum
Raden Faqih/
Ibrahim / Sunan Bonang / Sunan
Wadat Anyakrawati
Sunan Ampel 2
Nama Sunan Bonang diberikan kepadanya karena salah satu media yang
ia pergunakan untuk berdakwah adalah menggunakan alat musik
tradisional yaitu gamelan, dan salah satu instrument musiknya
bernama bonang. Dengan strategi dan media dakwah tersebut semakin
banyak masyarakat yang menjadi pengikutnya, sehingga lama kelamaan
Raden Makdum Ibrahim lebih dikenal dengan nama Sunan
Bonang.
Bonang juga nama sebuah desa di kabupaten Rembang. Ada juga pendapat, nama
Bonang berasal dari suku kata bon + nang = babon + menang = baboning
kemenangan = induk kemenangan.
Sunan Bonang mempelajari ilmu agama di
pesantren Sunan Ampel, kepada ayahnya sendiri,
jadi santri bersama Sunan Giri, Raden Fatah,
Raden Kusen (adik Raden Fatah). Kemudian ia dan
Sunan Giri melanjutkan memperdalam ilmu agama
Islam sampai keluar pulau Jawa bahkan sampai di
Pasai, yang pengajarnya berasal dari Timur Tengah
maupun India, di sana beliau berguru kepada
Syaikh Maulana Ishaq (ayah Sunan Giri) dan para
guru tasawuf yang berasal dari Baghdad, Mesir,
Arab, persia atau Iran.
MENDIRIKAN DAN MENGASUH PESANTREN
Sekembalinya dari menuntut ilmu, Sunan Ampel memerintahkan Sunan Bonang untuk melakukan
dakwah di daerah Tuban, Jawa Timur. Sunan Bonang kemudian mendirikan pondok pesantren
sebagai pusat dakwah dan menyebarkan agama Islam sesuai dengan adat Jawa. Sunan Bonang lalu
ke Kediri, di sana beliau mendirikan Masjid Sangkal Daha.
Sunan Bonang kemudian menetap di Bonang desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer
timur kota Rembang. Di desa itu beliau membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren
yang kini dikenal daerahnya dengan nama “Watu Layar”.
Metode dakwahnya menyesuaikan diri dengan kebudayaan masyarakat Jawa yang menggemari wayang dan musik
gamelan. Beliau menyerap budaya yang sudah ada kemudian dipadukan dengan ajaran dan nilai-nilai Islam. Sunan
Bonang dianggap memiliki kreatifitas dan daya seni yang luar biasa karena selain memainkan alat musik ia juga
berdakwah.
SEKILAS
SUNAN Karya Sastra Sunan Bonang banyak menggubah sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil. Antara lain Suluk Wijil
BONANG (naskah asli Suluk Wujil disimpan di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda). Sunan Bonang juga menggubah
tembang Tombo Ati. Sunan Bonang sering menyenandungkan syair-syair tersebut di kerajaan Majapahit, sekaligus
sebagai sarana dakwah sehingga semakin banyak masyarakat yang menjadi pengikutnya memeluk ajaran Islam.
Suluk sendiri memiliki arti mengenal atau mendekatkan diri kepada Allah Swt., sehingga syair-syair yang diciptakan
tidak hanya memiliki keindahan dari unsur sastra, tetapi juga berisi tentang ajaran mengenai kecintaan kepada Sang
Pencipta Allah Swt
Apa pula sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa yang dahulu diperkirakan merupakan karya Sunan Bonang dan oleh ilmuwan
Belanda seperti Schrieke disebut Het Boek van Bonang atau buku (Sunan) Bonang. Tetapi oleh G.W.J. Drewes, seorang pakar
Belanda lainnya, dianggap bukan karya Sunan Bonang, melainkan dianggapkan sebagai karyanya.
Ahli Ushuluddin
KELUARGA SUNAN
BONANG
Sunan Bonang tidak pernah melakukan pemaksaan dalam penyebaran agama Islam. Beliau juga tidak pernah melakukan
perlawanan terhadap orang-orang yang menentangnya
Sunan Bonang berbaur dan beradaptasi dengan masyarakat setempat, ia mampu menyatu dengan aspek-aspek kehidupan
yang kemudian ia manfaatkan untuk menyisipkan nilai-nilai Islam kepada masyarakat.
Memang seharusnya demikianlah strategi dakwah yang harus dilakukan untuk menyampaikan ajaran kepada masyarakat,
dilakukan dengan penuh kedamaian, tidak konfrontatif, penuh kelembutan dan kasih sayang.
Di depan Makam Putri Cempo, santri
Sunan Bonang, ibu dari Raden Fattah
Penulis di depan Makam Sunan
Makam Sunan Bonang berada di empat tempat, yaitu di
Bonang, Tuban. Kelurahan Kutorejo Tuban, Kecamatan Tuban. Di Desa Bonang,
Sunan Bonang wafat pada usia 60 th dan Lasem. Makam lainnya berada di Bawean (Desa Pudakit Barat,
dimakamkan di Tuban 1525 M. Kecamatan Sangkapura Gresik), dan di Madura.
4
Sunan Drajat
SILSILAH SUNAN DRAJAT
Nabi Muhammad SAW Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib Al-Imam Husain Al-Imam Ali Zainal Abidin
Al-Imam Muhammad an-Naqib Al-Imam Ali Al-Uraidhi Al-Imam Ja’far Shadiq Al-Imam Muhammad Al-Baqir
Al-Imam Isa ar-Rumi Al-Imam Ahmad Al-Muhajir As-Sayyid Ubaidillah As-Sayyid Alwi As-Sayyid Muhammad
As-Sayyid Alwi Ammil Faqih As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath As-Sayyid Ali Khali’ Qassam As-Sayyid Alwi
Ia melakukan dakwah pertama kali di wilayah Gresik. Dakwahnya dilakukan dengan menyusuri pantai utara Jawa. Dakwahnya dengan
menggunakan pendekatan kultural. Yakni dengan menciptakan tembang pangkur. Perhatian serius pada masalah sosial dan orientasi kegotong
royongan.
Sunan Drajat lalu mengambil tempat di desa Jelak, Kelurahan Banjarwati, Kecamatan Paciran Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan sebagai
pusat kegiatan dakwahnya sekitar akhir abad 15 atas perintah ayahnya. Membangun mushola, dijadikan pusat dakwah, lalu dijadikan pesantren.
Setelah ramai, daerahnya diganti menjadi Banjaranyar. Setelah masyarakat dianggap mapan dalam ilmu agama, beliau hijrah ke Desa Drajat,
Paciran-Lamongan (kini jadi komplek makam).
SEKILAS Sunan Drajat lalu diberikan wilayah seluas 9 hektar oleh Sultan Demak, beliau memilih tempat di lokasi pegunungan karena dianggap aman dari
SUNAN banjir. Bukit tersebut kemudian diberi nama Ndalem Dhuwur (atas usulan Sunan Giri), yang di atasnya kemudian Sunan Drajat mendirikan masjid.
DRAJAT Dakwahnya santun, tidak memaksa, tidak menyakiti. Beliau memegang kendali di wilayah perdikan Drajat sebagai otonom kerajaan Demak selama
36 tahun.
Beliau sebagai Wali penyebar Islam yang terkenal sosiawan sangat memperhatikan nasib kaum fakir miskin, terlebih dahulu mengusahakan
kesejahteraan sosial baru memberikan ajaran. Motivasi lebih ditekankan pada etos kerja keras, kedermawanan untuk mengentas kemiskinan dan
menciptakan kemakmuran. Usaha kearah itu menjadi lebih mudah karena Sunan Drajat memperoleh kewenangan untuk mengatur wilayahnya
yang mempunyai otonomi.
Sebagai penghargaan atas keberhasilannya menyebarkan agama Islam dan menanggulangi kemiskinan di Lamongan, beliau memperoleh gelar
Sunan Mayang Madu dari Raden Patah Sultan Demak I pada tahun saka 1442 atau 1520 Masehi.
Beliau wafat di Sedayu-Gresik abad ke-16 (tahun 1522) dan dimakamkan di Desa Drajat, wilayah Lamongan. dan peninggalan-peninggalannya
disimpan sebagai bukti sejarah perkembangan Islam di kota Gresik dan kota Lamongan Jawa Timur.
Raden Syarifudin berdakwah selama
36 tahun di desa Drajat. Atas
kesuksesannya tersebut maka orang-
orang menyebut beliau dengan nama
“Kadrajat” yang artinya terangkat
derajatnya. Dari sebutan itulah
akhirnya muncul nama Sunan Drajat.
Mengayomi masyarakat, dengan kearifan dan kebijaksanaan, dan penyelenggaraan pendidikan di pesantren
Menjadi bagian penting masyarakat, memberikan nasihat dan fatwa untuk penyelesaian sebuah masalah.
Melalui kesenian tradisional yaitu melalui tembang pangkur (pangudi isine Qur’an/mendalami makna Al-Qur’an) dengan iringan
gending gamelan
Ponpes Sunan Drajat yang didirikan oleh Raden Qosim atau Sunan Drajat
memang sudah lenyap ditelan masa ratusan tahun yang lalu. Kini tinggal
sumur tua dan pondasi bekas langgar yang tersisa. Tahun 1977, Ponpes
Sunan Drajat kembali dibangun di Desa Banjaranyar, Paciran, Lamongan
oleh Prof. Dr. (H.C). KH. Abdul Ghafur, yang berada tepat di atas reruntuhan
situs pesantren peninggalan Sunan Drajat.
AJARAN SOSIAL SUNAN DRAJAT
Sunan Drajat juga mengajarkan tata cara hidup sebagai makhluk sosial yang harus saling membantu.
Filosofi Sunan Drajat dalam pengentasan kemiskinan kini terabadikan dalam sap tangga ke tujuh dari
tataran komplek Makam Sunan Drajat.
1 Memangun resep tyasing Sasoma (kita selalu membuat senang hati orang lain)
2 Jroning suka kudu éling lan waspada (di dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada)
3 Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah (dalam perjalanan untuk mencapai cita–cita luhur kita
tidak peduli dengan segala bentuk rintangan)
5 Heneng – Hening – Henung (dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita
akan mencapai cita–cita luhur).
6 Mulya guna Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan salat lima waktu).
Wenehono pangan marang wong kang kaliren (memberi makan kepada orang yang kelaparan)
Wenehono sandhang marang wong kang kawudan (memberi pakaian kepada orang yang telanjang)
Wenehono payung marang wong kang kodanan (memberikan payung kepada orang yang kehujanan)
Sunan Drajat banyak memberikan pesan-pesan yang menjadi Atlas Wali Songo (2012), Agus
pengingat bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang Sunyoto mengisahkan
menekankan pada perdamaian, baik perdamaian kepada bahwasanya Sunan Drajat
mendidik masyarakat sekitar
Yang Maha Kuasa maupun perdamaian kepada diri sendiri. Ia
supaya memiliki kepedulian
selalu mengingatkan murid-muridnya agar selalu bersikap terhadap nasib fakir miskin,
saling tolong menolong terhadap sesama demi terciptanya mengutamakan kesejahteraan
sebuah tatanan kehidupan masyarakat yang akur dan umat, serta memiliki empati.
Makmur.
Sunan Drajat meninggal tahun 1522 Masehi. Beliau wafat dan
dimakamkan di desa Drajat, kecamatan Paciran Kabupaten
Lamongan Jawa Timur. Kompleks Makam Sunan Drajat terletak di
sebuah bukit di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Kabupaten
Lamongan, Provinsi Jawa Timur. Di dalam kompleks pemakaman
Sunan Drajat juga terdapat pintu Gapura paduraksa dengan hiasan
cungkup, pagar kayu dengan motif sulur dan teratai, serta larangan
untuk mengambil gambar. Kompleks pemakaman beliau terbagi
menjadi tujuh halaman dan saat ini diakui sebagai salah satu cagar
budaya di daerah tersebut.
Penulis di Makam Sunan Drajat
Untuk menghormati jasa-jasa Sunan Drajat sebagai seorang Wali penyebar
agama Islam di wilayah Lamongan dan untuk melestarikan budaya serta benda-
benda bersejarah peninggalannya Sunan Drajat, keluarga dan para sahabatnya
yang berjasa pada penyiaran agama Islam, Pemerintah Kabupaten Lamongan
mendirikan Museum Daerah Sunan Drajat disebelah timur Makam. Museum ini
telah diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur, tanggal 1 Maret 1992. Pada tahun
1993 sampai 1994 pembenahan dan pembangunan Situs Makam Sunan Drajat
dilanjutkan dengan pembangunan pagar kayu berukir, renovasi paséban, balé
ranté serta Cungkup Sitinggil yang diresmikan Gubernur Jawa Timur M. Basofi
Sudirman tanggal 14 Januari 1994.
Museum Sunan Drajat
SUNAN SENDANG DHUWUR
Ia hidup semasa dengan Sunan Drajat. Sunan Sendang Duwur wafat pada 1535
masehi, sedangkan Sunan Drajat wafat pada 1522 masehi. Nama aslinya adalah
Raden Noer Rohmat. Ia adalah putra Abdul Kohar bin Malik bin Sultan Abu Yazid yang
berasal dari Baghdad. Gelar Sunan Sendang Duwur didapat dari pemberian Sunan
Drajat. Makam Sunan Sendang Duwur ini mempunyai bentuk yang lebih minimalis serta
artistik. Letak Makam Sunan Sendang Duwur berada di area belakang. Di sebelah
makam, ada masjid besar yang berdiri kokoh dan dibangun pada 1531 masehi. Ada
yang menyebutkan, masjid ini dipindahkan oleh Sunan Drajat dari Mantingan Jepara
dalam satu malam atas permintaan Ratu Kalinyamat. Sebagian bangunan dari masjid
ini sudah direkonstruksi karena sudah tua, tapi kontruksi aslinya tersimpan di dalam
area makam.
5
Sunan Giri
SILSILAH SUNAN GIRI
Nabi Muhammad SAW Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib Al-Imam Husain Al-Imam Ali Zainal Abidin
Al-Imam Muhammad an-Naqib Al-Imam Ali Al-Uraidhi Al-Imam Ja’far Shadiq Al-Imam Muhammad Al-Baqir
Al-Imam Isa ar-Rumi Al-Imam Ahmad Al-Muhajir As-Sayyid Ubaidillah As-Sayyid Alwi As-Sayyid Muhammad
As-Sayyid Alwi Ammil Faqih As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath As-Sayyid Ali Khali’ Qassam As-Sayyid Alwi
Sunan Giri
KELUARGA SUNAN GIRI
menikah
Putri dari Sultan Syaikh Husein
Nizamul Muluk dari Delhi Jamaluddin Akbar
Maulana Maulana Muhammad As-Sayyid Barakat
Muhammad Al-Baqir 'Ali Akbar Zainal Alam
Prabu Menak Sembuyu / Mina’
Sembayu (Raja Blambangan)
Dewi Murtasiyah
menikah 1 binti Sunan Pangeran Pasir
Putri Sedo
Ampel Batang / Raden
Supeno
Sunan Giri
Ratu Gede Sunan Dalem Sunan Nyai Ageng Sunan Kidul Ratu Gede Sunan Kulon Sunan Waruju /
Kukusan Tegalwangi Selulur Saworasa Pangeran
Weruju
MASA KECIL Nama asli Raden Paku,putra dari Raden Maulana Ishak. Lahir di Blambangan (Banyuwangi) pada abad ke-15,
sekitar tahun 1442M / 1365 Saka. Pemberontakan Patih Blambangan (Bajul Sengara) yang mengancam sang
Prabu Menak bayi, mengharuskan dirinya dibuang ke laut. Versi lainnya, Menak Sembuyu marah karena diajak masuk
Sembuyu Islam, Maulana Ishaq diusir, terjadi wabah, Sunan Giri dianggap penyebab dan dijadikan tumbal lalu dibuang
(Blambangan) ke laut. Namun versi ini sepertinya kurang bisa diterima, karena wabah itu terjadi sebelum pernikahan Dewi
Sekardadu.
Dewi Ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) - yakni Sabar dan Sobir -, yang hendak berdagang ke Bali,
Sekardadu peti itu bercahaya, diambil dan dibawa ke Gresik.
Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan pemilik kapal, Nyai Gede Pinatih / Nyai Gedhe / Nyai
Joko Samudro/Raden Gedhe Tundha Pinatih / Nyai Ageng Pinatih. Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi tersebut Joko
Paku/Prabu Satmata/ Samudro.
Maulana Ainul Yaqin/
Sunan Giri Ketika sudah cukup dewasa, di umur 11 tahun, Joko Samudro dibawa ibu angkatnya ke Ampeldenta (kini
di Surabaya) untuk belajar agama kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel mengajari semua ilmu agama.
Sunan Ampel lalu mengirimnya untuk haji beserta Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), namun singgah dulu
untuk mendalami ajaran Islam di Pasai-Aceh. Mereka diterima oleh Syaikh Maulana Ishaq (Syaikh Awwalul
Islam) yang tak lain adalah ayah Joko Samudro.
Sunan Giri dikenal dengan banyak nama diantaranya: Raden Paku. Prabu Satmata. Sultan Abdul Faqih.
Raden ‘Ainul Yaqin. Joko Samudra.
Ketika diantar Nyi Gede Pinatih ke Sunan Ampel, kepalanya dipegang dan diusap-usap. Sunan Ampel lalu
menanyakan asal-usul Joko Samudro. Kanjeng Sunan Ampel lalu merubah namanya menjadi Raden
Paku. Sunan Ampel menjelaskan agar putranya nanti bisa bisa menjadi
pepaku dunia, dipatuhi orang seluruh jawa.
Setelah dari Pasai Aceh, disebutkan bahwa Sunan Giri dan Sunan Bonang kemudian bersama-sama pergi belajar
ke tanah Arab. Versi lainnya, Syaikh Maulana Ishaq melarang mereka lanjut Haji, namun kembali ke Tanah Jawa.
Setelah kembali ke Jawa, ia kemudian mendirikan sebuah pesantren giri di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti,
Kebomas, di selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, giri berarti gunung. Sejak itulah ia yang sebelumnya dikenal
dgn nama Raden ‘Ainul Yaqin, mulai dikenal masyarakat dgn Sunan Giri.
Raja Majapahit memberinya keleluasaan untuk mengatur pemerintahan. Dan karena hal tersebutlah pesantren
Sunan Giri berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut dengan Giri Kedaton
Pendiri dan pembina pesantren di Giri dengan mengkader muridnya menjadi juru dakwah yang dikirim ke Madura,
SEKILAS Lombok, Kalimantan, Sulaweesi, Maluku, Bawean, Kangean, Ternate dan Tidore. Bahkan konon raja-raja di
SUNAN GIRI daerah tersebut, belum dianggap sah jika belum direstui oleh Sunan Giri.
Terjadi konflik politik saat Majapahit diambil alih Raja Keling dari Kediri (masih keturunan raja Majapahit
sebelumnya). Pengaruh Sunan Giri selama masa pemerintahan tersebut, turut melatarbelakangi berdirinya sebuah
kerajaan yang bernama Demak Bintoro (Kerajaan Islam pertama di Jawa).
Pengaruh Giri Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya
ditumbangkan oleh Sultan Agung (dari Kerajaan Mataram), karena tidak ingin ada Matahari Kembar di Jawa.
Beliau wafat pada tahun 1506 dan dimakamkan di Dusun Giri, Desa Giri-Gresik, Jawa Timur.
Sisa reruntuhan Kesunanan Giri atau Giri
Kedaton, hanya tinggal pondasi dan sebuah
mushola. Dulu di sini berdiri sebuah
Kerajaan Islam yang terletak di Gresik, Jawa
Timur dipimpin Sunan Giri dan keturunannya
pada abad ke-15 hingga ke-17, setelah itu
Giri ditaklukkan oleh Kesultanan Mataram
pada tahun 1636 M.
Di kalangan Wali Songo, Sunan Giri dikenal sebagai seorang wali yang ahli dalam bidang politik ketatanegaraan. Pandangan
politiknya dijadikan rujukan, bahkan ketika Raden Patah mendirikan Kerajaan Demak, Sunan Giri dipercaya meletakkan dasar-
dasar kerajaan masa perintisan atau ahlal-halli wa al-‘aqd (sebuah lembaga atau dewan yang berwenang dalam memutuskan
tentang pengangkatan seorang pemimpin dalam sistem politik Islam/ semacam DPR dalam era pemerintahan modern) di
kerajaan Demak Bintoro.
Dalam bidang budaya, Sunan Giri mengembangkan dakwah Islam dengan memanfaatkan seni pertunjukan yang menarik minat
masyarakat. Sunan Giri di kenal sebagai pencipta tembang Asmaradhana dan Pucung, Padhang Bulan, Jor, Gula Ganti dan
Cublak-cublak Suweng. Permainan anak yang dibuat beliau: Jelungan, Jamuran, Gendi Gerit, dan lainnya.
Daftar Penguasa Giri Kedaton:
1. Sunan Giri/Prabu Satmata (1481–1506)
2. Sunan Dalem/Sunan Giri II (1506–1546)
3. Sunan Seda ing Margi/Sunan Giri III (1546–1548)
4. Sunan Prapen/R.M. Pratikal/Sunan Giri IV (1548–1605)
5. Sunan Kawis Guwa/Sunan Giri V (1605–1616). Ini masa
dimana Giri Kedaton ditaklukan Kerajaan Mataram pada
masa Sultan Agung, dibawah pasukan Pangeran Pekik (ipar
Sultan Agung). Setelah itu penguasa Giri Kedaton tidak lagi
memakai kata ‘sunan’, namun menjadi ‘panembahan’, dan
wilayahnya tunduk pada kekuasaan Mataram.
6. Panembahan Ageng Giri (1616–1636)
7. Panembahan Mas Witana/Sideng Rana (1638–1660)
8. Pangeran Puspa Ita / Pangeran Singosari (1660–1680).
Ditaklukan VOC.
Dikutip dari Taedjan Hadidjaja dalam Serat Centhini Bahasa Indonesia Jilid I-A
(1978), terdapat ramalan bahwa orang yang bisa meruntuhkan Kedaton Giri adalah
keturunan asli dari Sunan Ampel, guru Sunan Giri. Entah kebetulan atau tidak,
Pangeran Pekik masih punya garis keturunan dengan Sunan Ampel.
MAKAM SUNAN Sunan Giri wafat pada
GIRI malam Jumat, 24 Rabiul
Awal tahun 913 Hijriah atau
1428 Saka atau 1506
Masehi dalam usia 63
tahun.
Beliau dimakamkan di
sebelah utara padepokan
Giri Kedaton. Makam
Sunan Giri terletak di Desa
Giri, Kecamatan Kebomas,
Kabupaten Gresik.
Komplek makamnya
terletak di tengah puncak
bukit Giri.
Penulis di samping Makam Syaikh Maulana Ishaq Al-
Maghrobi, ayah Sunan Giri. Lokasi di Tuban
Sunan Kalijaga
Adipati Ponorogo Arya Wiraraja atau Arya Adikara atau Arya Ranggalawe.
Banyak Wide.
SILSILAH
Arya Teja I SUNAN
(Abdurrahman, Bupati Tuban).
KALIJAGA
Arya Teja II.
Syaikh Husein
Jamaluddin Akbar
Arya Teja III.
Dewi Dewi Raden Umar Ratu Nyai Ageng Sunan Raden Nyai Ageng
Rukayah Sofiah Syahid Pembayun Panegak Hadi Abdurrahman Ngerang
(Sunan Muria)
GURU-GURU SUNAN KALIJAGA
MURID-MURID SUNAN KALIJAGA
Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada 1450 m dengan nama Raden Said. Dia adalah putra adipati Tuban yang
bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya,
Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman.
Seorang bangsawan, meskipun demikian ia hidup tanpa tata cara bangsawan. Raden Said menjalani kehidupan
rakyat biasa, ia dikenal mampu membaur dengan berbagai golongan termasuk rakyat jelata sekali pun
Kondisi sosial masyarakat saat itu cukup memprihatinkan. Banyak pejabat yang memungut upeti dari rakyat tetapi
tidak disetorkan ke kerajaan. Mereka melakukan tindakan korupsi sedangkan upeti yang harus dibayarkan oleh
rakyat jumlahnya sangat tinggi.
SEKILAS
SUNAN Menasihati para pejabat korup, kegaduhan di pemerintahan daerah di Tubah. Mencuri kas daerah dan dibagikan ke
KALIJAGA rakyat miskin, beberapa kali hingga akhirnya diusir ayahnya.
Setelah diusir dan berkelana seorang diri itulah, Raden Said bertemu dengan Sunan Bonang, yang kemudian
menjadi gurunya dengan ujian menjaga tongkat Sunan Bonang di pinggir sungai selama tiga tahun. Setelah
menyerap ilmu dari Sunan Bonang, Raden Said lantas berguru kepada Sunan Gunung Jati di Cirebon
Raden Said kemudian menjadi salah satu dari sembilan wali dengan sebutan Sunan Kalijaga dan bertugas untuk
menyebarkan Islam di tanah Jawa. Ia menyebarkan ajaran Islam dengan berdakwah baik melalui kegiatan
pemerintahan, keagamaan, maupun kesenian. Sunan Kalijaga menjadi salah satu wali yang bersama-sama
membangun Masjid Agung Demak bersama beberapa wali yang lain.
Dakwahnya intelektual dan aktual sehingga para bangsawan dan cendekiawan banyak yang bersimpati padanya.
Beliau yang mengembangkan wayang menjadi media dakwah dengan cerita bercorak Islami. Mengembangkan seni
suara, seni ukir, seni busana dan seni pahat dan kesusastraan.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya.
Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi.
Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Ia menggunakan
seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang
SEKILAS populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul.
SUNAN
KALIJAGA
Segala hal yang berasal dari kebudayaan lama dengan corak Hindu-Budha, masih diadopsi lalu dimodifikasi dan
dijadikan sebagai media dakwah oleh Sunan Kalijaga untuk memasukkan ajaran Islam ke dalam kehidupan
masyarakat Jawa.
Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai seorang politikus yang menjadi penasehat kerajaan Demak. Pengaruh
pemikiran Sunan Kalijaga banyak mewarnai kebijakan-kebijakan di Kasultanan Demak sehingga menjadi kerajaan
Islam yang besar di tanah Jawa.
Beliau wafat pada tahun 1580, saat berumur 131 tahun, dan dimakamkan di Desa Kadilangu, dekat kota Demak
(Bintara). Makam ini hingga sekarang masih ramai diziarahi orang.
Sejarah Hidup yang Panjang
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai 131 tahun, sejak pertengahan abad ke-15 sampai
akhir abad ke-16. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478),
Kesultanan Demak (1481-1546), Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang
yang lahir pada 1546-1568 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan
Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon (Masjid
Merah) dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang
utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah Adipati
Pandanaran,
Adipati Kartasura, Adipati Kebumen, Adipati Banyumas, serta Adipati Pajang.
Sunan Kalijaga menggunakan wayang sebagai salah satu media dakwahnya. Beliau mengenalkan Islam melalui pertunjukan wayang
yang sangat digemari masyarakat. Pada saat beliau berdakwah agama Islam sebagai dalang yang berkeliling di wilayah Pajajaran
hingga Majapahit. Di dalam pertunjukan wayang, lakon yang dibawakan oleh Sunan Kalijaga tidak hanya mengangkat kisah
Mahabarata dan Ramayana, terdapat pula lakon yang digemari oleh masyarakat yaitu Dewa Ruci dan Punakawan / Pandawa.
Seni Ukir Dalam menyebarkan agama Islam, Sunan Kalijaga menggunakan seni ukir yang berbentuk dedaunan bukan berbentuk
manusia dan hewan, karena sejak para Wali mengembangkan dakwah Islam, seni ukir yang berbentuk manusia dan hewan sudah
tidak dipergunakan lagi. Seni ukir dedaunan diawali atau diciptakan oleh Sunan Kalijaga. Seni ukir tersebut dapat dijumpai pada
guyau (alat menggantungkan gamelan) dan pada rumahrumah adat di sekitar Demak dan Kudus.
Gamelan digunakan sebagai media dakwah oleh Sunan Kalijaga ketika pertunjukan dan acara lainnya. Dalam pertunjukan wayang,
ketukan gamelan sudah digubah Sunan Kalijaga agar iramanya sesuai dengan lakon yang akan dimainkan. Selain digunakan dalam
pertunjukan wayang, gamelan digunakan untuk mengundang masyarakat agar datang ke masjid. Gamelan juga digunakan saat
acara Grebeg dan Sekaten yang bertujuan untuk mengundang banyak perhatian dari masyarakat.
Sunan Kalijaga dalam berdakwah juga menggunakan tembang-tembang yang merupakan kebudayaan dan kesenian dari
masyarakat Jawa. Sunan Kalijaga menciptakan tembang macapat Dhandanggulo dengan nada yang memiliki toleransi antara melodi
Arab dan Jawa. Lagu lain yang diciptakan Sunan Kalijaga adalah ilir-ilir, gundul-gundul pacul, Kidung Rumeksa ing Wengi, Lingsir
Wengi, Suluk Linglung, dll
Penyusun di samping Makam Sunan Kalijaga
bersama santri SMA Semesta, Kadilangu-Demak
Sunan Kudus
SILSILAH SUNAN KUDUS
Nabi Muhammad SAW Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib Al-Imam Husain Al-Imam Ali Zainal Abidin
Al-Imam Muhammad an-Naqib Al-Imam Ali Al-Uraidhi Al-Imam Ja’far Shadiq Al-Imam Muhammad Al-Baqir
Al-Imam Isa ar-Rumi Al-Imam Ahmad Al-Muhajir As-Sayyid Ubaidillah As-Sayyid Alwi As-Sayyid Muhammad
As-Sayyid Alwi Ammil Faqih As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath As-Sayyid Ali Khali’ Qassam As-Sayyid Alwi
Sunan Kudus (Habib Ja'far Shadiq) adalah putra Habib Utsman Haji Sunan Ngudung.
Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Habib Ja'far Shodiq (Sunan
Kudus) bin Utsman Haji Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadho bin Ibrahim Zainuddin
Al-Akbar As-Samarqandi bin Husain Jamaluddin Al-Akbar Jumadil Kubro bin Ahmad
Jalaluddin Syah bin Abdullah Amirkhan bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammul Faqih
bin Muhammad Shohib Marbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi Ba 'Alawi bin Muhammad
7
Maula Ash-Shouma'ah bin Alwi Al-Mubtakir bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa Ar- Raden Amir Haji/
Rumi bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shodiq bin Muhammad Al-Baqir Jakfar Shadiq/
bin Ali Zainal Abidin bin Imam Husain bin Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad. Sunan Kudus
ANAK ISTRI
SUNAN KUDUS 1
Dewi Rukhill (belum
diketahui silsilah Dewi
Rukhill yang dimaksud)
Putri Pecat
menikah 2 Tanda (Putri Raden Amir
Adipati Terung) Hassan
Sunan Kudus
Nyai Ageng Panembahan Panembahan Panembahan Panembahan Panembahan Ratu Pradabinabar (menikah Panembahan
Pambayun Palembang Mekaos Qadhi Karimun Kali dengan Pangeran Pancawati, Joko (wafat
(Raden Amir Honggokusumo Panglima Sunan Kudus) sewaktu masih
Hamzah) muda)
GURU-GURU SUNAN KUDUS
Ia mandalami agama Islam melalui ayahnya sendiri, sejak kecil hingga menginjak masa remaja. Sejak kecil ia memang bercita-cita
untuk menjadi juru dakwah dan menyebarkan ajaran Islam. Selain memperdalam ilmu agama Islam melalui ayahnya, ia juga
belajar ilmu agama kepada Kiai Telingsing dan Sunan Ampel. Kiai Telingsing adalah seorang ulama yang berasal dari Tiongkok,
bernama asli Ling Sing, yang datang ke tanah Jawa bersama dengan armada laut Laksamana Cheng Hoo. Mereka datang dari
daratan Tiongkok untuk menyebarkan Islam, juga untuk mengikat tali persaudaraan dengan orang Jawa.
Sunan Kudus juga belajar kepada Sunan Kalijaga, Ki Ageng Ngerang, dan Sunan Ampel, ia ahli dalam ilmu fiqh, usul fiqh, tauhid,
hadis dan tafsir, oleh karena itu beliau dijuluki waliyulilmi. Sunan Kudus juga mempelajari ilmu kemasyarakatan, politik, budaya, seni
dan perdagangan.
SUNAN Menyebarkan Islam di Kudus dan sekitarnya. Keinginannya adalah menyebarkan agama Islam di tengah masyarakat yang masih
KUDUS menganut Hindu-Budha. Ia berhadapan dengan masyarakat yang taat kepada kepercayaan lamanya dan sulit untuk diubah.
Namun berkat kesungguhan dan ketekunannya, ia dapat mengubah masyarakat yang beragama Hindu-Budha menjadi pemeluk
agama Islam. Penyebaran agamanya dilakukan dengan pendekatan kultural, menciptakan berbagai cerita agama, gending mijil.
Sunan Kudus pernah menjabat sebagai panglima perang untuk Kesultanan Demak, juga Hakim Pengadilan Demak.
Di masa pemerintahan Sultan Prawoto (Raja Demak ke-4), Sunan Kudus menjadi penasihat bagi Arya Penangsang (Adipati Jipang).
Sunan Kudus menggunakan toleransi sebagai sarana penarik masyarakat untuk datang untuk mendengarkan dakwahnya.
Pada tahun 1550, Sunan Kudus meninggal dunia saat menjadi Imam sholat Subuh di Masjid Menara Kudus, dalam posisi sujud.
kemudian dimakamkan di lingkungan Masjid Menara Kudus.
Ketika terjadi perselisihan internal di kerajaan Demak, Sunan Kudus kemudian pindah ke kawasan Tajug, di kawasan
Tajug ini, Sunan Kudus tidak lagi aktif di dunia politik dan fokus menyebarkan dakwah Islam. Disana Sunan Kudus
mendirikan sebuah masjid bernama Al-Aqsa pada tahun 1549 Masehi. Hingga masjid tersebut menjadi pusat dari kota
Kudus kala itu. Dari masjid inilah, perjuangan Sunan Kudus mensyiarkan agama islam dimulai. Pendekatannya tanpa
paksaan, dan menghormati nilai kepercayan pra islam yang masih dianut oleh masyarakat sekitar.
Sunan Kudus juga membangun Menara Kudus yang merupakan Pada tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah mesjid di desa
gabungan kebudayaan Islam dan Hindu yang juga terdapat Masjid Kerjasan, Kudus Kulon, yang kini terkenal dengan nama Masjid Agung
yang disebut Masjid Menara Kudus. Kudus dan masih bertahan hingga sekarang.
METODE DAKWAH SUNAN KUDUS
Metode dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kudus adalah mengadopsi cara-cara yang telah dilakukan
sebelumnya oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang. Metode dakwah Sunan Kudus adalah sebagai berikut:
Tidak menggunakan jalan kekerasan atau radikalisme untuk mengubah masyarakat yang masih taat dengan kepercayaan
lamanya. Ia memberikan kelonggaran terhadap tradisi yang sudah berkembang sejak lama, namun pelan-pelan ia sisipkan
ajaran Islam kedalamnya.
Jika ada tradisi atau kebiasaan buruk yang berkembang di masyarakat, maka selagi hal tersebut dapat dirubah, maka Sunan
Kudus berusaha merubahnya dengan pelan-pelan
Mengembangkan prinsip tutwuri handayani yaitu turut membaur dan ikut serta dalam kegiatan masyarakat, dan sedikit demi
sedikit menanamkan pengaruh lalu berkembang menjadi prinsip tutwuri hangiseni yaitu perlahan-lahan menberikan nuansa
Islam di dalamnya.
Sunan Kudus memahami bahwa ada 8 (delapan) ajaran pada agama Budha yang dikenal dengan Asta Sanghika Marga, yang
kemudian simbol jumlah 8 tersebut dijadikan sebagai jumlah pancuran wudlu yang ia bangun. Asta Sanghika Marga tersebut adalah:
1) Memiliki pengetahuan yang benar 2) Mengambil keputusan yang benar 3) Berkata yang benar 4) Bertindak yang benar 5) Hidup
dengan cara yang benar 6) Bekerja dengan benar 7) Beribadah dengan benar 8) Menghayati agama dengan benar.
Terhadap persoalan adat istiadat, Sunan Kudus tidak serta merta menentang masyarakat yang sering menabur bunga di jalan,
meletakkan sesajen di kuburan, dan adat-adat lain yang dianggap melenceng dari ajaran Islam dan mengandung unsur syirik.
Namun Sunan Kudus memodifikasinya. Salah satunya adalah dengan cara mengubah fungsi sesajen yang berupa makanan, lebih
baik disedekahkan kepada orang yang kelaparan, permohonan kepada nenek moyang dan roh halus, diarahkan untuk memohon
hanya kepada Allah Swt., memodifikasi makna-makna yang ada dalam upacara mitoni yang disakralkan oleh umat Hindu-Budha
sebagai ucapan syukur karena telah dikaruniai keturunan dan lain-lain.
MAKAM SUNAN KUDUS
Penulis di dekat Masjid dan Menara Kudus bersama
santri SMP-SMA Semesta
Sunan Kudus memberikan teladan yang sangat berguna yaitu strategi dakwah yang masih relevan kiranya diterapkan
di era modern saat ini, tentu dengan menyesuaikan kultur dan karakter masyarakat di sekitar kita, dan kecerdasan
dalam merumuskan strategi yang tepat tanpa melukai dan menyakiti hati siapa pun. Dan inilah yang dimaksud dengan
Islam rahmatan lil ‘alamin.
8
Sunan Muria
SILSILAH & KELUARGA
SUNAN MURIA
Pangeran
Santikusuma / menikah Dewi
Raden Syahid / Saroh
Sunan Kalijaga
Siti Syarifah menikah
Ruhil binti
Sunan
Ngudung
8
Sunan Ampel
Ki Ageng
Ngerang
Dewi Dewi
Dewi Raden Umar menikah Dewi Roro Rakayuh Sofiah
menikah
Sujinah Syahid (Sunan Noyorono
Muria)
Raden Amir Haji/
Jakfar Shadiq/
Sunan Kudus
Memusatkan kegiatan dakwahnya di gunung Muria 18 km sebelah utara kota Kudus. Sunan Muria berdakwah di sekitar wilayah utara
Jepara, Tayu, Pati, Juwana, Kudus dan lereng-lereng gunung Muria.
Gemar berdakwah ke desa-desa. Sunan Muria menjadikan desa-desa terpencil sebagai pusat dakwahnya pembelajaran agama
dengan cara kursus-kursus untuk kaum pedagang, nelayan, dan rakyat biasa.
SUNAN Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam
MURIA
Beliau senang bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang, dan melaut
adalah kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), beliau terkenal
cerdas memberi solusi.
Sunan Muria wafat pada awal abad ke-16 M. dan dimakamkan di Gunung Muria, Kudus, Jawa Tengah. Waktu wafatnya Sunan Muria
tidak diketahui secara persis, namun masyarakat sekitar menetapkan setiap tanggal 15 Syura (Muharram) untuk mengganti luwur (kain
penutup makam) sebagai pertanda haul (wafatnya) Sunan Muria.
Puncak
Gunung Muria
Selain di wilayah-wilayah pelosok, Sunan Muria juga mengajarkan Islam kepada para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Ia
dikenang sebagai seorang wali yang memiliki tubuh yang kuat, hal tersebut dikarenakan tempat tinggalnya yang berada di puncak
gunung. Ia berdakwah kepada rakyat kalangan bawah di daerah Colo, namun ia tetap bertempat tinggal di Gunung Muria karena ia
merasa damai dan nyaman serta dapat bergaul dengan semua masyarakat.
Sunan Muria hidup pada masa kasultanan Demak yaitu kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Kerajaan ini berkembang menjadi
kerajaan besar di bawah kepemimpinan sultan pertama yaitu Raden Patah (1481-1518 M). Bahkan kekuasaan kerajaan Demak
meluas hingga ke Kalimantan Selatan, Palembang dan Jambi. Bahkan pada tahun 1512-1513 di bawah pimpinan Adipati Unus
puteranya, Demak berhasil membebaskan Malaka dari kekuasaan Portugis.
Sebagaimana dengan strategi Sunan Kalijaga (ayahnya), Sunan Bonang dan para wali lainnya, Sunan Muria menggunakan
keahliannya dalam bidang seni untuk berdakwah. Ia dikenal sebagai wali yang mahir dalam memainkan alat kesenian dan sekaligus ia
pergunakan untuk media dakwahnya. Sunan Muria diketahui suka menggelar sejumlah lakon carangan pertunjukan wayang
gubahan Sunan Kalijaga seperti Dewa Ruci, Dewa Srani, Jamus Kalimasada, Begawan Ciptaning, Semar Ambarang Jantur, dan
sebagainya. Melalui media pertunjukan wayang, Sunan Muria memberikan penerangan-penerangan kepada masyarakat tentang
berbagai hal dalam kaitan dengan tauhid.
Sunan Muria juga menciptakan beberapa tembang Jawa macapat yang berisi tentang ajaran Islam. Beberapa karyanya yang
terkenal hingga saat ini yaitu tembang Sinom dan Kinanthi. Sunan Muria dianggap sebagai pencipta tembang-tembang cilik (sekar
alit) jenis Sinom dan Kinanthi.
KENAPA SUNAN MURIA LEBIH SUKA BERDAKWAH DI KALANGAN BAWAH?
karena ia mengikuti jejak ayahandanya Sunan Kalijaga. Dalam hal ini, para sejarawan menggolongkan pola
dakwah Wali Songo menjadi dua tipe yaitu:
Golongan Abangan; Golongan ini disebut juga aliran Tuban atau aluran. Dalam berdakwah para wali yang termasuk dalam
golongan ini menggunakan cara-cara yang moderat, lunak dan menggunakan media kesenian dan kebudayaan serta tradisi
yang sudah ada di masyarakat dan menyisipkan dan menyesuaikannya dengan nilainilai dan ajaran Islam. Termasuk pada
golongan ini adalah Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Gunungjati. Golongan ini lebih suka melakukan
dakwahnya kepada rakyat jelata
Golongan Putihan; Golongan ini juga disebut aliran santri. Mereka berdakwah dengan menggunakan metode yang langsung
bersumber dari Al-Qur’an dan sunah, pedoman umat Islam pada umumnya. Golongan ini lebih suka berdakwah kepada
golongan ningrat dan bangsawan. Yang termasuk dalam golongan ini adalah Sunan Giri, Sunan Ampel dan Sunan Drajat.
TOPO NGELI (MENGHAYUTKAN DIRI DALAM MASYARAKAT)
Sunan Muria berdakwah dengan hikmah. Dalam menyikapi kebiasaan masyarakat yang sering melakukan adat kenduren, maka
Sunan Muria meniru gaya moderat ayahnya, yang tidak mengharamkan tradisi peringatan telung dino hingga sewu dino. Tradisi yang
dilakukan untuk memperingati hari-hari tertentu kematian anggota keluarga ini tidak dilarang, kecuali adat untuk membakar
kemenyan atau memberikan sesajen di tempat tertentu, yang kemudian diganti dengan sholawat dan do’a untuk ahli kubur.
Guyang Cekathak merupakan tradisi meminta hujan. Tradisi ini dikenal dengan mencuci (guyang) pelana kuda milik Sunan Muria.
Ritual ini biasa dilakukan pada hari Jumat Wage di musim kemarau, sekitar bulan Agustus-September. Guyang Cekathak digelar di
dekat Sendang Rejoso. Hujan yang diminta dalam ritual ini bertujuan agar air dari Sendang Rejoso ini tidak kering. Hingga saat ini
Sendang Rejoso selalu mengalirkan air dan tidak pernah kering meski pada musim kemarau panjang.
Sunan Muria dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan masalah betapapun rumitnya
masalah tersebut. Solusi pemecahan masalahnya pun dapat diterima oleh semua pihak yang
berseteru.
Makam Sunan Muria terletak di lereng Gunung Muria, Kecamatan Colo, 18 km utara Kota Kudus. Untuk mencapai makam
maka perlu menaiki sekitar 700 tangga dari pintu gerbang. Letak makam Sunan Muria berada persis di belakang masjid Sunan
Muria. Yang membedakannya dari makam wali lainnya, yaitu letak makam beliau yang menyendiri dan berada jauh dari para
punggawanya, sama seperti sifatnya yang suka menyendiri.
Penulis di samping Makam Sunan Muria bersama santri
SMA Semesta Semarang
9
Al-Imam Muhammad an-Naqib Al-Imam Ali Al-Uraidhi Al-Imam Ja’far Shadiq Al-Imam Muhammad Al-Baqir
Al-Imam Isa ar-Rumi Al-Imam Ahmad Al-Muhajir As-Sayyid Ubaidillah As-Sayyid Alwi As-Sayyid Muhammad
As-Sayyid Alwi Ammil Faqih As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath As-Sayyid Ali Khali’ Qassam As-Sayyid Alwi (2)
As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan As-Sayyid Abdullah Azmatkhan As-Sayyid Ahmad Jalaluddin As-Sayyid Husain Jamaluddin Akbar
Syarif Hidayatullah / Sunan Gunung Jati Syarif Abdullah Umdatuddin Azmatkhan As-Sayyid Nurul Alam Azmatkhan
Nyai Subang Larang Prabu Siliwangi SILSILAH & KELUARGA SUNAN GUNUNGJATI
Pangeran Benawa
KH Sulaiman
Abdul Halim
KH Ilyas
Abdul Wahid
KH Abu Bakar
KH Muhammad Hasyim Al-
NU Asy’ari
Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan
KELUARGA SUNAN GUNUNG JATI
menikah Nyai Mas menikah Nyai menikah Ratu menikah Nyai Mas menikah Putri Ong menikah Rara
Babadan Kawunga Pakungw Rara Jati Tien Tepasan
nten ati
Istri ke-1 Istri ke-2 Istri ke-3 Istri ke-4 Istri ke-5 Istri ke-6
Pada saat berusia 27 tahun, sekitar tahun 1475 M., ia kembali ke tanah Jawa dan tinggal di Caruban di dekat wilayah Cirebon. Ia
pun menikah dengan Nyi Ratu Pakungwati, putri dari Pangeran Cakra Buana, penguasa Cirebon. Setelah Pangeran Cakra Buana
memasuki usia lanjut, maka kekuasaan atas Kasultanan Cirebon diserahkan kepada Sunan Gunung Jati selaku menantunya
Ia pun pernah mengunjungi Prabu Siliwangi, kakeknya di Kerajaan Pajajaran. Saat itu ia mengajak kakeknya untuk memeluk
agama Islam, namun ditolak. Meskipun demikian sang kakek tidak menghalangi cucunya untuk menyebarkan agama Islam di
wilayah Pajajaran. Mengembangkan ajaran Islam di Cirebon, Majalengka, Kuningan, Kawali, Sunda Kelapa dan Banten.
SUNAN GUNUNG Setelah dari Pajajaran, Sunan Gunung Jati melanjutkan perjalanan dakwahnya ke wilayah Serang. Penduduk Serang sudah banyak
JATI yang menganut agama Islam, dikarenakan banyak di antara mereka yang sebelumnya pernah bertemu dengan Sunan Ampel.
Sunan Gunungjati lalu berguru kepada Sunan Ampel, ikut ke Demak dan Surabaya untuk memperdalam ilmu. Juga berguru kepada
Syaikh Datuk Kahfi.
Sunan Gunungjati diangkat menjadi penguasa Cirebon tahun 1479 menggantikan ayah mertuanya sekaligus pamannya, Pangeran
Cakra Buana. Sunan Gunungjati satu-satunya walisongo yang memimpin pemerintahan, ia bergelar Maulana Jati.
Nama Sunan Gunung Jati begitu banyak, antara lain: Syarif Hidayatullah dan Makhdum Gunung Jati, yang paling terkenal ialah
dengan nama Falatehan atau Fatahillah.
Beliau mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Dalam kedudukannya sebagai raja, Sunan Gunung Jati
membuat kebijakan tentang pajak yang jumlah, jenis dan
besarannya disederhanakan agar tidak memberatkan
rakyat.
Sunan Gunung Jati juga membangun Masjid Agung Sang
Ciptarasa dan masjid-masjid Jami’ di wilayah Cirebon
Sunan Gunung Jati juga menghentikan tradisi pengiriman pajak kepada kerajaan Pajajaran, yang biasanya diserahkan secara
periodik dalam satu tahun. Keputusan ini merupakan simbol pernyataan berdirinya Kasunanan Cirebon yang berdasarkan pada
ajaran Islam.
Proses islamisasi yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati berlangsung dalam waktu
yang sangat lama. Posisinya sebagai ulama menjadikan ia mendapat gelar waliyullah
dan kapasitasnya sebagai kepala negara ia pun memperoleh gelar Sayyidin
Panatagama yang dalam tradisi Jawa seorang raja adalah wakil Tuhan di dunia.
METODE DAKWAH SUNAN GUNUNG JATI
Adapun ragam metode dakwah yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati dalam proses Islamisasi tanah Jawa
bagian barat adalah sebagai berikut:
Metode ta’awun yaitu saling tolong menolong dan berbagi ketugasan dalam menyebarkan agama Islam di kalangan para wali
Metode musyawarah untuk membicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan tugas dan perjuangan dakwah para wali
Datangnya sebuah kebudayaan baru, diperlukan proses yang bertahap dan pelan-pelan.
Para Wali Songo, menyisipkan nilai-nilai dan ajaran Islam sedikit demi sedikit melalui
pendekatan budaya yang sudah berkembang di masyarakat, sehingga terjadilah akulturasi
dan asimilasi budaya yaitu adaptasi budaya lama yang sudah ada, dan disesuaikan
dengan nilai-nilai dan ajaran agama Islam.
Metode dakwah yang dilakukan oleh para Wali Songo benar-benar merangkul dan
merengkuh semua lapisan masyarakat sehingga proses adaptasi, asimilasi dan akulturasi
budaya tersebut dapat berjalan dengan harmonis dan minim konflik.
Bentuk-bentuk budaya baru yang merupakan hasil dari proses asimilasi tersebut,
tidak hanya yang bersifat kebendaan dan materialis, namun juga budaya yang
menyangkut perilaku masyarakat Nusantara.
Proses masuknya budaya yang baik, adalah dengan tidak menggunakan cara-
cara yang kasar dan melukai hati, meskipun juga tetap harus mengandung unsur
ketegasan.
Strategi dakwah bil lisan, bil hikmah wal mauidlatil hasanah, para wali pun
menunjukkan sifat-sifat uswatun hasanah merupakan strategi dakwah yang
masih relevan untuk diteladani kembali saat ini.
Berkembangnya cara-cara yang tidak beretika dalam pelaksanaan dakwah
Islam, memunculkan kekhawatiran akankah wajah Islam di mata pemeluk
agama lain, kemudian membentuk framing dan citra yang buruk.
Hendaklah kembali digaungkan semangat berdakwah, dengan tetap
mengedepankan nilai-nilai kelembutan, keramahan, penuh dengan norma dan
sopan santun serta menghindari tindakan kekerasan sebagaimana yang
dilakukan oleh para Wali Songo, diteladani dan dikembangkan dalam frame
negara kesatuan Republik Indonesia dengan beragam suku bangsanya ini.
Semangat dalam berdakwah
IBRAH
MEMPELAJARI Mencari ilmu untuk bekal berdakwah
PERAN DAN
METODE
WALISONGO
Mengetahui kultur dan kesukaan masyarakat