Anda di halaman 1dari 22

KULIAH 15 FARMAKOLOGI DASAR OBAT-OBAT

PADA SISTEM MUSKULOSKELETAL

Obat-Obat Untuk Osteoporosis


 Osteoporosis terjadi akibat adanya gangguan keseimbangan antara proses resorpsi
tulang dan formasi tulang
 Aktivitas osteoklas (sel resorpsi tulang) biasanya lebih tinggi daripada osteoblast (sel
formasi tulang) pada kondisi osteoporosis
 Obatnya dapat digolongkan kedalam 2 golongan, yaitu :
 Anti-resorpsi
 Estrogen
 Calcitonin
 Bisphosphonate
 Yang untuk mengoptimalkan mineralisasi osteoid (tidak bisa untuk mengatasi
resorpsi)
 Calcium
 Vitamin D

Estrogen

 Estrogen merupakan hormone steroid, bekerja (reseptornya) pada nukleus dengan


mempengaruhi trankripsi gen
 Estrogen memiliki 2 reseptor : reseptor α & β
 Reseptor α terletak pada jaringan-jaringan reproduksi seperti endometrium dan
payudara
 Reseptor β terletak pada jaringan-jaringan non reproduksi seperti tulang, liver, dan
system kardiovaskular
 Karena reseptornya tidak hanya di 1 organ, nanti efek dari estrogen ataupun ligan-
ligan yang lain itu bisa ke banyak organ. Maka dari itu, target dari estrogen harus
diusaha kan spesifik ke tulang

 Estrogen dapat bekerja pada osteosit, osteoblast, osteoklas


 Estrogen yang bekerja pada osteoklas :
 Lebih banyak menghambat
 Meningkatkan apoptosis osteoklas
 Menghambat diferensiasi osteoklas
 Sehingga resorpsi tulang bisa dikurangi
 Estrogen yang bekerja pada osteosit & osteoblast lebih banyak menjaga
pembentukan tulang, mengurangi aktivitas remodelling tulang, mengurangi
apoptosis dari osteosit dan osteoblast

Selective Estrogen Receptor Modulators (SERM)


 Selektif artinya agonist terhadap reseptor β (yang bekerja untuk tulang, hepar,
kardiovaskular), tetapi efeknya minimal/tidak ada pada reseptor α (tidak
menyebabkan perdarahan dan kejadian keganasan payudara)
 Contohnya : Raloxifene  bersifat selektif agonist terhadap reseptor β
 Mekanisme kerja : melibatkan TGFβ3 yang dihasilkan oleh osteoblast, berfungsi
menghambat diferensiasi dari sel osteoklas
 Dosis yang direkomendasikan untuk pengobatan osteoporosis yaitu 60 mg/hari
 Pemberian raloxifene peroral akan diabsorpsi dengan baik dan akan dimetabolisme
di hepar
 Kontraindikasi : dapat menyebabkan kecacatan janin, sehingga tidak boleh diberikan
pada wanita hamil atau berencana hamil. Tetapi biasanya yang terkena osteoporosis
adalah orang tua, tetapi pada kasus khusus ada yang terkena osteoporosis pada
masa muda
 Efek samping : meningkatkan kejadian deep venous thrombosis (DVT), rasa panas
dan kram pada kaki

Estrogen (yang Non-Selektif)


 Bisa bekerja pada reseptor α & β
 Estrogen dan ester ini mudah diabsorbsi melalui kulit, membrane mukosa, dan
saluran GI
 Sediaan : oral (paling sering, biasanya untuk penanganan osteoporosis post
menopause), injeksi, transdermal
 Memiliki efek yang cukup bagus pada kardiovaskular, yaitu mengurangi low-density
lipoprotein (LDL) (lemak jahat) dan meningkatkan high-density lipoprotein (HDL)
(lemak baik) sehingga memiliki efek protektif pada kardiovaskular, misal kejadian
infark myocard dan menurunkan mortalitas akibat penyakit kardiovaskular
 Namun, karena bersifat non-selektif, maka akan memicu organ reproduksi dan perlu
ditimbulkan karena dapat menyebabkan kanker
 Bisa diberikan progesterone untuk menyeimbangkan untuk pasien yang
menggunakan ERT (estrogen replacement therapy) (biasanya diberikan progesterone
untuk menyeimbangkan untuk mengurangi risiko kanker endometrium)
 Penggunaan progesterone secara berkelanjutan dapat menghambat proliferasi dari
endometrium dan menurunkan risiko kanker endometrium tetapi dapat
menimbulkan perdarahan
 Progesterone dapat diberikan per oral, transdermal, atau melalui injeksi
Biphophonate
 Bisphosphonate memiliki afinitas yang tinggi terhadap kalsium  menghambat
resorpsi tulang
 Pemberian bisphosphonate sebaiknya diberikan pada perut kosong tidak
berbarengan dengan pemberian makanan yang lain terutama produk susu, makanan
yang mengandung kalsium (karena nanti berinteraksi menghambat pemberian
kalsium hingga 90%)
 Beberapa sediaan Biphosphonates : etidronate, clodronate, tiludronate,
pamidronate, alendronate, risedronate (potensi pengikatan kalsiumnya bebeda-beda
tergantung derajat osteoporosis : 1, 10, 10, 100, 1000, 5000)
 Efek samping : efek samping pada gastrointestinal (heartburn, nausea, abdominal
pain)
 Biphosphonates bersifat slowly released (pelepasannya pelan-pelan) tetapi ketika
sudah menempel di tulang menempelnya lumayan lama (bulan hingga tahun) ,
sehingga perlu perhatian khusus jika diberikan kepada pasien yang sangat muda
karena dapat terjadi efek kumulatif hingga 10-20 tahun ke depan
Calcitonin

 Calcitonin dapat menghambat osteoclast sehingga memperlambat bone loss


 Receptor calcitonin pada osteoclast memiliki homologi dengan reseptor PTH pada
osteoblast
 Receptor calcitonin mengaktifkan cAMP intraselular sehingga menghambat efek
osteoclast pada tulang (biasanya menghambat pelepasan enzim lisosomal yang
mendegradasi tulang)
 Calcitonin juga berefek pada osteoblast namun masih belum jelas mekanismenya
(diduga memiliki efek mempertahankan densitas tulang)
 Calcitonin sediaan oral tidak efektif karena mudah dirusak oleh aminopeptidase dan
protease di saluran GI (cerna)
 Calcitonin parenteral (melalui pembuluh darah) diabsorbsi dengan baik namun
karena rute pemberiannya yang kurang nyaman sehingga penggunaannya menjadi
terbatas
 Calcitonin intranasal juga tersedia dan lebih banyak digunakan, namun absorbsinya
tidak terlalu bagus dan konsentrasi puncak di dalam plasma juga rendah

Terapi Lain (Mengoptimalkan Osteoblast)

 Vitamin D  memfasilitasi absorpsi Ca2+ (kalsium, sangat diperlukan dalam


pembentukan tulang) dari saluran gastrointestinal
 PTH hormone analog seperti Teriparatide (parathyroid hormone agonist) 
menstimulasi osteoblast  meningkatkan bone formation (pembentukan tulang)
 Teriparatide hanya bisa diberikan melalui injeksi (subkutan)  efektif untuk terapi
osteoporosis pada beberapa tahun awal menopause

Obat-Obat Untuk Osteoarthritis


 Osteoarthritis : peradangan pada sendi
 Umumnya pada usia lanjut karena cairan sendi berkurang, kartilago menipis, tulang
bergesekan sehingga terjadi inflamasi sehingga terjadi nyeri (gejala paling sering)
 Terapi farmakologinya lebih banyak ke analgesic dan NSAID

 Analgesic :
 Acetaminophen : pilihan pertama, paling sering digunakan
 Narcotic analgesic : pemberian sangat terbatas pada kondisi tertentu
(diberikan dalam janka pendek, intermiten, atau pada serangan akut)
 Biasanya pemberian obat analgesic diberikan dari yang paling ringan terlebih
dahulu seperti parasetamol
 NSAID (non steroid anti inflammatory drugs) :
 Traditional NSAIDs (ibuprofen, ketoprofen, naproxen, ketolorac,
indomethacin, piroxicam)
 Coxibs/COX-inhibitors (celecoxib, rofecoxib)
 Mediator inflamasi (prostaglandin, prostacyclin, thromboxane) melalui jalur asam
arakidonat yang terpicu akibat adanya infeksi yang akhirnya akan membentuk
prostanoid dan menyebabkan nyeri
 Ada beberapa golongan yang bisa diberikan, seperti golongan corticosteroid
(menghambat fosfolipase), NSAID (menghambat di enizm COX 1 maupun 2 dan ada
yg spesifik), dan yang paling sering diresepkan yang menghambat pembentukan
prostanoidnya yaitu acetaminophen

NSAIDs

 Mekanisme kerjanya yaitu penghambatan COX (siklooksigenase)


 NSAID golongan yang lama (tradisional) tidak selektif (bisa menghambat COX-1
maupun COX-2
 Yang diinginkan yaitu lebih banyak menghambat COX-2 sehingga mediator
inflamasinya ditekan
 Kalau COX-1 yang ditekan efek sampingya yaitu iritasi pada lambung (mukosa
lambung yang diproduksi oleh COX-1 ditekan), bahkan dapat terjadi perdarahan
pada lambung (bisa diatasi dengan memodifikasi cara pemberiannya)
 Pada golongan yang lebih baru yaitu COX inhibitor, dia lebih spesifik menghambat
COX-2, tetapi ada efek sampingnya yang meningkatkan risiko penyakit
kardiovaskular (infark myocard)  sehingga ada obat pada golongan ini yaitu
rofecoxib ditarik dari peredaran dan beberapa obat coxib yang diberikan berdasar
pertimbangan tertentu

Analagesics
 Narcotic analgesics  tidak terlalu banyak penggunaannya pada arthritis, pemberian
jangka pendek dengan kondisi tertentu intermiten, atau pada serangan akut

Obat-Obat Untuk Rheumatoid Arthritis

 Rheumatoid Arthritis (RA) lebih dikarenakan aktivitas autoimmune


 Tulangnya mengalami erosi, terjadi pembengkakan, inflamasi pada snovial
membrane, sehingga menyebabkan nyeri
 Secara simptomatis, dari gejala yang muncul, kita bisa memberikan terapi
simtomatis (kalau nyeri diberi obat anti nyeri), bisa analgesic, NSAID, coxib
 Bisa juga diberikan corticosteroid dari golongan glukokortikoid yang akan menekan
inflamasinya
 Ada juga obat-obatan untuk menghambat perkembangan dari RA dan kelompok ini
dikelompokan menjadi Diseas modifying antirheumatic drugs (DMARDs). Kelompok
obat-obatan ini bisa berasal dari banyak jenis obat seperti antimalaria, antibiotic, dll
(tidak spesifik, obat yang memiliki efek menghambat progresi dari RA)

Aspirin

 Aspirin masih dari golongan NSAID


 Bedanya dengan NSAID yang lain dia menghambat COX (siklooksigenase) secara
irreversible

DMARDs
 DMARDs lebih banyak menghambat mediator inflamasi (IL, TNFα, dll) yang berperan
dalam inflamasi dan cascade kebawahnya

Methotrexate
 Sebenarnya adalah golongan obat anti neoplastic (antikanker) tetapi memiliki efek
antiinflamasi sehingga bisa digolongkan sebagai DMARDs
 Pilihan pertama DMARDs (7.5 mg sehari seminggu)
 Efek samping : iritasi lambung, stomatitis (radang mukosa mulut), pansitopenia
(pengurangan signifikan jumlah eritrosit,
 semua jenis sel darah putih, trombosit), hepatotoksisitas, interstitial pneumonitis
(hipersensitivitas), teratogenic (bahaya pada ibu hamil)
 Interaksi obat : dengan ampicillin dan probenecid, yang akan mengakibatkan
ekskresi methotrexate sehingga terjadi toksisitas methotrexate
 Methotrexate toxicity terjadi karena methotrexate memiliki transporter yang sama
dengan ampicillin dan probenecid sehingga bersifat kompetetif untuk ekskresi
masing-masing obat tersebut  ekskresi methotrexate menurun  toksisitas

Sulfasalazine
 First choice DMARDs di UK
 Sulfasalazine merupakan kombinasi antara 5-aminosalysilic acid yang berikatan
kovalen dengan sulfapyridine
 Absorbsi melalui pemberian oral sangat rendah
 Di dalam saluran gastrointestinal sulfasalazine dipecah menjadi komponen
aktifnya (sulfapyridine) oleh bakteri-bakteri yang ada di colon
 Sulfapyridine diabsorpsi menuju sistemik dan mengurangi aktivitas natural killer
cell dan mempengaruhi fungsi sel limfosit lainnya
 Ekskresi melalui ginjal
 Efek samping: rashes (20-40%) (paling sering), nausea, fever, arthralgia

GOLD (dalam bentuk garam)


 Diinjeksi Intramuscular gold salts the major DMARDs used in USA
 Sediaan oral : auranofin, kurang efektif dibandingkan d sediaan injeksi
 Sediaan parenteral : gold sodium thiomalate, aurothioglucose
 Gold salts ditangkap oleh reticuloendothelial cells dan kemudian menghambat
fungsi makrofag dan aktivitas sitokin
 Mekanisme lainnya yaitu melalui penghambatan sintesis prostaglandin,
mempengaruhi aktivasi komplemen, mengikat kolagen, dan menghambat aktivitas
lisosom
 Efek samping : dermatitis, proteinuria, bone marrow suppression

Antimalaria
 Hydroxychloroquine
 Chloroquine
 Efek antiinflamasi tidak terlalu kuat, tetapi karena efek toksik minimal makanya
sering digunakan
 Memiliki efek mengurangi inflamasi dengan mempengaruhi fungsi leukosit,
menghambat produksi IL-1 yang dihasilkan oleh makrofag, menghambat respon
lymphoproliferative, dan menghambat respon sitotoksik limfosit T

Penicillamine
 Oral penicillamine  chelator of heavy metals
 Injeksi penicillamine efektivitasnya sebanding dengan injectable gold
 Absorbsinya cukup bagus melalui pemberian oral (40-70%), namun pemberian
bersamaan dg makanan dapat mengurangi absorpsinya
 Metabolismenya melalui liver dan diekskresikan melalui urine dan feces
 Penicillamine menekan autoantibodi terhadap IgM dan memiliki beberapa efek
lainnya terhadap kompleks imun (tetapi efek utamnay antiinflamasi)

Azathioprine
 Purine analog yang bersifat sitotoksik terhadap sel-sel inflamasi
 Diberikan per oral
 Terapi diberikan selama 3-6 bulan untuk menghasilkan efek klinis yang efektif
 Azathioprine dapat menimbulkan efek samping yang serius : liver toxicity, bone
marrow suppression  diperlukan monitoring ketat

Etanercept (protein rekombinan)


 Protein rekombinan yang berikatan dan menonaktifkan TNF-α sehingga inflamasi
dapat ditekan
 Etanercept diberikan melalui injeksi subkutan 2x seminggu dengan median half-life
115 jam (98-300 jam)
 Efek samping : reaksi local (erythema, itching, pain, swelling) pada tempat injeksi
(37%), alergi (<2%)
Infliximab
 Antibodi monoclonal yang mengikat TNF-α sehingga TNF-α tidak dapat melakukan
fungsinya (menekan inflamasi)
 Half life 8-12 hari dan tetap terdeteksi di sirkulasi sekitar 50 hari
 Terap i: dosis induksi dan dosis maintenance setiap 4-8 minggu

Anankira
 Protein rekombinan
 Kerjanya di IL-1 receptor antagonist (efeknya antiinflamasi)
 Menurunkan makrofag dan limfosit di jaringan synovial
 Rute pemberian : injeksi subkutan setiap hari dg dosis maksimal 150 mg/hari
 Anankira efektif baik sebagai monotherapy maupun kombinasi dengan methotrexate
 Efek samping : reaksi pada tempat injeksi
R

Obat-Obat Untuk Gout Arthritis (asam urat)

 Gout arthritis terjadi akibat penumpukan kristal asam urat pada sendi
 Kristal itu terbentuk dari kelebihan asam urat
 Untuk obatnya ada NSAIDs, colchicine, glucocorticoid, uricosurics, allopurinol
 Asam urat berasal dari purin akan diubah menjadi asam urat, jika terlalu berlebihan
diatas kadar normal, maka akan dideposit dalam bentuk kristal paling sering di sendi
(bisa juga di belakang telinga membentuk tofus) inilah yang menyebabkan nyeri
pada pasien yang disebut dengan GA
 Obat-obatnya yaitu :
 Allopurinol : menghambat pembentukan asam urat (dari purin dihambat
menjadi asam urat)
 Uricase : asam urat akan di breakdown menjadi allantoin dan dieksresikan ke
urin
 Probenecid : asam urat langsung diekskresikan pada urin (perlu
pertimbangna khusus)
 NSAIDs, cholchicine, corticosteroid (kalau sudah terlanjur inflamasi)

Allopurinol & Uricase


 Spesifiknya menghambat Xanthine oxidase inhibitor
 Berikatan secara kompetitif pada xanthine oxidase
 Allopurinol umumnya diberikan pada pasien-pasien yang produksi asam uratnya
berlebihan dan pasien-pasien nephrolithiasis
 Allopurinol diabsorbsi dg cepat, dg bioavailabilitas 80% dalam 2-6 jam
 Efek samping : headaches, dyspepsia, diarrhea, pruritic rash
 Hypersensitivity : fever, renal failure, toxic epidermal necrolysis
 Interaksi obat : purine analog (azathioprine), anticoagulant  memerlukan
penyesuaian dosis

Uricosuric Agents
 Meningkatkan ekskresi asam urat dengan menghambat reabsorpsi
asam urat di tubulus ginjal
 Contoh obat : Probenezid, sulfinpyrazone
 Efek samping: rash, gastrointestinal upset
 Treatment of choice pada pasien-pasien dg kondisi :
 Tidak memiliki overproduksi asam urat (yang lebih cepat
diberikan yaitu allopurinol)
 Tidak memiliki batu ginjal (peningkatan ekskresi asam urat
melalui ginjaldapat memperburuk kondisi ginjal)
 Memiliki kontraindikasi terhadap pemberian xanthine oxidase
inhibitor

Colchicine
 Lebih ke antiinflamasi
 Bekerja pada tubulin sel-sel inflamasi
 Colchicine merusak struktur tubulin dan menghambat kapasitas sel inflamasi untuk
bermigrasi ke lokasi inflamasi (chemotaxis) dan menghambat fagositosis
 Efek samping: Gastrointestinal toxicity (nausea, vomiting, diarrhea), Bone marrow
suppression, Renal failure

Glucocorticoids

 Antiinflamasi dari golongan kortikosteroid khusunya glucocorticoid (efeknya


ke antiinflamasi) kalau mineralocorticoid (mengatur keseimbangan mineral
dalam tubuh)
 Intraarticular glucocorticoids (ex: prednisone) efektif untuk terapi pada 1
atau 2 sendi
 Intraarticular glucocorticoids efek sistemiknya lebih sedikit dibandingkan
pemberian oral
 Efek samping: infeksi sendi, cartilage distruction (karena injeksi)
Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

 SLE memberikan gejala arthritis


 Salah satu manifestasinya di sendi menyebabkan arthritis
 Obatnya antiinflamasi dan immunosuppressants (karena merupakan penyakit
autoimmune)

Skeletal Muscle Relaxants


 Secara garis besar dibagi menjadi 2, yaitu neuromuscular blocker (memblok NMJ)
dan spasmolytics (lebih banyak bekerja di central, tetapi ada yang langsung bekerja
di tempatnya
 Neuromuscular blockers :
 Ada yang bersifatdepolarizing (succinylcholine) : menyebabkan kontraksi dulu
diawal baru kemudian relaksasi otot
 Dan non-depolarizing : langsung menyebabkan relaksasi otot
 Long action (tubocurarine)
 Shot action (mivacurium)
 Spasmolytics :
 Akut (cyclobenzaprine)
 Kronis
 CNS (sistem saraf pusat) : baclofen, diazepam, tizanidine
 Muscle action : dantrolene

Neuromuscular Blocking Drugs

 Bekerja pada NMJ


 Ada yang bersifat non-depolarizing & depolarizing
 Secara struktural analog dg acetylcholine (Ach)
 Menghambat transmisi kolinergik dari motor end plate ke reseptor nikotinik di
neuromuscular junction
 Bekerja secara antagonist (nondepolarizing type) atau agonist (depolarizing type)
 Secara klinis digunakan sebagai adjuvant anestesi, proses intubasi, kejang
 Parenteral
 Bersifat polar, sulit menembus blood brain barrier (BBB)
 Metabolisme: plasma cholinesterase, hepar
 Ekskresi:
 Bile (durasi kerja lebih pendek, 10-20 menit)
 Ginjal (durasi kerja lebih panjang)
 Atracurium  Hofmann elimination, menghasilkan laudanosine yg dapat
menimbulkan kejang

Nondepolarizing (Competitive) Blockers

 Menghambat terikatnya asetilkolin di reseptornya


 Dosis rendah  menghambat terikatnya Ach pd reseptornya  tidak terjadi
depolarisasi  tidak terjadi kontraksi otot
 Berkompetisi dg Ach tanpa menstimulasi reseptor  competitive blockers
 Menempel pd reseptor nikotinik namun tidak membuka kanal ion Na+
 Efeknya dapat dihentikan dg meningkatkan konsentrasi Ach di celah sinap dg
memberikan cholinesterase inhibitor (neostigmine, pyridostigmine, edrophonium)
 Tidak semua otot memiliki sensitivitas yg sama terhadap nondepolarizing blockers :
 Otot-otot wajah dan mata paling cepat relaksasi (karena kecil)
 Otot pada jari
 Otot ekstremitas
 Otot leher
 Otot daerah badan (trunkus)
 Otot intercosta
 Otot diafragma
 Tubocurarine, mivacurium, atracurium  melepaskan histamin  penurunan
tekanan darah, flushing, bronkokonstriksi
 Semua neuromuscular blocker diberikan secara IV, karena absorpsinya secara oral
sangat minimal
 Pemilihan obat berdasarkan onset dan durasi relaksasi yang diinginkan

Depolarizing Agents

 SUCCINYLCHOLINE  Menempel pada reseptor nikotinik dan bekerja seperti Ach


 Efeknya sama dengan asetilkolin pada fase 1(awalnya ada kontraksi otot)
 Tetapi pada fase berikutnya, saat terjadi repolarisasi, tidak dapat polarisasi sehingga
tidak terjadi kontraksi otot
 Succynilcholine: 2 molekul Ach
 Metabolisme: cholinesterase plasma dan hepar
 Onset dan durasi cepat (beberapa menit)  pemberian secara continuous infusion
 Kegunaan klinis: intubasi endotrakeal
 Fase 1 (twitching, fasikulasi)  myalgia, hal ini dapat dicegah dengan pemberian
pretreatment nondepolarizing blocker dosis rendah (ex: atracurium)
 Efek samping: respiratory paralysis, autonomic effect, histamine release, malignant
hyperthermia

Spasmolytics Drugs

 Bisa bekerja di CNS maupun perifer/pada ototnya


 Beberapa penyakit kronis di CNS (cerebral palsy, multiple sclerosis, stroke)
berhubungan dengan peningkatan aktivitas reflek yang menimbulkan spasme dan
nyeri
 Trauma akut atau inflamasi pada otot yg menimbulkan spasme dan nyeri (back pain,
tension headache, fibromyalgia)
 Tujuan terapi spasmolitik :
 Mengurangi tonus otot yg berlebihan sehingga dapat mengurangi nyeri dan
memperbaiki mobilitas
 Contoh obat :
 Kondisi kronis (pada CNS)
 Diazepam
 Baclofen
 Tizanidine
 Dantrolene (pada muscle)
 Gabapentin
 Pregabalin
 Kondisi akut
 Cyclobenzaprine
Diazepam (pada CNS)
 Untuk yang bekerja di CNS, dia menghambat GABA (inhibitory neurotransmitter)
synapse  efek penghambatan (kontraksi otot pun dihambat)

Baclofen

Dantrolene

Cyclobenzaprine

Summaries (Neuromuscular blocker)


Summaries (Spasmolytics)

Anda mungkin juga menyukai