PAJAK INTERNASIONAL
TENTANG
PRINSIP-PRINSIP P3B
Dosen Pengampu
Oleh :
2022 / 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "PRINSIP PRINSIP P3B" ini
tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata
Pelajaran Pajak Internasional. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang
penjelasan tentang,Prinsip Prinsip P3B tulisan ini berkaitan dengan materi yang akan dibahas
untuk para pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibuk Lativa Yuswanita, S.E., M.Ak. selaku
dosen Mata Pelajaran Pajak Internasional. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua
pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik
yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
Dalam penulisan makalah ini, bermaksud mengetahui hal hal seperti apa
penjelasan dari prinsip prinsip p3b, ketentuan apa saja yang mengenai penghasilan, dan
bagaimana penggunanan pajak atas penghasilan dan usaha .
4
BAB II
PEMBAHASAN
Pada OECD Model dan UN Model, terdapat pasal khusus yang mengatur tentang
pemajakan atas penghasilan yang secara spesifik tidak diatur oleh pasal lainnya dalam
P3B. Pasal yang dimaksud adalah Pasal 21 mengenai Penghasilan Lain. Ruang lingkup
yang diatur dalam oleh Pasal 21 ini tidak hanya mencakup penghasilan yang bersumber
di negara yang mengadakan P3B. Tetapi, juga memperluas penghasilan yang bersumber
dari luar negara yang mengadakan P3B (negara ketiga). Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa ruang lingkup Pasal 21 tidak hanya mencakup penghasilan yang tidak
secara tegas diatur dalam pasal-pasal substantif lainnya (Pasal 6 sampai Pasal 20). tetapi
juga penghasilan dari sumber yang tidak secara tegas disebutkan. Berdasarkan hal ini,
jika ada penghasilan tertentu yang menurut identifikasi penghasilan lain diterima oleh
SPDN dari negara domisili dan penghasilan itu tidak diketahui sumbernya dari mana,
maka ketentuan yang berlaku dalam menentukan pemajakan atas penghasilan tersebut
adalah Pasal 21 OECD Model dan UN Model.
Pada Pasal 21 ayat (1) OECD Model dan UN Model ditegaskan bahwa suatu
penghasilan yang diperoleh oleh subjek pajak dalam negeri dari negara yang mengadakan
P3B dari manapun penghasilan tersebut berasal, di mana penghasilan tersebut tidak
dicakup oleh pasal-pasal dalam P3B (Pasal 6 sampai dengan Pasal 20), hanya dikenakan
pajak di negara domisili dari penerima penghasilan. Pasal 21 ayat (2) OECD Model dan
UN Model berisi ketentuan pengecualian dari ketentuan Pasal 21 ayat (1) OECD Model
dan UN Model. Pasal 21 ayat (2) OECD Model mengatur bahwa apabila penghasilan lain
tersebut mempunyai hubungan efektif dengan suatu BUT maka Pasal 7 yang
diberlakukan. Artinya, hak pemajakan atas penghasilan lain tersebut diberikan kepada
negara di mana BUT tersebut berada. Adapun dalam Pasal 21 ayat (2) UN Model, tidak
hanya Pasal 7 UN Model yang dapat diterapkan, tetapi juga Pasal 14 UN Model. OECD
telah menghapus keberadaan Pasal 14 OECD Model karena memiliki konsekuensi pajak
5
yang sama dengan Pasal 7 OECD Model. Lebih lanjut, tidak seperti OECD Model, UN
Model memiliki Pasal 21 ayat (3) yang mengatur mengenai hak pemajakan oleh negara
sumber. Pasal 21 ayat (3) UN Model memuat ketentuan yang menyimpang dari Pasal 21
ayat (1) dan (2) UN Model. Sebab, ketentuan ini mengatur bahwa hak pemajakan atas
penghasilan yang tidak diatur dalam pasal-pasal sebelumnya dan muncul di negara
sumber tidak hanya berada di negara domisili, tetapi juga di negara sumber.
apabila penghasilan, selain penghasilan dari harta tak bergerak; diterima oleh
penerima penghasilan yang merupakan SPDN dari negara yang mengadakan
perjanjian (negara domisli); SPDN tersebut menjalankan kegiatan usaha di
negara lainnya (negara sumber) melalui BUT yang terletak di negara sumber,
dan penghasilan yang dibayarkan kepada SPDN tersebut mempunyai
hubungan efektif dengan BUT di negara sumber.
6
➢ Pemajakan Atas Perusahaan Asosiasi
Apabila antar perusahaan yang memiliki asosiasi ini terjadi transaksi
dengan penghasilan di luar nilai wajar, maka berdasarkan ketentuan pasal 18
(3) UU PPh, Indonesia dapat melakukan penghitungan kembali terhadap
penghasilan tersebut.
Penghitungan kembali tersebut dapat menimbulkan pajak berganda
yang dapat dieliminasi apabila negara yang memiliki perjanjian P3B dengan
Indonesia bersedia untuk melakukan penghitungan kembali
Semua P3B Indonesia memuat ketentuan serupa dengan pasal 9 (1)
Model OECD yang menyatakan bahwa penghasilan dari perusahaan asosiasi
(perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa) harus ditentukan
berdasarkan pendekatan kewajaran.
7
tersebut diatur bahwa apabila subjek pajak dari negara domisili memperoleh
keuntungan dari pengalihan saham dimana lebih dari 50% nilai saham tersebut
berasal dari harta tak bergerak yang terletak di negara sumber, negara sumber
berhak mengenakan pajak atas keuntungan tersebut.
8
Diatur dalam pasal 21 OECD yaitu: penghasilan lain yang diperoleh
SPDN dari negara P3B yang tidak dicakup dalam pasal-pasal lain dalam P3B
dikenakan pajak di negara domisili, dari manapun penghasilan tersebut
berasal.
Tidak hanya penghasilan yang tidak secara tegas diatur dalam pasal-
pasal substantif lainnya, tetapi juga penghasilan dari sumber yang tidak secara
tegas disebutkan.
9
2. Ketentuan Tentang Penghasilan Dari Usaha
PPh Pasal 15 adalah Pajak Penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak tertentu. Dalam undangundang, terdapat banyak
pasal yang mengatur pajak penghasilan atau PPh. Sama seperti pajak penghasilan (PPh)
lainnya, PPh 15 juga memiliki objek pajak dalam bentuk penghasilan. Perbedaan yang
paling mendasar terletak pada perhitungan serta berapa persentase yang harus dibayarkan
untuk setiap jenis objek pajak yang ditentukan. Terdapat norma penghitungan khusus
untuk golongan Wajib Pajak tertentu, antara lain perusahaan pelayaran atau penerbangan
internasional, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan
panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam
bentuk bangun-gunaserah (build, operate, and transfer).
Objek pajak diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU PPh meliputi penghasilan dari
usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau
dikuasai; penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan
oleh bentuk usaha tetap di Indonesia; penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26
yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara
bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut.
Dalam Pasal 2 ayat (1a) UU PPh dijelaskan bahwa perlakuan perpajakan dipersamakan
dengan subjek pajak badan.
Dalam menentukan hak pemajakan negara sumber atas laba usaha BUT, OECD
Model dan UN Model mengadopsi prinsip yang berbeda. OECD Model mengadopsi
prinsip 'no force of attraction. Berdasarkan prinsip ini, laba yang dapat diatribusikan
kepada BUT dan dikenakan pajak di negara sumber terbatas pada laba yang dihasilkan
BUT dari kegiatan usaha yang dilakukan BUT tersebut saja. Sedangkan UN Model
menerapkan prinsip 'limited force of attraction', yaitu prinsip yang memungkinkan negara
sumber untuk memajaki laba dari transaksi yang dilakukan oleh kantor pusat (subjek
pajak luar negeri) dari BUT di negara sumber penghasilan, sepanjang transaksi tersebut
sama atau serupa dengan transaksi yang dilakukan oleh BUT.
10
Adapun terkait dengan penghitungan laba usaha, terdapat dua pendekatan yang
dapat diterapkan dalam menentukan laba usaha dari BUT, yaitu:
a) pendekatan entitas yang terpisah, dan
b) pendekatan usaha yang relevan.
Dalam pendekatan usaha yang relevan, perusahaan dianggap sebagai titik pangkal
permulaan secara keseluruhan. Di sisi lain, pendekatan entitas yang terpisah dimulai
dengan melihat BUT-nya Dari kedua pendekatan tersebut, OECD akhirnya memutuskan
bahwa pendekatan yang diadopsi adalah pendekatan entitas yang terpisah. Pendekatan ini
diperjelas dengan rumusan entitas yang terpisah secara fungsional dalam Pasal 7 OECD
Model atau dikenal dengan Authorized OECD Approach (AOA). Dalam pendekatan
AOA tersebut, transaksi antara kantor pusat dan BUT harus dianalisis berdasarkan prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha seperti yang diterapkan dalam konteks transfer pricing.
Pemajakan atas laba usaha yang diatur melalui Pasal 7 OECD Model juga memuat
rumusan mengenai eliminasi pajak berganda dalam pemajakan atas laba usaha. Dalam hal
ini, Pasal 7 ayat (3) OECD Model memberikan mekanisme untuk menghapus pajak
berganda melalui Corresponding Adjustment. Mekanisme tersebut diterapkan dalam
kasus terjadinya pajak berganda yang disebabkan oleh adanya perbedaan (koreksi) terkait
atribusi laba usaha kepada BUT. Berbeda dengan OECD Model, dalam UN Model tidak
terdapat mekanisme Corresponding Adjustment untuk menghindari terjadinya
penghindaran pajak berganda.
Sebagai ketentuan yang mengatur pemajakan atas laba usaha, ketentuan dalam
Pasal 7 sangat berkaitan dengan pasal substantif lainnya. Oleh karenanya, dalam Pasal 7
ayat (4) OECD Model dan Pasal 7 ayat (6) UN Model ditegaskan bahwa ketentuan Pasal
7 ini merupakan ketentuan yang bersifat umum (lex generalis). Dengan demikian, apabila
terjadi benturan dengan pasal-pasal substantif lainnya maka pasal-pasal substantif lainnya
tersebut dianggap bersifat khusus (lex specialis), sehingga pasal- pasal lainnya tersebut
yang diterapkan.
11
kecuali penghasilan tersebut diperoleh melalui suatu BUT di Indonesia.
Apabila tidak ada BUT di Indonesia, maka berdasarkan P3B penghasilan
tersebut tidak dikenakan pajak oleh Indonesia
b) WPDN Indonesia yang memperoleh penghasilan usaha dari negara yang
memiliki P3B dengan Indonesia hanya akan dikenakan pajak di negara
tersebut apabila WPDN yang dimaksud menjalankan usahanya melalui BUT
di negara tersebut.
c) Sementara itu, sesuai dengan pasal 24 UU PPh, pajak penghasilan atas BUT
yang terutang dapat dikreditkan sebagai pengurang pajak terutang di
Indonesia.
d) Dalam P3B, BUT dapat diklasifikasikan menjadi fasilitas, aktivitas,
keagenan dan perusahaan asuransi. Berbeda dengan ketentuan UU PPh,
semua P3B mengecualikan aktivitas usaha yang bersifat persiapan dan
pembantuan dari kriteria BUT.
e) Oleh karena itu, dalam hal ini ketentuan pajak domestik Indonesia dibatasi
sehingga Indonesia tidak dapat memajaki WPLN atas penghasilan usaha
yang tidak diperoleh melalui BUT dalam P3B
f) Sehubungan dengan metode penentuan penghasilan, semua P3B
menetapkan metode langsung, dan terdapat beberapa P3B yang tidak
menganjurkan penerapan metode tidak langsung. Dalam menghitung
penghasilan kena pajak, ketentuan pajak domestik Indonesia menerapkan
metode langsung.
g) Semua P3B berisi ketentuan tentang pengurangan biaya dari penghasilan
BUT termasuk alokasi biaya administrasi, manajemen, dan overhead kantor
pusat. Ketentuan tersebut memodifikasi ketentuan domestik.
12
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
PPh Pasal 15 adalah Pajak Penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak tertentu. Dalam undangundang, terdapat banyak
pasal yang mengatur pajak penghasilan atau PPh. Sama seperti pajak penghasilan (PPh)
lainnya, PPh 15 juga memiliki objek pajak dalam bentuk penghasilan. Perbedaan yang
paling mendasar terletak pada perhitungan serta berapa persentase yang harus dibayarkan
untuk setiap jenis objek pajak yang ditentukan. Terdapat norma penghitungan khusus
untuk golongan Wajib Pajak tertentu, antara lain perusahaan pelayaran atau penerbangan
internasional, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan
panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam
bentuk bangun-gunaserah (build, operate, and transfer).
Objek pajak diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU PPh meliputi penghasilan dari
usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau
dikuasai; penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan
oleh bentuk usaha tetap di Indonesia; penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26
yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara
bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut.
Dalam Pasal 2 ayat (1a) UU PPh dijelaskan bahwa perlakuan perpajakan dipersamakan
dengan subjek pajak badan.
13
DAFTAR PUSTAKA
Brotodihardjo, Santoso, 1993, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Cet. 15, Eresco, Bandung
Devano, Sony, 2006, Perpajakan: Konsep. Teori, dan Isu, Cet. 1, Kencana, Jakarta
Gunadi, 2007. Pajak Internasional, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
Jakarta
Kurniawan, Anang Muri, 2012, Tax Treaty : Memahami Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) melalui Studi Kasus. Cet.1, Bee Media, Jakarta
14