Metabolit sekunder adalah senyawa yang disintesis oleh makhluk tumbuhan, mikroba atau
hewan melewati proses biosintesis yang digunakan untuk menunjang kehidupan namun
tidak vital (jika tidak ada tidak mati) sebagaimana gula, asam amino dan asam lemak.
Metabolit ini memiliki aktivitas farmakologi dan biologi. Di bidang farmasi secara khusus,
metabolit sekunder digunakan dan dipelajari sebagai kandidat obat atau senyawa penuntun
(lead compound) untuk melakukan optimasi agar diperoleh senyawa yang lebih poten
dengan toksisitas minimal (hit) (Saifudin, 2014). Metabolit sekunder adalah
senyawa-senyawa hasil biosintetik turunan dari metabolit primer yang umumnya diproduksi
oleh organisme yang berguna untuk pertahanan diri dari lingkungan maupun dari serangan
organisme lain (Murniasih, 2003)
Metabolit sekunder (MS) pada tumbuhan umumnya bersifat sangat spesifik dalam hal fungsi
dan tidak terlalu penting karena jika tidak diproduksi, dalam jangka pendek tidak
menyebabkan kematian. Biosintesis MS dapat terjadi pada semua organ tumbuhan,
termasuk di akar, pucuk, daun bunga, buah, dan biji. Beberapa metabolit disimpan dalam
kompartemen khusus, bisa pada organ atau tipe sel yang terspesialisasi. Dalam
kompartemen tersebut konsentrasi MS yang bersifat toksik bisa sangat tinggi, sehingga
menjadi pertahanan yang efisien terhadap herbivora. Metabolit sekunder pada tumbuhan
memiliki beberapa fungsi: 1) pertahanan terhadap virus, bakteri, dan fungi; tumbuhan
kompetitor; dan yang terpenting adalah terhadap herbivora, 2) atraktan (bau, warna, rasa)
untuk polinator dan hewan penyebar biji, 3) perlindungan dari sinar UV dan penyimpanan-N.
Metabolit sekunder dapat berperan sebagai pelindung yakni meningkatkan kebugaran
reproduktif tumbuhan melalui penghambatan pertumbuhan fungi, bakteri, dan herbivora.
Salah satu produk metabolit sekunder yang memiliki fungsi ini adalah fitoaleksin (Anggraito
dkk, 2018).
Makhluk hidup secara umum bervariasi jika ditinjau dari kapasitasnya dalam melakukan
sintesis dan proses pengubahan senyawa kimia. Misalnya, tumbuhan sangat efisien dalam
mensintesis senyawa organik melalui fotosintesis dari bahan anorganik yang ditemukan di
lingkungan, sementara organisme lain seperti hewan dan mikroorganisme bergantung pada
memperoleh bahan mentah mereka dalam makanan mereka, misalnya dengan
mengkonsumsi tumbuhan. Dengan demikian, beberapa jalur metabolik berkaitan dengan
senyawa dasar yang diperoleh dari penguraian makanan, sementara yang lainnya diminta
untuk mensintesis molekul khusus dari senyawa dasar yang diperoleh. Senyawa yang
terlibat dalam jalur yang disebut metabolit primer (Jeandet, 2015).
Metabolisme merupakan seluruh perubahan kimia yang terjadi dalam sel hidup yang
meliputi pembentukan dan penguraian senyawa kimia. Metabolisme primer dalam suatu
tumbuhan meliputi seluruh jalur metabolisme yang sangat penting kemampuan tumbuhan
untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Metabolit primer merupakan senyawa yang
secara langsung terlibat dalam pertumbuhan suatu tumbuhan sedangkan metabolit
sekunder adalah senyawa yang dihasilkan dalam jalur metabolisme lain yang walaupun
dibutuhkan tapi dianggap tidak penting peranannya dalam pertumbuhan suatu tumbuhan
(Julianto, 2016).
Metabolit sekunder berperan bagi tumbuhan dalam jangka waktu yang panjang, seringkali
sebagai tujuan pertahanan, serta memberikan karakteristik yang khas dalam bentuk
senyawa warna. Metabolit sekunder juga digunakan sebagai penanda dan pengatur jalur
metabolisme primer. Hormon tumbuhan yang merupakan metabolit sekunder seringkali
digunakan untuk mengatur aktivitas metabolisme sel dan pertumbuhan suatu tumbuhan.
Metabolit sekunder membantu tumbuhan mengelola sebuah sistem keseimbangan yang
rumit dengan lingkungan, beradaptasi mengikuti kebutuhan lingkungan. Warna yang yang
diberikan oleh metabolit sekunder dalam tumbuhan merupakan contoh yang bagus untuk
menjelaskan bagaimana sistem keseimbangan diterapkan. Melalui warna, tumbuhan dapat
menarik serangga untuk membantu proses penyerbukan dan juga dapat berguna untuk
bertahan dari serangan hewan (Markham, 1998).
Klasifikasi metabolit sekunder secara sederhana terdiri atas tiga kelompok utama: 1) terpen
(misalnya volatil, glikosida kardiak, karotenoid, dan sterol; 2) fenolik (misalnya asam fenolat,
kumarin, lignan, stilbena, flavonoid, tanin, dan lignin); dan 3) senyawa yang mengandung
nitrogen (misalnya alkaloid dan glukosinolat). Terpen atau terpenoid, merupakan kelas MS
terbesar dengan ciri pada umumnya tidak larut air. Terpen disintesis dari asetil-CoA atau
intermediet glikolisis dan dibentuk oleh penggabungan unit-unit isopren berkarbon lima.
Senyawa fenolik biasanya dikaitkan dengan respon pertahanan pada tumbuhan. Meskipun
demikian senyawa fenolik juga berperan penting dalam proses-proses lain, misalnya
atraktan zat untuk mempercepat polinasi, warna untuk kamuflase dan pertahanan terhadap
herbivora, dan aktivitas antibakteri dan antifungi. Metabolit sekunder yang memiliki nitrogen
sebagai bagian dari strukturnya, jumlahnya sangat melimpah. Termasuk kategori ini adalah
yang dikenal sebagai pertahanan antiherbivor seperti alkaloid dan glikosida sianogenik
(Anggraito dkk, 2018).
Hasil percobaan uji identifikasi alkaloid yang didapat yaitu pada daun tumpang air yang
ditambah dengan pereaksi Mayer membentuk endapan putih, yang berarti daun tumpang air
positif (+) mengandung alkaloid. Namun daun tumpang air yang ditambah dengan pereaksi
Dragendorf, tidak membentuk endapan jingga atau merah. Yang berarti pada daun tumpang
air yang ditambah pereaksi Dragendorf negatif (-) alkaloid. Jika masing-masing larutan
terbentuk endapan putih maka sampel positif mengandung alkaloid (Ergina dkk, 2014).
Prinsip dari metode analisis ini adalah reaksi pengendapan yang terjadi karena adanya
penggantian ligan. Atom nitrogen yang mempunyai pasangan elektron bebas pada alkaloid
dapat mengganti ion iodo dalam pereaksi-pereaksi. Pereaksi Dragendorff mengandung
bismut nitrat dan kalium iodida dalam larutan asam asetat glasial (kalium
tetraiodobismutat(III)). Sedangkan pereaksi Mayer mengandung kalium iodida dan merkuri
klorida (kalium tetraiodomerkurat(II)). Namun metode ini memiliki kelemahan yaitu
pereaksi-pereaksi tersebut tidak saja dapat mengendapkan alkaloid tetapi juga dapat
mengendapkan beberapa jenis senyawa antara lain, protein, kumarin, α-piron, hidroksi
flavon, dan tanin. Reaksi tersebut dikenal dengan istilah “falsepositive”. Alkaloid memiliki
efek dalam bidang kesehatan berupa antihipertensi dan antidiabetes melitus (Ergina dkk,
2014).
2) Uji flavonoid
Sebelum memulai uji flavonoid, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan flavonoid, fenolik dan
Saponin, dimana daun tumpang air sebanyak 4 gr dimasukkan ke dalam tabung reaksi
besar, lalu ditambahkan air sampai sampel terendam, dijepit, lalu dididihkan dengan api
langsung. Pemanasan dilakukan karena sebagian besar golongan flavonoid dapat larut
dalarn air panas (Ergina dkk, 2014). Kemudian air rebusan selagi masih panas, dipindahkan
ke dalam tabung reaksi yang lain dan lakukan pemeriksaan flavonoid dan saponin. Pada uji
flavonoid sebagian air rebusan dipipet ke dalam tabung reaksi kecil, lalu ditambahkan 0.5 ml
Volume cair dengan HCl pekat sebanyak 10 tetes dan beberapa butir serbuk magnesium.
Tujuan penambahan logam Mg dan HCl adalah untuk mereduksi inti benzopiron yang
terdapat dalam struktur flavonoid sehingga terbentuk garam flavilium berwarna merah atau
jingga. Senyawa flavonoid dapat menghasilkan warna merah, kuning atau jingga ketika
tereduksi dengan Mg dan HCl (Harborne, 1987; Baud dkk, 2014). Hasil percobaan yang
didapat pada uji flavonoid yaitu terbentuknya warna orange yang membuktikan bahwa daun
tumpang air positif (+) mengandung flavonoid.
3) Uji Saponin
Pada uji Saponin air hasil rebusan dikocok secara kuat-kuat sampai beberapa lama, lalu
ditambahkan HCl pekat sebanyak 2 tetes. Namun pada percobaan, praktikan melakukan uji
Saponin pada tabung reaksi uji flavonoid. Yang dimana tabung reaksi uji flavonoid
ditambahkan dengan HCl pekat sebanyak 2 tetes. Hasil yang didapat adalah menghasilkan
busa permanen lebih kurang 15 menit dan bisa tidak hilang, dengan arti daun tumpang air
positif mengandung Saponin. Busa yang terbentuk disebabkan karena senyawa saponin
memiliki sifat fisika yaitu mudah larut dalam air dan akan menimbulkan busa ketika dikocok.
Timbulnya busa pada uji saponin menunjukkan adanya glikosida yang mempunyai
kemampuan membentuk buih dalam air yang terhidrolisis menjadi glukosa dan senyawa
lainnya (Wardhani & Supartono, 2015).
Saponin ditunjukkan dengan adanya pembentukan busa stabil selama 30 detik setelah
simplisia tanaman dikocok dalam air yang menghasilkan ketinggian busa 1-3 cm dan
penambahan asam klorida pekat pada tabung reaksi. Saponin adalah jenis glikosida yang
banyak ditemukan dalam tumbuhan. Saponin memiliki karakteristik berupa buih. Sehingga
ketika direaksikan dengan air dan dikocok maka akan terbentuk buih yang dapat bertahan
lama. Saponin mudah larut dalam air dan tidak larut dalam eter. Saponin memiliki rasa pahit
menusuk dan menyebabkan bersin serta iritasi pada selaput lendir. Saponin merupakan
racun yang dapat menghancurkan butir darah atau hemolisis pada darah. Saponin bersifat
racun bagi hewan berdarah dingin dan banyak diantaranya digunakan sebagai racun ikan.
Saponin yang bersifat keras atau racun biasa disebut sebagai Sapotoksin (Julianto, 2016).
Menurut Nurhaliza dkk, 2022, ekstrak sirih cina, senyawa metabolit sekunder yang diduga
memiliki aktivitas antifungi adalah senyawa alkaloid, flavonoid, tanin, dan terpenoid. Alkaloid
sebagai antifungi memiliki mekanisme kerja yang hampir sama dengan ketokonazole yakni
dengan mempengaruhi ergosterol. Alkaloid berikatan kuat dengan ergosterol untuk
menyebabkan kebocoran membran sel. Flavonoid menjadi antijamur melalui beberapa
mekanisme yakni dengan menghambat pembentukan dinding sel, pembelahan sel, sintesis
RNA, dan menginduksi kelainan fungsi mitokondria. Tanin berperan menghambat sintesis
kitin sehingga dinding sel jamur tidak dapat terbentuk, saat dinding sel tidak dapat terbentuk
maka sel jamur akan mengalami kematian sel. Terpenoid memiliki mekanisme dengan cara
mendepolarisasi membran sehingga saluran ion terbuka dan menjadikan sel dalam keadaan
starvasi
Dapus
Anggraito, YU dkk. (2018). Metabolit Sekunder dari Tanaman: Aplikasi dan Produksi.
Semarang: Universitas Negeri Semarang
Baud, GS., Sangi, MS dan Koleangan, HSJ. (2014). Analisis Senyawa Metabolit Sekunder
dan Uji Toksisitas Ekstrak Etanol Batang Tanaman Patah Tulang (Euphorbia tirucalli L.)
dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Jurnal Ilmiah Sains Vol. 14 No. 2
Ergina., Nuryanti, S dan Pursitasari, ID. (2014). Uji Kualitatif Senyawa Metabolit Sekunder
pada Daun Palado (Agave angustifolia) yang di Ekstraksi dengan Pelarut Air dan Etanol. J.
Akad. Kim. 3(3): 165-172
Julianto, TS. (2019). Fitokimia Tinjauan Metabolit Sekunder dan Skrining Fitokimia.
Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia
Jeandet, P. 2015. Phytoalexins: current progress and future prospects. Molecules 20:
2770-2774
Murniasih, T. (2003). Metabolit Sekunder dari Spons sebagai Bahan Obat-obatan. Oseana,
Volume XXVIII, Nomor 3, Hal 27-33
Nurhaliza., Elisma dan Utami, DT. (2022). Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Batang dan Daun Sirih
Cina (Peperomia pellucida (L.) Kunth) terhadap Trichophyton rubrum. Indonesian Journal of
Pharma Science. Vol. 4 No. 1
Saifudin, A. (2014). Senyawa Alam Metabolit Sekunder Teori, Konsep, dan Teknik
Pemurnian. Yogyakarta: DEEPUBLISH
Wardhani, RAP dan Supartono. (2015). Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kulit Buah
Rambutan (Nephelium lappaceum L.) pada Bakteri. Indo. J. Chem. Sci. 4 (1)