Anda di halaman 1dari 37

1

FITOKIMIA
Mata Kuliah fitokimia merupakan mata kuliah yang lazim dipelajari setelah mempelajari
farmakognosi. Pada mata kuliah fitokimia dipelajari golongan-golongan senyawa yang
terdapat dalam bahan alam baik penggolongannya, sifat-sifat umum, biosintesisnya, cara-
cara identifikasinya, cara-cara ekstraksi dan cara-cara isolasi zat berkhasiatnya. Sebagai
langkah awal dapat dilakukan suatu skrining fitokimia untuk mengetahui secara cepat
kandungan metabolit sekunder yang terdapat dalam suatu bahan alam.
Selain itu dibahas juga cara-cara pemisahan yang dapat digunakan selain cara-cara
ekstraksi seperti filtrasi, evaporasi, kristalisasi, sublimasi, distilasi, fraksinasi, dan
kromatografi. Khusus untuk kromatografi dibahas cukup luas karena sangat besar
peranannya dalam penelitian bahan alam. Selain itu kromatografi dapat digunakan untuk
identifikasi dan penetapan kadar suatu zat. Kromatografi lapis tipis (KLT) akan dibahas
dengan lebih dalam karena merupakan cara kromatografi yang paling luas pemakaiannya
karena mudah, murah, cepat, dan akurat.
Cara-cara pengeringan dan cara-cara penguapan juga dibahas dengan cukup
lengkap karena merupakan tahap yang selalu dilewati dan cara-cara pengeringan dan
penguapan tersebut sangat menentukan kualitas produk yang dihasilkannya. Perlu diingat
bahwa banyak zat-zat berkhasiat dari tumbuhan tidak tahan panas, sehingga cara-cara
penguapan dan pengeringan senantiasa mempertimbangkan agar zat-zat tersebut tidak
rusak.
Dapat dikatakan bahwa pemahaman tentang struktur kimia suatu zat menjadi titik
sentral dari semua hal-hal yang dibahas dalam fitokimia. Struktur kimia atau lebih lanjut
golongan senyawa seperti terpenoid, alkaloida, flavonoida, steroid, fenil propanoid, glikosida,
dan poliketida yang terkandung dalam suatu bahan akan menentukan cara-cara ekstraksi
dan isolasinya. Selain itu konsep polaritas suatu zat akan menentukan cara-cara ekstraksi
dan isolasinya. Demikian juga sifat-sifat kimia tersebut akan mempengaruhi dalam
identifikasi zat-zat tersebut. Misalnya suatu zat yang polar akan berbeda dengan zat yang
bersifat non polar jika akan diidentifikasi secara kromatografi.
Identitas tumbuhan yang diteliti tentu saja harus dipastikan. Determinasi tumbuhan ini
hendaknya dilakukan terlebih dahulu dan dilakukan oleh ahli yang diakui. Hal ini penting
terutama karena suatu tumbuhan yang baru diteliti akan mungkin ditemukan adanya
senyawa-senyawa yang baru. Oleh karena itu sampel tumbuhan yang akan diteliti dilakukan
dengan cara yang tepat sehingga tidak merusak kandungan kimia yang terkandung di
dalamnya.

1. Metabolit Primer dan Metabolit Sekunder

Metabolisme merupakan seluruh perubahan kimia yang terjadi dalam sel hidup yang
meliputi pembentukan dan penguraian senyawaan kimia. Metabolime primer dalam
suatu tumbuhan meliputi seluruh jalur metabolisme yang sangat penting untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Metabolit primer merupakan senyawa yang secara langsung terlibat dalam
pertumbuhan suatu tumbuhan sedangkan metabolit sekunder adalah senyawa yang
dihasilkan dalam jalur metabolism lain yang walaupun dibutuhkan tapi dianggap tidak
penting peranannya dalam pertumbuhan suatu tumbuhan.
Bagaimanapun itu, metabolit sekunder mempunyai peranan bagi tumbuhan dalam
jangka waktu yang panjang, seringkali sebagai tujuan pertahanan, serta memberikan
karakteristik yang khas dalam bentuk senyawa warna. Metabolit sekunder juga
digunakan sebagai penanda dan pengatur jalur metabolisme primer. Hormon tumbuhan
yang merupakan metabolit sekunder seringkali digunakan untuk mengatur aktivitas
metabolisme sel dan pertumbuhan suatu tumbuhan. Metabolit sekunder membantu
tumbuhan mengelola sebuah sistem keseimbangan yang rumit dengan lingkungan,
2

beradaptasi mengikuti kebutuhan lingkungan. Warna yang yang diberikan oleh metabolit
sekunder dalam tumbuhan merupakan contoh yang bagus untuk menjelaskan
bagaimana sistem keseimbangan diterapkan. Melalui warna, tumbuhan dapat menarik
serangga untuk membantu proses penyerbukan dan juga dapat berguna untuk bertahan
dari serangan hewan.
Metabolisme sekunder menghasilkan sejumlah besar senyawa- senyawa khusus
(kurang lebih 200.000 senyawa) yang secara fungsi tidak memiliki peranan dalam
membantu pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan namun diperlukan oleh
tumbuhan untuk bertahan dari keadaan lingkungannya. Metabolisme sekunder
terhubung dengan metabolism primer dalam hal senyawa pembangun dan enzim dalam
biosintesis. Metabolisme primer membentuk seluruh proses fisiologis yang
memungkinkan tumbuhan mengalami pertumbuhan melalui menerjemahkan kode
genetik menghasilkan protein, karbohidrat dan asam amino.
Senyawa khusus dari metabolisme sekunder sangat penting untuk berkomunikasi
dengan organisme lain secara mutualistik (misalnya penarik organisme menguntungkan
seperti penyerbuk) atau interaksi antagonis (misalnya pencegah terhadap herbivora dan
mikroba patogen). Lebih jauh lagi metabolit sekunder membantu dalam mengatasi stres
abiotik seperti peningkatan radiasi UV walaupun mekanisme fungsinya masih belum
sepenuhnya dipahami.
Bagaimanapun, keseimbangan yang baik antara produk metabolisme primer dan
sekunder adalah yang terbaik untuk pertumbuhan dan perkembangan optimal tumbuhan
serta untuk mengatasi secara efektif kondisi lingkungan yang sering berubah. Senyawa
khusus yang terkenal diantaranya alkaloid, polifenol termasuk flavonoid, dan terpenoid.
Manusia menggunakan cukup banyak senyawa ini, atau tumbuhan dari mana mereka
berasal, untuk tujuan pengobatan dan nutrisi.

Gambar 1 Jenis metabolisme tumbuhan

Beberapa fungsi penting metabolit sekunder:


a. Hormon
b. Sebagai agen pewarna untuk menarik atau memberi peringatan pada spesies lainnya
c. Fitoalexan (sebagai bahan racun) yang memberikan pertahanan melawan predator.
d. Merangsang sekresi senyawa-senyawa lainnya seperti alkaloid, terpenoid, senyawa
fenolik, glikosida, gula dan asam amino.

Hubungan antara metabolisme sekunder dan metabolisme primer:


a. Proses dan produk metabolism primer sama pada hampir semua organisme sedangkan
metabolisme sekunder lebih spesifik
3

b. Dalam tumbuhan, metabolisme primer dibuat melalui fotosintesis, respirasi dan lain-lain
menggunakan CO2, H2O, dan NH3 sebagai bahan baku dan membentuk produk seperti
glukosa, asam amino, asam nukleat. Sedangkan di dalam metabolisme sekunder, tahap
biosintesis, substrat dan produknya khas untuk tiap famili dan spesies. Spesies-spesies
yang dekat secara toksonomi memiliki kesamaan jenis metabolit sedangkan spesies
yang jauh secara taksonomi memiliki metabolit sekunder yang sangat berbeda.

2. Jalur Biosintesis

Penentuan jalur biosintetik memungkinkan kita untuk memahami hubungan dan


aliran dinamis dari senyawa yang ada dalam sel hidup.
Pemahaman tentang urutan biosintesis dapat membantu kita mengidentifikasi enzim
dan gen, memahami hubungan antara organisme yang berbeda (seperti simbiosis,
interaksi tumbuhan-serangga, dan lain-lain). Pemahaman tentang biosintesis adalah
bagian dari pemahaman lengkap tentang biologi tumbuhan, ekologi dan
keanekaragaman hayati.
Jalur biosintesis, atau jalur biosintesis adalah gambaran langkah-langkah reaksi
kimia yang terjadi ketika organisme hidup menciptakan molekul kompleks baru dari
prekursor yang lebih sederhana dan lebih kecil.
Kata“biosintesis”berasal dari dua kata dasar yaitu“Bio”yang menunjukkan bahwa
reaksi berlangsung dalam organisme hidup yang berbeda dengan reaksi di dalam
laboratorium; ”sintesis” yang menunjukkan bahwa bahan awal yang sederhana
direaksikan untuk membentuk produk yang lebih besar.
Jalur biosintesis adalah ringkasan dari reaksi kimia ini, dipecah oleh setiap langkah.
Untuk mendeskripsikan suatu jalur, informasi ekstra relevan sering dimasukkan, seperti
enzim, koenzim, dan kofaktor yang digunakan dalam setiap reaksi.
4

Gambar 2 Jalur biosintesis metabolisme sekunder dalam tumbuhan

Berdasarkan senyawa pembangunnya (building block) maka jalur


biosintesis metabolit sekunder dalam tumbuhan dapat dibagi menjadi 3 jalur
yaitu:
1. Jalur asam asetat (Acetate Pathway)
2. Jalur asam sikimat (shikimic acid pathway)
3. Jalur asam mevalonat dan deoksisilulosa (mevalonate acid and
deoxyxylulose pathway)
Jalur Asam Asetat

Asetil KoA dibentuk oleh reaksi dekarboksilasi oksidatif dari jalur glikolitik
produk asam piruvat. Asetil Ko-A juga dihasilkan oleh proses β-oksidasi asam
lemak, secara efektif membalikkan proses dimana asam lemak itu sendiri
disintesis dari asetil-KoA.
Metabolit sekunder penting yang terbentuk dari jalur asetat meliputi
senyawa fenolik, prostaglandin, dan antibiotik makrolida, serta berbagai asam
lemak dan turunan pada antarmuka metabolisme primer / sekunder.
5

Jalur Asam Sikimat

Asam shikimat diproduksi dari kombinasi fosfoenolpiruvat, jalur glikolitik


antara,dan erythrose 4-fosfat dari jalur pentosa fosfat. Reaksi siklus pentosa
fosfat dapat digunakan untuk degradasi glukosa, tetapi mereka juga fitur dalam
sintesis gula oleh fotosintesis.
Jalur sikimat mengarah ke berbagai senyawa fenolik, turunan asam
sinamat, lignan, dan alkaloid

Jalur Asam mevalonat dan deoksisilulosa

Asam mevalonik sendiri terbentuk dari tiga molekul asetil Ko-A, tetapi
saluran jalur mevalonatasetat menjadi serangkaian senyawa yang berbeda
daripada jalur asetat.
Deoksisilulosa pospat muncul dari kombinasi dua intermediet jalur
glikolitik, yaitu asam piruvat dan gliseraldehida-3-fosfat. Jalur fosfat mevalonat
dan deoksisilulosa bersama-sama bertanggung jawab untuk biosintesis dari arah
besar metabolit terpenoid dan steroid

Gambar 3 Metabolit sekunder dari beberapa jalur biosintesis


6

3. Metode Ekstraksi, Isolasi, dan Identifikasi Senyawa Metabolit Sekunder Tumbuhan

Selain digunakan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, senyawa


metabolit sekunder dalam tumbuhan memiliki banyak manfaat bagi manusia
diantaranya sebagai obat, pestisida alamiah, pewarna makanan, aroma, kosmetika,
dan pewangi. Biosintesis senyawa metabolit sekunder juga dipelajari untuk memperoleh
informasi kimiawi terkait dengan proses pertumbuhan dan peningkatan kualitas suatu
tumbuhan dalam bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan.
Proses ekstraksi dan isolasi diperlukan untuk memisahkan dan mengambil
senyawaan metabolit sekunder tersebut sehingga dapat diperoleh manfaatnya.
Beberapa tahapan yang dapat dilakukan untuk memperoleh senyawa kimia metabolit
sekunder tersebut meliputi metode pengumpulan sampel tumbuhan, pencucian
sampel tumbuhan, pengeringan, dan metode ekstraksi dan isolasi tumbuhan.
Sebelumnya kandungan senyawa metabolit sekunder yang akan
diekstraksi dan diisolasi harus diidentifikasi dahulu. Metode yang umum adalah
dengan pereaksi kimia, terdapat reagen-reagen khusus untuk mengidentifikasi
senyawa golongan tertentu. Selain itu identifikasi bisa dilakukan dengan
kromatografi, terutama kromatografi lapis tipis (KLT).

4. Metode Pemisahan dan Pemurnian Metabolit S ekunder Tumbuhan


Metode pemisahan dan pemurnian senyawa metabolit sekunder dari tumbuhan
adalah teknik yang telah mengalami perkembangan dalam beberapa tahun terakhir.
Teknik modern ini menawarkan kemampuan untuk menyejajarkan pengembangan
dan ketersediaan banyak metode bioassay canggih di satu sisi, dan menyediakan
teknik isolasi, pemisahan, dan pemurnian yang tepat di sisi lain. Tujuannya ketika
mencari senyawa bioaktif adalah menemukan metode yang tepat yang dapat
menyaring bahan sumber untuk bioaktivitas seperti antioksidan, antibakteri, atau
sitotoksisitas, dikombinasikan dengan kesederhanaan, spesifisitas, dan kecepatan.
Metode in vitro biasanya lebih diinginkan daripada in vivo karena eksperimen hewan
mahal, membutuhkan lebih banyak waktu, dan rentan terhadap kontroversi etis. Ada
beberapa faktor yang membuat tidak mungkin untuk menemukan prosedur atau
protokol akhir untuk mengisolasi dan mengkarakterisasi molekul bioaktif tertentu.
Ini bisa disebabkan oleh berbagai bagian (jaringan) di sebuah pabrik, banyak
yang akan menghasilkan senyawa yang sangat berbeda, di samping struktur kimia
yang beragam dan sifat fisikokimia dari phytochemicals bioaktif. Baik pemilihan dan
pengumpulan bahan tumbuhan dianggap sebagai langkah utama untuk mengisolasi
dan mencirikan phytochemical bioaktif. Langkah selanjutnya melibatkan
pengambilan informasi ethno-botani untuk membedakan molekul bioaktif yang
mungkin. Ekstrak kemudian dapat dibuat dengan berbagai pelarut untuk mengisolasi
dan memurnikan senyawa aktif yang bertanggungjawab untuk bioaktivitas.
Teknik kromatografi kolom dapat digunakan untuk isolasi dan pemurnian senyawa
bioaktif. Instrumen yang dikembangkan seperti High Pressure Liquid Chromatography
7

(HPLC) mempercepat proses pemurnian molekul bioaktif. Berbagai jenis teknik


spektroskopi seperti UV-visible, Infrared (IR), Nuclear Magnetic Resonance (NMR),
dan spektroskopi massa dapat mengidentifikasi senyawa yang telah dimurnikan.
Banyak molekul bioaktif telah diisolasi dan dimurnikan dengan menggunakan
metode Kromatografi lapis tipis (KLT) dan kromatografi kolom. Metoe ini masih
banyak digunakan karena kenyamanan, ekonomi, dan ketersediaannya dalam
berbagai fase stasioner. silika, alumina, selulosa, dan poliamida paling banyak
digunakan untuk memisahkan senyawa kimia tumbuhan.
Bahan-bahan tumbuhan mengandung sejumlah besar fitokimia kompleks, yang
membuat pemisahan yang baik menjadi sulit. Oleh karena itu, meningkatkan polaritas
menggunakan beberapa fase seluler berguna untuk pemisahan bernilai tinggi.
Kromatografi lapis tipis selalu digunakan untuk menganalisis fraksi senyawa dengan
kromatografi kolom. Kromatografi kolom gel silika dan kromatografi lapis tipis (KLT)
telah digunakan untuk pemisahan molekul bioaktif dengan beberapa alat analisis.

5. Metode Identifikasi Metabolit Sekunder Tumbuhan

Penentuan struktur molekul tertentu menggunakan data dari berbagai teknik spektroskopi
seperti UV-visible, Infrared (IR), Nuclear Magnetic Resonance (NMR), dan spektroskopi massa.
Prinsip dasar spektroskopi adalah melewatkan radiasi elektromagnetik melalui molekul organik
yang menyerap sebagian radiasi, tetapi tidak semuanya. Dengan mengukur jumlah penyerapan
radiasi elektromagnetik, spektrum dapat diproduksi. Spektrum spesifik untuk ikatan tertentu
dalam suatu molekul. Tergantung pada spektrum ini, struktur molekul organik dapat diidentifikasi.

6. Senyawa- senyawa Metabolit Sekunder

1. Senyawa Fenolik

Senyawa fenolik merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam


tumbuhan dengan karakteristik memiliki cincin aromatic yang mengandung satu atau dua
gugus hidroksi (OH).
Dalam tumbuhan, kelompok senyawa ini memiliki beberapa fungsi yaitu:
- Pembangun dinding sel (lignin)
- Pigmen bunga (antosianin)
- Pengendali tumbuh (flavonol)
- Pertahanan (flavonoid)
- Menghambat dan memacu perkecambahan (fenol sederhana)
- Bau-bauan ( vanilin, metil salisilat)
8

Gambar 1 Beberapa senyawa antosianin dalam buah-buahan

Bila ditinjau dari jalur biosintesisnya, senyawa fenolik dapat dibedakan atas dua jenis
senyawa utama yaitu senyawa fenolik yang berasal dari jalur asam asetat mevalonat dan
jalur asam sikimat. Kelompok senyawa fenolik yang berasal dari jalur asam asetat mevalonat
adalah senyawa poliketida dan senyawa fenolik yang berasal dari jalur asam asetat adalah
fenil propanoid. Ditemukan juga senyawa fenolik yang berasal dari kombinasi dua jalur
biosintesis ini yaitu senyawa flavonoid.
Sifat dan ciri dari senyawa fenolik diantaranya:
• Cenderung mudah larut dalam pelarut polar
• Bila murni, tak berwarna
• Jika kena udara akan teroksidasi menimbulkan warna gelap
• Membentuk komplek dengan protein
• Sangat peka terhadap oksidasi enzim
• Mudah teroksidasi oleh basa kuat
• Menyerap sinar UV-Vis

Senyawa fenolik dibagi menjadi menjadi beberapa kelompok yaitu fenol sederhana
dan asam fenolat, fenilpropanoid, flavonoid, dan tannin.
a. Fenol sederhana dan asam fenolat
Senyawa fenolik dapat dalam bentuk paling sederhana namun jarang terdapat
terdapat dalam tumbuhan. Hidrolisis jaringan membebaskan asam fenolat larut dalam
eter. Fenol bebas jarang terdapat dalam tumbuhan, kecuali hidrokuinon
Contoh : hidrokuinon, katekol, pirogalol,vanilin, asam salisilat, asam protokatekuat
9

Hidrokuinon Pirogalol

Katekol

Asam salisilat Asam protokatekuat Vanilin

Gambar 2 : Beberapa senyawa fenol

b. Fenilpropanoid

Fenilpropanoid merupakan senyawa fenolik yang memiliki kerangka dasar


karbon yang terdiri dari cincin benzene (C6) yang terikat pada ujung rantai karbon
propana (C3).

Gambar 3 Kerangka dasar fenilpropanoid


Kelompok senyawa ini banyak ditemukan di tumbuhan tingkat tinggi. Senyawa
ini merupakan turunan asam amino protein aromatis yaitu fenil alanin. Senyawa
asam hidroksisinamat merupakan senyawa golongan fenil propanoid yang paling
banyak tersebar di alam. Contoh senyawa fenil propanoid lainnya adalah
hidroksikumarin, fenil propana, dan kumarin.
10

Gambar 4 Beberapa senyawa turunan asam hidroksisinamat suatu fenil propanoid

c. Flavonoid

Flavonoid merupakan kelompok senyawa fenolik terbesar di alam. Banyaknya


senyawa flavonoid ini karena banyaknya jenis tingkat hidroksilasi, alkoksilasi dan
glikosilasi pada strukturnya.
Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon
yang membentuk susunan C6-C3-C6.

Gambar 5 Struktur umum flvonoida

Lebih dari 2000 flavonoid yang berasal dari tumbuhan tumbuhan telahdiidentifikasi,
diantaranya senyawa antosianin, flavonol, dan flavon. Antosianin (daribahasa Yunani
anthos=bunga, kyanos, biru tua) adalah pigmen berwarnayang umumnya terdapat di
bunga berwarna merah, ungu, dan biru. Pigmen ini juga terdapat di berbagai bagian
tumbuhan lain, misalnya buah tertentu, batang, daun dan bahkan akar. Flavonoid
sebagian besar terhimpun dalam vakuola sel tumbuhan walaupun tempat sintesisnya ada di
luar vakuola.
Berdasarkan strukturnya, flavonoid dapat dikelompokkan menjadi :
1. Kalkon
2. Flavon
3. Flavonol
11

4. Flavanon
5. Antosianin
6. Isoflavon

D.Tanin
Tanin adalah suatu senyawa fenolik yang memberikan rasa pahit dan sepat/kelat, dapat
bereaksi dan menggumpalkan protein atau senyawa organic lainnya yang mengandung
asam amino dan alkaloid.
Tanin (dari bahasa inggris tannin, dari bahasa Jerman Hulu Kuno tanna, yang berarti
“pohon ek” atau “pohon berangan” pada mulanya merujuk pada penggunaan bahan
tannin nabati dari pohon ek untuk menyamak belulang (kulit mentah) hewan agar menjadi
masak yang awet dan lentur (penyamakan). Namun kini pengertiannya meluas, mencakup
berbagai senyawa polifenol berukuran besar yang mengandung cukup banyak gugus
hidroksil dan gugus lainnya yang sesuai (misalnya gugus karboksil) membentuk ikatan
kompleks yang kuat dengan protein dan makromolekul yang lain.
Senyawa-senyawa Tanin ditemukan pada banyak jenis tumbuhan. Senyawa ini
berperan penting untuk melindungi tumbuhan dari pemangsaan oleh herbivora dan hama,
serta sebagai agen pengatur dalam metabolisme tumbuhan.
Tanin memiliki berat molekul berkisar antara 500 sampai 3000 (ester asam galat)
dan lebih besar dari 20.000 (proantosianidin.)
Tanin dikelompokkan menjadi dua bentuk senyawa yaitu:
1. Tanin Terhidrolisis
Tanin dalam bentuk ini adalah tannin yang terhidrolisis oleh asam atau enzim
menghasilkan asam galat dan asam elagat. Secara kimia, tannin terhidrolisis dapat
merupakan ester atau asam fenolat. Asam galat dapat ditemukan dalam cengkeh
sedangkan asam elagat ditemukan dalam daun Eucalyptus. Senyawa tannin bila
direaksikan dengan feri klorida akan berwarna biru atau hitam

Asam galat Asam elagat


Gambar 6 : Asam galat dan asam elagat

2. Tannin terkondensasi
Tanin jenis ini resisten terhadap reaksi hidrolisis dan biasanya diturunkan dari
senyawa flavonol, katekin, dan flavan-3,4-diol. Pada penambahan asam atau
enzim, senyawaan ini akan terdekomposisi menjadi plobapen. Pada proses
destilasi, tannin terkondensasi berubah menjadi katekol, oleh karenanya sering
disebut sebagai tannin katekol. Tanin jenis ini dapat ditemukan dalam kayu
pohon kina dan daun teh. Tanin terkondensasi akan menghasilkan senyawa
berwarna hijau ketika ditambahkan dengan ferri klorida.

Metode Identifikasi Senyawa Fenolik


12

A. Fenol sederhana dan asam fenolat


• KLT silika gel (asam asetat-CHCl3 dan Etil asetat-benzena); selulosa MN 300
(benzena-MeOH-asam asetat dan asam asetat-air)
• Deteksi dengan UV dengan pereaksi Folin-Ciocalteu, pereaksi Gibs, uap NH3,
Vanilin-HCl
• GC-MS
• HPLC

B. FENILPROPANOID
Identifikasi

• Kromatografi Lapis Tipis (sesulosa)


• Kromatografi kertas
• Spektrofotometer UV-Vis
C. FLAVONOID
• Warna berubah dengan penambahan basa atau amonia
• Diidentifikasi dengan KLT (BAA–HAc 5%) spektrofotometer UV-Vis (pereaksi
geser)

2. ALKALOID

1. Pengertian Alkaloid
Alkaloid adalah kelompok metabolit sekunder terpenting yang ditemukan pada
tumbuhan. Keberadaan alkaloid di alam tidak pernah berdiri sendiri. Golongan senyawa ini
berupa campuran dari beberapa alkaloid utama dan beberapa kecil.
Definisi yang tepat dari istilah ‘alkaloid’ (mirip alkali) agak sulit karena tidak ada batas
yang jelas antara alkaloid dan amina kompleks yang terjadi secara alami. Alkaloid khas yang
berasal dari sumber tumbuhan, senyawa ini bersifat basa, mengandung satu atau lebih atom
nitrogen (biasanya dalam cincin heterosiklik) dan mereka biasanya memiliki aktivitas
fisiologis yang pada manusia atau hewan lainnya.
Pada tahun 1803, alkaloid semi-murni telah diisolasi oleh Derosne dan pada tahun 1805
Serturner mengisolasi alkaloid opium (Papaver somniferum).
13

Beberapa senyawa alkaloida dari getah Opium

Alkaloid pertama yang disintesis adalah coniine dari Conium maculatum pada tahun 1886.
Strychnine, Emetine, Brucine, Piperine, Caffeine, Quinine, Cinchonine dan Colchicine alkaloid
adalah landasan dari semua yang telah terjadi dalam kimia alkaloid hingga hari ini. Sebagian
besar alkaloid berasal dari amina oleh dekarboksilasi asam amino.
Isolasi alkaloid pertama kali tercatat dimulai pada abad kesembilan belas bersamaan
dengan dikenalnya proses perkolasi untuk ekstraksi obat dari tumbuhan. pada tahun
1803,seorang Apoteker Prancis bernama Derosne melakukan isolasi senyawa alkaloid yang
kemudian dikenal sebagai narkotika dan diikuti oleh Sertürner yang menyelidiki lebih lanjut
senyawa morfin dari tumbuhan opium (1806, 1816). Setelah itu beberapa jenis alkaloid lainnya
juga telah berhasil diisolasi diantaranya strychnine (1817), emetine (1817), brucine (1819),
piperine (1819), caffeine (1819), quinine (1820), colchicine (1820) dan coniine (1826).
Coniine adalah alkaloid pertama yang diketahui struktur kimianya (Schiff, 1870) dan berhasil
disintesis oleh Ladenburg pada tahun 1889. Alkaloid lainnya, seperti colchicine, baru
ditemukan dan dijelaskan struktur kimianya setelah satu abad berikutnya. Perkembangan
metode ekstraksi, isolasidan instrumentasi yang modern sangat memudahkan penyelidikan.
Pada paruh kedua abad ke-20, alkaloid sangat menonjol dalam pencarian obat dari bahan
tumbuhan untuk aktivitas antikanker. Aktivitas fisiologis alkaloid lain diantaranya untuk
anestesi, obat penenang, stimulan.

2. Sifat umum alkaloid


Kebanyakan alkaloid memiliki rasa pahit, bersifat basa lemah, dan sedikit larut dalam
air dan dapat larut dalam pelarut organic non polar seperti dietil eter, kloroform dan lain-lain.
Beberapa alkaloid memliki warna seperti berberin yang berwarna kuning dan garam
sanguinarine dengan tembaga berwarna merah. Alkaloid akan terdekomposisi oleh panas
kecuali strychnine dan caffeine. Secara wujud kebanyakan alkaloid berbentuk padatan kristal
dan sedikit diantaranya merupakan padatan amorf.
Alkaloid pada dasarnya merupakan senyawa yang bersifat basa dengan keberadaan atom
nitrogen dalam strukturnya, Asam amino berperan sebagai senyawa pembangun dalam
14

biosintesis alkaloid. Kebanyakan alkaloid mengandung satu inti kerangka piridin, quinolin,
dan isoquinolin atau tropan dan bertanggungjawab terhadap efek fisiologis pada manusia
dan hewan. Rantai samping alkaloid dibentuk atau merupakan turunan dari terpena atau
asetat. Alkaloid memiliki sifat basa dan bertindak sebagai senyawa basa dalam suatu reaksi.
Campuran alkaloid dengan suatu asam akan membentuk garam kristalin tanpa membentuk air.
Pada umumnya alkaloid berbentuk padatan kristal seperti pada senyawa atropine. Beberapa
alkaloid seperti lobeline atau nikotin berbentuk cairan.
Alkaloid memiliki kelarutan yang khas dalam pelarut organik. Golongan senyawa ini
mudah larut dalam alkohol dan sedikit larut dalam air. Garam alkaloid biasanya larut dalam
air. Di alam, alkaloid ada di banyak tumbuhan dengan proporsi yang lebih besar dalam biji
dan akar dan seringkali dalam kombinasi dengan asam nabati. Senyawa alkaloid memiliki
rasa yang pahit.

3. Klasifikasi alkaloid
Jika dibandingkan dengan kelas lain yang terjadi secara alami, tidak ada klasifikasi
struktur yang seragam untuk alkaloid. Klasifikasi alkaloid berdasarkan pada kerangka
karbonnya meliputi:

1. Alkaloid sebenarnya (True alkaloid)


Alkaloid jenis ini memiliki kerangka cincin heterosiklik yang mengandung atom
nitrogen. Biosintesis alkaloid jenis ini berasal dari asam amino-asam amino.

Contoh: Atrophine, Nicotine, Morphine

Atropin Nikotin Morfin

2. Protoalkaloid
Alkaloid jenis ini tidak memiliki cincin heterosiklik yang mengandung atom nitrogen
dan merupakan turunan dari asam amino.
Contoh: Ephedrin, mescalin, adrenalin
15

Efedrin Mescalin Adrenalin

3. Pseudoalkaloid
Alkaloid jenis ini mengandung cincin heterosiklik yang mengandung atom
nitrogen, namun bukan merupakan turunan dari asam amino

Contoh: Cafein, theobromin, theofilin

Cafein theobromin teofilin


Selain klasifikasi di atas, alkaloid dapat diklasifikasikan dengan beberapa faktor yaitu
berdasarkan biosintesisnya, berdasarkan kerangka struktur kimia, berdasarkan farmakologi,
dan berdasarkan taksonomi.

Secara umum alkaloid dikelompokkan dalam 2 bagian yaitu (i) heterosiklik (ii) non
heterosiklik.

Alkaloid heterosiklik

Alkaloid non heterosiklik


16

4. Metode Identifikasi Alkaloid


Alkaloid kasar yang diperoleh selanjutnya didentifikasi menggunakan metode
kromatografi lapis tipis dan disemprot dengan beberapa pereaksi alkaloid yaitu:
a. Pereaksi Dragendorff, hasil positif memberikan warna jingga kecoklatan dengan
latar belakang warna kuning dari pereaksi.
b. Pereaksi Iodoplatinat, hasil positif memberikan warna yang beragam
c. Pereaksi Marquis, hasil positif memberikan warna kuning hingga ungu

3. TERPENOID

3.1 Pengertian terpenoid


Senyawa terpena merupakan kelompok senyawa organik hidrokarbon yang melimpah
yang dihasilkan oleh berbagai jenis tumbuhan. Terpenoid juga dihasilkan oleh serangga.
Senyawaan ini pada umumnya memberikan bau yang kuat dan dapat melindungi tumbuhan
dari herbivora dan predator.
Terpenoid juga merupakan komponen utama dalam minyak atsiri dari beberapa jenis
tumbuhan dan bunga. Minyak atsiri digunakan secara luas untuk wangi-wangian parfum, dan
digunakan dalam pengobatan seperti aroma terapi.

Gambar 6.1 Metil jasmonat, suatu monoterpenoid dalam kelopak bunga melati

Terpena merupakan komponen utama dalam minyak terpentine. Nama “terpena” berasal
dari kata turpentine (terpentine). Senyawaan terpena juga merupakan salah satu senyawa
pembangun utama dalam biosintesis. Sebagai contoh, steroid merupakan turunan dari
triterpene squalene.
17

Aturan isoprena

Terdapat sekitar 30 ribu jenis senyawa terpena yang telah diemukan. Struktur dasar
senyawa terpena merupakan residu 2 metilbutana atau lebih tepatnya atau sering disebut
sebagai unit isoprene, (C5)n. Aturan ini dicetuskan oleh Ruzicka dan Wallach. Dekomposisi
termal terpenoid memberikan isoprena sebagai salah satu produk sehingga oleh Otto Wallach
disimpulkan bahwa terpenoid dapat dibangun dari unit isoprena. Aturan isoprena
menyatakan bahwa molekul terpenoid dibangun dari dua atau lebih unit isoprene.
Senyawa terpena disebut juga sebagai isoprenoid. Di alam, senyawa terpena
didominasi sebagai gugus hidrokarbon, alkohol, glikosida, eter, aldehida, keton, asam
karboksilat dan esternya
Lebih lanjut, Ingold (1921) mengusulkan bahwa unit isoprena bergabung dalam terpenoid
melalui model ‘kepala ke ekor’. Aturan isoprena khusus menyatakan bahwa molekul terpenoid
dibangun dari dua tau lebih unit isoprena yang bergabung dengan cara “kepala ke ekor” .

Gambar : 6.2 model isoprena “ Kepala yang bagian atas, ekor yang bawah”.

Tetapi aturan ini hanya dapat digunakan sebagai prinsip pemandu dan bukan sebagai
aturan baku. Misalnya karotenoid bergabung dengan ekor ke ekor di pusatnya dan ada juga
beberapa terpenoid yang kandungan karbonnya bukan kelipatan lima.

Yang membedakan antara hemi- (C5), mono- (C10), sesqui- (C15), di- (C20), sester-
(C25), tri- (C30) , tetraterpenes (C40) dan polyterpenes (C5) n dengan n> 8 adalah jumlah
subunit 2-methylbutane (isoprene).
18

Bagian isopropil dari 2-methylbutane didefinisikan sebagai kepala, dan residu etil sebagai
ekor. Dalam mono-, sesqui-, di- dan sesterterpena, unit isoprena dihubungkan satu sama lain
dari kepala-ke-ekor

Aturan ini membatasi jumlah struktur yang mungkin dalam menutup rantai terbuka ke
struktur cincin. Dengan demikian rantai terbuka monoter- penoid memunculkan hanya satu
kemungkinan monoterpenoid monosiklik yaitu struktur p-cymene.

Monoterpenod bisiklik mengandung enam anggota dan tiga anggota cincin. Dengan
demikian penutupan sepuluh rantai monoterpenoid terbuka karbon memberikan tiga struktur
bisiklik yang mungkin.

Karakteristik Terpenoid

Sebagian besar terpenoid tidak berwarna, merupakan cairan yang memiliki bau,
memiliki berat jenis yang lebih ringan daripada air, mudah menguap dengan adanya uap air
19

panas. Sedikit diantaranya berwujud padat seperti camphor. Seluruh senyawa terpenoid dapat
larut dalam pelarut organik dan biasanya tidak larut dalam air. Kebanyakan terpenoid besifat
optic aktif.

Struktur senyawa terpenoid merupakan alil siklik, beberapa diantaranya merupakan


senyawa tak jenuh dengan satu atau lebih ikatan rangkap. Konsekuensinya senyawa mudah
mengalami reaksi adisi dengan hydrogen, halogen, asam dan lain-lain. Sejumlah produk adisinya
memiliki sifat antiseptic.

Terpenoid mudah mengalami reaksi polimerisasi dan dehidrogenasi serta mudah


teroksidasi oleh agen pengoksidasi. Pada pemanasan, keban- yakan terpenoid
menghasilkan isoprene sebagai salah satu produknya.

3.2Metode Identifikasi Terpenoid


20

Reagen Liebermann-Buchard

Pembentukan cincin coklat mengindikasikan adanya fitosterol

Uji Salkowski

Penampakan warna kuning emas mengindikasikan adanya triterpen

Uji Tembaga asetat

Pembentukan warna hijau emerald mengindikasikan adanya diterpen

Metode Kedde

Hasil akan menunjukan warna ungu.

Metode Keller-Killiani

Hasil positif jika terlihat cincin merah bata menjadi biru atau ungu

Antimon(III)klorida

Berpendar pada panjang gelombang 360 nm.

p-anisaldehida / asam sulfat

Hasil yang terlihat spot berwarna ungu, biru, merah abu-abu atau hijau

Timah(IV)klorida

Periksa dengan sinar UV pada panjang gelombang tampak dan besar.

Vanilin / asam sulfat

Pembentukan warna merah-ungu mengindikasikan terpenoid

Asam Fosfat

Untuk deteksi sterol, steroid

Asam trifluoroasetat

Untuk deteksi steroid.

4. Poliketida
4.1 Pengertian Poliketida
Poliketida merupakan senyawa metabolit sekunder yang mengandung gugus karbonil dan
gugus metilen yang tersusun secara selang-seling (beta-poliketon). Biosintesis poliketida
dimulai dengan terjadinya reaksi kondensasi sebuah unit starter (asetil CoA atau propionil CoA)
dengan sebuah unit penyambung (pada umumnya malonil CoA atau metil malonil CoA,
dilanjutkan dengan reaksi dekarboksilasi unit penyambung. Kondensasi dekarboksilatif
berulang menghasilkan pemanjangan rantai karbon poliketida, dan modifikasi tambahan
21

seperti ketoreduksi, dehidratasi, dan enoilreduksi juga dapat terjadi.


Poliketida berasal dari kata “poli” yang berarti banyak dan ketida yang menunjukkan
adanya ketida (-CH2COCOOH). Hal ini dikarenakan suatu poliketida ditandai dengan
dimilikinya pola berulang suatu ketida –[CH2CO]n- dalam rangkaian strukturnya.
Walaupun sebagian besar poliketida diproduksi oleh mikroba (bakteri dan fungi), poliketida
dan turunannya juga ditemukan di makhluk hidup lainnya seperti dalam tumbuhan (misalnya,
flavonoid), serangga (misalnya, hydroxy- acetophenones), moluska (misalnya, haminol), spons
(misalnya, mycothi- azole), alga (misalnya, bromoallene acetogenins), lumut kerak (misalnya,
asam usnat), dan crinoid (misalnya, polyhydroxyanthraquinone).

Gambar 7.1 Senyawa mycothiazole, suatu poliketida yang terdapat dalam sponge

Secara keseluruhan, poliketida mewakili kelas bahan alam terbesar dan paling beragam
dalam struktur dan fungsi. Kelas-kelas senyawa yang berbeda telah dikelompokkan
berdasarkan fitur struktural umum, namun karena keragamannya yang sangat besar, skema
klasifikasi terpadu belum muncul. Salah satu perbedaan utama yang telah diketahui adalah
kelompok senyawa-senyawa yang berasal dari rantai poliketon yang tidak tereduksi yang
sebagian besar aromatik, dan kelompok di mana gugus karbonil sebagian besar berkurang.
Poliketida dan turunannya telah menjadi pusat perhatian karena kemampunannya
sebagai antibiotik dan agen terapi baru. Sekitar 1% dari 5000 hingga 10.000 poliketida telah
diketahui aktivitas biologisnya dan 205 diantaranya telah diproduksi secara masal oleh
industry farmasi. Beberapa contoh antibiotik turunan poliketida diantaranya tetracycline,
erythromycin, nystatin, avermectin, and spiramycin, agen antikanker doxorubicin, agen
hypocholesterol lovastatin, and immunosuppressant rapamycin.
22

Gambar 7.2 Beberapa senyawa poliketida

Secara umum senyawa poliketida memiliki struktur CH3[CH2CO]nCOOH yang disebut ketida
atau poli-beta-keto. Berdasarkan struktur poliketida tersebut, secara trivial poliketida memiliki
nama poliketida atau alkan poli-on. Sedangkan secara IUPAC diberi nama polialkanon.

Pengelompokan poliketida:
23

Turunan asilfloroglusinol Turunan kromon Turunan benzokuinon

fluoroasetofenon Kromon- 3 - karboksaldehida Fumigatin

Turunan naftakuinon Turunan antrakuinon

Plumbagin Rhein

Sumber-sumber Poliketida
Poliketida banyak dimanfaatkan sebagai obat-obatan karena dapat diisolasi dari
tumbuhan-tumbuhan yang ada di sekitar kita. Poliketida dapat diisolasi dari mikroba, jamur
Aspergillus terreus, tomat, jagung dan invertebrate yang jumlahnya cukup besar. Poliketida
adalah keluarga besar metabolit sekunder dengan struktur yang beragam dan aktivitas
biologis. Banyak dari mereka yang secara klinis senyawa penting seperti anti-biotik, anti-jamur,
dan obat anti-kanker. Biosintesis poliketida dikatalisis oleh enzim yang disebut polyketide
Sintase (PKSS). Rantai karbon dari poliketida dibentuk melalui kondensasi decarboxylative
bertahap unit asil-thioester menggunakan kelompok terkoordinasi PKS domain. Gen yang
mengkode PKS biasanya bergerombol dengan unsur-unsur tambahan dan peraturannya pada
genom dan produknya diklasifikasikan ke dalam tipe I, II, dan III tergantung pada organisasi
domainnya.

Biosintesis poliketida
Penelitian bidang biosintesis dimulai pada tahun 1953 oleh Birch dan Donovan. Peneliti
tersebut mengusulkan jalur biosintesis baru untuk poliketida yang menggunakan mekanisme
serupa dengan mekanisme biosintesis asam lemak. Hipotesisnya dikenal sebagai hipotesis
poliasetat yang menyatakan bahwa “poliketida dibentuk oleh hubungan kepala-ke-ekor unit
asetat, diikuti oleh siklisasi dengan reaksi aldol atau dengan asilasi fenol”. Pembentukan
24

rantai poli-beta-keto dapat digambarkan sebagai sederet reaksi Claisen.


Poliketida tersebut diproduksi melalui kondensasi bertahap yang sederhana dari
prekursor asam karboksilat yang menyerupai biosintesis asam lemak. Biosintesis tersebut
dilakukan oleh enzim Polyketide synthetase (PKSs). Selain senyawa di atas, contoh poliketida
lainnya antara lain aflatoxin, diskodermolida, antibiotik poliena, makrolida dan tetrasiklin.
Kegunaan senyawa-senyawa poliketida yaitu:
1. Sebagai antibiotik. Golongan yang sering dimanfaatkan diantaranya golongan makrolida
(eritromisin, azitromisin, klaritromisin, roksitromisin), golongan ketolida (telitromisin),
golongan tetrasiklin (doksisiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin).
2. Sebagai obat kolesterol (anti kolesterol), misalnya senyawa lovastatin.
3. Sebagai anti jamur, misalnya senyawa amfoterisin, nistatin.
4. Sebagai anti kanker, misalnya senyawa epotilon, doksorubisin.

5. GLIKOSIDA

1. Pengertian Glikosida

Glikosida adalah suatu senyawa metabolit sekunder yang berikatan dengan senyawa
gula melalui ikatan glikosida. Glikosida memainkan peranan penting dalam sistem hidup
suatu organisme. Beberapa tumbuhan menyimpan senyawa-senyawa kimia dalam bentuk
glikosida yang tidak aktif. Senyawa-senyawa kimia ini akan dapat kembali aktif dengan
bantuan enzim hydrolase yang menyebabkan bagian gula putus, menghasilkan senyawa kimia
yang siap untuk digunakan. Beberapa glikosida dalam tumbuhan digunakan dalam
pengobatan.
25

Gambar 1 Senyawa digoxin dan digitoxin, dua senyawa glikosida jantung yang
terdapat dalam tumbuhan Digitalis purpurea

Bagian gula suatu glikosida terikat pada atom C anomerik membentuk ikatan glikosida.
Glikosida dapat terikat oleh atom O- (O-gloikosida), N- (glikosida amin), S- (thioglikosida), C-
(C-glikosida). Bagian gula suatu glikosida disebut sebagai glikon, dan bagian bukan gula
disebut sebagai aglikon atau genin. Glikon dapat terdiri dari gula tunggal (monosakarida)
atau beberapa unit gula (oligosakarida).
Amygdalin merupakan glikosida yang pertama kali diidentifikasi oleh kimiawan
berkebangsaan Perancis, Pierre Robiquet dan Antoine Boutron-Charlard pada tahun 1830.
Tumbuhan memiliki banyak jenis enzim yang dapat membentuk dan memutus ikatan
glikosida. Enzim paling dalam reaksi pemutusan adalah glikosida hidroksilasi, dan enzim
paling penting dalam sintesis glikosida adalah glikosiltransferase.

2. Klasifikasi Glikosida

Glikosida diklasifikasikan berdasarkan jenis glikon, jenis aglikon dan jenis ikatan
glikosidanya

Klasifikasi berdasarkan glikon


26

Apabila gugus glikon suatu glikosida adalah glukosa maka molekulnya dinamakan
sebagai glukosida, apabila gugus glikon suatu glikosida adalah fruktosa maka molekulnya
dinamakan sebagai fruktosida, apabila gugus glikon suatu glikosida adalah asam glukuronat
maka molekulnya dinamakan sebagai glukuronida dan sebagainya.
Dalam tubuh, senyawa racun seringkali terikat oleh asam glukuronat untuk meningkatkan
kelarutannya dalam air menghasilkan glukuronida yang dapat tereksresikan dari dalam tubuh.

Klasifikasi berdasarkan ikatan glikosida.

Berdasarkan letak ikatan glikosida, di bawah atau di atas dari struktur datar molekul gula,
maka glikosida dapat diklasifikasikan sebagai alfa-glikosida (bawah) atau beta-glikosida (atas).
Beberapa enzim seperti alfa-amilase hanya dapat menghidrolisis ikatan-alfa.

Klasifikasi berdasarkan aglikon

Glikosida juga diklasifikasikan berdasarkan senyawa agikon alamiahnya. Klasifikasi ini


banyak digunakan untuk tujuan keimuan biokimia dan farma- kologi.

a. Glikosida alkohol (Alcoholic glycosides)


Contoh gloksida alkohol adalah salicin yang dapat ditemukan dalam genus Salix. Salicin
dalam tubuh diubah menjadi asam salisilat yang berkaitan erat dengan senyawa aspirin yang
memiliki efek analgesic, antipiretik, dan antiinflamasi.

Salicin

b. Glikosida antraquinon (Anthraquinone glycosides)


Glikosida jenis ini mengandung gugus aglikon yang merupakan turunan antraquinon.
Glikosida jenis ini memiliki aktivitas laksatif (pencahar). Senyawa ini banyak ditemukan dalam
semua tumbuhan dikotil. Glikosida ini juga ditemukan dalam tumbuhan monokotil yaitu pada
family Liliaceae. Aloin merupakan contoh glikosida turunan antrakuinon.
27

Aloin

c. Glikosida Kumarin (Coumarin glycosides)


Contoh dari glikosia kumarin adalah apterin yang dilaporkan memiliki aktivitas
melebarkan arteri koroner serta memblokir saluran kalsium. Glikosida coumarin lainnya
diperoleh dari daun kering tumbuhan Psoralea corylifolia.

Apterin

d. Glikosida Kromon (Chromone glycosides)


Contohnya adalah smitilbin.

Smitilbin

e. Glikosida Sianogenik

Dalam klasifikasi ini aglikon mengandung gugus cyanohydrin. Tumbuhan menyimpan


glikosida sianogenik dalam vokuola, namun pada saat tumbuhan mendapat serangan
dari luar lingkungan, maka tumbuhan akan melepaskan glikosida sianogenik dan
mengaktifkan dengan bantuan enzim dalam sitoplasma. Enzim akan memutus gula pada
molekul glikosida diikuti dengan terbentuknya struktur cyanohydrin dan melepaskan
racun hydrogen sianida. Peristiwa ini disebut sebagai sianogenesis. Sianogenesis adalah
salah satu mekanisme yang dapat berfungsi pada tumbuhan sebagai alat pelindung
terhadap pemangsa seperti herbivora. Kadar glikosida siano- genik yang dihasilkan
tergantung pada usia dan variasi tumbuhan, serta faktor lingkungan.
Contoh senyawa glikosida siangenik adalah amygdalin dan prunasin yang
28

meyebabkan rasa pahit pada pohon almond. Spesies lainnya yang menghasilkan
glikosida sianogenik adalah sorgum (dhurrin), singkong(linamarin dan lotaustralin),
talas, gadung, kacang koro (Mucuna pruriens). Amygdalin dan senyawa sintetis
turunan laetrile diketahui memiliki potensi sebagai obat untuk penyakit kanker.

f. Glikosida flavonoid

Aglikon jenis glikosida ini adalah flavonoid. Contoh glikosida flavonoid


diantaranya adalah: Hesperidin (aglikon: Hesperetin, glikon: Rutinosa), Naringin
(aglikon: Naringenin, glikon: Rutinosa), rutin (aglikon: Quercetin, glikon: Rutinosa),
Quercitrin (aglikon: Quercetin, glikon: Rhamnosa). Kebanyakan efek paling penting
dari flavonoid adalah sebagai antioksidan. Senyawaan ini juga diketahui dapat
mengurangi kerapuhan pembuluh kapiler.

g. Glikosida fenolik

Dalam hal ini aglikonnya merupakan suatu struktur fenolik sederhana. Contohnya
adalah arbutin yang ditemukan dalam Bearberry (Arctostaphylos uvaursi). Senyawa ini
memiliki efek antiseptic pada kandung kemih.

h. Glikosida saponin

Senyawaan ini memberikan efek pembentukan gelombung yang permanen pada


saat digojok bersama air. Senyawaan ini juga menyebabkan terjadinya hemolysis pada sel
darah merah. Contoh senyawa glikosida saponin adalah liquorice. Senyawa ini memiliki
aktivitas ekspektoran, dan antiinflamasi.
Senyawa diosgin yang merupakan glikosida dari saponin steroid diosgenin
adalah suatu starting material penting dalam menghasilkan suatu senyawa semi-
sintetik glucocorticoid dan steroid hormone sebagai progesterone.
Senyawa ginsenosida adalah glikosida triterpenoid dari saponin (Panax ginseng dan
Panax quinquefolius (American Ginseng). Secara umum, penggunaan istilah saponin
dalam kimia organik tidak disarankan, karena banyak konstituen tumbuhan dapat
menghasilkan busa, dan banyak triterpene-glikosida bersifat amphipolar dalam kondisi
tertentu, bertindak sebagai surfaktan. Penggunaan saponin yang lebih modern dalam
bioteknologi adalah sebagai adjuvant dalam vaksin: Quil A dan turunannya QS-21,
diisolasi dari kulit Quillaja saponaria Molina, untuk menstimulasi baik respon imun Th1
dan produksi sitotoksik T-limfosit (CTLs) terhadap antigen eksogen membuat mereka
ideal untuk digunakan dalam subunit vaksin dan vaksin yang diarahkan melawan
patogen intraseluler serta untuk vaksin kanker terapeutik tetapi dengan efek samping
hemolisis yang telah disebutkan sebelumnya.

i. Glikosida steroid (Steroidal glycosides) atau glikosida jantung

Aglikon pada glikosida ini adalah steroid. Glikosida jenis ini dapat ditemukan dalam
tumbuhan Digitalis, Scilla, and Strophanthus. Senyawa ini digunakan dalam
29

pengobatan penyakit jantung seperti gagal jantung kongestif dan arrhythmia. Contoh
dari glikosida steroid adalah digitoxin.

j. Glikosida steviol (Steviol glycosides)

Glikosida yang manis ini ditemukan dalam tumbuhan stevia (Stevia rebaudiana Bertoni)
memiliki tingkat kemanisan 40-300 kali dibandingkan pemanis sukrosa. Glikosida utama
dalam stevia yaitu steviosida and rebaudi- osida A, digunakan sebagai pemanis alamiah di
beberapa negara. Glikosida ini memiliki aglikon yang dinamakan steviol. glukosa atau
kombinasi rhamno- sa-glukosa berikatan pada bagian akhir aglikon membentuk senyawaan
yang berbeda.

j. Glikosida Iridoid (Iridoid glycosides)


Glikosida ini mengandung gugus iridoil, contohnya adalah aucubin, geniposidic acid,
theviridosida, Loganin, Catalpol.

k. Thioglikosida
Seperti namanya, glikosida ini mengandung atom sulfur. Contohnya meliputi sinigrin,
yang ditemukan dalam black mustard, and sinalbin, dalam white mustard.

3. Metode Identifikasi glikosida

Difenilamina
Untuk deteksi glikosida, glikolipid
Larutkan 5 gram difenilamina dalam 50 ml etanol. Tambahkan 40 ml asam klorida
pekat dan 10 ml asam asetat glasial. Semprotkan pada plat dan tutup dengal plat
kaca yang lain. Panaskan pada suhu 110 derajat celcius selama 30-40 menit sampat
tebentuk spot yang terlihat. spot biru menunjukkan adanya glikolipid

Timbal tetraasetat / 2,7-diklorofluororesen


Larutan 1: larutkan 2 gram Pb tetraasetat ke dalam 100 ml asam asetat glasial
Larutan 2: larutkan 1 gram 2,7-dikloroflouresen dalam 100 ml etanol Campurkan
larutan 1 dan 2 masing-masing 5 ml, dan tambahkan toluene kering sampai 200 ml.
Larutan reagen ini hanya stabil selama 2 jam

Orcinol (reagen Bials)


Untuk deteksi glikosida dan glikolipid
Larutkan 0,1 gram orcinol dalam 40,7 ml HCl pekat. Tambahkan 1 ml 1% feri(III) klorida
dan larutkan dengan aquades sampai volume menjadi 100 ml.
Semprot plat dan panaskan pada suhu 80 derajat celcius selama 90 menit. Adanya
glikolipid akan menghasilkan spot berwarna ungu.

Asam fosfat – bromida


30

Untuk mendeteksi digitalis glikosida Larutan 1: 10% asam fosfat encer


Larutan 2 : campukan 2 ml larutan jenuh kalium bromida, 2 ml larutan jenuh kalium
bromat dan 2 ml 25% asam hidroklorida
Prosedur kerja: semprot plat denga larutan 1. Panaskan pada suhu 120 derajat celcius
selama 12 menit. Digitalis glikosida seri B, D, dan E akan menunjukkan fluorosens pada
panjang gelombang UV.
Lanjutkan dengan memanaskan lagi pada suhu 120 derajat celcius dan semprotkan
sedikit larutan 2. Glikosida seri A menunjukkan warna oranye, seri C ditunjukkan
dengan pendar fluorosens berwarna abu-abu hijau sampai abu-abu biru pada cahaya
UV

Tetranitrodifenil
Untuk deteksi cardiac glikosida
Larutan 1: larutan jenuh 2,3’,4,4’-tetranitrodifenil dalam toluen
Larutan 2: larutkan 10 gram kalium hidroksida dalam campuran 50 ml aquades dan
50 ml metanol
Prosedur kerja: semprot plat dengan larutan 1, keringkan pada suhu ruang, kemudian
semprot dengan larutan 2. Hasil positif akan terlihat bila terbentuk spot berwarna biru.

6. Pembuatan Reagen untuk Skrining fitokimia (Suplemen)

Untuk skrining secara kualitatif, ada beberapa metode standar yang biasa digunakan
untuk mengenali adanya gugus fungsi tertentu

a. Alkaloid

Untuk mengetahui adanya senyawa alkaloid, ekstrak terlebih dahulu dilarutkan dalam HCl dan
disaring. Selanjutnya filtrat yang dihasilkan diuji dengan beberapa reagen berikut.

Uji Mayer
Tambahkan setetes atau dua tetes reagen Mayer pada sejumlah kecil fltrat. Pemberian
reagen dilakukan pada sisi tabung reaksi. Warna putih atau kuning keruh menunjukkan
adanya alkaloid pada ekstrak yang diuji tersebut.
Cara membuat Reagen Mayer:
Larutkan 1,36 gram Merkuri klorida dalam 60 ml aquades dan 5 gram potasium iodida dengan
10 ml aquades.
Campurkan kedua larutan tersebut, tambahkan aquades sampai volume campuran
mencapai 100 mL.

Uji Wagner
Beberapa tetes reagen Wagner ditampahkan melalui dinding tabung reaksi berisi
sejumlah kecil filtrat ekstrak. Warna coklat kemerahan menunjukkan hasil positif adanya
31

alkaloid

Cara membuat Reagen tes Wagner (Iodo-potassium Iodida)


Larutkan 2 gram iodium dan 6 gram potasioum iodida dalam 100 ml aquades

Uji Hager
Uji Hager dilakukan dengan menambahkan reagen Hager pada filtrat. Adanya alkaloid
ditandai dengan pembentukan warna kuning pada campuran tersebut.

Cara membuat Reagen Hager

Reagen Hager dibuat dengan cara melarutkan 1 gram asam pikrat dalam 100 ml aquades

Iodoplatinat

Reagen iodoplatinat dibuat dengan melarutkan 0,15 gram Kalium kloroplatina dan 3 gram
Kalium iodida ke dalam 100 ml larutan asam hodroklorida

Reagen semprot untuk alkaloid

1) Asam iodoplatinat

Asam Iodoplatinat dibuat dengan melarutkan 3 mL asam kloroplatinat (hidrogen


hexakloroplatinat) ke dalam 100 ml air. Di tempat lain, larutkan 6 gram Kalium Iodida
dalam 100 mL air. Kemudian campur kedua larutan tersebut.

2) Dragendorff spray

Larutan 1: larutkan 7 gram bismut nitrat dan 20 gram asam tartarat dalam 80 ml aquades

Larutan 2: larutkan 16 gram Kalium Iodida dalam 40 ml aquades.

Larutan stok: campur larutan 1 dan 2 dengan perbandingan volume 1 : 1. Larutan ini stabil
beberapa minggu di dalam lemari pendingin.

Prosedur kerja: campurkan 10 gram asam tartarat, 50 ml aquades dan 5 ml larutan stok
membentuk larutan. Gunakan untuk menyemprot

3) Formaldehida / asam sulfat

Campurkan 37% formaldehid dengan asam sulfat pekat dengan perbandingan 1:10.
Gunakan untuk menyemprot segera setelah meletakkan plat dalam chamber. Tidak
diperlukan pemanasan. Hasilnya akan nampak spot denganberbagai warna

4) Formaldehid /asam Fosfat

Larutkan 0,03 gram formaldehid ke dalam 100 mL asam fosfat 85%, aduk menggunakan
stirer dalam temperatur ruang. Larutan ini stabil selama beberapa minggu. Gunakan untuk
32

menyemprot plat.

5) Asam nitrat / etanol

Campurkan 50 tetes asam nitrat 65% ke dalam 100 mLetanol (bisa juga menggunakan
konsentrasi yang lebih pekat). Jika diperlukan panaskan sampai 120 derajat celcius untuk
beberapa waktu. Gunakan larutan ini untuk spray.

b. Senyawa fenolik dan Flavonoid

1) Uji Reagen Alkali

Pengujian dilakukan dengan menambahkan beberapa tetes larutan NaOH. Perubahan


warna menjadi kuning pekat menandakan adanya flavonoid

Cara lain dalam uji ini adalah menambahkan larutan amonium hidroksida 10% ke dalam
ekstrak yang terlarut dalam sejumlah aquades. Adanya flavonoid ditunjukan dengan
terbentuknya warna kuning flouresence

2) Uji Pb Asetat

Sebanyak 50 mg ekstrak dilarutkan dalam aquades. Kemudian ditambahkan 3 ml Pb


asetat 10%. Perubahan larutan menjadi putih keruh menandakan adanya fenol.

3) Uji Gelatin

Sebanyak 50 mg ekstrak dilarutkan dalam 50 ml aquades. Kemudian tambahkan 2 ml


larutan gelatin yang mengandung 10% NaCl. Campuran berwarna putih menandakan
adanya senyawa fenolik.

4) Uji Ferri klorida

Sebanyak 50 mg ekstrak dilarutkan dalam 5 ml aquades. Tambahkan beberapa tetes ferri


klorida 5% netral. Warna hijau pekat menandakan adanya senyawa fenolik

5) Uji Magnesium dan reduksi asam hidroklorida

Sebanyak 50 mg ekstrak dilarukan dalam 5 ml alkohol. Masukkan potongan kecil pita


magnesium dan HCl pekat beberapa tetes. Jika ada perubahan warna dari pink menjadi
merah tua, menandakan adanya flavanol glikosida

6) antimoni (III)klorida

Semprot plat dengan larutan jenuh dari 25 gram antimon (III)klorida dalam kloroform.
Panaskan pada suhu 100 derajat celsius selama 10 menit. Dengan cahaya UV, lihat spot
flouresen di panjang gelombang 360 nm

Reagen semprot untuk flavonoid dan senyawa fenolik


33

1) Aluminium klorida

Larutkan 1 gram aluminium klorida dalam 100 ml etanol 95%. Gunakan untuk
menyemprot. Hasil terlihat dari warna kuning flouresen dengan cahaya UV (360 nm).

2) Emerson (4-aminoantipirin/kalium heksasianoferat)

Untuk mendeteksi fenol

Larutan 1 : larutkan 1 gram aminiantipirin (4-aminophenazon) ke dalam 100 ml etanol


80%

Larutan 2 : larutkan 4 gram kalium heksasianoferat(III) ke dalam 50 ml aquades.


Tambahkan etanol sampai volume mencapai 100 ml

Prosedur kerja: semprot plat dengan larutan 1, keringkan 5 menit dengan udara hangat.
semprot dengan larutan 2, keringkan kembali selama 5 menit. Tempatkan plat dalam
chamber berisi uap amonia (larutan amonia 25%). pastikan lapisan tidak kontak dengan
lartan amonia. Akan terlihat warna merah-orange naik menjadi spot pink salmon

3) p-Anisaldehid / asam sulfat

Campurkan 5 ml p-anisaldehid ke dalam 50 ml asam asetat glasial dan 1 ml asam sulfat


97%. Gunakan selalu larutan baru untuk menyemprot plat. Panaskan pada suhu 105
derajat celcius sampai spot terlihat. Latar belakang plat bisa dibuat lebih terang dengan
semprotan uap air. Spot yang terlihat bisa berwarna ungu, biru, merah, abu-abu atau
hijau

4) Reaksi Boute

Untuk mendeteksi fenol. Keringkan dan panaskan plat kromatogram. Letakan plat panas
dalam chamber yang berisi uap NO2 (dari asam nitrat pekat) selama 3 – 10 menit.
Kemudian diuapi dengan uap NH3 (dari amonia pekat)

5) Reagen Chloranil

Untuk mendeteksi fenol, semprot plat dengan larutan yang terbuat dari 1 gram tetrakloro-
p-bonzoquinon dalam 100 ml toluen

6) Chloramine-T

Larutkan 5 gram reagen dan 0,5 gram NaOH ke dalam 100 ml aquades. Digunakan untuk
mendeteksi senyawa fenolik.

7) DDQ

Reagen DDQ (Diklorodisianobenzoquinon) dibuat dengan melarutkan 2 gram 2,3-dikloro-


5,6-disiano-1,4-benzoquinon ke dalam 100 ml aquades. Digunakan untuk menyemprot
plat mendeteksi fenol
34

8) 2,6 dikloroquinon

Larutkan 1,0 gram 2,6-dikloroquinon-4-kloroimida ke dalam 100 ml metanol. Untuk


mendeteksi fenol, semprot plat dengan larutan baru. Kemudian panaskan pada suhu 110
derajat celcius selama 10 menit dan uapi dengan uap NH3

9) Etanolamina difenilborat

Larutan 1 : larutkan 1 gram etanolamin difenilborat dalam 100 ml metanol Larutan 2 :


larutkan 5 gram polietilen glikol dalam 100 ml etanol

Prosedur kerja: untuk mendeteksi flavonoid, semprot plat dengan larutan 1 kemudian
semprot dengan larutan 2. Amati dengan UV di panjang gelombang 365 nm

10) Reagen Fast Blue B

Larutkan 0,5 gram Fast Blue B (tetraazotized di-o-anisidin) dalam aseton/ aquades (9:1,
v/v). Selalu gunakan larutan baru.

Semprot plat dua kali dengan larutan tersebut. Lalu semprot berkali kali dengan larutan
0,1M NaOH. Hasil: Senyawa Cannabinoid ditunjukan dengan berubahnya warna menjadi
merah tua/ungu.

11) Feri klorida / asam sulfat

Larutkan 2 gram FeCl3 dalam 83 ml n-butanol dan 15 ml asam sulfat pekat. Gunakan
larutan tersebut untuk menyemprot KLT. Panaskan pada suhu 110oC selama 5 – 30
menit.

Cek hasilnya setiap 5-10 menit untuk melihat adanya warna atau spot flouresens di
panjang gelombang 254 nm dan 360 nm. Pengamatan bisa diteruskan sampai spot
menjadi berwarna coklat, abu-abu atau hitam.

12) Feri klorida – Kalium ferisianida

Larutkan 3 gram Feri klorida dan 3 gram Kalium ferisianida ke dalam 100 ml 2M asam
hidroklorida. Digunakan untuk mendeteksi senyawa fenolik dan amina aromatik

13) Reagen Gibb

Untuk mendeteksi fenol. Larutkan 3 gram 2,6-dibromo-N-kloro-p-benzoquinon imina


dalam 100 ml metanol atau toluen

14) Pb tetraasetat (Lead tetraacetate)

Larutan 1: larutkan 2 gram Pb tetraasetat ke dalam 100 ml asam asetat glasial Larutan 2:
larutkan 1 gram 2,7-dikloroflouresen dalam 100 ml etanol Campurkan larutan 1 dan 2
35

masing-masing 5 ml, dan tambahkan toluene kering sampai 200 ml. Larutan reagen ini
hanya stabil selama 2 jam

15) Tetrasianoetilen (reagen TCNE)

Untuk mendeteksi fenol. Larutkan 0,5 – 1 gram tetrasianoetilen ke dalam diklorometan


atau toluen. Gunakan untuk menyemprot plat. Panaskan pada suhu 100 derajat celcius
dalam waktu singkat.

16) Reagen TNF (trinitrofluorenon)

Larutkan 2 gram 2,4,7-trinitrofluorenon dalam 100 ml toluen. Gunakan untuk menyemprot


plat.

17) o-Tolidin, diazotized

Larutan Tolidin : campurkan 5 gram o-tolidin dan 14 ml asam hidroklorida ke dalam 100
ml aquades

Larutan nitrat : larutkan 10 gram natrium nitrat dalam 100 ml aquades. Selalu siapkan
larutan baru.

Campur 20 ml larutan tolidin dan 20 ml larutan nitrat pada suhu 0 derajat celcius sambil
diaduk konstan. Larutan penyemprot ini stabil hanyan 2-3 jam. Setelah penyemprotan,
diperlukan beberapa waktu sampai spot berwarna terbentuk.

18) Asam p-toluensulfonik

Untuk mendeteksi steroid dan flavonoid

Larutkan 20 mg asam p-toluensulfonik dalam kloroform. Gunakan untuk menyemprot plat.


Lalu panaskan beberapa saat pada suhu 100 derajat celcius. Amati spot dengan UV
pada panjang gelombang besar.

3. Deteksi Terpenoid

1) Reagen Liebermann-Buchard

Tambahkan 1 ml klorofom pada ekstrak kemudian disaring. Pisahkan filtratnya.


Tambahkan 1 ml asam asetat anhidrat pada filtrat. Didihkan dan dinginkan pada suhu 0
derajat celcius. Kemudian tambahkan 1 tetes asam sulfat pekat. Pembentukan cincin
coklat mengindikasikan adanya pitosterol

2) Uji Salkowski

Ekstrak ditambah kloroform kemudian disaring. Pisahkan filtrat dan tambahkan beberapa
tetes asam sulfat pekat pada filtrat tersebut. Kocok dan biarkan pada posisi berdiri.
36

Penampakan warna kuning emas mengindikasikan adanya triterpen

3) Uji Tembaga asetat

Ekstrak dilarutkan dalam air. Tambahkan 3-4 tetes larutan tembaga asetat. Pembentukan
warna hijau emerald mengindikasikan adanya diterpen

4) Metode Kedde

yaitu dengan cara menguapkan sampel sampai kering kemudian menambahkan 2 mL


kloroform, lalu dikocok dan disaring. Filtrat dibagi menjadi 2 bagian, A dan B. Filtrat A
sebagai blangko, dan filtrat B ditambah 4 tetes reagen Kedde. Hasil akan menunjukan
warna ungu.

5) Metode Keller-Killiani

yaitu dengan menguapkan 2 mL sampel, dan mencucinya dengan heksana sampai


heksana jernih. Residu yang tertinggal dipanaskan diatas penangas air kemudian
ditambahkan 3 mL pereaksi FeCl3 dan 1 mL H2SO4 pekat. Hasil positif jika terlihat cincin
merah bata menjadi biru atau ungu

6) Antimon (III) klorida

Untuk mendeteksi terpen, steroid, steroid glukosida

Semprot plat dengan larutan jenuh dari 25 gram antimon (III) klorida dalam kloroform.
panaskan pada suhu 100 derajat celcius selama 10 menit, lakukan pengamatan pada
panjang gelombang 360 nm.

7) p-anisaldehida / asam sulfat

untuk deteksi fenol, steroid dan terpen.

Larutkan 0,5 ml p-anisaldehid dalam campuran 50 ml asam asetat glasial dan 1 ml asam
sulfat pekat.

Gunakan larutan baru untuk menyemprot plat. Panaskan pada suhu 105 derajat celcius
sampai terlihat spot. Semprotan uap air bisa membuat latar belakang plat lebih terang
seningga spot lebih terlihat.

Hasil yang terlihat spot berwarna ungu, biru, merah abu-abu atau hijau

8) Timah(IV)klorida

Untuk deteksi triterpen, sterol, steroid, fenol dan polifenol.

Larutkan 10 ml timah(IV)klorida ke dalam camuran 80 ml kloroform dan 80 ml asam


asetat glasial. Gunakan larutan ini untuk menyemprot plat. Panaskan pada suhu 100
derajat celcius selama 5-10 menit. Dan periksa dengan sinar UV pada panjang
37

gelombang tampak dan besar.

9) Vanilin / asam sulfat

Untuk deteksi steroid

Larutkan 1 gram vanilin dalam 100 ml asam sulfat pekat. Gunakan untuk menyemprot
plat. Keringkan pada suuhu 120 derajat celcius sampai terbentuk warna secara maksimal.

Formulasi yang lain adalah 0,5 gram vanilin dalam campuran 80 ml asam sulfat dan 20 ml
etanol.

Reagen ini hanya dapat digunakan untuk KLT berbahan gipsum dengan alas kaca.

10) Asam Fosfat

Untuk deteksi sterol, steroid

Campurkan 50 ml asam fosfat pekat dengan 50 ml aquades. Semprot plat denganlarutan


tersebut sampai lapisan terlihat transparan. Kemudian panaskan pada suhu 10 derajat
celcius selama 10-15 menit.

11) Asam trifluoroasetat

Untuk deteksi steroid.

Larutkan 1 gram asam trifluoroasetat dalam 100 ml kloroform. semprot plat denganlarutan
tersebut, kemudian panaskan pada suhu 120 derajat celcius selama 5 menit.

Anda mungkin juga menyukai