Anda di halaman 1dari 9

PENGOLAHAN LIMBAH DEBU EAF (ELECTRICAL ARSH FURNACE) DARI INDUSTRI

PELEBURAN BAJA: A Review


Ryvaldo Vanogari*, Selvy Armanda*, Syalsa Fadhila*
*Program Studi Teknik Kimia, Jurusan Teknologi Produksi dan Industri
Institut Teknologi Sumatera

ABSTRAK
Tantangan besar dalam produksi suatu produk adalah bagaimana mengolah limbah samping yang
dihasilkan selama proses produksi agar sesuai tujuan dan seminimal mungkin memberikan
kerugian. Debu EAF menjadi salah satu limbah padat hasil dari pabrik baja tungku busur listrik.
Tingginya kandungan seng dalam debu EAF serta tingginya biaya pengolahan limbah padat,
menjadi faktor pendukung daur ulang debu EAF atau penggabungannya ke bahan lain sebagai
bentuk penanganan terhadap limbah ini. Proses komersial untuk mendaur ulang debu EAF
adalah dengan menggunakan proses pirometalurgi. Dalam proses ini recovery limbah debu EAF
dapat digunakan berbagai macam metode. Metode yang paling umum digunakan adalah metode
pirometalurgi. Selain itu, terdapat metode hidrometalurgi dan yang paling modern adalah
bioleaching. Kehadiran seng berharga dalam debu EAF dan meningkatnya biaya untuk
pembuangan limbah adalah faktor pendorong untuk daur ulang EAFD atau penggabungannya ke
dalam bahan lainnya. Fitur seperti ukuran partikel kecil, kandungan seng tinggi dan
keberadaannya dari franklinite mineral tahan dekomposisi telah lama mempengaruhi baik positif
dan pemrosesan debu EAF negatif. Baru-baru ini, semakin banyak klorin yang merusak, timbal
dan kromium sama-sama memengaruhi rute daur ulang tradisional dan baru atau proses
penggabungan limbah dengan cara yang menentukan. Dalam penelitian ini, tinjauan kritis
tentang dasar-dasar proses daur ulang atau penggabungan debu EAF pirometalurgi dan
hidrometalurgi disajikan, sebagai titik awal untuk memahami bagaimana debu EAF rute
pemrosesan dipengaruhi oleh semua faktor yang dikutip. Terutama penting adalah diskusi pada
pengaruh komposisi debu – termasuk pengaruh elemen perusak yang dapat menunjukkan
beberapa masalah relevan yang harus dipertimbangkan untuk sukses mengakhiri proposal
pemrosesan debu lama dan baru.

Kata kunci : limbah samping, Debu EAF, recovery, bioleaching, pirometrulgi, klorin.
Pendahuluan
Dewasa ini, berbagai industri dalam hal ragam serta jumlahnya berkembang cukup pesat di
Indonesia. Perkembangan ini dapat disebabkan oleh pemenuhan terhadap permintaan pasar yang
semakin tinggi akibat gaya hidup konsumtif maupun sebagai wujud terhadap pemenuhan pasar
luar yang mampu berdaya saing. Perkembangan ini tentunya memberikan dampak baik sekaligus
buruk. Peningkatan produksi yang tinggi tentu akan selaras dengan jumlah limbah yang
dihasilkan. Semakin tinggi jumlah produksi, dapat dipastikan limbah hasil produksi juga akan
meningkat. Diantara limbah yang dihasilkan tersebut terdapat limbah padat yang berbahaya.
Limbah padat merupakan bahan sisa kegiatan dalam wujud padat yang berbahaya baik karena
kandungan racun di dalam nya maupun akibat kontaminasi sekitar (The World Bank, 2018).
Limbah berbahaya memiliki resiko bahaya bagi kesehatan serta keselamatan lingkungan sekitar
apabila dibuang secara langsung tanpa penanganan terlebih dahulu.
Jenis limbah akan bergantung pada jenis produksi yang dilakukan baik dalam segi bahan
baku sampai pada teknik pemrosesan yang digunakan dalam produksi. Meskipun demikian, tidak
semua industri menghasilkan bahan berbahaya sebagai limbah produksinya. Salah satu contoh
limbah padat berbahaya ada pada industri peleburan baja. Peleburan baja menjadi industri yang
menghasilkan limbah berbahaya baik dalam bentuk padatan maupun cairan. Bahaya timbul
dikarenakan beberapa hasil samping atau buangan dari industri ini mengandung unsur logam
berbahaya bagi kesehatan manusia juga bagi keselamatan lingkungan dan makhluk lainnya.
Limbah padat berbahaya dari industri peleburan baja diantarnya yaitu: limbah slag, limbah
lumpur CMR, Batu Gangue, Debu EAF, dan lain-lain (Suharwanto, 2016). Data tersebut
didukung dengan pengkalsifikasian limbah B3 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun
2014 tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), debu EAF dikategorikan
sebagai limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) dengan kode limbah B407 (Nur Anisya et
al., 2017).
Limbah Debu EAF (Electrical Arch Furnace) merupakan limbah debu yang mengandung
logam berat yang diperoleh dari proses peleburan baja dalam Tanur Busur Listrik atau Electrical
Arc Furnace (EAF) (Nur Anisya et al., 2017). Debu EAF dapat menyebabkan penurunan pada
daya lihat manusia. Hal ini disebabkan partikel debu yang halus dan tidak terserap oleh dust
collector ketika proses peleburan akan beterbangan di lingkungan kerja yang tentunya dapat
masuk dalam mata pekerja. Selain menimbulkan masalah bagi penglihatan, debu EAF juga
berbahaya bagi pernapasan manusia ketika terhirup karena mengandung logamlogam berbahaya
yang dapat menyebabkan penyakit infeksi saluran pernapasan (ISPA). Saat ini lebih dari
setengah total poduksi limbah debu EAF dibuang secara langsung ke pembuangan tanpa
pengolahan dan dimanfaatkan.
Ditinjau dari dampak buruk yang diberikan kepada kesehatan dan keselamatan lingkungan,
maka diperlukan penangangan serta management pengelolaan limbah debu EAF untuk mencegah
dan meminimalisir dampak negative yang diberikan dari produksi. Penanganan tentang limbah
debu EAF yang termasuk dalam kategori limbah B3 tertulis pada Peraturan Pemerintah Nomor
101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun adalah kegiatan
yang meliputi pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan,
pengolahan, dan/atau penimbunan. Teknologi produksi baja yang digunakan sebagian besar semi
terintegrasi pabrik atau mini-mill termasuk toko peleburan listrik, yang menggunakan tungku
busur listrik, EAF, sebagai peralatan peleburan skrap. Selama pengoperasian EAF, debu tungku
busur listrik, EAFD, dihasilkan dari penguapan besi cair dengan logam nonferrous, CO meledak
gelembung dan ejeksi dan menyeret partikel dari bak logam, terak dan lainnya bahan dalam
oven. Karakteristik dasar dari EAF adalah tepatnya keberadaan busur listrik, yang menunjukkan
sangat suhu tinggi dan ditempatkan di lingkungan lingkungan yang terpapar gas – penguapan
(dan oksidasi) dari fraksi logam kecil dan konveksi atmosfer oven dapat dikaitkan dengan faktor-
faktor ini. Debu EAF baru terbentuk, berbentuk halus partikulat, terbawa dari oven bersama
dengan gas dari peleburan dan pemurnian beban tungku, ditambah udara mengaku langkah
pasca-pembakaran dan pendinginan knalpot gas. Pada akhir pipa EAFD biasanya dikumpulkan
dalam sistem filter kain dedusting kering umumnya dikenal sebagai rumah kantong (de buzin et
al., 2016). Salah satu limbah industri yang dapat dimanfaatkan adalah limbah debu pengolah baja
(dry dust collector) yang digunakan sebagai bahan tambah (additive) pada campuran beton
(Arifin dan Besman, 2015). Uji laboratorium debu limbah ini mempunyai ukuran butiran 20- 75
mesh, mengandung unsur utama Iron (Fe), Karbon (C), Oksigen (O), Natrium (Na), Magnesium
(Mg), Silika (Si), Kalsium (Ca), Mangan (Mn) dan element lainnya. Secara fisik dan kimia, debu
limbah mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai beton. Beberapa hasil penelitian
terdahulu menyebutkan bahwa debu limbah pengolahan baja ini dapat digunakan sebagai bahan
pengisi pada conblock. Beton merupakan salah satu bahan konstruksi yang banyak digunakan
dalam pelaksanaan struktur modern. Beton diperoleh dengan cara mencampurkan semen
portland, air, dan agregat serta kadang-kadang bahan tambah (admixture) yang berupa bahan
kimia, abu, serat, bahan non kimia dengan perbandingan tertentu. Penggunaan beton pada
dasarnya memiliki keunggulan-keunggulan diantaranya memiliki kuat tekan yang tinggi,
perawatan dan pembentukan yang mudah, serta mendapatkan bahan penyusunnya (Arifin dan
Besman, 2015. limbah debu EAF dari peleburan baja dapat diolah kembali untuk diaplikasikan
dalam bidang Teknik Sipil atau dalam dunia konstruksi bangunan. Oleh karena itu, pada riset ini
peneliti akan memanfaatkan limbah debu EAF di Perusahaan Peleburan Baja sebagai bahan
campuran beton dan berharap dapat memperoleh komposisi campuran yang menghasilkan kuat
tekan optimum dan memenuhi persyaratan kuat tekan minimum pada beton, sehingga beton yang
dihasilkan dapat menjadi alternatif pilihan material konstruksi ramah lingkungan, karena
menggunakan limbah sebagai bahan tambah dan bernilai ekonomi tinggi. Dampak lingkungan
yang terjadi pada industri peleburan terutama adalah debu dan asap yang keluar dari tungku,
debu dari pasir cetak, bising dan getaran dari mesin dan lain lain, berbagai macam peralatan
dipakai dalam usaha untuk mencegah timbulnya hal tersebut. Beberapa contoh peralatan tersebut
terutama untuk mencegah emisi debu antara lain : • Dust colector untuk tungku cupola •
Penangkap debu jenis siklon • Penangkap debu dengan penukar panas dan kantong saringan •
Dust collector untuk tungku listrik Produksi besi dan baja berkaitan erat dengan pemulihan
sejumlah besar debu dan lumpur. Sekitar 1.016 Mio t debu dan lumpur dikumpulkan Jerman.1)
Untuk proses material ini diperlukan yang memastikan pengelolaan limbah yang efisien
berkaitan dengan produktivitas dan profitabilitas pabrik baja. Pengembangan sistem terintegrasi
diperlukan untuk memulihkan dan untuk mendaur ulang komponen berharga (Gudenau et al.,
2015).

Tinjauan Pustaka
Limbah merupakan sisa usaha atau kegiatan yang sudah tidak memiliki nilai ekonomi lagi
tanpa diolah terlebih dahulu. Secara umum, berdasarkan jenis limbah dibagi menjadi limbah
padat, cair dan gas. Secara karakteristik, limbah dikategorikan menjadi limbah B3 dan non-B3.
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) merupakan sisa usaha dan/atau kegiatan yang
mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang menurut sifat, konsentrasi dan/atau
jumlahnya dapat mencemarkan serta merugikan lingkungan hidup dan/atau dapat
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup
lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung (Arditama & Ariyanto, 2019).
Limbah baja merupakan limbah anorganik padatan logam. Limbah berbahaya hasil
peleburan baja yang paling signifikan jumlahnya ialah limbah debu EAF. Limbah debu EAF
adalah limbah dengan ukuran partikel halus yang mengandung unsur logam hasil peleburan baja
dalam tungku pembakaran elektrik. Limbah ini dihasilkan dari proses Electrical Arch Furnace
(EAF) pada tahapan pemasukkan scrap dalam dapur EAF. Scrap adalah besi/logam sisa hasil
produksi yang biasanya tidak digunakan karena tidak memenuhi standar spesifikasi produk. Sisa
besi ini pada umumnya memiliki bentuk yang sudah tidak beraturan dengan kualitas rendah
karena tingkat kontaminan yang tinggi, seperti sudah tercampur dengan pasir dan partikel besi
lainnya yang sudah korosi. Ketika proses charging berlangsung, debu-debu yang dihasilkan dari
scrap akan keluar dari atap Berdasarkan tabel 2.1 diatas dapat diketahui bahwa debu EAF
Sebagian besar mengandung logam Zn yaitu 68,81%. Kandungan seng yang tinggi ini dapat
dimanfaatkan atau di daur ulang.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara, Pencemaran udara didifinisikan sebagai masuknya atau dimasukkannya zat,
energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu
udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat
memenuhi fungsinya.
Secara umum, masuknya bahan-bahan polutan ini dapat berasal dari berbagai sumber
pencemar yang meliputi seluruh usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan bahan pencemar ke
udara yang menyebabkan udara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, baik yang berasal
dari sumber emisi bergerak, sumber emisi bergerak spesifik, sumber emisi tidak bergerak
maupun sumber emisi tidak bergerak spesifik. Kegiatan industri merupakan salah satu sumber
emisi tidak bergerak yang mempunyai andil cukup besar terhadap pencemaran udara, khususnya
pada wilayah industri itu sendiri dan wilayah sekitarnya. Emisi pencemaran udara oleh industri
sangat tergantung pada jenis industri dan proses produksinya. Dari sisi proses produksi,
pencemaran emisi industri, sangat dipengaruhi oleh jenis peralatan yang digunakan serta
bahanbahan baku yang digunakan.
Secara umum, dalam PP Nomor 41 Tahun 1999 telah ditetapkan baku mutu udara ambien
nasional untuk parameter pencemar udara dengan masing-masing nilai baku mutunya dapat
dilihat pada tabel 2.1 berikut :
Tabel 1. Parameter Pencemar Udara Ambien(4)
Tebelnya:
Keterangan * 1 jam ** 3 jam Dalam konteks pencemaran udara, yang dimaksud dengan
partikel/debu adalah benda padat yang terjadi karena proses mekanis (pemecahan reduksi)
terhadap massa padat yang masih dipengaruhi oleh gaya gravitasi. Partikel/debu dapat terhirup
melalui saluran pernapasan. Partikel yang berukuran besar lebih dari 0.6 µ akan tertahan pada
saluran nafas bagian atas, sedangkan yang dibawah 0.3 µ akan mengikuti gerakan brown yaitu
keluar masuk, hanya yang memiliki ukuran antara 0.3 µ s/d 0.6 µ akan sampai pada bagian
alveoli paru. Debu yang mengandung logam berat selain mempunyai potensi untuk dapat
menimbulkan fibrosis pada paru, juga dapat dapat menimbulkan iritasi mukosa. Dampak yang
ditimbulkan oleh pencemaran debu pada kesehatan manusia sangat tergantung pada komposisi
kandungan kimianya, sebagai contoh adalah debu asbes yang terjadi akibat pengereman
kendaraan bermotor yang menggunakan asbes untuk kanvas remnya. Akibat dari debu asbes ini
akan menyebabkan asbestosis yang berdampak pada penyakit kanker. Beberapa partikel logam
seperti Be (Berilium) dapat menimbulkan penyakit pneumonic yang akut, sedangkan debu arsen
dapat menimbulkan kanker paru dan kanker kulit.
Teknologi untuk mengendalikan emisi partikel/debu logam semuanya didasarkan pada
penangkapan partikel/debu logam sebelum dilepaskan ke atmsofir. Metode yang digunakan
untuk mencapai tujuan tersebut banyak dipengaruhi oleh dimensi partikel/debu logam.
Penanggulangan pencemaran debu logam dapat dilakukan dengan jalan antara lain memakai
peralatan pengendali debu logam pada industri seperti ruang sistem pengendap gravitasi, baq
filter, electrostatic precipitator (EP), cyclon scrubber, Peralatan sistem pengendap gravitasi
mempunya proses sebagai berikut: aliran gas dilewatkan kedalam ruangan yang cukup besar
sehingga velositas gas akan menurun dan waktu tinggal didalam ruangan tersebut cukup lama
(Teguh Prayudi, 2016).
Metode Daur Ulang Limbah Debu EAF
Dapur EAF dan terhirup oleh dust collector (Braga Costa Santos et al., 2021). Limbah
debu EAF berbentuk seperti pasir namun mempunyai tekstur yang lebih halus seperti tepung
terigu dan memiliki warna abu-abu pucat.
Ketika kondisi proses pelenuran dalam bentuk scrap baja, kandungan logam berat dalam
scrap baja dapat mencapai 25% dari total berat (Ledesma et al., 2018). Akibat besarnya
kandungan logam berat inilah yang membuat debu EAF diklasifikasikan sebagai limbah
berbahaya. Komposisi kimia dalam debu EAF akan bervariasi tergantung pada jenis baja yang
diproduksi, bahan baku, dan zat aditif yang ditambahkan dalam proses. Temperatur peleburan
juga dapat mempengaruhi besarnya komposisi kimia dalam debu EAF.
Tabel komposisi Kimia Pada Debu EAF
Dalam pemanfaatan atau daur ulang limbah biasanya dapat digunakan berbagai macam
metode seperti metode pirometalurgi, hidrometalurgi, dan ada metode yang baru untuk recovery
limbah industri yaitu Bioleaching (Mirahati, 2019). Proses yang paling umum digunakan dalam
recovery limbah debu EAF adalah proses pirometalurgi. Pada umumnya proses pirometalurgi
dilakukan dengan mereduksi logam-logam seperti Zn, Pb dan Fe yang terkandung dalam debu
tungku busur listrik dengan zat pereduksi berupa gas CO dari batubara atau kokas untuk
memperoleh kembali logamlogam tersebut dalam bentuk logam (Astuti et al., 2020).
Pirometalurgi memanfaatkan sifat titik didih rendah dan memperkaya kembali seng dan timbal
yang terkandung dalam debu melalui reaksi reduksi, pirometalurgi dibagi menjadi dua, yaitu
reduksi langsung dan reduksi peleburan.
Hidrometalurgi merupakan proses yang menggunakan larutan pelindian, memisahkan
logam seng dari campuran, dalam metode ini dibagi menjadi metode alkali pelindian dan
ammonia pelindinan (Wang et al., 2021). Sedangkan, Bioleaching menggunakan media
mikrobiologi dalam memisahkan seng yang terkandung dalam limbah debu EAF.
Secara umum, dalam proses pirometalurgi untuk daur ulang EAFD, senyawa Zn dan Pb
bereaksi dengan karbon monoksida (CO) berasal dari zat pereduksi (biasanya bahan berkarbon
seperti batu bara atau kokas) di bawah termodinamika yang sesuai kondisi (Sinklair Rj etc al.,
2016).
REAKSI ZNO
Proses alternatif, diuji setidaknya dalam skala pabrik percontohan, gunakan karbon terlarut
dalam bak logam besi sebagai zat pereduksi seperti, misalnya, proses 2sDR [10] dan dalam
campuran tinggi reaktor mandi UNO dan DUO [20]. Pengurangan logam utama oksida yang ada
dalam debu diaktifkan; besi – di antara unsur-unsur lainnya – menyatu ke dalam bak sementara
seng (serta Pb) menguap dan diperoleh kembali sebagai oksida. Dalam kasus ini, menurut untuk
Colbert dan Irons , mekanisme reaksi yang dominan adalah reduksi seng oksida oleh karbon
terlarut
REKASI ZNO
Proses Waelz, bekerja di bawah reaksi stoikiometri (1), adalah yang paling banyak
digunakan di seluruh dunia, mewakili lebih dari 80% kapasitas terpasang . Muatan tungku Waelz
terdiri terutama dari pelet yang dibuat dengan EAF Dust ditambah zat pereduksi (kokas) dan
kecanduan seperti CaO atau SiO2 – tergantung pada mode operasi (asam atau basa). Proses
berdasarkan teknologi Waelz bertujuan untuk selektif mengurangi sebagian besar oksida logam
nonferrous yang ada di EAFD, terutama seng dan timah. Meskipun Fe lebih mulia dan lebih
banyak daripada Zn, dalam praktiknya, sebagian kecil oksida besi cenderung mengurangi. Untuk
menjaga besi dalam bentuk teroksidasi, menurut Sinclair, perlu untuk beroperasi di bawah
termodinamika yang sesuai kondisi. Tren ini (untuk pengurangan oksida besi sebelumnya) dapat
dibalik pada suhu yang lebih tinggi dan / atau besi yang sesuai kandungan oksida (aktivitas)
dalam terak; aktivitas FeO dalam terak dapat dikontrol oleh komposisinya. Suhu yang lebih
tinggi dari sekitar 1300 ◦C tidak cocok untuk proses, karena, selain energi dikeluarkan, mereka
membuat operator tetap waspada terhadap kemungkinan pembentukan cangkang yang berlebihan
(cincin yang terdiri dari bahan dengan tekanan rendah titik lembek), yang pada akhirnya
mengurangi kerja oven bagian, menyebabkan berhenti terjadwal. Dalam aspek ini, indeks
kebasaan (%CaO + %MgO)/%SiO2 memberikan pengaruh yang besar, karena akresi cenderung
terbentuk pada kebasaan terak sekitar 1. Melalui kontrol yang hati-hati terhadap konsentrasi
oksida besi, kebasaan dan jumlah zat pereduksi, suhu yang lebih rendah batas dapat dikurangi
menjadi zona yang lebih menguntungkan, mendekati 1200 ◦C. Selama proses Waelz, setelah
langkah reduksi, berbentuk gas seng (dan timbal) berpindah dari beban ke dalam oven yang
memanaskan atmosfer. Dalam proses ini, seng yang sangat membutuhkan oksigen tidak dapat
diperoleh kembali dalam bentuk logam. Di ruang gas, karena kelebihan udara yang disuntikkan
dari ujung kiln, atmosfer pengoksidasi terbentuk dan kesetimbangan termodinamika baru terjadi,
menyebabkan oksidasi ulang seng. Dengan teknologi ini, karena adanya pembakaran Bersama
karbon (kokas, kokas halus, batubara antrasit) dengan bahan bakar lain, untuk menyediakan
beban pemanasan dan energi yang diperlukan untuk reaksi reduksi, kandungan seng dalam fase
gas biasanya Mempertimbangkan semua kemungkinan tujuan akhir EAFD, sebagai tambahan
proses daur ulang, ada kemungkinan untuk penggabungan limbah ini menjadi produk atau bahan
lain. Tujuan dari ini inisiatif tidak hanya untuk memanfaatkan debu sebagai bahan baku, tapi juga
menghambat aksi elemen berbahaya bagi lingkungan oleh kurungan mereka.

Anda mungkin juga menyukai