PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam perencanaan kali ini adalah sebagai
berikut:
1. Mengidentifikasi karakteristik gas dan partikulat yang dihasilkan pada
industri semen.
2. Melakukan perencanaan desain Electrostatic Precipitator (ESP), hood,
ducting, cerobong, electrical yang digunakan pada industri semen.
3. Menentukan nilai efisiensi removal dari unit Electrostatic Precipitator
(ESP) pada industri semen.
4. Menghitung Bill of Quantity (BOQ) dan Rencana Anggaran Biaya (RAB)
yang dibutuhkan untuk membangun unit Elektrostatic Precipitator (ESP)
pada industri seme
1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat diterima dari perencanaan kali ini adalah :
1. Bagi akademisi
a. Memberikan wawasan baru sebagai bentuk dari pendalaman materi dan
pengaplikasian keilmuan dalam bidang Teknik pengolahan limbah.
b. Merupakan kesempatan bagi mahasiswa untuk mengembangkan
kemampuan dan keahlian yang telah dipelajari.
2. Bagi Institusi
Sebagai evaluasi yang dapat dijadikan referensi berupa desain
perencanaan Instalasi Pengolahan gas dan partikulat yang sesuai dengan
karakteristik limbah gas dan partikulat pada industri semen yang mengacu
pada peraturan perundangan yang berlaku.
BAB II
DASAR TEORI
2. 1. Partikulat
Particulate Matter (PM), didefinisikan sebagai material halus dalam bentuk
solid maupun cair (liquid droplets) di udara dengan ukuran antara 0.05 µm hingga
100 µm. Selain itu, partikulat juga ditemukan dalam bentuk suspensi dengan rata-
rata ukuran kurang dari 40 µm. Pengelompokan partikulat berdasarkan ukurannya
dibagi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu a) ultra fine particle, dengan ukuran < 0.1 µm ,
b) fine particle, dengan ukuran 0.1 – 2.0 µm, dan c) coarse particle, dengan
ukuran >2 µm. Selain itu, klasifikasi lainnya yang digunakan untuk
menggambarkan ukuran partikel adalah sifat aerodinamis yaitu kurang atau sama
dengan 10 µm (PM10). Partikulat dari hasil pembakaran di mesin diesel pada
umumnya berukuran kurang dari 2,5 µm (PM2.5). Sebagai sebuah hasil reaksi
kimia, partikel ini juga memiliki susunan partikel yang lebih kecil dengan ukuran
diameter kurang dari 0,1 µm (CEPA, 1999)
PM dapat bersumber dari industri maupun pertambangan baik dari proses
pembakaran maupun non pembakaran. Karakteristik PM yang penting antara lain;
ukuran, distribusi ukuran, bentuk, densitas, stickness, korosivitas, reaktivitas dan
toksisitas (Cooper & Alley, 1986). Karakteristik PM tersebut penting dalam
desain peralatan pengendalian PM disamping parameter gas buang seperti
tekanan, temperatur, viskositas, kelembaban, komposisi kimia dan flammability.
Peralatan pengendalian PM umumnya terdiri atas pemisah mekanik (gravity
settler/cyclone), fabric filter, electrostatic precipitators dan wet scrubber.
A B C
A B C
2 Pendingin Terak 75 70 60
(Clinkers Cooler)
3 Unit Pencampuran 75 70 60
(Milling) dan/atau
penggilingan
(grinding)
4 Unit pengumpul debu 60 60 60
(Dust Collector) pada
alat Transportasi unit-
unit produksi
5 Pengepakan – 75 70 60
Pengantongan
(Bagging)
2.8 Perhitungan
2.8.1. Tegangan Korona
Ketika suatu potensial listrik diletakkan pada dua plat sejajar maka
akan terbentuk suatu medan listrik yang seragam. Ketika medan listrik
tersebut berada pada titik kritisnya sekitar 3MVm-1 , maka akan terjadi
lompatan listrik menyerupai kilat antara kedua plat dan juga dapat
menghasilkan suara sehingga dapat dirasakan melalui penglihatan dan
pendengaran. Bagaimanapun medan listrik tidaklah selalu seragam, bisa saja
terbentuk akibat dari potensial kabel ke suatu plat atau suatu silinder. Hal ini
dapat menyebabkan sesuatu berpijar yang disebut sebagai korona, tanpa
adanya kilatan. Korona yang dihasilkan dari listrik AC berbeda dengan listrik
DC.
Karena pada listrik AC potensial pada suatu titik akan berganti-ganti
dari positif ke negatif dan berulang seterusnya. Pada listrik DC makan
potensial pada suatu titik tersebut akan tetap sehingga menghasilkan korona
potensial positif dan korona potensial negatif. Jika dikaitkan 10 dengan
proses pemuatan partikel. Korona AC akan menghasilkan gerak osilasi saat
memuati partikel. Korona DC akan menyebabkan partikel termuati bergerak
menuju elektroda kolektor.
Pembentukan korona dibagi menjadi dua daerah, yaitu daerah korona
dan kedua daerah pasif. Daerah korona adalah suatu daerah yang sangat tipis
memgelilingi titik potensialnya. Elektroda discharging akan melepaskan
elektron yang disebut longsoran elektron (elektron avalanche) sehingga pada
daerah ini suatu elektron mengalami kecepatan yang sangat tinggi, dan ketika
elektron tersebut menumbuk suatu molekul gas, elektron tersebut akan
mengeluarkan elektron dari molekul. Gas berion positif ini akan bergerak
menuju katoda yang bersifat netral. Elektron-elektron yang baru terbentuk
bergerak dan mengionisasi molekul-molekul gas lainnya atau bergerak
menuju anoda. Daerah korona dibatasi dengan medan listrik yang semakin
melemah dimana elektron tidak sanggup lagi untuk mengionisasi molekul gas
netral. Ketika ada partikel yang melewati daerah ini maka partikel cenderung
termuati secara positif dikarenakannya banyak gas yang berion positif dan
mobilitas elektron yang tinggi (Strauss (1975) dalam Wiranata (2017)).
Daerah pasif adalah dimana daerah yang berda diluar daerah korona,
dimana elektron tidak sanggup lagi mengionisasi molekul gas netral.
Elektron-elektron yang berada daerah ini akan menempelkan dirinya ke
molekul gas melewati proses yang disebut transfer elektron. Pada
Electrostatic precipitator jumlah molekul per unit volumenya jauh lebih besar
dibandingkan partikel debu yang dibawa. Sehingga elektron jauh lebih
banyak menempel pada molekul gas dan menyebabkan banyaknya produksi
ion negatif dibandingkan elektron yang menempel pada partikel debu. Pada
perjalannya ion-ion negatif bertemu dengan partikel debu dan memberikan
muatan negatifnya ke partikel, hal ini disebut transfer muatan. (Heinsohn and
Kabel, (1999) dalam Wiranata (2017)).
Tegangan korona merupakan tegangan yang dibutuhkan untuk
membangkitkan kuat medan korona. Pada alat ini, apabila tegangan korona
semakin besar maka kemampuan alat untuk menangkap polusi udara akan
semakin baik. Jadi, tegangan korona sangatlah dibutuhkan dalam proses kerja
alat (Artono,2001). Menurut Turner (2012), tegangan korona dapat dihitung
dengan :
𝑑
𝑉𝑐 = 𝐸𝑐 × 𝑟𝑤 × ln(𝑟 ) ……………………………………(2.1)
𝑤
Dimana :
Ec = Kuat Medan Arus
4
d = 𝜋 × 𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘𝑘𝑎𝑤𝑎𝑡 − 𝑝𝑙𝑎𝑡
Dimana :
Ec = kuat medan korona (V/m)
dr = densitas relatif gas
rw = jari-jari kawat (m)
Selanjutnya, ntuk menghitung tegangan operasi (Va) dalam ESP
dapat digunakan persamaan berikut ini.
𝑟 3 +𝑟𝑤
2
𝑉𝑎 = 𝑉𝑐 + 𝐸𝑐 ………………(2.3)
2×𝑟𝑤
Dimana :
Vc = tegangan korona
Ec = kuat medan korona (V/m)
r = jarak antara kawat dengan plat (m)
Berikutnya, untuk menghitung pemuatan partikel (Qp) dalam ESP
dapat digunakan persamaan berikut:
2𝜆 2 𝜀 −1
𝑄𝑃 = {(1 + 𝑑𝑝2 ) + ( 2𝜆 ) × 𝜀𝑟 +2} 𝜋𝜀0 𝑑𝑝2 𝐸𝑐 … …………..(2.4)
1+ 𝑟
𝑑𝑝
Dimana:
𝑇 101,3×103
𝜆 = 6,61 × 10−8 293 …………(2.5)
𝑃
Gambar 2.3 Partikel bermuatan yang melewati suatu ESP jenis wire-
cylinder (tubular)
Dimisalkan terdapat suatu jenis ESP berbentuk tubular seperti pada
gambar 2.4. elektroda discharge adalah kawat dan dinding atau elektroda
kolektor adalah silinder. Jika diambil secara memotong dan analisa pada salah
satu bagian saja. Aliran laminar terjadi pada ESP ini, namun memiliki pola
parabolic sehingga kecepatan reratanya sama dengan setengah darkecepatan
maksimum (Strauss, 1975). Maka kecepatan aliran dapat dirumuskan
terhadap waktu dan jari-jari.
Dengan menggunakan persamaan Deutsch dapat dicari besar
efisiensinya dengan menggunakan persamaan jarak lintasan maksimal
partikel tertangkap. Serta mempertimbangkan tidak ada partikel yang
tertangkap terlebih dahulu pada kolektor, Didapatkan :
−2𝜔𝑥
𝜂 = 1 − 𝑒𝑥𝑝 ( ) ; Jenis tubular
𝑅𝑉𝑎𝑣
−𝜔𝑥
𝜂 = 1 − 𝑒𝑥𝑝 (𝐿𝑉 ); Jenis Plat sejajar
𝑎𝑣
−𝜔𝐴
𝜂 = 1 − 𝑒𝑥𝑝 ( ); jenis lain
𝑄
Keterangan :
η = Efisiensi ESP
w = Migration velocity ft/s (m/s)
A = Luas pengumpul plat ft2 (m2)
Q = Debit gas masuk (m3/s)
Hubungan kuantitatif dari kecepatan migrasi, area pengumpulan pelat,
laju aliran gas, dan efisiensi pengumpulan, sebagaimana ditunjukkan dalam
persamaan Deutsch-Anderson dapat digambarkan dengan paling baik dengan
contoh-contoh sederhana berikut. Perlu dicatat, bahwa persamaan hanya
berlaku untuk rentang ukuran partikel yang sangat sempit dan kecepatan
migrasi yang relatif konstan.
Kriteria design variable ESP dalam dilihat pada Tabel 1. (Wang,
Pereira, dan Hung, 2004).
Tabel 2.3. Range variabel design untuk ESP
or in metric units:
𝑚2
𝑆𝐶𝐴 = 1000𝑚3 /𝑗𝑎𝑚……………………….(2.10)
Sumber : ACGIH,1988
Penentuan kecepatan hisapan hood dalam mengumpulkan debu dapat
dilihat dari Tabel 2.5 berikut :
Tabel 2.5 Minimum Recommended Control Velocities
dimana:
V = kecepatan saluran dalam kaki / menit
S = gravitasi spesifik dari partikel
d = diameter dalam inci dari partikel terbesar yang akan disampaikan
Persamaan di atas telah dikembangkan untuk digunakan dengan udara
sekitar. Sementara itu mempertimbangkan efek kepadatan partikel, ia
mengabaikan kepadatan gas yang membawa. Jika densitas gas sangat berbeda
dari udara ambien permukaan laut, kebutuhan untuk mengubah persamaan
dapat diantisipasi. Meskipun kecepatan yang dipilih oleh Persamaan 2.20
adalah untuk menyampaikan partikulat, umumnya diinginkan dalam saluran
pembuangan untuk menghindari jalan horizontal yang panjang, jika
memungkinkan dan untuk memberikan kemiringan pada bagian-bagian yang
pada dasarnya horisontal dari saluran kerja tersebut (Schnelle, 2016).
Selain itu, partikulat yang lembab dan lengket dapat menghasilkan
penumpukan saluran, dan kecepatan yang diprediksi oleh persamaan di atas
tidak memadai untuk mencegah pengerasan dinding saluran dalam situasi
seperti itu. Kecepatan saluran yang lebih tinggi, pembersihan saluran yang
sering, dan pelapis saluran fluorocarbon adalah praktik yang digunakan dalam
situasi seperti itu (Schnelle, 2016).
Tabel 2.6 harus dikonsultasikan untuk menentukan kecepatan saluran
minimum. Area tergantung pada sumber aliran udara. Jika pekerjaan saluran
berasal dari tudung, laju aliran akan ditentukan dari kap seperti yang
disarankan. Jika pekerjaan saluran berasal dari sepotong peralatan proses atau
peralatan kontrol lain, peralatan itu akan menetapkan laju aliran.
Tabel 2.6 Minimum Recommanded Duct Velocities
Dimana:
k = konstanta yang bergantung pada satuan parameter lainnya
η = efisiensi mekanis
2.9 Pembebanan
Dalam permodelan struktur untuk rekayasa (engineering) diperlukan
prosedur pembebanan yang tepat agar struktur tersebut mampu berfungsi sesuai
harapan. Pembebanan ini bertujuan untuk menguji perilaku dan kemampuan
struktur dalam menghadapi aksi/ gaya yang mungkin bekerja terhadap struktur
tersebut pada kondisi nyata. Struktur dianggap gagal (fail) dalam tahapan
rekayasa apabila kemampuan struktur tersebut di bawah kondisi batas yang
ditetapkan dan perilakunya tidak sesuai dengan harapan. Tipe-tipe pembebanan
menurut SNI Pembebanan 1727 dan 1726:
1. Beban Mati
Beban mati yang bekerja dalam struktur meliputi berat sendiri struktur
ditambah berat material lainnya serta peralatan yang ada pada struktur tersebut
2. Beban Hidup
Klasifikasi beban hidup dapat dibedakan menjadi:
A. Beban hidup akibat penggunaan dan penghunian
Beban hidup tipe ini ditentukan berdasarkan tujuan penggunaan
strukturnya. Aplikasi bebannya dapat berupa beban merata maupun beban
terpusat. Nilai beban untuk desain bisa dilihat pada Tabel 4-1 SNI 1727. Pada
kondisi tertentu SNI memperbolehkan pengurangan nilai beban rencana dengan
suatu faktor elemen beban hidup.
a. Beban hidup atap
Beban ini dapat terjadi akibat pemeliharaan oleh pekerja, mesin,
dan material dan juga akibat benda yang bergerak selama umur rencana
struktur
b. Beban Partisi
Pada bangunan dengan partisi yang akan diangkat dan
dirangkai, berat partisi harus diperhitungkan dan tidak boleh kurang
dari 0.72 kN/m2. Pengecualian untuk struktur dengan beban hidup
melebihi 3.83 kN/m2 beban partisi ini dapat diabaikan (SNI
Pembebanan 1727 dan 1726).
c. Beban hidup pada handrail, guardrail, grab bar, sistem penghalang
kendaraan dan ladder.
Selain pada komponen struktural, komponen non struktural
bangunan seperti handrail perlu dicek kekuatannya untuk menahan
beban. Untuk kepentingan praktikal perencanaan dapat dipakai nilai-
nilai beban hidup pada SNI 1727 pasal 4.5.
3. Beban tumbukan
Input beban hidup dalam desain harus mempertimbangkan efek beban
tumbukan yang terjadi bila terdapat peralatan yang mengakibatkan tumbukan
seperti lift dan mesin. Untuk lift besarnya beban dan lendutan izin dapat dilihat
pada ASME A17.1. Sementara besarnya beban tumbukan dari mesin dapat
diambil dari berat mesin tersebut, yaitu 20% dari berat mesin untuk mesin ringan,
poros atau penggerak motor dan 50% untuk unit mesin yang bergerak maju
mundur atau unit tenaga penggerak(SNI Pembebanan 1727 dan 1726).
4. Beban derek (crane)
Beban derek ditetapkan berdasarkan kapasitas dari derek yang terpasang
pada struktur. Beban derek ini termasuk beban roda dari derek maximum, beban
tumbukan vertikal, lateral dan gaya longitudinal yang diakibatkan pergerakan
derek. Beban maksimum dari roda merupakan penjumlahan dari berat jembatan
yang digunakan, kapasitas derek, dan berat troli pada posisi yang memberikan
efek terbesar pada struktur. Beban tumbukan vertikal didapat dari beban roda
maksimum yang diperbesar dengan faktor pengali tertentu sesuai dengan tipe
dereknya. ]
Beban lateral diaplikasikan pada balok runway tegak lurus terhadap
sumbu baloknya dan beban longitudinal diaplikasikan sejajar dengan sumbu
baloknya (SNI Pembebanan 1727 dan 1726). Besarnya beban lateral adalah 20%
dari total kapasitas derek serta berat hoist dan trolinya. Sementara beban
longitudinal besarnya 10% dari beban roda maksimum.
5. Beban tanah & tekanan hidrostatis
Untuk struktur berlokasi di bawah permukaan tanah, perlu diperhatikan
efek dari tekanan lateral tanah disekelilingnya. Selain itu perlu juga pengecekan
terhadap adanya kemungkinan gaya angkat (uplift) akibat tekanan air ke atas di
bawah struktur. Bila tidak terdapat laporan penyelidikan tanah untuk penentuan
gaya lateralnya dapat menggunakan beban minimum sesuai Tabel 3.2-1 SNI 1727.
6. Beban Banjir
Pada lokasi dengan potensi bencana banjir, beban banjir perlu
diperitungkan dalam desain. Beban yang diakibatkan banjir ini dapat datang
dalam 3 bentuk, yaitu :
a. Beban Hidrostatik
Beban ini diaplikasikan pada seluruh permukaan struktur, baik di
atas permukaan tanah maupun di bawah permukaan tanah. Besarnya beban
ini ditentukan dari ketinggian air pada elevasi banjir desain. Ketinggian air
untuk desain beban hidrostatik perlu ditambah 0.3 m untuk bagian struktur
yang kedua sisinya terendam air (SNI Pembebanan 1727 dan 1726).
b. Beban Hidrodinamik
Pengaruh dari pergerakan air perlu dimasukkan sebagai beban sesuai
konsep dasar mekanika fluida. Untuk aliran air dengan kecepatan tidak lebih
dari 3.05 m/s pengaruh pergerakan air ini dapat dikonversikan ke dalam
beban hidrostatik dengan menambahkan ketinggian air sesuai ketentuan SNI
1727 pasal 5.4.3.
c. Beban Gelombang
Beban gelombang muncul dari gelombang air yang menyebar di atas
permuakaan air dan menghantam struktur atau bangunan. Beban gelombang
untuk desain meliputi pecahnya gelombang pada bagian struktur atau
bangunan, gaya angkat akibat gelombang dangkal di bawah struktur,
gelombang yang langsung menghantam bagian struktur, gelombang yang
menyebabkan gaya seret dan inersia, dan gerusan (scouring) akibat
gelombang pada bagian dasar struktur atau fondasinya (SNI Pembebanan
1727 dan 1726).
7. Beban Hujan
Struktur atap perlu didesain untuk mampu menahan beban hujan pada
kondisi drainase primer ditutup dan ditambah beban merata yang diakibatkan air
yang naik dari inlet drainase sekunder pada aliran desain. Selain itu perlu
pengecekan kekakuan struktur terhadap kemungkinan adanya genangan air pada
atap dengan kemiringan kecil yang menyebabkan lendutan bertahap.
8. Beban Angin
Formulasi beban angin rencana pada dasarnya didapatkan dari kecepatan
angin dasar yang kemudian dikonversikan dengan faktor- faktor tertentu, seperti
arah angin, faktor keutamaan bangunan, eksposur, topografi, serta bentuk struktur
menjadi tekanan atau gaya. Kecepatan angin dasar didapatkan pada kecepatan
tiupan angin dengan periode 3 detik pada ketinggian 10 m diatas permukaan tanah
pada area dengan Kategori Eksposur C. 81 (SNI Pembebanan 1727 dan 1726).
9. Beban Gempa
Sederhananya, beban gempa merupakan perkalian dari massa yang berasal
dari struktur dan komponen lainnya yang terdapat pada struktur tersebut dan
percepatan tanah yang bersumber dari gempa yang terjadi (SNI Pembebanan 1727
dan 1726)
Mulai
Studi Literatur
Perumusan Masalah
Pengumpulan Data
Lengkap
Analisis Data:
1. Sumber Emisi
2. Karakteristik Partikulat
3. Jalur Ducting
Perhitungan Perencanaan
Gambar Desain
Penyusunan Laporan
Selesai
Gambar 3.1 Diagram Alir Perencanaan ESP
3.2 Uraian Diagram Alir Perencanaan
3.2.1 Studi Literatur
Melakukan kajian terhadap berbagai literatur yang menyangkut
pencemaran partikulat dan perencanaan ESP pada industri melalui sumber
buku, jurnal, skripsi, thesis, dan laporan pkl.
3.2.2 Perumusan Masalah
Menganalisis permasalahan yang yang berisi pertanyaan mengapa dan
bagaimana terkait emisi partikulat pada industri semen. Kemudian
menganalisis berdasarkan karakteristik sumber partikulat dan penggunaan
instalasi limbah gas partikulat yang sesuai.
3.2.3 Pengumpulan Data
Mengumpulkan data data baik data primer maupun sekunder yang
dibutuhkan dalam perencanaan unit ESP di Industri semen. Namun, Data
yang digunakan dalam perencanaan ini merupakan data sekunder, yang
bersumber dari buku, jurnal, thesis, skripsi, dan internet. Karena tidak
memungkinkan untuk mengambil data primer secara langsung di lapangan.
Data tersebut meliputi data sumber pencemar, kriteria desain dan Regulasi
terkait, PFD industri semen, karakteristik partikulat, dan HSPK.
3.2.4 Analisis Data
1. Analisis Sumber Emisi
Analisis sumber emisi dilakukan untuk menentukan karakteristik
partikulat dan penetapan letak sumber emisi untuk dapat menentukan
jalur ducting.
2. Analisis Karakteristik Partikulat
Setelah melakukan analisis sumber emisi maka ditemukan
karakteristik partikulat untuk menetukan instalasi yang sesuai dalam
pengolahan gas dan partikulat
3. Analisis Jalur Ducting
Analisis jalur ducting dilakukan dengan menggambar layout dan
jalur pipa untuk menentukan kebutuhan pipa, fan, dan total energi
los.
3.2.5 Perhitungan Perencanaan
1. Perhitungan Hood
Perhitungan hood dilakukan berdasarkan data yang diperoleh dan
juga rumus-rumus yang telah ada dengan kriteria desain.
2. Perhitungan Ducting
Perhitungan ducting dilakukan berdasarkan data yang diperoleh dan
juga rumus-rumus yang telah ada dengan kriteria desain.
3. Perhitungan fan
Perhitungan kebutuhan pompa dilakukan berdasarkan data yang
diperoleh dan juga rumus-rumus yang telah ada dengan kriteria
desain.
4. Perhitungan Dimensi ESP
Perhitungan dimensi dilakukan dengan menentukan efisiensi dari
ESP, dimensi plat yang direncanakan dengan menyesuaikan kriteria
desain yang sudah tersedia.
5. Perhitungan Electrical dan Sipil
Perhitungan electrical dilakukan sesuai kebutuhan dari electrical
mulai dari proses keluarnya emisi dari sumber sampai dengan emisi
keluar dari cerobong, mulai dari menghitung kuat medan listrik,
tegangan, muatan partikel dengan rumus-rumus yang sudah ada
sesuai dengan kriteria desain. Perhitungan struktur sipil dihitung
mulai dari bangunan dengan berdasarkan dari dimensi yang
diperoleh dengan meliputi perhitungan dari struktur bangunan,
struktur plat lantai, struktur pondasi, dan juga konstruksi pelengkap.
Termasuk juga perencanaan bahan juga ketahanan dari bahan.
3.2.6 Gambar Desain
Gambar Desain ini merupakan gambar berdasarkan hasil perhitungan
yang telah dilakukan sesuai dengan dimensi dan ketentuan. DED ini
merupakan detail dari setiap unit GSC di mulai dari gambar tampak atas,
tampak samping dan tampak depan.
3.2.7 Perhitungan BOQ dan RAB
Perhitungan kebutuhan dan anggaran biaya yang digunakan dalam
perencanaan unit Electrostatic Precipitator (ESP) sesuai dengan HSPK.
3.2.4 Tahapan Pelaporan
Tahap pelaporan berisikan tentang laporan hasil dari perencanaan
unit pengolahan gas dan partikulat untuk industri semen.
BAB IV
ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
6.
Densitas Partikel
3,6𝑚3 /𝑠
=
3,61𝑚3 /𝑠
= 0,99 ~ 1 Buah
4𝑥15.24𝑓𝑡2 0.5
=( ) = 4.41 ft
𝜋
Duct A :
Kecepatan dalam pipa A adalah 4794,893 ft/min untuk mengkonversi
satuan kecepatan ft/min menjadi in of H2O dalam kondisi standar dengan suhu
70°C dan kelembaban 50% serta dalam tekanan sebesar 1 atm, maka
digunakan persamaan sebagai berikut :
V = 4794,893 ft/min
𝑉 2
V std = (4005)
4794,893ft/min 2
V std = ( ) = 1.433 in of H2O
4005
Cooper, C. D., & Alley, F. C. (1986). Air Pollution Control : A Design Approach.
Boston: PWS Engineering.
Putri, F. A., Amri, H., & Suryani, L. (n.d.). REVIEW INDUSTRI SEMEN. Padang:
Universitas Negeri Padang.
LAMPIRAN
(Sumber : Laporan Kerja Praktik Pt Semen Indonesia (Persero) Tbk. Oleh Abdul Rozak)
Gambar . PFD Industri Semen