Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Industri didefinisikan sebagai suatu kegiatan pengolahan bahan mentah
atau barang setengah jadi menjadi barang jadi yang memiliki nilai tambah untuk
mendapatkan keuntungan. Sektor industri diharapkan mampu meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan menjadi penggerak perkembangan sektor lainnya. (Ita
Rustiati Ridwan, 2007 ) menyatakan bahwa berdirinya industri membawa dampak
bagi lingkungan hidup maupun sosial dimana bagi kehidupan sosial, industri
cenderung membawa dampak positif tetapi bagi lingkungan hidup industri
membawa banyak dampak negatif. Industri Semen masuk dalam daftar sepuluh
besar industri penyumbang polusi udara terbesar di Indonesia (Wawan
Hermawan, 2003).Percepatan pembangunan infrastruktur serta era industrialisasi
yang tumbuh semakin pesat saat ini membuat kebutuhan akan semen sebagai
bahan baku utama dalam rancang bangun meningkat. Oleh karena itu, kebutuhan
akan semen mempengaruhi jumlah produksi yang ada. Semen sebagai produk dari
industri semen merupakan perpaduan dari beberapa bahan baku utama yang ada
seperti batu kapur, batu silika, tanah liat dan pasir besi serta bahan tambahan
seperti pozzolan dan gypsum.
Salah satu dampak lingkungan yang dihasilkan dari kegiatan industri
semen adalah penurunan kualitas udara akibat pembuangan emisi yang dilakukan
sehingga dapat menyebabkan udara ambien tercemar (Alfianto dan Lestari, 2014).
Udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan manusia serta
makhluk hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya untuk
pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan manusia serta perlindungan bagi
makhluk hidup lainnya. Hakiki (2014) mengatakan bahwa Paparan dan dampak
dari industri semen ini bila melampaui nilai ambang batas yang ditentukan oleh
MNLH dan Kep.Bapedal, akan membawa dampak potensial bagi kesehatan, baik
pekerja dan masyarakat.
Berdasarkan pernyataan di atas maka perlu dilakukan upaya pengendalian
dan pemantauan terhadap emisi dari kegiatan industri semen sehingga dapat
memenuhi baku mutu sesuai regulasi ketika dilepaskan ke lingkungan dan dapat
meminimalisir dampak negatifnya. Berdasarkan kondisi sumber pencemar dari
industri semen yaitu memiliki ukuran yang halus dan bersuhu tinggi sehingga
untuk memilih salah satu jenis instalasi pengolahan yang sesuai adalah
menggunakan Elektrostatic Precipitator (ESP) karena memiliki efisiensi removal
besar untuk partikel halus dan dapat digunakan pada temperatur tinggi. Prinsip
utama dari sistem pengolahan ini adalah menangkap atau mengikat debu yang
keluar dari hasil pembakaran dengan memberikan arus listrik tegangan tinggi pada
kawat elektroda bermuatan (Muttaqim dkk, 2015). Perencanaan Electrostatic
Precipitator (ESP) ini meliputi perencanaan hood, ducting, cerobong, electrical,
BOQ dan RAB yang sesuai sehingga efisiensi rencana awal dapat tercapai dan
limbah yang telah diolah mencapai baku mutu yang telah ditetapkan oleh
Pemerintah.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang dikaji dalam laporan perencanaan ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana karakteristik gas dan partikulat yang dihasilkan dari Industri
semen ?
2. Bagaimana desain Electrostatic Precipitator (ESP), hood, ducting,
cerobong, electrical yang digunakan pada industri semen ?
3. Berapakah nilai efisiensi removal dari unit Electrostatic Precipitator
(ESP) pada industri semen?
4. Berapakah biaya yang dibutuhkan untuk membangun unit Elektrostatic
Precipitator (ESP) pada industri semen ?

1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam perencanaan kali ini adalah sebagai
berikut:
1. Mengidentifikasi karakteristik gas dan partikulat yang dihasilkan pada
industri semen.
2. Melakukan perencanaan desain Electrostatic Precipitator (ESP), hood,
ducting, cerobong, electrical yang digunakan pada industri semen.
3. Menentukan nilai efisiensi removal dari unit Electrostatic Precipitator
(ESP) pada industri semen.
4. Menghitung Bill of Quantity (BOQ) dan Rencana Anggaran Biaya (RAB)
yang dibutuhkan untuk membangun unit Elektrostatic Precipitator (ESP)
pada industri seme

1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat diterima dari perencanaan kali ini adalah :
1. Bagi akademisi
a. Memberikan wawasan baru sebagai bentuk dari pendalaman materi dan
pengaplikasian keilmuan dalam bidang Teknik pengolahan limbah.
b. Merupakan kesempatan bagi mahasiswa untuk mengembangkan
kemampuan dan keahlian yang telah dipelajari.
2. Bagi Institusi
Sebagai evaluasi yang dapat dijadikan referensi berupa desain
perencanaan Instalasi Pengolahan gas dan partikulat yang sesuai dengan
karakteristik limbah gas dan partikulat pada industri semen yang mengacu
pada peraturan perundangan yang berlaku.
BAB II
DASAR TEORI

2. 1. Partikulat
Particulate Matter (PM), didefinisikan sebagai material halus dalam bentuk
solid maupun cair (liquid droplets) di udara dengan ukuran antara 0.05 µm hingga
100 µm. Selain itu, partikulat juga ditemukan dalam bentuk suspensi dengan rata-
rata ukuran kurang dari 40 µm. Pengelompokan partikulat berdasarkan ukurannya
dibagi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu a) ultra fine particle, dengan ukuran < 0.1 µm ,
b) fine particle, dengan ukuran 0.1 – 2.0 µm, dan c) coarse particle, dengan
ukuran >2 µm. Selain itu, klasifikasi lainnya yang digunakan untuk
menggambarkan ukuran partikel adalah sifat aerodinamis yaitu kurang atau sama
dengan 10 µm (PM10). Partikulat dari hasil pembakaran di mesin diesel pada
umumnya berukuran kurang dari 2,5 µm (PM2.5). Sebagai sebuah hasil reaksi
kimia, partikel ini juga memiliki susunan partikel yang lebih kecil dengan ukuran
diameter kurang dari 0,1 µm (CEPA, 1999)
PM dapat bersumber dari industri maupun pertambangan baik dari proses
pembakaran maupun non pembakaran. Karakteristik PM yang penting antara lain;
ukuran, distribusi ukuran, bentuk, densitas, stickness, korosivitas, reaktivitas dan
toksisitas (Cooper & Alley, 1986). Karakteristik PM tersebut penting dalam
desain peralatan pengendalian PM disamping parameter gas buang seperti
tekanan, temperatur, viskositas, kelembaban, komposisi kimia dan flammability.
Peralatan pengendalian PM umumnya terdiri atas pemisah mekanik (gravity
settler/cyclone), fabric filter, electrostatic precipitators dan wet scrubber.

2. 2. Gambaran Umum Industri Semen


Perkembangan infrastruktur memegang peranan penting dalam
pembangunan nasional. Salah satu material penunjang untuk melakukan
pembangunan nasional adalah semen. Semen adalah komoditi yang
memanfaatkan sumber daya alam berupa batu kapur, tanah liat, pasir besi dan
pasir silika melalui proses pembakaran pada temperatur tinggi. Secara umum
semen dapat didefinisikan sebagai perekat hidrolisis yang dihasilkan dari
penggilingan klinker yang kandungan utamanya kalsium silikat dan bahan
tambahan berupa kalsium sulfat. Semen disebut sebagai bahan perekat hidrolisis
karena senyawa-senyawa yang terkandung di dalam semen tersebut dapat bereaksi
dengan air dan membentuk zat baru yang bersifat merekatkan terhadap batuan.
Industri semen nasional adalah industri strategis yang sangat dibutuhkan
dalam setiap negara. Wilayah Indonesia yang sangat luas ini tentunya
memerlukan adanya industri semen nasional sebagai industri pendukung untuk
pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, pelabuhan, bangunan, irigasi dan
perumahan. Saat ini industri semen di Indonesia telah mengalami perkembangan
yang pesat dalam produksi semen. Meningkatnya pertumbuhan semen sampai saat
ini masih dipengaruhi oleh tingginya tingkat pembangunan oleh sektor negeri
maupun swasta serta tingginya kebutuhan perumahan bagi masyarakat.
Indonesia mempunyai sembilan pabrik dimana tiga di antaranya tergabung
dalam Semen Gresik Group yaitu PT Semen Padang, PT Semen Gresik Tbk, dan
PT Semen Tonasa yang kapasitas terpasang totalnya 16,92 juta ton per tahun. PT
Holcim Indonesia, Tbk sebagai pemain lama, memiliki kapasitas terpasang 8,7
juta ton, PT Indocement Tunggal Prakarsa (kapasitas terpasang 15,65 juta ton),
Tbk, PT Semen Baturaja (kapasitas terpasang 1,25 juta ton), PT Semen Andalas
(kapasitas terpasang 1,4 juta ton), PT Semen Kupang (kapasitas terpasang 570
ribu ton), dan PT Semen Bosowa Maros (kapasitas terpasang 1,8 juta ton).
Kelompok ini mencakup usaha pembuatan macam-macam semen, seperti
portland, natural dan jenis semen lainnya.

2. 2. 1 Proses Produksi Industri Semen


Proses pembuatan semen, dibagi menjadi beberapa tahap:
a. Unit Pengolahan Bahan (Raw Mill)
1. Rotary Dryer
Untuk mengeringkan bahan baku. Pengeringan ini dilakukan
dengan mengalirkan gas panas sisa pembakaran dari kiln
secara cocurrent.
2. Double Roller Crusher
Untuk memperkecil ukuran sand clay, limestone, pasir besi
dan sand koreksi setelah keluar dari dryer.
3. Hopper Raw Mix
Untuk menggiling dan mencampur bahan baku yang akan
disimpan di kiln.
4. Air Separator
Untuk memisahkan material kasar dengan material halus
dimana material kasar akan dihaluskan lagi di raw grinding
mill sedangkan material halus akan keluar sebagai produk.
5. Tetra Cyclone
Untuk memisahkan material kasar dengan material halus
yang terbawa aliran gas keluar dari air separator.
6. Weighing Feeder
Untuk menimbang limestone yang keluar.
7. Spray Tower
Untuk mendinginkan gas panas hasil pembakaran di kiln
yang berlebih dari suspension preheater.
8. Raw Mill Fan
Untuk menarik material dari raw mill yang sudah halus untuk
dibawa bersama aliran udara masuk ke cyclone.
9. Raw Grinding Mill
Untuk menggiling bahan baku yang masuk ke kiln.
10. Electrostatic Presipitator
Untuk menangkap debu yang ada dalam aliran gas yang
kemudian dibuang melalui cerobong sehingga tidak
menimbulkan polusi.
11. Raw Meal Silo Terdiri dari :
- Blending Silo, fungsinya untuk homogenisasi raw meal
dengan bantuan udara.
- Storage Silo, fungsinya untuk menyimpan raw meal
sebelum dipindahkan ke kiln.
b. Unit Pembakaran
1. Suspension Preheater
sebagai pemanas awal umpan rotary
2. Rotary Kiln
tempat terjadinya kontak antar gas panas dan material umpan
kiln sehingga terbentuk senyawa-senyawa penyusun semen
yaitu C3S, C2S, C3A dan C4AF. Proses pembakaran yang
terjadi pada tanur kiln ini disebabkan karena adanya
perpaduan antara bahan bakar batu bara dengan udara atau
oksigen yang bertekanan tinggi dimana batu bara yang
digunakan adalah batu bara yang telah dihaluskan hingga
berbentuk seperti tepung yang dapat menghasilkan semburan
api hingga suhu 1500°C.
3. Air Quenching Cooler
Untuk mendinginkan clinker secara mendadak dari 1400°C
menjadi 900-950°C pada chamber 1.
4. Kiln Feed Bin Fungsi
Untuk menampung umpan kiln yang siap untuk diumpankan.
c. Unit Penggilingan Akhir
1. Air Separator
Untuk memisahkan mineral kasar dengan mineral halus
dimana partikel kasar keluar untuk dihaluskan kembali di
finish grinding mill sedangkan partikel halus keluar sebagai
produk.
2. Clinker Storage
Sebagai tempat penampungan clinker.
3. Finish Grinding Mill
Untuk menggiling campuran clinker dengan tambahan
gypsum agar menjadi halus.
d. Unit Pengisian Packing
1. Vibrating Screen
Untuk menyaring semen dari pengotor sebelum masuk ke
strorage silo untuk pengepakan.
2. Cement Silo
Untuk menampung semen yang berasal dari finish mill
sebelum masuk ke unit packing.
3. Storage Silo
Untuk menampung semen yang telah melewati vibrating
screen untuk selanjutnya diumpankan ke rotary packer.
4. Rotary Feeder
Untuk mengatur pengumpanan semen.
5. Valve Bag Packing Machines
Untuk memasukkan semen kedalam kantong semen

2. 2. 2 Limbah yang dihasilkan pada Industri Semen


Limbah terbesar dari industri semen adalah limbah gas dan limbah
pertikel. Limbah yang diproduksi pabrik keluar dan bercampur dengan
udara. Secara alamiah udara mengandung unsur kimia seperti O2, N2, CO2,
H2, NO2 dan lainnya. Zat pencemar melalui udara diklasifikasikan menjadi
dua bagian yaitu gas dan partikel.
a. Limbah Gas
Limbah gas akan mengganggu kandungan alami udara dan akan
menurunkan kualitas udara. Pencemaran berbentuk gas dapat dirasakan
melalui penciuman (gas tertentu) maupun akibat langsung. Gas-gas
tersebut antara lain CO, CO2, SO3, hidrokarbon dan lainnya. Gas
tertentu yang lepas ke udara dalam konsentrasi tertentu akan membunuh
manusia. Dalam kadar rendah, tidak berbau dan bila kadar bertambah
menyebabkan bau yang tidak sedap dan gejalanya cepat menimbulkan
pusing, mabuk dan batuk. Uap yaitu bentuk gas dari zat tertentu tak
terlihat dan dalam ruangan berdifusi mengisi seluruh ruang. Yang perlu
diketahui adalah jenis uap yang terdapat dalam ruangan karena untuk
setiap zat berbeda daya reaksinya. Zat-zat yang mudah meguap adalah
chlor, amoniak, nitrat, nitrit dan lainnya. Bahan-bahan yang bersifat gas
dan uap akan mengakibatkan:
1. Terganggunya pernafasan
2. Merusak susunan saraf
3. Merusak susunan darah
4. Merusak alat-alat dalam tubuh
b. Limbah Partikel
Partikel merupakan butiran halus dan masih sedikit terlihat
langsung oleh mata seperti uap air, asap, kabut dan debu. Debu adalah
partikel zat padat yang timbul pada proses industri seperti
penghancuran, peledakan dan pengolahan, baik yang berasal dari dari
bahan organikmaupun anorganik. Karena sifat debu yang ringan,
menyebabkannya melayang di udara dan turun karena daya tarik bumi
(gravitasi). Akibat lingkungan yang mengandung debu, penimbunan
debu dalam paru-paru pada manusia dilingkungan bekerja atau tempat
tinggal. Kerusakan kesehatan akibat debu tergantung pada lamanya
kontak yang terjadi, konsentrasi debu di udara, jenis debu dan lainnya.
Asap adalah partikel dari zat karbon yang keluar dari cerobong asap
industri karena pembakaran yang tidak sempurna dari bahan-bahan
yang mengandung karbon. Asap bercampur dengan kabut atau uap air
di malam hari akan turun ke bumi menempel pada dedaunan ataupun
diatas atap rumah. Untuk menghindari dampak yang diakibatkan limbah
melalui udara, maka dari itu dilakukan pengendalian dengan penetapan
nilai ambang batas. Nilai ambang batas adalah kadar tertinggi suatu zat
dalam udara yang diperkenankan, sehingga manusia dan makhluk hidup
lainnya tidak mengalami gangguan penyakit atau menderita karena zat
tersebut. Selain penetapan nilai ambang batas juga dilakukan teknologi
pengolahan emisi pencemaran udara. Teknologi pengolahan emisi
pencemaran udara industri telah berkembang lama, yang digunakan
untuk mengurangi, menurunkan dan menghilangkan kadar pencemaran
unsur-unsur limbah proses yang dihasilkan. Teknologi yang diterapkan
yaitu peralatan untuk partikel dan aerosol seperti dengan cara scrubber,
filter, electrostatic precipitator dan pengendapan.

2. 3. Proses Cement Mill


Cement Mill merupakan proses yang berfungsi untuk menggiling
klinker yang sudah dihasilkan dari pembakaran kiln untuk kemudian
disimpan pada dome silo. Pada proses tersebut klinker dengan jumlah
tertentu ditambahkan gypsum, pozzolan dan limestone atau bahan lainnya
dengan kadar tertentu sesuai dengan jenis semen yang akan dihasilkan.
Produk yang dihasilkan dapat berupa PPC dan OPC. Pada tahap
penggilaingan dan pencampuran produk semen terdiri atas sub unit
penanganan clinker dan penggilingan bahan tambahan serta sub unit
penggilingan akhir (cement mill) (Faruqi, 2019).

Gambar 2.1 Skema ESP pada Cement Mill Pabrik Indarung V

2. 4. Baku Mutu Industri Semen


Menurut PERMENLHK No. 19 Tahun 2017 Tentang Baku Mutu Emisi
Bagi Usaha Dan / Atau Kegiatan Industri Semen, Baku mutu untuk industri semen
sebagai berikut: Tabel 2.1 Baku Mutu Industri Semen
No. Sumber Parameter Satuan Nilai Baku Mutu

A B C

1 Tanur/Tungku (Kiln) Partikulat Mg/Nm3 75 70 60


No. Sumber Parameter Satuan Nilai Baku Mutu

A B C

SO2 Mg/Nm3 650 650 650

NOx Mg/Nm3 800 800 800

Hg Mg/Nm3 0,2 0,2 0,2

2 Pendingin Terak 75 70 60
(Clinkers Cooler)
3 Unit Pencampuran 75 70 60
(Milling) dan/atau
penggilingan
(grinding)
4 Unit pengumpul debu 60 60 60
(Dust Collector) pada
alat Transportasi unit-
unit produksi
5 Pengepakan – 75 70 60
Pengantongan
(Bagging)

2. 5. Electrostatic Precipitator (ESP)


Alat pengendali debu yang berfungsi untuk memisahkan gas dan abu
sebelum gas tersebut keluar dari stack salah satunya adalah Electrostatic
Precipitator (ESP). Electrostatic Precipitator adalah alat yang digunakan untuk
mengumpulkan (endapan) debu atau abu dari aliran gas. Terdiri dari collecting
plate dan electrode dan peralatan listrik yang digunakan untuk menghasilkan dan
mengendalikan rangkaian tegangan tinggi dan beroperasi pada prinsip dasar
bahwa berlawanan tegangan. Dengan pengisian partikel (atau partikulat) dari debu
atau abu dengan muatan listrik negatif, maka kemudian tertarik ke collecting plate
bermuatan positif.
Gambar 2.2 Electrostatic Precipitator (ESP)
Berikut adalah komponen Electrostatic Precipitator :
1. Roof
2. High Voltage Transformer-Rectifier Unit
3. Manhole
4. Discharge Electrode Rapping Motor
5. Outlet Nozzle
6. Manhole
7. Collecting Electrode
8. Internal Walkway
9. Discharge Electrode
10. Collecting Electrode Rapping Motor
11. Hopper
12. Partition Plate of Hopper
13. Thermal Insulation
14. Inlet Nozzle
15. Gas Distribution Screen
16. Discharge Electrode Support Insulator

Prinsip kerja Electrostatic Precipitator ini adalah mengalirkan udara kotor


melewati sebuah medan listrik yang berada di antara elektroda yang mempunyai
polaritas berlawanan. Gas atau udara yang mengandung debu melewati medan
dari tegangan tersebut (voltage field). Maka dengan demikian gas-gas dan udara
yang mengandung partikel-partikel debu itu akan dimuati oleh elektron-elektron.
Potensial listrik mengakibatkan perpindahan partikel-partikel debu yang
bermuatan elektron tadi kearah pelat-pelat pengumpul debu (collecting plate) dan
kemudian partikel-partikel debu tadi yang menempel pada pelat-pelat itu akan
melepaskan muatan listriknya (electric charge).

2.6 Jenis-Jenis Electrostatic Precipitator (ESP)


1. Negatively Charged Dry Precipitators
Jenis ini paling sering digunakan di PLTU batubara, pabrik semen, atau
kraft pulp mills.
2. Negatively Charged Wetted-Wall Precipitators
Jenis ini sering digunakan untuk mengumpulkan mistatau partikulat yang
sedikit basah.
3. Positively Charged Two-Stage Precipitators
Jenis ini digunakan untuk menyisihkan mist.

2.7 Kriteria Desain


Unit ESP memiliki beberapa kriteria dalam perencanaannya, dengan
adanya kriteria desain dapat menjadi acuan dalam perencanaan desain, selain itu
kriteria desain dapat membantu dalam pevalidasian data yang menyesuaikan
dengan unit ESP. Berikut ini merupakan Kriteria desain dari Unit ESP
Tabel. 2.2 Kriteria Desain ESP

No. Variabel / Parameter Rentan Nilai


1 Kecepatan Migrasi 3,1-21,4 cm/s (0,1-0,7 ft/s)
2 19-95 m2/(m3/s) (100-500 ft2/
SCA
1000 ft3/min)
3 Gas Velocity 0,6-2,4 m/s (2-8 ft/s)
4 Aspek Rasio (Dutch lenght/height) 0,5 – 2
5 Corona Power Ratio 100-1000 W/(m3/s)
6 Voltase yang terpakai 30-75kV
7 Electrical Field Strenght 6-15 kV/cm (15-40 kv/in)
No. Variabel / Parameter Rentan Nilai
8 Corona Current/Plate Area 50 – 700uA/m2 (5-65 uA/ft2)
9 Corona Current/Wire Lenght 0,03 – 30 uA/m (0,01-10uA/ft)
10 Luas area Plat/Electrical Set 500-8000 m2 (5380-86000 ft2)
11 Panjang Plat tegak/tinggi plat vertikal 0,5-1
12 Tinggi Vertikal Plat 8-15 cm (26-50 ft)
13 No. of high tension section in gas flow 2- 8
direction
14 Degree of high tension sectionalization 0,01-0,10 high tension bus
section/(m3/s)
15 Jarak antar plat 5-30 cm(2-12 in)
Sumber: Wang,dkk. 2004

2.8 Perhitungan
2.8.1. Tegangan Korona
Ketika suatu potensial listrik diletakkan pada dua plat sejajar maka
akan terbentuk suatu medan listrik yang seragam. Ketika medan listrik
tersebut berada pada titik kritisnya sekitar 3MVm-1 , maka akan terjadi
lompatan listrik menyerupai kilat antara kedua plat dan juga dapat
menghasilkan suara sehingga dapat dirasakan melalui penglihatan dan
pendengaran. Bagaimanapun medan listrik tidaklah selalu seragam, bisa saja
terbentuk akibat dari potensial kabel ke suatu plat atau suatu silinder. Hal ini
dapat menyebabkan sesuatu berpijar yang disebut sebagai korona, tanpa
adanya kilatan. Korona yang dihasilkan dari listrik AC berbeda dengan listrik
DC.
Karena pada listrik AC potensial pada suatu titik akan berganti-ganti
dari positif ke negatif dan berulang seterusnya. Pada listrik DC makan
potensial pada suatu titik tersebut akan tetap sehingga menghasilkan korona
potensial positif dan korona potensial negatif. Jika dikaitkan 10 dengan
proses pemuatan partikel. Korona AC akan menghasilkan gerak osilasi saat
memuati partikel. Korona DC akan menyebabkan partikel termuati bergerak
menuju elektroda kolektor.
Pembentukan korona dibagi menjadi dua daerah, yaitu daerah korona
dan kedua daerah pasif. Daerah korona adalah suatu daerah yang sangat tipis
memgelilingi titik potensialnya. Elektroda discharging akan melepaskan
elektron yang disebut longsoran elektron (elektron avalanche) sehingga pada
daerah ini suatu elektron mengalami kecepatan yang sangat tinggi, dan ketika
elektron tersebut menumbuk suatu molekul gas, elektron tersebut akan
mengeluarkan elektron dari molekul. Gas berion positif ini akan bergerak
menuju katoda yang bersifat netral. Elektron-elektron yang baru terbentuk
bergerak dan mengionisasi molekul-molekul gas lainnya atau bergerak
menuju anoda. Daerah korona dibatasi dengan medan listrik yang semakin
melemah dimana elektron tidak sanggup lagi untuk mengionisasi molekul gas
netral. Ketika ada partikel yang melewati daerah ini maka partikel cenderung
termuati secara positif dikarenakannya banyak gas yang berion positif dan
mobilitas elektron yang tinggi (Strauss (1975) dalam Wiranata (2017)).
Daerah pasif adalah dimana daerah yang berda diluar daerah korona,
dimana elektron tidak sanggup lagi mengionisasi molekul gas netral.
Elektron-elektron yang berada daerah ini akan menempelkan dirinya ke
molekul gas melewati proses yang disebut transfer elektron. Pada
Electrostatic precipitator jumlah molekul per unit volumenya jauh lebih besar
dibandingkan partikel debu yang dibawa. Sehingga elektron jauh lebih
banyak menempel pada molekul gas dan menyebabkan banyaknya produksi
ion negatif dibandingkan elektron yang menempel pada partikel debu. Pada
perjalannya ion-ion negatif bertemu dengan partikel debu dan memberikan
muatan negatifnya ke partikel, hal ini disebut transfer muatan. (Heinsohn and
Kabel, (1999) dalam Wiranata (2017)).
Tegangan korona merupakan tegangan yang dibutuhkan untuk
membangkitkan kuat medan korona. Pada alat ini, apabila tegangan korona
semakin besar maka kemampuan alat untuk menangkap polusi udara akan
semakin baik. Jadi, tegangan korona sangatlah dibutuhkan dalam proses kerja
alat (Artono,2001). Menurut Turner (2012), tegangan korona dapat dihitung
dengan :
𝑑
𝑉𝑐 = 𝐸𝑐 × 𝑟𝑤 × ln⁡(𝑟 ) ……………………………………(2.1)
𝑤
Dimana :
Ec = Kuat Medan Arus
4
d = 𝜋 × 𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘⁡𝑘𝑎𝑤𝑎𝑡 − 𝑝𝑙𝑎𝑡

rw = jari-jari kawat (m)


Korona yang terjadi di daerah medan listrik yang tak seragam ini
dianggap merugikan karena menimbulkan rugi-rugi daya pada saluran
transmisi tegangan tinggi dan karena merusak bahan isolasi. Gradien
potensial yang dibutuhkan untuk membangkitkan korona pada permukaan
konduktor biasa disebut kuat medan korona atau kuat medan kritis. Turner,
James H. (2012) menyatakan bahwa udara pada kawat paralel kuat medan
kritis (Ec) dapat didefinisikan sebagai berikut:
𝑑𝑟
𝐸𝑐 = 3,126⁡ × 106 [𝑑𝑟 + 0,0301 (𝑟𝑤)…………………(2.2)

Dimana :
Ec = kuat medan korona (V/m)
dr = densitas relatif gas
rw = jari-jari kawat (m)
Selanjutnya, ntuk menghitung tegangan operasi (Va) dalam ESP
dapat digunakan persamaan berikut ini.
𝑟 3 +𝑟𝑤
2
𝑉𝑎 = 𝑉𝑐 + 𝐸𝑐 ………………(2.3)
2×𝑟𝑤

Dimana :
Vc = tegangan korona
Ec = kuat medan korona (V/m)
r = jarak antara kawat dengan plat (m)
Berikutnya, untuk menghitung pemuatan partikel (Qp) dalam ESP
dapat digunakan persamaan berikut:
2𝜆 2 𝜀 −1
𝑄𝑃 = {(1 + 𝑑𝑝2 ) + ( 2𝜆 ) × 𝜀𝑟 +2} 𝜋𝜀0 𝑑𝑝2 𝐸𝑐 … …………..(2.4)
1+ 𝑟
𝑑𝑝

Dimana:
𝑇 101,3⁡×103
𝜆 = 6,61⁡ × 10−8 293 …………(2.5)
𝑃

ε0 = 8,86 × 10-12 , merupakan konstanta permisivitas relatif


εr = 1,00059, merupakan konstanta dielektrik udara
T = Temperatur (kelvin)
P = Tekanan (pascal)
dp = Diameter Partikel (m)
2.8.2 Pemuatan Partikel
Partikel yang lewat pada suatu ESP termuati melalui 2 (dua)
mekanisme Field charging dan diffusion charging. Gas-gas ion dan juga
elektron pada kasus korona negatif bergerak secara normal melewati aliran
partikel gas yang lewat dibawah pengaruh medan listrik. Partikel-partikel
tersebut termuati secara transfer muatan maupun tumbukan langsung.
Mekanisme ini disebut sebagai mekasnime field charging. Mekasnisme kedua
adalah dengan bertambahnya ion-ion yang tertempel ada partikel gas yang
lewat akibat pergerakan thermalnya, hal ini disebut sebagai mekanisme
diffusion charging. Meskipun mekanisme ini berjalan secara bersamaan,
kombinasi kedua hal ini secara teori masih belum dikembangkan. Kedua
mekanisme ini biasanya dirumuskan secara terpisah dikarenakan errornya
yang tidak terlalu besar.
Field charging sangat penting untuk menangkap partikel dengan
ukuran lebih besar dari 1 μm, sedangkan diffusion lebih penting untuk
partikel kurang dari 0.2 μm. Field charging memiliki arah sesuai dengan
medan listrik pada ESP tersebut, sehingga lebarnya permukaan dan juga
besarnya potensial listrik yang diberikan menjadi faktor utama dalam
mekanisme ini. Diffusion charging sangat tergantung dengan jumlah ion-ion
yang dihasilkan, mobilitas dari ion tersebut, dan juga karena pergerakan
thermal maka temperatur sangat berpengaruh pada mekanisme ini (Strauss,
1975).
Pada field charging pemuatan permukaan maksimum yang dapat
terpenuhi dengan menganggap partikel berbentuk bola dan medan listrik yang
terjadi tidak terganggu sama sekali. Permuatan permukaan maksimum pada
mekanisme field charging dapat dinyatakan sebagai berikut :
qmaximum = 4πK0Pa2E0……………………………………………….…(2.6)
Sedangkan pada diffusion charging dapat dianalisa berdasarkan teori
kinetik gas berdasarkan densitas gas pada suatu medan potensial. Berdasarkan
jumlah ion yang menumbuk partikel perdetiknya. sehingga didapatkan
permuatan pemukaan partikelnya sebagai berikut.(Wang dkk, 2004):
4𝜋𝐾0 𝑎𝑘𝑇 𝑎𝑁0 𝑞𝑖 2 𝑣𝑖 𝑡
𝑞𝑑 = ⁡ 𝑙𝑛 [ + 1]………………………..(2.7)
𝑞𝑖 4𝐾0 𝑘𝑇

2.8.3 Partikel Drift


Setelah partikel-partikel pada ESP yang lewat termuati. Partikel-
partikel tersebut kebanyakan akan bergerak menuju kolektor dibandingkan
elektroda discharging yang memiliki polaritas yang sama dengan polaritas
partikel bermuatan. Sebagian lagi terutama partikel yang sangat dekat dengan
elektroda discharging dapat menuju ke elektroda discharging karena pada
daerah korona partikel yang lewat termuati oleh polaritas yang berlainan
dengan elektroda discharging. Secarangaris besar hal ini sangatlah komplek.
Medan listrik akan semakin melemah ketika menjauh korona dan
partikel akan semakin termuati seiring partikel tersebut melewati
ESP(Strauss, 1975).. Pada elektroda kolektor konsentrasi partikel bermuatan
juga semakin tinggi. Dan interferensi antar partikel bermuatan yang sama
polaritasnya, seiring efek parsial pada layer-layer partikel yang dimuati pada
elektroda kolektor. Kalkulasi kecepatan perpindakan atau kecepatan drift
dapat digunakan untuk memprediksi ukuran ESP dan efisiensi pada desain
sederhana dengan mengasumsikan beberapa hal;
1. Partikel dianggap termuati secara penuh tanpa terkecuali pada daerah
medan listrik ESP.
2. Aliran gas yang melewati ESP dianggap turbulen.
3. Partikel bergerak menuju elektroda melawan hambatan fluida pada aliran
viscous dan hukum Stokes dapat diterapkan.
4. Dipertimbangkan tidak ada efek penolakan antara partikel dengan muatan
yang sama.
5. Tidak terjadi efek halangan dengan partikel terkonsentrasi dekat dinding.
6. Mengabaikan pergerakan ion-ion yang disebut juga electric wind.
7. Kecepatan aliran dianggap tidak memengaruhi kecepatan perpindahan ion-
ion.
8. Partikel bergerak dengan kecepatan konstan.(Strauss (1975) dalam
Wiranata (2017))
Berdasarkan hukum newton kedua gaya total yang bekerja pada suatu
benda bermassa sebanding dengan percepatan benda tersebut(Strauss, 1975).
Pada sistem ini gaya gravitasi yang mempengaruhi partikel sangatlah tidak
signifikan sehingga dapat diabaikan. Oleh karena itu gaya total yang bekerja
dapat dinyatakan sebagai berikut.
𝑑𝑤
𝑚 = 𝐹𝑒 − 𝐹𝑑 ………………………………………(2.8)
𝑑𝑡

Dimana m adalah massa, w adalah partikel drift, Fe dan Fd adalah


gaya couloumb dan gaya gesek viskositas. Dengan mengangap aliran yang
terjadi adalah laminar dan partikel dianggap berbentuk bola hukum stokes
menyatakan bahwa Fd = 6 πμaw, dimana μ adalah viskositas gas.
2.8.4 Efisiensi ESP
ESP memiliki efisiensi tinggi dibandingkan penyaring jenis lain,
efisiensinya lebih dari 90%,dan juga perawatannya mudah. Perhitungan
dimensi ESP yang baik perlu mempertimbangkan beberapa hal agar
didapatkan efisiensi yang tinggi pula. Perhitungan awal ditinjau berdasarkan
kecepatan driftnya, ω, dimana pada perhitungan dianggap konstan, diameter
elektroda jika berbentuk silinder/kabel, luasan dari elektroda kolektor,
potensial yang dikenai pada elektroda,dan jarak relatif antar
elektroda(Strauss, 1975).

Gambar 2.3 Partikel bermuatan yang melewati suatu ESP jenis wire-
cylinder (tubular)
Dimisalkan terdapat suatu jenis ESP berbentuk tubular seperti pada
gambar 2.4. elektroda discharge adalah kawat dan dinding atau elektroda
kolektor adalah silinder. Jika diambil secara memotong dan analisa pada salah
satu bagian saja. Aliran laminar terjadi pada ESP ini, namun memiliki pola
parabolic sehingga kecepatan reratanya sama dengan setengah darkecepatan
maksimum (Strauss, 1975). Maka kecepatan aliran dapat dirumuskan
terhadap waktu dan jari-jari.
Dengan menggunakan persamaan Deutsch dapat dicari besar
efisiensinya dengan menggunakan persamaan jarak lintasan maksimal
partikel tertangkap. Serta mempertimbangkan tidak ada partikel yang
tertangkap terlebih dahulu pada kolektor, Didapatkan :
−2𝜔𝑥
𝜂 = 1 − 𝑒𝑥𝑝 ( ) ; Jenis tubular
𝑅𝑉𝑎𝑣
−𝜔𝑥
𝜂 = 1 − 𝑒𝑥𝑝 (𝐿𝑉 ); Jenis Plat sejajar
𝑎𝑣

−𝜔𝐴
𝜂 = 1 − 𝑒𝑥𝑝 ( ); jenis lain
𝑄

Persamaan Deutsch Anderson atau bentuk modifikasinya umum


digunakan dalam penentuan ukuran ESP. Persamaan Deutsch-Anderson
memberikan dasar untuk pengembangan hubungan kuantitatif ( yaitu, , w,
A, dan Q) terlepas dari kenyataan bahwa variabel dan kondisi lain harus
dimasukkan. Dalam praktik desain teknik, persamaan Deutsch-Anderson
yang dimodifikasi berdasarkan data empiris telah terbukti praktis untuk
mengembangkan solusi perkiraan, yang cukup akurat untuk menentukan
ukuran ESP. Bentuk persamaannya adalah sebagai berikut (Wang, Pereira,
dan Hung, 2004) :
−𝑤𝐴
𝜂 = 1 − 𝑒𝑥𝑝 ( )……………………….
𝑄

Keterangan :
η = Efisiensi ESP
w = Migration velocity ft/s (m/s)
A = Luas pengumpul plat ft2 (m2)
Q = Debit gas masuk (m3/s)
Hubungan kuantitatif dari kecepatan migrasi, area pengumpulan pelat,
laju aliran gas, dan efisiensi pengumpulan, sebagaimana ditunjukkan dalam
persamaan Deutsch-Anderson dapat digambarkan dengan paling baik dengan
contoh-contoh sederhana berikut. Perlu dicatat, bahwa persamaan hanya
berlaku untuk rentang ukuran partikel yang sangat sempit dan kecepatan
migrasi yang relatif konstan.
Kriteria design variable ESP dalam dilihat pada Tabel 1. (Wang,
Pereira, dan Hung, 2004).
Tabel 2.3. Range variabel design untuk ESP

2.8.5 Luas Spesifik Plat Pengumpul (SCA)


Luas Spesifik Plat Pengumpul (SCA) didefinisikan sebagai rasio luas
permukaan pengumpul plat terhadap kapasitas laju alir gas buang. Pentingnya
istilah ini adalah bahwa ia mewakili hubungan A / q dalam persamaan
Deustsch –Anderson (Theodore, 2008):
𝐿𝑢𝑎𝑠𝑃𝑒𝑛𝑔𝑢𝑚𝑝𝑢𝑙𝑃𝑙𝑎𝑡
𝑆𝐶𝐴 = ⁡ 𝐾𝑎𝑝𝑎𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠𝐴𝑙𝑖𝑟𝑎𝑛𝐺𝑎𝑠𝐵𝑢𝑎𝑛𝑔 ………………….(2.9)

or in metric units:
𝑚2
𝑆𝐶𝐴 = ⁡ 1000𝑚3 /𝑗𝑎𝑚……………………….(2.10)

Peningkatan SCA dari desain precipitator dalam banyak kasus akan


meningkatkan efisiensi pengumpulan precipitator. Sebagian besar desain
konservatif membutuhkan SCA 350 - 400 ft2 per 1000 acfm (20 - 25 m2 per
1000 m3 / jam) untuk mencapai removal 99,5% penghilangan partikel.
Rentang umum SCA adalah antara 200 dan 800 ft2 per 1000 acfm (11 - 45
m2 per 1000 m3 / jam) tergantung pada kondisi desain precipitator dan
efisiensi pengumpulan yang diinginkan (Theodore, 2008).
Aspek rasio (AR), rasio panjang total terhadap tinggi permukaan
kolektor, dapat dihitung dengan:
𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔𝐸𝑓𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓
𝐴𝑅 = ⁡ ……………………………………(2.11)
𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖𝐸𝑓𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓
Area pengendapan ESP yang lebih besar daripada tingginya akan
lebih ideal. Namun, keterbatasan ruang dan biaya bisa menjadi penghalang.
Aspek rasio untuk ESP dapat berkisar dari 0,5 hingga 2,0. Untuk efisiensi
pengumpulan ≧ 99,5%, desain precipitator harus memiliki rasio aspek lebih
besar dari 1,0.
Perhitungan lebar (Lp) Electrostatic Precipitator (ESP) dapat
digunakan rumus berikut :
𝐿𝑃 = 𝑁𝑑⁡ × 𝑃𝑇𝑃………………………………………….(2.12)
Dimana :
Lp = Lebar ESP (m)
Nd = Jumlah duct
PTP = jarak antar plat (m)
Perhitungan jumlah plat tiap field (Ns) dalam Electrostatic
Precipitator (ESP) dapat digunakan persamaan berikut :
𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖𝑃𝑙𝑎𝑡⁡×𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ𝐷𝑢𝑐𝑡
𝑁𝑠 = ⁡ …………(2.13)
𝐿𝑒𝑏𝑎𝑟𝐸𝑆𝑃

Perhitungan jarak antar electricalsection (Ls) dalam Electrostatic


Precipitator (ESP) dapat digunakan persamaan berikut:
𝐿𝑒𝑏𝑎𝑟𝐸𝑆𝑃
𝐿𝑠 = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ𝐾𝑎𝑤𝑎𝑡……………..………..(2.14)

Untuk menghitung panjang keseluruhan (Lo) dalam Electrostatic


Precipitator (ESP) dapat digunakan persamaan berikut :
𝐿𝑜 = 𝑁𝑠 × 𝐿𝑒𝑏𝑎𝑟⁡𝐸𝑃 + (𝑁𝑠 − 1)𝐿𝑠 + 𝐿𝑒𝑛 + 𝐿𝑒𝑥……(2.15)
Dimana :
Ns = Jumlah plat tiap field
Lp = Lebar ESP (m)
Ls = Jarak antar electrical section (m)
Len = entrance section length (m)
Lex = exit section length (m)
2.8.6 Hood
Hood merupakan sebuah peralatan bagian dari dust collector yang
berfungsi untuk menangkap kontaminan. Faktor yang mempengaruhi
rancangan hood berdasarkan pada bentuk, kecepatan dan arah dimana
kontaminan dilepaskan. Berdasarkan American Conference Of Governmental
Industrial Hygienists tipe hood berdasarkan bentuknya secara umum
dibedakan menjadi 2 yaitu enclosing hood dan exterior hood.
a. Enclosing hood Suatu hood yang menutupi atau mengelilingi sumber
kontaminan baik secara keselurahan atau sebagian. Enclosing hood lebih
banyak disukai karena bentuk serta pengoperasiannya. Aliran udara yang
masuk akan tertahan didalam enclosing hood dan mencegah sumber
emisi menyebar di lingkungan kerja.
b. Capturing Hood Capturing hood merupakan alat tangkap yang digunakan
untuk menghisap udara dengan kecepatan udara yang cukup tinggi untuk
menangkap kontaminan di udara yang terdapat disekitar hood. Alat ini ini
tidak hanya digunakan pada kontaminan yang dilepaskan searah dengan
hood, tetapi juga pada kontaminan yang dilepaskan oleh sumber dengan
arah yang berlawanan dari aliran hisap hood. Kecepatan tangkap
minimum pada capturing hood bernilai antara 50 sampai 100 ft/menit
(untuk kontaminan yang memiliki kecepatan lepas ke udara yang rendah)
harus dipenuhi sehingga dapat menjangkau jarak terjauh dari hood.
c. Canopy Hood Jenis hood ini merupakan jenis yang umum yang digunakan
sebagai alat penghisap udara pada tangki pembakaran yang terbuka.
Canopy hoods umumnya digunakan untuk menghisap udara yang panas
(uap pembakaran), atau untuk menurunkan nilai kelembaban yang terlalu
tinggi pada suatu area tertentu. Dari tiga jenis hood yaitu : enclosure,
canopy hoods, dan capturing hoods, maka pada tabel 2.3 di bawah ini
ditampilkan bentuk dan tipe hood serta besarnya aliran udara.
Brandt (dalam Louis Theodore, 2008) merekomendasikan aliran udara
dari hood dapat diperoleh dengan:
𝑄 = 𝑃𝑌𝑉
Dimana:
P = keliling permukaan hood di kaki, ft
Y = jarak tegak lurusdari permukaan hood ke atas tangki, ft
V = kecepatan rata-rata melalui celah antara tepi hood dan tangka
Della Valle (dalam Louis Theodore, 2008) menemukan bahwa untuk
Canopy Hood terletak antara 3,5 dan 4 ft di atassumber kontaminasi,
kecepatan di tepi atas tangki adalah sekitar 0,7 dari kecepatan rata-rata.
Persamaan diatas kemudian dimodifikasi menjadi:
𝑄 = 1,4⁡𝑃𝐷𝑉
Tabel 2.4 Jenis-Jenis Hood

Sumber : ACGIH,1988
Penentuan kecepatan hisapan hood dalam mengumpulkan debu dapat
dilihat dari Tabel 2.5 berikut :
Tabel 2.5 Minimum Recommended Control Velocities

Sumber : Schnelle, 2016


2.8.7 Duct

Duct merupakan salah satu instrumen yang penting dalam proses


pengendalian pencemaran udara (Arief,2014). Duct berfungsi untuk
mengalirkan udara yang telah terkontaminasi dari hood menuju alat
pengendali, dan kemudian udara tersebut akan dialirkan dari alat kontrol
menuju fan. Berikut ini jenis pipa yang dapat digunakan dalam desain ,
terdapat beberapa intruksi untuk meminimalisasi kerugian tekanan dalam
mendesain duct :
a. Pemilihan kecepatan minimum
Pekerjaan saluran, jika membawa partikulat, harus dirancang untuk
menjaga partikulat dalam suspensi(Arief,2014). Ini berarti bahwa kecepatan
pengangkutan harus cukup tinggi untuk mencegah pengendapan partikel
terbesar yang dibawa. Formula empiris yang direkomendasikan oleh Brandt
digunakan untuk memperkirakan kecepatan saluran yang diperlukan untuk
mencegah pengendapan yaitu:
𝑠
𝑉 = 15700 (𝑠+1) √𝑑𝑝…………….(2.16)

dimana:
V = kecepatan saluran dalam kaki / menit
S = gravitasi spesifik dari partikel
d = diameter dalam inci dari partikel terbesar yang akan disampaikan
Persamaan di atas telah dikembangkan untuk digunakan dengan udara
sekitar. Sementara itu mempertimbangkan efek kepadatan partikel, ia
mengabaikan kepadatan gas yang membawa. Jika densitas gas sangat berbeda
dari udara ambien permukaan laut, kebutuhan untuk mengubah persamaan
dapat diantisipasi. Meskipun kecepatan yang dipilih oleh Persamaan 2.20
adalah untuk menyampaikan partikulat, umumnya diinginkan dalam saluran
pembuangan untuk menghindari jalan horizontal yang panjang, jika
memungkinkan dan untuk memberikan kemiringan pada bagian-bagian yang
pada dasarnya horisontal dari saluran kerja tersebut (Schnelle, 2016).
Selain itu, partikulat yang lembab dan lengket dapat menghasilkan
penumpukan saluran, dan kecepatan yang diprediksi oleh persamaan di atas
tidak memadai untuk mencegah pengerasan dinding saluran dalam situasi
seperti itu. Kecepatan saluran yang lebih tinggi, pembersihan saluran yang
sering, dan pelapis saluran fluorocarbon adalah praktik yang digunakan dalam
situasi seperti itu (Schnelle, 2016).
Tabel 2.6 harus dikonsultasikan untuk menentukan kecepatan saluran
minimum. Area tergantung pada sumber aliran udara. Jika pekerjaan saluran
berasal dari tudung, laju aliran akan ditentukan dari kap seperti yang
disarankan. Jika pekerjaan saluran berasal dari sepotong peralatan proses atau
peralatan kontrol lain, peralatan itu akan menetapkan laju aliran.
Tabel 2.6 Minimum Recommanded Duct Velocities

Sumber : Schnelle, 2016

Berikut jenis pipa yang dapat digunakan dalam, terdapat beberapa


intruksi untuk meminimalisasi kerugian tekanan dalam mendesain duct:
a. Pemilihan kecepatan minimum
Pekerjaan saluran, jika membawa partikulat, harus dirancang untuk
menjaga partikulat dalam suspensi. Ini berarti bahwa kecepatan pengangkutan
harus cukup tinggi untuk mencegah pengendapan partikel terbesar yang
dibawa. Formula empiris yang direkomendasikan oleh Brandt7 digunakan
untuk memperkirakan kecepatan saluran yang diperlukan untuk mencegah
pengendapan.( Schnelle, 2016).
b. Friction head
Tekanan statis biasanya disebut dengan tekanan gesekan atau friction
head. Dalam saluran, tekanan gesekan disebabkan oleh gesekan kulit yang
dihasilkan oleh aliran dan hilangnya energi. Hal ini dihasilkan karena
turbulensi dalam tikungan, fitting, penghalang, dan ekspansi dan kontraksi
mendadak. Kehilangan gesekan pada pipa dan saluran circular yang halus
dapat dihitung dari .( Schnelle, 2016):
𝐿 𝑉
𝐻𝑓 = 4𝑓 (𝐷𝑐) (2𝑔) ………….(2.17)
Dimana:
f = faktor geseran
Dc = diameter saluran

Gambar 2.4 Friction loss untuk duct lingkaran


Sumber : Schnelle, 2016
Efek tikungan, fiting, penghalang, dan ekspansi serta kontraksi
mendadak dapat dihitung melalui suatu hubungan, di mana kehilangan head
sebanding dengan kecepatan di bagian pipa yang dikuadratkan.
c. Total energy loss
Total energy loss merupakan hasil dari gaya-gaya friksi terhadap
fluida yang mengalir didalam pipa yang disebabkan oleh tahanan fluida untuk
mengalir. Tekanan statis sama dengan friction head. Tekanan total, TP,
adalah jumlah dari tekanan statis, SP, dan VP. Ini dapat dinyatakan sebagai
jumlah kerugian saluran, kap mesin, dan fiting (Schnelle, 2016)
Total Energy Loss (TP) = [f(D/V)+(1+KH)+∑Kx]………………..(2.18)
d. Fan Power
Menurut Schnelle (2016) dalam kasus pekerjaan saluran yang
membutuhkan fan, biaya operasi sebagian besar terkait dengan biaya
pengoperasian fan. Pekerjaan fan dapat dihitung dari:
𝐾×𝑄×∆𝑃
𝑊𝑓 = ⁡ ……………… (2.19)
𝜂

Dimana:
k = konstanta yang bergantung pada satuan parameter lainnya
η = efisiensi mekanis

2.9 Pembebanan
Dalam permodelan struktur untuk rekayasa (engineering) diperlukan
prosedur pembebanan yang tepat agar struktur tersebut mampu berfungsi sesuai
harapan. Pembebanan ini bertujuan untuk menguji perilaku dan kemampuan
struktur dalam menghadapi aksi/ gaya yang mungkin bekerja terhadap struktur
tersebut pada kondisi nyata. Struktur dianggap gagal (fail) dalam tahapan
rekayasa apabila kemampuan struktur tersebut di bawah kondisi batas yang
ditetapkan dan perilakunya tidak sesuai dengan harapan. Tipe-tipe pembebanan
menurut SNI Pembebanan 1727 dan 1726:
1. Beban Mati
Beban mati yang bekerja dalam struktur meliputi berat sendiri struktur
ditambah berat material lainnya serta peralatan yang ada pada struktur tersebut
2. Beban Hidup
Klasifikasi beban hidup dapat dibedakan menjadi:
A. Beban hidup akibat penggunaan dan penghunian
Beban hidup tipe ini ditentukan berdasarkan tujuan penggunaan
strukturnya. Aplikasi bebannya dapat berupa beban merata maupun beban
terpusat. Nilai beban untuk desain bisa dilihat pada Tabel 4-1 SNI 1727. Pada
kondisi tertentu SNI memperbolehkan pengurangan nilai beban rencana dengan
suatu faktor elemen beban hidup.
a. Beban hidup atap
Beban ini dapat terjadi akibat pemeliharaan oleh pekerja, mesin,
dan material dan juga akibat benda yang bergerak selama umur rencana
struktur
b. Beban Partisi
Pada bangunan dengan partisi yang akan diangkat dan
dirangkai, berat partisi harus diperhitungkan dan tidak boleh kurang
dari 0.72 kN/m2. Pengecualian untuk struktur dengan beban hidup
melebihi 3.83 kN/m2 beban partisi ini dapat diabaikan (SNI
Pembebanan 1727 dan 1726).
c. Beban hidup pada handrail, guardrail, grab bar, sistem penghalang
kendaraan dan ladder.
Selain pada komponen struktural, komponen non struktural
bangunan seperti handrail perlu dicek kekuatannya untuk menahan
beban. Untuk kepentingan praktikal perencanaan dapat dipakai nilai-
nilai beban hidup pada SNI 1727 pasal 4.5.
3. Beban tumbukan
Input beban hidup dalam desain harus mempertimbangkan efek beban
tumbukan yang terjadi bila terdapat peralatan yang mengakibatkan tumbukan
seperti lift dan mesin. Untuk lift besarnya beban dan lendutan izin dapat dilihat
pada ASME A17.1. Sementara besarnya beban tumbukan dari mesin dapat
diambil dari berat mesin tersebut, yaitu 20% dari berat mesin untuk mesin ringan,
poros atau penggerak motor dan 50% untuk unit mesin yang bergerak maju
mundur atau unit tenaga penggerak(SNI Pembebanan 1727 dan 1726).
4. Beban derek (crane)
Beban derek ditetapkan berdasarkan kapasitas dari derek yang terpasang
pada struktur. Beban derek ini termasuk beban roda dari derek maximum, beban
tumbukan vertikal, lateral dan gaya longitudinal yang diakibatkan pergerakan
derek. Beban maksimum dari roda merupakan penjumlahan dari berat jembatan
yang digunakan, kapasitas derek, dan berat troli pada posisi yang memberikan
efek terbesar pada struktur. Beban tumbukan vertikal didapat dari beban roda
maksimum yang diperbesar dengan faktor pengali tertentu sesuai dengan tipe
dereknya. ]
Beban lateral diaplikasikan pada balok runway tegak lurus terhadap
sumbu baloknya dan beban longitudinal diaplikasikan sejajar dengan sumbu
baloknya (SNI Pembebanan 1727 dan 1726). Besarnya beban lateral adalah 20%
dari total kapasitas derek serta berat hoist dan trolinya. Sementara beban
longitudinal besarnya 10% dari beban roda maksimum.
5. Beban tanah & tekanan hidrostatis
Untuk struktur berlokasi di bawah permukaan tanah, perlu diperhatikan
efek dari tekanan lateral tanah disekelilingnya. Selain itu perlu juga pengecekan
terhadap adanya kemungkinan gaya angkat (uplift) akibat tekanan air ke atas di
bawah struktur. Bila tidak terdapat laporan penyelidikan tanah untuk penentuan
gaya lateralnya dapat menggunakan beban minimum sesuai Tabel 3.2-1 SNI 1727.
6. Beban Banjir
Pada lokasi dengan potensi bencana banjir, beban banjir perlu
diperitungkan dalam desain. Beban yang diakibatkan banjir ini dapat datang
dalam 3 bentuk, yaitu :
a. Beban Hidrostatik
Beban ini diaplikasikan pada seluruh permukaan struktur, baik di
atas permukaan tanah maupun di bawah permukaan tanah. Besarnya beban
ini ditentukan dari ketinggian air pada elevasi banjir desain. Ketinggian air
untuk desain beban hidrostatik perlu ditambah 0.3 m untuk bagian struktur
yang kedua sisinya terendam air (SNI Pembebanan 1727 dan 1726).
b. Beban Hidrodinamik
Pengaruh dari pergerakan air perlu dimasukkan sebagai beban sesuai
konsep dasar mekanika fluida. Untuk aliran air dengan kecepatan tidak lebih
dari 3.05 m/s pengaruh pergerakan air ini dapat dikonversikan ke dalam
beban hidrostatik dengan menambahkan ketinggian air sesuai ketentuan SNI
1727 pasal 5.4.3.
c. Beban Gelombang
Beban gelombang muncul dari gelombang air yang menyebar di atas
permuakaan air dan menghantam struktur atau bangunan. Beban gelombang
untuk desain meliputi pecahnya gelombang pada bagian struktur atau
bangunan, gaya angkat akibat gelombang dangkal di bawah struktur,
gelombang yang langsung menghantam bagian struktur, gelombang yang
menyebabkan gaya seret dan inersia, dan gerusan (scouring) akibat
gelombang pada bagian dasar struktur atau fondasinya (SNI Pembebanan
1727 dan 1726).
7. Beban Hujan
Struktur atap perlu didesain untuk mampu menahan beban hujan pada
kondisi drainase primer ditutup dan ditambah beban merata yang diakibatkan air
yang naik dari inlet drainase sekunder pada aliran desain. Selain itu perlu
pengecekan kekakuan struktur terhadap kemungkinan adanya genangan air pada
atap dengan kemiringan kecil yang menyebabkan lendutan bertahap.
8. Beban Angin
Formulasi beban angin rencana pada dasarnya didapatkan dari kecepatan
angin dasar yang kemudian dikonversikan dengan faktor- faktor tertentu, seperti
arah angin, faktor keutamaan bangunan, eksposur, topografi, serta bentuk struktur
menjadi tekanan atau gaya. Kecepatan angin dasar didapatkan pada kecepatan
tiupan angin dengan periode 3 detik pada ketinggian 10 m diatas permukaan tanah
pada area dengan Kategori Eksposur C. 81 (SNI Pembebanan 1727 dan 1726).
9. Beban Gempa
Sederhananya, beban gempa merupakan perkalian dari massa yang berasal
dari struktur dan komponen lainnya yang terdapat pada struktur tersebut dan
percepatan tanah yang bersumber dari gempa yang terjadi (SNI Pembebanan 1727
dan 1726)

2.9 SAP 2000


2.9.1 Sejarah dan Perkembangannya
Menurut Prayoga (2015) SAP2000 dikembangkan berdasarkan
program SAP1 pada sekitar tahun 1975. Program SAP1 adalah suatu program
komputer yang diciptakan oleh Prof. Edward L. Wilson, guru besar
University of California, Berkeley, California, USA. Pada tahun 1975, versi
komersial dari program tersebut dilansir oleh perusahaan Computer and
Structure Inc. (CSI) pimpinan Ashraf Habibullah. Sampai sekarang, program
tersebut dikenal di dunia sebagai pioner di bidang software rekayasa struktur
dan kegempaan.
Sebagai software yang tumbuh di lingkungan perguruan tinggi,
banyak yang mempelajari source code program tersebut dan menjadi cikal
bakal program analisa struktur serupa lainnya. Saat ini, software CSI telah
dipakai lebih dari 160 negara dan dipakai untuk perencanaan pada proyek-
proyek besar. Seperti Taipei 101 Tower (Taiwan), One World Trade Center
(New York), Stadium Birds Nest (Beijing), dan Jembatan Cable-Stayed
Centenario yang melintasi Selat Panama (Prayoga,2015). Pada awalnya
program SAP dibuat untuk main-frame. Versi PC dari program SAP
dikeluarkan pada tahun 1980 yaitu SAP80 dan tahun 1990 menjadi versi
SAP90. Semuanya dalam sistem operasi DOS.
Ciri-ciri dari sistem operasi tersebut yaitu memakai file untuk
memasukkan input data. Ketika PC beralih dari DOS (teks) ke Windows
(grafis), versi SAP2000 dikeluarkan. Saat ini versi PC yang terakhir adalah
SAP2000v17(Prayoga,2015). Versi ini cukup canggih karena dapat
digunakan untuk melakukan analisa non-linier (deformasi besar, gap/kontak),
kabel, beban ledak dan tahapan konstruksi. Tetapi untuk kasus-kasus
sederhana (umum) antara program versi lama dan baru tidak memberi suatu
perbedaan yang signifikan, bahkan cenderung persis sama.
2.9.2 Pada Model Struktur
SAP2000, model yang digunakan dalam analisis dan desain
didefinisikan oleh pengguna dengan memanfaatkan graphical user interface
facility sebagai konsep dasar program berbasis Windows. Model tersebut
biasanya dilengkapi dengan fitur-fitur yang mewakili struktur, antara lain
(Prayoga,2015) :
 Properti material.
 Elemen frame untuk menunjukkan balok, kolom, dan rangka
batang.
 Elemen shell untuk menunjukkan dinding, lantai, dan elemen tipis.
 Joints untuk menunjukkan hubungan antara elemen-elemen.
 Restraints dan Springs untuk perletakan titik.
 Pembebanan, termasuk berat sendiri, gempa, angin dan sebagainya.
 Setelah menganalisis struktur, maka model juga menampilkan
simpangan, gaya gaya dalam, maupun reaksi-reaksi pada join-join
tertentu sesuai dengan pembebanan yang telah ditentukan.
2.9.3 Sistem Koordinat
Semua posisi struktur dalam model merupakan bagian dari suatu
sistem dengan tiga sumbu utama yang disebut X, Y, Z dan saling tegak lurus.
Dalam pemodelan dan analisi degunakan metode finite element. Sistem ini
merupakan sistem tiga dimensi, sesuai dengan aturan tangan kanan dan
sistem koordinat kartesian (rectangular) (Prayoga,2015).
Setiap komponen dalam model (joint, elemen frame, elemen shell dan
sebagainya) masing-masing memiliki sistem koordinat lokal dengan sumbu 1,
2 dan 3. Koordinat tersebut digunakan untuk menentukan properti,
pembebanan, dan respon untuk komponen tersebut(Prayoga,2015). Dalam
mengembangkan model yang dibuat, pengguna dapat menentukan sistem
koordinat tambahan. Finite element adalah suatu metode numerik yang
memanfaatkan operasi matrik untuk menyelesaikan masalah-masalah fisik.
Semakin rumit perilaku fisiknya (karena kerumitan bentuk geometri,
banyaknya interaksi beban, constraint, sifat material, dll) maka semakin sulit
atau bahkan mustahil dibangun suatu model matematik yang bisa mewakili
permasalahan tersebut. Alternatif metodenya adalah membangun model
matematik yang lebih sederhana, dengan cara membagi kasus tadi menjadi
bagian-bagian kecil yang sederhana. Kemudian interaksi antar bagian kecil
tersebut ditentukan berdasarkan fenomena fisik yang akan diselesaikan.
Metode ini dikenal sebagi metode elemen hingga, karena kita membagi
permasalahan menjadi sejumlah elemen tertentu (finite) untuk mewakili
permasalahan yang sebenarnya jumlah elemennya adalah tidak berhingga
(kontinum). (Prayoga, 2015).

2.11 BOQ dan RAB


2.11.1 BOQ
BOQ di dalamnya berisi dokumen yang disebut Bill of Quantities
yang diterbitkan untuk tenderer oleh atau atas nama Prinsipal, yang
menyatakan perkiraan jumlah pekerjaan yang harus dilakukan. BOQ (Bill of
Quantity) adalah Tahapan proses analisis biaya terperinci harus mengamati
gambar desain, untuk mengidentifikasi item komponen bangunan, serta
menghitung volume serta luasan masing-masing item komponen bangunan.
Perhitungan Bill of Quantity (BoQ) bertujuan untuk menghitung volume
setiap pekerjaan. Volume setiap pekerjaan ini sangat dibutuhkan dalam
analisis penjadwalan waktu proyek karena menyangkut penggunaan sumber
daya(Sastraatmadja,1984). menggunakan metode BOW atau SNI,
menjumlahkan biaya masing-masing item komponen bangunan, barulah total
rencana anggaran biaya konstruksi terprediksi.
Tool analisa harga satuan baik BOW maupun SNI, bisa dipergunakan
untuk menghitung RAB (Rencana Anggaran Biaya) pembangunan rumah dan
pembangunan lainnya, apabila BOQ (Bill of Quantity) sudah tersusun. Bills
of Quantities berfungsi sebagai:
1. Rincian harga yang ditawarkan, tanpa status kontrak, tetapi memberikan
informasi untuk seleksi dari tender.
2. Ukuran perkiraan pekerjaan untuk harga yang ditenderkan, untuk
digunakan tiba pada harga kontrak yang direvisi setelah jumlah pekerjaan
yang sebenarnya dilakukan diukur. Ini adalah bentuk kontrak pengukuran
ulang.
3. Jadwal tarif sebagai dasar kontrak untuk menilai variasi dalam kerja.
4. Dasar untuk mengukur nilai pekerjaan yang diselesaikan untuk sementara
pembayaran.
2.11.2 RAB
Rencana anggaran biaya proyek adalah perhitungan banyaknya
anggaran biaya suatu bangunan dan upah, serta biaya-biaya lain yang
berhubungan dengan pelaksanaan proyek tersebut (Ibrahim,1993). Definisi
lain mengatakan RAB proyek adalah suatu proses perhitungan volume
pekerjaan, harga dari berbagai macam bahan dan pekerjaan yang terjadi pada
suatu konstruksi (Sastraatmadja,1984).
Dari kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa RAB proyek
adalah perhitungan banyaknya biaya yang diperlukan dalam suatu proyek
konstruksi yang terdiri dari biaya bahan, upah tenaga, serta biaya lain yang
berhubungan dengan proyek tersebut berdasarkan perhitungan volume
pekerjaan yang telah dilakukan sebelumnya. Daftar ini berisi volume, harga
satuan, serta total harga dari berbagai macam jenis material dan upah tenaga
yang dibutuhkan untuk pelaksanaan proyek tersebut. Penyusunan RAB
terbagi atas 2 bagian yaitu RAB terperinci dan RAB kasar. RAB kasar
merupakan rencana anggaran biaya sementara dimana pekerjaan dihitung tiap
ukuran luas.
Sedangkan RAB terperinci adalah anggaran biaya bangunan atau
proyek yang dihitung dengan terperinci dan cermat, sesuai dengan ketentuan
dan syarat-syarat penyusunan anggaran biaya (Sastraatmadja,1984).
Penyusunan RAB secara terperinci pada dasarnya membutuhkan 5 hal yang
paling mendasar, yaitu bestek dan gambar-gambar bestek, daftar upah, daftar
harga bahan-bahan (material), daftar analisis, serta daftar volume tiap jenis
pekerjaan yang ada. Daftar tersebut dapat saling memberikan gambaran dan
petunjuk-petunjuk hingga akhirnya dapat merupakan anggaran biaya
(Mukomoko, 1987).
Di dalam RAB terdapat analisis harga satuan pekerjaan. Analisis
harga satuan pekerjaan merupakan analisis bahan dan upah untuk membuat
satu satuan pekerjaan tertentu, seperti 1 m3 beton (1:2:3), 1 m3 galian
pondasi dan sebagainya, semuanya diatur dalam pasal-pasal pada buku BOW
(Burgeslijke Openbare Werken) maupun SNI (Standar Nasional Indonesia).
BAB III
METODOLOGI PERENCANAAN

3.1 Diagram Alir Perencanaan Electrostatic Precipitator (ESP)


Tahapan proses yang dilakukan dalam perencanaan Electrostatic
Precipitator digambarkan dalam diagram alir pada gambar 3.1 berikut:

Mulai

Studi Literatur

Perumusan Masalah

Pengumpulan Data

Lengkap

Analisis Data:
1. Sumber Emisi
2. Karakteristik Partikulat
3. Jalur Ducting

Perhitungan Perencanaan

Fan Dimensi Electrical


Hood Duct Cerobong
Power ESP dan Sipil

Gambar Desain

Perhitungan BOQ dan RAB

Penyusunan Laporan

Selesai
Gambar 3.1 Diagram Alir Perencanaan ESP
3.2 Uraian Diagram Alir Perencanaan
3.2.1 Studi Literatur
Melakukan kajian terhadap berbagai literatur yang menyangkut
pencemaran partikulat dan perencanaan ESP pada industri melalui sumber
buku, jurnal, skripsi, thesis, dan laporan pkl.
3.2.2 Perumusan Masalah
Menganalisis permasalahan yang yang berisi pertanyaan mengapa dan
bagaimana terkait emisi partikulat pada industri semen. Kemudian
menganalisis berdasarkan karakteristik sumber partikulat dan penggunaan
instalasi limbah gas partikulat yang sesuai.
3.2.3 Pengumpulan Data
Mengumpulkan data data baik data primer maupun sekunder yang
dibutuhkan dalam perencanaan unit ESP di Industri semen. Namun, Data
yang digunakan dalam perencanaan ini merupakan data sekunder, yang
bersumber dari buku, jurnal, thesis, skripsi, dan internet. Karena tidak
memungkinkan untuk mengambil data primer secara langsung di lapangan.
Data tersebut meliputi data sumber pencemar, kriteria desain dan Regulasi
terkait, PFD industri semen, karakteristik partikulat, dan HSPK.
3.2.4 Analisis Data
1. Analisis Sumber Emisi
Analisis sumber emisi dilakukan untuk menentukan karakteristik
partikulat dan penetapan letak sumber emisi untuk dapat menentukan
jalur ducting.
2. Analisis Karakteristik Partikulat
Setelah melakukan analisis sumber emisi maka ditemukan
karakteristik partikulat untuk menetukan instalasi yang sesuai dalam
pengolahan gas dan partikulat
3. Analisis Jalur Ducting
Analisis jalur ducting dilakukan dengan menggambar layout dan
jalur pipa untuk menentukan kebutuhan pipa, fan, dan total energi
los.
3.2.5 Perhitungan Perencanaan
1. Perhitungan Hood
Perhitungan hood dilakukan berdasarkan data yang diperoleh dan
juga rumus-rumus yang telah ada dengan kriteria desain.
2. Perhitungan Ducting
Perhitungan ducting dilakukan berdasarkan data yang diperoleh dan
juga rumus-rumus yang telah ada dengan kriteria desain.
3. Perhitungan fan
Perhitungan kebutuhan pompa dilakukan berdasarkan data yang
diperoleh dan juga rumus-rumus yang telah ada dengan kriteria
desain.
4. Perhitungan Dimensi ESP
Perhitungan dimensi dilakukan dengan menentukan efisiensi dari
ESP, dimensi plat yang direncanakan dengan menyesuaikan kriteria
desain yang sudah tersedia.
5. Perhitungan Electrical dan Sipil
Perhitungan electrical dilakukan sesuai kebutuhan dari electrical
mulai dari proses keluarnya emisi dari sumber sampai dengan emisi
keluar dari cerobong, mulai dari menghitung kuat medan listrik,
tegangan, muatan partikel dengan rumus-rumus yang sudah ada
sesuai dengan kriteria desain. Perhitungan struktur sipil dihitung
mulai dari bangunan dengan berdasarkan dari dimensi yang
diperoleh dengan meliputi perhitungan dari struktur bangunan,
struktur plat lantai, struktur pondasi, dan juga konstruksi pelengkap.
Termasuk juga perencanaan bahan juga ketahanan dari bahan.
3.2.6 Gambar Desain
Gambar Desain ini merupakan gambar berdasarkan hasil perhitungan
yang telah dilakukan sesuai dengan dimensi dan ketentuan. DED ini
merupakan detail dari setiap unit GSC di mulai dari gambar tampak atas,
tampak samping dan tampak depan.
3.2.7 Perhitungan BOQ dan RAB
Perhitungan kebutuhan dan anggaran biaya yang digunakan dalam
perencanaan unit Electrostatic Precipitator (ESP) sesuai dengan HSPK.
3.2.4 Tahapan Pelaporan
Tahap pelaporan berisikan tentang laporan hasil dari perencanaan
unit pengolahan gas dan partikulat untuk industri semen.
BAB IV
ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Perencanaan dan Karakteristik Partikulat Industri Semen


Beradasarkan hasil studi literatur mengenai karakteristik partikulat dari
industri semen, didapatkan beberapa data sebagai berikut:

Tabel 4.1 Data Karakteristik partikulat dan Kebutuhan Perencanaan


No Kebutuhan Nilai Sumber
Data
1. Migration 0,19-0,23 ft/s or
6.4-7.0 cm/s Kriteria Design dalam Air
Velocity (dry Pollution Control Equipment
Dipakai 6,5 cm/s
process) book by Louis Theodore

Jurnal Application of ESP for


2.
Diameter Partikel 5 µm gas cleaning in cement
industry— with reference to
India by JD. Bapat.
3. Debit sumber 12950 m3/jam
pencemar atau 76220,820 Nareswari, 2019
scfm

Air pollution Control


4. Velocity gas (V) 200 fpm
Technology Handbook tabel
20.1 by Karl B Schannel
5.
Efisiensi Removal 99,60% Manual Operation and
Maintenance ESP by EPA

6.
Densitas Partikel

7. Konstentrasi Gas 10,18 g/Nm3 Nareswari, 2019


masuk

8. Tinggi Plat 8-15 meter Air Pollution Control


Pengumpul (dipakai= 12 m) Engineering by Wang, Pereira,
dan Hung. 2004.
No Kebutuhan Nilai Sumber
Data

9. Kebutuhan data Nilai Sumber

Air Pollution Control


10. Panjang Plat 0,5-2,0 x tinggi
Engineering by Wang, Pereira,
Pengumpul plat
dan Hung. 2004.
Air pollution Control
11. Dust Velocity 5000 ft/min
Technology Handbook tabel
20.1 by Karl B Schannel

4.2 Perencanaan dan Perhitungan Hood


Dalam perancangan hood digunakan hood dengan tipe Canopy Hood yang
dipasang sesuai dengan kondisi ruangan dan titik jangkauan untuk Raw Mills.
Canopy Hood umum digunakan untuk menghisap udara yang panas (uap
pembakaran), atau untuk menurunkan nilai kelembaban yang terlalu tinggi pada
suatu area tertentu. Hood tersebut nantinya akan diletakan di atas sumber
pencemar dengan jarak sepanjang 1 meter, supaya hisapan lebih optimal dan tidak
berdampak buruk bagi para pekerja. Perhitungan jumlah kebutuhan hood adalah
sebagai berikut:
Diketahui :
QSumber Pencemar = 3,6 m3/s (Ditentukan)
V = 200 fpm = 1,016 m2/s
Panjang = 0,55 m (Ditentukan)
Lebar = 0,72 m (Ditentukan)
Keliling (Perimeter) = 2 x (Panjang + Lebar) = 2,54 m (Ditentukan)
Jarak sumber pencemar dengan Hood (D) = 1 m

Perhitungan Debit Hood (Canopy Hood)


Debit gas masuk (Q) = 1,4 P x D x V
= 1,4 x 2,54 x 1 x 1,016
= 3,61 m3/s
Dari perhitungan diketahui debit bahwa yang dapat dihisap oleh canopy
hood sebesar 4.0894 m3/s. Sedangkan debit limbah debu yang dikeluarkan oleh
sumber sebesar 6 m3/s, jadi kebutuhan hood adalah:
𝑄𝑆𝑢𝑚𝑏𝑒𝑟𝑃𝑒𝑛𝑐𝑒𝑚𝑎𝑟
Jumlah Hood yang dibutuhkan =
𝑄𝐻𝑜𝑜𝑑

3,6⁡𝑚3 /𝑠
=⁡
3,61⁡𝑚3 /𝑠
= 0,99 ~ 1 Buah

4.3 Perencanaan dan Perhitugan Duct


Perhitungan diameter duct diawali dengan mencari luasan duct yang
didapat dari pembagian antara nilai debit yang akan masuk kedalam duct dan nilai
minimum control velocity dengan nilai sebesar 5000 ft/min. Dikarenakan material
bersifat korosif dan temperatur tinggi, maka digunakan ducting stainless steel
yaitu Galvanis ducting.
𝑚3 1⁡𝑚3
Debit : 129500 m3/jam dikonversikan menjadi 129500 x =
𝑗𝑎𝑚 3600⁡𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘
𝑚3
35,972 kemudian dikalikan dengan 2118.880 untuk dikonversikan menjadi
𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘
𝑚3
satuan scfm 35,972 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘× 2118.88 = 76220,820 scfm.

Tabel x. Perhitungan Duct


Flow Velocity Area D Dact Aact Vact
Duct (V in (A in
(scfm) (ft) (ft) (ft²) (fpm)
fpm) ft²)
A 76220.82 5000 15.24 4.41 4.50 15.90 4794.89
B 76220.82 5000 15.24 4.41 4.50 15.90 4794.89
C 76220.82 5000 15.24 4.41 4.50 15.90 4794.89
D 76220.82 5000 15.24 4.41 4.50 15.90 4794.89
E 76220.82 5000 15.24 4.41 4.50 15.90 4794.89
F 76220.82 5000 15.24 4.41 4.50 15.90 4794.89
G 76220.82 5000 15.24 4.41 4.50 15.90 4794.89
Contoh Perhitungan Duct A:
𝑄
Duct Area(A) = 𝑉
76220.82⁡𝑠𝑐𝑓𝑚
= ⁡= 15.24 ft²
5000⁡𝑓𝑝𝑚
4𝐴 0.5
Diameter Duct (D) = ( 𝜋 )

4𝑥⁡15.24⁡𝑓𝑡2 0.5
=( ) = 4.41 ft
𝜋

Hasil perhitungan diameter pipa sebesar 4,41 ft kemudian disesuaikan dengan


diameter pipa yang tersedia dipasaran. Nilai diameter pipa dipasaran yang
mendekati nilai 4.41 ft adalah 4,5 ft atau setara 54 inch.
Dact²×
Area Actual(Aact) =
4
4.5²⁡ft×
= = 15.9 ft²
4
𝑄
Actua Velocity(Vact) =
𝐴𝑎𝑐𝑡
76220.82⁡𝑠𝑐𝑓𝑚
= = 4794.89 fpm
15.9⁡𝑓𝑡2

Duct A :
Kecepatan dalam pipa A adalah 4794,893 ft/min untuk mengkonversi
satuan kecepatan ft/min menjadi in of H2O dalam kondisi standar dengan suhu
70°C dan kelembaban 50% serta dalam tekanan sebesar 1 atm, maka
digunakan persamaan sebagai berikut :
V = 4794,893 ft/min
𝑉 2
V std = (4005)

4794,893⁡ft/min 2
V std = ( ) = 1.433 in of H2O
4005

Perhitungan friction membutuhkan nilai f atau friction factor yang di dapat


dari grafik friction loss dengan cara plotting nilai diameter pipa dan nilai velocity
atau kecepatan pada pipa. Nilai f pada seluruh jalur pipa pada penelitian ini adalah
sama karena nilai diameter pipa adalah 52.92 in dan nilai kecepatan pipa 4794.89
fpm yang sama pada semua jalur yakni sebesar 0,028 in of H2O/100 ft.
L = 19.685 ft
f(D/V) = (0,028 in./100ft) × (19.685 ft/100)
= 0.05 in of H2O
Jalur A hanya memiliki 1 aksesoris yakni elbow 90 yang memiliki nilai
head loss constant sebesar 0.9 serta memiliki hood canopy dengan nilai headloss
contact 0.5
1 + KH = 1 + 0.5 = 2.5
Kx = 0.9
Perhitungan total energy loss pada jalur A sebagai berikut:
𝐷
TP = [𝑓 ( ) + (1 + 𝐾𝐻) + ∑ 𝐾𝑥]
𝑉

= 0.05 + 2.5 + 0.9 = 3.45


DAFTAR PUSTAKA

CEPA. (1999). List of Toxic Substances-Schedule 1 - The Canadian


Environmental Protection Act.

Cooper, C. D., & Alley, F. C. (1986). Air Pollution Control : A Design Approach.
Boston: PWS Engineering.

Faruqi, Z. M. 2019. ANALISIS PENGENDALIAN DAN PEMANTAUAN


KUALITAS UDARA EMISI DI PT SEMEN PADANG STUDI KASUS
PABRIK INDARUNG V DAN VI. Laporan Kerja Praktek. Universitas
Pertamina.

Muttaqim, L. M., Trimulyono, A., & Hadi, E. S. (n.d.). Analisa Electrostatic


Precipitator (ESP) Pada Exhaust Dalam Upaya Pengendalian Partikulat
Debu Gas Buang Main Engine Kapal Latih BIMASAKTI. Semarang:
Universitas Diponegoro.

Purwanta, W. (2018). PEMENUHAN BAKU MUTU UDARA EMISI DAN


PENANGANANNYA; TINJAUAN ATAS POLUTAN PARTIKULAT,
NOx DAN SO2.

Putri, F. A., Amri, H., & Suryani, L. (n.d.). REVIEW INDUSTRI SEMEN. Padang:
Universitas Negeri Padang.
LAMPIRAN

Gambar ….. PFD Cement Mill

(Sumber : Laporan Kerja Praktik Pt Semen Indonesia (Persero) Tbk. Oleh Abdul Rozak)
Gambar . PFD Industri Semen

Anda mungkin juga menyukai