Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pencemaran Udara adalah kondisi udara yang tercemar dengan adanya
bahan, zat-zat asing atau komponen lain di udara yang menyebabkan
berubahnya tatanan udara oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam,
sehingga kualitas udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai
dengan peruntukkannya. Pencemaran udara selalu terkait dengan sumber yang
menghasilkan pencemaran udara yaitu sumber yang bergerak (umumnya
kendaraan bermotor) dan sumber yang tidak bergerak (umumnya kegiatan
industri). Terdapat banyak zat-zat pencemar udara yang dapat diidentifikasi,
namun beberapa diantaranya adalah silfur dioksida (SO2), karbon monoksida
(CO), karbon dioksida (CO2), nitrogen oksida (NO), hidrokarbon (HC), dan
ozon.
PT Semen Indonesia merupakan perusahaan manufaktur yang bergerak
pada industri semen dan pemasaran hasil produksinya mencakup pasar dalam
negeri dan luar negeri. Dampak negatif dari industri semen adalah pencemaran
udara oleh debu. Debu yang dihasilkan oleh kegiatan industri semen terdiri dari
debu yang dihasilkan pada waktu pengadaan bahan baku, proses pembakaran,
dan hasil pengemasannya.
Salah satu cara yang digunakan untuk mengendalikan emisi gas adalah
Electrostatic Precipitator (ESP). Prinsip utama sistem ini adalah menangkap
atau mengikat debu yang keluar dari hasil pembakaran dengan memberikan arus
listrik tegangan tinggi pada kawat elektroda bermuatan negatif sehingga debu-
debu akan termuati oleh muatan negatif akibatnya debu-debu yang keluar dari
hasil pembakaran tertarik atau terikat pada pelat-pelat yang bermuatan positif
dan gas bersih bergerak menuju cerobong asap.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana karakteristik partikulat pada industri semen?
2. Bagaimana cara mendesain electrostatic precipitator, hood, duct, dan
cerobong pada industri semen?

1
3. Bagamana cara menentukan BOQ dan RAB pada perencanaan electrostatic
precipitator?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui karakteristik partikulat pada industri semen.
2. Mampu mendesain electrostatic precipitator, hood, duct, dan cerobong pada
industri semen.
3. Mengetahui BOQdan RAB padaperencanaan electrostatic precipitator.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Debu

Debu adalah partikel padat yang terbentuk dari proses penghancuran,


penanganan, grinding, impaksi cepat, peledakan dan pemecahan dari material
organic atau anorganik seperti batu, bijih metal, batubara, kayu dan biji-bijian
(Hidayat,2000) Istilah debu yang digunakan adalah menunujuk pada partikel
yang berukuran antara 0,1 sampai 0,25 mikron.

2.1.1 Sifat Debu

Menurut Departemen Kesehatan R I yang dikutip oleh Sitepu(2002) ,


partikel - partikel debu di udara mempunyai sifat :

1. Sifat pengendapan
Sifat pengendapan adalah sifat debu yang cenderung selalu
mengendap karena gaya gravitasi bumi . Namun karena kecilnya
ukuran debu , kadang-kadang debu ini relatif tetap berada di
udara.
2. Sifat permukaan basah
Sifat permukaan debu akan cenderung selalu basah ,
dilapisi oleh lapisan air yang sangat tipis. Sifat ini penting dalam
pengendalian debu dalam tempat kerja.
3. Sifat penggumpalan
Oleh karena permukaan debu selalu basah , sehingga dapat
menempel satu sama lain dan dapat menggumpal. Turbulensi udara
meningkatkan pembentukan penggumpalan debu. Kelembaban di
bawah saturasi , kecil pengaruhnya terhadap penggumpalan debu .
Kelembaban yang melebihi tingkat huminitas di atas titik saturasi
mempermudah penggumpalan debu . Oleh karena itu partikel debu
bias merupakan inti dari pada air yang berkonsentrasi sehingga
partikel menjadi besar .

3
4. Sifat listrik statis
Debu mempunyai sifat listrik statis yang dapat menarik
partikel lain yang berlawanan. Dengan demikian, partikel dalam
larutan debu mempercepat terjadinya proses penggumpalan .
5. Sifat optis
Debu atau partikel basah atau lembab lainnya dapat
memancarkan sinar yang dapat terlihat dalam kamar gelap .Partikel
debu yang berdiameter lebih besar dari 10 mikron dihasilkan dari
proses-proses mekanis seperti erosi angin, penghancuran dan
penyemprotan, dan pelindasan benda-benda oleh kendaraan atau
pejalan kaki. Partikel yang berdiameter antara 1 - 10 mikron biasanya
termasuk tanah dan produk-produk pembakaran dari industri lokal.
Partikel yang mempunyai diameter 0,1-1mikron terutama merupakan
produk pembakaran dan aerosol fotokimia (Fardiaz,1992).

2.1.2 Nilai Ambang Batas

Nilai ambang batas (NAB) adalah standard faktor-faktor


lingkungan kerja yang dianjurkan di tempat kerja agar tenaga kerja masih
dapat menerimanya tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan
kesehatan,dalam pekerjaan sehari - hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam
sehari atau 40 jam seminggu (Permenakertrans RI No .13 tahun 2011
tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Kimia di Tempat Kerja).
Kegunaan NAB ini sebagai rekomendasi pada praktik higiene
perusahaan dalam melakukan penatalaksanaan lingkungan kerja sebagai
upaya untuk mencegah dampaknya terhadap kesehatan. Kadar debu
yang melampaui ambang batas yang ditentukan dapat mengurangi
penglihatan, menyebabkan endapan tidak menyenangkan pada mata,
hidung, dan telinga dan dapat juga mengakibatan kerusakan pada kulit
.Nilai ambang batas kadar debu di udara berdasarkan Permenakertrans
RI Nomor 13 tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Bahan Fisika dan
Kimia di Tempat Kerja, bahwa kadar debu di udara tidak boleh melebihi
3,0 mg/mm3.

4
2.2 Pengertian Dust Collector

Dust Collector merupakan sebuah sistem yang digunakan untuk


memperbaiki kualitas udara yang dihasilkan dari industri dan proses komersial
dengan cara mengumpulkan debu dan kotoran lainnya dari udara atau gas
lainnya. Prinsip kerja alat ini adlalah dengan menurunkan takanan pada sisi
isap di bawah tekanan atmosfir (udara bebas). Udara yang ada di sekitar lubang
isap ini akan masuk ke dalam lubang isap yang mengakibatkan debu yang
terkandung di udara sekitar lubang isap akan ikut masuk ke dalam lubang isap.
Udara yang masuk kemudian disaring menggunakan filter untuk menyaring
debu sehingga udara yang keluar sistem dust collector benar-benar bersih. Dust
collector terdiri atas sejumlah komponen, antara lain : blower (kipas), dust filter
(saringan debu), filter-cleaning system (sistem pembersih saringan), dan
hopper atau dust removal system (wadah pengumpul debu atau sistem
pembuang debu). Dengan adanya sistem pembersihan filter secara otomatis,
filter yang terdapat dalam sistem tidak perlu dibuang (disposable filter) ketika
permukaan filter telah jenuh oleh debu.

2.3 Electrostatic Precipitator

Electrostatic Precipitator adalah alat yang digunakan untuk


mengumpulkan (endapan) debu atau abu dari aliran gas. Terdiri dari collecting
plate dan electrode dan peralatan listrik yang digunakan untuk menghasilkan
dan mengendalikan rangkaian tegangan tinggi dan beroperasi pada prinsip
dasar bahwa berlawanan tegangan. Dengan pengisian partikel (atau partikulat)
dari debu atau abu dengan muatan listrik negatif, maka kemudian tertarik ke
collecting plate bermuatan positif. (Muttaqim, luthfi dkk. 2015).

5
Gambar 1. Komponen Electrostatic Precipitator

Berikut adalah komponen Electrostatic Precipitator (Muttaqim, luthfi dkk.


2015):

1. Roof
2. High Voltage Transformer-Rectifier Unit
3. Manhole
4. Discharge Electrode Rapping Motor
5. Outlet Nozzle
6. Manhole
7. Collecting Electrode
8. Internal Walkway
9. Discharge Electrode
10. Collecting Electrode Rapping Motor
11. Hopper
12. Partition Plate of Hopper
13. Thermal Insulation
14. Inlet Nozzle
15. Gas Distribution Screen
16. Discharge Electrode Support Insulator

2.3 Bagian – Bagian Dari Electrostatic precipitator (ESP)

6
2.3.1 Casing

Casing dari ESP umumnya terbuat dari baja karbon berjenis


ASTM A-36 atau yang serupa. Casing ini didesain untuk kedap udara
sehingga gas buang boiler yang berada di dalam ESP tidak dapat bocor
keluar. Selain itu ia didesain memiliki ruang untuk pemuaian karena pada
operasional normalnya ESP bekerja pada temperatur cukup tinggi. Oleh
karena itu pula sisi luar casing ini dipasang insulator tahan panas demi
keselamatan kerja. Discharge electrode dan collecting electrode didesain
menggantung dengan sisi support (penyangga) berada pada sisi casing
bagian atas dan pada sisi samping casing terdapat pintu akses masuk untuk
keperluan perawatan sisi dalam ESP

2.3.2 Hopper

Hopper terbuat dari bahan yang sama dengan casing. Hopper


berbentuk seperti piramida yang terbalik dan terpasang pada sisi bawah
ESP. Hopper berfungsi sebagai tempat berkumpulnya abu fly ash yang
dijatuhkan dari collecting electrode dan discharge electrode. Abu hanya
sementara berada di dalam hopper, karena selanjutnya abu akan
dipindahkan menggunakan sebuah sistem transport khusus ke tempat
penampungan yang lebih besar. Namun, hopper ini didesain untuk mampu
menyimpan abu sedikit lebih lama apabila terjadi kerusakan pada sistem
transport fly ash yang ada di bawahnya.

2.3.3 Collection Electrode (CE)

Collecting Electrode menjadi tempat terkumpulnya abu


bermuatan negatif sebelum jatuh ke hopper. Jarak antar CE pada sebuah
ESP didesain cukup dekat yakni 305-400 mm dengan kedua sisi plat
(depan belakang) yang sama-sama berfungsi untuk menangkap abu. CE
dibuat dari plat yang didukung dengan baja penyangga untuk menjaga
kekakuannya. CE dipasang dengan support yang berada di atas dan
menggantung pada casing bagian atas. Untuk mendapatkan medan listrik
yang seragam pada CE, serta untuk meminimalisir terjadinya loncatan

7
bunga api elektron, maka CE harus dipasang dengan ketelitian yang sangat
tinggi.

2.3.4 Discharge Electrode (DE)

Discharge Electrode terhubung dengan sumber tegangan DC


tinggi hingga berperan menciptakan korona listrik. DE berfungsi untuk
mengisi abu sehingga abu menjadi bermuatan negatif. DE dipasang pada
tiap tengah-tengah CE dengan jarak 152-203 mm tergantung jarak antar
CE yang digunakan. Untuk mencegah short circuit, pemasangan DE harus
dipasang juga insulasi yang memisahkan DE dengan casing dan CE yang
bermuatan netral.

2.3.5 Sumber Energi Listrik

Alat yang berfungsi untuk menyuplai energi listrik ke sistem


ESP disebut dengan transformer rectifier. Sumber energi listrik berasal
dari listrik AC bertegangan 380 Volt, yang ditingkatkan menjadi 55.000
sampai 75.000 Volt sebelum diubah menjadi tegangan DC negatif yang
akan dihubungkan dengan discharge electrode. Karena secara elektris ESP
merupakan beban kapasitif, maka sumber tegangannya didesain untuk
menahan beban kapasitif tersebut. Selain itu, sumber tegangan ini didesain
harus tahan terhadap gangguan arus yang terjadi akibat adanya loncatan
listrik (sparking) dari abu fly ash.

2.3.6 Hammering device (HD)

Hammering device adalah alat yang di gunakan untuk


melepaskan debu atau partikel yang menempel pada collecting electrode.
Karena discharge electrode adalah elektroda yang mendapat suplai energi
listrik, maka pada daerah sekitar discharge electrode merupakan daerah
dengan medan listrik terkuat. Semakin jauh dari discharge electrode, maka
medan listrik negatif akan semakin lama. Di area antara discharge
electrode dan collecting electrode terbagi menjadi dua area yang
mengalami kejadian berbeda pula. Didaerah dekat dengan dimana
pengaruh medan listrik negatif sangat besar, elektron bebas menabrak

8
elektron molekul gas, sedangkan pada inter electrode region dimana
pengaruh medan listrik negatif tidak terlalu besar, elektron bebas
menempel pada molekul gas. Discharge electrode menghasilkan medan
listrik negatif dimana medan listrik tersebut menghasilkan elektron dalam
jumlah banyak di sekitar daerah discharge electrode. Setelah diketahui
ternyata di daerah discharge electrode ada banyak elektron dan collecting
electrode yang di tanahkan maka sudah kodratnya lah, elektron yang
berkeliaran pada discharge electrode akan menuju collecting electrode.
Elektron ini bergerak dengan kecepatan tinggi menuju collecting
electrode. Jika di petakan berdasarkan tingkat kecepatan, kecepatan
elektron tertinggi berada pada daerah di sekitar discharge electrode dan
semakin menurun kecepatannya apabila semakin jauh dari discharge
electrode. Kodrat elektron yang menuju collecting electrode inilah yang
kemudian di manfaatkan untuk menangkap debu hasil pembakaran boiler
yang di lewatkan melalui ESP. Debu yang di lewatkan ke dalam medan
listrik tersebut akan menabrak elektron yang berkeliaran menyebabkan
molekul gas kehilangan elektron dan menjadi molekul bermuatan positif
saja. Begitu seterusnya sehingga semakin banyak elektron bebas. Karena
satu elektron menabrak satu molekul gas dan menghasilkan dua elektron,
begitu seterusnya. Proses multiplikasi elektron ini dinamakan Avalance
Multiplication. (septianda, rizky. 2016)

2.4 Prinsip Kerja Electrostatic Precipitator (ESP)

2.4.1 Particle Charging (Pemberian muatan pada partikel)

Di dalam electrostatic precipitator, muatan listrik ditempatkan


pada sebuah perangkat kawat yang dinamakan discharge electrode.
Partikel-partikel pada fly ash diberi muatan pada suatu medan listrik yang
letaknya sangat dekat dengan discharge electrode. Medan listrik ini
biasanya ditunjukkan dengan corona discharge. Corona discharge
merupakan tempat penyediaan sumber ion unipolar yang bergerak ke arah
collecting electrode. Diantara collecting dan discharge electrode terdapat
ruang kosong yang kemudian diisi dengan sebuah space charge unipolar.

9
Partikel-partikel abu yang ada pada fly ash melewati ruangan ini dan akan
menyerap ion-ion yang ada sehingga akan bermuatan tinggi.

Gambar 2.2 Proses Pemberian Muatan Pada Partikel Sumber :


www.artikel-teknologi.com/electrostatic-precipitator-
teknologimengendalikan-polusi-abu-fly-ash-dari-boiler/

2.4.2 Particle Collecting (Pengumpulan partikel)

Medan listrik yang disebabkan oleh space charge menyebabkan


partikelpartikel yang bermuatan negatif bergerak ke arah collecting
electrode, sedangkan partikel-partikel abunya diserap oleh discharge
electrode.

Gambar 2.3 Proses Pengumpulan Partikel Sumber : www.artikel-


teknologi.com/electrostatic-precipitator-teknologimengendalikan-polusi-
abu-fly-ash-dari-boiler/

2.4.3 Transporting of Collected Materials (Pengangkutan material yang


terkumpul)

10
Collecting dan discharge electrode akan dipenuhi dengan
partikel-partikel setelah beberapa waktu tertentu. Untuk menghilangkan
partikel-partikel tersebut digunakan alat pengetuk abu yang dinamakan
rapper. Pada saat beroperasi, rapper akan menggetarkan kedua elektroda
ini sehingga partikel yang melekat pada kedua elektroda akan jatuh pada
bagian bawah electrostatic precipitator atau disebut dengan hopper. Dari
hopper, abu tersebut akan dihisap dengan vacuum blower menuju ke silo
abu. Rapper tidak melakukan pemukulan partikel secara bersamaan tetapi
bergantian sesuai dengan timing yang telah diatur. Gas asap yang berasal
dari pembakaran di boiler yang kemudian masuk ke electrostatic
precipitator akan keluar dalam kondisi bebas dari abu tetapi tidak bebas
dari sulfur.

2.5 Proses Yang Terjadi Pada Electrostatic Precipitator (ESP)

2.5.1 Charging

Charging merupakan suatu proses pemberian muatan kepada abu


yang melewati ESP. ESP menggunakan listrik DC sebagai sumber
dayanya, dimana collecting electrode terhubung dengan kutub positif dan
ditanahkan, sedangkan untuk discharge electrode terhubung dengan kutub
negatif yang bertegangan 55-75 kilovolt DC. Medan listrik terbentuk
diantara discharge electrode dan collecting electrode, pada kondisi ini
timbul fenomena korona listrik yang berpendar pada sisi discharge
electrode. Pada saat gas buang batubara melewati medan listrik ini, fly ash
akan terkena muatan negatif yang dipancarkan oleh kutub negatif pada
discharge electrode. Proses pemberian muatan negatif pada abu tersebut
dapat terjadi secara difusi atau induksi, tergantung dari ukuran abu
tersebut. Beberapa partikel abu akan sulit dikenai muatan negatif sehingga
membutuhkan medan listrik yang lebih besar. Ada pula partikel yang
sangat mudah dikenai muatan negatif, namun muatan negatifnya juga
mudah terlepas, sehingga memerlukan proses charging kembali.

11
2.5.2 Pengumpulan Abu Yang Melewati Electrostatic Precipitator (ESP)

Abu yang sudah bermuatan negatif, akan tertarik untuk menuju


ke collecting electrode atau bergerak menurut aliran gas yang ada.
Kecepatan aliran gas buang mempengaruhi proses pengumpulan abu pada
collecting electrode. Kecepatan aliran gas yang rendah akan
memperlambat gerakan abu untuk menuju collecting electrode. Sehingga
umumnya desain ESP biasanya digunakan beberapa seri collecting
electrode dan discharge electrode yang diatur sedemikian rupa sehingga
semua abu yang terkandung di dalam gas buang boiler dapat tertangkap.

2.5.3 Rapping / Rapper

Rapping adalah proses perontokan abu yang lengket pada


electrodeelecrode ESP. Lapisan abu yang terkumpul pada permukaan
collecting electrode harus secara periodik dirontokan. Pada PLTU ombilin
metode yang digunakan adalah dengan cara memukul bagian collecting
electrode dengan sebuah sistem mekanis. Sistem rapper mekanis ini terdiri
dari sebuah hammer, motor penggerak, serta sistem gearbox sederhana
yang dapat mengatur gerakan memukul agar terjadi secara periodik.
Sistem rapper tidak hanya terpasang pada sisi collecting electrode, pada
discharge electrode juga terdapat sistem rapper. Hal ini karena ada
sebagian kecil dari abu yang akan bermuatan positif karena terisi oleh
collecting electrode yang bermuatan positif. Abu yang rontok dari
collecting electrode akan jatuh dan terkumpul di hopper yang terletak di
bawah sistem collecting electrode dan discharge electrode. Hopper ini
harus didesain dengan baik agar abu yang sudah terkumpul tidak masuk
kembali ke dalam kompartemen ESP. Selanjutnya dengan menggunakan
tekanan, kumpulan abu tersebut dipindahkan melewati pipa-pipa ke tempat
penampungan yang lebih besar.

2.6 Proses Terjadinya Korona

Gas buang hasil pembakaran bahan bakar black liquor bersifat


netral. Untuk menarik partikel-partikel yang terbawa oleh gas buang maka

12
dilakukan proses ionisasi terhadap partikel-partikel tersebut agar menjadi
bermuatan listrik. Dibutuhkan medan listrik yang besar untuk mendapatkan
efisiensi tangkapan partikel debu yang tinggi. Sistem ionisasi partikel-partikel
debu pada ESP adalah dengan menghasilkan korona (plasma lucutan pijar)
melalui tegangan listrik yang dialirkan pada sebuah anoda. Tegangan listrik
akan menghasilkan tegangan korona. Besarnya tegangan untuk
membangkitkan korona dapat dihitung dengan persamaan. Plasma lucutan pijar
korona pada ruang antar elektroda ESP Anoda dan katoda (pelat pengumpul)
diatur pada jarak 150 mm. Pada kawat pijar korona yang dialiri listrik
dengan tegangan 0,501 kV/m, yang dapat menghasilkan pancaran nyala
pijar (spark) 123 spark/menit.

Korona terjadi bila terdapat dua kawat sejajar yang penampangnya


kecil diberi tegangan bolak-balik, maka korona dapat terjadi. Karena adanya
ionisasi dalam udara, yaitu adanya kehilangan elektron dari molekul udara.
Oleh karena lepasnya elektron dan ion, maka apabila sekitarnya terdapat medan
listrik, maka elektron-elektron bebas ini mengalami gaya yang mempercepat
geraknya, sehingga terjadilah tabrakan dengan molekul lain. Akibatnya adalah
timbulnya ion-ion dan elektron-elektron baru. Proses ini berjalan terus-
menerus dan jumlah elektron dan ion bebas menjadi berlipat ganda bila
gradient tegangan cukup besar, peristiwa ini disebut korona.1 Tegangan korona
merupakan tegangan yang dibutuhkan untuk membangkitkan kuat medan
korona. Pada alat ini, apabila tegangan korona semakin besar maka
kemampuan alat untuk menangkap polusi udara akan semakin baik. Jadi,
tegangan korona sangatlah dibutuhkan dalam proses kerja alat.

Tegangan korona ini dapat dihitung dengan :

Vc = Ec x r x ln 𝑟2 𝑟1 …………………………………………………2.2

Dimana :

Vc : tegangan korona (V)

Ec : kuat medan korona (V/m)

r : jari-jari korona (m) (R1+0.02√𝑅1)

13
r1 : jari-jari kawat (m)

r2 : jarak antar kawat dengan plat (m)

2.7 Peralatan-Peralatan Yang Akan Dipakai Pada Electrostatic Precipitator.

2.7.1 Dioda

Sebuah dioda dibuat dari silicon. Silicon adalah bahan yang


tidak bersifat sebagai penghantar namun tidak pula sebagai penyekat.
Silikon adalah bahan semikonduktor. Hal ini berarti bahwa sifat-sifat
silikon berbeda dengan bahanbahan konduktor biasa, seperti misalnya
tembaga. Sejumlah kecil zat dicampurkan ke dalam silikon untuk
memberikan sifatsifat khusus diode ke bahan ini. Dioda dikemas didalam
sebuah kapsul kecil yang terbuat dari kaca atau plastik. Kemasan ini
memiliki dua kawat terminal. Yang satu disebut anoda, sedangkan
lainnya disebut katoda. Biasanya terdapat sebuah cincin di badan dioda
yang mengindikasikan terminal mana yang merukapan katoda. Ketika
sebuah diode disambungkan dimana kaki anodanya disambungkan ke
kutub positip baterai, kita mengatakan bahwa dioda diberikan bias maju.
Sebuah dioda hanya akan menghantarkan arus listrik apabila diberi bias
maju. Ketika sebuah dioda disambungkan dengan polaritas yang
sebaliknya, dimana kaki katodanya disambungkan ke kutub positif, kita
mengatakan bahwa dioda diberikan bias mundur. Sebuah diode tidak
akan menghantarkan arus listrik apabila diberi bias mundur.

2.7.2 Inverter

Inverter digunakan untuk mengubah tegangan input DC


menjadi tegangan AC. Keluaran inverter dapat berupa tegangan yang
dapat diatur dan tegangan yang tetap. Sumber tegangan input inverter
dapat menggunakan battery, cell bahan bakar, tenaga surya, atau sumber
tegangan DC yang lain. Tegangan output yang biasa dihasilkan adalah
120 V 60 Hz, 220 V 50 Hz, 115 V 400Hz.

Prinsip kerja inverter dapat dijelaskan dengan menggunakan 4


sakelar. Bila sakelar S1 dan S2 dalam kondisi on maka akan mengalir

14
aliran arus DC ke beban R dari arah kiri ke kanan, jika yang hidup adalah
sakelar S3 dan S4 maka akan mengalir aliran arus DC ke S1 S4 beban R
dari arah kanan ke kiri. Inverter dapat diklasifikasikan menjadi 2 macam,
yaitu inverter 1 fasa dan inverter 3 fasa.

2.7.3 Penghantar Elektroda

Agar suatu bahan dapat menghantarkan arus listrik, bahan


tersebut harus mempunyai daya hantar listrik yang baik pada temperatur
kerja. Disini bahan pada elektroda positif dan elektroda negatif berbeda,
tujuannya adalah agar dapat menghasilkan suatu reaksi korona yang baik.
Elektroda positif akan menggunakan bahan alumunium dengan nilai
tahanan jenis 0,00160x10-6 Ωm dan elektroda negatif akan
menggunakan bahan tembaga dengan tahanan jenis 0,00172x10-6 Ωm

2.7.4 Transformator

Sebuah transformator terdiri dari dua buah solenoid terpisah


yang masingmasing dikenal sebagai kumparan primr dan kumparan
sekunder. Tegangan masukan dipasang pada kumparan primer. Arus
bolak-balik tersebut akan menghasilkan medan magnet yang berubah-
ubah pula. Medan magnet tersebut berinteraksi dengan kumparan
sekunder dan akan menginduksi tegangan bolakbalik pada kumparan
sekunder. Tegangan imbas pada kumparan sekunder memiliki frekuensi
yang sama dengan frekuensi tegangan masuk pada kumparan primer.
Besarnya tegangan sekunder tergantung pada tegangan masukan dan
perbandingan jumlah lilitan kumparan primer dan sekunder.

2.7.5 Kapasitor

Sebuah kapasitor terdiri dari dua buah pelat logam dengan


sebuah lapisan osilator diantara kedua pelat tersebut. Lapisan osilator
yang digunakan dapat berupa sebuah lempengan plastic tipis, namun
dalam beberapa jenis kapasitor lapisan ini adalah udara. jenis-jenis
kapasitor yang paling sering dijumpai adalah kapasitor polyester,
kapasitor poliestiren, dan kapasitor variable.

15
2.7.6 Transistor

Pada bagian ini akan kita pelajari karakteristik piranti tiga


terminal atau lebih dikenal sebagai “transistor”. Pada bagian ini kita akan
pertama-tama membahas transistor bipolar atau BJT (bipolar junction
transistor). Berikutnya akan kita bahas transistor unipolar seperti
misalnya FET (fieldeffect transistor). Dibandingkan dengan FET, BJT
dapat memberikan penguatan yang jauh lebih besar dan tanggapan
frekuensi yang lebih baik. Pada BJT baik pembawa muatan mayoritas
maupun pembawa muatan minoritas mempunyai peranan yang sama
pentingnya. (septianda, rizky. 2016)

2.8 Pengertian Semen

Semen adalah serbuk atau tepung yang terbuat dari kapur dan material
lainnya yang dipakai untuk membuat beton, merekatkan batu bata ataupun
membuat tembok (KBBI, 2008). Istilah semen berasal dari bahasa Latin, yaitu
caementum yang artinya bahan perekat.

Semen sudah dikenal pada zaman Mesir kuno pada abad ke 5. Pada saat
itu semen dibuat dari kalsinasi atau pembakaran batu kapur yang digunakan
untuk membangun piramida dan bangunan besar lainnya. Sedangkan bangsa
Romawi dan Yunani kuno membuat semen menggunakan slag vulkanik yang
berasal dari gunung berapi. Slag vulkanik dicampur dengan kapur gamping
(Quicklime) serta gypsum yang kemudian disebut sebagai Pozzolan Cement
(Rahadja,1990).

Semen merupakan suatu bahan yang bersifat hidrolis, yaitu bahan yang
akan mengalami proses pengerasan pada pencampurannya dengan air ataupun
larutan asam. Bahan dasar semen terdiri dari tiga macam, yaitu clinker/terak
semen sebanyak 70% sd 95% (hasil olahan pembakaran batu kapur, pasir silika,
pasir besi dan tanah liat), gypsum 5% dan material tambahan lain (batu kapur,
pozzolan,abu terbang dan lain-lain).

Semen merupakan salah satu bahan perekat yang jika dicampur dengan
air mampu mengikat bahan-bahan padat seperti pasir dan batu menjadi suatu

16
kesatuan kompak. Sifat pengikatan semen ditentukan oleh susunan kimia yang
dikandungnya. Adapun bahan utama yang dikandung semen adalah kapur
(CaO), silikat (SiO2), alumunia (Al2O3), ferro oksida (Fe2O3), magnesit
(MgO), serta oksida lain dalam jumlah kecil (Rahadja, 1990)

2.9 Jenis-Jenis Semen

1. Semen Portland Type I


Fungsi semen portland type I digunakan untuk keperluan konstruksi
umum yang tidak memakai persyaratan khusus terhadap panas hidrasi dan
kekuatan tekan awal. Cocok dipakai pada tanah dan air yang mengandung
sulfat 0, 0% – 0, 10 % dan dapat digunakan untuk bangunan rumah
pemukiman, gedung-gedung bertingkat, perkerasan jalan, struktur
rel,danlain-lain.
2. Semen PortLand type II
Fungsi semen portland type II digunakan untuk konstruksi bangunan
dari beton massa yang memerlukan ketahanan sulfat ( Pada lokasi tanah dan
air yang mengandung sulfat antara 0, 10 – 0, 20 % ) dan panas hidrasi
sedang, misalnya bangunan dipinggir laut, bangunan dibekas tanah rawa,
saluran irigasi, beton massa untuk dam-dam dan landasan jembatan.
3. Semen Portland type III
Fungsi semen portland type III digunakan untuk konstruksi
bangunan yang memerlukan kekuatan tekan awal tinggi pada fase
permulaan setelah pengikatan terjadi, misalnya untuk pembuatan jalan
beton, bangunan-bangunan tingkat tinggi, bangunan-bangunan dalam air
yang tidak memerlukan ketahanan terhadap serangan sulfat.

4. Semen Portland type IV


Fungsi Semen Portland type IV digunakan untuk keperluan
konstruksi yang memerlukan jumlah dan kenaikan panas harus
diminimalkan. Oleh karena itu semen jenis ini akan memperoleh tingkat

17
kuat beton dengan lebih lambat ketimbang Portland tipe I. Tipe semen
seperti ini digunakan untuk struktur beton masif seperti dam gravitasi besar
yang mana kenaikan temperatur akibat panas yang dihasilkan selama proses
curing merupakan faktor kritis.

5. Semen Portland type V


Fungsi semen portland type V dipakai untuk konstruksi bangunan-
bangunan pada tanah/ air yang mengandung sulfat melebihi 0, 20 % dan
sangat cocok untuk instalasi pengolahan limbah pabrik, konstruksi dalam
air, jembatan, terowongan, pelabuhan, dan pembangkit tenaga nuklir.
6. Super Masonry Cement
Semen ini dapat digunakan untuk konstruksi perumahan gedung,
jalan dan irigasi yang struktur betonnya maksimal K 225. Dapat juga
digunakan untuk bahan baku pembuatan genteng beton, hollow brick,
Paving Block, tegel dan bahan bangunan lainnya.
7. Oil Well Cement, Class G-HSR (High Sulfate Resistance)
Merupakan semen Khusus yang digunakan untuk pembuatan sumur
minyak bumi dan gas alam dengan konstruksi sumur minyak bawah
permukaan laut dan bumi, OWC yang telah diproduksi adalah class G, HSR
( High Sulfat Resistance) disebut juga sebagai ” BASIC OWC” . adaptif
dapat ditambahkan untuk pemakaian pada berbagai kedalaman dan
temperatur.
8. Portland Composite Cement (PCC)
Semen memnuhi persyratan mutu portland COmposite Cement SNI
15-7064-2004. Dapat digunakan secara luas untuk konstruksi umum pada
semua beton. Struktur bangunan bertingkat, struktur jembatan, struktur
jalan beton, bahan bangunan, beton pra tekan dan pra cetak, pasangan bata,
Plesteran dan acian, panel beton, paving block, hollow brick, batako,
genteng, potongan ubin, lebih mudah dikerjakan, suhu beton lebih rendah
sehingga tidak mudah retak, lebih tahan terhadap sulfat, lebih kedap air dan
permukaan acian lebih halus.
9. Super ” Portland Pozzolan Cement” (PPC)

18
Semen yang memenuhi persyaratan mutu semen Portland Pozzoland
SNI 15-0302-2004 dan ASTM C 595 M-05 s. Dapat digunakan secara luas
seperti :
 konstruksi beton massa ( bendungan, dam dan irigasi)
 Konstruksi Beton yang memerlukan ketahanan terhadap serangan
sulfat ( Bangunan tepi pantai, tanah rawa) .
 Bangunan / instalasi yang memerlukan kekedapan yang lebih tinggi.
 Pekerjaan pasangan dan plesteran.

2.10 Proses di Industri Semen

Proses pembuatan semen terdiri dari lima tahap, yaitu sebagai berikut:

1. Penyediaan bahan baku. Bahan baku utama yang digunakan untuk


kegiatan produksi semen adalah batu kapur sekitar 75 - 90 % dan tanah
liat sekitar 7 - 20 %, sedangkan bahan baku koreksi berupa pasir besi
sekitar 1 - 3 % dan pasir silika 1 - 6 %.
2. Pengeringan dan penggilingan bahan baku. Penggilingan bahan
mentah adalah cara untuk memperkecil ukuran bahan mentah menjadi
lebih kecil atau membuat luas permukaan material menjadi lebih besar.
Tujuan dari penggilingan bahan mentah ini adalah untuk mendapatkan
campuran bahan mentah yang homogenik dan untuk mempermudah
terjadinya reaksi kimia pada saat klinkerisasi. Selain penggilingan,
material juga mengalami pengeringan dengan media pengeringanya
berupa gas panas yang dapat berasal dari hot gas generator ataupun dari
kiln exchaust gas.
3. Pembentukan klinker (pembakaran). Tepung baku (raw meal) yang
telah dihomogenisasi di dalam CF Silo dikeluarkan dan dengan
menggunakan serangkaian peralatan transport, tepung baku diumpankan
ke kiln. Tepung baku yang diumpankan ke Kiln disebut umpan baku atau
umpan kiln (kiln feed). Proses pembakaran yang terjadi meliputi
pemanasan awal umpan baku di preheater (pengeringan, dehidrasi dan
dekomposisi), pembakaran di kiln (klinkerisasi) dan pendinginan di
Grate cooler (quenching).

19
4. Penggilingan klinker. Penggilingan dilakukan pada roller press
sehingga memiliki ukuran tertentu yang selanjutnya digiling dengan
menggunakan alat penggiling berupa tube mill yang berisi bola-bola besi
sebagai media penghancurnya. Material yang telah halus dihisap dan
dipisahkan dari udara pembawanya dengan menggunakan beberapa
perangkat pemisah debu. Hasil penggilingan ini disimpan dalan semen
silo yang kedap udara.
5. Pengantongan semen. Semen dikeluarkan dari semen silo dan diangkut
dengan menggunakan belt conveyor masuk ke steel silo. Dengan alat
pengantongan berupa rotary packer, semen dikantongi dengan setiap 1
sak berisi 50 kg semen, kemudian dibawa ke truk untuk dipasarkan.

20
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini membahas mengenai diagram alir perencanaan Electrostatic


Presipitator (EP) pada industri semen, sebagai berikut :

MULAI

STUDI LITERATUR

PENGUMPULAN DATA

DATA PRIMER DATA SEKUNDER

PENENTUAN DIMENSI

PEMENUHAN
PARAMETER PERANCANGAN PERANCANGAN PERANCANGAN PERANCANGAN
PERANCANGAN HOOD DUCT FAN CEROBONG
EP

ANALISA DATA

PERHITUNGAN DED

GAMBAR DESAIN SISTEM EP

PERHITUNGAN BOQ

PERHITUNGAN RAB

SELESAI 21
BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

4.1. Data Perencanaan

Tabel 4.1 karakteristik Partikel

No. Karakterisitik Nilai Sumber


1. Diameter Partikel 0.088 mikron jurnal
1521,754
2. Densitas Partikel
Kg/m2
3. Densitas gas
4. Debit gas
4000 fpm =
5. Kecepatan aliran ACGIH,1998
20,32 m/s
6. Laju alir
2,23 x 10- Theodore ,
7. Viskositas gas 5
Kg/m.second Louis,2008
8. Efisiensi 99%
Kecepatan hisapan 250 fpm = 1.27
9. ACGIH,1998
hood m/s
1 unit, debit
disesuaikan
10. Debit gas buang 16,98 m3/s
karena terlalu
besar
0,008 mikron
11. Diameter partikel 0,000000088
meter

2,23 x 10^-9
12. Viskositas gas
Pa.s

Dari suspension
13. Suhu 2300C preheater
Wiranto (2016)

22
503 K
14. Dari suspension
62,22 kg/m2 preheater
Tekanan preheater
Wiranto (2016)

62,22 mmhg
Kecepatan migrasi Ditentukan
15. 6,7 c m/s
partikel Louis Theodore
16. Efisiensi
99,5 % Ditentukan
pengumpulan
17. Konstanta 8,86 x 1010
permisivitas c2/Nm2
18. Faktor Chunningham 1,338

4.2. Perhitungan Cerobong

1. Diketahui : Q Limbah = 16.98 m3/s

Velocity = 3000 fpm = 15.24 m/s

Ditanya : A?

Jawab : A = Q Limbah / Velocity

= 16.98 m3/s / 15.24 m/s

= 1.114 m2

De = 2d D / D+d

Asumsi : D= 2d

De = 2d x 2d / 2d + d

De = 4d2 / 3d

4d2 = 3d x 1

d2 = 0.75

d = 0.86

23
D = 2d

D = 2 x 0.86 = 1.72 m

Titik sampling :

2D = 2 x 0.86 = 1.72 m

8D = 8 X 1.72 = 13.76 m

4.3. Perhitungan Kebutuhan HOOD dan Ducting

4.3.1 Menghitung kebutuhan HOOD

Perencanaan hood yang digunakan untuk menghisap emisi dari


proses rolling mill . adalah menentukan jenis hood yang akan digunakan,
dalam penelitian ini menggunakan hood jenis flanged opening hal ini
disesuaikan dengan kondisi ruangan dan titik jangkauan untuk proses
rolling mill. Hood tersebut nantinya akan diletakkan di atas para pekerja
supaya hisapan dari hod lebih optimal dan disesuaikan dengan bentuk
hood flanged opening yang cocok jika diletakan di bagian atas ruangan
raw mill. Pada tabel kecepatan hisapan hood untuk kegiatan rolling mill
dengan kondisi penyebaran kontaminan diudara sangat cepat berada dalam
range kecepatan 200-500 feet per minute (fpm) (ACGIH,1998) , sehigga
dalam penelitian ini menggunakan nilai kecepatan hisapan hood sebesar
250 fpm yang dikonversikan menjadi 1.27 m/s. dimensi dari hood ini
direncanakan sesuai dengan ruangan raw mill dan juga dimensi hood yang
terdapat di pasaran yakni :

Panjang = 3.2 meter


Lebar = 1 meter
X (Height above work) = 1 meter

A =PxL
= 3.2 m x 1 m
= 3.2 m2

24
Menetukan debit yang dapat dihisap oleh hood mengacu pada
tabel kecepatan hisapan hood dimana untuk hood flanged opening
menggunakan rumus :

Q = 0,75V(10X2+A)

= 0,75x(1.27m/s)x(10(1m)2+2m2)

= 11.43 m3/s

= 24218.7984 scfm

Sehingga dari perhitungan tersebut Q yang dapat dihisap oleh


hood sebesar m3/s. selanjutnya menghitung jumlah hood yang dibutuhkan
jika Q limbah sebesar 16.98 m3/s.

𝑄 𝑙𝑖𝑚𝑏𝑎ℎ 16.98 𝑚3/𝑠


Jadi jumlah hood yang dibutuhkan : = 11.43𝑚3/𝑠=1.48≈1 hood.
𝑄 ℎ𝑜𝑜𝑑

Sehingga untuk debit limbah sebesar 16.98 m3/s diperlukan hood


sebanyak 1 buah untuk menghisap debit limbah tersebut.

4.3.2 Perhitungan ducting

Flow Velocity Area 1 D1 D2


Duct
( scfm) (fpm) (ft2) (ft) (ft)
A 24218.7984 4000 6.05 2.78 3
B 24218.7984 4000 6.05 2.78 3
C 24218.7984 3000 8.07 3.21 3

D act Area 2
(inc) V panjang L (ft) v (std) f (D/V)
(m³)
36 7.07 3424.88 10 32.8 0.7312836 1.64
36 7.07 3424.88 6m 19.6 0.7312836 0.98
36 7.07 3424.88 4m 13.12 0.7312836 0.656

1+ KH Kx TP pembulatan
1.5 0.3 2.51562 3
0 0.3 0.93604 1
0 0 20.4797 20

25
Contoh perhitungan Duct A

1. Diketahui : Q Hood = 24218.7984 scfm (hitungan)


Velocity= 4000 fpm
Perhitungan Area 1 = Q Hood : Velocity
= 24218.7984 scfm : 4000 fpm
= 6.05 ft
Perhitungan D1 = Area1 : (1/4 x 22/7)^0.5
= 6.05 : (0.785)^0.5
= 2.78 ft
Diameter actual = 3 ft = 36 inchi
Perhitungan Area 2 = ¼ x 22/7 x (D2)
= ¼ x 22/7 x (3ft2)
= 7.07 ft
Perhitungan Velocity = Q Hood : Area2
= 24218.7984 scfm : 7.07 ft = 3421.88 fpm

4.4. Perhitungan Electrical

4.4.1 Menghitung Kuat Medan Listrik

𝑑𝑟
𝐸𝑐 = 3,126 𝑥 106 [𝑑𝑟 + 0,0301 ( )]
𝑟𝑤

Dimana :
dr = densitas relatif gas, dapat dihitung dengan:
0,392 𝑥 𝑝
dr = , dimana p = tekanan (mmHg) dan T = suhu (Kelvin)
𝑇

dr = (0,392x 62,22)/503 = 0,048496004


rw = jari-jari kawat
rw = 12,5 cm = 0,0125 m (ditentukan)
Sehingga, Ec dapat dihitung sebagai berikut :
Ec = 427.569,21 V/m

26
4.4.2. Menghitung Tegangan Korona
𝑑
𝑉𝑐 = 𝐸𝑐 𝑥 𝑟𝑤 𝑥 ln ( )
𝑟𝑤
Dimana :

4
𝑑= 𝑥 𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑘𝑎𝑤𝑎𝑡 − 𝑝𝑙𝑎𝑡
𝜋

Jarak kawat-plat = 0,2 m (ditentukan)

Maka dapat dihitung :

4
𝑑= 𝑥 0,2 𝑚 = 0,255 𝑚
𝜋

Sehingga nilai Vc :

Vc = 16.107,33794 V

4.4.3. Menghitung Tegangan Operasi


𝑟 2 + 𝑟𝑤 2
𝑉𝑎 = 𝑉𝑐 + 𝐸𝑐
2 𝑥 𝑟𝑤

Dimana :

𝑟 = 𝑟𝑤 + 0,02 √𝑟𝑤

𝑟 = 0,0125 + (0,02 𝑥 √00125)

r = 0,0147 m

Sehingga Va dapat dihitung sebagai berikut :

Va = 22475,3827 V = 22 kv

4.4.4. Menghitung Pemuatan Partikel

2𝜆 2 𝜀𝑟 − 1
𝑄𝑝 = {(1 + 2
)+( 2𝜆
) 𝑥 } 𝜋 𝜀0 𝑑𝑝2 𝐸𝑐
𝑑𝑝 1+ 𝜀𝑟 + 2
𝑑𝑝

27
𝑇 101,3 𝑥 103
𝜆 = 6,61 𝑥 10−8
293 𝑃

𝜀0 = 8,86 𝑥 10−12 , merupakan kontanta permisivitas relatif


(ditentukan)

𝜀𝑟 = 1,00059 , merupakan konstanta dielektrik udara (ditentukan)

T = 503 K

P = 6222829,14 pascal

dp = 0,000000088 m

Maka 𝜆 dapat dihitung sebagai berikut :

γ = 1,84724x 1014 m

Sehingga didapat Qp :

Qp = 2,15058 x 10-19 C

4.4.5. Menghitung Luas Pengumpul Plat

𝑄
𝐴= − ln(1 − 𝑒𝑓𝑓)
𝑊

Q = 16,98 m3/s (ditentukan)

W = 0,067 m/s (ditentukan)

Effisiensi = 99,5% (ditentukan)

A = 1342,77 m2

4.4.6. Menghitung Luas Spesifik Plat Pengumpul

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑢𝑚𝑝𝑢𝑙 𝑝𝑙𝑎𝑡


𝑆𝐶𝐴 =
𝐾𝑎𝑝𝑎𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑎𝑙𝑖𝑟𝑎𝑛 𝑔𝑎𝑠 𝑏𝑢𝑎𝑛𝑔

28
Kapasitas aliran gas buang = 16,98 m3/s x 3.600

= 61228 m3/jam

SCA = 21,966 m2 per 1000 m3/jam

Syarat SCA untuk efisiensi 99% adalah 20-25 m2, maka SCA dengan
kapasitas gas buang 25 m3/s telah MEMENUHI

4.4.7. Menghitung Tinggi Plat


Tinggi plat = 10 m (ditentukan)
Tinggi plat electrostatic presipitator biasanya 6 – 12 meter (Contruction
Working Operation and Maintenance of Electrostatic Presipitator, 2017)

4.4.8. Menghitung Panjang Plat


Dalam Louis Theodore disebutkan bahwa Aspect Ration untuk
efisiensi 99% adalah terletak diantara 0,5 – 2,0. Maka dipilih Aspect
Ratio sebesar 1,2. Sehingga:
Panjang efektif = 10 m (ditentukan)

4.4.9. Menghitung Lebar Electrostatis Presipitator


Jumlah duct =1
PTP =6m (ditentukan)
Maka, lebar elektrostatik presipitator :
Lp = jumlah duct x PTP
=1x6m
=6m

4.4.10. Menghitung Jumlah Plat Tiap Field

𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑝𝑙𝑎𝑡 𝑥 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑢𝑐𝑡


𝑁𝑠 =
𝐿𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑒𝑙𝑒𝑐𝑡𝑟𝑜𝑠𝑡𝑎𝑡𝑖𝑐 𝑝𝑟𝑒𝑠𝑖𝑝𝑖𝑡𝑎𝑡𝑜𝑟
Ns = 1,667 = 2 fields

29
4.4.11. Menghitung Ls
Jumlah kawat = 24 (ditentukam)

𝐿𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑒𝑙𝑒𝑐𝑡𝑟𝑜𝑠𝑡𝑎𝑡𝑖𝑐 𝑝𝑟𝑒𝑠𝑖𝑝𝑖𝑡𝑎𝑡𝑜𝑟


𝐿𝑠 =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑎𝑤𝑎𝑡

Ls = 0,25 m

4.4.12. Menghitung Lo
Lo = Ns x Lebar EP + (Ns – 1) Ls + Len + Lex
Len = Lex =2 (ditentukan)
Menurut Lecture 6 Design of ESP Len = Lex = 2 – 3 meter. Maka Lo
dapat dihitung sebagai berikut :
Lo = 14,1667 m

4.4.13. Menghitung Dimensi Elektrostatic Presipitator


Dimensi EP =pxlxt
= 10 m x 10 m x 6 m
= 600 m3

30
DAFTAR PUSTAKA

Septianda,Rizky (2016) RANCANG BANGUN ELECTROSTATIC


PRECIPITATOR MINI SEBAGAI PENANGKAP PARTIKEL ASAP DI
UDARA. Other thesis, POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA.

Muttaqim, luthfi dkk. 2015.Analisa Electrostatic Precipitator (ESP) Pada Exhaust


Dalam Upaya Pengendalian Partikulat Debu Gas Buang Main Engine
Kapal Latih BIMASAKTI. Jurnal Teknik Perkapalan, Vol. 3, No. 1
Januari 2015

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai


Pustaka.

Rahadja, Hasan. 1990. Produksi Teknologi Semen. Padang: Indonesia Cement


Institute.

31

Anda mungkin juga menyukai