Anda di halaman 1dari 162

AMBIGUITAS DAN PERLAWANAN PAJAK

LEMBAGA PERKREDITAN DESA


(Studi Fenomenologi Pada Lembaga Perkreditan Desa
Di Provinsi Bali)

TESIS

Untuk Memenuhi Persyaratan


Mencapai Gelar Magister

Oleh:

I GEDE YUDI PRIMANTA


146020306111006

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI


PASCASARJANA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
ii
iii
iv
RIWAYAT HIDUP

I Gede Yudi Primanta, lahir di Tabanan pada tanggal 19 September 1984


sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan I Made Sumanta dan Ni
Nyoman Nudi. Pendidikan formal yang telah ditempuh dimulai dengan pendidikan
dasar di SDN Naikoten 1, Kota Kupang (tahun 1990-1996), melanjutkan
pendidikan menengah di SMP Negeri 1 Kupang (tahun 1996-1999), dan jenjang
SMU ditempuh di SMU Negeri 2 Tabanan (tahun 1999-2002). Pada tahun 2002
sampai dengan 2006 menempuh pendidikan S1 Akuntansi di Universitas Merdeka
Malang. Tahun 2014 mendapatkan beasiswa dari Program State Accountability
Revitalization (STAR) Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
untuk menempuh pendidikan Magister Akuntansi pada Program Pascasarjana
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya. Pada saat yang bersamaan
(tahun 2015-2016), dengan biaya sendiri, menempuh Pendidikan Profesi Akuntan
di Universitas Brawijaya. Penulis pernah bekerja sebagai internal auditor pada
suatu grup Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dari pertengahan tahun 2006 sampai
awal 2007, bekerja sebagai auditor di Kantor Akuntan Publik Johan Malonda
Astika Cabang Denpasar sejak awal tahun 2007 sampai dengan Desember 2008,
dan mulai tahun 2009 sampai dengan saat ini, bekerja sebagai Pegawai Negeri
Sipil (PNS) di Direktorat Jenderal Pajak. Menikah dengan Lanny Felany pada
tahun 2011 dan dikaruniai dua orang putra, I Gede Nripendra Shreyas Satya Veda
Primanta dan I Made Adhirajasa Priyambada Primanta.

Malang, Maret 2017

Penulis

v
UCAPAN TERIMA KASIH

Om Swastiastu,

Sembah dan bakti penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi

Wasa, karena atas asung kertha wara nugraha-Nya sehingga pada akhirnya

penulis mampu menyelesaikan tesis ini. Sujud dan terima kasih yang mendalam

penulis persembahkan kepada kedua orang tua tercinta atas segala doa dan

dukungan yang diberikan selama ini. Kepada Istri yang telah memberikan

dukungan selama menempuh perkuliahan dan tidak lupa anak-anak yang selalu

menemani dan menjadi obat rindu bagi penulis. Penulis juga menyadari bahwa

terselesaikannya tesis karena adanya keterlibatan berbagai pihak. Pada

kesempatan ini dengan segala hormat dan kerendahan hati, penulis

menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, M.S., selaku Rektor Universitas Brawijaya

Malang;

2. Prof. Candra Fajri Ananda, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan

Bisnis Universitas Brawijaya Malang;

3. Dr. Roekhudin, Ak., CSRS., CA., selaku Ketua Program Studi Magister

Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang;

4. Prof. Dr. Made Sudarma , SE., MM., Ak., dan Dr. Aji Dedi Mulawarman,

SP., MSA., selaku Dosen Pembimbing, yang telah meluangkan waktu untuk

memberikan bimbingan, dukungan, nasehat, kritik dan saran, sehingga

selesainya penyusunan tesis ini;

5. Prof. Iwan Triyuwono, SE., M.Ec., Ph.D., dan Noval Adib, SE., MSi., Ph.D.,

selaku Dosen Penguji, yang telah memberikan masukan, kritik dan saran

terhadap tesis ini;

6. Ken Dwijugiasteadi (Direktur Jenderal Pajak), Arfan (Sekretaris Direktorat

Jenderal), Hestu Yoga Saksama (Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan

vi
Hubungan Masyarakat), dan Nader Sitorus (Kepala Kantor Wilayah DJP

Bali), yang telah memberikan izin tugas belajar, izin penelitian dan data yang

digunakan dalam tesis ini;

7. Yond Rizal (Kepala KPP Wajib Pajak Besar Tiga tahun 2011-2015), yang

telah banyak memberikan pembelajaran serta mendorong penulis dan

pegawai yang lain untuk selalu makin baik dan sukses;

8. Justan R. Siahaan, selaku Penanggung Jawab State Accountability

Revitalization (STAR) Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan

(BPKP), yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

memperoleh beasiswa dalam melanjutkan program studi Magister Akuntansi;

9. Seluruh Bapak dan Ibu dosen pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Brawijaya Malang, serta staf administrasi, pengajaran dan

keuangan Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas

Brawijaya Malang; dan

10. Rekan-rekan satu angkatan penerima beasiswa STAR BPKP batch 3, yang

telah memberikan dukungan dan bantuan dalam proses penyelesaian tesis

ini.

Semoga segala kebaikan yang telah bapak, ibu, dan rekan-rekan berikan

kepada penulis mendapat pahala dan kebaikan dari Tuhan Yang Maha Esa.

Om Shanti Shanti Shanti Om.

Malang, Maret 2017

Penulis

vii
ABSTRAK

I Gede Yudi Primanta, Program Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya, 2017. Ambiguitas dan Perlawanan Pajak Lembaga
Perkreditan Desa (Studi Fenomenologi Pada Lembaga Perkreditan Desa di
Provinsi Bali). Ketua Pembimbing: Made Sudarma, Komisi Pembimbing: Aji Dedi
Mulawarman.

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap kesadaran pelaku usaha LPD terhadap
pajak dan kesadarannya untuk tidak menjalankan kewajiban perpajakan atas
kegiatan usaha LPD. Untuk mendukung tujuan penelitian, metode penelitian yang
dipilih adalah metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi transendental
Husserl. Informan pada penelitian adalah pelaku usaha LPD dan juga fiskus. Pada
proses penelitian, data dikumpulkan melalui wawancara, observasi serta sumber
tertulis lainnya. Temuan dari penelitian ini terkait kesadaran pelaku usaha LPD
adalah: bahwa (1) LPD harusnya dibebaskan dari kewajiban perpajakan; karena
(2) Pajak merupakan beban yang mengurangi kontribusi LPD; (3) LPD telah
berperan besar melestarikan adat dan budaya Bali; dan (4) Kesadaran dari pelaku
usaha LPD tertentu terkait adanya kewajiban perpajakan yang perlu dijalankan
LPD. Penelitian ini juga menemukan bahwa LPD berperan penting dalam
mempertahankan adat dan budaya Bali. Ketidaksediaan LPD untuk membayar
pajak dipengaruhi oleh rasa ketidakadilan atas distribusi pendapatan dari sektor
pariwisata. Terakhir, adanya perlawanan dari masyarakat adat apabila
memaksakan menjadikan LPD sebagai subjek dan objek pajak.

Kata kunci: LPD, Fenomenologi transendental, pajak, perlawanan pajak, adat,


budaya.
ABSTRACT

Primanta, I Gede Yudi. 2017. Ambiguity and Tax Resistance of “Lembaga


Perkreditan Desa” (A Phenomenological Research at the LPDs in Bali Province).
Thesis. Graduate Program. Faculty of Economics and Business, University of
Brawijaya. Supervisors: Made Sudarma and Aji Dedi Mulawarman.

The research aims to examine the businessmen’s awareness and resistance on


the tax for their business in Lembaga Perkreditan Desa (a micro finance institution
serving for credits in the village, commonly abbreviated LPD). The research applies
qualitative method through Husserl’s transcendental phenomenology approach.
The data are collected through observation, document study, and interview toward
the informants, i.e. the businessmen of LPD and tax agencies/officers. The results
of the study show that: (1) LPD is supposed to be discharged from the tax duty;
because (2) tax is an expense reducing the contribution of LPD; (3) LPD has a
significant role in preserving the custom and culture of Bali; and (4) some LPD
businessmen are aware of their tax duty charged for running the LPD. Meanwhile,
the resistance of few LPDs to pay the tax is influenced by their feeling of injustice
on the distribution of income from tourism sector. To some extent, this may trigger
indigenous people’s resistance toward the imposition of LPD as tax subject and
object.

Keywords: LPD; Transcendental Phenomenology; Tax; Tax Resistance; Custom;


Culture.
KATA PENGANTAR

Om Swastiastu, puji syukur penulis haturkan kehadapan Ida Shang Yang


Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan anugerah dan tuntunan
kepada penulis. Atas perkenan-Nya penulis dapat menyajikan tulisan disertasi ini
yang berjudul: “Ambiguitas dan Perlawanan Pajak Lembaga Perkreditan Desa
(Studi Fenomenologi Pada Lembaga Perkreditan Desa Di Provinsi Bali)”.
Ide penelitian ini sebenarnya sudah ada di benak penulis semenjak awal
bekerja di Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Penulis melihat realitas bahwasanya
LPD tidak menjadi subjek dan objek pajak, padahal LPD merupakan lembaga
keuangan non bank yang sangat sukses di Indonesia. Bahkan pada tahun 2014
penulis pernah membuat status di media sosial mempertanyakan tentang LPD
dengan pajak. Hal yang makin menguatkan penulis untuk meneliti permasalahan
ini adalah ketika penulis berdiskusi dengan salah seorang rekan mahasiswa
program doktor di Universitas Brawijaya yang kebetulan menulis jurnal tentang
kepatuhan pajak dikaitkan dengan kearifan lokal, yang mana dalam penelitiannya
pengurus LPD menjadi subjek penelitian. Berangkat dari itu penulis memberanikan
diri untuk membahas permasalahan ini. Dengan menggunakan fenomenologi
transendental penulis berharap dapat ditemukan kesadaran mendalam dari pelaku
usaha LPD yang melatarbelakangi permasalahan yang dibahas, sehingga dapat
dijadikan bahan masukan dan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan untuk
menyelesaikan permasalahan LPD terkait dengan pajak.
Sangat disadari bahwa dengan kekurangan dan keterbatasan yang dimiliki
penulis, walaupun telah dikerahkan segala kemampuan untuk lebih teliti, tetapi
masih dirasakan banyak kekurangan dalam penyajiannya, oleh karena itu penulis
mengharapkan saran yang membangun agar tulisan ini bermanfaat bagi yang
membutuhkan.

Malang, Maret 2017

Penulis

x
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................................ii
HALAMAN IDENTITAS KOMISI PEMBIMBING DAN PENGUJI...........................iii
PERNYATAAN ORISINALITAS TESIS.................................................................iv
RIWAYAT HIDUP ................................................................................................ v
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................... vi
ABSTRAK .......................................................................................................... viii
ABSTRACT ........................................................................................................ ix
KATA PENGANTAR ............................................................................................ x
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xi
DAFTAR TABEL ................................................................................................xiv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xv
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2. Permasalahan ........................................................................................ 9
1.3. Rumusan Masalah ............................................................................... 14
1.4. Tujuan Penelitian ................................................................................. 15
1.5. Kontribusi Penelitian ............................................................................ 15
BAB II MEMBUKA LITERATUR MENAMBAH CAKRAWALA ............................ 16
2.1. Pengantar ............................................................................................ 16
2.2. Sejarah, Perkembangan, dan Kegiatan Usaha Lembaga Perkreditan
Desa .................................................................................................... 16
2.3. Tri Hita Karana sebagai landasan filosofi LPD ..................................... 22
2.4. Tinjauan Umum Perpajakan ................................................................. 24
2.4.1. Definisi Pajak ........................................................................... 25
2.4.2. Fungsi Pajak ............................................................................ 27
2.4.3. Sistem Pemungutan Pajak ....................................................... 28
2.4.4. Asas Pemungutan Pajak .......................................................... 29
2.4.5. Perlawanan Pajak .................................................................... 30
2.5. Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia ............................................... 31

xi
2.6. Keuangan Mikro dengan Pajak ............................................................ 34
BAB III MENGUNGKAP KESADARAN PELAKU USAHA LPD ATAS PAJAK
DENGAN FENOMENOLOGI TRANSENDENTAL.............................................. 36
3.1. Pengantar ............................................................................................ 36
3.2. Metode Penelitian Kualitatif Interpretif Fenomenologi........................... 36
3.3. Memaknai Kesadaran Terhadap Pajak dan Kesadaran untuk Tidak
Menjalankannya Dengan Fenomenologi Transendental Husserl .......... 41
3.4. Lokasi, Subjek dan Objek Penelitian .................................................... 44
3.5. Pengumpulan dan Sumber Data .......................................................... 46
3.6. Analisis Data ........................................................................................ 48
BAB IV LPD DIBEBASKAN DARI KEWAJIBAN PERPAJAKAN: KESADARAN
PELAKU USAHA LPD ....................................................................................... 51
4.1. Pengantar ............................................................................................ 51
4.2. Eksplorasi Kesadaran LPD Dibebaskan dari Pajak .............................. 52
4.3. Mendalami Kesadaran Pelaku Usaha LPD Terhadap Kewajiban
Perpajakan ........................................................................................... 58
4.3.1.LPD Merupakan Lembaga Adat Bukan Badan Hukum .............. 59
4.3.2.LPD Diakui Untuk Tidak Kena Pajak Berdasarkan Undang-
undang ..................................................................................... 65
BAB V ESENSI PAJAK SEBAGAI BEBAN ........................................................ 67
5.1. Pengantar ............................................................................................ 67
5.2. Eksplorasi Atas Kesadaran Tidak Bersedia Dikenakan Pajak .............. 69
5.3. Mendalami Kesadaran Pelaku Usaha Atas Kesadaran Tidak Bersedia
Dikenakan Pajak .................................................................................. 93
5.3.1. LPD Telah Meringankan Beban Krama dalam Yadnya ............. 94
5.3.2. LPD Telah Melestarikan Adat dan Budaya Bali, Menunjang
Pariwisata Bali .......................................................................... 95
5.3.3. LPD Bukan Badan Usaha Yang Berorientasi profit ................... 98
5.4. Esensi Pajak Sebagai Beban ............................................................. 101
BAB VI STATUS PERPAJAKAN LPD: PERSPEKTIF FISKUS ........................ 104
6.1. Pengantar .......................................................................................... 104
6.2. LPD Memenuhi Definisi Badan........................................................... 104
6.3. LPD Tidak Dikecualikan Dari Kewajiban Perpajakan.......................... 108
6.4. Resistensi LPD Dikenakan Pajak ....................................................... 110
BAB VII REFLEKSI PENELITIAN .................................................................... 114

xii
7.1. Pengantar .......................................................................................... 114
7.2. LPD Dari Sudut Pandang Regulasi .................................................... 114
7.3. Adopsi Sistem Perbankan Menjadikan LPD Berorientasi Profit .......... 123
7.4. Perlawanan atas Ketidakadilan Distribusi Pendapatan ....................... 125
7.5. Risiko konflik Penetapan LPD Sebagai Wajib Pajak........................... 130
7.6. LPD Sebagai Implementasi Ekonomi Hindu ....................................... 134
BAB VIII PENUTUP ......................................................................................... 137
8.1. Simpulan ............................................................................................ 137
8.2. Keterbatasan Penelitian ..................................................................... 140
8.3. Saran ................................................................................................. 140
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 142

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Penerimaan Pajak Terhadap Penerimaan Negara Dari Tahun 2010
sampai dengan Tahun 2015 .............................................................. 2
Tabel 2.1. Jumlah LPD dari Tahun 1988 Sampai dengan Tahun 2015 ............. 21
Tabel 4.1. Analisis Fenomenologi Kesadaran Atas Kewajiban Perpajakan oleh
Bapak Nyoman selaku Kepala LP-LPD ........................................... 53
Tabel 4.2. Analisis Fenomenologi Kesadaran Atas Kewajiban Perpajakan oleh
Bapak Baik sebagai Kepala LPD KBA ............................................. 55
Tabel 4.3. Analisis Fenomenologi Kesadaran Atas Kewajiban Perpajakan oleh
Bapak Baik sebagai Kepala LPD TB................................................ 58
Tabel 4.4. Perbandingan Sifat Khas LPD dengan Lembaga Keuangan Lainnya
........................................................................................................ 64
Tabel 5.1. Analisis Fenomenologi Kesadaran Atas Kewajiban Perpajakan LPD
oleh Bapak GA selaku Kepala LPD PT ............................................ 74
Tabel 5.2. Analisis Fenomenologi Kesadaran Atas Kewajiban Perpajakan LPD
oleh Bapak Ajik selaku Sekretaris LPD KBA .................................... 79
Tabel 5.3. Analisis Fenomenologi Kesadaran Atas Kewajiban Perpajakan LPD
oleh Bapak Baik selaku Kepala LPD TB .......................................... 83
Tabel 5.4. Analisis Fenomenologi Kesadaran Atas Kewajiban Perpajakan LPD
oleh Bapak Ketut selaku Kepala LPD KN ........................................ 89
Tabel 5.5. Analisis Fenomenologi Kesadaran Atas Kewajiban Perpajakan LPD
oleh Bapak Nyoman selaku Kepala LPLPD ..................................... 93
Tabel 5.6. Ilustrasi Pajak Mereduksi Kontribusi Laba LPD .............................. 102
Tabel 7.1. Dana Perimbangan Yang di Terima Provinsi Bali dari Pemerintah Pusat
Tahun 2015 ................................................................................... 129
Tabel 7.2. Rencana dan Realisasi Penerimaan Pajak Kanwil DJP Bali Tahun 2015
...................................................................................................... 130

xiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 5.1. Contoh Laporan Neraca LPD ............................................... 99

Gambar 5.2. Contoh Laporan Laba Rugi LPD ........................................ 100

xv
BAB I

PENDAHULUAN

“Bekerjalah untuk tanah air dan bangsamu dengan


berbagai cara. Hormatilah cita-cita bangsamu. Ibu Pertiwi
sebagai sumber, mengalirkan sungai kemakmuran
dengan ratusan cabang. Hormatilah tanah airmu seperti
kamu memuja Tuhan. Dari jaman abadi Ibu Pertiwi
memberikan kehidupan kepadamu semua, karena itu
engkau berhutang kepada-Nya.”

Atharva Veda XII.1.45

1.1. Latar Belakang

Sejak berakhirnya masa keemasan minyak bumi yang menopang

perekonomian Indonesia, penerimaan terbesar negara berasal dari pajak. Lebih

dari tujuh puluh persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)

ditopang dari Penerimaan pajak. Hanya saja target penerimaan pajak yang besar

untuk membiayai APBN tersebut sering kali tidak tercapai. Pada tahun 2015 dari

target penerimaan pajak sebesar Rp1.294 triliun yang merupakan 73,48 persen

dari total penerimaan negara sebesar Rp1.761 triliun hanya tercapai sebesar

Rp1.055 triliun atau hanya 81,53% dari target (Kementerian Keuangan, 2016b).

Sejak tahun 2009 penerimaan pajak yang dipungut oleh DJP memang tidak

pernah tercapai (lihat tabel 1.1.), padahal tercapainya penerimaan pajak sangat

krusial untuk membiayai pembangunan serta mencegah besarnya pembiayaan

pembangunan yang berasal dari utang.

Meningkatkan penerimaan pajak dalam rangka membiayai pembangunan

tidak bisa hanya mengandalkan peran fiskus dalam melakukan pemungutan,

melainkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak sesuai

dengan ketentuan perpajakan yang berlaku merupakan faktor yang paling penting.

1
2

Tuntutan akan kesadaran dan kepatuhan membayar pajak dimulai dari wajib pajak

sendiri tercermin dalam Undang-undang Perpajakan di Indonesia yang menganut

self assesment system. Sistem ini memberikan kesempatan bagi wajib pajak untuk

menghitung, memungut, dan memotong, dan melaporkan kewajiban

perpajakannya sendiri. Tanggung jawab fiskus sebatas mengawasi kewajiban

perpajakan dari wajib pajak apakah telah sesuai dengan ketentuan perundang-

undangan.

Tabel 1.1.
Penerimaan Pajak Terhadap Penerimaan Negara
Dari Tahun 2010 sampai dengan Tahun 2015

Dalam triliun rupiah


Uraian 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Pendapatan Negara 995,5 1.210,6 1.338,1 1.502,0 1.550,6 1.491,5
Pendapatan Perpajakan 723,3 873,9 980,5 1.077,4 1.146,8 1.235,8
Prosentase terhadap
Penerimaan Negara 72,66% 72,19% 73,28% 71,73% 73,96% 82,86%

Pertumbuhan dari Tahun lalu 20,82% 12,20% 9,88% 6,44% 7,76%


Penerimaan Pajak DJP 628,2 742,7 835,8 921,4 985,1 1.055,0

Pertumbuhan dari Tahun Lalu 18,23% 12,54% 10,24% 6,91% 7,10%


Bea dan Cukai 95,1 131,1 144,7 156,0 161,7 180,8

Pertumbuhan dari Tahun Lalu 37,85% 10,37% 7,81% 3,65% 11,81%

Sumber: Kementerian Keuangan (data diolah)

Sayangnya kesadaran yang kemudian diejawantahkan dalam kepatuhan

menjalankan kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku terbilang masih rendah. Hal ini diindikasikan dengan tax

ratio Indonesia yang masih dibawah standar apabila dibandingkan dengan

beberapa negara di kawasan ASEAN yang tergolong bagus perekonomiannya.

Tax ratio Indonesia saat ini masih di kisaran 11 persen, tertinggal jauh dari

Singapura, Malaysia, dan Thailand. Hal ini disadari dan menjadi perhatian serius
3

pemerintah, bahkan Menteri Keuangan dalam sambutannya ketika melantik Dirjen

Pajak memberikan pernyataan sebagai berikut (Kementerian Keuangan, 2016a):

“Bagaimanapun tax ratio 11 persen untuk negara seperti Indonesia ini sangat
di bawah standar, karena di bawah standarnya ASEAN apalagi OECD. Jadi
kita masih perlu mengupayakan dalam beberapa tahun ke depan, tax ratio
itu harus naik dua sampai tiga angka dari sekarang, menuju 13-14 persen.
Tolong dilihat bagaimana tax rationya ditingkatkan, dari situ diterjemahkan
ke dalam rupiahnya. Nah dari terjemahan dalam rupiahnya itu, maka saya
harapkan dari kantor pusat sampai kanwil (kantor wilayah) sampai kantor
(Kantor Pelayanan Pajak/KPP) itu sudah tahu strategi apa yang dilakukan”

Telah banyak penelitian di Indonesia bahkan internasional yang membahas

mengenai kesadaran dan kepatuhan wajib pajak terhadap kewajiban perpajakan

(Abadan dan Baridwan, 2014; Alm dan Torgler, 2006; Darmayasa dan Aneswari,

2016; Fidiana, 2014; Harinurdin, 2009; Kariyoto, Subroto, Sutrisno, dan Rosidi,

2010; Riahi-Belkaoui, 2004; Torgler, 2004, 2006; Widiastuti, 2014). Penelitian-

penelitian tersebut dilakukan untuk menemukan apa yang mendasari sehingga

individu memiliki kesadaran dan kepatuhan dalam menjalankan kewajiban

perpajakan, atau malah sebaliknya.

Harinurdin (2009) dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif

meneliti perilaku kepatuhan pajak dari wajib pajak badan yang terdaftar di Kantor

Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar menggunakan instrumen kuesioner dengan

enam variabel laten. Dari enam variabel laten empatnya merupakan variabel

persepsi yaitu: kontrol perilaku untuk berperilaku patuh; kondisi keuangan; fasilitas

perusahaan; iklim organisasi, dan dua lainnya yaitu variabel laten lainnya niat tax

profesional dan kepatuhan wajib pajak. Hasil temuan penelitiannya menunjukkan

bahwa: (1) kondisi keuangan, kondisi fasilitas perusahaan, kondisi iklim organisasi,

serta niat tax professional berpengaruh positif terhadap kepatuhan pajak; (2)

persepsi kontrol perilaku tidak berpengaruh langsung terhadap kepatuhan pajak;

(3) apabila tax professional memiliki kontrol perilaku terhadap kepatuhan yang

positif maka niat kepatuhan pajak menjadi tinggi serta pengaruh lingkungan
4

perusahaan yang kuat memengaruhi tax professional untuk berperilaku patuh

terkait dengan kewajiban perpajakan perusahaan yang diwakilinya. Kerangka

yang digunakan untuk variabel perilaku mengadopsi Theory of Planned Behaviour

yang buat oleh Ajzen (1991).

Kariyoto et al. (2010) menguji pengaruh kesadaran dan kepatuhan terhadap

kinerja perpajakan mendapatkan hasil bahwa kesadaran dari wajib pajak

berpengaruh terhadap perpajakan dan kepatuhan wajib pajak itu sendiri, walaupun

kesadaran tersebut tidak berpengaruh terhadap kinerja perpajakan. Temuan

lainnya, kinerja perpajakan dipengaruhi oleh kepatuhan wajib pajak. Indikator yang

digunakan dalam penelitian untuk variabel kesadaran wajib adalah pengetahuan

perpajakan, penyuluhan perpajakan, karakteristik dari wajib pajak, dan

pemahaman dari wajib pajak terhadap fungsi pajak. Penegakan hukum,

kompensasi pajak, serta memiliki NPWP dan melapor tepat waktu menjadi

indikator untuk variabel kepatuhan wajib pajak.

Abadan dan Baridwan (2014) menguji faktor-faktor eksternal yang meliputi

pengaruh kompleksitas sistem perpajakan, kondisi keuangan, kepercayaan

kepada otoritas pajak, dan keadilan sistem perpajakan wajib pajak badan terhadap

kepatuhan pajak. Penelitiannya menjadikan perencanaan pajak sebagai variabel

mediasi yang memediasi pengaruh kompleksitas sistem perpajakan serta kondisi

keuangan terhadap kepatuhan pajak. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa

kepercayaan wajib pajak terhadap institusi pajak, sistem perpajakan yang adil, dan

perencanaan pajak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak badan.

Riahi-Belkaoui (2004) melakukan penelitian terkait hubungan antara tingkat

kepatuhan dan determinan dari tax morale (hukum persaingan usaha, kebebasan

ekonomi, pasar ekuitas, tingkat kejahatan). Penelitiannya dilakukan dengan

menggunakan data dari tiga puluh negara yang mana Indonesia termasuk salah

satunya. Temuan penelitiannya bahwa negara dengan tingkat kepatuhan pajak


5

yang tinggi adalah negara-negara yang memiliki kebebasan ekonomi tinggi, pasar

ekuitas yang penting, memiliki hukum persaingan yang efektif, dan tingkat

kejahatan yang rendah. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa ketika individu

mendapatkan hak yang memadai terkait kebebasan ekonomi, pasar ekuitas dan

hukum persaingan yang efektif, serta meningkatnya kualitas hidup yang dihasilkan

dari lingkungan yang aman maka mereka tidak memandang kepatuhan pajak

sebagai beban melainkan kewajiban sebagai warga negara.

Torgler (2004) berbeda dengan Riahi-Belkoui (2004), menjadikan tax morale

sebagai variabel dependen dalam menganalisis apa yang membentuk tax morale

pada negara-negara di Asia. Tax morale didefinisikan sebagai motivasi intrinsik

untuk membayar pajak yang kemudian diukur dengan pembenaran untuk

melakukan kecurangan pajak. Variabel independen yang digunakan adalah

kepercayaan kepada sistem hukum dan pemerintah, kebanggaan menjadi warga

negara suatu bangsa, dan sistem demokrasi, penghasilan, umur, jenis kelamin,

status pernikahan, dan status pekerjaan. Temuan penelitiannya, kepercayaan

kepada pemerintah dan sistem hukum berdampak positif terhadap tax morale,

faktor budaya juga memengaruhi tax morale.

Alm dan Torgler (2006) dengan menggunakan data World Values Survey

(WVS) meneliti pengaruh budaya terhadap tax morale. Penelitian dilakukan

dengan menggunakan analisis cross-section terhadap individu di Spanyol dan

Amerika Serikat (AS). analisis kemudian diperluas dengan menyertakan empat

belas negara Eropa yang secara tingkat perkembangan ekonomi dan sistem

perpajakan relatif mirip. Terakhir, menginvestigasi konsekuensi dari tax morale

dengan cara menguji keterkaitannya dengan besarnya ekonomi informal.

Temuannya, (1) individu di AS memiliki tax morale tertinggi dibandingkan dengan

negara lainnya yang ikut dianalisis; (2) terdapat korelasi negatif yang kuat antara

ukuran ekonomi informal dengan tingkat tax morale pada negara-negara tersebut.
6

Selanjutnya Torgler (2006) meneliti pengaruh religiositas terhadap tax morale

dengan menggunakan data dari WVS 1995-1997 yang meliputi tiga puluh negara.

Variabel independen yang digunakan dalam penelitian meliputi kehadiran ke

tempat ibadah, partisipasi dalam kegiatan keagamaan, religius, pentingnya

agama, petunjuk agama, kepercayaan pada lembaga agama, pendidikan,

kepuasan ekonomi, menghindari risiko, kelas ekonomi, kebohongan, kecurangan,

dan membeli produk curian. Hasilnya menunjukkan bahwa religiositas

berpengaruh terhadap tax morale. Tingkat religiositas seseorang yang tinggi akan

meningkatkan tax morale.

Selain penelitian-penelitian di atas yang menggunakan metode kuantitatif,

beberapa penelitian berikut ini menggunakan metode kualitatif untuk menemukan

kepatuhan dan kesadaran akan kewajiban perpajakan. Fidiana (2014) melakukan

penelitian menggunakan metode kualitatif dengan paradigma tauhid untuk

mengungkap kesadaran/kepatuhan terhadap pajak pada suatu komunitas muslim

keturunan arab. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan

perilaku antara kepatuhan memenuhi kewajiban agama dalam bentuk zakat

dengan kepatuhan atas kewajiban perpajakan. Informan selalu berupaya

memenuhi kewajiban zakatnya walaupun sebenarnya tidak wajib karena hartanya

belum memenuhi kriteria nisab, tetapi dalam hal kewajiban perpajakan pelaku

hanya melaporkan penghasilan dari usaha formal dan bahkan melaporkan SPT

tidak konsisten. Hal ini karena pandangan bahwa zakat bagian daripada ibadah

sedangkan pajak bukan merupakan bagian dari ibadah. Fidiana (2014) juga

mengungkapkan ketidakpatuhan terhadap kewajiban perpajakan juga disebabkan

oleh perilaku fiskus, birokrat, dan instansi pemerintahan, serta kesulitan dalam

memahami administrasi perpajakan.

Widiastuti (2014) meneliti kesadaran wajib pajak usaha kecil dan menengah

di Bali yang juga menjalankan kegiatan ritual agama Hindu dengan berdasarkan
7

prinsip yadnya1 dengan menggunakan pendekatan fenomenologi transendental.

Temuan penelitian menunjukkan adanya anomali antara kesadaran dalam

menjalankan yadnya dan kewajiban perpajakan. Informan penelitian dalam

menjalankan kewajiban agama dalam bentuk dana punia (sumbangan

keagamaan) dan yadnya begitu ikhlas. Informan selalu berupaya memenuhi

kewajiban keagamaan, ada perasaan bersalah apabila tidak menjalankan yadnya.

Hal berbeda terjadi pada saat menjalankan kewajiban perpajakan, kepatuhan yang

dijalankan adalah kepatuhan yang sifatnya formal. Kepatuhan yang dilaksanakan

hanya sebatas melaporkan SPT tepat waktu, jumlah pajak yang dibayar belum

mencerminkan kewajiban pajak yang sebenarnya.

Memilih lokasi yang sama dengan Widiastuti (2014), Darmayasa dan

Aneswari (2016) juga mengambil lokasi penelitian di Provinsi Bali, akan tetapi

objek yang diteliti berbeda. Objek penelitiannya adalah Lembaga Perkreditan Desa

(LPD) Legian, salah satu LPD dari 1.433 unit LPD yang ada di Bali (Bisnis.Com,

2015). Darmayasa dan Aneswari (2016) mencoba untuk menggali bagaimana

kearifan lokal berperan terhadap kepatuhan pajak yang dalam hal ini diwakili oleh

LPD, suatu lembaga keuangan yang hanya ada di provinsi Bali. Temuan penelitian

menunjukkan bahwa selama ini LPD melakukan kegiatan usaha layaknya lembaga

keuangan tetapi belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), padahal

NPWP merupakan langkah awal dalam pelaksanaan pemenuhan kewajiban

perpajakan. Tidak dimilikinya NPWP menjadikan LPD tidak membayar pajak

1
Yadnya adalah kurban suci yang dilaksanakan dengan tulus ikhlas oleh umat Hindu sebagai bentuk
pertanggungjawaban manusia selama hidupnya. Berasal dari Bahasa Sansekerta yadnya yang
artinya memuja, mempersembahkan atau korban suci. Umat Hindu di Bali dalam praktiknya
mengelompokkan yadnya menjadi lima, yaitu (1) Dewa Yadnya adalah yadnya yang ditujukan
kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa; (2) Rsi Yadnya adalah yadnya yang ditujukan kepada para
rsi atas perannya dalam membina umat dan mengembangkan ajaran agama; (3) Pitra
Yadnya adalah yadnya yang ditujukan kepada para roh leluhur yang didalamnya termasuk kepada
orang tua yang masih hidup; (4) Manusa Yadnya merupakan yadnya yang dilakukan kepada
sesama manusia; (5) Bhuta Yadnya merupakan yadnya yang ditujukan kepada para Bhuta Kala
(makhluk halus) dengan tujuan untuk menetralisir kekuatan alam sehingga menjadi harmonis.
8

penghasilan yang seharusnya menjadi kewajiban bagi setiap orang atau badan

usaha yang menghasilkan profit. Hal tersebut juga tidak lepas dari cara pandang

bahwasanya laba operasional yang diperoleh LPD sebesar dua puluh persen telah

dikontribusikan bagi kepentingan pembangunan tempat ibadah. Kontribusi pada

tempat ibadah sebagai bentuk Corporate Social Responsibility (CSR). Menurut

informan yang merupakan pengurus LPD adalah bentuk pajak secara langsung.

Cara pandang ini berbeda dengan cara pandang fiskus. Menurut fiskus

seharusnya LPD memiliki NPWP, membayar pajak penghasilan badan, serta

melakukan pemotongan sebesar dua puluh persen atas penghasilan bunga yang

diterima oleh nasabah LPD. Darmayasa dan Aneswari (2016) juga menemukan

bahwa ketidakpatuhan yang ditunjukkan dengan tidak memiliki NPWP bukan

sesuatu yang diniatkan sebagaimana tindakan yang direncanakan dalam

penelitian Ajzen (1991). Tindakan ini menurut Darmayasa dan Aneswari (2016)

merupakan bentuk tax avoidance. Terakhir, sama dengan hasil-hasil penelitian

sebelumnya, LPD dalam menjalankan kegiatan usaha LPD berlandaskan pada

filosofi Tri Hita Karana (THK)2 (Bagiada dan Darmayasa, 2015; Damayanthi, 2011;

Djayastra, 2012; Gunawan, 2011; Pertiwi dan Ludigdo, 2013). Suatu filosofi yang

lahir dari suatu kearifan lokal masyarakat Hindu Bali.

Perbedaan cara pandang antara pengurus LPD dan fiskus terkait kewajiban

perpajakan LPD sebagai lembaga keuangan yang dalam operasionalnya

menghasilkan laba menarik untuk diteliti lebih lanjut. Mengapa sebagai lembaga

yang menjalankan usaha dengan berlandaskan pada filosofi THK LPD tidak

memenuhi kewajiban perpajakan, padahal penelitian-penelitian yang telah

dijabarkan sebelumnya menemukan bahwa faktor budaya dan agama menjadi

faktor yang dapat memengaruhi tingkat kepatuhan/kesadaran untuk membayar

2 Penjelasan lebih lengkap terkait Tri Hita Karana disampaikan pada Bab II
9

pajak (Alm dan Torgler, 2006; Torgler, 2004), walaupun penelitian tersebut

bertolak belakang dengan temuan Fidiana (2014). Penelitian Fidiana (2014

menemukan bahwa ketika seseorang taat menjalankan kewajiban keagamaan

belum tentu menjalankan kewajiban perpajakan dengan benar. Mengungkap

mengapa terdapat perbedaan cara pandang terkait kewajiban pajak dari sudut

pandang LPD, maka diperlukan penelitian yang lebih mendalam. Pendekatan

fenomenologi peneliti nilai tepat untuk digunakan mengungkap fenomena ini.

Tepatnya penggunaan fenomenologi dalam penelitian ini karena sejalan dengan

ciri dari penelitian fenomenologi yang berusaha menjelaskan dan menganalisis

jenis-jenis aktivitas mental subjektif pelaku, pengalaman-pengalaman, dan

tindakan sadar yang dilakukan (Kuswarno, 2009) .

1.2. Permasalahan

Peranan LPD yang cukup besar dalam membantu pemberdayaan ekonomi

masyarakat adat di Bali (Djayastra, 2012) serta asetnya yang mencapai Rp14,2

triliun (Bisnis.Com, 2015) di seluruh Bali, mengalahkan total aset dari lembaga

keuangan sejenis seperti BPR yang hanya sebesar Rp10,34 triliun (Bank

Indonesia Perwakilan Bali, 2015) ternyata tidak dibarengi dengan pemenuhan

kewajiban perpajakan. Dalam UU KUP dan UU Nomor 7 Tahun 1983 Tentang

Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 36

Tahun 2008. Dalam UU Nomor 36 secara jelas disebutkan siapa saja yang

dikecualikan dari subjek pajak. Pertama, badan pemerintah yang memenuhi 4

kriteria, yaitu: (1) dibentuk berdasarkan ketentuan perundang-undangan; (2)

pembiayaan bersumber dari APBN dan APBD; (3) penerimaannya masuk dalam

APBN dan APBD; serta (4) pembukuannya diperiksa aparat fungsional negara.

Kedua, kantor perwakilan negara asing. Ketiga, pejabat-pejabat perwakilan

diplomatik dan konsulat atau pejabat dari negara asing, serta yang bekerja dan

bertempat tinggal bersamanya sepanjang bukan warga negara Indonesia, dan


10

tidak menerima penghasilan di luar jabatan atau pekerjaan tersebut, dan negara

yang bersangkutan memberlakukan asas respirokal. Terakhir, organisasi-

organisasi internasional yang Indonesia masuk menjadi anggotanya, dengan

ketentuan organisasi internasional tersebut (1) tidak menjalankan usaha yang

memperoleh penghasilan di Indonesia selain memberikan pinjaman kepada

pemerintah yang dananya berasal dari iuran anggota organisasi, dan (2) pejabat-

pejabatnya bukan warga negara Indonesia serta tidak menjalankan usaha dan

kegiatan yang mendapatkan penghasilan di Indonesia. Dari isi pasal UU PPh ini

menunjukkan bahwa LPD tidak mendapatkan pengecualian dari kewajiban

perpajakan.

Pentingnya pajak bagi suatu negara sebenarnya juga sudah dikenal lama

dalam kehidupan masyarakat Bali. Pada masa kerajaan Bali Kuno (abad IX

sampai dengan XI) pajak telah menjadi sumber pendapatan kerajaan untuk

membiayai segala output yang dibutuhkan kerajaan selain pendapatan lainnya

yang bersumber dari upeti, denda pengadilan, dan transaksi jual beli dengan

masyarakat (Budiasih, 2014). Pada masa itu mekanisme pemungutan pajak

dilakukan oleh petugas pemungut pajak yang kemudian pembayaran pajak dari

masyarakat diserahkan oleh pemungut pajak kepada raja. Pajak yang dibayarkan

masyarakat kepada kerajaan pada masa itu cukup banyak, diantaranya: pajak atas

tanah, pajak kesenian, pajak peternakan dan pajak atas usaha tertentu (Budiasih,

2014).

Jenis pajak yang relatif banyak ternyata tidak terlalu berpengaruh terhadap

rakyat dalam memenuhi kewajiban membayar pajak, rakyatnya ikhlas membayar

pajak. Keikhlasan masyarakat ini timbul karena kepercayaan yang tinggi kepada

raja serta adanya kepercayaan akan administrasi dan akuntabilitas perpajakan

kerajaan yang dibuat oleh raja. Rakyat percaya bahwa pajak yang dibayar

ditujukan untuk pembangunan dan perkembangan kesejahteraan masyarakat.


11

Masyarakat juga percaya bahwa raja dalam membangun kesejahteraan dapat

bersikap adil dan bertanggungjawab (Budiasih, 2014; Kamayanti, 2015).

Keadilan diimplementasikan dalam sistem perpajakan yang memberikan

keringanan pembayaran pajak untuk masyarakat tertentu. Keringanan pajak

diberikan kepada rakyat yang desanya mengalami kesusahan ekonomi, daerah

perburuan, daerah yang mendapatkan tanggung jawab tertentu dari raja, dan

keadilan pajak irigasi berdasarkan kecukupan air bagi sawah milik masyarakat

(Budiasih, 2014; Palguna, 2013). Kebijakan-kebijakan perpajakan inilah yang

dinilai memberikan keadilan kepada rakyat yang mengalami kesusahan, dan

dengan keringanan pajak yang diberikan mereka dapat memperbaiki keadaan

ekonomi, bukan sebaliknya menjadi miskin karena kewajiban membayar pajak

(Palguna, 2013).

Bagaimana dengan peradaban Hindu? Pajak dalam peradaban Hindu

diperkirakan sudah dikenal sejak lima ribu tahun yang lalu (Sihag, 2009). Pada

abad keempat sebelum masehi seorang pemuka agama yang juga menjadi

penasihat kerajaan yang bernama Kautilya, mengusulkan beberapa prinsip

perpajakan seperti keadilan yang termasuk didalamnya jaring pengaman, stabilitas

struktur pajak, waktu pemungutan pada saat jatuh tempo, memaksimalkan selisih

antara penerimaan dan pengeluaran, dan federalisme fiskal. Kautilya juga

mengungkapkan dan mengusulkan bahwa kepatuhan pajak harus diintegrasikan

dengan sistem perpajakan. Pajak yang dibuat tidak boleh memberatkan pembayar

pajak tetapi juga harus cukup untuk membiayai pengeluaran kerajaaan terutama

untuk membayar gaji para prajurit (Rangarajan, 1992; Sihag, 2009). Kautilya

menunjukkan bahwa peran pajak dalam membiayai negara sangatlah penting,

akan tetapi yang tidak boleh diabaikan dalam melakukan pemungutan pajak tetap

adalah aspek keadilan. Pihak-pihak yang mengalami kesusahan harus


12

memperoleh pengurangan pajak dari raja. Pajak juga tidak boleh menjadi alat yang

memberatkan rakyat dan bahkan mengakibatkan kesengsaraan bagi rakyat.

Mengapa saat ini LPD yang melakukan kegiatan usaha dan menghasilkan

laba belum menjalankan kewajiban perpajakan yang berlaku di Indonesia. Dalam

peradaban Hindu dan kehidupan di Bali sejak zaman Bali kuno kewajiban

perpajakan itu sudah ada dan diberlakukan. Apakah terdapat cara pandang

berbeda terhadap konsep perpajakan yang saat ini berlaku di Indonesia, yang

menyebabkan para pelaku kegiatan usaha LPD merasa bahwa mereka tidak perlu

memenuhi kewajiban perpajakan yang berlaku di Indonesia yang diatur dengan

peraturan perundang-undangan. Hal ini sedikit kontradiktif, karena dalam

menjalankan kegiatan usahanya, LPD menjadikan ajaran Hindu sebagai dasar

filosofis yang mana dalam ajaran Hindu menghormati dan mematuhi pemerintah

adalah salah satu bentuk tanggung jawab umat Hindu dalam menjalankan

kehidupan.

Konsep Catur Guru yaitu empat guru yang harus dihormati, yaitu: (1) Guru

Swadhyaya; (2) Guru Rupaka; (3) Guru Pengajian; dan (4) Guru Wisesa. Guru

Swadhyaya adalah Sang Hyang Widhi Wasa, Sang Pencipta dunia beserta segala

isinya, termasuk manusia. Guru Rupaka adalah kedua orang tua kita yang

melahirkan, membesarkan dan mendidik. Guru Pengajian adalah guru yang

mengajarkan kita di sekolah, yang mengajarkan dan memberikan pengetahuan.

Terakhir, Guru Wisesa, yaitu pemerintah yang bertugas mengatur kehidupan

berbangsa dan bernegara. Keempat guru inilah yang harus dipatuhi oleh manusia

dalam ajaran Hindu.

Dengan melihat gambaran konsep di atas, terlihat bahwa LPD sebagai suatu

lembaga yang dibentuk dan dijalankan dengan ajaran Hindu seharusnya


13

mematuhi aturan yang dibuat oleh pemerintah sebagai bentuk bhakti3 nya kepada

pemerintah. Tetapi yang terjadi sebaliknya, LPD tidak ber-NPWP. Hal ini

menjadikan LPD bukan saja tidak membayar pajak atas laba yang diperolehnya,

tetapi juga tidak memenuhi kewajiban perpajakan yang lain, seperti memotong dan

atau memungut pajak dari pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan usaha LPD.

Apa cara pandang LPD saat ini seperti yang dinyatakan Farida, Ludigdo, dan

Irianto (2015).

“Pada dasarnya tidak seorangpun suka membayar pajak dan berpotensi


untuk bertahan tidak membayar pajak meskipun status wajib pajak sudah
melekat,...”

Atas fenomena bahwasanya sampai dengan saat ini LPD tidak menjadi

subjek pajak serta tidak menjalankan kewajiban perpajakan selayaknya lembaga

keuangan lainnya, atau dalam bentuk badan usaha dan organisasi lainnya menarik

untuk diteliti mengapa hal ini bisa terjadi. Apa yang menyebabkan LPD sebagai

suatu lembaga yang melakukan kegiatan usaha dengan mendasarkan pada ajaran

Hindu dan budaya bali tidak menjadi subjek pajak padahal dalam ajaran Hindu dan

kehidupan masyarakat Bali dari masa lampau konsep perpajakan sudah dikenal

dan bahkan jenis pajak yang dibayarkan sangat beragam jenisnya tetapi rakyat

pada masa itu ikhlas untuk membayar pajak. Apakah permasalahan ini timbul

karena adanya cara pandang berbeda dalam memandang tanggung jawab pajak

pada masa sekarang yang dinilai tidak sejalan dengan pandangan masyarakat

Bali, khususnya terkait kegiatan usaha LPD. Permasalahan ini makin menarik

dengan sikap yang diambil oleh Kanwil DJP Bali melihat fenomena kewajiban

perpajakan LPD. Kanwil DJP bergeming, tidak terlihat tindak lanjut dan sikap yang

tegas. Apakah ada hal yang melatarbelakangi sehingga Kanwil DJP Bali tidak

berupaya mencari solusi atas permasalahan ini.

3 Tanggung jawab yang dilaksanakan dengan tulus ikhlas.


14

1.3. Rumusan Masalah

LPD dalam menjalankan kegiatan usaha mengedepankan filosofi Hindu dan

berbasiskan komunitas krama (masyarakat) desa pakraman4 sebagai

shareholders dan sekaligus stakeholders. Konsep Tri Hita Karana telah menjadi

pedoman LPD dalam proses bisnisnya. Dengan mendasarkan pada Tri Hita

Karana maka keuntungan yang diperoleh oleh LPD pun digunakan untuk tujuan

menciptakan keselarasan antara Manusia dengan Sang Pencipta, manusia

dengan sesamanya, dan antara manusia dengan lingkungan.

Tetapi, seperti yang telah dibahas sebelumnya, pajak sebagai suatu

pungutan wajib dari negara kepada rakyatnya dan sangat penting bagi negara

dalam membiayai pembangunan tidak dibayarkan oleh LPD kepada pemerintah,

padahal LPD menjalankan ajaran Hindu. Di dalam ajaran Hindu mematuhi aturan

yang dibuat oleh negara merupakan kewajiban yang harus dijalankan dengan tulus

ikhlas. Bisa jadi ada kesadaran berbeda atas pajak dari sudut pandang para

pelaku usaha LPD.

Cara pandang dari pelaku usaha LPD terhadap pajak sangat dipengaruhi

oleh kehidupan sosial dan budaya yang sangat didominasi oleh ajaran Hindu dan

budaya bali. Cara pandang ini memengaruhi kesadaran mereka terhadap pajak

dan kewajiban menjalankan peraturan perpajakan yang berlaku. Oleh karena itu

penelitian ini mengutamakan para pelaku usaha LPD sebagai subjek untuk

mencari makna atas kesadarannya untuk tidak menjalankan kewajiban perpajakan

yang berlaku di Indonesia. Apa yang melahirkan kesadaran untuk tidak

menjalankan kewajiban perpajakan. Hal tersebut menjadikan pertanyaan yang

4 Desa pakraman merupakan sistem pemerintahan desa adat yang ada di Provinsi Bali Berdasarkan
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Pasal 1 Nomor 4 definisi desa Pakraman
adalah “kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi
dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan
kahyangan Tiga atau kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan
sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”
15

ingin dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana kesadaran pelaku usaha LPD

terhadap pajak sehingga LPD tidak menjalankan kewajiban perpajakan yang

berlaku di Indonesia?

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengungkap kesadaran pelaku usaha LPD terhadap

pajak yang menjadi penyebab LPD belum menjalankan kewajiban perpajakan

yang berlaku.

1.5. Kontribusi Penelitian

Penelitian yang peneliti lakukan ini dapat memberikan kontribusi atau

manfaat tidak saja secara teoretis, tetapi juga secara praktis. Kontribusi teoretis

atau akademis dari penelitian ini adalah dapat menambah khasanah pengetahuan

terkait suatu lembaga ekonomi yang bergerak dengan filosofi spiritual Hindu

dikaitkan dengan pelaksanaan kewajiban perpajakan. Penelitian ini juga bisa

memberikan perspektif baru terkait subjek (pelaku usaha LPD) yang memiliki

kesadaran berbeda dalam memandang kewajiban perpajakan.

Kontribusi praktis dari penelitian ini adalah sebagai bahan masukan dalam

mengatasi perbedaan pendapat terkait status perpajakan LPD dari sudut pandang

LPD dan dari sudut pandang fiskus. Penelitian ini bisa menjadi bahan

pertimbangan dalam pembuatan kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan

LPD dari sisi pajak dengan mempertimbangkan kearifan lokal sebagai kekayaan

asli Indonesia.
BAB II

MEMBUKA LITERATUR MENAMBAH CAKRAWALA

"Semakin banyak kamu membaca, semakin banyak


hal yang akan kamu ketahui. Semakin banyak kamu
belajar, semakin banyak tempat yang akan kamu
kunjungi.”
Dr. Seuss

2.1. Pengantar

Untuk membahas suatu permasalahan yang diteliti, maka terlebih dahulu

perlu dipelajari dan dipahami berbagai hal yang berkaitan dengan penelitian. Untuk

memahami sesuatu, berbagai literatur, baik dalam bentuk buku maupun hasil

penelitian dapat menjadi awal untuk menambah pemahaman. Bab ini berisi hal-

hal penting berkaitan dengan penelitian yang berasal dari berbagai sumber buku

dan penelitian. Bab ini dimulai dengan sejarah Lembaga Perkreditan Desa (LPD),

dilanjutkan dengan konsep Tri Hita Karana yang menjadi landasan filosofis bagi

LPD, penelitian terkait lembaga keuangan sejenis yang ada di Indonesia maupun

dalam lingkup internasional, serta diakhiri dengan hal yang berkaitan dengan

perpajakan dan sistem perpajakan di Indonesia.

2.2. Sejarah, Perkembangan, dan Kegiatan Usaha Lembaga Perkreditan

Desa

LPD merupakan suatu lembaga keuangan milik desa pakraman yang berdiri

sejak tahun 1985. Pembentukan LPD ini berawal dari gagasan mantan Gubernur

Bali pada saat itu Alm. Ida Bagus Mantra yang terinspirasi dari hasil kunjungannya

ke Sumatera Barat. Beliau melihat berkembangnya di sana lembaga keuangan

milik adat yang bernama Lumbung Pitih Nagari. Lembaga keuangan ini pada masa

16
17

itu berkembang bagus. Selain itu, alasan yang makin menguatkan Beliau untuk

melahirkan lembaga keuangan di tingkat desa adalah hasil dari seminar yang

diikutinya di Semarang mengenai Lembaga Keuangan Desa (LKD) atau Badan

Kredit Desa (Kurniasari, 2007). Beliau menilai bahwa Bali memiliki potensi untuk

mengembangkan lembaga keuangan sejenis yang dikelola oleh desa adat

sebagaimana yang telah dijalankan di Sumatera Barat (Kurniasari, 2007). Agar

dapat terealisasi, maka diterbitkanlah Surat Keputusan (SK) Gubernur Kepala

Daerah Tingkat I Bali Nomor 972 Tahun 1984 tanggal 1 November 1984 tentang

Pendirian Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali.

Langkah yang diambil ini merupakan suatu langkah politis dan juga sebagai

langkah ekonomi untuk menyejahterakan masyarakat desa di Bali yang memiliki

budaya komunal (Seibel, 2013). Motivasi politis yang muncul ini lahir dari adanya

suatu kesadaran untuk mempertahankan dan menguatkan desa adat dari

munculnya peraturan pemerintah pusat yang memaksakan penyeragaman

administrasi pemerintahan desa (Jolloh, 2001). Terakhir, tujuan eksplisit pendirian

LPD adalah untuk mempertahankan budaya dan agama yang dianut oleh

masyarakat Bali (Seibel, 2013).

LPD sendiri kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan untuk

memperkuat organisasi desa adat sebagai lembaga di desa yang berjalan

berdasarkan hukum adat. Demi mendukung eksistensi LPD sebagai lembaga

keuangan milik desa adat, pada saat itu dikeluarkanlah Peraturan Daerah (Perda)

Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa

Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Provinsi Daerah Tingkat I

Bali yang memberikan kewenangan bagi desa adat untuk mengelola aset melalui

organisasi mereka sendiri (Baskara, 2013). Awal pendiriannya dimulai dengan

pendirian delapan LPD yang berlokasi di seluruh kota kabupaten di provinsi Bali

sebagai pilot project. Selama tiga tahun pelaksanaan pilot project yaitu dari Bulan
18

Maret tahun 1985 sampai dengan Bulan Maret tahun 1988, telah berdiri sebanyak

161 LPD yang modal awalnya berasal dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali

sebesar Rp2 juta serta bantuan dari pemerintah daerah tingkat II sesuai dengan

kemampuan masing-masing pemerintah daerah tingkat II. Demi memperkuat

status LPD, Pemprov Bali menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Tingkat I Bali

Nomor 2 Tahun 1988 tentang Lembaga Perkreditan Desa. Sejak Perda tersebut

diterbitkan perkembangan LPD bisa dikatakan begitu pesat. Sampai dengan tahun

1996 telah berdiri sebanyak 856 LPD (Jolloh, 2001), sehingga pemerintah provinsi

memandang perlu untuk menerbitkan peraturan yang mengatur pembinaan LPD

sehingga terbitlah Perda Nomor 1 Tahun 1997 tentang Pembentukan Susunan

Keanggotaan Badan Pembina Lembaga Perkreditan Desa Provinsi Daerah

Tingkat I Bali. Badan ini dibentuk untuk melakukan pembinaan dan pengawasan

serta mengevaluasi laporan tahunan tiap LPD (Kurniasari, 2007).

Selama berdirinya, tidak jarang Pemprov Bali berkonflik dengan pemerintah

pusat terkait status hukum LPD. Dimulai dengan Undang-undang Perbankan

Nomor 7 Tahun 1992 Pasal 58 yang mempersamakan LPD dengan Bank

Perkreditan Rakyat (BPR) sehingga diberikan status sebagai BPR. Pemprov Bali

menolak hal tersebut karena menilai karakteristik LPD berbeda dengan BPR.

Upaya Bank Indonesia (BI) mendorong LPD bertransformasi menjadi BPR yang

mendapat penolakan dari masyarakat Bali melalui pemerintah provinsi akhirnya

direspons oleh BI. Melalui surat tertanggal 17 Februari 1999 BI mengakui LPD

sebagai lembaga keuangan bukan bank yang khusus beroperasional di Bali

sehingga tidak di bawah pengawasan BI. Keputusan ini diambil BI karena

mempertimbangkan banyaknya jumlah LPD yang harus diawasi. Pada tahun 2009

status LPD diusik dengan keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga

Menteri, yaitu Menteri Keuangan, Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil

Menengah (UKM), dan Gubernur Bank Indonesia: Nomor 351.1/KMK.010/2009;


19

Nomor 900-636 A Tahun 2009; Nomor 01/SKB/M.KUMK/IX/2009; Nomor

11/43A/KEP.GBI/2009 tanggal 7 September 2009 tentang Strategi

Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Surat Keputusan Bersama ini

salah satu isinya mengharuskan LPD bersama lembaga keuangan bukan bank

lainnya memilih menjadi BPR, koperasi atau Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Alih-alih mengikuti ketentuan tersebut, Pemprov Bali merespons SKB dengan

menerbitkan Perda Nomor 8 Tahun 2002 sebagai pengganti Perda Nomor 2 Tahun

1988 yang sampai saat ini Perda No.8/2002 telah mengalami dua kali perubahan,

terakhir dengan Perda Nomor 4 Tahun 2012. Perjuangan Pemprov Bali untuk

mempertahankan eksistensi akhirnya terwujud sejak terbitnya UU Nomor 1 Tahun

2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang dalam Pasal 39 ayat 3

mengakui keberadaan LPD sebagai lembaga keuangan berbasis adat, sehingga

tidak termasuk UKM yang tunduk pada aturan tersebut.

Dalam Perda tentang LPD, disebutkan bahwa LPD merupakan lembaga yang

dimiliki desa pakraman yang mana pengelolaannya dilakukan oleh desa pakraman

serta didukung pemerintah provinsi dan Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP)5.

Tujuan berdirinya LPD adalah: (1) mendorong pembangunan ekonomi masyarakat

desa melalui tabungan dan penyaluran modal yang efektif; (2) memberantas ijon,

gadai gelap, dan sejenisnya; (3) menciptakan pemerataan dan kesempatan

berusaha bagi warga desa dan tenaga kerja di pedesaan; (4) meningkatkan daya

beli masyarakat dan melancarkan lalu lintas pembayaran dan peredaran uang di

desa. Kepala LPD dipilih oleh Bandesa6 melalui rapat ditingkat desa pakraman dan

bertanggung jawab kepada paruman (rapat) desa pakraman. Sebagai lembaga

5 Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) merupakan lembaga tertinggi yang menaungi seluruh desa
pakraman di Bali. MUDP berdiri pada tanggal 27 Februari 2004.

6 Bandesa merupakan pemimpin dari desa pakraman yang dipilih dalam paruman (rapat) desa
pakraman dengan masa tugas sesuai awig-awig (peraturan) masing-masing desa pakraman
20

keuangan milik desa pakraman, LPD hanya diperkenankan melakukan kegiatan

usaha di lingkungan desa pakraman dan ditujukan hanya kepada masyarakat

(krama) yang menempati desa pakraman. Secara garis besar kegiatan usaha yang

diperkenankan bagi LPD adalah selayaknya lembaga keuangan mikro, yaitu

melakukan kegiatan menghimpun dana dalam bentuk tabungan dan deposito,

serta menyalurkan pinjaman yang semuanya hanya ditujukan kepada krama desa

pakraman. Selain itu LPD juga diperkenankan untuk menerima pinjaman dari

lembaga keuangan dengan maksimum pinjaman sebesar 100% dari jumlah modal,

termasuk cadangan dan laba ditahan. Menyimpan kelebihan likuiditas Pada Bank

Pembangunan Daerah Bali.

Sebagaimana normalnya pembentukan suatu institusi memiliki tujuan yang

ingin dicapai, pembentukan LPD bertujuan untuk (1) mendorong pembangunan

ekonomi masyarakat desa melalui tabungan dan penyaluran modal yang efektif,

(2) memberantas ijon, gadai gelap, dan sejenisnya, (3) menciptakan pemerataan

dan kesempatan berusaha bagi warga desa dan tenaga kerja di pedesaan, (4)

meningkatkan daya beli masyarakat dan melancarkan lalu lintas pembayaran dan

peredaran uang di desa (Damayanthi, 2011). Secara umum tujuan LPD ini adalah

untuk memajukan masyarakat desa pakraman secara ekonomi, sehingga

mencapai tingkat kesejahteraan yang layak (Kurniasari, 2007). Keberadaan LPD

juga tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan dana untuk menyelenggarakan upacara-

upacara keagamaan yang jumlahnya tidak sedikit. Dengan adanya LPD, maka

kontribusi dari laba LPD dapat digunakan untuk membantu membiayai kegiatan-

kegiatan adat dan keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat desa pakraman,

maupun yang dilakukan oleh desa pakraman. Hal ini tercermin dalam dari

kewajiban LPD sebagaimana diatur dalam Perda Nomor 8 Tahun 2002 yang mana

LPD wajib membagi keuntungan yang diperoleh pada akhir tahun buku dengan

persentase 60% sebagai cadangan modal, 20% untuk dana pembangunan desa,
21

10% untuk jasa produksi, 5% untuk dana pembinaan, pengawasan dan

perlindungan, dan 5% untuk dana sosial. Terlihat jelas bahwa LPD memiliki peran

untuk membangun desa pakraman dan melakukan kegiatan sosial di tingkat desa

pakraman.

Perkembangan LPD bisa dikatakan sangat bagus sehingga menjadikannya

sebagai lembaga keuangan mikro yang paling sukses di Indonesia. Kesuksesan

ini karena didukung penuh oleh Pemprov Bali dan kuatnya kesatuan masyarakat

adat di Bali (Baskara, 2013). Kesuksesan LPD terlihat dari perkembangan aset

LPD sampai dengan tahun 2015 total aset LPD mencapai Rp14,2 triliun

(Bisnis.Com, 2015) melebihi aset seluruh aset BPR yang ada di bali yang hanya

sebesar Rp 10,34 triliun (Bank Indonesia Perwakilan Bali, 2015). Jumlah LPD di

Bali juga mengalami peningkatan yang pesat dari sejak pertama kali berdiri. Dari

yang hanya berjumlah 161 LPD pada tahun 1988 menjadi sebanyak 1.433 LPD

pada tahun 2015 (lihat tabel 2.1.). Dibalik kesuksesan tersebut tetap saja ada LPD

yang bermasalah, tetapi jumlahnya bisa dikatakan sangat sedikit dibandingkan

jumlah LPD yang ada di Bali. Sampai dengan tahun 2015 jumlah LPD yang ada

sebanyak 1.433 unit, yang mana sekitar 100-an diantaranya bermasalah

(Bisnis.Com, 2015).

Tabel 2.1.
Jumlah LPD dari Tahun 1988 Sampai dengan Tahun 2015

Tahun Jumlah LPD


1988 161
1993 856
2000 912
2015 1.433
Sumber: (Jolloh, 2001 dan Bisnis Com,2015)
22

2.3. Tri Hita Karana sebagai landasan filosofi LPD

Tri Hita Karana (THK), istilah yang pertama kali muncul pada 11 November

1966 pada saat Konferensi Daerah I Badan Perjuangan Umat Hindu Bali, di

Perguruan Dwijendra Bali. Konferensi yang lahir dari kesadaran umat Hindu untuk

berperan dalam pembangunan nasional sebagai bagian dari kewajiban manusia

untuk menciptakan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasar pada

Pancasila. Pertemuan inilah yang menjadi cikal bakal berkembang dan meluasnya

THK dalam kehidupan masyarakat Hindu (PHDI, 2001).

Arti dari THK sendiri terdiri dari ketiga unsur kata tersebut yang berasal dari

bahasa sansekerta. Tri berarti tiga, Hita berarti kebahagiaan, dan Karana yang

berarti penyebab, sehingga THK memiliki arti yaitu tiga penyebab kesejahteraan.

Tiga penyebab kesejahteraan itu sendiri lahir dari suatu hubungan yang harmonis

antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan alam dan lingkungan, serta

hubungan manusia dengan sesama sebagai suatu kesatuan yang utuh. Hal ini

menjadikannya sebagai suatu cara pandang bahwasanya kesejahteraan tidak

akan dapat diperoleh apabila manusia tidak bisa menyelaraskan ketiga unsur

tersebut. Ketiga unsur tersebut harus menjadi satu kesatuan yang utuh dalam

mencapai kehidupan yang sejahtera.

Penerapan THK dalam kehidupan umat Hindu dilaksanakan melalui aktivitas

Yadnya. Dewa Yadnya sebagai cara untuk menciptakan hubungan yang harmonis

dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Bhuta Yadnya untuk menjaga hubungan

harmonis dengan lingkungan, dan Pitra, Rsi, serta Manusa Yadnya untuk menjaga

hubungan dengan sesama manusia. Pada masyarakat Hindu Bali, perwujudan

THK diwujudkan dalam bentuk Parhyangan, Palemahan, dan Pawongan.

Parhyangan, dari kata Hyang, berarti Hyang Widhi, menekankan pada hubungan

antara manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Palemahan yang berasal

dari kata lemah yang memiliki arti tanah, meliputi tanah pekarangan dan
23

pemukiman, menekankan pada aspek fisik dan lingkungan. Pawongan, dari kata

wong (orang atau penduduk) dalam masyarakat, menekankan pada hubungan

yang harmonis dengan sesama manusia (Astawa, 2012; Bagiada dan Darmayasa,

2015; Damayanthi, 2011; Djayastra, 2012; Gunawan, 2011). Konsep inilah yang

menjadi landasan pada semua lembaga tradisional di Bali yaitu Desa

Pakraman/Desa Adat (Geriya dalam Djayastra, 2012). Gorda (1995) dalam

Dwilandra (2011) menganalogikan ketiga dimensi dari filosofi THK sebagai sumber

daya untuk mewujudkan tujuan hidup manusia yaitu mendapatkan kebahagiaan di

bumi (jagathita) dan kedamaian abadi di akhirat (Moksa). Ketiga sumber daya

tersebut adalah sumber daya ilahi (Brahman), sumber daya manusia (Praja), dan

sumber daya alam (Kamadhuk). Filosofi THK diharapkan dapat menghasilkan

keharmonisan bagi masyarakat yang hidup di Bali berlandaskan pada

keseimbangan. Agar tujuan yang diharapkan dari implementasi THK berjalan

maka sebaiknya masyarakat memiliki budaya dan religi yang kuat dalam

menjalankan kehidupannya. Windia dan Dewi (2007) bahkan menyatakan

bahwasanya sekarang ini filosofi THK diterapkan oleh sebagian besar masyarakat

di Bali, tidak saja yang beragama Hindu, yang non Hindu pun telah menerapkan

filosofi THK.

Walaupun LPD menjalankan kegiatan bisnis, LPD tidak lepas dari filosofi

THK dalam menjalankan aktivitasnya. Hal ini karena dalam Hindu, kegiatan bisnis

merupakan suatu persembahan yang tidak luput dari kendali Tuhan (Astawa,

2012; Bagiada dan Darmayasa, 2015; Damayanthi, 2011; Djayastra, 2012;

Gunawan, 2011) sebagai penguasa alam semesta sehingga Filosofi THK sangat

relevan dengan aktivitas usaha/bisnis. Filosofi THK diimplementasikan LPD pada

setiap dimensi dari ketiga dimensi THK. Parhyangan diimplementasikan melalui

kontribusi pada kegiatan ritual keagamaan, renovasi pura, menyejahterakan


24

pemangku, membantu masyarakat kurang mampu dalam menjalankan ritual

keagamaan (Djayastra, 2012). Palemahan berkaitan dengan bagaimana LPD

berkontribusi dalam pembangunan fisik di lingkungan sekitar LPD berada yang

dalam hal ini di lingkungan desa pakraman (Djayastra, 2012). Terakhir, Pawongan

berkaitan dengan peran LPD dalam memberdayakan masyarakat desa pakraman

dan mengentaskan kemiskinan (Djayastra, 2012).

Bentuk implementasi THK oleh LPD apabila dikaitkan dengan pelaksanaan

aktivitas bisnis perusahaan merupakan bentuk Corporate Social Responsibility

(Bagiada dan Darmayasa, 2015; Damayanthi, 2011). LPD bertanggung jawab

secara sosial bagi lingkungan sekitar, terutama bagi masyarakat desa pakraman.

Tanggung jawab sosial dilakukan mulai dari hal yang terkait fisik di lingkungan

sekitar dan bahkan juga sampai pada taraf upaya meningkatkan kesejahteraan

masyarakat dengan memanfaatkan distribusi laba yang diperoleh LPD.

2.4. Tinjauan Umum Perpajakan

Pajak bukan merupakan hal baru di Indonesia. Sebelum berdirinya Negara

Kesatuan Republik Indonesia, pada masa kerajaan, konsep pajak sudah

berkembang di Nusantara. Pajak pada masa itu merupakan kewajiban rakyat

kepada Raja untuk membiayai aktivitas kerajaan (Bohari, 2001; Budiasih, 2014;

Sukoharsono dan Qudsi, 2008). Jenis pajak pada masa itu sangat beraneka

ragam, mulai dari pajak atas tanah, pajak atas hasil pertanian, pajak atas kolam

ikan, pajak atas garam, pajak atas perajin, pertunjukan seni, dan pajak berdagang

bagi penduduk asing (Budiasih, 2014; Sukoharsono dan Qudsi, 2008). Ketika

Indonesia memasuki zaman penjajahan Belanda, konsep pajak tetap berlaku,

bahkan sistem perpajakan di Indonesia sampai dengan tahun 1983 menggunakan

sistem perpajakan yang berasal dari zaman kolonial Belanda.

Pada masa kerajaan dan kolonialisme, pajak bahkan bisa menyebabkan

peperangan. Perang Diponegoro yang berlangsung pada tahun 1825 sampai


25

dengan 1830 diduga disebabkan oleh beban pajak yang memberatkan,

sebagaimana yang dikutip dari Bohari (2001) berikut ini.

“Konon salah satu sebab timbulnya pemberontakan Diponegoro adalah


beban pajak yang tinggi diperlakukan oleh raja-raja di Jawa tengah. Sultan
ke-2 Yogyakarta terkenal sebagai raja yang banyak mengumpilkan harta.
Pos-pos bea cukai (toll gatest) berdiri di mana-mana dan disewakan pada
orang China dan Eropa yang seenaknya memungut pajak atas barang-
barang yang keluar masuk. Pos-pos bea cukai ini akan menjadi sasaran
pertama dalam pemberontakan Diponegoro yang kemudian meletus pada
tahun 1825 dan berlangsung sampai tahun 1830.”

Secara terminologi kata pajak yang saat ini digunakan di Indonesia berasal

dari bahasa Jawa. Pajak berasal dari kata “ajeg” yang berarti tetap (Sutanto, 2014).

Kata ini akhirnya memiliki arti yang diperluas menjadi pungutan teratur pada waktu

tertentu. Secara bertahap istilah ini berubah menjadi pa-ajeg yang berarti

pungutan kepada rakyat atas hasil bumi yang dilaksanakan secara teratur. Sampai

saat ini pun pajak merupakan suatu pembayaran yang dilakukan secara teratur

oleh warga negara kepada negara dengan besaran tarif yang telah ditentukan oleh

negara yang melalui Undang-undang.

Agar dapat lebih memahami bagaimana perpajakan di Indonesia, maka pada

sub bab ini peneliti memulainya dengan mengungkap hal-hal penting terkait pajak

berdasarkan literatur yang peneliti baca.

2.4.1. Definisi Pajak

Beberapa ahli hukum Indonesia telah mendefinisikan pajak sesuai dengan

konteks konstitusi di Indonesia. Definisi pajak menurut beberapa ahli sebagaimana

dikutip dari Sutanto (2014):

1. Prof. DR. Rochmat Soemitro, SH


“Pajak adalah iuran dari rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-
undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal
(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang dipergunakan
untuk membayar pengeluaran umum”

2. Dr. Soeparman Soemahamidjaja


“Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang yang dipungut oleh
penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi
barang-barang dan jasa-jasa objektif dalam menguasai kesejahteraan umum”
26

3. Prof. PJA. Andriani


“Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang
oleh wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat
prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan gunanya adalah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas
Negara, untuk menyelenggarakan pemerintahan”

Walaupun berbeda pengertian, substansi yang terkandung dari definisi-

definisi di atas bisa dikatakan sama. Substansi dari Pajak berdasarkan definisi-

definisi tersebut adalah bahwasanya pajak merupakan iuran yang berasal dari

rakyat, berdasar pada undang-undang, tidak mendapatkan imbal balik secara

langsung dari negara, serta pajak yang dipungut digunakan untuk membiayai

rumah tangga negara. Dari definisi ini peneliti memperoleh suatu simpulan

bahwasanya pajak hanya dapat dipungut oleh negara kepada rakyatnya dengan

didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan sifat

memaksa tanpa bisa diabaikan oleh rakyat walaupun pembayarnya tidak

mendapat imbal secara langsung tanpa ada imbal langsung yang diterima oleh

pembayar iuran yang mana oleh negara iuran tersebut digunakan membiayai

keperluan negara.

Dari ketiga definisi di atas agak sedikit berbeda dengan definisi yang

tercantum dalam UU KUP. Pasal 1 UU KUP menyebutkan definisi pajak sebagai

berikut:

“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Berdasarkan definisi dari UU ada kata kunci yang harus diresapi menurut

peneliti, yaitu “kontribusi wajib”, “bagi sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat”. Jadi pajak yang dibayarkan/terutang walaupun sifatnya memaksa dan

tidak ada imbal balik secara langsung merupakan bentuk iuran/sumbangan yang

ditentukan besarannya oleh negara kepada orang atau badan yang telah memiliki
27

kewajiban tidak boleh digunakan oleh negara untuk pengeluaran-pengeluaran

yang tidak memberikan manfaat bagi kemakmuran rakyat. Pajak harus dapat

memberikan manfaat yang menjadikan rakyat sejahtera, menjadikan fasilitas

umum yang berkualitas yang dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat,

menjadikan negara makmur, bukan malah sebaliknya menjadi lahan basah korupsi

aparat negara. Pajak yang telah memaksa warga negara untuk menyerahkan

sebagian penghasilannya melalui undang-undang yang dibuat harus benar-benar

bermanfaat walaupun pembayarnya tidak mendapatkan imbalan secara langsung.

2.4.2. Fungsi Pajak

Dalam perekonomian, pajak memiliki beberapa fungsi penting bagi

kelangsungan pembangunan suatu negara. Fungsi-fungsi pajak yaitu (Waluyo,

2001):

1. Fungsi Penerimaan (Budgetair)

Pajak dalam hal ini berfungsi sebagai sumber dana membiayai pengeluaran-

pengeluaran pemerintah yang dalam anggaran negara sebagai sumber

penerimaan dalam negeri.

2. Fungsi Mengatur (Regulatoir)

Pajak dapat menjadi instrumen untuk mengatur pertumbuhan ekonomi suatu

negara dengan cara menerapkan kebijakan perpajakan yaitu melalui tarif,

fasilitas keringanan pajak, atau bahkan melalui disinsentif perpajakan.

3. Fungsi Stabilitas

Melalui pajak pemerintah memiliki sumber daya berupa uang yang dapat

digunakan untuk menerapkan kebijakan yang berkaitan dengan stabilitas

harga sehingga pemerintah dapat mengendalikan inflasi. Cara yang dapat

dilakukan untuk memenuhi fungsi ini adalah dengan mengatur jumlah

peredaran uang di masyarakat melalui pemungutan dan penggunaan pajak

secara efektif dan efisien.


28

4. Fungsi Redistribusi Pendapatan

Pajak yang telah dipungut negara dari para wajib pajak digunakan untuk

membiayai semua hal yang berkaitan dengan kepentingan umum yang mana

dalam membiayai kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan

umum memberi peluang terbukanya lapangan kerja sehingga menjadi alat

untuk mendistribusikan pendapatan dari para pembayar pajak kepada

masyarakat lainnya.

2.4.3. Sistem Pemungutan Pajak

Seiring perkembangan perekonomian Indonesia dengan berkaca pada

sistem perpajakan di negara-negara maju, sistem pemungutan pajak di Indonesia

telah mengalami dua kali perubahan yang signifikan. Dimulai dengan penerapan

Official Assesment System yang diterapkan sejak era kemerdekaan sampai

dengan tahun 1983, menjadi Self Assesment System yang telah dijalankan sejak

tahun 1984 sampai dengan saat ini. Perubahan ini bukan perubahan yang

sederhana, kedua sistem pemungutan tersebut memiliki konsekuensi yang

berbeda dalam hal pemungutan pajak.

Secara garis besar terdapat tiga sistem dalam pemungutan pajak. Ketiga

sistem pemungutan yaitu (Waluyo, 2001):

1. Official Assessment System

Sistem pemungutan pajak yang memberikan kewenangan kepada pemerintah

melalui institusi pajak menentukan besaran pajak wewenang untuk

menentukan besarnya pajak terutang ada pada pemungut pajak (fiskus) yaitu

dalam hal ini Dirjen Pajak. Sistem ini dilaksanakan sampai dengan tahun 1967.

2. With Holding System

Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberikan

kewenangan kepada pihak ketiga yang ditunjuk untuk memotong atau

memungut pajak yang terutang oleh wajib pajak.


29

3. Self Assessment System

Sistem pemungutan yang memberi kewenangan kepada wajib pajak untuk

menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri besaran pajak yang harus

dibayar. Pihak pajak tidak terlibat secara langsung menentukan besaran pajak

yang harus dibayar wajib pajak, melainkan hanya mengadministrasikan serta

mengawasi pelaksanaan kewajiban perpajakan yang dilakukan wajib pajak.

2.4.4. Asas Pemungutan Pajak

Memungut pajak bukanlah hal yang mudah bagi negara. Normal bagi pihak

yang membayar pajak berupaya untuk menghindari membayar pajak sesuai

dengan yang seharusnya. Pemikiran Adam Smith (1723-1790) mengenai four

maxim dalam bukunya Wealth of Nation telah menjadi asas pemungutan pajak

hampir diseluruh negara. Keempat asas itu yaitu, equality (keadilan), certainty

(kepastian), convenience to payment (kenyamanan dalam membayar), dan

contrieved to economy (ekonomis) (Smith, 1952).

Keadilan dalam pemungutan pajak dimulai dengan kontribusi yang

ditanggung oleh setiap subjek pajak sebisa mungkin sesuai dengan batasan

kemampuan subjek pajak. Pembayaran pajak dengan proporsi kemampuan

subjek pajak dapat menjadikan pembayar pajak merasa puas karena mendapat

perlindungan dari negara atas kemampuannya membayar pajak. Asas kepastian

dalam pajak, membawa arti bahwa waktu membayar, cara membayar, jumlah

yang dibayarkan harus jelas kepada semua pembayar pajak dan setiap

individunya. Asas kenyamanan membayar pajak mengharuskan macam dan

pemungutan pajak pada suatu waktu memberikan kenyamanan bagi

pembayarnya. Terakhir, ekonomis, yang memberi makna bahwasanya biaya yang

dikeluarkan dalam pemungutan pajak tidak boleh melebihi hasil pemungutan pajak

dan seharusnya biaya pemungutan yang dikeluarkan seefisien mungkin (Smith,

1952).
30

Asas-asas ini pula yang tercermin dalam sistem pemungutan pajak di

Indonesia. Dari diaturnya pemungutan pajak melalui undang-undang, tarif pajak

yang ditetapkan berbeda antara wajib pajak yang memiliki penghasilan besar dan

kecil. Membuat aturan pajak yang mengatur tata cara membayar, memungut, dan

melaporkan pajak yang makin mempermudah wajib pajak memenuhi kewajiban

perpajakan seperti penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013,

pembayaran pajak yang saat ini bisa melalui internet banking dan ATM.

Pemungutan pajak yang ekonomis pula tercermin dari besaran cost of collection

di Indonesia yang masih dibawah satu persen.

2.4.5. Perlawanan Pajak

Tidak jarang terdapat berbagai perlawanan yang dari masyarakat yang

seharusnya membayar pajak. Perlawanan ini umumnya disebabkan karena

merasa pajak adalah beban yang ditanggung oleh pembayar pajak. Bentuk-bentuk

perlawanan masyarakat terhadap pajak dapat dibedakan sebagai berikut

(Sumarsan, 2015):

1. Perlawanan Pasif

Perlawanan pasif ini berupa hambatan yang mempersulit pemungutan pajak

dan mempunyai hubungan erat dengan struktur ekonomi suatu negara dengan

perkembangan intelektual dan moral penduduk dan dengan teknik

pemungutan pajak itu sendiri. Perlawanan pasif juga ada apabila sistem

pengawasan tidak dilakukan dengan efektif atau bahkan tidak dilakukan.

2. Perlawanan Aktif

Perlawanan aktif dilakukan oleh subjek pajak dalam tiga bentuk yaitu:

a. Tax avoidance, yaitu menghindari pajak dengan tidak melanggar undang-

undang walaupun terkadang dengan jelas menafsirkan undang-undang

berbeda dengan maksud dan tujuan dari pembuat undang-undang.


31

b. Tax evasion, yaitu menghindari pajak dengan tindakan yang melanggar

undang-undang yaitu menyembunyikan sebagian dari penghasilan sehingga

dapat mengurangi dasar penetapan pajak.

c. Melalaikan pajak, yaitu tidak mau melakukan kewajiban perpajakan yang

seharusnya dilakukan.

2.5. Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia

Lembaga Keuangan Mikro sudah berkembang di Indonesia sejak masa

prakemerdekaan (Baskara, 2013). Setelah sebelumnya sistem keuangan

didominasi oleh pemerintah Hindia Belanda melalui bank yang mereka dirikan,

Raden Bei Wiriaatmadja yang menjabat sebagai patih Purwokerto mendirikan

“Hulp en Spaarbank der Inlandsche Bestuurs Ambtenaren” atau Bank Bantuan dan

Tabungan Pegawai pada bulan Desember 1895. Institusi ini selanjutnya diperbaiki

oleh De Wolf van Westerrode sehingga menjadi Bank Kredit Rakyat atau lebih

dikenal dengan Bank Rakyat (bank ini yang kemudian dikenal sampai saat ini

sebagai Bank Rakyat Indonesia). Dari perkembangan ini akhirnya daerah-daerah

lain di Pulau Jawa juga ikut mendirikan Bank Rakyat.

Pada masa yang bersamaan, sekitar tahun 1898, di Jawa telah berdiri

Lumbung Desa yang utamanya berkembang di desa-desa yang menjadi sentra

penghasil beras. Lumbung Desa adalah lembaga simpan pinjam yang menjadikan

padi sebagai instrumen simpan pinjam. Seiring perkembangan wilayah pedesaan

dan uang yang semakin dikenal oleh masyarakat desa, maka didirikan Bank Desa

pada tahun 1940, yang akhirnya dikenal sebagai Badan Kredit Desa (BKD). Saat

ini BKD terbanyak berada di Provinsi Jawa Timur (2.495 lembaga), diikuti Jawa

Tengah (1.357 lembaga), Daerah Istimewa Yogyakarta (766 lembaga) dan

sebagian kecil di Jawa Barat (727 lembaga) yang mana pengawasan dan

supervisinya dilakukan oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) (Adra, Turpin, dan

Reuze, 2009; Baskara, 2013).


32

Pada era Soekarno, perkembangan kredit mikro tidak begitu banyak karena

terkendala oleh gejolak politik pada masa itu. Mulai era Soeharto, di awal 1970an

didirikan bank di setiap provinsi yang diikuti dengan keleluasaan mendirikan Ban

perkreditan Rakyat. Selain itu, pada awal periode Soeharto memimpin, dibuat

suatu jenis layanan keuangan mikro yang memberikan bantuan dana subsidi dari

pemerintah kepada petani untuk mendukung program intensifikasi beras. Program

ini dikenal dengan nama program Bimbingan Massal (Bimas). Bimas menjadi

proyek percontohan pada tahun 1964 dengan ditandai melalui pembentukan

Badan Usaha Unit Desa (BUUD) dan Koperasi Unit Desa (KUD), serta BRI Unit

Desa sebagai upaya memperluas input produksi dan kredit bagi petani

(Martowijoyo dalam Baskara, 2013). Program Bimas ini kemudian diperluas bukan

saja untuk petani padi, tetapi juga untuk jenis pertanian lain, serta sektor

perikanan. Bagi para petani kecil, pemerintah melalui menteri keuangan

meluncurkan program yang diberi nama Kredit Investasi kecil (KIK) disertai pula

dengan program Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP). Bagi segmen mikro non

pertanian, diperkenalkan Kredit Mini dan juga Kredit Midi yang penyalurannya

melalui BRI Unit Desa, serta ada lagi kredit yang bernama Kredit Candak Kulak

(KCK) yang mana dalam penyalurannya melalui KUD.

Di luar program subsidi dan kredit mikro, pemerintah makin menggalakkan

pembentukan lembaga kredit di tingkat desa. Pada awal 1980 muncul istilah

Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP) untuk mengelompokkan lembaga

keuangan mikro non bank yang berdiri sejak 1970-an melalui inisiatif pemerintah

provinsi yang membedakannya dengan bank serta lembaga kredit di desa yang

sudah berdiri lama. LKDP yang berdiri sejak 1970-an diantaranya: Badan Kredit

Kecamatan (berkembang di Jawa Tengah), Lembaga Perkreditan Kecamatan

(LPK) (berkembang di Jawa Barat), dan Lumbung Pitih Nagari (LPN) yang

dikembangkan oleh Pemprov Sumatera Barat. Lembaga Kredit Usaha Rakyat


33

Kecil (LKURK) di Jawa Timur dimulai pada tahun 1979/1980. Melalui hasil seminar

yang diadakan oleh Kementerian Dalam Negeri pada bulan Februari 1984 terkait

LKDP, maka berdirilah beberapa bentuk LKDP di berbagai provinsi, seperti LPD

di Bali, Badan Kredit Kecamatan dan Lembaga pembiayaan Usaha Kecil (LPUK)

di Kalimantan Selatan, Badan Kredit Kecamatan (BKK) di Bengkulu, badan Kredit

Kecamatan (BKK) di Riau, Lembaga Kredit Pedesaan di Nusa Tenggara Barat,

Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP) di Yogyakarta, dan Lembaga Kredit

Kecamatan (LKK) di Aceh.

Dari semua LKDP yang berdiri, semuanya dimiliki oleh Pemprov dan/atau

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) serta beroperasi pada tingkat kecamatan,

terkecuali LPD dan LPN. Kedua LKDP ini menggunakan pola yang berbeda, yaitu

beroperasi berdasarkan ikatan adat serta pada tingkat desa. Umumnya

pendampingan teknis dan supervisi LKDP didelegasikan kepada Bank

Pembangunan Daerah. Perubahan terjadi ketika awal tahun 2000-an banyak

LKDP bertransformasi menjadi BPR sebagai dampak dari berlakunya UU

Perbankan yang mengharuskan berbagai LKDP untuk menjadi BPR. Hal ini

menjadikan jumlah LKDP makin menyusut, hanya LPD saja yang tetap bertahan

dan bahkan bertambah banyak dan berkembang (Jolloh, 2001).

Nasib LPD kontradiktif dengan LPN, padahal LPN yang menjadi role model

pendirian LPD di Bali. Saat ini jumlah LPN sangat sedikit. Dari sebelumnya

terdapat sebanyak 543 unit LPN pada tahun 2001 menjadi hanya tersisa 33 unit,

yang mana 31 unit berbentuk PT BPR LPN, dan hanya 2 yang tetap berbentuk

LPN (Sila, 2010; Fauzi, 2016). Hilangnya LPN menurut Sila (2010) dikarenakan

faktor kelembagaan dengan berlakunya UU Perbankan dan perubahan dari nagari

menjadi desa, serta tingkat kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap LPN.

LPN dinilai kurang profesional apabila dibandingkan dengan Bank, BPR, atau

koperasi.
34

Hal menarik terkait keuangan mikro di Indonesia adalah dengan

diterbitkannya UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM).

UU LKM mengakomodir keberadaan LPD dan LPN, yang mana keduanya diakui

keberadaannya sesuai hukum adat sehingga tidak perlu mengikuti UU LKM.

Sedangkan Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Badan Kredit

Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK),

Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD),

Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Baitul Maal wa Tamwil (BMT), Baitul

Tamwil Muhammadiyah (BTM), dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang

dipersamakan dengan itu tetap dapat beroperasi sampai dengan tahun 2016

sebelum akhirnya berubah menjadi perseroan terbatas atau koperasi. Selanjutnya

dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.03/2016 Tentang

Pemenuhan Ketentuan Bank Perkreditan Rakyat dan Transformasi Badan Kredit

Desa Yang Diberikan Status Sebagai Bank Perkreditan Rakyat, BKD yang telah

mendapatkan izin usaha dari Menteri Keuangan dan telah diberikan status sebagai

BPR wajib memenuhi ketentuan BPR yang melingkupi kelembagaan, prinsip

kehati-hatian, pelaporan dan transparansi keuangan, serta penerapan standar

akuntansi bagi BPR paling lambat tanggal 31 Desember 2019. Bagi BKD yang

tidak dapat memenuhi ketentuan menjadi BPR dapat memilih untuk

bertransformasi menjadi LKM, Koperasi, dan Badan Umum Milik Desa (BUMDes).

Bagi BKD yang telah berbadan hukum sebelum terbitnya peraturan OJK ini, tetapi

tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku, wajib menyesuaikan diri

dengan peraturan yang berlaku paling lambat 31 Desember 2019.

2.6. Keuangan Mikro dengan Pajak

Berbeda dengan LPD yang sampai saat ini tidak menjadi subjek pajak, LPN

yang bertransformasi menjadi PT BPR LPN memiliki kewajiban perpajakan

sebagaimana yang diatur dalam UU PPh, sedangkan yang tetap statusnya


35

menjadi LPN sampai saat ini tidak menjadi subjek pajak karena menjalankan

kegiatan usaha menggunakan hukum adat7. Hal yang sama juga berlaku pada

LKM lainnya yang telah bertransformasi menjadi BPR semuanya menjadi subjek

pajak, sedangkan yang lainnya ada yang menjadi subjek pajak dan ada yang

belum menjadi subjek pajak karena belum memiliki badan hukum resmi.

Sebenarnya di Indonesia, berdasarkan ketentuan perpajakan tidak ada

pengecualian bagi LKM sehingga LKM berdasarkan peraturan perpajakan di

Indonesia wajib memenuhi ketentuan perpajakan yang berlaku.

Lain lagi dengan di Bangladesh, Grameen Bank yang begitu terkenal di

tingkat Internasional karena kesuksesannya dalam meningkatkan perekonomian

di pedesaan dengan memberikan pinjaman para wanita miskin mendapatkan

perlakuan khusus terkait pajak. Sejak tahun 1983 Grameen Bank mendapatkan

fasilitas pembebasan pajak. Fasilitas pembebasan ini seharusnya berakhir pada

Desember 2015, tetapi atas permintaan institusi mikro kredit di Bangladesh, The

National Board of Revenue (Institusi perpajakan di Bangladesh) memperpanjang

fasilitas ini sampai dengan tahun 2020 (Dhakatribune, 2015). Beberapa negara,

terutama negara berkembang juga memberikan fasilitas perpajakan bagi lembaga

keuangan mikro. Pakistan memberikan fasilitas pembebasan pajak selama lima

tahun bagi bank keuangan mikro yang baru berdiri (Business Recorder, 2015).

Untuk negara ASEAN, Vietnam memberikan fasilitas pembebasan pajak selama

dua tahun bagi institusi keuangan mikro yang mendapatkan izin dari The State of

Vietnam dan tambahan fasilitas pengurangan pajak sebesar 50% selama empat

tahun, serta penurunan tarif dari yang sebelumnya sebesar 20% menjadi 17%

terhitung sejak 1 Januari 2016 (Forum Vietnam and Legal Law, 2013). Filipina juga

memiliki peraturan yang mengatur pengecualian pajak bagi lembaga keuangan

mikro di Filipina (Bureau of Internal Revenue Philipina, 2007).

7 Informasi
ini penulis dapatkan dalam interaksi penulis dengan saudara Nurul Fauzi yang merupakan
kandidat Doktor Ilmu Akuntansi Universitas Brawijaya yang mengambil disertasi terkait LPN.
BAB III

MENGUNGKAP KESADARAN PELAKU USAHA LPD ATAS PAJAK

DENGAN FENOMENOLOGI TRANSENDENTAL

“Barang siapa ingin mencari kedalaman, maka mulailah


dari yang dangkal-dangkal, apabila kita melihat
kedangkalan itu dengan tatapan yang cermat dan dalam,
maka kedalaman itu akan muncul dari hal-hal yang
bersifat permukaan”

Donny Gahral Adian

3.1. Pengantar

Ilmu sosial sangat berbeda dengan ilmu alam dalam hal universalitasnya.

Ilmu sosial merupakan disiplin ilmu yang dinamis, berkembang, dan selalu

mengalami perubahan, terikat oleh waktu dan lingkungan serta membawa nilai-

nilai yang dipengaruhi oleh lingkungan. Keuniversalan ilmu alam bisa kita saksikan

pada hukum-hukum ilmu alam. Saat kita berada di mana pun, air akan mendidih

pada suhu seratus derajat celcius, begitu juga air selalu mengalir dari tempat yang

tinggi ke tempat yang rendah. Di belahan bumi manapun dalil-dalil tersebut

berlaku. Bagi ilmu sosial suatu generalisasi seperti di atas tidak mudah untuk

ditemukan. Ilmu sosial apalagi yang menyangkut perilaku manusia sangat

dipengaruhi oleh banyak hal, karena itu menjadi sulit untuk menggeneralisasi

perilaku manusia, terkecuali generalisasi dilakukan pada konteks yang sama

(Andrianto dan Irianto, 2008).

3.2. Metode Penelitian Kualitatif Interpretif Fenomenologi

Metode penelitian kualitatif saat ini makin diterima dalam menjawab

pertanyaan yang terkait dengan ilmu sosial dan kesehatan dibandingkan puluhan

36
37

tahun lalu (Creswell, 2007). Dapat diterimanya penelitian kualitatif dalam ilmu

sosial dan kesehatan saat ini dikarenakan penelitian dengan metode kualitatif

dirasa lebih mampu untuk memaparkan fenomena-fenomena yang terjadi sesuai

dengan maksud dan tujuan penelitian. Fenomena yang terjadi kemudian

diungkapkan dalam bentuk tulisan yang mencerminkan realitas dan data yang

diperoleh dari lapangan.

Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang dirancang dengan maksud

untuk memahami fenomena-fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek

penelitian secara holistik yang kemudian dideskripsikan dalam bentuk kata-kata

dan bahasa pada suatu keadaan khusus yang alamiah dengan menggunakan

berbagai metode ilmiah (Moleong, 2014). Pada penelitian kualitatif, peneliti sendiri

yang berperan sebagai instrumen utama dengan harapan dapat menyajikan

perspektif atau hasil analisa yang lebih dalam sesuai dengan fokus yang dibuat.

Kemampuan metode penelitian kualitatif memberikan perspektif atau hasil analisa

yang lebih dalam dikarenakan keleluasaan dan fleksibilitasnya dibandingkan

penelitian kuantitatif. Metode kualitatif bersifat induktif sehingga pengumpulan data

dilakukan secara natural dan kemudian data yang ada dikonstruksi menjadi suatu

proposisi dan bahkan bisa menjadi teori (Suputra, 2011)

Salah satu pendekatan dalam metode kualitatif adalah fenomenologi.

Pendekatan fenomenologi digunakan dalam penelitian untuk mengungkap suatu

fenomena sosial. Fenomenologi sebagai suatu disiplin ilmu dikemukakan pertama

kali oleh Edmund Husserl (1859-1938). Model fenomenologi ini oleh Husserl dinilai

dapat menjadi titik temu antara ilmu filsafat dengan ilmu sosial seperti psikologi,

antropologi, dan sosiologi (Herdiansyah, 2011), serta telah menjadikan

pendekatan ini digunakan dalam penelitian sosial dalam jangka waktu yang cukup

lama (Moleong, 2014).


38

Pada pendekatan fenomenologi, kesadaran dari perspektif pokok seseorang

diakui sebagai suatu kebenaran empiris (Moleong, 2014; Widiastuti, 2014).

Kesadaran seseorang ini melibatkan akal budi yang mengandung makna bahwa

dalam penelitian kita perlu menggunakan kriteria yang lebih tinggi dari daripada

hanya sekedar truth or false (Muhadjir, 2000). Istilah fenomenologi juga sering kali

digunakan untuk menunjuk pada suatu pengalaman subjektif dari bermacam-

macam jenis dan tipe subjek yang ditemui (Moleong, 2014). Fokus pada sesuatu

yang terlihat dari pengalaman dan tidak ada pemaksaan atas penjelasan, maka

inti dari fenomena dapat terumus dengan baik.

Fenomenologi dikelompokkan oleh Burell dan Morgan (1979) sebagai bagian

dari paradigma interpretif. Salah satu paradigma dari empat paradigma atau cara

pandang yang merupakan produk dari pemikiran sosial Idealis Jerman. Basis

dasarnya dimulai dari karya Immanuel Kant dalam merefleksikan filosofi dunia

sosial yang menekankan pada sifat alamiah spiritual dari dunia sosial. Penelitian

dalam paradigma interpretif menggunakan pendekatan subjektivis dalam

menganalisis dunia sosial dengan perhatian utamanya adalah memahami dunia

apa adanya dengan berdasar pada pengalaman subjektif. Paradigma interpretif

menjadikan pendekatannya dalam ilmu sosial cenderung nominalist, anti-

positivist, voluntarist, dan ideographic (Burell dan Morgan, 1979). Paradigma ini

melihat bahwa dunia sosial merupakan proses sosial yang muncul karena

diciptakan oleh individu yang bersangkutan. Realitas sosial diakui sejauh sebagai

hasil eksistensi kesadaran luar dari setiap individu, dianggap lebih kecil daripada

asumsi suatu jaringan dan membagikan makna intersubjektivitas

Dalam perkembangannya fenomenologi berkembang dalam beberapa

bentuk yang kesemuanya tidak saling koheren walaupun semuanya merujuk

kepada pemikiran Husserl. Perkembangan yang berlangsung berdasar pada


39

masing-masing eksponen. Beberapa peneliti yang berperan dalam perkembangan

fenomonologi diantaranya seperti Scheler, Heidegger, Schutz, Sartre, dan

Merleau-Ponty.

Burell dan Morgan (1979) menjelaskan paling tidak terdapat tiga jenis

fenomenologi yaitu fenomenologi transendental, fenomenologi eksistensial, dan

fenomenologi sosiologi. Fenomenologi transendental merupakan suatu pemikiran

yang identik sebagai karya dari Edmund Husserl, fenomenologi eksistensial yang

berasal dari pemikiran-pemikiran Heidegger, Merleau-Ponty, Sartre, dan Schutz,

serta terakhir Fenomenologi sosiologi yang dikembangkan dari pemikiran Schutz

dan G.H. Mead. Ketiga fenomenologi tersebut memiliki ciri khas yang menjadi

pembeda antara satu dengan lainnya.

Fenomenologi transendental yang berasal dari kompilasi kuliah Husserl sejak

tahun 1910-1920 memiliki ciri khas yaitu fokus studi mengenai kesadaran yang

pada akhirnya berfokus pada fenomenologi dengan konsep “I”/“Aku” (Kamayanti,

2016). Filosofi yang mendasari transendental Husserl adalah mencoba untuk

memahami bahwa dunia ini adalah sebagai fenomena bukan merupakan objek,

tetapi memiliki makna yang murni (pure meaning) (Thevenaz dalam Burell dan

Morgan, 1979). Fenomenologi eksistensial terlahir dengan ciri khasnya yaitu

menaruh perhatian pada yang namanya “life-world (lebenswelt)”. Cara pandang ini

menilai bahwa kehidupan sehari-hari didunia ini bertentangan dengan kesadaran

transendental (Burell dan Morgan, 1979). Terakhir, fenomenologi sosiologi terlahir

dengan ciri khasnya yang melihat fenomena berdasarkan kehidupan sehari-hari

dengan mendasarkan pada ilmu sosiologi (Burell dan Morgan, 1979).

Berbeda dengan Burell dan Morgan, Creswell (2007) membahas dua macam

fenomenologi, yaitu Hermeneutic phenomenology dan psychological

phenomenology. Keduanya sama-sama fokus pada pengalaman yang dialami


40

oleh individu, hanya saja hermeneutic menekankan pada pengalaman individu

yang dialami atas teks dan kemudian dinterpretasikan oleh peneliti. Lain halnya

psychological atau transcendental phenomenology yang berfokus pada

penjelasan atas pengalaman seseorang dalam kesadarannya tanpa atau minim

akan interpretasi dari peneliti.

Pemosisian berbeda terkait fenomenologi sebagai bagian dari paradigma

interpretif diungkapkan oleh Kamayanti (2016), bahwa terdapat pemikiran baru

atas fenomenologi yaitu posfenomenologi dan fenomenologi tauhid.

Posfenomenologi lahir dari Don Ihde dengan pendapatnya bahwa pengalaman

manusia masa kini tidak hanya dipengaruhi oleh apa yang manusia tersebut

rasakan melainkan juga merupakan hasil dari eksistensi alat/teknologi. Kamayanti

(2016) memberikan perspektif berbeda dalam perkembangan fenomenologi

berkaitan dengan fenomenologi tauhid (spiritual), bahwa perkembangan

fenomenologi dengan paradigma interpretif yang masih menggunakan

pendekatan empiris semata dalam mendapatkan pengetahuan. Pendekatan

fenomenologi yang ada dan berkembang memisahkan dan menghilangkan

kesadaran akan Tuhan dari kesadaran manusia (Chaudbury dalam Kamayanti,

2016) padahal permasalahan yang terjadi di dunia sepantasnya tidak dapat

dilepaskan dari konsep Ketuhanan (Kamayanti, 2016).

Walaupun terdapat cara pandang baru dalam memandang fenomenologi.

Peneliti masih menerima cara pandang yang menempatkan fenomenologi sebagai

suatu pendekatan penelitian dalam paradigma interpretif. Peneliti juga yakin

bahwasanya penelitian dengan menggunakan pendekatan fenomenologi dapat

menghasilkan suatu kebenaran empiris sebagaimana pula penelitian dengan

menggunakan pendekatan kuantitatif positivis. Pada akhirnya peneliti

memutuskan menggunakan fenomenologi transendental dalam penelitian ini.


41

Peneliti meyakini dengan menggunakan fenomenologi transendental akan

diperoleh pemaknaan yang mendalam langsung dari subjek penelitian terkait

kesadaran untuk tidak memenuhi kewajiban perpajakan dari sudut pandang subjek

yang terlibat dalam kegiatan usaha LPD.

3.3. Memaknai Kesadaran Terhadap Pajak dan Kesadaran untuk Tidak

Menjalankannya Dengan Fenomenologi Transendental Husserl

Sebelum peneliti membahas bagaimana memaknai kesadaran pelaku usaha

terhadap pajak dan kesadaran untuk tidak menjalankan kewajiban perpajakan dari

perspektif subjek (pelaku usaha) yang terlibat dalam kegiatan bisnis LPD dengan

menggunakan fenomenologi transendental, maka sebaiknya peneliti membahas

lebih dalam tentang fenomenologi transendental dan pemikiran Edmund Husserl

selaku pencetus fenomenologi transendental. Pemikiran Husserl banyak

dipengaruhi oleh Franz Brentano, walaupun sebenarnya Franz Brentano sendiri

tidak mengatakan pemikirannya sebagai fenomenologi psikologi deskriptif (Adian,

2010). Psikologi deskriptif tidak berupaya menjelaskan tindak psikis secara

kausalis, melainkan semata membuat taksonomi tindakan mental yang

menjadikannya berbeda dengan psikologi genetis. Pemikiran Brentano tentang

“kesengajaan”, kemudian direspon oleh Kant bahwa subjek mengenal objek hanya

pada fenomena (apa yang tampak) bukan noumena (sesuatu dibalik fenomena),

sedangkan pemikiran Brentano tentang “kesengajaan”, direspon oleh Kant bahwa

subjek mengenal objek hanya pada fenomena (apa yang tampak) bukan noumena

(sesuatu dibalik fenomena).

Husserl memiliki pendapat berbeda, suatu objek terdiri dari fenomena dan

noumena, oleh karena itu subjek harus mampu memahami dan memaknai objek

dari fenomena dan nomena (Widiastuti, 2014). Oleh sebab itu Husserl

berpendapat bahwa dalam setiap hal manusia memiliki pemahaman dan


42

penghayatan terhadap sifat fenomena yang dilaluinya dan hal tersebut sangat

berpengaruh terhadap perilakunya (Herdiansyah, 2011). Hal utama yang menjadi

pertanyaan dan ingin dijawab oleh Husserl sehingga akhirnya mengembangkan

fenomenologi adalah “Bagaimana suatu objek dan suatu kejadian muncul

bersamaan dan memengaruhi kesadaran manusia?” (Herdiansyah, 2011). Husserl

menginginkan fenomenologi tidak hanya mengklasifikasikan setiap tindakan sadar

yang dilakukan, namun meliputi prediksi terhadap tindakan di masa yang akan

datang sebagaimana seseorang memaknai objek dalam pengalamannya

(Kuswarno, 2009).

Pemikiran ini mengantarkan Husserl pada pemikiran bahwa fenomenologi

yang berakar dari kesadaran bukanlah studi psikologi. Bagi Husserl, psikologi

adalah experiential science yang menekankan pada fakta dan realitas, sedangkan

fenomenologi transendental bukan sekedar ilmu mengenai fakta melainkan sains

atas esensi (Husserl, 1983). Fenomenologi transendental menekankan pada “Aku”

sebagai pusat dari seluruh lingkungan (Umgebung) sehingga “Aku” menjadi

pembeda antara manusia yang satu dengan manusia yang lain dan pengalaman

yang dialami dari setiap “Aku” akan membentuk persepsi, ingatan, ekspektasi,

fantasi, perasaan, harapan, dan kehendak yang berbeda (Husserl, 2006;

Kamayanti, 2016), dan karenanya “Aku” bukanlah pengalaman melainkan yang

mengalami, bukan aksi tetapi yang melakukan. Hal tersebut menjadikan penelitian

dengan menggunakan fenomenologi transendental berkeinginan untuk

memahami apa yang dialami oleh “Aku” sehingga “Aku” melakukan pemaknaan

atas suatu hal tertentu (Kamayanti, 2016).

Pada penelitian dengan menggunakan fenomenologi transendental, “Aku”

menjadi pusat dari lingkungan (the zero point) dan akhirnya mengarah pada “aku”

dalam tubuh”ku” (lived body) yang mengambil ruang dan tempat tertentu untuk
43

mendapatkan pengalaman (Kamayanti, 2016). Pengalaman dari individu ini yang

pada akhirnya membentuk intuisi “Aku” yang digunakan sebagai metode

penelitian. Asumsi aku yang diturunkan menjadi metode penelitian menjadikan

penelitian yang dilakukan mengutamakan pada pemahaman akan pentingnya

intensi (niat). Hubungan antara “Aku” dengan “Aku” lainnya adalah “Aku”

memandang “Aku” lainnya sebatas lingkungan yang mengitari pusat (Husserl,

2006), sehingga individual lain tidak sepenting keberadaan “Aku”.

Karena orientasi fenomenologi transendental pada “Aku”, maka peneliti

menilai sangat tepat untuk memilih fenomenologi transendental sebagai metode

pada penelitian ini. Peneliti bertujuan memahami realitas dari individu-individu

yang mengalami suatu fenomena, yang pada penelitian ini adalah pajak dan

penolakan untuk menjalankan kewajiban perpajakan. Fenomenologi transendental

menekankan manusia sebagai subjek penelitian melalui “Aku”, sehingga tepat

digunakan dalam penelitian yang peneliti lakukan. Alasan lain, peneliti menilai

dengan fenomenologi transendental maka tujuan penelitian yang difokuskan pada

kesadaran informan dapat lebih dieksplorasi, sedangkan penafsiran dari peneliti

dapat dikesampingkan sebelumnya sehingga diperoleh pemaknaan/ esensi

langsung dari subjek.

Dengan dipilihnya fenomenologi transendental untuk mengungkap

kesadaran subjek terhadap pajak dan penolakan menjalankan kewajiban

perpajakan atas kegiatan usaha LPD, maka penelitian ini memfokuskan penelitian

kepada para pelaku usaha LPD dalam memaknai kesadaran terhadap pajak.

Bagaimana mereka memandang pajak dan kesadaran untuk menolak

menjalankan kewajiban perpajakan. Kesadaran untuk tidak perlu memiliki NPWP

apakah terkait pula dengan kesadaran atas “Aku” di dunia luar. Kesadaran atas

pilihan untuk belum menjalankan kewajiban perpajakan merupakan hal yang perlu
44

dikaji dikaitkan dengan ciri khas LPD sebagai lembaga keuangan yang dalam

kegiatan operasionalnya berlandaskan budaya Bali dan ajaran Hindu.

Penggunaan fenomenologi transendental dalam penelitian ini bertujuan

mendapatkan hasil langsung dari individu yang terlibat dalam menjalankan LPD

tanpa ada campur tangan peneliti terkait proses pemaknaan atas LPD yang tidak

menjalankan kewajiban perpajakan.

3.4. Lokasi, Subjek dan Objek Penelitian

Lokasi atau situs dalam melakukan suatu penelitian kualitatif sangat penting.

Pemilihan lokasi yang tepat diharapkan mampu menjawab permasalahan yang

dibahas dalam penelitian. Oleh karena itu untuk membahas permasalahan terkait

pajak dan kewajiban perpajakan LPD maka peneliti melakukan penelitian ini di

provinsi Bali sebagai tempat beradanya lembaga keuangan yang bernama LPD,

lokasi penelitian yang relatif luas untuk suatu penelitian kualitatif. Lokasi penelitian

adalah pada empat LPD yang berada di empat desa pakraman. Lokasi dari LPD

yang menjadi objek penelitian, dua LPD berada di kabupaten Badung dan dua

lainnya berada di kabupaten Tabanan.

Penelitian ini memfokuskan penelitian pada subjek, sebagaimana suatu

penelitian fenomenologi yang menekankan pada subjektivitas individu. Fokus dari

subjek penelitian ini adalah pengurus LPD yang bertanggung jawab dalam

memimpin operasional LPD. Pemilihan ini bertujuan mendapatkan jawaban yang

lebih komprehensif atas permasalahan terkait mengapa LPD tidak menjadi subjek

pajak. Fiskus dan individu yang terlibat dalam lembaga pengawas LPD juga

menjadi subjek dalam penelitian ini karena informasi yang diperoleh dari kedua

pihak tersebut menurut peneliti akan mendukung hasil penelitian.

Penelitian dengan pendekatan fenomenologi transendental sebagaimana

diungkapkan oleh Kamayanti (2016), tidak mungkin mengambil lebih dari sepuluh
45

informan karena mengupas “Aku” yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitian

fenomenologi sangat melelahkan apabila peneliti benar-benar melakukan

fenomenologi. Sejalan dengan pemikiran tersebut, maka informan dalam

penelitian ini dibatasi tidak melebihi sepuluh informan. Pada awalnya peneliti

merencanakan hanya tiga informan yang merupakan pelaku usaha LPD, dalam

hal ini pengurus LPD yang kesehariannya bergelut dengan kegiatan usaha LPD.

Ketiga informan ini merupakan informan kunci dalam penelitian, sedangkan

sisanya merupakan informan tambahan informan tambahan yang diharapkan

dapat memberikan informasi dan perspektif tambahan terkait dengan

permasalahan yang dibahas dalam penelitian. Seiring pelaksanaan penelitian,

ternyata peneliti mendapatkan tujuh informan yang bersedia untuk diwawancarai.

Empat informan merupakan pengurus LPD, satu informan adalah Kepala

Lembaga Pengawas LPD (LPLPD), dan dua informan adalah pegawai pajak.

Pada awalnya alasan untuk memilih tiga informan pelaku usaha LPD karena

peneliti berusaha mendapatkan makna pajak dan belum dijalankannya kewajiban

perpajakan oleh dari sudut pandang pelaku usaha LPD yang LPD-nya peneliti

kategorikan sebagai LPD kecil, menengah, dan besar. Kriteria yang peneliti

gunakan dalam mengategorikan LPD tersebut sebagai LPD kecil, menengah, dan

besar adalah berdasarkan aset yang dimilikinya. LPD yang dikategorikan kecil

adalah LPD yang asetnya tidak lebih dari Rp10 milyar, LPD menengah adalah LPD

yang asetnya lebih dari Rp10 milyar tetapi tidak melebihi Rp50 milyar, dan LPD

yang dikategorikan besar adalah LPD yang asetnya melebihi Rp100 milyar.

Peneliti mendapatkan empat informan pelaku usaha LPD, yang mana terdiri

dari dua informan merupakan pengurus LPD dengan kriteria besar, satu informan

pengurus LPD dengan kriteria menengah, dan satu informan merupakan pengurus

LPD dengan kriteria kecil. Berubahnya jumlah informan pengurus LPD dari tiga
46

menjadi empat berkembang selama proses penelitian. Pada awalnya peneliti agak

kesulitan untuk dapat mewawancarai pengurus LPD besar yang direncanakan

awal, sehingga peneliti mencari alternatif. Setelah berhasil mewawancarai

informan alternatif, ternyata informan utama yang direncanakan berhasil peneliti

wawancarai. Hal ini yang menjadikan adanya perubahan jumlah informan yang

berasal dari LPD, dari yang sebelumnya direncanakan hanya tiga informan

menjadi empat informan.

Nama ketujuh informan penelitian ini adalah:

1. Bapak GA, Kepala LPD PT dengan aset di atas Rp100 miliar;

2. Bapak Ketut, Kepala LPD KN dengan aset di atas Rp100miliar;

3. Bapak Ajik, Sekretaris LPD KBA dengan aset di atas Rp10 miliar;

4. Bapak Baik, Kepala LPD TB dengan aset di bawah Rp10 miliar;

5. Bapak Nyoman, Kepala LPLPD Provinsi Bali;

6. Bapak Made, Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi di KPP Pratama

Badung Selatan; dan

7. Bapak Awam, Kepala Seksi di Kanwil DJP Bali.

Objek penelitian ini adalah kesadaran terhadap pajak dan penolakan

menjalankan kewajiban perpajakan yang sebenarnya merupakan suatu bentuk

kewajiban kepada negara. Dalam mengungkap makna kesadaran terhadap pajak

dan penolakan menjalankan kewajiban perpajakan atas kegiatan usaha LPD

dimulai dengan mengungkap kesadaran subjek mengenai pajak dan kesadaran

untuk tidak menjalankan kewajiban perpajakan pada kegiatan usaha LPD.

3.5. Pengumpulan dan Sumber Data

Sumber data dalam penelitian kualitatif termasuk di dalamnya penelitian

dengan pendekatan fenomenologi berasal dari kata-kata dan tindakan, serta data

tambahan berupa seperti dokumen dan lain-lain (Lofland dan Lofland dalam
47

Moleong, 2014). Penelitian ini mengutamakan data yang bersumber dari kata-kata

dan tindakan informan sebagai data primer, sedangkan data tambahan yaitu data

sekunder berupa laporan keuangan, data-data mengenai kegiatan usaha, laporan-

laporan ataupun bentuk lain yang berkaitan dengan LPD. Tidak lupa pula yang

menjadi sumber data adalah peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pajak

dan LPD. Peraturan-peraturan penting dalam penelitian ini karena pajak tidak bisa

dilepaskan dari peraturan yang melingkupinya. Dasar dari pemungutan paja

adalah peraturan perundang-undangan.

Pengumpulan data dilakukan sendiri oleh peneliti. Dalam rangka

memperoleh data utama berupa kata-kata dan tindakan informan, peneliti terlibat

langsung dalam proses wawancara dan pengamatan. Wawancara yang dilakukan

adalah wawancara tidak terstruktur. Pemilihan wawancara tidak terstruktur

dikarenakan penelitian ini ditujukan untuk mengungkap makna dari subjek,

sehingga kedalaman pertanyaan diperlukan, apabila mengandalkan wawancara

terstruktur kedalaman mengungkap makna bisa jadi tidak dapat tercapai.

Penggunaan wawancara tidak terstruktur juga menurut peneliti dapat

mengeksplorasi sudut pandang informan mengenai permasalahan yang dibahas

dalam penelitian ini.

Peneliti juga melakukan pengamatan lapangan dalam penelitian ini, karena

dengan melakukan hal tersebut peneliti berharap dapat mengamati fenomena

yang ada sehingga lebih dapat menangkap pemaknaan yang diperoleh dari

wawancara terkait kesadaran subjek atas pajak dan kewajiban perpajakan.

Pengamatan yang dilakukan peneliti yaitu dengan mengamati ekspresi, situasi,

dan kondisi dari informan pada saat melakukan wawancara. Dengan observasi,

peneliti melakukan pengamatan terhadap kejadian (fenomena) yang dialami oleh

terteliti.
48

Terlibat langsungnya peneliti sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh

Moleong (2014), bahwa dalam penelitian kualitatif peneliti merupakan instrumen

penelitian. Posisi peneliti dalam penelitian kualitatif lumayan rumit. Dalam

penelitian kualitatif, peneliti merupakan perencana, pelaksana penumpulan data,

analis, penafsir data, dan terakhir menjadi pelapor hasil penelitiannya.

Data yang diperoleh kemudian oleh peneliti akan dilakukan pengujian terkait

keabsahannya dengan menggunakan metode trianggulasi. Metode trianggulasi

pada penelitian ini adalah memadukan informasi dari informan kunci yaitu

pengurus LPD, fiskus, dan pengawas LPD dengan data-data yang berupa kata-

kata informan serta data dalam bentuk laporan atau sumber tertulis lainnya.

3.6. Analisis Data

Dalam mengungkap kesadaran terhadap pajak dan penolakan untuk

menjalankan kewajiban perpajakan dari sudut pandang para pelaku usaha LPD

dengan menggunakan fenomenologi transendental, maka peneliti perlu

menggunakan suatu alat analisis yang sejalan dengan metode fenomenologi

transendental. Dalam teknik analisis fenomenologi transendental ada beberapa

kata kunci yang perlu dipahami dan menjadi landasan peneliti dalam melakukan

penelitian. Kata kunci yang perlu dipahami tersebut adalah: Noema, Noesis,

Epoche (Bracketing), Intentional Analysis, dan Eidetic Reduction.

Dalam proses analisis penelitian fenomenologi transendental dimulai dengan

identifikasi noema. Penjelasan atas noema yang diberikan oleh Husserl bahwa

noema merupakan sesuatu yang ditangkap panca indera manusia, bersifat tetap,

dilengkapi bukti-bukti akurat, dan dengan noema ini bentuk objek dapat

digambarkan sesuai yang dilihat panca indera (Dreyfus dan Wrathall, 2007).

Noesis, lawan dari noema, bahan dasar pikiran dan roh (mind and spirit) manusia

yang menyadarkan pada makna yang lebih mendalam dan menjadi kesadaran
49

murni. Noesis merupakan kesadaran yang muncul akibat pengalaman karena dan

pada waktu (allraum) dan tempat (weltzeit) tertentu (Kamayanti, 2016). Noema dan

noesis saling berkaitan karena noema akan membimbing peneliti menuju noesis.

Kaitan noema dan noesis sebagai ciri khas dari fenomenologi transendental atau

pure phenomenology diungkapkan oleh Husserl (1983) sebagai berikut:

“..., the judgement-noesis, taken concretely as an essence, and the


judgement-noema belonging to and necessarily united with that noesis, the
made judgement as an Eidos, and it also in its phenomenological purity”

Sebelum mendapatkan noesis, peneliti yang menggunakan fenomenologi

transendental perlu melakukan epoche (bracketing), meletakkan tanda kurung

pada apa yang peneliti tangkap tekstur lain dibawah tekstur (Kamayanti, 2016).

Husserl (2006) menjelaskan bahwa dalam proses bracketing harus disertai

dengan pemahaman bahwa pemaknaan yang didapat bersamaan pada waktu dan

ruang tertentu dan menjadi pengalaman bagi “Aku”. Setelah melakukan

bracketing, peneliti perlu untuk mengambil suatu pemaknaan lanjutan terkait

bagaimana noesis membentuk noema yang merupakan tahapan intentional

analysis. Proses terakhir, eidetic reduction, tahapan dalam rangka untuk

memperoleh hasil berupa kondensasi dari seluruh pemaknaan atau ide yang

melandasi seluruh kesadaran murni.

Karena menggunakan fenomenologi transendental maka yang ditekankan

dalam penelitian ini adalah noema, noesis, epoche (bracketing), intentional

analysis, dan eidetic reduction. Pertama-tama peneliti memulai dengan

pemahaman dasar subjek atas pajak dan kewajiban perpajakan di Indonesia.

Kemudian peneliti dalam proses wawancara menerapkan epoche. Pengertian

epoche di sini yaitu peneliti mengabaikan pengetahuan peneliti tentang pajak dan

membiarkan subjek mengungkapkan kesadarannya. Peneliti menghindari

penilaian serta bias yang terdapat pada suatu objek dan menempatkan fenomena
50

yang ada dalam tanda kurung (bracketing) sehingga peneliti mendapatkan

perspektif baru terkait objek yang diteliti. Pemahaman atau perspektif baru yang

diharapkan didapat adalah terkait pemaknaan pajak dari sudut pandang objek

penelitian. Sebagai pertanda bahwa peneliti telah mendapatkan pemahaman

mendalam yaitu dengan tidak munculnya bracketing baru dari informan dalam

proses wawancara yang dilakukan (Kamayanti, 2016).

Selain yang disebutkan di atas, ada juga unsur penting dalam penelitian

fenomenologi yang tidak bisa dihilangkan, yaitu intuisi dan intersubjektivitas

(Kuswarno, 2009). Intuisi ini adalah proses kehadiran esensi fenomena dalam

kesadaran. Intuisi yang menjadi penghubung antara noema dan noesis dengan

tidak melupakan peran ego dan super ego yang menjadi penggerak intuisi.

Intersubjektivitas merupakan unit analisis yang mana subjektivitas informan yang

tidak dapat dihindari tentang suatu objek, sehingga dalam membentuk makna atas

objek sangat dipengaruhi oleh empati atau pengalaman subjek dan pengalaman

ini dapat dibandingkan dengan subjek yang lain. Unsur-unsur ini yang kemudian

dirangkai untuk menemukan esensi kesadaran pelaku usaha LPD terhadap pajak

sehingga melahirkan kesadaran untuk tidak menjalankan kewajiban pajak yang

berlaku pada kegiatan usaha LPD.


BAB IV

LPD DIBEBASKAN DARI KEWAJIBAN PERPAJAKAN: KESADARAN

PELAKU USAHA LPD

“The hardest thing in the world to understand is the


income tax”

Albert Einstein

4.1. Pengantar

LPD yang telah berdiri sejak tahun 1984 di Bali selalu menolak berbagai

peraturan yang menjadikan LPD sama seperti bank ataupun lembaga keuangan

mikro (LKM). Alasan utama karena LPD memiliki karakteristik yang jauh berbeda

dengan bank dan juga LKM. LPD tidak dimiliki oleh perseorangan serta

kepemilikan bukan berdasarkan saham layaknya Perseroan Terbatas, bukan juga

dimiliki oleh anggota dan bersifat sukarela layaknya koperasi, melainkan lembaga

keuangan bersifat komunal yang dimiliki oleh desa pakraman dengan

keanggotaan hanya melingkupi masyarakat yang tinggal di desa pakraman

tersebut. Setiap krama desa pakraman otomatis menjadi anggota LPD walaupun

tidak memiliki simpanan maupun pinjaman di LPD.

Karena hal tersebut maka LPD menganggap bahwa mereka tidak kena pajak.

LPD bukanlah subjek hukum layaknya badan usaha lainnya yang ada di Indonesia.

Pada bab ini peneliti membahas mengenai realitas mengapa LPD tidak kena

pajak. Hal yang paling penting diketahui bahwasanya faktor yang berpengaruh

mengapa LPD tidak kena pajak adalah aspek hukum yang mana pelaku usaha

memiliki kesadaran bahwa LPD memiliki kekhususan karena beroperasi

berdasarkan hukum adat. Pada bab ini kesadaran pelaku usaha LPD diekplorasi

51
52

lebih dalam untuk menemukan esensi atas kesadaran LPD dibebaskan dari

kewajiban perpajakan.

4.2. Eksplorasi Kesadaran LPD Dibebaskan dari Pajak

Legitimasi terhadap LPD melalui UU LKM pula yang menjadi argumen para

pelaku usaha LPD bahwasanya LPD tidak kena pajak. LPD tidak perlu mengikuti

hukum negara karena telah dikecualikan karena menjalankan kegiatan usaha

berdasarkan hukum adat. Pajak hanya dikenakan kepada lembaga keuangan

yang berbadan hukum resmi, sedangkan LPD tidak. LPD hanya memiliki

kewajiban kepada krama adat di desa adat tempat LPD bernaung.

UU LKM sebagai legitimasi LPD tidak kena pajak telah menjadi kesadaran

eksplisit dari setiap pelaku usaha LPD yang peneliti wawancarai. Para informan

memiliki kesadaran bersama yang terbentuk bahwasanya dengan berlakunya UU

LKM maka LPD memperoleh perlakuan khusus. Salah satu perlakuan khusus itu

adalah LPD tidak kena pajak. Ungkapan ini sebagaimana dalam wawancara

dengan Bapak Nyoman berikut ini:

“Sebenarnya terkait pajak, ini sudah jelas, LPD tidak ada kaitan dengan
pajak [dengan nada agak pelan dan terkesan menghindari pembahasan
terkait judul tesis dan awalnya tidak berkenan untuk direkam wawancara ini
sebelum akhirnya berkenan untuk direkam]. UU LKM Pasal 39 sudah
mengecualikan LPD. LPD dan Lumbung Pitih Nagari diakui keberadaannya
berdasarkan hukum adat dan tidak tunduk pada undang-undang LKM. Jadi
kalo ini dibahas lagi jangan sampai menimbulkan permasalahan nantinya.”
[Pak Nyoman, Kepala LP LPD Bali].8

Bapak Nyoman merasa bahwa terkait kewajiban perpajakan bagi LPD itu

tidak perlu dibahas lagi karena LPD “tidak ada kaitan dengan pajak”. Pendapat

Bapak Nyoman ini merupakan bentuk kesadaran eksplisit (noema) bahwasanya

permasalahan terkait kewajiban perpajakan LPD merupakan suatu yang sensitif.

Kesadaran ini terbentuk karena selama ini memang LPD telah sering berhadapan

8 Wawancara ini tidak direkam, sehingga kata-kata yang diucapkan informan tidak persis sama
dengan transkrip. Tetapi inti dari wawancara terungkap dalam transkrip yang penulis buat.
53

dengan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat untuk mengatur

status hukum LPD sebagai badan usaha yang bergerak pada bidang keuangan.

Apalagi informan telah bergelut dengan LPD sejak puluhan tahun dan sudah lama

menjadi pengawas LPD, sehingga beliau memahami bahwa membahas hal seperti

ini sangat sensitif.

Tabel 4.1.
Analisis Fenomenologi Kesadaran Atas Kewajiban Perpajakan
oleh Bapak Nyoman selaku Kepala LP-LPD

Intentional Eidetic
Noema Noesis
Analysis Reduction
LPD Tidak ada “UU LKM Pasal 39 LPD tidak ada Bapak Nyoman
kaitan dengan sudah kaitan dengan secara sadar
Pajak mengecualikan” pajak dikarenakan memahami bahwa:
telah dikecualikan
“Diakui oleh negara berdasarkan UU LPD itu dibebaskan
Berdasarkan LKM, bahwa LPD dari pajak.
hukum adat” itu beroperasi
berdasarkan Aturan negara telah
“Pajak merupakan hukum adat. mengakui
hal yang sensitif keberadaan LPD
bagi LPD” dan memberikan
kekhususan

Kesadaran ini bisa


jadi terbentuk
karena
pengalaman bahwa
aktivitas adat
berbeda dengan
aktivitas formal
negara

Lahirnya UU LKM yang melegitimasi keberadaan LPD akhirnya membentuk

kesadaran yang lebih mendalam (noesis) bahwa bagaimanapun LPD harus

diindungi agar tidak kena pajak. Kesadaran itu melahirkan pemahaman atas “Aku”

yang dimiliki oleh Bapak Nyoman bahwa negara telah mengakui keberadaan LPD

untuk tunduk kepada hukum adat. Dengan tunduk pada hukum adat maka LPD

tidak kena pajak. Oleh karena itu ketika peneliti mengangkat mengenai kewajiban

pajak bagi LPD bisa jadi ini menimbulkan polemik atas legitimasi LPD yang
54

menurut kesadaran Bapak Nyoman tidak kena pajak. Pada posisi ini pemahaman

atas “Aku” Bapak Nyoman adalah “Aku menjadikan UU LKM sebagai legitimasi

bahwasanya LPD yang telah diakui untuk beroperasi berdasarkan hukum adat

tidak kena pajak”.

Dari tabel 4.1. di atas dapat terlihat bahwasanya Bapak Nyoman memiliki

kesadaran bahwa LPD itu merupakan lembaga keuangan yang memiliki

kekhususan karena beroperasi berdasarkan hukum adat serta telah diakui oleh

negara atas kekhususannya tersebut. Atas pengakuan tersebut yang kemudian

dimaknai oleh Bapak Nyoman bahwa LPD dibebaskan dari kewajiban perpajakan.

Kesadaran yang mirip juga terungkap dari wawancara dengan Bapak Ajik.

Selaku salah satu pengurus LPD ketika ditanya mengenai apa yang mendasari

LPD tidak membayar pajak juga menyatakan bahwa UU LKM yang mengecualikan

LPD dari kewajiban perpajakan.

“Itu intinya. Justru kemarin saya adu argumentasi masalah undang-undang


desa, apakah desa adat atau desa dinas. Menurut pendapat saya, adat tidak
bisa diatur dalam satu payung hukum. Adat harus diatur oleh adat bukan
undang-undang, kalau desa dinas bisa diatur dengan hukum.”

Jawaban Bapak Ajik bahwasanya UU LKM menjadikan LPD tidak kena pajak

merupakan inti dari bagaimana kaitan LPD dengan kewajiban pajak. Pendapat

Bapak Ajik ini merupakan noema yang terbentuk dari pengalamannya melihat

bagaimana perlakuan yang berlaku terkait UU Desa9 bahwa adat diatur dengan

hukum adat bukan dengan undang-undang. Karena itu, dengan berlakunya UU

LKM yang mengakui LPD berdasarkan hukum adat tidak ada kaitannya antara

LPD dengan pajak. Kesadaran yang lebih dalam (noesis) terbentuk dengan

9 Bapak Ajik dalam wawancara ini mengaitkan permasalahan posisi LPD sebagaimana posisi yang
mana yang harus diakui sebagai desa berdasarkan Undang-undang Desa. Di Bali sempat terjadi
polemik mana yang akan dipilih menjadi desa sebagaimana yang dimaksud dengan UU Desa,
apakah tetap menggunakan desa dinas sebagaimana yang telah berjalan atau menjadikan desa
pakraman sebagai desa sebagaimana yang dimaksud dalam UU Desa. Pada akhirnya desa
pakraman tetap menjadi desa yang berdasarkan hukum adat dan yang menjadi desa sebagaimana
UU Desa di Bali adalah Desa Dinas yang sudah berjalan sebelumnya.
55

melihat kasus terkait pemilihan antara desa adat dan desa dinas.

Membandingkannya dengan LPD melahirkan kesadaran yang lebih mendalam

bahwasanya LPD harus diatur dengan hukum adat, terlepas dari undang-undang.

Pemahaman atas “Aku” dari Bapak Ajik adalah “Aku bahwa LPD tidak kena pajak

karena mengacu pada hukum adat” (lihat tabel 4.2.).

Tabel 4.2.
Analisis Fenomenologi Kesadaran Atas Kewajiban Perpajakan
oleh Bapak Baik sebagai Kepala LPD KBA

Intentional Eidetic
Noema Noesis
Analysis Reduction
Itu intinya [UU LKM LPD diatur dengan LPD tidak memiliki Bapak Ajik secara
mengecualikan hukum adat. kewajiban sadar memiliki
LPD dari kewajiban perpajakan karena pemahaman
perpajakan]. LPD bersifat bagi Bapak Ajik bahwa:
khusus. LPD bukan
merupakan LPD itu tidak
LPD terlepas dari lembaga keuangan memiliki kewajiban
UU Pajak. yang diatur perpajakan karena
berdasarkan diatur dengan
peraturan- hukum adat.
peraturan seperti
lembaga keuangan UU LKM yang
lainnya. LPD merupakan hukum
merupakan negara telah
lembaga milik adat memberikan
dan telah diakui kekhususan bagi
keberadaannya LPD.
untuk beroperasi
berdasarkan Kesadaran ini bisa
hukum adat. jadi juga terbentuk
karena pemahaman
Bapak Ajik yang
membandingkannya
dengan peraturan
terkait UU Desa
yang mengatur
desa dinas di Bali
yang mana tidak
mengatur
keberadaan desa
adat.

Bapak Baik sebagai informan berikutnya mengungkapkan hal yang mirip

terkait LPD sebagai lembaga keuangan yang tidak kena pajak karena

kekhususannya sebagai berikut:


56

“Kalau masalah perpajakan dengan LPD, barangkali kemarin usulan dari


provinsi, kita, LPD itu kan milik desa adat, jadi kita [LPD] itu dikhususkan,
karena itu lembaga adat, dimohon untuk tidak kena pajak. Contohnya kayak
di nagari, ada koperasi nagari di Sumatera Barat, karena kita diprioritaskan
lembaga milik adat tidak kena pajak. Kalau BPR kan memang dia [kena
pajak]. Kayak di Nagari itu kan ada lumbung pitih-nya. Rasanya nggak kena
pajak juga, karena punya adat, itu jadinya diistimewakan.”

Bapak Baik juga mengungkapkan bahwa LPD tidak kena pajak karena

merupakan lembaga adat sehingga mendapatkan perlakuan khusus. Noema yang

mendasari LPD tidak kena pajak menurut Bapak Baik, karena LPD merupakan

lembaga adat sehingga mendapatkan kekhususan, serta berbeda dengan

lembaga keuangan seperti BPR yang kena pajak. Di sini juga terungkap bahwa

Bapak Baik memiliki kesadaran bahwa LPD tidak kena pajak ini juga ada

keterlibatan dari pihak provinsi yang memperjuangkan agar LPD tidak kena pajak.

Oleh karena itu kesadaran tersebut membentuk noesis bahwa LPD adalah

lembaga keuangan milik desa adat yang memiliki kekhususan dibandingkan

lembaga keuangan lain seperti BPR sehingga tidak kena pajak (lihat tabel 4.3.).

Kesadaran Bapak Baik adalah LPD itu dikhususkan karena merupakan lembaga

adat sebagaimana lembaga sejenis dengan LPD sehingga tidak dikenakan pajak.

Di luar informasi yang didapatkan dari informan-informan di atas, legitimasi

LPD sebagai lembaga keuangan yang tidak kena pajak sudah mendarah daging

di kalangan pelaku usaha LPD, terutama dengan lahirnya UU LKM. Hal tersebut

tidak terlepas dari sifat komunal dan organisasi LPD yang diatur Peraturan Daerah.

LPD memiliki organisasi yang namanya Lembaga Pemberdayaan Lembaga

Perkreditan Desa (LPLPD) dan Badan Kerjasama LPD (BKS-LPD) yang menaungi

LPD seluruh Bali. Adanya lembaga tersebut menjadikan suatu hal yang berkaitan

dengan LPD yang berpengaruh masif pastinya akan dibahas bersama. Pajak yang

bisa dinilai sebagai suatu hal yang berpengaruh masif terhadap LPD pastinya telah

dibahas sebelumnya, sehingga pemahaman bersama mengapa LPD tidak kena


57

pajak pasca berlakunya UU LKM yang menjadi kesadaran bersama dari informan

tidak bisa dilepaskan dari pendapat tokoh-tokoh yang ada dalam kedua struktur

organisasi LPD tersebut. Salah satunya pernyataan dari tokoh BKS-LPD provinsi

Bali Bapak Nyoman Cendikiawan dalam berita di salah satu stasiun tv lokal Bali

yang peneliti dapatkan dari youtube menyatakan bahwa LPD tidak kena pajak

karena berlakunya UU LKM. Pernyataan beliau sebagai berikut:

“...Yang lainnya tentang undang-undang LKM, LPD sudah diakui, dan poin yang
penting adalah LPD ini tidak dikenakan pajak.” (Balitv, 2013)

Sebagai organisasi yang bersifat komunal, maka Aku yang terbentuk oleh

para informan tidak terlepas dari “Aku” yang ada di dunia luar, yakni “Aku” dari

para tokoh yang berpengaruh dalam menggerakkan organisasi LPD secara luas.

Pada akhirnya memaknai bahwa UU LKM membebaskan LPD dari kewajiban

perpajakan dipengaruhi oleh pemahaman dari “Aku” tokoh yang diejawantahkan

ke dalam LPD secara keseluruhan. Para Pengurus LPD, yang dalam hal ini

tercermin dari jawaban informan konsisten menjelaskan bahwa UU LKM menjadi

pembenar bahwa LPD tidak kena pajak. Di luar informan pada penelitian ini,

Darmayasa dan Aneswari (2016), yang meneliti peran kearifan lokal terhadap

kepatuhan pajak ketika mewawancarai salah satu pengurus LPD mendapatkan

jawaban yang kurang lebih sama, bahwa LPD bukan merupakan lembaga

keuangan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang sehingga tidak kena

pajak.
58

Tabel 4.3.
Analisis Fenomenologi Kesadaran Atas Kewajiban Perpajakan
oleh Bapak Baik sebagai Kepala LPD TB

Intentional Eidetic
Noema Noesis
Analysis Reduction
“...jadi kita [LPD] itu LPD berbeda Karena LPD Bapak Baik secara
dikhususkan, dengan lembaga merupakan sadar meyakini
karena itu lembaga keuangan lain. lembaga milik adat bahwa:
adat..” maka LPD tidak
LPD bukan badan memiliki kewajiban LPD dikhususkan
usaha formal. perpajakan, apalagi karena merupakan
LPD berbeda lembaga adat yang
Sebagai bagian bentuk dan bersifat mana semua
dari lembaga adat, khusus apabila lembaga yang
LPD tidak memiliki dibandingkan sejenis dengan LPD
kewajiban dengan lembaga juga tidak
perpajakan. keuangan lain. dikenakan pajak.

Bapak Baik merasa Kesadaran ini bisa


bahwa LPD tidak jadi dipengaruhi
kena pajak juga oleh faktor
mendapatkan eksternal, yang
dukungan dari salah satunya dari
pemerintah provinsi pemerintah provinsi.
Bali.

4.3. Mendalami Kesadaran Pelaku Usaha LPD Terhadap Kewajiban

Perpajakan

Dari eksplorasi atas kesadaran pelaku usaha LPD terhadap kewajiban

perpajakan, terdapat kesadaran bahwa LPD itu adalah lembaga keuangan yang

tidak dikenakan pajak, serta tidak perlu untuk menjalankan kewajiban perpajakan.

Kesadaran sebagaimana peneliti tangkap sebagai bentuk kesadaran yang

dipengaruhi oleh pemahaman akan bentuk badan hukum LPD yang berbeda

dengan lembaga keuangan lainnya. LPD juga adalah lembaga adat yang berbeda

dengan badan hukum formal yang ada. Hal tersebut ditambah lagi dengan

pengaruh dari luar seperti dari Pemprov Bali dan struktur organisasi LPD melalui

LPLPD dan BKS-LPD yang juga menyatakan bahwa LPD tidak kena pajak. Secara
59

esensi kesadaran pelaku usaha LPD terhadap kewajiban perpajakan bahwa LPD

itu tidak dikenakan akan dijabarkan di bawah ini.

4.3.1. LPD Merupakan Lembaga Adat Bukan Badan Hukum

LPD di Provinsi Bali memiliki karakteristik yang berbeda dengan LPD di

provinsi lain. LPD di Bali berbasiskan desa pakraman sehingga berkaitan dengan

kehidupan krama desa dan merupakan milik komunal dengan lingkup operasi

hanya pada desa pakraman. Di tingkat nasional LPD yang dimaksud adalah

lembaga keuangan yang dimiliki oleh desa sesuai peraturan perundang-undangan

yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Apabila dikaitkan dengan UU

Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan yang diubah terakhir dengan UU Nomor

10 Tahun 1998, maka LPD sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 58 adalah

LPD yang dimiliki desa dinas. Di daerah lain LPD diisi oleh unsur pemerintah desa

yang menjadi pengurus dan berfungsi menggerakkan LPD tersebut, sedangkan di

Bali peran pemerintah desa bisa dikatakan minim (Nurjaya, 2011).

Nurjaya (2011) juga menyatakan bahwa perbedaan karakteristik LPD di Bali

dapat dilihat dari landasan filosofis, visi misi, dan landasan hukumnya. Secara

filosofis LPD di Bali berbasiskan hukum adat berupa awig-awig10. LPD didirikan

serta dikelola dengan awig-awig serta untuk kesejahteraan krama desa. LPD tidak

hanya berorientasi profit sebagaimana badan usaha sejenis, melainkan ada nilai

religius dan budaya, serta berkaitan dengan kewajiban skala dan niskala. LPD juga

memiliki misi untuk menjaga kehidupan budaya Bali dengan menjalankan ajaran

THK. Landasan hukum yang diacu oleh LPD adalah Pasal 18B ayat (2) yang

mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak

tradisional asalkan masih eksis dan sesuai dengan perkembangan masyarakat

serta Negara Kesatuan Republik Indonesia.

10Awig-awig adalah peraturan yang dibuat oleh desa pakraman yang disahkan dalam paruman
(musyawarah) desa pakraman dan wajib untuk dipatuhi dan dilaksanakan oleh krama desa.
60

SKB Tiga Menteri (Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri

Koperasi dan UKM) dan Gubernur Bank Indonesia tentang Strategi

Pengembangan LKM yang mengharuskan LPD sebagai LKM wajib untuk memilih

salah satu dari tiga bentuk badan hukum BPR, koperasi, atau BUMD tidak tepat

untuk LPD di Bali. Hal ini dikarenakan LPD di Bali bukanlah LPD sebagaimana

yang dimaksud oleh peraturan perundang-undangan yang ada. LPD yang

dimaksud berdasarkan peraturan sebagaimana pendapat dari Nurjaya, (2011)

adalah LPD yang didirikan pemerintah sebagai badan usaha publik dengan

berorientasi profit. Oleh karena berorientasi profit, maka LPD seperti itu menjadi

objek pajak. LPD yang ada di Bali berbeda dengan konsep yang dianut oleh

peraturan-peraturan tersebut. LPD di Bali bukan merupakan badan usaha publik,

melainkan hanya melingkupi masyarakat adat dengan berlandaskan pada hukum

adat, serta berorientasi non profit sehingga tidak menjadi objek pajak.

Walaupun ada inisiasi Pemprov Bali dalam pendirian LPD dengan

mengeluarkan Pergub dan Perda yang menjadi dasar berkembangnya LPD di Bali.

Peran peraturan tersebut hanya untuk menjaga eksistensi LPD dan menjadikan

Pemerintah sebagai pembina dan pengawas LPD hanya sebagai bentuk tanggung

jawabnya melindungi dan mengatur kehidupan masyarakat. Pengelolaan dan

pengaturan LPD yang lebih spesifik berada dalam lingkup desa pakraman dengan

mengedepankan hukum adat sebagai acuan. Penggunaan hukum adat ini

menjadikan LPD di Bali bukan merupakan badan hukum yang menjadi subjek

hukum sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di

Indonesia.

Badan hukum merupakan organisasi, perkumpulan, atau paguyuban lainnya

yang pendiriannya berdasarkan akta otentik yang oleh hukum diperlakukan

sebagai persona/orang (Hukumonline.com, 2007). Peraturan dasar yang


61

mengatur badan hukum adalah Kitab Undang-undang Hukum Perdata

(KUHPerdata) Bab IX. Pasal 1653 menyebutkan bahwa selain perseroan perdata,

perhimpunan orang-orang yang dibentuk dari kekuasaan, atau dibentuk

berdasarkan undang-undang juga merupakan badan hukum yang diakui undang-

undang selama tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan.

Selanjutnya Pasal 1654 pada intinya menyatakan bahwasanya semua badan

hukum yang sah memiliki kuasa untuk melakukan perbuatan perdata, dengan

tetap memperhatikan perundang-undangan lain yang bersifat khusus yang

membatasinya.

Ali (1991) menyatakan bahwa di Indonesia badan hukum dapat digolongkan

berdasarkan macamnya, jenisnya. penjelasan atas ketiganya yaitu:

1. Badan hukum berdasarkan macamnya.

Berdasarkan dasar hukum, di Indonesia dikenal dua macam badan hukum

yaitu badan hukum orisinil dan badan hukum yang tidak orisinil. Badan hukum

orisinil yaitu negara. Badan hukum yang tidak orisinil yaitu badan hukum yang

berupa perkumpulan berdasarkan ketentuan KUHPerdata Pasal 1653.

Dengan mempertimbangkan Pasal 1653 dan Pasal 1654 KUHPerdata

terdapat empat jenis badan hukum yaitu:

a. Badan hukum yang didirikan oleh kekuasaan umum, contohnya: provinsi,

kotapraja, bank-bank yang didirikan oleh negara;

b. Badan hukum yang diakui oleh kekuasaan umum, contohnya: perseroan,

gereja-gereja, waterschapen seperti subak di Bali;

c. Badan hukum yang diperkenankan karena diizinkan;

d. Badan hukum yang didirikan untuk suatu maksud atau tujuan tertentu.
62

Badan hukum pada poin c dan d dinamakan pula sebagai badan hukum

dengan konstruksi keperdataan. Contoh dari badan hukum ini adalah partai

politik dan perseroan terbatas.

2. Badan hukum berdasarkan jenisnya

Menurut penggolongan hukum, yaitu golongan hukum publik dan hukum

perdata, badan hukum dapat dibagi menjadi badan hukum publik dan badan

hukum perdata. Badan hukum yang merupakan badan hukum publik di

Indonesia adalah negara, provinsi, kotapraja, Bank Indonesia, sedangkan

badan hukum perdata meliputi perkumpulan yang diatur dalam Pasal 1653

KUH Perdata juga Stb. 1870-64 dan Stb. 1939-570, rederij yang diatur dalam

Pasal 323 KUHD, kerkgenootschappen yang diatur dalam Stb 1927-156,

Koperasi, yayasan, dan lain-lain.

3. Badan hukum menurut sifatnya

Menurut sifatnya badan hukum dibagi menjadi dua yaitu korporasi dan

yayasan. korporasi yang dimaksud menurut Utrecht dan Djindang dalam Ali

(1991) adalah “suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak

bersama-sama sebagai satu subjek hukum tersendiri-suatu sonifikasi”,

sedangkan yayasan sebagaimana yang disebutkan dalam UU 16 Tahun 2001

Tentang Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang

dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial,

keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.

Makin menarik melihat posisi LPD apabila ditarik ke bentuk badan usaha

yang diakui di Indonesia. Secara yuridis badan usaha di Indonesia dapat

dibedakan atas badan usaha yang berbadan hukum dan badan usaha yang tidak

berbadan hukum. Perbedaan mendasar kedua bentuk ini adalah terkait subjek

hukum dan pemisahan harta. Badan usaha yang berbadan hukum, subjek
63

hukumnya adalah badan usaha itu sendiri. Harta kekayaan yang dimiliki oleh

badan usaha terpisah dari harta kekayaan pribadi pengurus/anggota. Sebaliknya,

badan usaha yang tidak berbadan hukum yang menjadi subjek hukum adalah

orang-orang yang menjadi pengurus dan juga kekayaan badan usahanya menyatu

dengan kekayaan pengurus/anggota. Bentuk badan usaha yang berbadan hukum

antara lain: Perseroan Terbatas (PT), Perusahaan Negara (PN), Perusahaan

Daerah (PD), Koperasi, Perusahaan Umum (Perum), Perusahaan Jawatan

(Perjan), Persero, dan Yayasan. Bentuk badan usaha yang tidak berbadan hukum

antara lain: firma, dan CV.

Dari penjelasan di atas tidak terlihat secara eksplisit bahwa LPD merupakan

badan usaha baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum

sebagaimana yang dimaksud dalam hukum negara (Sukandia, 2011). UU Nomor

3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan hanya mengakui badan hukum

seperti koperasi, persekutuan perdata, perorangan, dan bentuk-bentuk

perusahaan baru sesuai dengan perkembangan perekonomian sebagai badan

usaha. LPD hanya didirikan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bali dan

pengaturannya lebih dalam melalui awig-awig desa pakraman. LPD tidak

mengenal akta notaris terkait legalisasi pendiriannya. Kegiatannya diatur dengan

hukum adat walaupun dalam pengelolaan menggunakan manajemen modern

dengan mengadopsi sistem di industri perbankan.

Karena hal di atas, para pelaku usaha LPD memaknai dan memiliki

kesadaran bahwa LPD tidak kena pajak. Ketika LPD diminta menjadi BPR

sebagaimana ketentuan UU Perbankan dan ditetapkan melalui SK Gubernur Bak

Indonesia ditolak. Begitu juga ketika tahun 2009 melalui SKB Tiga Menteri dan

Gubernur BI menetapkan LPD untuk memilih salah satu bentuk badan usaha juga

ditolak. Penolakan itu disebabkan karena dengan menjadi badan usaha yang
64

berbadan hukum ada konsekuensi yang harus ditanggung oleh LPD. LPD

kehilangan filosofi dasarnya yaitu lembaga keuangan yang dimiliki oleh krama

desa yang memiliki sifat komunal, serta memiliki kewajiban perpajakan karena

dengan menjadi badan usaha yang berbadan hukum menjadi kena pajak

(Kurniasari, 2007; Nurjaya, 2011).

Konsekuensi LPD menjadi kehilangan akarnya apabila menjadi badan usaha

sebagaimana yang diminta oleh peraturan-peraturan yang berlaku. Terdapat sifat

khas dari LPD apabila dibandingkan dengan lembaga keuangan yang berbadan

hukum sebagaimana yang diatur dalam hukum negara. Sukandia (2011)

membandingkan sifat khas LPD dengan lembaga keuangan lainnya sebagai

berikut:

Tabel 4.4.
Perbandingan Sifat Khas LPD dengan Lembaga Keuangan Lainnya

Indikator
No. LPD Bank BPR LMKM Koperasi
Pembanding
Dasar Pasal 18B Pasal 33 Pasal 33 Pasal 33 Pasal 33
1.
Konstitusional UUD 1945 UUD 1945 UUD 1945 UUD 1945 UUD 1945
UU
Pemerin- UU UU
2. Dasar Hukum UU UMKM UU Koperasi
tahan Perbankan Perbankan
Daerah
Keuntung- Keuntung-
Pemeliha- Keuntung- Kesejah-
Motif an an
3. raan an teraan
Pembentukan Perusaha- Perusaha-
Budaya Perusahaan Anggota
an an
Pemegang Pemegang
Pemilik
Komunitas Saham/Indi Saham/Indi Anggota
4. Kepemilikan Modal/Pers
Adat vidu/ vidu/Peru- Koperasi
eorangan
Persahaan sahaan
Pilihan Pilihan Pilihan
Keanggotaan Tertutup, Bebas Bebas Bebas
5. Sukarela
Pemilik keharusan Pemegang Pemegang Pemilik
Saham Saham Modal
Lembaga
Manajemen Manajemen Manajemen Manajemen
6. Pengelolaan Keuangan
Bank Bank Perusahaan Koperasi
Desa Adat
Terbatas
Pelayanan Terhadap Masyarakat Masyarakat Masyarakat Anggota
7.
Transaksi anggota umum umum umum koperasi
komunitas
Sumber: (Sukandia, 2011)
65

Kesadaran ini yang kemudian peneliti tangkap bahwasanya para informan

memiliki pemahaman yang memiliki kewajiban perpajakan adalah badan usaha

yang memang memenuhi kriteria badan usaha berdasarkan hukum di Indonesia.

Pada titik ini para informan memiliki kesadaran bahwa LPD itu berbeda dengan

kriteria badan usaha yang diatur dalam hukum di Indonesia. LPD merupakan

lembaga yang dimiliki oleh adat yang mana lingkup kegiatannya sebatas pada

wilayah desa pakraman dan motif yang dituju bukan sekedar mencari keuntungan.

4.3.2. LPD Diakui Untuk Tidak Kena Pajak Berdasarkan Undang-undang

Pada tanggal 11 Desember 2012 dalam rapat paripurna yang digelar oleh

DPR RI akhirnya RUU Tentang LKM disetujui menjadi Undang-undang. Kemudian

pada tanggal 8 Januari 2013 UU ditandatangani oleh presiden sehingga sah

menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan

Mikro. Undang-undang ini merupakan kado terindah bagi provinsi Bali yang dari

awal telah memperjuangkan agar LPD mendapatkan perlakuan khusus. Bukan

saja bagi pemerintah provinsi, berbagai komponen masyarakat Bali, terutama

yang terkait dengan LPD berbahagia atas lahirnya undang-undang ini.

Salah satu pasal dari 42 pasal dalam UU LKM mengakui keberadaan LPD.

Pasal 39 ayat 3 pada intinya menyatakan bahwa LPD sebagai lembaga keuangan

yang telah eksis sebelum berlakunya Undang-undang LKM diakui keberadaannya

sebagai lembaga keuangan yang berdasarkan hukum adat dan tidak tunduk pada

UU LKM. Selain mengakui LPD, UU LKM juga mengakui keberadaan Lumbung

Pitih Nagari (LPN) dan lembaga keuangan yang sejenis. Adanya udang-undang

ini maka LPD yang sebelumnya selalu diminta oleh pemerintah pusat untuk

bertransformasi menjadi badan usaha yang berbadan hukum mendapatkan status

khusus dari pemerintah. LPD tidak perlu bertransformasi menjadi badan hukum

layaknya lembaga keuangan lainnya, tidak perlu menjadi BPR, tidak perlu juga
66

menjadi PT ataupun koperasi. LPD tetap berjalan dengan statusnya saat ini,

menjadi lembaga keuangan berbasis komunal yang dimiliki oleh masyarakat desa

adat serta menjalankan operasional dengan aturan tersendiri yaitu aturan adat

yang dalam hal ini adat Bali.

Keberadaan UU LKM ini pula yang akhirnya melahirkan kesadaran

bahwasanya LPD itu telah diakui kekhususannya oleh pemerintah pusat.

Kekhususan untuk beroperasi berdasarkan hukum adat. Kekhususan ini yang

kemudian dimaknai oleh para informan bahwa LPD dibebaskan dari kewajiban

perpajakan. Laba yang diperoleh LPD tidak dikenakan pajak dan juga tidak perlu

memiliki NPWP. Karena dipahami bahwa LPD itu yang beroperasi berdasarkan

hukum adat berbeda dengan lembaga keuangan lainnya sebagaimana yang diatur

dalam UU LKM. Adanya kesadaran bahwa lembaga keuangan lainnya

sebagaimana yang disebutkan dalam UU LKM lah yang memiliki kewajiban

perpajakan.

Kesadaran Bapak Nyoman, Bapak Ajik, Bapak Baik terlihat jelas sangat

mirip. Mereka memiliki kesadaran bahwasanya dengan berlakunya UU LKM

pemerintah pusat telah mengakui keberadaan LPD yang selama ini selalu

dihinggapi polemik karena bentuk usahanya yang dimiliki oleh desa adat.

Kesadaran bahwa pajak tidak dikenakan kepada lembaga milik adat yang hanya

melingkupi komunitas adat.


BAB V

ESENSI PAJAK SEBAGAI BEBAN

“The power to tax is the power to destroy”

Jhon Marshal

5.1. Pengantar

Bali sebagai salah satu provinsi dari 34 provinsi yang ada di Indonesia

memiliki ciri khas yang berbeda dibandingkan dengan provinsi dan pulau-pulau

lainnya yang ada di Indonesia. Kehidupan masyarakat Bali sangat dipengaruhi

oleh kehidupan adat dan budaya yang dilandasi dengan ajaran Hindu. Hal tersebut

menjadikan Bali terkenal di mancanegara, menjadikannya sebagai destinasi

wisata dunia yang juga merupakan destinasi wisata paling utama di Indonesia.

Hampir 40% wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia menginjakkan

kakinya pertama kali ke Bali sebelum akhirnya berkunjung ke bagian lain dari

Indonesia. Jumlah kunjungan wisatawan asing ke Bali pada tahun 2015 mencapai

4.001.835 orang (Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, 2016) dari total wisatawan

mancanegara yang berkunjung ke Indonesia selama tahun 2015 sebanyak

10.406.759 orang (Kementerian Pariwisata, 2016).

Pariwisata telah menjadi penggerak dan inti perekonomian dari

perekonomian Bali. Sebuah pulau kecil tanpa kekayaan sumber daya mineral

layaknya Sumatera, Kalimantan, dan Papua, dan juga tidak menjadi basis industri

manufaktur layaknya pulau Jawa. Perkembangan industri pariwisatalah yang

menjadikan Bali tanpa kekayaan sumber daya alam dapat berkembang

perekonomiannya. Berdasarkan data, pertumbuhan ekonomi provinsi Bali di atas

pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan perekonomian provinsi Bali untuk

67
68

tahun 2015 sebesar 6,04% (Badan Pusat Statistik, 2016) yang mana pertumbuhan

ekonomi nasional hanya sebesar 4,79% (Badan Pusat Statistik, 2016).

Faktor penentu lainnya, yang menjadikan pariwisata dapat berkembang di

Bali karena keindahan pulau Bali itu sendiri. Tercipta dan terjaganya keindahan

pulau Bali lagi-lagi tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai adat yang berakar kuat dari

ajaran Hindu yang masih tetap dipegang oleh sebagian masyarakat Bali. Ajaran

Hindu melalui Konsep Tri Hita Karana berperan besar dalam menjaga keadaan

lingkungan di Bali. Tri Hita Karana merupakan Filosofi Hindu yang menekankan

terciptanya keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha

Esa (parhyangan), manusia dengan lingkungan (palemahan), dan manusia

dengan sesama (pawongan) (Bagiada dan Darmayasa, 2015; Damayanthi, 2011;

Djayastra, 2012). Oleh karena itu dalam pandangan masyarakat Bali selain wajib

berbakti kepada Tuhan dan menjaga hubungan antar sesama, menjaga alam agar

tetap lestari menjadi sangat penting dan merusak alam adalah suatu tindakan

berdosa. Bentuk menjaga lingkungan tidak hanya yang bersifat fisik tetapi juga non

fisik. Bentuk fisik dimulai dari tata cara pembangunan, pembagian mana daerah

yang layak ditempati dan tidak ditempati, menjaga agar selalu ada tumbuhan di

sekitar rumah dan masih banyak lagi. Aspek non fisik terkait dengan aspek

spiritual, yang mana manusia Bali selalu menjaga lingkungan dengan melakukan

ritual yang ditujukan untuk menjaga keharmonisan alam.

Pada titik inilah peran LPD menjadi penting. LPD berperan membantu

meringankan beban krama untuk dapat menjaga adat dan budaya Bali. Laba LPD

yang diserahkan ke desa pakraman digunakan untuk membiayai berbagai aktivitas

adat dan budaya yang juga merupakan aktivitas keagamaan. Menanggung beban

untuk berkontribusi dalam menjaga adat dan budaya membentuk kesengajaan

(intentionality) untuk tidak mau dikenakan pajak karena pajak yang dibayar tidak
69

menjamin masyarakat adat dapat mempertahankan adat dan budaya Bali yang

menjadi nilai-nilai kehidupan bagi mereka.

Bab ini mengungkap bagaimana peranan LPD sebagai benteng adat dan

budaya Bali. Peranan LPD yang begitu besar meringankan beban krama desa

untuk mempertahankan adat. Peranan ini tercermin dalam kegiatan LPD

sebagaimana yang peneliti dapatkan selama penelitian. Para informan penelitian

mengungkapkan kesadaran mereka bagaimana LPD telah berperan aktif

membangun desa pakraman untuk dapat mempertahankan adat dan budaya Bali.

Kesadaran yang dibentuk karena pengalaman dan interaksi dalam mengelola LPD

menjadikan adanya pemahaman bahwa LPD bukan saja berfungsi mencari laba,

melainkan ada misi sosial budaya yang terkandung dalam aktivitas usaha LPD,

yang mana hal tersebut akan tereduksi apabila LPD juga dikenai pajak karena

pajak menjadi beban tambahan yang akan ditanggung oleh LPD.

5.2. Eksplorasi Atas Kesadaran Tidak Bersedia Dikenakan Pajak

LPD merupakan lembaga keuangan yang telah berkembang pesat di Bali.

Peran LPD begitu besar dalam membantu kehidupan di desa pakraman. Hal itu

pula yang menjadikan LPD sampai saat ini tidak bersedia dikenakan pajak. Dalam

mengeksplorasi kesadaran informan, peneliti memulainya dengan bagaimana

kesadaran mereka terhadap peran LPD. Bapak GA mengungkapkan bagaimana

peran LPD yang besar tersebut sebagai berikut:

“Sebelum ada LPD, kramanya ini urunan wajib, iuran wajib dan kegiatan di
banjar ini setiap enam bulan sekali, kemudian setiap 15 hari sekali purnama
tilem11 kajeng kliwon12,ini kan harus dibiayai oleh adat dengan iuran. Ini kita
baru bicara desa, kemudian dia turun sistem di desa adat ini. Di adat di bali

11 Tilem merupakan bulan mati dalam sistem kalender Hindu.

12 Kajeng Kliwon merupakan hari yang perhitungannya jatuh pada Tri Wara yaitu Kajeng dan Panca
Wara yaitu Kliwon. Pertemuan antara Kajeng dengan Kliwon, diyakini sebagai saat energi alam
semesta yang memiliki unsur dualitas bertemu satu sama lainnya. Energi dalam alam semesta
yang ada di Bhuwana Agung semuanya terealisasi dalam Bhuwana Alit atau tubuh manusia itu
sendiri.
70

kan ada banjar, lagi punya bale banjar13. Lagi bangun bale banjar. Bale
banjar ini kan ada puranya, juga kena ini kan. kegiatannya sama. Kemudian
banjar ini punya turun lagi punya paibon14, kelompok klan, lagi kena ini juga.
Lagi ada sanggah merajan15. Gimana kalau komunitas ini nggak kuat,
[bagaimana] kalau bebannya di desa aja”

Bapak GA menyadari bagaimana beratnya beban krama terkait aktivitas

keagamaan yang harus dijalankan oleh krama desa apabila krama desa harus

selalu mengeluarkan iuran untuk membiayai upacara keagamaan. Bapak GA

memiliki kesadaran mendalam bahwasanya aktivitas yadnya dapat menjadi beban

bagi krama apabila krama tidak memiliki kemampuan ekonomi. Oleh karena itu

desa adat yang harus membiayai semua aktivitas tersebut. Pada titik inilah LPD

berperan penting. Dengan adanya LPD maka beban itu menjadi tanggungan desa

pakraman, sehingga urunan tidak diperlukan lagi, karena dana untuk membiayai

aktivitas keagamaan tersebut berasal dari LPD.

Kesadaran ini yang kemudian melahirkan intentionality untuk menjadikan

LPD makin besar dan dipercaya oleh krama adat. Adanya kepercayaan yang tinggi

maka LPD tetap dapat berperan membantu krama terkait yadnya. Krama tidak

perlu mengeluarkan iuran untuk upacara agama yang dilakukan pada tingkatan

desa pakraman. Agar LPD tidak sampai mengalami kemunduran, memunculkan

kesadaran bagi Bapak GA untuk menjaga LPD dari munculnya kepentingan politik

dan pribadi yang dapat merusak reputasi LPD yang telah berhasil dibangun oleh

Bapak GA.

“Inilah ******[menyebutkan nama LPD] ini, jangan sampailah rusak karena


hal-hal kepentingan pribadi, apalagi sampai kena politik. Resiko lembaga
keuangan ini kan di atas reputasi kah, kepercayaan kah terkunci kan. Aset
saya, ***[menyebutkan angka ratusan miliar], hutang saya ****[menyebutkan
angka ratusan miliar], modal saya Cuma **[puluhan miliar]. Ini kan nomer

13 Bale Banjar merupakan tempat seperti balai pertemuan yang berada pada tingkatan banjar
(seperti dusun di Jawa) yang digunakan untuk berbagai aktivitas sosial, seperti untuk rapat,
berlatih kesenian, dan banyak aktivitas sosial keagamaan lainnya.

14 Paibon adalah pura yang dimiliki oleh suatu keluarga besar yang terdiri dari beberapa kumpulan
keluarga yang memiliki klan yang sama dan terdiri dari kumpulan beberapa merajan.

15 Merajan adalah pura yang dimiliki oleh satu keluarga yang berada di rumah utama.
71

satu ini reputasi dan kepercayaan itu jangan sampai terjadi rush. Kalau
sudah terjadi rush, siapa bisa berbuat, likuiditas artinya ketercukupan
bagaimana pembiayaan [desa pakraman] hidup [berjalan].

Pernyataan ini menunjukkan Bapak GA menyadari bahwa LPD sebagai

lembaga keuangan mengandalkan dana dari pihak ketiga untuk mendanai aktivitas

simpan pinjamnya sebagaimana yang tercermin dalam laporan keuangan di LPD

yang beliau kelola. Dengan mengandalkan dana dari pihak ketiga, yang mana

dana pihak ketiga mencapai 94%, maka reputasi LPD merupakan hal penting.

Apabila terjadi rush yang disebabkan oleh hilangnya trust, dapat mengganggu

likuiditas LPD. Tentu saja hal tersebut berpengaruh pada laba LPD. Dampak

hilangnya trust ini yang disadari oleh Bapak GA.

Hilangnya kepercayaan akan berdampak bagi pembiayaan di desa

pakraman. Desa pakraman akan kehilangan sumber pembiayaan untuk aktivitas

keagamaan, padahal saat ini peran LPD yang dipimpin oleh Bapak GA bagi desa

adatnya sangat besar. Bermacam-macam aktivitas keagamaan yang merupakan

bentuk yadnya dibiayai oleh LPD. Bahkan LPD juga membantu membiayai

upacara ngaben masa yang diadakan tiap tiga tahun sekali di samping upacara

yadnya yang dilakukan oleh desa pakraman secara rutin.

Bapak GA ketika ditanyakan apakah LPD merupakan subjek pajak atau tidak

secara tersirat mengungkapkan bahwa LPD bukan merupakan subjek pajak. LPD

bukan merupakan subjek pajak karena atas penghasilannya itu kembali kepada

masyarakat.

“Apanya yang dipajakin? Penghasilannya kan untuk kembali pada


masyarakat. Desa adat ini kan, adat itu kan agama Hindu Bali. ada pura, ada
upakaranya, pura ini kan fisik, upakara kan ritualnya sebagai budaya bali
yang sumbernya pariwisata. [selanjutnya yang bersangkutan bercerita
tentang berbagai hal terkait investasi LPD untuk membiayai kegiatan desa
pakraman sebelum akhirnya menyinggung kata kunci penting berikut ini]
Dari LPD dalam bentuk investasi oleh desa adat dengan perhitungan-
perhitungannya ini. Baru dia bisa menopang krama itu, kalau [dipajakin] lagi
apa pajak bisa memberikan timbal balik?”
72

Bapak GA merasa bahwa LPD bukan subjek pajak karena dari LPD tidak ada

yang bisa “dipajaki”. Pendapat ini merupakan noema yang muncul dari

pengalamannya sebagai Kepala LPD selama dua puluh tahun tahun lebih, yang

mana selama memimpin tersebut Bapak GA melihat sendiri bagaimana laba yang

diperoleh LPD-nya digunakan kembali untuk desa adat. Kesadaran itulah yang

akhirnya membentuk kesadaran lebih mendalam bahwa penghasilan dari LPD

tidak kena pajak. Dengan penghasilan yang diterima tersebut digunakan untuk

menjaga budaya bali, sedangkan kontribusi dari pajak tidak memberikan timbal

balik langsung bagi adat dan budaya Bali. Pemahaman ini melahirkan pemahaman

atas “Aku” oleh Bapak GA adalah “Aku sebagai kepala LPD berkewajiban

menggunakan laba dari LPD untuk aktivitas di desa adat sehingga bisa menjaga

budaya Bali, sehingga Aku sadar bahwa itulah mengapa LPD tidak kena pajak”.

Peneliti kembali mengeksplorasi apakah Bapak GA pernah bersinggungan

dengan pajak atau tidak. Dari eksplorasi ini terungkap bahwa selain sebagai

kepala salah satu LPD besar di Bali, beliau juga memiliki usaha yang

menjadikannya wajib pajak. Bahkan Bapak GA telah memiliki NPWP sejak tahun

1996. Memiliki NPWP dan memiliki kegiatan usaha lain sejak lama menjadikan

Bapak GA sadar bahwasanya di LPD terdapat kewajiban perpajakan. Bapak GA

memahami apabila suatu badan usaha memiliki kewajiban untuk memotong

penghasilan karyawannya.

“Artinya saya memandang tujuan untuk mempercepat kemakmuran [peran


LPD meningkatkan kemakmuran krama desa pakraman] itu, tidak
bertentangan dengan negara, dan tidak menghancurkan keberadaan
negara. Hal yang tak selaras ini kan yang menjadi penelitian. Misalnya, ini
LPD usaha pakai tenaga kerja, dapat penghasilan lumayan, bagaimana
penghasilan individunya. Badannya yang perlu NPWP jani [sekarang]? Ada
nggak NPWP kelompok yang tidak berbadan hukum? Saya kurang tahu
sebenarnya, kalau misalnya ada silahkan ditindaklanjuti agar tidak merusak
sistem. Jangan jadi teladan yang jelek. Proses pelaksanaannya harus
konsisten, tidak tebang pilih.”
73

Bapak GA memiliki kesadaran eksplisit (noema) bahwa LPD sebagai

lembaga keuangan adat yang berperan meningkatkan kemakmuran harus tetap

berjalan sesuai aturan negara bukan malah merusak tatanan sistem negara yang

telah ada. Bagi Bapak GA, apabila memang ada ketentuan memperbolehkan

badan usaha tidak berbadan hukum seperti LPD memiliki NPWP maka perlu untuk

ditindaklanjuti. Apabila hal tersebut dilakukan maka Bapak GA menekankan

perlunya konsistensi dan tidak tebang pilih dalam pelaksaannya oleh DJP.

Kesadaran ini terbentuk karena pengalaman Bapak GA yang memiliki kegiatan

usaha sehingga Bapak GA setidaknya memiliki pemahaman atas pajak dan

pengalaman terkait interaksi dengan DJP. Kesadaran ini membentuk kesadaran

lebih mendalam (noesis) bahwa badan usaha memiliki kewajiban perpajakan.

Dengan itu memunculkan pemahaman atas “Aku” oleh Bapak GA yaitu, “Aku

walaupun menolak laba LPD kena pajak, tapi Aku sadar bahwa sebagai badan

usaha LPD ada kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi, tugas DJP untuk

melakukannya dengan konsisten dan tidak tebang pilih” (lihat tabel 5.1.).

Bapak Ajik yang merupakan seorang pengurus dengan jabatan sekretaris

pada LPD KBA juga mengungkapkan kesadarannya terkait LPD. Beliau menyadari

bagaimana peran LPD dalam meringankan pengeluaran krama untuk membiayai

kegiatan adat dan agama di desa adatnya. Beliau juga menunjukkan bahwa LPD

tidak hanya berorientasi laba.

“Sudah ada ketentuan pembagian laba. LPD tidak semata-mata mencari


keuntungan. Dana LPD kebanyakan dari pihak ketiga, tidak ada pungutan
untuk anggota LPD. Khusus LPD ***[menyebutkan nama LPD] sebagian
besar labanya untuk menunjang aci16.

Bapak Ajik menyadari bahwa LPD mengandalkan dana pihak ketiga. LPD

dalam aktivitasnya tidak semata-mata menjadi lembaga keuangan yang

16
Aci merupakan suatu istilah terkait sesaji yang dipersembahkan Kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa sebagai bentuk bakti dan ketaatan atas segala anugerah yang telah diberikan kepada umat
manusia .
74

berorientasi pada profit, melainkan memiliki tujuan lebih dari itu. Selain itu Bapak

Ajik menyadari bahwa LPD memiliki peran untuk membiayai kegiatan yadnya. Hal

itu tercermin dari sebagian besar laba LPD digunakan untuk biaya aci yang

merupakan bentuk yadnya krama kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Tabel 5.1.
Analisis Fenomenologi Kesadaran Atas Kewajiban Perpajakan LPD
oleh Bapak GA selaku Kepala LPD PT

Intentional Eidetic
Noema Noesis
Analysis Reduction
Penghasilan LPD LPD melalui laba Bapak GA selalu Bapak GA secara
kembali pada yang diperoleh berupaya untuk dapat sadar menyadari
masyarakat. berperan dalam terus memperbesar bahwa:
yadnya. LPD yang
Peran LPD tidak dipimpinnya karena Sudah tugasnya
boleh bertentangan Pajak tidak bisa laba yang diperoleh untuk menjadikan
dengan negara. memberikan imbal LPD sebagaimana LPD besar.
balik. dilakukan oleh Bapak
GA dikembalikan ke Laba yang diperoleh
Pajak mengurangi desa pakraman LPD digunakan untuk
besaran kontribusi ke melalui berbagai aktivitas adat dan
desa pakraman. macam bentuk yang agama di lingkup
berkaitan dengan desa pakraman.
Semua badan usaha aktivitas adat dan
memiliki kewajiban agama masyarakat Membayar pajak tidak
perpajakan. Hindu Bali. Hal ini menjamin
bertolak belakang diperolehnya
dengan membayar kontribusi langsung
pajak yang tidak bagi krama desa.
memberikan imbal
balik langsung bagi LPD memiliki
desa pakraman. kewajiban perpajakan
terkait gaji yang
diterima pegawai.

Kesadaran ini bisa


jadi terbentuk karena
pengalaman Bapak
GA selama
memimpin LPD dan
juga terlibat dalam
aktivitas usaha yang
dimiliki di luar LPD.

Selanjutnya peneliti mencoba untuk bertanya terkait biaya aci serta menggali

mengapa Bapak Ajik bisa menyadari bahwa LPD tidak hanya berorientasi profit

sehingga diperoleh pernyataan sebagai berikut:

“Pakai biaya di tiap bulan, rata-rata aci untuk desa pekraman tiap tahunnya
adalah 225 juta. Ya. Kalau tidak ditanggung LPD, keuntungan LPD jadi besar
75

tapi tidak sesuai dengan tujuan awal pendirian LPD yaitu membuat adat
menjadi mandiri....”

Ternyata ketika peneliti menggali lebih dalam, terungkap bahwa biaya aci

yang merupakan bentuk yadnya, langsung diambilkan dari biaya operasional diluar

20% laba yang diserahkan kepada desa pakraman. Menarik, bagaimana cara

pandang Bapak Ajik ini mendobrak pemahaman akuntansi modern yang selalu

mementingkan bottom line sehingga melahirkan manajemen laba. Asumsi yang

digunakan dalam manajemen laba yaitu manajer akan memilih kebijakan

akuntansi atau keputusan yang dapat memengaruhi laba dengan tujuan

memperoleh penghargaan spesifik yang berkaitan dengan tujuan laporan

keuangan karena manajer memiliki kepentingan atas laba (Scott, 2009). Salah

satu bentuk manajemen laba menurut Scott (2009) adalah memaksimasi

pendapatan dengan tujuan untuk mendapatkan bonus. Lahirnya maksimasi

pendapatan untuk tujuan bonus tidak bisa dipisahkan dari pengukuran kinerja

untuk pemberian bonus yang masih menekankan pada kinerja laba.

Pemikiran Bapak Ajik berbeda dengan teori manajemen laba tersebut. Bapak

Ajik masih memiliki pemikiran bagaimana LPD-nya dapat berkontribusi pada desa

pakraman sehingga desa pakraman bisa mandiri. Sehingga biaya aci yang

dikeluarkan langsung dibebankan dari kegiatan operasional. Bapak Ajik

mengabaikan bahwa sebagai pengurus LPD, mereka mendapatkan jasa produksi

yang juga diukur dari laba sebagaimana yang diatur dalam Perda No. 8 Tahun

2002 sebagaimana diubah terakhir dengan Perda No. 4 Tahun 2012 bahwa

pengurus dan karyawan LPD berhak atas jasa produksi yang besarnya adalah

10% dari laba. Bapak Ajik tidak mengambil kebijakan yang menguntungkannya

dengan cara tidak mengakui biaya aci melalui biaya operasional, melainkan

menjadikannya bagian dari 20% bagian laba yang diberikan kepada desa

pakraman atau merupakan bagian 5% dana sosial. Pemilihan kebijakan ini


76

menunjukkan adanya pemahaman dan kesadaran yang berbeda dari Bapak Ajik.

Terlihat adanya kesadaran mendalam (noesis) dari Bapak Ajik bahwa dia sebagai

pengurus LPD harus dapat berperan menjadikan desa pakraman mandiri dengan

menggunakan LPD sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut

membentuk kesengajaan (intentionality) untuk bertindak membebankan biaya aci

langsung dari kegiatan operasional LPD tanpa harus diambil dari laba yang

diberikan kepada LPD karena menyadari bahwa laba bukanlah tujuan utama dari

LPD.

Dalam menunjang terlaksananya yadnya, peran masyarakat desa pakraman

juga tidak bisa diabaikan. Masyarakat desa pakraman berperan penting sehingga

LPD bisa membiayai kegiatan yadnya yang sifatnya rutin di desa pakraman melalui

tabungan masyarakat yang disetor satu kali yang mana bunga tabungan tersebut

yang kemudian digunakan untuk membiayai yadnya.

“Ada program, tiang [saya] lupa sampaikan kalau di sini namanya program
TAMAS. Masyarakat adat itu per KK mengeluarkan uang 500 ribu. Nah, dari
uang itulah, dari 1750 [KK] nika ada istilahnya dia prai [tidak menabung] kira-
kira sampai 150an KK. Jadi 1650 itu lah yang masuk program TAMAS.
Program TAMAS itu bunganya yang terkumpul itu sampai 104 [juta]. Untuk
nambah 104 [juta] itu menjadi 225 [juta], saya buatkan menjadi biaya aci
bulanan. Tiang buatkan dari fee pungutan-pungutan air, listrik, pajak. Beli
motor itu kan tiang dapat 250 ribu, itu tiang bawa ke sana. Dari bunga itulah
nanti bisa dikumpulkan sebesar lebih kurang 225 juta, yang pastinya sekian.
Untuk kelebihannya yang bisa tiang dapatkan apakah dari fee ataukah
deposito, kalau sudah lebih dari 225 maka akan tiang buatkan deposito.”

Tiap KK mengeluarkan uang sebesar Rp500 ribu untuk pertama kalinya yang

digunakan sebagai dana abadi untuk membiayai yadnya. Dari tabungan tersebut

diperoleh bunga sebesar Rp104 juta yang kemudian membantu mengurangi

pengeluaran LPD untuk membiayai aktivitas yadnya di desa pakraman yang

setahunnya mencapai Rp225 juta. Bapak Ajik menceritakan bagaimana LPD-nya

memanfaatkan berbagai macam fee yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan

dana yadnya. Dari fee jasa pembayaran yang dilayani oleh LPD, serta fee dari
77

krama yang membeli kendaraan bermotor roda dua dari dealer yang telah

bekerjasama dengan LPD, semuanya dikumpulkan dalam bentuk simpanan yang

kemudian digunakan untuk aktivitas yadnya.

Aktivitas Bapak Ajik melalui LPD yang dikelolanya berkolaborasi dengan

krama adat menunjukkan kesadaran bagaimana yadnya sebagai bentuk korban

suci yang tulus ikhlas terus dapat berjalan secara berkesinambungan tanpa

terkendala biaya. Pada titik ini, muncul suatu kesadaran mendalam (noesis)

bahwasanya yadnya adalah suatu bentuk tanggung jawab umat yang harus

dijalankan, akan tetapi bukan berarti yadnya itu pada akhirnya malah

memberatkan umat, yang mana akhirnya LPD berperan untuk meringankan umat.

Karena itu, kesadaran mendalam ini melahirkan kesengajaan berupa suatu

kesepakatan untuk membuat tabungan yang menjadi sumber pembiayaan

yadnya. Bapak Ajik juga memiliki kesadaran bahwa laba bukan merupakan tujuan

utama baginya dalam menjalankan LPD. Hal ini pada akhirnya melahirkan

kesengajaan lain untuk menggunakan beban operasional LPD sebagai sumber

keuangan untuk membiayai yadnya. Kesadaran yang dialami oleh Bapak Ajik ini

menunjukkan secara sadar bahwa dia mengakui sudah menjadi tanggung jawab

LPD berperan menjadikan adat mandiri, LPD harus bisa berperan meringankan

beban krama, dan laba bukan merupakan tujuan utama. Kesadaran ini bisa jadi

terbentuk dari pengalaman Bapak Ajik yang juga hidup dalam lingkungan desa

pakraman yang mengalami bagaimana dalam melakukan yadnya membutuhkan

biaya yang tidak sedikit.

Bapak Ajik, walaupun tidak secara eksplisit memaknai dana pemberdayaan

tersebut merupakan pajak, mengakui bahwa laba yang diperoleh LPD digunakan

untuk kegiatan di desa adat agar desa adat menjadi mandiri. Hal ini terungkap
78

ketika peneliti menanyakan terkait pengeluaran biaya pada LPD untuk kebutuhan

desa pakraman. Bapak Ajik memberikan pernyataan sebagai berikut:

“Kalau tidak ditanggung LPD keuntungan LPD jadi besar tetapi tidak sesuai
dengan tujuan awal pendirian LPD yaitu membuat adat menjadi mandiri.”

Bapak Ajik menyadari bahwa LPD memiliki fungsi menjadikan desa

pakraman mandiri. LPD bukan sekedar mencari keuntungan sebesar-besarnya,

akan tetapi memiliki fungsi sosial yang harus dijalankan. LPD bukan badan usaha

yang berorientasi profit melainkan kemandirian adat merupakan tujuan adanya

LPD sehingga keuntungan yang diperoleh semata-mata untuk tujuan memajukan

desa pakraman.

Pada tahap selanjutnya peneliti menanyakan pemahaman Bapak Ajik

terhadap kewajiban perpajakan.

“NPWP itu? Saya tidak punya NPWP, yang saya tahu pajak bumi dan
bangunan. Itu saja, pajak penghasilan tidak tahu.”

Berikutnya dengan melakukan bracketing terhadap pajak penghasilan dan NPWP,

peneliti menanyakan pemahaman informan tentang pajak penghasilan.

“Iya, bukannya tidak memahami, tetapi tidak mengetahui. Saya pernah


dengar pajak NPWP, NPWP itu pajak penghasilan saya tahu, tetapi proses
atau jumlahnya saya tidak tahu”

Dengan bracketing pada kata PBB, peneliti menanyakan “kalau PBB bapak

Tahu?”. Informan menjawab sebagai berikut “PBB tahu, karena kita punya

kewajiban”. Selanjutnya peneliti menanyakan apakah karena sosialisasi terkait

NPWP yang kurang sehingga tidak memahami, informan menyatakan “Iya, hanya

segelintir orang yang tahu. NPWP itu kan pajak pribadi. Kalau PBB kan sudah

diatur dan terkoordinir dengan bagus”.


79

Tabel 5.2.
Analisis Fenomenologi Kesadaran Atas Kewajiban Perpajakan
LPD oleh Bapak Ajik selaku Sekretaris LPD KBA

Intentional Eidetic
Noema Noesis
Analysis Reduction
LPD tidak semata- LPD bertujuan Bapak Ajik Bapak Ajik secara
mata mencari membuat adat bertindak untuk sadar memahami
keuntungan. mandiri. membebankan bahwa:
biaya aci langsung
Kewajiban Laba bukan tujuan ke laporan Yadnya
perpajakan ditandai utama LPD. keuangan karena membutuhkan
dengan memiliki LPD tidak semata- dana yang besar,
NPWP LPD harus mata berorientasi sehingga peran
berperan profit, dan juga LPD untuk
membantu umat membuat simpanan meringankan
menjalankan yang menjadi dana sangat penting.
yadnya. abadi untuk
aktivitas yadnya. LPD yang
NPWP merupakan dipimpinnya bukan
penanda kewajiban Bapak Ajik tidak semata-mata
sebagai wajib pajak menjalankan mencari
dan terkait pribadi. kewajiban keuntungan,
perpajakan karena melainkan
tidak memiliki bertujuan
NPWP dan kurang menjadikan desa
mengetahui adat mandiri.
tentang pajak
penghasilan. NPWP sebagai
awal menjalankan
kewajiban
perpajakan.

Kesadaran-
kesadaran Bapak
Ajik ini terlihat
terbentuk karena
pengalamannya
sebagai pengurus
LPD.

Bapak Ajik pada posisi ini terlihat mengetahui bahwa apabila membayar

pajak maka memiliki NPWP. Pemahaman eksplisit dari Bapak Ajik bahwa pajak

identik dengan NPWP, apabila memiliki NPWP maka pasti membayar pajak.

Bapak Ajik hanya mengetahui tentang PBB. Pengetahuan Bapak Ajik yang hanya

sebatas PBB terbentuk karena sebagai warga negara Indonesia yang memiliki
80

tanah terdapat kewajiban untuk membayar PBB setiap tahunnya, ditambah lagi

LPD yang dikelola oleh Bapak Ajik bekerja sama dengan Pemda Tabanan untuk

melayani pembayaran PBB. Pemungutan PBB yang menjadi kewenangan

pemerintah daerah menjadikan pemungutan PBB ini melibatkan struktur

organisasi di daerah sampai tingkat desa. Pelibatan struktur organisasi sampai

tingkat desa ini menjadikan PBB menjadi sesuatu yang sering didengar oleh

masyarakat, maka dari itu Bapak Ajik mengetahui PBB.

Kesadaran berikutnya datang dari Bapak Baik. Bapak Baik yang merupakan

kepala LPD TB menceritakan kesadarannya terkait peran LPD bagi desa adat.

“Ya, orang LPD kan ekonominya desa adat. Lembaga ekonomi desa adat itu
LPD, jadi kan segala sesuatu yang berkaitan dengan ekonomi kerakyatan di
desa itu LPD yang pegang, contoh sekarang untuk kepentingan adat kayak
urunan, itu masuk ke LPD, ditaruh kalau memang nanti diposkan ke mana,
nanti pengeluaran-pengeluarannya itu nanti ada di desa adat lah punya
pembukuan, tapi dananya di LPD dan juga sesuai dengan Perda kita, kan
setiap tahun ada pembagian sisa hasil usaha, 20% itu dari keuntungan LPD.
Untuk pembangunan desa adat.”

Selanjutnya peneliti menggali lebih dalam terkait kontribusi sebesar 20%

keuntungan LPD yang diberikan untuk desa pakraman.

“Sementara kan di sini untuk membantu kegiatan-kegiatan desa adat,


misalnya untuk pembangunan yang terkait dengan desa adat.
Pembangunan yang terkait kahyangan tiga, itu semua terkait dengan desa
adat.”

Peneliti berusaha pada tahap ini kembali menggali terkait kekhususan LPD terkait

pajak. Bapak Baik mengungkapkan sebagai berikut:

“Begini, sesuai dengan SK gubernur, kita ini LPD kalau kita melalui suku
pajak, kita tidak diharuskan karena merupakan kegiatan ekonomi desa adat.
Ini adat yang ditegaskan, tidak usaha pribadi, makanya diprioritaskan tidak
dikenai pajak.”

Setelah menggali pemahaman Bapak mengenai kekhususan LPD yang tidak

dikenakan pajak karena merupakan kegiatan ekonomi desa adat. Peneliti

berupaya mengungkap pemahaman beliau atas pajak dengan menanyakan

tentang apa yang diketahui Bapak Baik tentang pajak, dalam hal ini pajak
81

penghasilan. Dari upaya mengungkap pemahaman beliau, ada hal yang menarik

peneliti temukan. Bapak Baik, seperti juga Bapak Ajik, menjadi pengurus LPD

pada kriteria LPD menengah dan kecil. Di luar sebagai pengurus LPD mereka tidak

memiliki kegiatan usaha sehingga menjadikan mereka tidak memiliki NPWP.

Dampaknya pemahaman mereka tentang pajak relatif mirip. Bapak Baik dan

Bapak Ajik tidak mengetahui dan memahami mengenai pajak, yang dalam hal ini

pajak penghasilan. Bapak Baik, karena interaksinya hanya dengan PBB, tidak

mengetahui tentang pajak penghasilan. Lagi-lagi ketika ditanya mengenai pajak

terkesan ragu untuk menjawab. Pemahaman dan pengetahuan yang terbatas

dengan pajak disebabkan karena Bapak Baik tidak memiliki NPWP. Tidak ada

kegiatan usaha lain yang dilakukan oleh Bapak Baik selain dari jabatannya

sebagai Kepala LPD yang mana LPD tidak pernah bersentuhan dengan pajak.

Bapak Baik hanya mengetahui tentang NPWP dan pajak penghasilan ketika

ditanyakan apa yang diketahui tentang pajak penghasilan.

“Nah ini, kita karena tidak melakoni untuk LPD tidak kena pajak, terus terang
saja dik. Kita itu sementara, karena kita tidak dikaitkan dengan pajak,
ampure sing nawang [maaf tidak tahu] kita tidak tahu.”

“Yah, kita kan sudah tahu sekarang, segala sesuatu yang berkaitan dengan
penghasilan kena pajak. Contoh, aset kena pajak, gaji kena pajak, dan
semua lah badan usaha kena pajak. Apalagi sekarang kan sudah di tax
amnesty, itu kan pemerintah hidupnya dari pajak. Itu kan bagaimana
istilahnya menggali semua yang ada itu kena pajak. Contoh yang kaitan
dengan pajak, kan sekarang motor aja kan kena pajak progresif, pajak
ditekankan dari pendapatan negara.”

Selanjutnya peneliti menanyakan apakah informan memiliki NPWP.

Pertanyaan ini diajukan untuk memahami mengapa informan tidak mengetahui

pajak. Di sinilah terungkap bahwa informan tidak memiliki NPWP sehingga tidak

mengetahui tentang pajak penghasilan.

“Saya nggak punya, sementara saya nggak punya usaha, nggak punya
NPWP, jadi maaf tidak tahu. Yah, barangkali kita punya usaha, kan kita jadi
tahu. Cuma sekarang kita punya tanah, Cuma bayar pajak tanah. Kalau
82

NPWP, kan terkait usaha. Kalau LPD punya NPWP, kan berarti punya
usaha.”

Terlihat bahwa dampak dari berita mengenai tax amnesty memengaruhi

pengetahuan Bapak Baik atas pajak. Bagaimana saat ini pajak menjadi instrumen

penting untuk membiayai pembangunan karena merupakan sumber pendapatan

negara. Berita mengenai tax amnesty yang menjadi tajuk utama di media

merupakan ajang sosialisasi pajak gratis bagi DJP. Bapak Baik yang sebelumnya

tidak tahu peran pajak mendapatkan informasi yang memadai dari media.

Lewat wawancara tersirat bahwa Bapak Baik memiliki kesadaran mendalam

(noesis) bahwa LPD tidak melakukan kegiatan usaha layaknya badan usaha lain,

sehingga LPD tidak memiliki NPWP. Bapak Baik juga memiliki pemahaman bahwa

pekerjaannya sebagai Kepala LPD bukan bagian dari usaha, apalagi Bapak Baik

tidak memiliki aktivitas usaha di luar jabatannya di LPD sehingga Bapak Baik tidak

perlu memiliki NPWP. Bapak Baik hanya menyadari bahwa dia memiliki kewajiban

pajak yang harus ditunaikannya berkaitan dengan kepemilikan tanah. Bapak Baik

menyadari bahwa beliau memiliki kewajiban membayar PBB. Bapak Baik juga

meyakini bahwa LPD merupakan penggerak ekonomi kerakyatan di desa adat.

Pendapat Bapak Baik ini sebagai noema, yang disebabkan karena

pengalamannya sebagai warga desa pakraman yang merasakan langsung

bagaimana LPD berperan dalam membantu desa adat. Noema yang pada

akhirnya menghasilkan noesis bahwa sudah menjadi kewajiban bagi LPD untuk

menjadi penggerak ekonomi di desa adat dan membantu kegiatan adat dan karena

hal tersebut tidak dikenai pajak.

Intentional analysis menunjukkan bahwa Bapak Baik memperoleh kesadaran

ini karena posisinya yang memimpin LPD dan juga merupakan bagian dari

masyarakat adat yang merasakan betapa pentingnya LPD bagi perekonomian di

desa adat. Bapak Baik melihat bagaimana LPD memberikan keuntungan untuk
83

digunakan oleh desa adat, begitu pula dana yang dimiliki oleh masyarakat benar-

benar dikelola untuk kepentingan perekonomian di desa adat. Karena kesadaran

ini peneliti menangkap bahwa Bapak Baik meyakini bahwa LPD itu bukan badan

usaha seperti layaknya badan usaha lain karena milik desa adat. Karena

menyadari hal tersebut Bapak Baik meyakini bahwa LPD tidak kena pajak, karena

kontribusi LPD sudah langsung diberikan ke desa adat untuk pembangunan

tempat ibadah dan aktivitas adat lainnya serta LPD yang hanya berusaha di

lingkup desa adat. LPD sudah berkewajiban untuk menjadi pusat dalam

pemberdayaan ekonomi di desa adat.

Tabel 5.3.
Analisis Fenomenologi Kesadaran Atas Kewajiban Perpajakan LPD oleh
Bapak Baik selaku Kepala LPD TB

Intentional Eidetic
Noema Noesis
Analysis Reduction
LPD penggerak LPD tidak kena Bapak Baik melalui Bapak Baik secara
ekonomi di desa pajak karena terkait posisinya sadar meyakini
adat. ekonomi adat. mengetahui bahwa:
bagaimana peran
LPD tidak perlu LPD bagi LPD berbeda
memiliki NPWP. perekonomian di dengan badan
desa adat. usaha lainnya
Kontribusi LPD sehingga tidak
langsung ke desa Pemahaman Bapak kena pajak.
adat. Baik terhadap
pajak masih kurang Sudah tugas LPD
Laba LPD untuk karena yang untuk member-
pembangunan bersangkutan dayakan ekonomi
tempat ibadah dan belum memiliki di desa adat.
yang terkait desa NPWP.
adat. Kontribusi laba
langsung ke desa
adat.

Informan berikutnya, Bapak Ketut, memiliki kesadaran bahwasanya di Bali

adat, budaya dan agama menyatu. Pada titik tertentu adat dan budaya itu bisa

menjadi beban karena telah terjadi perubahan pola kehidupan masyarakat dari
84

yang sebelumnya didominasi oleh kehidupan adat dan budaya yang terkait dengan

kehidupan masyarakat agraris menjadi cenderung menuju masyarakat yang hidup

dari sektor jasa. Perubahan paradigma kehidupan ini tentu saja membawa dampak

bagi kehidupan adat dan budaya Bali.

“Kalau kita berbicara Bali itu, disitu kan ada keunikannya, uniknya apa, ada
budaya, adat, dan agama Hindu. Kalau bahasa apa namanya itu yang sudah
lumrah, bagaimana kita mengajegkan Tri Hita Karana yang ada di Bali.
hubungan manusia Tuhannya, manusia dengan manusia, dan manusia
dengan lingkungan kan gitu. Nah dari semua hubungan itu, di Bali itu ada
yang saya lihat unik rakyat Bali itu, sesuatu yang unik, tapi ada dia lakukan,
otentik dia lakukan. Contohnya dari sisi budaya begini, orang bali itu unik
mau dia mempertahankan budaya, dan adatnya dengan ikhlas. Tetapi,
apakah ikhlas dan tulus ini bisa terus dia? Kalau dulu ya, orang bali ini kan
dia melakukan budayanya dengan ini, harga matilah, relalah dia tidak
bekerja. Contoh, orang ngayah untuk kepentingan budaya dan adat, nah ini
kita lihat lama kelamaan apakah kita kuat seperti itu. Nah, contoh ketika
orang harus membangun sebuah pura, dia berkorban untuk itu, membangun
sebuah pura. Kalau kita berbicara pura, pertama ada agama disitu kan juga
ada adat. Ketiga, budaya kan. Kalau kita berbicara agama kan, dengan
orang sembahyang atau Tri Sandya tiga kali, sudah agama Hindu. Tetapi
kita tidak akan bisa berbicara simpel kalo kita berbicara adat, akan ada
beban, kalau tidak ngayah17 bisa kena denda, bisa kasepekang18, itu kan
adat. Tapi karena adat inilah, budaya kita pertahankan. Kalau kita lihat itu,
begitu besar biaya yang dikeluarkan oleh rakyat Bali, sehingga Bali
pariwisata budaya. Ketika dia berpikir jadi pariwisata budaya berarti kan
harus ada sesuatu yang dijual oleh pemerintah. Apa yang dijual ini, orang
bali berapa persen menikmatinya dari hasil yang dijual untuk membiayai
budaya dan adat? Siapa yang bayar kita kalau adik gotong royong? Pernah
pemerintah bayar itu? Siapa yang bayar ketika kita membuat pura besar-
besar? Kan ndak ada yang membiayai? banten itu budaya itu, yang diambil
secara bersama adat yang ambil dalam adat diperintah oleh siapa?
Pemerintahan adat, namanya desa pekraman. Ini kan politik yang sangat
manis orang bali ini, karena keikhlasannya. Lama kelamaan karena arus
globalisasi, kan tidak mungkin sehingga kita tidak mau. Itu kan beban yang
sangat berat yang dipikul oleh masyarakat adat.

Pernyataan Bapak Ketut sebagaimana transkrip wawancara di atas

menunjukkan kesadarannya bahwasanya memang masyarakat Bali tidak bisa

17 Ngayah adalah kewajiban sosial masyarakat Bali yang dilaksanakan secara gotong
royong dengan hati yang tulus ikhlas baik di banjar maupun di tempat suci. Kata ngayah secara
harafiah dapat diartikan melakukan pekerjaan tanpa mendapat upah.

18 Kasepekang adalah atau sanksi adat yang diterima oleh seorang atau kelompok anggota banjar
yang dianggap melanggar norma norma/awig-awig yang berlaku di banjar bersangkutan, dengan
cara pengucilan dikucilkan dari banjar/desa adat setempat, dilarang tinggal di wilayah tersebut,
tidak boleh menggunakan fasilitas kuburan dan juga dilarang berkomunikasi atau bersosialisasi
dengan anggota banjar lainnya.
85

lepas dari perkembangan zaman yang cenderung mengejar materi. Bapak Ketut

mencontohkan bagaimana masyarakat Bali pada masa lalu mementingkan adat

dan budaya melalui ngayah yang mengorbankan waktu untuk bekerja, tetapi pada

masa sekarang hal tersebut dinilai sulit olehnya. Mempertahankan hal tersebut

pada era sekarang dan mendatang belum tentu masyarakat Bali kuat untuk

melakukan hal tersebut. Bapak Ketut juga menyadari bahwasanya adat, budaya,

dan agama Hindu di Bali itu menjadi satu kesatuan, yang mana lebih berat untuk

mempertahankan adat dan budaya daripada agama, karena sebenarnya ajaran

Hindu sendiri tidak memberatkan.

Dibalik adat dan budaya yang dinilai memberatkan, Bapak Ketut memiliki

kesadaran mendalam (noesis) bahwasanya karena bertahannya adat dan budaya

maka Bali bisa berkembang menjadi daerah pariwisata yang menekankan pada

pariwisata budaya. Bapak Ketut juga menyadari bahwasanya untuk

mempertahankan adat dan budaya Bali tidaklah mudah. Banyak biaya yang

dikeluarkan untuk membiayai aktivitas adat dan budaya yang mana ditanggung

oleh masyarakat Bali sendiri, sedangkan yang menikmati pariwisata Bali bukan

hanya masyarakat Bali. Ditambah lagi peran pemerintah untuk membiayai itu

menurut Bapak Ketut tidak besar, yang berperan untuk itu semua adalah desa

pakraman.

Pada titik inilah peran LPD menjadi penting untuk mempertahankan adat dan

budaya Bali. Desa pakraman dapat membiayai semua aktivitas ini dari laba yang

diperoleh LPD. Kesadaran yang dimiliki oleh Bapak Ketut tentang peran LPD

mempertahankan adat dan budaya Bali ini tidak lepas dari posisi beliau sebagai

Kepala LPD yang mengalami sendiri bagaimana LPD-nya bayak berperan dalam

pembangunan di desanya. Mengapa Bapak Ketut bisa memiliki kesadaran seperti

itu, hal itu tidak bisa dilepaskan dari apa yang dilakukan oleh LPD yang beliau
86

pimpin telah banyak melakukan aktivitas yang berkaitan dengan adat, budaya,

serta sosial.

Pada saat penelitian ini dilakukan, Bapak Ketut menjadi ketua pelaksana

upacara Ngenteg Linggih19 dan pembangunan Pura di desa pakramannya. Biaya

yang digunakan untuk membiayai kegiatan tersebut mencapai belasan miliar

rupiah, yang mana sebagian dana tersebut berasal dari laba LPD. Selain itu

banyak pula kegiatan yang beliau lakukan yang bersentuhan dengan aktivitas

adat, budaya, dan sosial. Setiap hari raya galungan, LPD-nya selalu membagikan

daging babi kepada masyarakat desa. Kegiatan persembahyangan ke pura-pura

besar di Jawa atau Bali yang gratis kepada krama desa, memberikan beasiswa

kepada siswa berprestasi tetapi tidak mampu, serta yang tidak kalah penting

penyelenggaraan upacara ngaben setiap tiga tahun sekali, dan santunan bagi

keluarga yang anggota keluarganya meninggal. Semuanya itu dilakukan dengan

tujuan utama untuk meringankan krama dalam menjalankan adat dan budaya Bali.

Karena kesadaran untuk mempertahankan adat dan budaya Bali ini pula

yang menjadikan Bapak Ketut menyadari dan sengaja menjadikan LPD sebagai

sumber pembiayaan untuk mempertahankan adat dan budaya, serta dapat

meringankan beban krama. Hal ini dilakukan karena merasa peran pemerintah

terkait hal tersebut tidak besar. Pemerintah tidak dapat membantu krama untuk

membiayai aktivitas yang berkaitan dengan adat dan budaya. Hal ini pula yang

pada akhirnya menjadikan LPD tidak membayar pajak, karena tanggung jawabnya

yang besar untuk mempertahankan adat dan budaya Bali. Sebagian besar laba

LPD digunakan untuk aktivitas yang berkaitan dengan adat dan budaya dalam

lingkup desa pakraman. Membayar pajak belum tentu pembayaran pajak yang

19 Ngenteg linggih adalah suatu ritual untuk menjadikan bumi atau dalam konteks yang lebih kecil
yaitu pura agar menjadi tempat berstananya Tuhan.
87

dilakukan akan kembali kepada krama desa dalam bentuk pembiayaan adat dan

budaya Bali sebagaimana pernyataan Bapak Ketut berikut ini:

“...Budayanya ada di situ, dalam wujud-wujud seremonial yang bisa dijual.


Banyak di Ubud itu, ngaben untuk pariwisata, kan dijual itu. Itu yang
menyebabkan [adanya pariwisata], bagaimana pajak bisa melihat itu? Kalau
nanti pemerintah mampu membayar itu, nggak apa-apa dipajakin. Kira-kira
pemerintah mampu nggak itu? Kan artinya masyarakat Bali yang harus
mampu untuk membiayai. Dan, yang sifatnya komunal itu tidak bisa dimiliki.
Disisi lain, dia bisa juga membantu pemerintah, kalau budaya dan adat kuat,
ngaben tetep. Kalau ngaben ilang, nyepi ilang, melasti ilang, apa kita punya
budaya lagi? Terus apa yang dijual oleh pemerintah? Ini kan ada hubungan
dengan income. Ketika kita mengajak ini kan ada income, ada pendapatan
yang harus diberikan oleh pemerintah. Tetapi ketika pemerintah tidak
memberi, bagaimana itu?”

Bapak Ketut, memaknai mengapa laba LPD tidak kena pajak bukan karena

20% laba kembali ke desa pakraman, lebih dari itu. Semua laba LPD digunakan

untuk kepentingan desa pakraman. Bahkan yang bersangkutan kritis mengenai

alasan laba LPD yang hanya 25% digunakan untuk kepentingan sosial.

“Kalau kita berbicara dari situ [20% keuntungan LPD untuk desa pakraman
dan sosial], 5% orang bank juga kan ada CSR. Pertanyaan ke situ gimana
jawabannya? Kenapa [bank] bayar pajak? 25% loh itu orang bank bayar
pajak. Pertama dia sebagai subjek, pajak PT. Yang kedua kena pajak badan
dia kan? Setelah itu pajak dari PPh Pasal 25, nah kenapa? CSR juga
diwajibkan oleh UU. Kalau bank tidak melakukan itu salah, kan ada
diskriminasi. Kalau ngomong 20 [persen], total salah itu. Nah terus kenapa
di dalam itu, 5% digunakan sebagai [dana] pemberdayaan disetor disitu
[sebesar 5% dana pemberdayaan diserahkan ke LPLPD]? Ya, gak, salah!
[dengan semangat mengkritisi pendapat-pendapat informan lain] 20% itu
bagian terkecil, sebenarnya 100% itu yang digunakan untuk kepentingan itu
[krama adat]. Memang sementara dibagi dulu untuk memperkuat posisi dana
dari pihak ketiga, penjaminan karena dia tidak mendapat jaminan dari
pemerintah, itu jawabannya.” (wawancara dengan Bapak Ketut)

Bapak Ketut merasa bahwa mengapa LPD tidak kena pajak karena

keuntungan LPD itu bukan cuma 20% yang digunakan untuk desa pakraman, lebih

dari nilai tersebut. Noema yang muncul dari pernyataan ini yaitu Bapak Ketut

mengalami bagaimana dalam mengelola LPD, yang bersangkutan tidak hanya

mengeluarkan 20% dari laba untuk kepentingan krama adat melainkan memahami

bahwa 100% laba LPD untuk krama desa. Dengan melakukan bracketing terhadap
88

20% keuntungan dan 100% keuntungan kemudian di bracketing lagi atas

pernyataan terkait bunga, diperoleh noesis dari pernyataan informan berikut ini.

“Begini, sebenarnya setelah biaya-biaya semua, adalah cadangan tujuan


[nya untuk] memperkuat modal. Sebenarnya bisa, 100% sebenarnya untuk
kepentingan masyarakat adat. Kan ada yang disisihkan untuk memperkuat
modal menambah [modal], ada yang disisihkan [untuk] menjamin apabila
terjadi sesuatu, ada yang untuk pemangku.”

“... Nah harusnya disitulah [dana cadangan modal] bagaimana LPD itu
mengembangkan. Makanya manajemen itu di sana mengembangkan dari
dana ini sehingga bisa memperkecil bunga. Kan itu tujuannya sehingga ini
dapat [bunga] dia, yang meminjamkan pun tidak terlalu besar spare [jarak]
nya, gitu di sana sosialnya juga.”

“Iya meringankan masyarakat [adat], bukan malah [bunga] pasar di pake.


Bukan dengan pasar, semua dengan kesepakatan dia, bagi hasil
sebenarnya itu dipake.”

Terdapat kesadaran mendalam (noesis) dari Bapak Ketut bahwa LPD

memiliki kewajiban untuk meringankan krama adat, laba yang menjadi cadangan

modal juga memiliki tujuan untuk menguatkan modal LPD sehingga dapat

memberikan bunga yang ringan kepada krama. Pada titik ini pemahaman atas

“Aku” dari Bapak Ketut adalah “Aku menggunakan laba LPD untuk tujuan

kesejahteraan krama adat, tugas Aku sebagai ketua LPD memastikan laba LPD

meringankan beban krama”.

Pada saat mengungkap makna pajak bagi pelaku usaha LPD, peneliti sempat

menanyakan pemahaman informan yang menjadi pengurus LPD terkait pajak.

Informan yang memiliki NPWP memahami bahwa ada kewajiban perpajakan yang

sejatinya melekat di LPD, walaupun mereka tidak sependapat berkaitan dengan

laba dari kegiatan usaha LPD.

Bapak Ketut ketika ditanya apakah mempunyai NPWP menjawab sebagai

berikut:

“Punya saya, pribadi. Kalo punya saya kan WP, juga semua [menjelaskan
terkait kafe-kafe yang dimiliki oleh masyarakat XXX, masyarakat tersebut
memiliki NPWP], karena dia memang subjek kan, pribadi tapi. Tapi ketika
89

masuk ke LPD, masuk ke LPD itu sulit, karena LPD itu wajib memungut, kan
sing dadi [tidak bisa].”

Bapak Ketut selain menjadi ketua LPD, memiliki usaha lainnya yang

menjadikannya memiliki NPWP. Kepemilikan NPWP serta memiliki kegiatan usaha

menjadikan beliau cukup memahami peraturan perpajakan, walaupun dalam

wawancara selanjutnya beliau mengungkapkan bahwa dalam mengurus pajak

menggunakan jasa konsultan pajak, karena merasa ada keruwetan dalam sistem

perpajakan di Indonesia. Berkaitan dengan LPD, beliau menyadari (noesis)

adanya wajib memungut pajak yang menjadi kewajiban LPD, hanya saja itu tidak

bisa. Ini berkaitan dengan LPD yang bukan badan hukum dan tidak memiliki

NPWP. Pemahaman (noema) Bapak Ketut ini lagi-lagi karena adanya pemahaman

bahwa LPD dikecualikan berdasarkan UU LKM.

Tabel 5.4.
Analisis Fenomenologi Kesadaran Atas Kewajiban Perpajakan LPD oleh
Bapak Ketut selaku Kepala LPD KN

Intentional Eidetic
Noema Noesis
Analysis Reduction
Adat dan budaya bisa LPD berperan Bapak Ketut Bapak Ketut secara
menjadi beban. mempertahankan menggunakan laba sadar meyakini
adat dan budaya. LPD untuk tujuan bahwa:
100% laba LPD untuk adat dan agama
kepentingan krama LPD meringankan melalui kegiatan Sudah tugas LPD
desa. beban krama. pembangunan pura, untuk meringankan
dan aktivitas adat beban krama desa.
Laba LPD untuk lainnya.
kesejahteraan krama Laba LPD tidak kena
adat. Hal ini dilakukan pajak karena semua
karena menyadari laba LPD kembali ke
Ada kewajiban pajak bahwa LPD itu krama desa melalui
LPD yang tidak bertujuan desa adat.
dijalankan karena meringankan beban
LPD bukan badan krama terkait yadnya. LPD bukan badan
hukum. hukum sehingga tidak
menjalankan
kewajiban
pemungutan pajak.

Bapak Nyoman, bisa dikatakan sebagai tokoh LPD karena jabatannya

sebagai Kepala LPLPD Bali juga memiliki kesadaran bahwa LPD berperan untuk

mempertahankan adat dan budaya Bali. Sebagai informan yang pertama kali
90

peneliti wawancarai mengungkapkan kesadarannya mengapa LPD itu tidak kena

pajak. Beliau mengaitkan pula dengan kontribusi langsung dari perusahaan-

perusahaan yang berusaha di Bali dalam mempertahankan adat dan budaya Bali.

Bapak Nyoman merasa bahwa perusahaan-perusahaan yang berinvestasi di Bali

itu tidak ikut menjaga adat dan budaya Bali padahal ikut menikmati pariwisata Bali.

Berbeda dengan LPD yang labanya hingga 25% digunakan untuk menjaga adat

dan budaya Bali.

“...Jika seandainya semua perusahaan yang ada bali mau mengorbankan


csr nya itu, dana sosialnya itu kan, janganlah seperti LPD 20%, 5%, ya 0,5%
saja di seluruh Bali dana csr itu diserahkan kepada desa adat untuk menjaga
adat dan budaya bali demi terjaganya kelangsungan pariwisata budaya.
Karena kita di bali pariwisatanya kan pariwisata budaya yang ditonjolkan.
Nah untuk menjaga budaya ini memerlukan biaya untuk membangun pura,
untuk lain, nah itu kan kita orang bali saja. Sementara orang lain yang
menikmati begitu besarnya itu tidak bisa menjaga atau melestarikan itu. Nah
kalo itu kalau bisa dikembalikan sedikit saja sama-sama menjaga artinya
bukannya kita diskriminatif, tidak! Karena memang dia kan bisa berusaha di
bali kan adanya budaya begini, nah yang untuk budaya begini kan besar
sekali, nah itulah yang menyebabkan mengapa kita orang Bali di Bali
khususnya selalu kalah bersaing secara ekonomi dengan orang luar, karena
kita, tugas kita adalah membiayai daripada adat dan budaya itu, sementara
orang luar yang datang ke bali dia kan tidak perlu mengeluarkan biaya itu.
Itu, nah konsep itulah yang menjadi kenapa LPD dikenakan pajak tidak mau
karena tugas mereka terlalu berat untuk menjaga ini [adat dan budaya].”

Peneliti terus melanjutkan pertanyaan mengenai menjaga adat dan budaya Bali

yang dilakukan LPD untuk menemukan noema dan noesis. Beberapa pernyataan

penting peneliti dapatkan dari informan yang menunjukkan mengapa LPD tidak

mau dikenakan pajak.

“...LPD inilah bertanggung jawab dalam adat dan budaya, untuk mampu
bersaing ekonomi dengan orang luar, itulah sebabnya kita tidak mau
membayar pajak.”

“Coba bank BPR berapa dapet untung dia? Berapa untuk pembangunan
adat budaya? Kan untuk pemegang saham itu? Kalo di sini ini untuk adat
dan budaya, itu bedanya. Boleh dilihat sama itu dari segi lembaga keuangan,
iya. Mencari untung, iya. Tapi setelah mencari untung itu kan dilihat untuk
apa.”

“Keuntungan LPD kan digunakan untuk misalnya membangun Pura dan lain-
lain. Tapi itu permasalahan orang beragama? Iya, tapi kan adat dan budaya
91

agama bali di jual lewat pariwisata Bali. Itu kan juga memberikan keuntungan
untuk Republik juga, jangan dilihat itu pajak itu oleh orang yang melakukan
itu untuk siapa. Walaupun LPD itu tidak membayar pajak, tapi kan pada
akhirnya menyumbangkan pajak lebih besar lagi. Dengan kita menjaga adat
dan budaya, berapa banyak perusahaan-perusahaan yang bisa membayar
pajak. Seandainya adat dan budaya itu tidak ada di Bali, kan tidak ada
perusahaan-perusahaan itu di Bali, sehingga banyak yang mau investasi di
Bali. Kalau adat dan budaya Bali ada, makanya pariwisata di Bali bisa ada.
Di sana lah pajaknya secara riil. Ini kan adat budaya di Bali yang
menyebabkan adanya penghasilan langsung dari perusahaan-perusahaan
lainnya.”

“Kalau dihitung-hitung membayar pajak, di sini apa yang digunakan untuk


membangun adat dan budaya di sini. Maka di sinilah biarkan membangun
dirinya sendiri. Kalau semua masyarakat di republik ini sudah mampu
membiayai dirinya sendiri, tidak perlu adanya penggunaan pajak. Paling-
paling hanya perlu membayar biaya pegawai. Maka saya bilang, LPD yang
besar tidak hanya membangun adat, termasuk sarana fisik pun bisa
dibangun untuk menjaga wilayahnya. Kalau saja seluruh republik ini bisa
seperti itu, kan tidak perlu pemerintah membangun ini itu untuk rakyatnya.
Artinya dampak tidak langsung dari pembayaran pajak itu harus dilihat. Ini
kan pembayaran pajak secara tidak langsung ke pemerintah. Jangan yang
menjaga ini diobok-obok, kayak tanah pura itu nggak kena pajak, sama
dengan LPD itu sekarang, jangan di ganggu lagi dengan pajak, sudah cukup
banyak beban yang ditanggung oleh LPD ini.”

Pernyataan-pernyataan Bapak Nyoman di atas menunjukkan kesadarannya

bahwasanya pariwisata yang berkembang di Bali sangat mengandalkan adat dan

budaya, yang mana untuk mempertahankannya dibutuhkan biaya yang tidak

sedikit. Beliau memiliki kesadaran bahwa orang Bali sendiri yang berperan besar

untuk mempertahankan adat dan budaya, padahal hasil dari bertahannya adat dan

budaya Bali dinikmati oleh banyak pihak. Beliau juga memiliki kesadaran ekplisit

(noema) tujuan laba LPD berbeda dengan BPR dan badan usaha lainnya

walaupun sama-sama mencari keuntungan, karena laba LPD tidak didistribusikan

ke pemegang saham melainkan ke desa pakraman untuk dinikmati oleh semua

krama adat. Kesadaran ini melahirkan pemahaman mendalam (noesis) akan

pentingnya peran LPD, karena laba LPD yang digunakan untuk desa adat dalam

mempertahankan adat dan budaya Bali. Melalui laba ini pula LPD dapat

meringankan beban krama adat terkait kewajiban adat, budaya dan agama.
92

Bapak Nyoman memiliki kesadaran mendalam (noesis) bahwa LPD memiliki

“kontribusi” terhadap penerimaan pajak walaupun tidak membayar pajak.

Pendapat Bapak Nyoman ini merupakan noesis yang muncul sebagai akibat dari

pengalamannya yang merasakan bagaimana LPD dengan keuntungan yang

diperoleh bisa membangun Pura dan lain sebagainya sehingga dapat

mempertahankan adat dan budaya Bali, yang akhirnya membentuk kesadaran

mendalam (noesis) bahwa karena adat dan budaya Bali itulah yang menyebabkan

banyak yang mau berinvestasi di Bali dan menghasilkan penghasilan bagi

perusahaan-perusahaan yang merupakan subjek dan objek pajak, bukan LPD

yang menjadi subjek dan objek pajak. Sehingga pemahaman atas “Aku” bagi

Bapak Nyoman adalah “Aku menggunakan keuntungan LPD untuk menjaga adat

dan budaya Bali melalui membangun Pura dan lain-lain di desa pakraman, karena

itu Aku sadar bahwa karena kontribusi LPD melalui keuntungannya inilah

menghasilkan pajak yang lebih besar bagi negara karena banyak perusahaan

yang berinvestasi di Bali”.

Laba LPD yang telah digunakan untuk membiayai adat dan budaya sangat

besar memunculkan penolakan apabila dibebani lagi dengan pajak. Kesadaran

akan pentingnya LPD untuk mempertahankan adat dan budaya yang akhirnya

membentuk kesengajaan untuk mempertahankan LPD agar tidak kena pajak

sebagaimana yang Bapak Nyoman nyatakan. Peneliti menangkap, baginya

dengan dikenai pajak atas laba yang diterima LPD, secara tidak langsung akan

mengurangi kontribusi LPD untuk membiayai aktivitas adat, budaya, dan agama

di lingkup desa pakraman.


93

Tabel 5.5.
Analisis Fenomenologi Kesadaran Atas Kewajiban Perpajakan LPD oleh
Bapak Nyoman selaku Kepala LPLPD

Intentional Eidetic
Noema Noesis
Analysis Reduction
Tugas LPD terlalu LPD meringankan Bapak Nyoman Bapak Nyoman
berat menjaga adat beban krama desa. menyadari secara sadar
dan budaya. pentingnya peran meyakini bahwa:
Laba LPD untuk LPD terhadap adat
Laba LPD untuk mempertahankan dan budaya Bali LPD berperan
adat dan budaya adat dan budaya sehingga berupaya besar memper-
bukan untuk melalui tetap memper- tahankan adat dan
pemegang saham. pembangunan pura tahankan LPD tidak budaya Bali.
dan aktivitas kena pajak.
lainnya. Secara tidak
langsung apa yang
Distribusi laba LPD dilakukan LPD
Ditujukan untuk menjadikan
mempertahankan pariwisata Bali
adat dan budaya. berkembang dan
menghasilkan
Karena adat dan pajak yang lebih
budaya maka besar.
banyak investasi di
Bali. LPD harus
dipertahankan
LPD secara tidak untuk tidak kena
langsung pajak.
berkontribusi
terhadap pajak. Pajak akan
mengurangi
Pajak menjadi kontribusi untuk
beban tambahan adat, budaya, dan
bagi LPD. agama.

5.3. Mendalami Kesadaran Pelaku Usaha Atas Kesadaran Tidak Bersedia

Dikenakan Pajak

Dari eksplorasi atas kesadaran pelaku usaha LPD terhadap kewajiban

perpajakan, peneliti menemukan kesadaran dari para informan bahwasanya LPD

tidak kena pajak. Peran LPD yang dinilai oleh para informan begitu besar bagi

keberlangsungan adat dan budaya Bali menjadi penyebab munculnya kesadaran

LPD tidak kena pajak. Peran LPD yang begitu besar terungkap dari noesis yang

peneliti dapatkan dari para informan. Noesis dari masing-masing informan secara

garis besar dapat dijabarkan di bawah ini.


94

5.3.1. LPD Telah Meringankan Beban Krama dalam Yadnya

Bagi masyarakat Bali yang beragama Hindu, yadnya merupakan bagian yang

tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Hampir semua aktivitas kehidupan

masyarakat Bali dilandasi oleh yadnya. Bentuk yadnya yang dilakukan oleh umat

Hindu di Bali bisa dikatakan sangat berbeda dengan pelaksanaan yadnya yang

dilakukan oleh umat Hindu yang bukan beretnis Bali. Percampuran antara budaya

dan agama menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kehidupan di dalam

desa pakraman sebagai lembaga adat yang berlandaskan nilai-nilai Hindu juga

tidak lepas dari kegiatan adat dan agama yang menjadi satu kesatuan.

Sering kali dalam melakukan kegiatan keagamaan di desa pakraman

membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Hal ini tentu saja dapat memberatkan

krama desa karena adanya dana yang dikeluarkan oleh setiap kepala keluarga

untuk membiayai kegiatan agama atau upacara. Tanpa adanya sumber

pembiayaan yang dapat menjamin kelangsungan pendanaan mustahil aktivitas

keagamaan Hindu yang bersatu dengan adat dan budaya Bali dapat bertahan.

Bapak GA dan Bapak Ajik menyampaikan bagaimana peran LPD dalam

meringankan beban krama dalam melaksanakan yadnya. Kesadarannya lahir

karena merasakan sendiri bagaimana LPD telah membantu krama yang sebelum

ada LPD dibebani dengan iuran untuk membiayai upacara keagamaan yang

dilakukan oleh desa pakraman. Masing-masing kepala keluarga yang sebelumnya

perlu mengeluarkan uang dan bisa jadi sebenarnya memberatkan tidak perlu lagi

merasa terbebani karena ada peran LPD melalui kontribusi laba LPD yang

diberikan ke desa adat untuk melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan adat

dan agama.

Dengan telah menjalankan peran besar seperti itu, muncul kesadaran bahwa

LPD tidak seharusnya dikenakan pajak. Sebagaimana yang disampaikan oleh


95

Bapak GA, tidak ada imbal balik yang akan diterima oleh krama. Kesadaran ini

lahir dari pengalaman beliau yang melihat kontribusi pemerintah dalam

mendukung krama membiayai aktivitas keagamaan tidak ada. Pada titik ini LPD

yang mengambil alih untuk membantu krama sehingga krama tidak lagi dibebani

tanggung jawab yang berat terkait pendanaan untuk kegiatan yadnya. Sebaliknya,

apabila LPD membayar pajak, tidak ada kontribusi langsung yang diterima oleh

krama untuk meringankan mereka dalam membiayai upacara yadnya. Pajak yang

dibayar bahkan akan mengurangi kontribusi laba yang diberikan LPD kepada desa

pakraman, sehingga berpengaruh kepada krama. Ada iuran yang akan

dikeluarkan oleh krama untuk membiayai upacara yadnya.

5.3.2. LPD Telah Melestarikan Adat dan Budaya Bali, Menunjang Pariwisata

Bali

Kesadaran menjadikan LPD sebagai benteng pertahanan dalam menjaga

adat dan budaya Bali terpatri dalam kesadaran para pelaku usaha LPD. Peneliti

menangkap suatu pemahaman bahwasanya orang Bali sendirilah yang bisa

menjaga adat dan budaya Bali itu dari kepunahan akibat pengaruh globalisasi dan

ekonomi kapitalis. Ekonomi yang menekankan pada pentingnya uang sehingga

setiap orang harus bekerja untuk mendapatkan penghidupan yang layak,

sedangkan budaya Bali sendiri menekankan pada kerja sama dalam setiap ritual

adat dan budaya yang menyatu dengan agama. Sebagaimana kesadaran Bapak

Nyoman bahwa masyarakat Bali bergeser kehidupannya yang beralih dari

kehidupan agraris ke sektor jasa terutama pariwisata. Pergeseran yang tentu saja

membawa dampak terhadap adat dan budaya Bali.

Pada posisi itulah LPD berperan untuk dapat mempertahankan adat dan

budaya Bali. Laba LPD digunakan untuk menyelenggarakan aktivitas adat dan

budaya. Semua informan merasakan bagaimana LPD itu berperan melestarikan


96

adat dan budaya. Dari informan yang LPD-nya masih tergolong kecil sampai

dengan yang besar menyadari peran itu, walaupun dalam pelaksanaan berbeda-

beda karena bergantung pada kemampuan finansial LPD masing-masing. Bapak

GA dan Bapak Ketut menjadi contoh bagaimana LPD yang dipimpin mereka bisa

mendukung desa pakraman menyelenggarakan upacara ngaben masa untuk

warga desa adat. Itu merupakan contoh bagaimana LPD dapat melestarikan adat

dan budaya tanpa menimbulkan beban kepada krama desa, bahkan juga

meringankan krama yang tidak mampu.

Hal ini juga sebenarnya tidak terlepas dari peran LPD meringankan beban

krama dalam yadnya. Memang keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak

dapat dipisahkan. Sebagaimana yang disampaikan Bapak Ketut bahwa belum

tentu orang Bali bisa tetap ikhlas mempertahankan adat dan budaya karena cara

hidup telah berubah dari kehidupan di masa lampau. LPD pada titik ini hadir

sebagai alat untuk mempertahankan adat dan budaya sehingga adat dan budaya

yang membutuhkan biaya dapat berjalan.

Lestarinya adat dan budaya ini yang kemudian dirasakan menjadi penyebab

pariwisata Bali dapat berkembang. Bapak Ketut, Bapak GA, dan Bapak Nyoman

memiliki keyakinan bahwa pariwisata di Bali merupakan pariwisata yang dimotori

oleh pariwisata budaya, sebagaimana yang memang menjadi jargon pariwisata

Bali. Oleh karena itu mereka menyadari bagaimana peran LPD yang besar untuk

mempertahankan adat dan budaya berdampak bagi perkembangan pariwisata di

Bali.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Bapak Nyoman, laba LPD yang

digunakan untuk mempertahankan adat dan budaya memberikan dampak

banyaknya investor yang tertarik untuk berinvestasi di Bali. Kesadaran Bapak

Nyoman ini bisa dikatakan benar, investasi di Bali memang cukup pesat, terutama
97

terkait sektor pariwisata, bahkan beberapa tahun terakhir ini Bali mendapatkan

predikat pulau terindah di dunia yang tentu saja meningkatkan gairah investor

berinvestasi. Pada titik ini kemudian Bapak Nyoman menyadari dampak pariwisata

yang pesat tidak berbanding lurus dengan peran investasi-investasi tersebut

terhadap kelestarian adat dan budaya Bali. Orang Bali cenderung kalah bersaing

karena di satu sisi mereka harus tetap mempertahankan adat dan budaya dan di

satu sisi mereka harus bekerja untuk penghidupan, padahal orang Bali sendiri

yang memiliki peran utama dalam menjaga kelestarian adat dan budaya Bali.

Dari perkembangan pariwisata tersebut negara mendapatkan devisa dan

pajak. Karena itu kemudian muncul kesadaran bahwa dengan adanya peran LPD

yang melestarikan adat dan budaya sehingga pariwisata Bali tetap berkembang

telah ikut berkontribusi bagi penerimaan negara. Pemerintah bisa mendapatkan

pajak dari perusahaan-perusahaan yang berinvestasi di Bali. Secara tidak

langsung negara mendapatkan manfaat dari kehadiran LPD yang hadir untuk

mempertahankan adat dan budaya.

Karena itu pula yang kemudian menyebabkan memunculkan kesadaran

mendalam LPD untuk tidak memenuhi kewajiban pajak. LPD secara tidak

langsung telah berkontribusi bagi pajak melalui kontribusinya mempertahankan

adat dan budaya yang diambil dari laba LPD, sedangkan apabila LPD membayar

pajak tidak ada jaminan pajak yang dibayarkan akan kembali kepada desa adat

untuk membiayai kegiatan yang terkait dengan adat dan budaya Bali.

Dalam penelitian ini, peneliti menangkap pemikiran dari Bapak Nyoman

tentang pentingnya LPD untuk mempertahankan adat dan budaya Bali dan tidak

seharusnya dikenakan pajak tentu saja berpengaruh terhadap pemikiran dan

kesadaran sebagian besar pelaku usaha LPD di Bali. Sebagai suatu organisasi

komunal yang sangat mengandalkan ketokohan, maka pendapat Bapak Nyoman


98

memunculkan kesadaran bagi “Aku-aku” lainnya. Kesadaran ini yang menurut

peneliti pada akhirnya membentuk kesadaran kolektif, karena adanya interaksi

melalui satu kesatuan organisasi. Masing-masing LPD walaupun berdiri sendiri

dan dimiliki langsung oleh masing-masing desa pakraman terikat oleh interaksi

bersama karena LPD memiliki struktur pengawas dan badan kerja sama LPD

ditingkat provinsi sampai dengan ditingkat kabupaten. Posisi Bapak Nyoman

sebagai pengawas LPD Provinsi Bali tentu saja menjadikan tindakan dan sikapnya

memengaruhi sebagian besar LPD di Bali, maka tidak heran pemikiran pentingnya

LPD dalam mempertahankan adat dan budaya Bali diamini oleh pelaku usaha LPD

lainnya.

5.3.3. LPD Bukan Badan Usaha Yang Berorientasi profit

LPD walaupun merupakan lembaga keuangan yang dimiliki desa adat,

proses bisnis yang dilakukan tidak berbeda dengan lembaga keuangan. Kegiatan

operasional LPD mengadopsi sistem operasional layaknya perbankan. Laporan

keuangan menggunakan laporan keuangan perbankan, menggunakan analisis

dan istilah-istilah perbankan terkait penilaian kinerja. Hal tersebut tidak terlepas

dari Peraturan Gubernur (Pergub) Provinsi Bali Nomor 11 Tahun 2013 yang

merupakan peraturan pelaksanaan Perda LPD. Pergub ini menjadikan bisnis LPD

layaknya perbankan. Istilah-istilah di perbankan seperti ATMR, BMPK, kualitas

pinjaman, dan masih banyak lagi istilah perbankan yang diadopsi dalam Pergub.

Laporan keuangan yang dibuat oleh LPD juga mengadopsi perbankan (lihat

gambar 5.1. dan 5.2.).


99

Gambar 5.1.
Contoh Laporan Neraca LPD

Sumber: LPD PT

Dikarenakan mengadopsi laporan keuangan perbankan, maka LPD juga

mengenal laba rugi, bahkan menjadikan laba sebagai salah satu alat pengukuran

kinerja LPD. Hal yang bisa dikatakan ambigu karena di satu sisi mencari laba akan

tetapi di satu sisi tidak bersedia dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima

LPD. Pada titik ini para informan ternyata memiliki kesadaran bahwa LPD itu bukan

hanya bertujuan mencari laba. Bapak Ajik memiliki kesadaran mendalam (noesis)

bahwa laba sebenarnya bukan tujuan utama LPD, yang utama adalah

menyejahterakan krama. Bapak Baik menyatakan bahwa laba LPD digunakan

untuk pembangunan tempat ibadah dan terkait dengan desa adat. Bapak Ketut,

memiliki kesadaran bahwa laba LPD untuk kesejahteraan krama adat. Bapak

Nyoman pun mengamini kesadaran-kesadaran informan di atas.


100

Gambar 5.2.
Contoh Laporan Laba Rugi LPD

Sumber: LPD PT

Kesadaran ini yang peneliti tangkap sebagai kekhasan LPD. Terdapat

perlakuan berbeda atas laba yang diperoleh, yang mana perlakuan atas laba ini

berbeda dengan lembaga keuangan lainnya. Laba yang didapat dikembalikan

kepada desa pakraman untuk membiayai aktivitas sosial di desa, tidak untuk

dinikmati oleh pemegang saham atau individu tertentu. Laba dinikmati secara
101

komunal untuk kepentingan desa pakraman, tidak ada istilah siapa yang

berkontribusi lebih besar akan menerima lebih.

Laba LPD sebesar 25% digunakan untuk aktivitas sosial yaitu 20% untuk

dana pembangunan desa dan 5% merupakan dana sosial. Pengeluaran sebesar

25% inilah yang dipahami informan sebagai bentuk pajak. Selain itu, ada pula

informan yang memaknai mengapa LPD itu sebagai lembaga keuangan yang tidak

hanya berorientasi pada keuntungan tetapi ada fungsi sosial di sana. Fungsi sosial

untuk menjadikan desa pakraman mandiri. Pendapat lebih ekstrim disampaikan

oleh Bapak Ketut dan Bapak Nyoman, semua laba LPD memiliki fungsi sosial.

Laba sebesar 60% yang dipupuk sebagai cadangan modal juga memiliki fungsi

sosial. Tujuan pemupukan laba bertujuan agar kedepannya LPD bisa memberikan

pinjaman kepada krama dengan tingkat suku bunga di bawah suku bunga pasar.

Karena kesadaran akan peran dan fungsi LPD yang begitu besar untuk

mempertahankan adat dan budaya Bali. Laba yang diperoleh bukan untuk

kepentingan individu tertentu saja, melainkan memiliki fungsi sosial seperti

membangun pura, dan aktivitas adat lainnya. Kesadaran itu memunculkan

kesadaran selanjutnya bahwa LPD bukan lembaga keuangan yang berorientasi

profit. Karena dari informan-informan ini yang kemudian peneliti tangkap menjadi

kesadaran bagi mereka bahwa LPD sudah seharusnya tidak dikenakan pajak.

5.4. Esensi Pajak Sebagai Beban

Dari eksplorasi dan mendalami kesadaran pelaku usaha LPD terhadap

kesadaran atas kewajiban perpajakan peneliti menemukan suatu esensi mengapa

mereka tidak bersedia memenuhi kewajiban perpajakan. Pajak bagi para pelaku

usaha LPD dimaknai sebagai beban yang mereduksi kontribusi LPD bagi

kesejahteraan krama dan untuk mempertahankan adat dan budaya Bali (lihat tabel

5.6. Ilustrasi pajak mereduksi kontribusi LPD). Penilaian ini muncul karena tidak
102

ada dampak langsung yang dirasakan oleh para informan apabila LPD membayar

pajak terhadap kegiatan adat dan budaya.

Tabel 5.6.
Ilustrasi Pajak Mereduksi Kontribusi Laba LPD20

Tidak Dikenakan
Dikenakan Pajak Selisih
Pajak
LPD X (LPD dengan Peredaran
Bruto di atas Rp50 miliar
Laba Usaha Sebelum Pajak 10.000.000.000 10.000.000.000 -
Beban Pajak (25% dari Laba) (2.500.000.000) - (2.500.000.000)
Laba Usaha Setelah Pajak 7.500.000.000 10.000.000.000 (2.500.000.000)

Pembagian Laba:
Cadangan Modal (60%) 4.500.000.000 6.000.000.000 (1.500.000.000)
Dana Pembangunan Desa (20%) 1.500.000.000 2.000.000.000 (500.000.000)
Jasa Produksi (10%) 750.000.000 1.000.000.000 (250.000.000)
Dana Pembinaan, Pengawasan, dan
Perlindungan (5%) 375.000.000 500.000.000 (125.000.000)
Dana Sosial (5%) 375.000.000 500.000.000 (125.000.000)

LPD XY (LPD Dengan Peredaran


Bruto Di Bawah Rp50 miliar

Peredaran Bruto 25.000.000.000 25.000.000.000 -


Beban Usaha (21.000.000.000) (21.000.000.000) -
Laba Usaha Sebelum Pajak 4.000.000.000 4.000.000.000 -
Beban Pajak:
Tarif 12,5% untuk peredaran bruto s.d.
96.000.000
4,8 M
Tarif 25% untuk peredaran bruto > 4,8 808.000.000
M
Total Beban Pajak (904.000.000) - (904.000.000)
Laba Usaha Setelah Pajak 3.096.000.000 4.000.000.000 (904.000.000)

Pembagian Laba:
Cadangan Modal (60%) 1.857.600.000 2.400.000.000 (542.400.000)
Dana Pembangunan Desa (20%) 619.200.000 800.000.000 (180.800.000)
Jasa Produksi (10%) 309.600.000 400.000.000 (90.400.000)
Dana Pembinaan, Pengawasan, dan
Perlindungan (5%) 154.800.000 200.000.000 (45.200.000)
Dana Sosial (5%) 154.800.000 200.000.000 (45.200.000)

20Angka-angka yang peneliti gunakan tidak sama persis dengan data yang peneliti dapatkan dari
laporan keuangan LPD. Hal ini dilakukan untuk tetap menjaga kerahasiaan data dari informan.
103

Hal sebagaimana yang peneliti ilustrasikan di atas yang tidak dapat diterima

oleh pelaku usaha LPD. Laba yang seharusnya bisa digunakan secara penuh

untuk kesejahteraan krama dalam rangka mempertahankan adat dan budaya

berkurang karena menjalankan kewajiban pajak, padahal nominal yang

dibayarkan bagi mereka bisa digunakan secara maksimal bagi kepentingan adat

dan budaya. Ada kesadaran dari informan yang peneliti tangkap terkait beratnya

beban untuk mempertahankan adat dan budaya, sehingga sedikit saja ada beban

yang mengurangi kontribusi laba LPD harus dihindari. Besaran pajak dari laba

yang dibayarkan tentu saja akan mengurangi besaran dana yang diberikan LPD

kepada desa adat, serta dana yang digunakan untuk aktivitas sosial. Belum lagi

apabila diperhitungkan dampak koreksi fiskal yang tentu saja menambah besar

pajak yang harus dibayar LPD. Hal inilah yang kemudian menjadi esensi

penolakan untuk LPD tidak bersedia dikenakan pajak.


BAB VI

STATUS PERPAJAKAN LPD: PERSPEKTIF FISKUS

“Nothing is certain but tax and dead”


Benyamin Franklin

6.1. Pengantar

Setelah pada dua bab sebelumnya peneliti mengeksplorasi kesadaran para

pelaku usaha LPD terkait kewajiban perpajakan LPD, maka pada bab ini peneliti

akan membahas dari sudut pandang fiskus. Peneliti menggali bagaimana

sebenarnya kewajiban perpajakan bagi LPD dari sudut pandang fiskus. Apakah

benar LPD mendapatkan perlakuan khusus terkait pajak.

Untuk mendapatkan perspektif dari fiskus, peneliti mewawancarai dua orang

petugas pajak. Kedua orang yang peneliti wawancarai ini merupakan informan

yang kompeten dan telah mendapatkan izin dari atasannya untuk menjelaskan

tentang LPD dari sudut pandang Direktorat Jenderal Pajak, khususnya Kanwil DJP

Bali. Dari proses wawancara, sudut pandang fiskus sangat berbeda terkait

kewajiban perpajakan LPD. Kedua informan sepakat bahwa LPD memenuhi

kriteria sebagai wajib pajak dan seharusnya memiliki kewajiban untuk menjalankan

kewajiban perpajakan sebagaimana yang diatur dalam peraturan perpajakan.

6.2. LPD Memenuhi Definisi Badan

LPD memenuhi definisi badan. Hal tersebut yang peneliti tangkap dari

pernyataan Bapak Made, Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi di KPP

Pratama Badung Selatan ketika peneliti tanyakan tentang pandangannya terkait

LPD dari sisi pajak.

104
105

“Kalau saya boleh mewakili DJP, kita tetap berpedoman pada Undang-
undang kita bahwa lembaga tersebut, kalau kita boleh mengkhusus pada
LPD, Itu sebuah lembaga dan itu menjadi badan. Walaupun bukan badan
hukum resmi, namun di Undang-undang kan tidak disebutkan badan hukum
resmi gitu ya, hanya sekumpulan orang dan modal. Kalau saya pahami, LPD
itu sekumpulan orang dan modal, yang kemudian melakukan usaha baik itu
simpan pinjam dan kegiatan usaha lainnya, sehingga dari sudut pandang
perpajakan, saya sebagai fiskus memandang LPD sebagai subjek pajak.”

Bapak Made merupakan pegawai pajak kelahiran Bali. Beliau baru bertugas

di Bali pada pertengahan tahun 2015 setelah sebelumnya lebih banyak bertugas

di Jakarta. Walaupun baru, Bapak Made telah berhasil mendapatkan penghargaan

sebagai Kepala Seksi Terbaik Kanwil Bali. Penghargaan yang diterima

menunjukkan bahwasanya kinerja dan kompetensi yang bersangkutan tidak bisa

diragukan. Oleh karena itu tidak salah peneliti menjadikan yang bersangkutan

sebagai informan.

Bapak Made dengan jelas menyatakan bahwa LPD itu merupakan badan

sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang perpajakan. Undang-undang

perpajakan di Indonesia sebagaimana yang disampaikan oleh Bapak Made

mendefinisikan badan itu adalah sekumpulan orang dan modal. Pada titik ini

Bapak Made memiliki pemahaman bahwasanya LPD itu merupakan sekumpulan

orang dan modal yang melakukan kegiatan usaha. Oleh karena itu LPD memenuhi

apa yang dimaksud badan dalam undang-undang perpajakan, sehingga

merupakan subjek pajak.

Pendapat Bapak Made tersebut sebenarnya merujuk pada Pasal 1 poin 3 UU

No. 6 Tahun 1983 Jo. UU No. 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum

Perpajakan (UU KUP). Pasal tersebut menyebutkan yang dimaksud dengan badan

sebagai berikut:

“Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan


kesatuan baik yang melakukan kegiatan usaha maupun yang tidak
melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah
dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana
106

pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi


sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak kolektif dan bentuk usaha tetap.”

Selanjutnya dalam UU No. 7 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan

UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa yang menjadi subjek

pajak salah satunya adalah badan, selain tiga subjek pajak lainnya, yaitu: (1) orang

pribadi, (2) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang

berhak, dan (3) bentuk usaha tetap. Pendapat yang disampaikan oleh Bapak Made

sebenarnya mengacu pada ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia.

Bapak Awam, telah berkarier di DJP selama lima belas tahun. Selama

bertugas di DJP telah merasakan ditempatkan di beberapa pulau di Indonesia.

Beliau saat ini bertugas di Kanwil DJP Bali sebagai Kepala Seksi yang berkaitan

dengan pengawasan. Oleh karena itu tidak salah kalau beliau menjadi narasumber

penelitian. Dalam wawancara dengan Bapak Awam untuk membahas terkait LPD,

Bapak Awam berpendapat LPD merupakan subjek pajak dan seharusnya bisa

ditetapkan menjadi wajib pajak. Informan juga menyamakan bahwa sebenarnya

kegiatan usaha LPD sama dengan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dan

mengungkapkan bahwasanya permasalahan terkait LPD sudah menjadi isu di DJP

Kanwil Bali, terutama terkait dengan Perda No. 8 Tahun 2002 yang mengatur

khusus tentang LPD.

“Secara garis besar, LPD itu memang saat ada diskusi sebelumnya yang
menyatakan memang bahwa LPD itu diatur khusus dengan perda pemprov
Bali Nomor 8 kalau gak salah. Nah di situ memang saya belum mencari,
karena bukan ranah saya untuk mempelajari perda itu. Ada yang
menyebutkan bahwa menurut pemprov tadi, itu LPD bukan subjek pajak,
informasi inilah yang kemudian menjadi perbincangan di teman-teman pajak,
khususnya kanwil Bali. Nah LPD ini kalau saya lihat sekilas dari
informasinya, hampir sama seperti lembaga keuangan lainnya karena dari
KLUnya [Klasifikasi Lapangan Usaha] kalau kita teliti, mempunyai kegiatan
lapangan untuk menerima dan menghimpun dana kemudian memberikan
pinjaman, kemudian mereka juga meminjam dari lembaga-lembaga
keuangan lain, memang ada ketentuan kalau gak salah maksimal 100% dari
modal mereka. Nah kemudian khususnya, mereka menyimpan kelebihan
likuiditasnya harus di BPD Bali, nah itu kalau kita lihat. Nah kalau dari rincian
107

klasifikasi usaha ini, kalau kita menyimpulkan sebenarnya LPD ini hampir
sama dengan koperasi simpan pinjam pada umumnya, sehingga kalau
menurut kita, LPD itu seharusnya adalah badan yang memenuhi syarat
untuk ditetapkan menjadi wajib pajak. Terpenuhi syarat untuk menjadi subjek
pajak.”

Kedua informan secara tegas berpendapat bahwa LPD seharusnya

merupakan subjek pajak. Peneliti menangkap makna dari pernyataan kedua

informan di atas adalah walaupun LPD diatur dengan Perda Provinsi Bali, tidak

mengecualikan LPD dari kewajiban pajak. Pendapat mereka itu bukanlah tanpa

dasar, karena peraturan perpajakan di Indonesia dengan jelas mendefinisikan

badan yang menjadi subjek pajak itu seperti apa. Kata kunci mengapa informan

menyatakan LPD sebagai subjek pajak adalah “sekumpulan orang dan/atau modal

yang melakukan kegiatan usaha atau tidak”, sehingga dalam posisi ini LPD

sebenarnya masuk kriteria subjek pajak badan. LPD terdiri dari sekumpulan orang

yang dalam hal ini krama desa pakraman, LPD juga pada saat pendirian memiliki

modal awal, sehingga dua syarat subjektif sebagai badan berdasarkan ketentuan

perpajakan terpenuhi.

Undang-undang KUP jelas-jelas tidak mendefinisikan pengertian badan yang

menjadi subjek pajak hanya berdasarkan status badan hukum. Karena itu

argumen bahwa LPD tidak kena pajak karena bukan merupakan badan hukum

resmi tidak sejalan dengan pandangan informan yang merupakan pihak fiskus.

Siapa saja yang melakukan kegiatan usaha atau tidak melakukan kegiatan usaha

yang terdiri dari kumpulan beberapa orang memenuhi syarat subjektif sebagai

badan berdasarkan ketentuan perpajakan, sehingga termasuk dalam definisi

badan.

Bapak Awam bahkan berpendapat LPD tidak ada bedanya dengan KSP. Di

dalam melakukan kegiatan usaha, LPD menghimpun dan kemudian

menyalurkannya dana yang diterima dalam bentuk pinjaman. Simpanan dan


108

pinjaman yang diberikan juga memiliki lingkup yang terbatas yaitu hanya kepada

krama desa setempat. Oleh karena itu Bapak awam memiliki pemahaman

bahwasanya hal tersebut mirip dengan KSP yang mana KSP pinjam hanya

menerima simpanan dan memberikan pinjaman kepada anggota koperasi.

6.3. LPD Tidak Dikecualikan Dari Kewajiban Perpajakan

Sebagaimana yang peneliti sampaikan pada bab sebelumnya, salah satu

alasan penolakan LPD untuk dikenakan pajak karena telah dibebaskan

berdasarkan UU LKM. Peneliti mencoba menggali hal ini kepada pihak fiskus.

Salah satu informan yaitu Bapak Made tidak memengaruhi LPD tidak menjadi

subjek pajak karena dalam aturan perpajakan di Indonesia tidak memberikan

perlakuan khusus terhadap LKM. Aturan perpajakan hanya memastikan bahwa

suatu badan merupakan subjek pajak atau tidak.

“Kalau saya melihat dari sudut pandang perpajakan, kalau UU LKM, itu
bukan ranah kita. Karena itu merupakan UU sendiri yang bukan UU
perpajakan, kalau mereka berpegang dengan UU LKM itu organisasi yang
menaunginya entah itu OJK atau lainnya. Tapi kalau dilihat dari perpajakan,
kita melihat UU perpajakan, apakah subjek pajak atau tidak. Mungkin
diperlukan harmonisasi antara UU LKM dengan UU perpajakan, tapi itu
levelnya bahasannya sama-sama UU di DPR seharusnya, tapi kalau di
posisi saat ini, UU perpajakan kita tidak memberikan perlakuan khusus
terhadap lembaga keuangan mikro seperti yang diatur dalam UU LKM.”

Pernyataan Bapak Made ini menunjukkan kesadarannya sebagai pegawai

pajak bahwasanya yang diperhatikan oleh UU perpajakan adalah status dari LPD

itu apakah menjadi subjek pajak atau tidak. Ketika LPD menyatakan bahwa

mereka mengacu kepada UU LKM, hal tersebut di luar konteks peraturan

perpajakan. Bapak Made meyakini bahwa LPD sebenarnya memenuhi definisi

sebagai badan yang menjadi subjek pajak dan juga menyadari bahwa ketentuan

perpajakan di Indonesia tidak memberikan aturan khusus bagi LKM. Karena itu

menurut Bapak Made apabila memang perlu dilakukan harmonisasi antara UU

Perpajakan dan UU LKM harus melibatkan DPR.


109

Walaupun tidak menanyakan terkait UU LKM kepada Bapak Awam, peneliti

menangkap cara pandang yang sama diantara kedua informan terkait kewajiban

pajak bagi LPD. Bagi mereka LPD merupakan subjek pajak badan, sehingga LPD

memiliki kewajiban untuk memiliki NPWP, karena memang awal mula dimulainya

kewajiban perpajakan ditandai dengan kepemilikan NPWP. Kesadaran ini muncul

karena menurut mereka dalam aktivitas usaha, LPD tidak lepas dari adanya

kewajiban perpajakan yang melekat dan diberlakukan sama dengan badan hukum

lain. Berikut Pendapat kedua informan terkait kewajiban perpajakan LPD.

“Kalau mereka punya NPWP, kewajiban perpajakannya sama dengan


badan-badan lainnya, akan menyesuaikan dengan bentuk badannya sendiri,
dan juga aktivitas mereka. Yang paling pokok adalah jika mereka
mendapatkan penghasilan, ada kewajiban pajak penghasilan di sana, baik
itu pajak badan maupun pajak potput. Minimal yang saya ketahui pasti ada
pengurus, pasti ada pegawai. Pegawai itu pasti mendapatkan gaji, dan dari
sudut pandang itu, seharusnya ditemukan pajak penghasilan karyawan,
Pasal 21, minimal itu.” [Bapak Made]

“Harusnya memiliki NPWP, jadi terkait kegiatan usaha ini kalau kita sempet
ngobrol dengan beberapa teman-teman, yang pertama harusnya
perlakuannya sama dengan badan hukum lainnya. Kalau badan hukum,
wajib punya NPWP kan?! sehingga PPh nya mengikuti ketentuan yang ada
di UU PPh, PPN nya mengikuti ketentuan UU yang ada di PPN...” [Bapak
Awam]

Dari pernyataan di atas terlihat jelas bahwa kedua informan yang merupakan

fiskus memiliki cara pandang sama bahwasanya LPD harusnya diperlakukan

sama dengan badan sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan perpajakan.

Perlakuan yang sama ini disebabkan karena tidak ada pengecualian bagi LPD

berkaitan dengan kewajiban perpajakan. Karena itu LPD seharusnya memiliki

NPWP sebagai sarana untuk menjalankan kewajiban perpajakan yang

seharusnya.

Bapak Made melihat kewajiban perpajakan yang seharusnya dijalankan oleh

LPD mulai dari level terkecil. Kewajiban memotong penghasilan dari pegawai LPD.

Dalam melakukan kegiatan usaha pastinya LPD memiliki kewajiban membayar


110

gaji pegawai yang tentu saja itu merupakan objek pajak. Dalam UU PPh Pasal 21,

pemberi kerja memiliki kewajiban untuk memotong gaji dan lain-lain yang

merupakan imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai

atau yang bukan pegawai. Bapak Awam memandang lebih luas lagi, selain

kewajiban PPh ada kewajiban PPN yang perlu dipertimbangkan terkait bisnis

proses LPD. Pendapat Bapak Awam ada benarnya juga kewajiban perpajakan

bukan saja atas pajak penghasilan akan tetapi ada juga pajak pertambahan nilai

yang wajib dijalankan oleh wajib pajak yang memenuhi kriteria terkait penyerahan

atas barang dan atau jasa kena pajak.

6.4. Resistensi LPD Dikenakan Pajak

Kendati menyadari LPD merupakan subjek pajak dan seharusnya memiliki

NPWP, sampai saat ini tidak ada satu pun LPD di Bali yang telah memiliki NPWP.

Ada resistensi dari LPD untuk dikenakan pajak. Menurut Bapak Made resistensi

ini tidak bisa dilepaskan dari cara pandang bahwa LPD sebagai lembaga

keuangan yang dimiliki desa, maka laba yang diperoleh juga sebenarnya untuk

kepentingan desa.

“Kalo saya pointnya mungkin LPD keberatan dengan pajak penghasilan


badan tadi. Karena mereka beranggapan penghasilan mereka sepenuhnya
modalnya dari desa, dan keuntungan mereka pun semua dilarikan ke desa
untuk pemberdayaan desa.”

Apa yang disampaikan oleh Bapak Made, sebenarnya sesuai pula dengan

apa yang disampaikan oleh informan pelaku usaha LPD. Laba yang didapatkan

LPD sepenuhnya kembali digunakan untuk kepentingan pembangunan di desa

pakraman. Apa yang disampaikan oleh Bapak Made terkait resistensi LPD untuk

dikenakan pajak, bisa jadi karena yang bersangkutan sendiri adalah orang Bali

yang terlibat secara langsung dalam kehidupan di desa pakraman, sehingga paling

tidak mengetahui informasi alasan penolakan LPD dikenakan pajak penghasilan.


111

Selain resistensi dari pelaku usaha LPD, Pemprov Bali juga mendukung

pendapat bahwa LPD tidak perlu menjalankan kewajiban perpajakan. Hal tersebut

diungkapkan oleh Bapak Awam berikut ini:

“Pemprov Bali sebenarnya mendukung juga untuk pemungutan pajak ini,


tapi entah kenapa di lapangan mereka menyatakan nggak ada kewajiban
untuk ber-NPWP.”

Kesan yang peneliti dapatkan bahwa sebenarnya Pemprov Bali bersikap

ambigu. Di satu sisi mendukung pemungutan pajak, akan tetapi pada posisi lain

menyatakan LPD tidak perlu memiliki NPWP. Peneliti menangkap bahwa

sebenarnya Pemprov Bali berusaha mempertahankan bahwa LPD tidak kena

pajak sehingga tidak perlu menjalankan kewajiban perpajakan dan oleh karena itu

tidak perlu memiliki NPWP. Pembelaan yang dilakukan oleh Pemprov Bali terkait

LPD bukan merupakan hal yang aneh menurut peneliti. Pada permasalahan-

permasalahan sebelumnya, yang mana LPD selalu berusaha diatur dengan

peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat, Pemprov Bali selalu terlibat dan

cenderung resisten untuk mempertahankan LPD berjalan seperti apa yang telah

berlaku saat ini. Pemprov Bali bisa dikatakan mendukung penuh keberadaan LPD

di Bali agar tidak sampai terganggu dengan aturan yang ada.

Walaupun secara umum para pelaku usaha menolak untuk ditetapkan

sebagai wajib pajak, ada temuan menarik yang disampaikan oleh Bapak Made

terkait perlakuan pajak bagi LPD. Bapak Made melalui proses interaksinya dengan

beberapa pengurus LPD menemukan bahwa ada pengurus LPD yang bersedia

apabila LPD yang dipimpinnya harus memiliki NPWP. Menurut Bapak Made,

kesediaan LPD tersebut untuk memiliki NPWP tidak lepas dari kejadian yang

menyebabkan mereka harus berinteraksi dengan petugas pajak. Interaksi yang

timbul ketika LPD melakukan penjualan atas aset tanah yang disita dari nasabah.

Atas transaksi penjualan tersebut terdapat kewajiban perpajakan yang terutang.


112

Selama ini transaksi dilakukan menggunakan NPWP pengurus, sehingga

kewajiban perpajakan melekat kepada pengurus. Adanya transaksi yang

sebenarnya bukan merupakan milik pengurus akan tetapi menggunakan nama

serta NPWP pribadi pengurus menyebabkan pengurus tersebut dikejar oleh

petugas pajak terkait kewajiban perpajakan yang terutang atas transaksi penjualan

tanah sitaan. Pada titik inilah akhirnya pengurus yang dikejar oleh DJP atas

kewajiban perpajakan terkait dengan penjualan tanah sitaan memiliki kesadaran

perlunya LPD memiliki NPWP. Walaupun menyadari perlunya memiliki NPWP,

pengurus LPD tersebut meminta apabila hal tersebut dilakukan maka harus

dilakukan sama terhadap LPD yang lain jangan hanya diterapkan terhadap LPD

mereka saja.

Atas hal tersebut maka Bapak Made menyadari hal ini di luar

kemampuannya. LPD di Bali melingkupi seluruh desa pakraman di Bali.

Kewenangan KPP Pratama Badung Selatan terbatas pada daerah Kabupaten

Badung bagian selatan, sehingga apabila KPP Pratama Badung Selatan

menetapkan NPWP bagi LPD di daerah tersebut pastinya akan terjadi gejolak

apabila di daerah lain tidak diberlakukan hal serupa. Karena itu Bapak Made

menyadari berkaitan dengan penetapan LPD menjadi subjek pajak dan diberikan

NPWP perlu kebijakan dari Kanwil DJP Bali, dan bahkan sepengetahuan Bapak

Made, Kanwil Bali sudah berupaya membahas terkait penetapan LPD sebagai

subjek pajak karena secara ketentuan memenuhi syarat subjektif dan objektif

Kanwil Bali. Hanya saja menurut Bapak Made lagi-lagi resistensi dari pihak-pihak

yang berkepentingan menjadi penyebab belum berhasilnya kebijakan tersebut.

Bapak Awam, sebagai Kepala Seksi di Kanwil Bali yang berkaitan dengan

permasalahan ini menyadari bahwa perlu dicarikan solusi berkaitan dengan LPD.

Oleh karena itu Kanwil Bali sebenarnya tetap berupaya bagaimana agar dapat
113

masuk ke LPD dengan menggunakan jejaring yang dimiliki. Salah satu upaya yang

rencananya dilakukan adalah dengan mensosialisasikan kewajiban perpajakan

LPD kepada masyarakat. Bapak Awam juga memahami perlu diskusi yang lebih

mendalam terhadap status kewajiban perpajakan LPD, karena status LPD yang

tidak bisa dipersamakan dengan badan hukum lain, serta ada kearifan lokal dari

LPD itu sendiri yang harus diperhatikan. Permasalahan yang saat ini ada adalah

pihak-pihak dari LPD cenderung menghindari diskusi untuk membahas mengenai

kewajiban perpajakan yang melekat pada LPD. Pihak-pihak tersebut selalu

beralasan bahwa Perda tentang LPD yang menyatakan bahwa LPD tidak harus

memiliki NPWP. Terhadap hal ini menurut Bapak Awam perlu pendekatan dengan

pihak Pemprov Bali untuk membahas ini lebih dalam.


BAB VII

REFLEKSI PENELITIAN

“Demikian duduknya maka dibagi tiga (hasil usaha


itu), yang satu bagian, guna biaya untuk mencapai
dharma, bagian kedua adalah biaya untuk
memenuhi kama, bagian yang ketiga diuntukkan
bagi melakukan kegiatan usaha dalam bidang
artha, ekonomi, agar berkembang kembali
demikian duduknya, maka dibagi tiga, oleh karena
yang ingin beroleh kebahagiaan.”

Sarasamuccaya 262

7.1. Pengantar

Setelah pada bab-bab sebelumnya membahas kesadaran pelaku usaha LPD

atas kewajiban perpajakan, alasan mengapa bagi mereka LPD tidak dikenakan

pajak, dan pandangan fiskus terhadap LPD. Pada bab ini akan dibahas refleksi

peneliti atas hasil temuan penelitian. Pembahasan ini mengandalkan intuisi peneliti

sebagai hasil dari interaksi dengan informan, referensi-referensi, dan perenungan

mendalam atas fenomena LPD yang tidak bersedia membayar pajak.

Bab ini membahas bagaimana sebenarnya kewajiban perpajakan LPD dari

sudut pandang regulasi. Untuk itu pembahasan ini akan memperhatikan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Peneliti juga membahas bagaimana laporan

keuangan LPD yang mengadopsi perbankan menjadikan LPD terkesan hanya

berorientasi profit, dan mengapa LPD tidak mau memenuhi kewajiban perpajakan.

Ada alasan yang menurut peneliti melatarbelakangi LPD untuk tidak bersedia

dikenai pajak.

7.2. LPD Dari Sudut Pandang Regulasi

Melalui proses perenungan dan mengkaji lebih dalam isi dari UU LKM, UU di

bidang perpajakan, dan diskusi secara informal dengan pengamat perpajakan

114
115

Bapak Yustinus Prastowo terkait kewajiban perpajakan LPD. Keberadaan UU LKM

yang menjadi acuan para pelaku usaha LPD bahwasanya LPD tidak dikenakan

pajak serta tidak perlu menjalankan kewajiban perpajakan, bagi peneliti

merupakan klaim sepihak. Pasal 39 ayat (3) UU LKM mengakui keberadaan LPD

berdasarkan hukum adat dan tidak tunduk pada UU LKM. Pasal tersebut tidak

dapat dimaknai lebih lanjut sebagai pengakuan LPD juga tidak dikenakan pajak,

melainkan hanya dapat dimaknai bahwa LPD tidak perlu mengikuti ketentuan-

ketentuan yang diatur dalam UU LKM. Oleh karena itu hanya hal-hal yang diatur

dalam UU LKM yang tidak perlu diikuti oleh LPD dalam menjalankan kegiatan

usaha. Beberapa hal yang tidak perlu diikuti oleh LPD diantaranya: (1) lembaga

keuangan mikro harus berbadan hukum perseroan terbatas atau koperasi

sebagaimana ketentuan Pasal 5 ayat (1); (2) memerlukan izin usaha dari OJK

sebagaimana ketentuan Pasal 9 ayat (1); dan (3) dibina, diatur, dan diawasi oleh

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana ketentuan Pasal 28 ayat (1). Jadi

jelas sekali tidak ada satu pasal dari 42 pasal dalam UU LKM yang mengecualikan

LPD dari kewajiban perpajakan. Diakuinya keberadaan LPD berdasarkan hukum

adat tidak dapat diartikan bahwasanya LPD bebas dari kewajiban perpajakan.

Menurut peneliti, hukum adat tidak dapat menegasikan hukum negara yang dalam

hal ini UU di bidang perpajakan.

Dalam UU perpajakan, definisi badan tidak membedakan hukum negara dan

hukum adat. Definisi badan dalam UU perpajakan dinyatakan dalam Pasal 1 poin

3 UU KUP. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan

satu kesatuan baik melakukan kegiatan usaha ataupun tidak. LPD apabila

diperhatikan memenuhi apa yang dimaksud dalam definisi badan. LPD merupakan

milik desa pakraman, yang mana desa pakraman merupakan kesatuan

masyarakat hukum adat dengan memiliki wilayah tertentu dan harta kekayaan
116

sendiri, dan berhak mengurus rumah tangganya sendiri, sehingga definisi

sekumpulan orang sebagaimana yang dimaksud dalam UU KUP terpenuhi. Begitu

juga dengan modal, LPD memiliki modal. Dalam laporan keuangan terdapat akun

modal (lihat gambar 5.1.), bahkan modal merupakan syarat dalam pendirian LPD.

Pasal 9 Perda No. 8 Tahun 2002 yang diubah terakhir dengan Perda No. 4 Tahun

2012 menyatakan LPD dapat didirikan dengan modal awal pendirian minimal

sebesar Rp20 juta. Dengan adanya akun modal dan ketentuan dalam Perda yang

mengatur modal awal pendirian LPD makin menguatkan bahwasanya LPD

memenuhi definisi badan sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan

perpajakan.

Dari sisi regulasi pajak, kewajiban perpajakan timbul ketika wajib pajak

memenuhi syarat subjektif dan objektif. Setelah memenuhi syarat subjektif dan

objektif, maka wajib hukumnya suatu badan/ orang pribadi mendaftarkan diri pada

kantor pajak di mana wajib pajak tinggal atau lokasi kedudukan wajib pajak untuk

mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Syarat subjektif sebagai dasar

menjadi wajib pajak diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU PPh, sedangkan yang

menjadi objek pajak diatur dalam pasal 4 UU PPh.

Pasal 2 ayat (1) UU PPh menyatakan yang menjadi subjek pajak salah

satunya adalah badan. Definisi badan yang dimaksud dalam pasal tersebut

dijelaskan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1). Definisi badan yang dijelaskan pada

penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut sama dengan definisi badan dalam Pasal 1

poin 3 UU KUP. Karena itu menurut peneliti LPD memenuhi syarat subjektif

sebagai subjek pajak karena memenuhi kriteria badan. UU PPh hanya

mengecualikan badan yang merupakan unit tertentu dari badan pemerintah

dengan memenuhi 4 kriteria berikut ini: (1) dibentuk berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan; (2) pembiayaan bersumber dari APBN atau


117

APBD; penerimaan masuk dalam anggaran pemerintah pusat atau daerah; dan

(4) pembukuan badan ini diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.

LPD tidak memenuhi kriteria pengecualian wajib pajak badan menurut UU PPh,

sehingga sebenarnya LPD memiliki kewajiban subjektif sejak saat didirikan hingga

dibubarkan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2A ayat (2) UU PPh.

Terpenuhinya syarat subjektif menjadikan LPD sebenarnya memiliki

kewajiban pajak atas penghasilan yang diterima karena penghasilan LPD

memenuhi syarat objektif sebagai objek pajak sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 4 UU PPh. Kewajiban pajak ini seharusnya dipenuhi sejak LPD didirikan dan

berlangsung sampai dengan LPD dibubarkan. Selain dikenai pajak penghasilan

atas penghasilan yang diperoleh dari kegiatan usaha, LPD juga memiliki kewajiban

pemotongan dan atau pemungutan (Potput) atas penghasilan bunga deposito dan

tabungan dari nasabah, penghasilan yang berkaitan dengan pekerjaan dari

pegawai dan bukan pegawai LPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU

PPh, penghasilan yang diterima oleh pihak ketiga dari LPD sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 23 UU PPh, dan kewajiban pemotongan pajak lainnya

sebagaimana diatur dalam UU PPh.

Dalam proses bisnis, LPD secara jelas disebutkan dalam Perda tentang LPD

melakukan kegiatan menghimpun dana dalam bentuk tabungan dan deposito dari

krama desa yang kemudian memberikan pinjaman kepada krama desa. Dari

kegiatan usaha ini sebenarnya LPD memiliki kewajiban memotong penghasilan

atas bunga deposito dan tabungan yang diterima oleh nasabah LPD. Selain itu,

LPD dalam kegiatan usaha memberikan kompensasi kepada para pegawai LPD

berupa gaji, sehingga sebenarnya LPD memiliki kewajiban untuk memotong

penghasilan yang diterima karyawannya apabila gaji yang diterima telah melebihi

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Perda tentang LPD juga secara jelas
118

menyatakan bahwa pengurus dan karyawan LPD berhak atas jasa produksi yang

besarannya 10% dari laba. Penghasilan yang diterima oleh pengurus dan

karyawan ini termasuk penghasilan yang dimaksud dalam Pasal 21, sehingga

menjadi objek pemotongan bagi badan yang memberi penghasilan. Pada

pelaksanaan proses bisnis, LPD juga melakukan transaksi dengan pihak ketiga

yang menjadi objek pemotongan Pasal 23, diantaranya adalah penghasilan atas

jasa-jasa konsultan dan jasa lain yang merupakan objek pemotongan dengan tarif

sebesar 2% dari jumlah bruto. Dari semua kewajiban yang peneliti sampaikan di

atas, tidak ada satu pun yang dijalankan oleh LPD karena LPD yang belum

memiliki NPWP.

Ada hal menarik pula yang peneliti temukan apabila LPD dinyatakan sebagai

subjek pajak badan. Hal tersebut terkait dengan pemotongan penghasilan bunga

yang diterima oleh nasabah dalam bentuk deposito atau tabungan. Berdasarkan

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 131 Tahun 2000 yang merupakan turunan dari

UU PPh, besarnya PPh bersifat final yang dipotong adalah 20% dari jumlah bruto

bagi wajib pajak dalam negeri dan Badan Usaha Tetap (BUT), sedangkan bagi

wajib pajak luar negeri dikenakan tarif 20% atau sesuai tarif Perjanjian

Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Pengecualian dari pemotongan pajak

diberikan apabila bunga deposito atau tabungan diterima dari jumlah tabungan

atau deposito yang tidak melebihi Rp 7.500.000,00 dan bukan merupakan jumlah

yang dipecah-pecah. Dalam penjelasan Pasal 1 PP No. 131 Tahun 2000

menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan deposito adalah deposito dengan

nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deposito berjangka, sertifikat deposito

dan "deposit on call" baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing yang

ditempatkan pada atau diterbitkan oleh bank. Tabungan adalah simpanan pada

bank dengan nama apapun, termasuk giro, yang penarikannya dilakukan menurut
119

syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh masing-masing bank. Dengan

berlakunya UU LKM yang mengecualikan LPD dari ketentuan UU LKM, maka LPD

tidak bisa dikategorikan sebagai bank sebagaimana yang dimaksud dalam PP No.

131 tahun 2000.

LPD juga bukan koperasi, sedangkan peraturan lainnya yang mewajibkan

pemotongan bunga simpanan adalah PP No. 15 Tahun 2009. PP ini menyatakan

bahwa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi yang didirikan di Indonesia

kepada anggota koperasi orang pribadi adalah objek PPh yang bersifat final.

Besarnya tarif pemotongan PPh yang bersifat final adalah sebesar 0% untuk

bunga simpanan yang diterima anggota dengan nominal sampai dengan

Rp240.000,00 per bulan dan 10% untuk bunga simpanan yang diterima anggota

apabila menerima lebih dari Rp240.000,00 per bulan. Oleh karena itu ada

kekosongan peraturan untuk mengatur penghasilan bunga yang diterima oleh

nasabah LPD, begitu juga dengan nasabah LKM yang badan usahanya berbentuk

PT, yang mana LKM yang berbentuk PT bukan merupakan bank, sedangkan

Untuk LKM yang berbentuk koperasi tetap mengacu pada PP No. 15 Tahun 2009.

Dari sisi regulasi pajak yang berlaku di Indonesia tidak ada pengecualian

terhadap lembaga keuangan seperti LPD. Aturan perpajakan di Indonesia tidak

memberikan aturan khusus terkait lembaga keuangan mikro. Berbeda dengan di

negara lain, beberapa negara memberikan aturan khusus kepada lembaga

keuangan yang dinilai berhasil mengurangi kemiskinan di negaranya. Bangladesh

merupakan salah satu negara yang memberikan fasilitas khusus bagi lembaga

keuangan mikro yang berhasil mengurangi angka kemiskinan di negaranya.

Lembaga keuangan mikro di Bangladesh sebagian berorientasi pada

pembangunan, bukan untuk tujuan mencari keuntungan. Karena bukan

berorientasi mencari untung, lembaga keuangan mikro di sana mendapatkan


120

fasilitas dibebaskan dari pajak penghasilan. Grameen Bank, walaupun

menggunakan nama bank mendapatkan fasilitas pembebasan pajak sejak tahun

1983 sampai dengan tahun 2020 (Dhakatribune, 2015; Salim, 2013). Grameen

Bank juga telah menjadi contoh sukses keberhasilan lembaga keuangan mikro di

dunia dalam menurunkan tingkat kemiskinan di negaranya.

Bukan berarti sistem perpajakan di Indonesia tidak memberikan

pengecualian terhadap aktivitas sosial. Dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a mengatur

pengecualian objek pajak, yang mana bantuan dan sumbangan, serta harta

hibahan dikecualikan dari objek pajak. Bantuan dan sumbangan yang dikecualikan

termasuk di dalamnya adalah zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau

lembaga amil zakat yang dibentuk atau telah disahkan oleh pemerintah, zakat

yang diterima oleh yang berhak menerima zakat, dan juga sumbangan keagamaan

yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima

oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan juga

yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak. Harta hibahan yang

dikecualikan dari objek pajak adalah harta hibahan yang diterima oleh keluarga

sedarah yang masih dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan,

badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi

pelaku usaha mikro dan kecil sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,

pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang

bersangkutan.

Pengaturan lebih lanjut terkait bantuan dan sumbangan, serta hibah diatur

melalui beberapa PP dan Peraturan Menteri Keuangan. Melalui PMK Nomor

245/PMK.03/2008 Tentang Badan-badan dan Orang Pribadi Yang Menjalankan

Usaha Mikro Dan Kecil Yang Menerima Harta Hibah, Bantuan, Atau Sumbangan

Yang Tidak Termasuk Sebagai Objek Pajak Penghasilan diatur lebih jelas pihak-
121

pihak yang mendapatkan pengecualian atas pajak penghasilan. Dalam PP 60

Tahun 2010 Tentang Zakat Atau Sumbangan Keagamaan Yang Sifatnya Wajib

Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto pada intinya menyatakan bahwa

zakat atau sumbangan keagamaan yang dapat dikurangkan dari penghasilan

bruto adalah zakat atau sumbangan keagamaan berupa uang atau yang

disetarakan dengan uang yang dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga

amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah bagi pemeluk agama

Islam, dan pada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh

pemerintah bagi pemeluk agama selain Islam. Apabila pembayaran zakat atau

sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tersebut tidak dibayarkan kepada

sebagaimana yang dimaksud maka pengeluaran zakat atau sumbangan

keagamaan yang bersifat wajib tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan

bruto.

Pengaturan mengenai sumbangan juga diatur dalam PP Nomor 93 Tahun

2010 Tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan

Penelitian Dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan

Pembinaan Olahraga, Dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial Yang Dapat

Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto dengan peraturan pelaksanaannya PMK

Nomor 76/PMK.03/2011 Tentang Tata Cara Pencatatan Dan Pelaporan

Sumbangan Dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial Yang Dapat

Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Untuk Penghitungan Pajak. Sesuai PMK ini,

sumbangan yang dapat dikurangkan sampai jumlah tertentu dari penghasilan

bruto dalam rangka penghitungan penghasilan kena pajak (PKP) terdiri atas:

a. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional untuk korban


bencana nasional yang disampaikan secara langsung melalui badan
penanggulangan bencana atau disampaikan secara tidak langsung melalui
lembaga atau pihak yang telah mendapat izin dari instansi/lembaga yang
berwenang untuk pengumpulan dana penanggulangan bencana;
122

b. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan untuk penelitian dan


pengembangan yang dilakukan di wilayah Republik Indonesia yang
disampaikan melalui lembaga penelitian dan pengembangan;
c. Sumbangan fasilitas pendidikan, yang merupakan sumbangan berupa fasilitas
pendidikan yang disampaikan melalui lembaga pendidikan;
d. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga, yang merupakan sumbangan
untuk membina, mengembangkan dan mengoordinasikan suatu atau gabungan
organisasi cabang/jenis olahraga prestasi yang disampaikan melalui lembaga
pembinaan olah raga; dan
e. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang merupakan biaya yang
dikeluarkan untuk keperluan membangun sarana dan prasarana untuk
kepentingan umum dan bersifat nirlaba.

Kelima jenis sumbangan dan/atau biaya tersebut dapat dikurangkan dari

penghasilan bruto untuk penghitungan PKP sepanjang memenuhi lima syarat

yaitu: (1), Wajib pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan Surat

Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPh Tahun Pajak sebelumnya; (2) Pemberian

sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada Tahun Pajak

sumbangan diberikan; (3) Didukung oleh bukti yang sah; (4) lembaga yang

menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki NPWP, kecuali badan yang

dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam UU PPh; dan (5)

Sumbangan dan/atau biaya tersebut tidak mempunyai hubungan istimewa

sebagaimana dimaksud UU PPh. PMK ini juga mengatur besaran maksimal

sumbangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, dan penentuan

besaran nilai sumbangan, pencatatan dan pengakuan atas sumbangan dan

beberapa ketentuan lain terkait sumbangan.

Jadi jelas bahwa peraturan perpajakan di Indonesia memberikan peluang

bagi wajib pajak untuk menjalankan aktivitas sosial dan keagamaan yang bersifat

filantropis, hanya saja tidak semua pengeluaran yang bersifat filantropis bisa

menjadi pengurang penghasilan bruto. Ada aturan-aturan yang mengikat terkait

sumbangan dan hibah untuk tujuan filantropis. Apabila sumbangan atau hibah

untuk tujuan sosial tidak memenuhi syarat yang ditentukan, maka biaya atas
123

sumbangan tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak dalam

penghitungan pajak penghasilan.

Pada titik ini tentu saja berbeda dengan apa yang dilakukan LPD saat ini.

LPD melakukan kegiatan usaha yang menghasilkan laba, kemudian laba tersebut

didistribusikan sesuai dengan yang diatur dalam Perda tentang LPD. Dana untuk

desa dan aktivitas keagamaan pun bisa jadi apabila mengacu pada UU PPh tidak

dapat dikurangkan karena tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan. Oleh

karena itu apabila dikaitkan dengan regulasi perpajakan, LPD ini sangat unik dan

memiliki cara pandang yang berbeda dengan aturan perpajakan yang berlaku.

7.3. Adopsi Sistem Perbankan Menjadikan LPD Berorientasi Profit

LPD mengadopsi sistem perbankan dalam proses bisnisnya. Hal ini makin

diperkuat dengan kehadiran Pergub Nomor 11 Tahun 2013. Adopsi tersebut

menjadikan LPD tidak ada bedanya dengan perbankan, padahal tujuan LPD

sebenarnya berbeda dengan perbankan. Oleh karena itu peneliti kurang

sependapat dengan sistem LPD yang mengadopsi sepenuhnya sistem perbankan,

termasuk di dalamnya laporan keuangan perbankan.

Pemikiran untuk mencari standar akuntansi yang tepat bagi LPD sudah

menjadi wacana di Bali. Para akademisi di Bali telah memikirkan hal tersebut,

seperti yang disampaikan oleh Suartana dalam tulisan di Bali Post tertanggal 4

September 2016. Suartana (2016) menyatakan bahwa LPD wajib mempunyai

kebijakan akuntansi dalam bentuk standar akuntansi yang bisa diaudit dan dapat

dibandingkan antara LPD satu dengan LPD lainnya. Suartana (2016) juga

menyampaikan perlunya penamaan akun dalam laporan keuangan yang

mencerminkan ciri khas Bali dengan cara mengubah format dan bahasanya. Hal

ini perlu untuk menunjukkan bahwa LPD memang pantas dikecualikan

sebagaimana diatur dalam UU LKM. Salah satu informan penelitian, Bapak Ketut
124

juga menyadari bahwa laporan keuangan yang digunakan oleh LPD saat ini belum

memiliki menggambarkan konteks LPD yang sebenarnya. Kesadaran itu pula yang

menyebabkan Bapak Ketut saat ini bekerjasama dengan konsultan manajemen

untuk merancang sistem akuntansi yang menggambarkan dengan tepat proses

bisnis LPD yang tidak hanya berorientasi profit tetapi menunjukkan nilai-nilai sosial

dalam proses bisnis LPD.

Sujana, (2014) menyoroti penilaian kinerja LPD yang mengadopsi

perbankan, padahal LPD adalah lembaga keuangan nonbank yang nilai-nilai

pembentukan dan aktivitasnya berdasarkan THK. Dengan pengukuran kinerja

yang mengadopsi perbankan maka nilai-nilai sosial LPD tidak tergambarkan

dengan baik. Sujana (2014) menyarankan penilaian kinerja LPD yang lebih

komprehensif dan membawa spirit pembentukan LPD, kemudian faktor-faktor

penilaian kinerja diklasifikasikan ke dalam penilaian kinerja LPD berbasis budaya

THK.

Telah muncul kesadaran bahwa adopsi sistem perbankan dalam proses

bisnis LPD kurang tepat. LPD bukan suatu lembaga keuangan yang hanya

berorientasi profit. Ada kesadaran dari para pelaku usaha LPD bahwasanya LPD

memiliki tujuan lain yang tidak bisa hanya diukur dari profit. Sayangnya, sampai

saat ini belum ada formula yang dapat diterima sebagai suatu konsensus bersama

sebagai suatu standar pelaporan yang dapat menggambarkan nilai-nilai yang

menjadi akar berdirinya LPD.

Dengan menerapkan sistem akuntansi yang diadopsi dari sistem akuntansi

perbankan menjadikan argumen LPD tidak kena pajak menjadi tidak tepat.

Perbankan merupakan subjek dan objek pajak. Tujuan perbankan adalah mencari

laba, sedangkan LPD sebagaimana yang peneliti temukan dalam penelitian ini

tidak semata-mata mencari laba. Para pengurus LPD yang menjadi informan
125

menyadari bahwa pada intinya LPD memiliki tujuan untuk mempertahankan adat

dan budaya Bali serta menjadikan desa pakraman mandiri untuk membiayai

berbagai aktivitas di desa pakraman.

Peraturan perpajakan di Indonesia (UU PPh Pasal 4 ayat (1) poin c)

menjadikan laba usaha sebagai salah satu objek pajak. Laporan keuangan LPD

saat ini juga menekankan pada laba usaha, sehingga apabila mengacu pada UU

PPh merupakan objek pajak. Pada titik ini tentu saja juga menimbulkan

ambiguitas. Informan yang merupakan pelaku usaha LPD memiliki kesadaran LPD

tidak hanya mengejar atau berorientasi pada laba usaha, akan tetapi di sisi lain

laporan keuangan dan pengukuran kinerja yang saat ini digunakan menekankan

pada laba.

7.4. Perlawanan atas Ketidakadilan Distribusi Pendapatan

Dari refleksi dan perenungan yang mendalam, serta menangkap makna

terdalam dari noema dan noesis yang peneliti gali dari informan pelaku usaha LPD.

Kesadaran LPD yang tidak menjadi subjek pajak tidak bisa dilepaskan dari

perkembangan perekonomian di Bali saat ini. Perkembangan perekonomian Bali

yang begitu pesat dirasakan oleh beberapa informan tidak memberikan manfaat

maksimal bagi masyarakat Bali, terutama untuk tetap mempertahankan adat dan

budaya Bali. Pariwisata budaya hanya menjadi komoditi, tidak ada imbal balik yang

maksimal untuk menjaga keberlangsungan adat dan budaya Bali. Bali hanya

menjadi objek penghasil pundi-pundi kekayaan. Hasil yang diperoleh oleh investor

dengan memanfaatkan Bali sebagai objek penghasil laba pada akhirnya lebih

banyak dibawa keluar Bali daripada yang kembali digunakan untuk membangun

Bali dan juga untuk tetap mempertahankan adat dan budaya.

Ketidakadilan ekonomi ini bukan saja disadari oleh informan penelitian.

Gubernur Bali, I Made Mangku Pastika juga menyadari hal tersebut. Bali
126

menurutnya menjadi penghasil devisa yang cukup besar bagi negara, akan tetapi

hanya mendapatkan kontribusi bagi hasil yang kecil karena pariwisata tidak

dihitung dalam perhitungan dana bagi hasil. Devisa negara yang diperoleh dari

Bali diklaim mencapai Rp47 triliun pada tahun 2015, tetapi hanya menerima dana

bagi hasil dari pemerintah pusat sebesar Rp5 triliun. Pastika membandingkan

dengan Kalimantan Timur yang mendapatkan dana bagi hasil mencapai Rp15

triliun yang berasal dari sumber daya alam di Kalimantan Timur, padahal

pemerintah provinsi Bali menurutnya mengeluarkan dana yang besar untuk

menjaga kelestarian adat dan budaya agar tetap bisa mendatangkan wisatawan

ke Bali. Pastika menyatakan bahwa dari APBD Provinsi Bali tahun 2015 sebesar

Rp5 triliun, hampir Rp1 triliun dialokasikan untuk memelihara dan melestarikan

adat dan budaya Bali (Liputan6.com, 2015).

Dana APBD sebesar Rp1 triliun tersebut dialokasikan kepada 1.488 desa

pakraman. Setiap desa pakraman mendapatkan bantuan sebesar Rp200 juta.

Jumlah yang terlihat besar, tetapi sebenarnya masih dirasa kecil untuk membiayai

berbagai aktivitas di desa pakraman dalam rangka melestarikan adat dan budaya

Bali. Peran inilah yang kemudian diambil oleh LPD untuk membantu desa

pakraman melalui 20% laba LPD yang diserahkan ke desa adat. Selain 20% dari

laba yang diberikan kepada desa adat, 5% dari laba LPD digunakan untuk dana

sosial. Kegiatan yang diadakan melalui dana sosial ini seperti memberikan

beasiswa bagi anak-anak dari krama desa, tirta yatra, dan lain-lain.

Karena mengambil tanggung jawab untuk melestarikan adat dan budaya Bali,

maka kemudian para informan merasa bahwa beban yang ditanggung LPD sudah

berat, makin bertambah berat apabila ditambah dengan kewajiban untuk

membayar pajak penghasilan. Pada titik inilah kemudian informan memiliki

kesadaran bahwa apabila LPD membayar pajak, tidak ada kontribusi langsung
127

yang bisa dirasakan oleh desa pakraman terkait pelestarian adat dan budaya Bali,

padahal membayar pajak itu menurut informan bertujuan untuk pembangunan.

Tanpa mengandalkan peran pemerintah, LPD dapat berperan meningkatkan

perekonomian di desa adat.Tujuan LPD sebenarnya membuat desa adat mandiri

dalam membiayai kebutuhan di desa, serta menyejahterakan krama desa.

Tidak memenuhi kewajiban pajak yang didasari oleh kesadaran bahwa peran

LPD yang besar untuk tetap melestarikan adat dan budaya, sedangkan pariwisata

Bali sebagai penghasil devisa yang besar hanya dinikmati oleh investor luar.

Kesadaran ini terlihat sudah menjadi cara berpikir yang terbentuk pada informan,

terutama informan yang dekat dengan kekuasaan. Dengan membayar pajak tidak

menjamin pajak yang dibayarkan oleh LPD akan kembali dinikmati oleh desa

pakraman untuk membiayai aktivitas yang berkaitan dengan adat dan budaya.

Temuan penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan

oleh Darmayasa dan Aneswari (2016), kontribusi LPD melalui 20% laba yang

dikontribusikan ke desa dan 5% laba digunakan untuk aktivitas sosial merupakan

bentuk kepatuhan pajak. Penelitian mereka juga menemukan bahwa LPD bersedia

membayar pajak apabila pemerintah bersedia untuk membiayai pembangunan

dan perbaikan pura serta membiayai segala kebutuhan pura yang selama ini

mengandalkan pendanaan dari krama. Penolakan membayar pajak karena alasan

yang sama, tidak ada imbal balik langsung bagi masyarakat untuk membiayai

aktivitas-aktivitas adat dan budaya yang melekat dengan aktivitas keagamaan

sebagai satu kesatuan.

Ada beberapa hal berbeda yang peneliti temukan dibandingkan dengan hasil

temuan Darmayasa dan Aneswari (2016). Pertama, temuan bahwa LPD

menggunakan tax avoidance terkait kewajiban perpajakannya. Bagi peneliti

permasalahan ini bukan sekedar tax avoidance. LPD melakukan perlawanan pajak
128

aktif dengan sengaja melalaikan pajak. Sumarsan (2015) menyatakan salah satu

bentuk perlawanan aktif yang dilakukan oleh wajib pajak adalah dengan

melalaikan pajak, yaitu tidak mau melakukan kewajiban perpajakan yang

seharusnya dilakukan. Dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya, peneliti

meyakini bahwa LPD memang tidak mau melakukan kewajiban pajak yang

seharusnya dilakukan. Memanfaatkan kekhususan LPD yang diakui berdasarkan

UU LKM menjadi penguat untuk melakukan perlawanan pajak dengan melalaikan

pajak.

Perlawanan yang lahir dari ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat

Bali. Ketidakadilan yang timbul karena adanya kesadaran bahwa Bali hanya

diekspolitasi. Bali tidak mendapatkan imbal balik yang optimal dari perkembangan

pariwisata Bali yang pesat, terutama untuk tetap dapat menjaga adat dan budaya

Bali. Pendapat dari salah satu informan misalnya, yang secara kedudukan dapat

memengaruhi cara pandang para pengurus LPD memiliki kesadaran bahwa Bali

dieksploitasi tanpa ada imbal balik yang sepadan untuk Bali. Pendapat ini tentu

saja perlu dikaji lebih dalam, karena penilaian seperti ini yang kemudian

memengaruhi munculnya sikap perlawanan yang untuk LPD tidak kena pajak.

Berdasarkan data, klaim ini bisa dibilang tidak sepenuhnya akurat. Pajak

yang berhasil dihimpun oleh Kanwil DJP Bali lebih kecil dibandingkan dengan dana

perimbangan yang dikembalikan ke Bali. Dana perimbangan yang diterima

provinsi Bali pada tahun 2015 sebesar Rp9,023 triliun (lihat tabel 7.1.), yang mana

di dalamnya termasuk dana desa, sedangkan pajak yang dihimpun oleh Kanwil

DJP Bali untuk tahun 2015 hanya sebesar Rp7,6 triliun (lihat tabel 7.2.). Dengan

memperhatikan angka tersebut, sebenarnya jumlah pajak yang diperoleh dari Bali

semuanya kembali ke Bali, bahkan jumlahnya melebihi jumlah pajak yang

diperoleh oleh DJP dari Bali.


129

Akan tetapi bisa jadi pendapat dari informan benar. Bali telah dieksploitasi

sehingga wajar sampai saat ini pemerintah provinsi Bali dan komponen

masyarakat Bali ada yang memperjuangkan untuk mendapatkan jatah dari

penghasilan pariwisata. Dana perimbangan yang diterima provinsi dan kabupaten

di Bali dari pemerintah pusat tidak memperhitungkan pajak yang diterima dari

industri pariwisata yang menjadikan Bali sebagai objek untuk mendapatkan

penghasilan. Hotel-hotel besar dan badan usaha besar lainnya umumnya

berkantor pusat di luar Bali, sehingga pajak penghasilan badannya tidak menjadi

penerimaan Kanwil DJP Bali serta tidak menjadi bagian dari pembagian dana

perimbangan layaknya penghasilan dari industri pertambangan dan migas yang

pajaknya sebagian besar kembali ke daerah asal. Hal ini yang perlu dikaji lebih

mendalam apakah nominalnya lebih besar atau lebih kecil dari jumlah dana

perimbangan yang diterima Bali dari pemerintah pusat.

Tabel 7.1.
Dana Perimbangan Yang di Terima Provinsi Bali
dari Pemerintah Pusat Tahun 2015

Dalam miliar rupiah


Nama Prov/Kab/ Dana Dana Total Dana
DBH DAU DAK
Kota Penyesuaian Desa Perimbangan
7
1 2 3 4 5 6
(2+3+4+5+6)
Prov. Bali 104,103 831,597 134,497 525,943 - 1.596,140
Kab. Badung 44,948 286,763 0,541 149,491 13,826 495,569
Kab. Bangli 14,512 499,735 55,099 77,380 19,198 665,923
Kab. Buleleng 26,265 868,512 88,557 264,607 36,813 1.284,754
Kab. Gianyar 18,984 641,915 12,670 179,796 19,167 872,532
Kab Jembrana 15,688 486,895 74,878 83,094 12,410 672,966
Kab. Karangasem 17,307 633,241 55,877 156,216 21,963 884,605
Kab. Klungkung 14,233 484,541 43,238 90,593 15,261 647,867
Kab. Tabanan 17,442 722,005 76,400 210,927 37,069 1.063,842
Kota Denpasar 50,480 625,979 5,226 148,368 9,723 839,775
Total 323,962 6.081,183 546,983 1.886,416 185,429 9.023,973
Sumber: BPK RI (2016)
130

Tabel 7.2.
Rencana dan Realisasi Penerimaan Pajak Kanwil DJP Bali
Tahun 2015

dalam miliar rupiah


Tahun 2015
KPP
Rencana Realisasi
Denpasar Barat 725,71 597,79
Singaraja 295,67 258,29
Denpasar Timur 735,97 660,90
Madya Denpasar 4.733,45 4.038,63
Badung Selatan 895,90 809,90
Badung Utara 561,36 422,30
Gianyar 726,10 505,08
Tabanan 410,76 310,18
Total Pajak 9.084,92 7.603,08
Sumber: LKDJP Audited

7.5. Risiko konflik Penetapan LPD Sebagai Wajib Pajak

Pihak fiskus sebenarnya sudah lama meyakini LPD merupakan subjek pajak

dan perlu memiliki NPWP karena memenuhi definisi sebagai badan berdasarkan

ketentuan perpajakan. Penghasilan yang diperoleh LPD seharusnya merupakan

objek pajak. Walaupun meyakini dan memiliki kewenangan untuk menetapkan

NPWP secara jabatan terhadap LPD, hal tersebut tidak dilakukan.

Peneliti menilai apabila dipaksakan untuk menetapkan NPWP secara jabatan

terhadap LPD dapat menimbulkan perlawanan yang melibatkan hampir seluruh

desa adat di Bali. Dari 1.488 desa adat di Bali hanya 55 desa adat yang tidak

memiliki LPD. Risiko konflik dan perlawanan ini tidak bisa dilepaskan dari cara

pandang yang berbeda dalam memaknai kewajiban pajak dan adanya rasa

ketidakadilan. Sebagaimana yang peneliti temukan, informan yang merupakan

pelaku usaha LPD secara tersirat memandang pajak adalah beban yang

mengurangi kontribusi LPD bagi desa adat dalam mempertahankan adat dan
131

budaya Bali, ditambah lagi dengan pemahaman bahwa UU LKM telah

mengecualikan LPD dari kewajiban perpajakan.

Cara pandang bahwa pajak digunakan untuk kesejahteraan masyarakat,

sehingga laba LPD itu sendiri langsung dirasakan manfaatnya dalam membantu

meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak pantas untuk dikenakan pajak lagi.

Selain itu sebagaimana peneliti temukan dari dua informan (Bapak GA dan Bapak

Ketut) yang mempertanyakan apakah pajak yang dibayarkan akan menjamin

mereka mendapatkan imbal balik untuk membiayai kegiatan adat dan agama.

Semua informan juga memiliki kesadaran dan pemahaman yang sama bahwa UU

LKM mengecualikan LPD dari kewajiban perpajakan.

Kesadaran kedua informan dan informan lain yang juga pelaku usaha LPD

menitikberatkan pada kepentingan adat dan keagamaan ini tidak bisa dilepaskan

dari pengaruh nilai dan tradisi yang dianut. Max Weber menyebutkan empat hal

yang dapat memotivasi mekanisme perilaku seseorang yaitu, rasionalitas

instrumental, rasionalitas nilai, pengaruh, dan tradisi (Hechter dan Horne, 2003).

Pada titik ini terlihat bahwa nilai dan tradisi yang dimiliki informan yang dipengaruhi

oleh adat dan budaya Bali yang bernafaskan Hindu memengaruhi tindakan mereka

dalam memandang kewajiban pajak LPD. Pajak bukan yang utama, kepentingan

adat dan budaya adalah yang utama. Kehadiran LPD yang dalam kegiatan

usahanya menekankan pada filosofi THK, tercermin dari kontribusi laba untuk

aktivitas parhyangan, palemahan, dan pawongan melebihi sekedar memenuhi

kewajiban perpajakan melainkan kewajiban kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Oleh karena itu LPD pada posisi tersebut bagi mereka tidak pantas untuk

dikenakan pajak penghasilan.

Apabila merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Budiasih (2014) pada

masa raja Udayana, ada daerah-daerah khusus (Swatantra) yang dibebaskan dari
132

pajak karena memiliki tanggung jawab untuk menjaga bangunan suci. Kesadaran

yang sudah berabad-abad lamanya ini bisa jadi menjadi suatu kebenaran yang

secara tidak langsung memengaruhi informan memaknai mengapa LPD pantas

untuk tidak kena pajak. LPD saat ini berperan menjadi sumber pendanaan untuk

memelihara bangunan suci serta aktivitas adat dan agama lainnya di desa

pakraman sehingga sudah sepantasnya tidak kena pajak. Cara pandang ini yang

perlu diperhatikan dalam menerapkan aturan pajak bagi LPD.

Sebenarnya perlawanan yang ditunjukkan oleh masyarakat Bali dalam

mempertahankan LPD bisa terlacak sejak dulu (Jolloh, 2001). Berbagai peraturan

yang mencoba mengatur LPD ditolak. Menjadi tidak aneh apabila kemudian akan

ada perlawanan apabila LPD dipaksakan untuk diberikan NPWP secara jabatan.

Apalagi perlu diketahui bahwa pada masyarakat Bali sejak zaman kerajaan sampai

dengan zaman kemerdekaan mengenal suatu istilah yang dikenal dengan

“puputan”. Berjuang sampai mati untuk mempertahankan sesuatu yang dirasanya

benar. LPD tidak kena pajak ini dinilai sebagai suatu kebenaran walaupun

realitasnya UU Perpajakan tidak mengecualikan LPD dari subjek pajak.

Kebenaran yang diterima adalah realitas lokal bahwa LPD tidak kena pajak karena

hadir untuk mempertahankan adat dan budaya Bali.

Perlawanan yang menurut peneliti bisa jadi jauh lebih besar daripada

perlawanan menolak reklamasi Teluk Benoa yang saat ini sedang gencar di Bali.

Pada aksi penolakan reklamasi Teluk Benoa, tidak banyak desa adat yang terlibat

dalam aksi, hanya 38 desa adat dari 1000-an desa adat yang menjadi pendukung

utama menolak reklamasi (Cnnindonesia.com, 2016). Desa adat yang lain

cenderung pasif pada kasus ini. Akan berbeda lagi apabila menyangkut LPD.

Sebagian besar desa adat di Bali memiliki LPD, karena itu perlawanan yang timbul

tentu saja melibatkan desa adat dalam jumlah yang lebih besar karena ada
133

dampak langsung yang akan dirasakan. Laba LPD yang diberikan ke desa

pakraman untuk aktivitas di desa, serta untuk kegiatan sosial akan berkurang

sebagai dampak dari pengenaan pajak.

Peneliti meyakini diperlukan pendekatan sosial apabila ingin menetapkan

LPD sebagai subjek pajak. Pemberian pemahaman akan pentingnya pajak serta

membayar pajak merupakan bentuk tanggung jawab kepada negara sebagai

bentuk pengamalan ajaran Catur Guru. Pemerintah yang merupakan Guru Wisesa

yang patut dihormati sehingga peraturan yang dibuat perlu diikuti. Hal yang tidak

kalah penting untuk diperhatikan adalah menerima kearifan lokal dengan tidak

mengenakan pajak penghasilan atas laba usaha LPD, akan tetapi tetap

menjadikan LPD sebagai subjek pajak yang melakukan aktivitas witholding tax

(pemungutan dan pemotongan pajak) menurut peneliti merupakan jalan tengah.

Di satu sisi kearifan lokal diakomodir dalam kebijakan untuk mendukung desa adat

dapat mandiri, di sisi lain LPD makin menunjukkan eksistensinya yang tidak saja

mendukung perekonomian desa adat melainkan juga mendukung pembangunan

negara dengan keterlibatan membayar pajak dari aktivitas operasional yang mana

di situ ada kewajiban pajak yang berkaitan dengan transaksi-transaksi ekonomi

dengan pihak ketiga.

Kesediaan untuk memiliki NPWP dan menjalankan kewajiban witholding tax

seperti memotong gaji para pegawainya apabila memang gaji para pegawai telah

melebihi PTKP terungkap dari informan Bapak GA dan Bapak Ketut. Begitu juga

yang disampaikan oleh salah satu fiskus yang menjadi informan, bahwasanya ada

pengurus LPD yang menyadari dan bersedia LPD menjadi subjek pajak.

Kesadaran inilah yang perlu disikapi dengan bijak, daripada memaksakan

mengenakan pajak atas laba usaha LPD.


134

Memang hal ini akan menjadi dilema bagi Kanwil DJP Bali. Informan dari

pihak fiskus menyadari perbedaan LPD dengan lembaga keuangan lainnya.

Terdapat kearifan lokal yang perlu diperhatikan. Akan tetapi seperti disampaikan

oleh Bapak Made, tidak ada peraturan pajak yang memberikan ruang bagi

kekhususan LPD. Tidak adanya peraturan khusus serta klaim sepihak dari para

pelaku usaha LPD yang menyatakan bahwa dengan berlakunya UU LKM LPD

tidak kena pajak, serta untuk menghindari konflik horizontal maka penetapan

NPWP secara jabatan tidak dilakukan.

7.6. LPD Sebagai Implementasi Ekonomi Hindu

Di luar konteks perlawanan pajak yang dilakukan oleh LPD, banyak hal positif

yang telah dilakukan LPD, yang mana semuanya mengacu pada ajaran Hindu.

Sebagaimana yang telah penulis singgung pada Bab I dan Bab II, telah banyak

penelitian yang menyatakan bahwa LPD mengimplementasikan filosofi THK dalam

kegiatan operasional. Implementasi THK ini menjadikan aktivitas yang dilakukan

LPD bukan saja mencari keuntungan, melainkan juga menekankan pelaksanaan

rasa cinta dan bakti kepada Sang Pencipta.

Sebagaimana termuat dalam kitab Sarasamuccaya sloka 262 yang telah

peneliti kutip pada awal pembahasan bab ini, bahwa hasil usaha yang didapatkan

harus dibagi menjadi tiga bagian, pertama untuk tujuan dharma (kebaikan), kedua

untuk memenuhi kama (nafsu/keinginan), dan ketiga untuk kebutuhan artha dan

ekonomi dengan tujuan agar usaha yang dijalankan tetap dapat berkembang. Hal

ini pula yang telah dilakukan LPD, laba yang diperoleh kemudian dibagi yang mana

pembagian laba itu secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian.

Ada laba yang ditujukan untuk kebaikan yaitu, laba yang diberikan ke desa

pakraman dan laba untuk tujuan sosial (dana pembangunan desa sebesar 20%,

dan 5% dana sosial). Bagian laba yang diberikan kepada pengurus dan pegawai
135

LPD yang merupakan bagian untuk memenuhi kebutuhan hidup pengurus sebagai

upaya untuk dapat memenuhi keinginan mereka (10% laba untuk jasa produksi).

Terakhir ada bagian yang digunakan untuk menguatkan modal dan untuk dapat

menjaga kelangsungan usaha LPD (60% laba untuk cadangan modal dan 5%

untuk dana pembinaan, pengawasan, dan perlindungan).

Hal ini tentu saja merupakan cerminan perekonomian Hindu yang

sebenarnya. Perekonomian yang tidak saja berorientasi mengejar kekayaan yang

berorientasi duniawi, melainkan juga menekankan pada aspek spiritual. Hal ini

bukan berarti kekayaan tidak penting, kekayaan dalam Hindu juga menjadi bagian

dari tujuan hidup manusia di dunia. Bagi umat Hindu tujuan hidupnya adalah,

"Moksartham Jagadhita ya ca iti Dharma", yang memiliki arti bahwa tujuan

beragama adalah untuk mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan

di akhirat (moksa). Dalam mencapai tujuan hidup itu, kekayaan (artha) merupakan

salah satu dasar dari empat dasar tujuan hidup manusia yang dikenal dengan

Catur Purusa Artha yang terdiri dari dharma, artha, kama, dan moksa.

Kegiatan usaha yang dilakukan LPD dengan memberikan pinjaman yang

kemudian mendapatkan pendapatan berupa bunga atas pinjaman yang diberikan

diperkenankan dalam Hindu. Dengan diperkenankannya menerapkan bunga

bukan berarti tidak ada larangan dalam penerapan bunga atas pinjaman. Istilah

meminjamkan uang yang kemudian dikenakan bunga dikenal dalam Kitab

Manawa Dharmasastra sebagai vrdhi grhiyad. Bunga yang dikenakan

berdasarkan kitab tersebut adalah maksimal sebesar 2% per bulan untuk pinjaman

dengan agunan dan maksimal sebesar 5% per bulan untuk pinjaman tanpa

agunan dimulai ketika usaha sudah menghasilkan (Putra, 2015). Pada titik ini LPD

melakukan hal yang sama terkait besaran bunga sebagaimana yang ditentukan

oleh agama. Bunga atas pinjaman yang diberikan LPD kepada debitur saat ini
136

tidak melebih 2 persen/bulan, sayangnya pengenaan bunga bukan dimulai ketika

uang yang dipinjam sudah menghasilkan. Karena itu LPD bisa dikatakan belum

mengadopsi konsep wrddhi grhiyad. LPD masih mengadopsi sistem lembaga

keuangan konvensional. Oleh karena itu, meminjam pemikiran Gorda, Nurjaya,

Sumadi, & Sihabudin (2014), penerapan konsep Wrddhi Grhiyad pada sistem

operasional LPD akan memberikan lebih banyak keuntungan bagi berbagai pihak.

Krama desa adat akan menikmati bantuan dalam berbagai macam transaksi

pinjaman. Di sisi lain, konsep ini akan memberikan efek positif terhadap

perkembangan LPD untuk jangka panjang. Perubahan yang signifikan atas nilai

bisnis, pekerjaan, perspektif tentang cara hidup dan nilai spiritual akan menjadi

rangsangan utama menuju konsep Wrddhi Grhiyad pada LPD untuk tindakan

jangka panjang.
BAB VIII

PENUTUP

"Kebudayaan itu memancarkan keindahan.


Dengan menjaga kebudayaan, Indonesia akan
lebih harmonis dan seimbang."

Susilo Bambang Yudhoyono

8.1. Simpulan

Penelitian ini bertujuan mengungkap kesadaran pelaku usaha LPD terhadap

pajak dan kesadaran yang menyebabkan kesadaran untuk tidak menjalankan

kewajiban pajak sebagaimana mestinya atas kegiatan usaha LPD. Penelitian ini

menggunakan pendekatan fenomenologi transendental yang merupakan bagian

dari paradigma interpretif. Fokus dari penelitian fenomenologi ini adalah pada

subjektivitas pelaku usaha LPD atas kewajiban pajak dan penolakan untuk tidak

menjalankan kewajiban perpajakan atas kegiatan usaha LPD.

Penelitian ini menemukan beberapa hal penting. Pertama, terkait kesadaran

terhadap pajak dan penolakan untuk menjalankan kewajiban perpajakan. Informan

memaknai bahwa LPD dibebaskan dari kewajiban perpajakan, pajak sebagai

beban yang mengurangi kontribusi LPD, kesadaran bahwa laba LPD telah

berperan besar untuk melestarikan adat dan budaya Bali serta semua labanya

memiliki tujuan sosial sehingga tidak seharusnya dikenakan pajak, dan adanya

pelaku usaha LPD yang menyadari bahwa ada kewajiban perpajakan yang perlu

dijalankan oleh LPD.

137
138

LPD dibebaskan dari kewajiban perpajakan karena LPD memiliki kekhususan

dibandingkan lembaga keuangan lain. LPD merupakan lembaga adat yang

kedudukannya bukan merupakan badan hukum dan telah diakui untuk tidak kena

pajak karena telah dikecualikan melalui UU LKM. Lahirnya UU LKM yang

mengakui keberadaan LPD untuk tetap beroperasi dengan mengacu pada hukum

adat menjadi alat legitimasi LPD tidak kena pajak. Pajak dimaknai sebagai beban

tambahan karena dengan membayar pajak, maka laba LPD yang seharusnya bisa

digunakan untuk kepentingan desa adat serta aktivitas sosial akan berkurang,

padahal laba LPD berperan penting dalam kehidupan masyarakat di desa

pakraman. Laba yang diterima LPD digunakan untuk melestarikan adat dan

budaya bali begitu dirasakan para informan. Kesadaran LPD memiliki peran yang

besar untuk melestarikan adat dan budaya Bali karena para informan merasakan

sendiri peran LPD untuk membantu krama desa dalam mendukung berjalannya

kegiatan yang terkait dengan adat, budaya dan agama. Bagi mereka semua laba

LPD memiliki tujuan untuk melestarikan adat dan budaya, serta memiliki tujuan

sosial. Bukan saja 25% dari laba LPD yang digunakan untuk melestarikan adat

dan budaya, semua laba dari LPD memiliki tujuan sosial. Informan yang selain

sebagai pengurus LPD juga memiliki usaha lain dan telah memiliki NPWP memiliki

kesadaran berbeda terhadap kewajiban perpajakan atas kegiatan usaha LPD

dibandingkan dengan yang tidak memiliki NPWP dan juga tidak memiliki kegiatan

usaha di luar sebagai pengurus LPD. Mereka memiliki kesadaran bahwasanya ada

kewajiban perpajakan dari kegiatan usaha LPD, walaupun tetap tidak setuju laba

yang diperoleh LPD menjadi objek pajak.

Kedua, Peran LPD yang besar dalam melestarikan adat dan budaya Bali

tidak lepas dari kepemilikan. LPD dimiliki oleh desa adat yang memang ada dan

bertujuan untuk mengatur kehidupan adat dan budaya di Bali dengan menjalankan
139

filosofi Tri Hita Karana. Dengan adanya LPD diharapkan dapat menjadikan desa

pakraman di Bali mandiri dalam membiayai aktivitas adat dan budaya.

Ketiga, ketidaksediaan LPD untuk dikenakan pajak tidak lepas dari faktor

eksternal. Faktor eksternal tersebut adalah ketidakadilan distribusi pendapatan

dari pariwisata. Bali sebagai daerah pariwisata utama di Indonesia yang

mengandalkan pariwisata budaya hanya menjadi objek saja. Pendapatan dari

pariwisata Bali lebih banyak dinikmati oleh orang luar, sedangkan untuk tetap

mempertahankan adat dan budaya yang berperan adalah orang Bali sendiri.

Melalui LPD inilah salah satu cara untuk mempertahankan adat dan budaya Bali.

Karena itu tidak pantas lagi LPD dikenakan beban tambahan untuk membayar

pajak penghasilan badan.

Keempat, Tindakan yang dilakukan LPD untuk tidak memenuhi kewajiban

pajak merupakan bentuk perlawanan pajak yang dikategorikan sebagai tindakan

melalaikan pajak, bukan hanya sebagai suatu tindakan yang termasuk tax

avoidance sebagaimana diungkapkan oleh Darmayasa dan Aneswari (2016). Di

luar itu, beberapa temuan penelitian ini sejalan dengan Darmayasa dan Aneswari

(2016), bahwa UU LKM mengecualikan LPD dari kewajiban pajak, dan

pelaksanaan tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh LPD ini dipengaruhi oleh

filosofi Tri Hita Karana.

Kelima, adanya risiko perlawanan apabila memaksakan untuk menjadikan

LPD sebagai subjek dan objek pajak, walaupun sebenarnya LPD memenuhi

kriteria subjek dan objek berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku. Risiko

ini karena LPD itu dirasakan manfaatnya oleh masyarakat adat di Bali, apabila

memaksakan penetapan LPD sebagai subjek pajak maka penolakan ini akan

melibatkan seluruh masyarakat adat di Bali. Oleh karena itu diperlukan suatu

pendekatan sosial karena berdasarkan penelitian terdapat informan yang bersedia


140

LPD-nya diberikan NPWP akan tetapi sebatas pelaksanaan kewajiban withholding

tax.

8.2. Keterbatasan Penelitian

Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih memiliki kekurangan.

Sebagaimana karakteristik penelitian fenomenologi, proses wawancara untuk

memperoleh makna sebaiknya dilakukan dengan beberapa kali tatap muka

dengan informan. Penelitian ini tidak dapat melakukan hal tersebut secara

maksimal karena keterbatasan jangka waktu penyelesaian penelitian dan

susahnya memperoleh waktu untuk bertemu dengan informan. Kesibukan

informan ini peneliti rasakan ketika ingin mewawancarai salah satu informan

membutuhkan waktu satu bulan sampai akhirnya dapat bertemu.

Pada penelitian ini juga peneliti juga tidak dapat melakukan pertanyaan yang

mendalam karena terkendala posisi peneliti yang merupakan pegawai DJP. Hal

lain yang menjadikan peneliti tidak dapat menggali lebih dalam karena pada tahap

awal peneliti telah merasakan adanya resistensi atas pembahasan LPD dan pajak.

Untuk menghindari resistensi frontal dari informan maka peneliti tidak dapat

melakukan proses bracketing yang maksimal untuk menggali lebih dalam makna

pajak atas kewajiban perpajakan LPD.

8.3. Saran

Atas dasar simpulan dan keterbatasan penelitian, peneliti menyampaikan

beberapa saran sebagai berikut:

1. Direktorat Jenderal Pajak perlu melakukan diskusi lebih intensif dengan

berbagai pihak yang terkait dengan LPD untuk menjelaskan bahwa UU LKM

tidak mengecualikan LPD dari kewajiban perpajakan.

2. Direktorat Jenderal Pajak perlu mengakomodir kearifan lokal terkait laba LPD

yang digunakan untuk kepentingan sosial. DJP perlu mempertimbangkan


141

untuk membuat aturan khusus yang mengatur terkait lembaga yang

melakukan kegiatan usaha dengan tujuan untuk melestarikan adat dan

budaya, serta yang dimiliki oleh lembaga adat dengan hanya menjadikan LPD

sebagai wajib pajak yang menjalankan kewajiban witholding tax.

3. DJP melakukan langkah hukum untuk memastikan klaim atas UU LKM yang

membebaskan LPD tidak kena pajak.

4. Pihak-pihak yang berkepentingan dengan LPD melakukan langkah hukum

berupa untuk memastikan apakah UU perpajakan melanggar hak-hak

masyarakat adat dengan menjadikan LPD sebagai lembaga keuangan

komunal menjadi subjek pajak.

5. Perlu dilakukan penelitian sejenis dengan mengambil kasus pada keberadaan

Lumbung Pitih Nagari (LPN) di Sumatera Barat. Bagaimana status perpajakan

LPN pasca berlakunya UU LKM yang memberikan kekhususan kepada LPN

layaknya yang diterima oleh LPD.

6. Perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam terkait pendapat bahwa apa

yang diterima Bali dari pemerintah pusat tidak sebanding dengan penerimaan

yang diterima negara dari pariwisata Bali. Dengan penelitian tersebut

diharapkan dapat diketahui berapa sebenarnya pemasukan Bali dari

pariwisata dalam satu tahun, kemudian dibandingkan dengan dana

perimbangan yang diterima oleh provinsi dan kabupaten/kota di Bali.


DAFTAR PUSTAKA

Abadan, S., dan Baridwan, Z. 2014. Determinan Perencanaan dan Perilaku


Kepatuhan Wajib Pajak Badan. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 5(2): 170–
344.
Adian, D. G. 2010. Pengantar Fenomenologi. Penerbit Koekosan. Bandung.
Adra, N., Turpin, J., dan Reuze, B. 2009. Identification of Microfinance Institution-
Indonesia, Development of a Financial Model to Enable Renewable Energy
Service Provision Through Microfinance. The RENDEV Project, Inteligent
Energy-Europe (IEE).
Ajzen, I. 1991. The Theory of Planned Behavior. Orgnizational Behavior and
Human Decision Processes, 50: 179–211.
Ali, C. 1991. Badan Hukum. Alumni. Bandung.
Alm, J., dan Torgler, B. 2006. Culture differences and tax morale in the United
States and in Europe. Journal of Economic Psychology, 27(2): 224–246.
Andrianto, J., dan Irianto, G. 2008. Akuntansi dan Kekuasaan (dalam konteks)
Bank BUMN Indonesia. Aditya Media Publishing. Malang.
Astawa, I. P. 2012. Kepemilikan Institusi dan Nilai-Nilai Harmoni dalam
Meningkatkan Kinerja Keuangan Lembaga Perkreditan Desa di Provinsi Bali.
Disertasi, Program Doktor Ilmu Manajemen, Pascasarjana Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Universitas Brawijaya.
Badan Pemeriksa Keuangan RI. 2016. Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Atas
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2015. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2016. Berita Resmi Statistik: Pertumbuhan Ekonomi
Indonesia Tahun 2015. Jakarta.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2016. Berita Resmi Statistik: Perkembangan
Pariwisata Bali Desember 2015. Denpasar
Bagiada, I. M., dan Darmayasa, I. N. 2015. Implementasi Filosofi Tri Hita Karana
Dalam Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Pada Lembaga Perkreditan
Desa (LPD). Simposium Nasional Akuntansi Vokasi IV. 798–815.
Balitv. 2013. LPD Tak Kena Pajak. https://www.youtube.com/
watch?v=QvpHrWdzpn8, diakes 5 November 2016.
Bank Indonesia Perwakilan Bali. 2015. Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional
Provinsi Bali Triwulan III 2015. Bank Indonesia. Denpasar.
Baskara. 2013. Lembaga keuangan mikro di Indonesia. Jurnal Buletin Studi
Ekonomi, 18(2): 114–125.
Bisnis.Com. 2015. Aset LPD Di Bali Rp14,2 Triliun.
http://bali.bisnis.com/read/20151214/3/56039/aset-lpd-di-bali-rp142-triliun,

142
143

diakses 5 February 5 2016.


Bohari, H. 2001. Pengantar Hukum Pajak. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta.
Budiasih, I. G. A. N. 2014. Fenomena Akuntabilitas Perpajakan Pada Jaman Bali
Kuno: Suatu Studi Interpretif. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 5(3): 409–
420.
Bureau of Internal Revenue Philipina. 2007. Tax on Non-governmental
Organizations (NGOs) and Cooperatives Engaged in Microfinance Activities.
ftp://ftp.bir.gov.ph/webadmin1/pdf/37690rr no. 14-2007.pdf, diakses 21
Agustus 2016.
Burell, G., dan Morgan, G. 1979. Sociological Paradigms And Organisational
Analysis. Ashagate Publishing Limited. Aldershot, England.
Business Recorder. 2015. New micro finance banks PBA seeks five-year tax
exemption. http://www.brecorder.com/taxation/181:pakistan/1186752:new-
micro-finance-banks-pba-seeks-five-year-tax-exemption/, diakses 20
September 2016.
Cnnindonesia.com. 2016. Desa Adat Seminyak Gelar Aksi Tolak Reklamasi Teluk
Benoa. http://www.cnnindonesia.com/nasional/20161119225801-20-173845/
desa-adat-seminyak-gelar-aksi-tolak-reklamasi-teluk-benoa/, diakses 5
Januari 2016
Creswell, J. W. 2007. Qualitative inquiry and research design: Choosing among
five traditions (2nd ed.). Sage Publications, Inc. Thousand Oaks.
Damayanthi, I. G. A. E. K. A. 2011. Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial
Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Berdasarkan filosofi Tri Hita Karana. Jurnal
Ilmiah Akuntansi dan Bisnis. 1–17.
Darmayasa, I. N., dan Aneswari, R. Y. 2016. The Role of Local Wisdom Toward
Tax Compliance. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 7(1):110–119.
Dhakatribune. 2015. Grameen Bank exempted from tax till 2020. from
http://archive.dhakatribune.com/business/2015/nov/25/grameen-bank-
exempted-tax-till-2020. diakses September 20, 2016.
Djayastra, I. K. 2012. Peranan Lembaga Perkreditan Desa Dalam pemberdayaan
Ekonomi Masyarakat Desa Adat Berlandaskan Modal Sosial (Studi Kasus:
Desa Adat Kedonganan-Kuta Kabupaten Badung Provinsi Bali. Disertasi
Program Doktor Ilmu Ekonomi Pascasarjana Fakultas Ekonomi and Bisnis
Universitas Brawijaya.
Dreyfus, H. L., dan Wrathall, M. A. 2007. A Companion to Phenomenology and
Existentialism. A Companion to Phenomenology and Existentialism.
Blackwell Publishing. Victoria, Australia.
Farida, N., Ludigdo, U., dan Irianto, G. 2015. Fenomenologi Praktik Tax Planning
Pada Wajib Pajak Badan. El-Muhasaba, 5(1):18–34.
Fidiana. 2014. Eman dan Iman : Dualisme Kesadaran dan Kepatuhan. Seminar
Nasional Akuntansi 17. Mataram.
Forum Vietnam and Legal Law. 2013. Microfinance institutions to enjoy tax break.
http://vietnamlawmagazine.vn/microfinance-institutions-to-enjoy-tax-break-
1293.html. diakses 20 September 2016.
Gorda, N. S. R., Nurjaya, I. N., Sumadi, I. P. S., & Sihabudin. 2014. The Relevance
144

of Wrddhi Grhiyad Concept as a Basis of Money Loan Agreement in the


Transaction of Pakraman Village Credit Institution in Bali. Academic Research
International, 5(10), 518–526.
Gunawan, K. 2011. Peran Falsafah Tri Hita Karana Bagi Pertumbuhan dan Kinerja
Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Di Bali. Jurnal Analisis Manajemen, 5(2);
23–36.
Harinurdin, E. 2009. Perilaku Kepatuhan Wajib Pajak Badan. Jurnal Ilmu
Administrasi dan Organisasi, 16(2): 96–104.
Hechter, M., & Horne, C. 2003. Theories Of Social Order: A Reader. California:
Stanford University Press.
Herdiansyah, H. 2011. Metodelogi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial.
Salemba Humanika. Jakarta.
Husserl, E. 1983. Ideas Pertaining To A Pure Phenomenology And To A
Phenomenological Philosophy: First book General Introduction To Pure
Phenomenology. (Diterjemahkan Oleh F. Kersten, Ed.), Philosophy and
Phenomenological Research. Martinus Nijhoff Publisher. Boston, USA.
Husserl, E. 2006. The Basic Problems of Phenomenology: From the Lectures,
Winter Semester 1910-1911. (Diterjemahkan oleh Ingo Farin & James G.
Hart, Ed.), Statewide Agricultural Land Use Baseline 2015 (Vol. 1). Springer.
Dordrecht.
Jolloh, D. 2001. Promotion of Small Financial Institutions ProFI Microfinance
Institutions Study. Denpasar.
Kamayanti, A. 2015. “Sains” Memasak Akuntansi: Pemikiran Udayana dan Tri Hita
Karana. Jurnal Riset dan Aplikasi: Akuntansi dan Manajemen, 1(2):73–80.
Kamayanti, A. 2016. Metodelogi Penelitian Kualitatif Akuntansi: Pengantar
religiositas Keilmuan. Yayasan Rumah Peneleh. Surabaya.
Kariyoto, Subroto, B., Sutrisno, dan Rosidi. 2010. Pengaruh Kesadaran dan
Kepatuhan Wajib Pajak Terhadap Kinerja Perpajakan (Studi Pada Kanwil
Ditjen Pajak Jawa Timur III). Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 3(1): 62–76.
Kementerian Keuangan. 2016a. Menkeu: Tax Ratio Indonesia di Bawah Standar.
http://www.kemenkeu.go.id/Berita/menkeu-tax-ratio-indonesia-di-bawah-
standar, diakses 15 Juli 2016.
Kementerian Keuangan. 2016b. Siaran Pers Penerimaan Negara Tahun 2015.
from http://kemenkeu.go.id/sites/default/files/SP-012016.pdf. Diakses 3
February 2016,
Kementerian Pariwisata. 2016. Kementerian Pariwisata.
http://www.kemenpar.go.id/asp/detil.asp?c=16&id=3101. diakses 30 Maret
2016.
Kurniasari, T. W. 2007. Lembaga Perkreditan Desa Dalam Perspektif Hukum;
Sebuah Lembaga Keuangan Adat Hindu Penggerak Usaha Sektor Informal
Di Bali. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 9(1): 53–78.
Kuswarno, E. 2009. Metodelogi Penelitian Komunikasi Fenomenologi: KOnsepsi,
Pedoman dan Contoh Penelitian. Widya Pajajaran. Bandung:
Liputan6.com. 2015. Gubernur Sebut Dana Bagi Hasil untuk Bali Tidak Adil.
(2015).http://regional.liputan6.com/read/2334588/gubernur-sebut-dana-bagi-
145

hasil-untuk-bali-tidak-adil. diakses 12 November 2016.


Metamorfosis Badan Hukum Indonesia. 2007. http://www.hukumonline.com/
berita/baca/hol17818/metamorfosis-badan-hukum-Indonesia. diakses 21
November 2016.
Moleong, L. J. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi (Edisi 33). PT
Remaja Rosdakarya. Bandung.
Muhadjir, H. N. 2000. Metodologi penelitian Kualitatif Edisi IV. Rake Sarasin.
Yogyakarta.
Mutiah, M., Harwida, G. A., dan Kurniawan, F. A. 2011. Interpretasi Pajak dan
Implikasi Menurut Perspektif Wajib Pajak Usaha Mikro, Kecil dan Mengengah.
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 2(3): 418–429.
Nurjaya, I. N. 2011. Lembaga Perkreditan Desa di Bali dalam Perspektif
Antropologi Hukum. Landasan Teoretik Pengaturan LPD Sebagai Lembaga
Jeuangan Komunitas Masyarakat Hukum Adat di Bali. Udayana University
Press. Denpasar.
Palguna, I. K. E. 2013. Aspek-Aspek Ketahanan pada Maa Pemerintahan Raja
Udayana di Bali. Jurnal Arkeologi, 1–8.
Parisada Hindu Dharma Indonesia. 2001. Himpunan Keputusan Seminar
Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV. Pemerintah
Provinsi Bali. Denpasar.
Pemerintah Provinsi Bali. 2002. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun
2002 Tentang Lembaga Perkreditan Desa.
Pemerintah Provinsi Bali. 2013. Peraturan Gubernur Bali Nomor 11 Tahun 2013
Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002
Tentang Lembaga Perkreditan Desa Sebagaimana Telah Diubah Beberapa
Kali Terakhir Dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012.
Pemerintah Republik Indonesia. 2000. Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun
2000 Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito dan Tabungan Serta Diskonto
Sertifikat Bank Indonesia (2000).
Pemerintah Republik Indonesia. 2008. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Diubah Terakhir Dengan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Pemerintah Republik Indonesia. 2009. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun
2009 Pajak Penghasilan Atas Bunga Simpanan Yang Dibayarkan Oleh
Koperasi Kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi.
Pemerintah Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
Tentang Ketentuan Umum Perpajakan Sebagaimana Diubah Terakhir
Dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
Pemerintah Republik Indonesia. 2013. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
Tentang Lembaga Keuangan Mikro.
Pertiwi, I. D. A., dan Ludigdo, U. 2013. Implementasi Corporate Social
Responsibility Berlandaskan Budaya Tri Hita Karana. Jurnal Akuntansi
Multiparadigma, 4(3):430–455.
Putra, I. N. N. A. (2015). Riba Dan Pembiayaan Dalam Konsep Hindu. Jurnal
Keuangan Dan Perbankan, 19(3), 488–496.
146

Rangarajan, L. N. 1992. Kautilya: The Arthashastra. Penguin Books India (P) Ltd.
India.
Riahi-Belkaoui, A. 2004. Relationship between tax compliance internationally and
selected determinants of tax morale. Journal of International Accounting,
Auditing and Taxation, 13(2): 135–143.
Salim, M. M. 2013. Revealed Objective Functions of Micro Finance Institutions:
Evidence from Bangladesh. Journal of Development Economics, 104: 34–55.
Scott, W. R. 2009. Financial Accounting Theory 5th edition. Pearson Canada Inc.
Toronto.
Seibel, H. D. 2013. Culture and Governance in Microfinance: Desa Pakraman and
Lembaga Perkreditan Desa in Bali. Microfinance in Developing Countries:
Issues, Policies and Performance Evaluation. Palgrave Macmillan. New
Hampshire.
Sihag, B. S. 2009. Kautilya on principles of taxation. Humanomics, 25(1): 55–67.
Sila, M. A. 2010. Lembaga Keuangan Mikro dan Pengentasan Kemiskinan: Kasus
Lumbung Pitih Nagari di Padang. Jurnal Sosiologi Masyarakat, 15(1).
Smith, A. 1952. An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations.
Encyclopædia Britannica. London: Chicago.
Suartana, I. W. 2016. Revisi Perda LPD. Bali Post, 4 September 2016. h. 3.
Sujana, I. K. 2014. Rekonstruksi Penilaian Kinerja Lembaga Perkreditan Desa:
Integrasi Teori Komunikasi Aksi Habermas dan Budaya Tri Hita Karana.
Disertasi Program Doktor Ilmu Ekonomi Pascasarjana Fakultas Ekonomi and
Bisnis Universitas Brawijaya.
Sukandia, I. N. 2011. Sifat Suigeneris LPD Sebagai Lembaga Keuangan
Komunitas Dalam Pengaturan LPD Sebagai Lembaga Keuangan Komunitas
Pada Masyarakat Desa Pakraman. Landasan Teoretik Pengaturan LPD
Sebagai Lembaga Jeuangan Komunitas Masyarakat Hukum Adat di Bali.
Udayana University Press. Denpasar.
Sukoharsono, E. G., dan Qudsi, N. 2008. Accounting in the Golden Age of
Singosari Kingdom : A Foucauldian Perspective. Simposium Nasional
Akuntansi XI, Pontianak, 1–21.
Sumarsan, T. 2015. Perpajakan Indonesia: Pedoman Perpajakan Lengkap
Berdasarkan Undang-Undang Terbaru Edisi 4. PT Indeks. Jakarta.
Suputra, I. D. G. D. 2011. Refleksi nilai-nilai akuntansi dalam organisasi subak di
bali. Disertasi, Program Doktor Ilmu Akuntansi, Program Pascasarjana
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya.
Sutanto, P. M. 2014. Perpajakan Indonesia. Mitra Wacana Media. Jakarta.
Torgler, B. 2004. Tax morale in Asian countries. Journal of Asian Economics,
15(2): 237–266.
Torgler, B. 2006. The importance of faith: Tax morale and religiosity. Journal of
Economic Behavior and Organization, 61(1): 81–109.
Waluyo. 2001. Perpajakan Indonesia. Salemba Empat. n Jakarta:
Widiastuti, N. P. E. 2014. “Realitas” Kesadaran Wajib Pajak Pemilik Usaha Kecil
dan Menengah yang Menganut Prinsip Yadnya. Disertasi, Program Doktor
147

Ilmu Akuntansi, Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis


Universitas Brawijaya.
Windia, W., & Dewi, R. K. 2007. Analisis Bisnis yang Berlandaskan Tri Hita Karana.
Penerbit Universitas Udayana. Denpasar.

Anda mungkin juga menyukai