ENVIRONMENTAL COMMUNICATION
Oleh Kelompok 7:
Universitas Indonesia
2022
1. Pengertian Teori dan siapa pembuatnya
Komunikasi lingkungan merupakan sebuah upaya interdisipliner yang menarik dari
berbagai bidang akademik, telah meningkatkan minat para peneliti komunikasi. Ahli komunikasi
lingkungan percaya bahwa cara kita berkomunikasi memengaruhi persepsi tentang lingkungan
alam serta bagaimana kita selanjutnya mendefinisikan dan bertindak atas hubungan kita dengan
alam dan di dalam alam. Bagi para peneliti lingkungan, percakapan manusia mengenai alam
mencerminkan, membangun, memproduksi, dan menaturalisasikan sikap dan praktik manusia
terhadap lingkungan.
Christine Oravec (1984) melakukan studi mengenai kontroversi pembangunan bendungan
Hetch-Hetchy di California sering dikutip sebagai awal penelitian komunikasi lingkungan dalam
disiplin komunikasi. Oravec menunjukkan bagaimana pandangan konservasionis dan bukan
preservasionis berlaku dalam pembangunan bendungan sebagai kebutuhan material manusia
mengalahkan pandangan bahwa keindahan alam yang utuh adalah sebuah hal penting dalam
dirinya sendiri. Keistimewaan sudut pandang manusia atas alam ini terus mendominasi banyak
keputusan kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan, dan peneliti lingkungan terus
menentang cara manusia terpusat dan alam menjadi terpinggirkan.
Terdapat empat teori dalam komunikasi lingkungan yang masing-masing menguraikan
kesulitan mengenai percakapan manusia-alam sebagaimana dikonseptualisasikan secara
tradisional oleh para peneliti komunikasi. Hubungan tersebut adalah salah satu dominasi,
dicontohkan oleh pernyataan Kenneth Burke tentang manusia sebagai “binatang yang
menggunakan simbol,” terpisah dari alam dan makhluk lain oleh “instrumen buatan kita sendiri.”
1. Naturalisasi Budaya
Donal Carbaugh adalah salah satu orang yang membahas bagaimana bahasa
membentuk makna tentang ruang alam melalui esainya “Naturalizing Communication
and Culture”. Titik awalnya adalah bahwa komunikasi membentuk binari budaya-alam,
peradaban hutan belantara, hewan-manusia, serta menyatakan bahwa realitas ada “di luar
sana”. Dengan kata lain, alam adalah lingkungan tanpa budaya, budaya adalah
lingkungan tanpa alam, dan komunikasi adalah cara untuk mengatakan sesuatu tentang
masing-masing.
Carbaugh telah mengembangkan metode analisis wacana budaya (CuDA)
selama karirnya untuk menjelaskan proses pemahaman budaya dan alam (sebagai salah
satu dari banyak subjek yang dieksplorasi Carbaugh). CuDA menggabungkan analisis
teoretis, deskriptif, interpretatif, komparatif, dan kritis, dimulai dengan keputusan untuk
fokus pada praktik komunikasi tertentu. Peneliti mengumpulkan berbagai contoh praktik
lintas situasi, fitur dari setiap contoh, dan kemudian menafsirkan bagaimana peserta
memahaminya melalui asumsi budaya, simbol, dan kode.
2. Materialitas Alam
Richard Rogers, yang menulis beberapa tahun setelah esai awal Carbaugh,
mengambil diskusi tentang konsekuensi melihat manusia terpisah dari alam. Bagi Rogers,
titik awal pemisahan ini adalah fokus disiplin pada realitas sebagai konstruksi sistem
simbol manusia. Meskipun hal ini berguna dalam melihat alam sebagai konstruksi sosial,
ada juga sisi negatifnya, yaitu alam sebenarnya semakin diobjekkan dan dibungkam.
Alam menjadi sesuatu yang pasif, sesuatu yang dibentuk oleh manusia daripada kekuatan
aktif itu sendiri. Agenda sentral dalam pekerjaan lingkungannya adalah bekerja untuk
menciptakan ruang bagi alam sebagai peserta aktif dalam membentuk persepsi,
pengalaman, dan definisi manusia tentang realitas.
Rogers menjabarkan empat kriteria yang akan mencirikan teori komunikasi
dialogis materialis dan transhuman: (1) tempat untuk dimasukkannya kekuatan, sifat, dan
struktur alam dalam teori komunikasi; (2) penegasan bahwa manusia adalah wujud yang
tertanam dalam dunia yang tidak seluruhnya merupakan konstruksi mereka sendiri; (3)
kemungkinan untuk mendengarkan entitas nonmanusia, kekuatan, dan suara nondominan
dan apa yang mereka sumbangkan pada produksi makna dan materialitas; dan (4)
penggantian biner, seperti subjek/objek, sosial/alam, ideasional/material, dengan
pandangan manusia dan alam sebagai hubungan yang dialogis, saling bergantung, dan
cair. Hasil dari teori-teori tersebut akan menjadi hubungan yang lebih berkelanjutan dan
menegaskan hubungan dengan lingkungan bagi manusia. Teori selanjutnya melanjutkan
fokus ini dengan berusaha membingkai ulang hubungan manusia dan alam.
3. Pelestarian Alam
Tema Milstein adalah sarjana komunikasi lainnya yang berusaha mengganggu
percakapan tradisional Barat mengenai manusia dan alam. Karyanya mengkaji hubungan
manusia di dalam/dalam/sebagai alam, dari konteks perkotaan hingga alam liar,
mengungkap dan mempertanyakan narasi yang mendukung hubungan ekokultural.
Dengan menggunakan kebun binatang sebagai studi kasus, Milstein
menunjukkan bagaimana penyajian “kebun binatang” yang dieksotisisasi mencontohkan
tema orang lain. Milstein menyarankan manusia perlu dengan hormat melakukan kontak
dengan hewan liar dengan cara yang menyaksikan dan merehabilitasi daripada
mengobjektifkan para hewan. Menggunakan kasus wisata alam umumnya dan wisata
mengamati paus khususnya, Milstein mengamati reaksi para turis ketika mereka melihat
orca yang terancam punah dan hewan liar lainnya. Orca dibicarakan sebagai pertunjukan
untuk manusia dan menghibur mereka.
4. Menghidupkan Retorika
Natasha Seegert tertarik pada persilangan dan hubungan antara hewan-hewan
manusia dan banyak hewan yang lebih dari manusia yang merupakan bagian dari dunia.
Dia berfokus khususnya pada cara hewan menantang dan mengubah batasan dan
hambatan manusia, mengganggu cara kita berpikir tentang hewan dan alam. Seegert tidak
tertarik untuk mencopot manusia sebagai pengguna simbol yang memiliki hak istimewa,
tetapi lebih pada retorika yang meluas dan liar untuk mencakup makhluk bernyawa
lainnya.
Retorika animasi menyerukan permainan yang terlibat dengan perspektif,
pertunjukan, dan suara yang terpinggirkan yang mengembalikan kita ke cara mengetahui
yang kuno, bertahan lama, dan liar. Pergeseran ini penting, tidak hanya untuk retorika
tetapi juga untuk planet ini; tidak lagi ada satu pusat manusia melainkan banyak pusat
yang terdiri dari banyak spesies. Ini adalah kesempatan untuk terhubung kembali dengan
segala sesuatu yang berada di luar ucapan manusia yang rasional dan dipahami dengan
cermat dan untuk mengalami semua yang ditawarkan dunia animasi.
3. Perspektif Teori
Para sarjana di bidang komunikasi lingkungan ini berupaya memahami hubungan dan
masalah yang rumit dimana disiplin komunikasi berada dalam teka-teki yang sama yaitu
berusaha untuk berkomunikasi tentang dan dengan alam tetapi tidak yakin bagaimana
melakukannya—belum lagi masalah apakah alam ingin berbicara dengan manusia. Komunikasi
lingkungan, sebuah upaya interdisipliner yang diambil dari berbagai bidang akademik, telah
meningkatkan minat para sarjana komunikasi. Emily Plec menggunakan frase internatural
communication untuk menunjukkan interaksi “yang ada di dalam dan di antara komunitas alami
dan kelompok sosial yang mencakup peserta dari apa yang mungkin awalnya kita gambarkan
sebagai klasifikasi alam yang berbeda.”
Ilmuwan komunikasi lingkungan percaya bahwa bagaimana kita berkomunikasi
mempengaruhi persepsi tentang alam serta bagaimana kita selanjutnya mendefinisikan dan
bertindak atas hubungan kita di dalam dan dengan alam. Bagi para sarjana lingkungan,
percakapan manusia tentang alam mencerminkan, membangun, memproduksi, dan
menaturalisasikan sikap dan praktik manusia terhadap lingkungan.
Ada empat teori dalam komunikasi lingkungan:
Pezullo et al (2018)
Milstein dan Mocatta (2022) membahas komunikasi dan lingkungan melalui lensa
ekokultural, mengkaji bagaimana krisis ekologi merupakan manifestasi dari orientasi
sosiokultural dominan dyang tidak berkelanjutan an bagaimana krisis tidak dapat dihindari
melalui langkah-langkah teknis atau operasional saja. Mereka kemudian melihat keharusan dan
urgensi saat ini untuk mengkomunikasikan "lingkungan", termasuk de-Westernisasi dan
mengglobalisasikan ranah ini, memisahkan diri dari persepsi keliru yang menyamakan
environmentalisme dengan elitisme, dan ancaman mematikan disinformasi. Dekade 2020-an ini
adalah dekade terakhir kita untuk mencegah keruntuhan ekologi—untuk menawarkan
komunikasi lingkungan wawasan tentang masalah dan solusi.
Cara kita berhasil atau gagal dalam komunikasi selanjutnya pada dekade ini akan
memiliki implikasi mendalam tentang bagaimana—atau, memang, apakah—kita mencapai
tindakan yang diperlukan dari kita untuk mengatasi tantangan eksistensial yang telah diciptakan
oleh masyarakat dominan dan yang saat ini kita semua hadapi.
Komunikasi Lingkungan harus memainkan peran kunci kedepannya dalam
menginformasikan transformasi massa tentang peran destruktif manusia yang dominan saat ini
serta dampaknya ke hubungan ekologis. Untuk transformasi yang berarti, pendekatan eko
kultural untuk komunikasi lingkungan harus sentral, karena berada di dalam premis budaya inti
dari masyarakat yang dominan/mendominasi manusia dimana keistimewaan dan kebutaan
lingkungan itu sendiri ada.
4. Tiers
Komunikasi antara manusia dalam konteks Sustainable Development Goals atau SDGs
adalah komunikasi yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran pembangunan yang
berkelanjutan, satu diantara teori dalam komunikasi dalam konteks SDGs yang diangkat adalah
Environmental Communication Theory atau Teori Komunikasi Lingkungan. Teori Komunikasi
Lingkungan berfokus pada pemahaman manusia dengan lingkungan serta hubungan manusia
dengan alam atau kelestarian alam.
Berdasarkan paradigma ini dan dilihat dari model struktur komunikasi menurut John
Powers (1995) dalam Littlejohn (2017) maka teori ini sesuai dengan tier keempat, yaitu Contexts
of Communication, di mana komunikasi berfokus pada situasi, dalam teori komunikasi
lingkungan digunakan untuk membangun masalah lingkungan dan menegosiasi perbedaan
respons dalam masyarakat, sehingga terciptanya kesepahaman mengenai permasalahan
lingkungan yang sedang terjadi.
How 360-Degree Video Influences Content Perceptions and Environmental Behavior: The
Moderating Effect of Environmental Self-Efficacy
Oh, J., Sudarshan, S., Jin, E., Nah, S., & Yu, N. (2020). How 360-Degree Video Influences
Content Perceptions and Environmental Behavior: The Moderating Effect of Environmental
Self-Efficacy. Science Communication, 107554702093217. doi:10.1177/1075547020932174
Artikel ini menjelaskan tentang efek dari video 360 derajat terhadap sikap penerimaan partisipan.
Ketika dampak positif dari video 360 derajat pada pengalaman pengguna telah ditunjukkan,
potensi persuasif darinya belum dapat diinvestigasi sepenuhnya. Eksperimen laboratorium
membandingkan video 360 derajat pro-lingkungan dan video searah dalam efektivitas
persuasifnya. Efikasi diri lingkungan, tingkat dimana individu mempercayai bahwa mereka dapat
mempengaruhi hasil yang berhubungan dengan pemanasan global, telah diajukan sebagai
moderator. Dalam eksperimen lab (N=76), partisipan efikasi diri lingkungan lebih banyak
melihat video konten yang sama lebih menyenangkan dan kredibel ketika menggunakan fitur 360
derajat. Mereka juga menunjukkan intensi yang lebih besar untuk melindungi lingkungan setelah
berinteraksi dengan video 360 derajat.
REFERENSI
Milstein, T., & Mocatta, G. (2022). Environmental communication theory and practice for global
transformation: An ecocultural approach. In Yin, J., & Miike, Y. (Eds.) Handbook of
Global Interventions in Communication Theory. London & New York: Routledge.
Littlejohn, Foss, and Oetzel. 2017. Theories of Human Communication: Eleventh Edition. USA:
Waveland Press, Inc.
Meleong, J. Lexy. 2013. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Neuman, W.. (2000). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches.
10.2307/3211488.
Oh, J., Sudarshan, S., Jin, E., Nah, S., & Yu, N. (2020). How 360-Degree Video Influences
Content Perceptions and Environmental Behavior: The Moderating Effect of
Environmental Self-Efficacy. Science Communication, 107554702093217.
doi:10.1177/1075547020932174