Anda di halaman 1dari 15

REVIEW MATERI

ENVIRONMENTAL COMMUNICATION

Oleh Kelompok 7:

Afif NPM 2206017260

Atika Silvia NPM 2206017336

Ratu Suud Hanum NPM 2206017885

Pascasarjana Manajemen Komunikasi

Universitas Indonesia

2022
1. Pengertian Teori dan siapa pembuatnya
Komunikasi lingkungan merupakan sebuah upaya interdisipliner yang menarik dari
berbagai bidang akademik, telah meningkatkan minat para peneliti komunikasi. Ahli komunikasi
lingkungan percaya bahwa cara kita berkomunikasi memengaruhi persepsi tentang lingkungan
alam serta bagaimana kita selanjutnya mendefinisikan dan bertindak atas hubungan kita dengan
alam dan di dalam alam. Bagi para peneliti lingkungan, percakapan manusia mengenai alam
mencerminkan, membangun, memproduksi, dan menaturalisasikan sikap dan praktik manusia
terhadap lingkungan.
Christine Oravec (1984) melakukan studi mengenai kontroversi pembangunan bendungan
Hetch-Hetchy di California sering dikutip sebagai awal penelitian komunikasi lingkungan dalam
disiplin komunikasi. Oravec menunjukkan bagaimana pandangan konservasionis dan bukan
preservasionis berlaku dalam pembangunan bendungan sebagai kebutuhan material manusia
mengalahkan pandangan bahwa keindahan alam yang utuh adalah sebuah hal penting dalam
dirinya sendiri. Keistimewaan sudut pandang manusia atas alam ini terus mendominasi banyak
keputusan kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan, dan peneliti lingkungan terus
menentang cara manusia terpusat dan alam menjadi terpinggirkan.
Terdapat empat teori dalam komunikasi lingkungan yang masing-masing menguraikan
kesulitan mengenai percakapan manusia-alam sebagaimana dikonseptualisasikan secara
tradisional oleh para peneliti komunikasi. Hubungan tersebut adalah salah satu dominasi,
dicontohkan oleh pernyataan Kenneth Burke tentang manusia sebagai “binatang yang
menggunakan simbol,” terpisah dari alam dan makhluk lain oleh “instrumen buatan kita sendiri.”
1. Naturalisasi Budaya
Donal Carbaugh adalah salah satu orang yang membahas bagaimana bahasa
membentuk makna tentang ruang alam melalui esainya “Naturalizing Communication
and Culture”. Titik awalnya adalah bahwa komunikasi membentuk binari budaya-alam,
peradaban hutan belantara, hewan-manusia, serta menyatakan bahwa realitas ada “di luar
sana”. Dengan kata lain, alam adalah lingkungan tanpa budaya, budaya adalah
lingkungan tanpa alam, dan komunikasi adalah cara untuk mengatakan sesuatu tentang
masing-masing.
Carbaugh telah mengembangkan metode analisis wacana budaya (CuDA)
selama karirnya untuk menjelaskan proses pemahaman budaya dan alam (sebagai salah
satu dari banyak subjek yang dieksplorasi Carbaugh). CuDA menggabungkan analisis
teoretis, deskriptif, interpretatif, komparatif, dan kritis, dimulai dengan keputusan untuk
fokus pada praktik komunikasi tertentu. Peneliti mengumpulkan berbagai contoh praktik
lintas situasi, fitur dari setiap contoh, dan kemudian menafsirkan bagaimana peserta
memahaminya melalui asumsi budaya, simbol, dan kode.

2. Materialitas Alam
Richard Rogers, yang menulis beberapa tahun setelah esai awal Carbaugh,
mengambil diskusi tentang konsekuensi melihat manusia terpisah dari alam. Bagi Rogers,
titik awal pemisahan ini adalah fokus disiplin pada realitas sebagai konstruksi sistem
simbol manusia. Meskipun hal ini berguna dalam melihat alam sebagai konstruksi sosial,
ada juga sisi negatifnya, yaitu alam sebenarnya semakin diobjekkan dan dibungkam.
Alam menjadi sesuatu yang pasif, sesuatu yang dibentuk oleh manusia daripada kekuatan
aktif itu sendiri. Agenda sentral dalam pekerjaan lingkungannya adalah bekerja untuk
menciptakan ruang bagi alam sebagai peserta aktif dalam membentuk persepsi,
pengalaman, dan definisi manusia tentang realitas.
Rogers menjabarkan empat kriteria yang akan mencirikan teori komunikasi
dialogis materialis dan transhuman: (1) tempat untuk dimasukkannya kekuatan, sifat, dan
struktur alam dalam teori komunikasi; (2) penegasan bahwa manusia adalah wujud yang
tertanam dalam dunia yang tidak seluruhnya merupakan konstruksi mereka sendiri; (3)
kemungkinan untuk mendengarkan entitas nonmanusia, kekuatan, dan suara nondominan
dan apa yang mereka sumbangkan pada produksi makna dan materialitas; dan (4)
penggantian biner, seperti subjek/objek, sosial/alam, ideasional/material, dengan
pandangan manusia dan alam sebagai hubungan yang dialogis, saling bergantung, dan
cair. Hasil dari teori-teori tersebut akan menjadi hubungan yang lebih berkelanjutan dan
menegaskan hubungan dengan lingkungan bagi manusia. Teori selanjutnya melanjutkan
fokus ini dengan berusaha membingkai ulang hubungan manusia dan alam.

3. Pelestarian Alam
Tema Milstein adalah sarjana komunikasi lainnya yang berusaha mengganggu
percakapan tradisional Barat mengenai manusia dan alam. Karyanya mengkaji hubungan
manusia di dalam/dalam/sebagai alam, dari konteks perkotaan hingga alam liar,
mengungkap dan mempertanyakan narasi yang mendukung hubungan ekokultural.
Dengan menggunakan kebun binatang sebagai studi kasus, Milstein
menunjukkan bagaimana penyajian “kebun binatang” yang dieksotisisasi mencontohkan
tema orang lain. Milstein menyarankan manusia perlu dengan hormat melakukan kontak
dengan hewan liar dengan cara yang menyaksikan dan merehabilitasi daripada
mengobjektifkan para hewan. Menggunakan kasus wisata alam umumnya dan wisata
mengamati paus khususnya, Milstein mengamati reaksi para turis ketika mereka melihat
orca yang terancam punah dan hewan liar lainnya. Orca dibicarakan sebagai pertunjukan
untuk manusia dan menghibur mereka.

4. Menghidupkan Retorika
Natasha Seegert tertarik pada persilangan dan hubungan antara hewan-hewan
manusia dan banyak hewan yang lebih dari manusia yang merupakan bagian dari dunia.
Dia berfokus khususnya pada cara hewan menantang dan mengubah batasan dan
hambatan manusia, mengganggu cara kita berpikir tentang hewan dan alam. Seegert tidak
tertarik untuk mencopot manusia sebagai pengguna simbol yang memiliki hak istimewa,
tetapi lebih pada retorika yang meluas dan liar untuk mencakup makhluk bernyawa
lainnya.
Retorika animasi menyerukan permainan yang terlibat dengan perspektif,
pertunjukan, dan suara yang terpinggirkan yang mengembalikan kita ke cara mengetahui
yang kuno, bertahan lama, dan liar. Pergeseran ini penting, tidak hanya untuk retorika
tetapi juga untuk planet ini; tidak lagi ada satu pusat manusia melainkan banyak pusat
yang terdiri dari banyak spesies. Ini adalah kesempatan untuk terhubung kembali dengan
segala sesuatu yang berada di luar ucapan manusia yang rasional dan dipahami dengan
cermat dan untuk mengalami semua yang ditawarkan dunia animasi.

2. Sejarah dan asal usul


Pembahasan mengenai lingkungan dalam tradisi komunikasi muncul sebagai suatu
respon akan urgensi pembahasan atas krisis lingkungan yang terjadi.  Pembahasan mengenai
lingkungan muncul sebagai cara untuk memahami, mempraktikan, dan menawarkan solusi atas
dampak bencana iklim akibat ulah manusia dan krisis lingkungan lainnya. Fokus komunikasi
lingkungan yaitu untuk komunikasi hubungan manusia dengan habitat tinggal kita bumi. Dengan
cara menjembatani kajian mengenai kajian lingkungan, politik, kajian budaya, geografi, publik
kesehatan, jurnalisme, studi media, filsafat, sains, studi risiko, psikologi, sosial studi gerakan,
dan bidang lainnya.
Isu mengenai lingkungan mulai muncul pada tahun 1960-an sebagai tanggapan terhadap
meningkatnya ancaman ekologi antropogenik yang mengakibatkan kemunculan gerakan
lingkungan dan berbagai fokus penelitian akademik sebagai landasan dasar bidang komunikasi
lingkungan. Terjadi peningkatan pembahasan mengenai komunikasi lingkungan  mulai tahun
1980-an Seperti Studi Oravec (1981) yang membahas mengenai retorika konservasionisme
versus pelestarian dan analisis formatif mengenai perjuangan atas perlindungan versus
konservasi (1984). Lalu karya Farrel dan Goodnight (1981) mengenai retorika terhadap
pembangkit listrik tenaga nuklir Three Mile Island yang terkena bencana longsor.
Lebih lanjut pada tahun 1990-an pembahasan mengenai komunikasi lingkungan semakin
beragam. Studi mengenai konstruksi makna lingkungan di media berita (Anderson, 1991;
Burgess, 1990; Depoe, 1997), lalu mengenai interaksi gerakan sosial lingkungan dan media
(Anderson, 1991; Hansen, 1993), lalu mengenai komunikasi lingkungan dan politik (Cantrill &
Oravec, 1996; Dryzek, 1997; Killinsgworth & Palmer, 1992). Untuk konteks terbaru ada juga
studi mengenai keterkaitan komunikasi lingkungan terhadap berbagai bidang. Di antaranya yaitu
bidang budaya dan identitas, media dan jurnalisme, konflik dan suara, serta hewan dan iklim
(Anderson, 2014; Depoe & Peeples, 2014; Freeman, 2020; Hansen & Machin, 2008, 2016;
Lester, 2011; Milstein & Sotomayor, 2020; Plec, 2013). Lalu pada tahun 2007 didirikan
Environmental Communication: A Journal of Nature and Culture yang sekarang disebut dengan
Environmental Communication.

3. Perspektif Teori
Para sarjana di bidang komunikasi lingkungan ini berupaya memahami hubungan dan
masalah yang rumit dimana disiplin komunikasi berada dalam teka-teki yang sama yaitu
berusaha untuk berkomunikasi tentang dan dengan alam tetapi tidak yakin bagaimana
melakukannya—belum lagi masalah apakah alam ingin berbicara dengan manusia. Komunikasi
lingkungan, sebuah upaya interdisipliner yang diambil dari berbagai bidang akademik, telah
meningkatkan minat para sarjana komunikasi. Emily Plec menggunakan frase internatural
communication untuk menunjukkan interaksi “yang ada di dalam dan di antara komunitas alami
dan kelompok sosial yang mencakup peserta dari apa yang mungkin awalnya kita gambarkan
sebagai klasifikasi alam yang berbeda.”
Ilmuwan komunikasi lingkungan percaya bahwa bagaimana kita berkomunikasi
mempengaruhi persepsi tentang alam serta bagaimana kita selanjutnya mendefinisikan dan
bertindak atas hubungan kita di dalam dan dengan alam. Bagi para sarjana lingkungan,
percakapan manusia tentang alam mencerminkan, membangun, memproduksi, dan
menaturalisasikan sikap dan praktik manusia terhadap lingkungan.
Ada empat teori dalam komunikasi lingkungan: 

(1) Naturalizing Culture (naturalisasi budaya): 


Donal Carbaugh dalam esai nya mengatakan bahwa Alam adalah lingkungan tanpa
budaya, budaya adalah lingkungan tanpa alam, dan komunikasi adalah cara untuk mengatakan
sesuatu tentang masing-masing. Carbaugh berpendapat itu wajar dan sistem budaya membantu
membentuk satu sama lain secara radikal konsekuensial untuk. Komunikasi lingkungan bukan
hanya salah satu jenis komunikasi yang kadang-kadang dihasilkan—melainkan merupakan
dimensi dalam semua sistem praktik komunikasi. Pertanyaan yang diajukan adalah: “Apa sifat
dari percakapan komunal di mana "lingkungan" diekspresikan (disusun dan dievaluasi)?”
Carbaugh menjawab pertanyaan ini dalam esai selanjutnya, menyarankan perlunya
menyeimbangkan tujuan antara berbicara tentang alam dan secara harfiah mendengarkan  alam
mengekspresikan dirinya sendiri.

(2) The Materiality of Nature (materialitas alam):


Richard Rogers, menulis beberapa tahun setelah esai awal Carbaugh, melanjutkan
pembahasan tentang akibat dari melihat manusia sebagai bagian terpisah dari alam. Bagi Rogers,
titik awal pemisahan ini adalah fokus disiplin realitas sebagai konstruksi sistem simbol manusia.
Meskipun ini berguna melihat "alam" sebagai konstruksi sosial, ada juga sisi negatifnya — alam
lebih lanjut menjadi sekedar objek dan dibungkam. Alam menjadi sesuatu yang pasif, sesuatu
untuk dibentuk oleh manusia daripada kekuatan aktif itu sendiri. Pusat agenda dalam pekerjaan
lingkungannya adalah bekerja untuk menciptakan ruang bagi "alam" sebagai peserta aktif dalam
membentuk persepsi manusia, pengalaman, dan definisi "kenyataan".  Apa yang kita butuhkan,
menurut Rogers, adalah teori-teori yang merangkul ketergantungan dan ketidakterpisahan
manusia dengan alam. 

(3) The Othering Nature (sifat lainnya)


Tema Milstein adalah ilmuwan komunikasi lain yang berusaha mengganggu percakapan
tradisional Barat tentang dan antara manusia dan alam. Pada karyanya, ia mengkaji hubungan
manusia di dalam/dengan/sebagai alam, dari konteks perkotaan hingga alam liar, mengungkap
dan mempertanyakan narasi yang mendasari hubungan ekokultural. Milstein prihatin dengan
dialektika dalam wacana Barat yang mempromosikan pemisahan manusia-alam, seperti
penguasaan vs. harmoni, pemisahan vs koneksi, dan eksploitasi vs idealisme.

(4) Animate Rhetoric (Menghidupkan retorika)


Natasha Seegert tertarik pada persimpangan dan hubungan di antara hewan — hewan
manusia dan banyak hewan yang lebih dari manusia yang menjadi bagian dari dunia. Seegert
berfokus khususnya pada cara hewan menantang dan mengubah batasan dan penghalang
manusia, mengganggu cara kita berpikir tentang hewan dan alam. Seegert tidak tertarik
mencopot  hak istimewa manusia sebagai pengguna simbol melainkan memperluas retorika
untuk mencakup yang makhluk hidup yang lain. Seegert menyarankan bahwa ini berarti melihat
dan mendengarkan—bukan hanya berbicara tentang — orang lain yang bernyawa di dunia kita.
Setiap teori menguraikan kesulitan dengan percakapan manusia-alam sebagaimana
dikonseptualisasikan secara tradisional oleh para sarjana komunikasi. Hubungan itu adalah salah
satu dominasi, dicontohkan oleh pernyataan Kenneth Burke tentang manusia sebagai "binatang
yang menggunakan simbol", dan dipisahkan dari alam dan makhluk lain oleh "instrumen buatan
kita sendiri".

Pezullo et al (2018)

Definisi komunikasi lingkungan dapat membingungkan jika kita sekedar


mendefinisikannya sebagai sekedar informasi atau pembicaraan tentang topik lingkungan.
Definisi yang lebih jelas menyangkut peran bahasa, gambar visual, protes, musik, atau bahkan
laporan saintifik sebagai bentuk berbeda dari aksi simbolik. Dalam Pezullo et al. (2018), Kenneth
Burke (1966) dalam bukunya ‘Language as Symbolic Action’  menyampaikan bahwa bahasa
yang paling tidak emosional sekalipun dapat menjadi persuasif.
Dengan berfokus pada tindakan simbolik, dalam buku ini Pezullo menggunakan frase
komunikasi lingkungan yang berarti mode ekspresi pragmatis dan konstitutif-penamaan,
pembentukan, orientasi, dan negosiasi-hubungan ekologis kita di dunia, termasuk yang memiliki
sistem, elemen, dan spesies bukan manusia. 
Didefinisikan dengan cara ini, komunikasi lingkungan melayani dua fungsi yang berbeda:
1. Komunikasi lingkungan bersifat pragmatis: Terdiri dari mode interaksi verbal dan nonverbal
yang menyampaikan tujuan instrumental. Komunikasi pragmatis menyapa,
menginformasikan, menuntut, menjanjikan, meminta, mendidik, memperingatkan, membujuk,
menolak, dan banyak lagi.
2. Komunikasi lingkungan bersifat konstitutif: Ini memerlukan mode interaksi verbal dan
nonverbal yang membentuk, mengarahkan, dan menegosiasikan makna, nilai, dan hubungan.
Komunikasi konstitutif mengundang perspektif tertentu, membangkitkan keyakinan dan
perasaan tertentu, memupuk cara-cara tertentu dalam berhubungan dengan orang lain, dan
dengan demikian menciptakan perasaan gamblang yang mungkin menggerakkan kita.

Milstein & Mocatta (2022)

Milstein dan Mocatta (2022) membahas komunikasi dan lingkungan melalui lensa
ekokultural, mengkaji bagaimana krisis ekologi merupakan manifestasi dari orientasi
sosiokultural dominan dyang tidak berkelanjutan an bagaimana krisis tidak dapat dihindari
melalui langkah-langkah teknis atau operasional saja. Mereka kemudian melihat keharusan dan
urgensi saat ini  untuk mengkomunikasikan "lingkungan", termasuk de-Westernisasi dan
mengglobalisasikan ranah ini, memisahkan diri dari persepsi keliru yang menyamakan
environmentalisme dengan elitisme, dan ancaman mematikan disinformasi. Dekade 2020-an ini
adalah dekade terakhir kita untuk mencegah keruntuhan ekologi—untuk menawarkan
komunikasi lingkungan wawasan tentang masalah dan solusi.
Cara kita berhasil atau gagal dalam komunikasi selanjutnya pada dekade ini akan
memiliki implikasi mendalam tentang bagaimana—atau, memang, apakah—kita mencapai
tindakan yang diperlukan dari kita untuk mengatasi tantangan eksistensial yang telah diciptakan
oleh masyarakat dominan dan yang saat ini kita semua hadapi.
Komunikasi Lingkungan harus memainkan peran kunci kedepannya dalam
menginformasikan transformasi massa tentang peran destruktif manusia yang dominan saat ini
serta dampaknya ke hubungan ekologis. Untuk transformasi yang berarti, pendekatan eko
kultural untuk komunikasi lingkungan harus sentral, karena berada di dalam premis budaya inti
dari masyarakat yang dominan/mendominasi manusia dimana keistimewaan dan kebutaan
lingkungan itu sendiri ada.

4. Tiers
Komunikasi antara manusia dalam konteks Sustainable Development Goals atau SDGs
adalah komunikasi yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran pembangunan yang
berkelanjutan, satu diantara teori dalam komunikasi dalam konteks SDGs yang diangkat adalah
Environmental Communication Theory atau Teori Komunikasi Lingkungan. Teori Komunikasi
Lingkungan berfokus pada pemahaman manusia dengan lingkungan serta hubungan manusia
dengan alam atau kelestarian alam.
Berdasarkan paradigma ini dan dilihat dari model struktur komunikasi menurut John
Powers (1995) dalam Littlejohn (2017) maka teori ini sesuai dengan tier keempat, yaitu Contexts
of Communication, di mana komunikasi berfokus pada situasi, dalam teori komunikasi
lingkungan digunakan untuk membangun masalah lingkungan dan menegosiasi perbedaan
respons dalam masyarakat, sehingga terciptanya kesepahaman mengenai permasalahan
lingkungan yang sedang terjadi.

5. Tradisi yang mana?


Sebagai salah satu teori dalam disiplin ilmu komunikasi, komunikasi lingkungan
berfokus pada komunikasi antara manusia dengan planet habitat tempat tinggalnya. Hal ini
dijembatani melalui penelitian lingkungan, politik, penelitian budaya, geografi, kesehatan
masyarakat, jurnalisme, dan sebagainya. Lonjakan kepentingan lingkungan yang muncul sejak
tahun 1960-an sebagai tanggapan atas meningkatnya ancaman ekologis antropogenik
memunculkan berbagai macam gerakan lingkungan, serta beralihnya fokus penelitian-penelitian
ke arah pemaknaan dalam hubungan ekologis yang menjadi landasan dan fokus bidang
komunikasi lingkungan (T. Milstein & G. Mocatta, 2022).
Terdapat tujuh jenis tradisi komunikasi menurut Robert Craig (1999), yaitu (1) Semiotic,
(2) Fenomenological, (3) Cybernetic, (4) Socio-psychological, (5) Socio-cultural, (6) Critical,
dan (7) Retorical. Salah satu tradisi, yaitu retorika, berkaitan erat dengan tradisi semiotika,
karena pembacaan atau pemaknaan simbol sangat penting dalam memproses informasi melalui
retorika. Terdapat lima ciri khas dari tradisi retorik, yang pertama ialah Invention, atau dapat
dikaitkan dengan konseptualisasi, yaitu proses di mana makna diberikan pada simbol melalui
interpretasi, pengakuan atas fakta bahwa manusia tidak hanya menemukan apa yang ada tetapi
menciptakannya melalui interpretatif yang mereka pilih untuk digunakan. Yang kedua adalah
Arrangement, proses pengorganisasian susunan informasi simbol terkait hubungan antara orang-
orang, simbol, dan konteks yang terlibat. Yang ketiga, Style, menyangkut semua pertimbangan
yang terlibat dalam pemilihan, pengelolaan, dan penyajian simbol-simbol itu, baik kata-kata,
pakaian, furnitur, atau tarian. Keempat, Delivery, telah menjadi perwujudan simbol dalam
beberapa bentuk fisik, yang mencakup berbagai pilihan dari nonverbal, verbal, hingga pesan
yang dimediasi. Yang terakhir, memory tidak lagi mengacu pada penyimpanan ingatan budaya
yang lebih besar serta pada proses persepsi yang memengaruhi cara kita menyimpan dan
memproses informasi (Littlejohn, 2017).
Walaupun tampak seperti memiliki tradisi semiotika karena berkaitan dengan membaca
‘tanda-tanda’ dan ‘simbol-simbol’ dari alam, namun nyatanya teori komunikasi lingkungan
memiliki tradisi Retorika karena prosesnya yang lebih berkelanjutan dan sangat cocok dengan
tradisi retorika dalam pembentukan persepsi terhadap simbol. Selain itu, banyak pula penelitian
yang sudah memandang komunikasi lingkungan dalam tradisi retorika, seperti penelitian oleh
Oravec (1981), penelitian oleh Farrell dan Goodnight (1981) dalam penelitian retorika terkait
bencana kehancuran pembangkit listrik tenaga nuklir Three Mile Island, serta penelitian oleh
Pezzullo, P.C. (2007) mengenai retorika dari polusi, perjalanan, dan keadilan lingkungan (T.
Milstein & G. Mocatta, 2022).

6. Pendekatan (objektif, humaniora, interpretif) yang mana?


Memahami perbedaan antar pendekatan yang ada merupakan hal yang penting karena
peneliti tidak sepenuhnya dapat memahami teori apabila tidak paham akan asumsi yang menjadi
dasar mengenai adanya kebenaran, sifat manusia, tujuan dari teori serta nilai-nilai yang ada.
Pendekatan objektif mengasumsikan bahwa kebenaran itu tunggal dan dapat diakses
melalui pengamatan sensorik yang jelas, tidak bias serta mengungkap hubungan sebab-akibat.
Pendekatan interpretatif dapat memberikan suatu makna atau nilai dengan mengasumsikan
bahwa makna atau kebenaran adalah sesuatu yang mungkin ada atau terjadi. Pendekatan
humaniora mempelajari tentang bagaimana rasanya menjadi orang lain pada waktu dan tempat
tertentu dengan mengasumsikan adanya beberapa kesamaan yang penting.
Dalam Teori Komunikasi Lingkungan, dipercaya bahwa bagaimana manusia berkomunikasi
mempengaruhi persepsinya tentang alam serta bagaimana mereka selanjutnya mendefinisikan
dan bertindak atas hubungannya di dalam dan dengan alam. Maka dari itu, pendekatan yang tepat
untuk teori ini adalah pendekatan interpretatif. Dalam pendekatan interpretatif, individu
menyikapi kejadian yang ada di sekitarnya berdasar dari makna yang dibuat oleh individu itu
sendiri. Makna terbentuk karena adanya interaksi sosial dengan individu lainnya serta makna
yang didapatkan akan dipahami dan dimodifikasi oleh individu melalui proses interpretatif yang
berkaitan dengan hal yang dihadapi. Sesuai dengan beberapa poin syarat teori interpretatif yang
baik menurut Griffin (2019), teori ini memiliki beberapa aspek:
a) Mengidentifikasi nilai (clarification of values);
b) Menciptakan pemahaman (new understanding of people);
c) Menginspirasi apresiasi estetika (aesthetic appeal);
d) Merangsang kesepakatan (community of agreement);
e) Reformasi masyarakat (reform of society);
f) Melakukan penelitian kualitatif (qualitative research)

7. Pendekatan (kuantitatif, kualitatif, dan mix method) yang mana?


Data atau pengamatan empiris dapat dilakukan menggunakan metode kuantitatif (yaitu,
dinyatakan tepat sebagai angka) atau metode kualitatif (yaitu, dinyatakan sebagai kata-kata,
gambar, atau objek). Data kuantitatif mengacu pada informasi apa pun yang dapat dikuantifikasi
— yaitu angka. Jika dapat dihitung atau diukur, dan diberi nilai numerik, sifatnya kuantitatif.
Tidak seperti data kuantitatif, data kualitatif bersifat deskriptif, dinyatakan dalam istilah bahasa
daripada nilai numerik. Analisis data kualitatif menggambarkan informasi dan tidak dapat diukur
atau dihitung. Ini mengacu pada kata atau label yang digunakan untuk mendeskripsikan
karakteristik atau sifat tertentu. Anda akan beralih ke data kualitatif untuk menjawab pertanyaan
"mengapa?" atau bagaimana?" pertanyaan. Ini sering digunakan untuk menyelidiki studi terbuka,
memungkinkan peserta (atau pelanggan) untuk menunjukkan perasaan dan tindakan mereka yang
sebenarnya tanpa bimbingan (Neuman, 2000).
Teori komunikasi lingkungan adalah teori yang menjelaskan tentang bagaimana individu
dan kelompok dalam masyarakat berkomunikasi tentang isu-isu lingkungan dan bagaimana
komunikasi tersebut mempengaruhi sikap dan tindakan individu terhadap lingkungan. Metode
kualitatif lebih cocok digunakan dalam teori komunikasi lingkungan karena memiliki
keunggulan dalam mengeksplorasi fenomena secara mendalam dan menggali informasi yang
tidak terukur secara numerik. Metode ini memberikan peluang untuk menggali persepsi, sikap,
dan pandangan individu terhadap isu lingkungan secara lebih detail dan mendalam. Selain itu,
metode kualitatif juga dapat memberikan gambaran tentang dinamika kelompok dan interaksi
sosial dalam masyarakat terkait isu lingkungan. Hal ini penting untuk mengetahui bagaimana
komunikasi dan informasi tentang isu lingkungan disebarluaskan dalam masyarakat dan
bagaimana itu mempengaruhi sikap dan tindakan individu. Tidak hanya itu, metode kualitatif
juga dapat mengungkap faktor-faktor yang mempengaruhi sikap individu terhadap isu
lingkungan, seperti budaya, agama, dan latar belakang sosial. Hal ini dapat membantu dalam
mengidentifikasi strategi komunikasi yang efektif untuk meningkatkan kesadaran lingkungan
dan mengubah sikap dan tindakan individu. Metode kualitatif, secara fundamental bergantung
dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-
orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya (Meleong, 2013).

8. Analytical Approach yang mana?


Dalam komunikasi, dikenal ada dua pendekatan dalam melihat fenomena, yaitu
pendekatan atau perspektif yaitu objektif dan interpretatif. Dalam Griffin (2019) dijelaskan
bahwa perspektif objektif memandang realitas sebagai sesuatu yang dapat ditemukan dengan
menyingkirkan campur tangan peneliti di dalam penelitian tersebut. Sementara itu, pendekatan
interpretatif adalah cara manusia memandang fenomena yang diamati, dimana objek pengamatan
tersebut dilihat sebagai sesuatu yang aktif, dinamis, dan mampu membuat perubahan pada
lingkungan. Dalam artian, pendekatan ini melihat perilaku manusia berubah dan memiliki arti
bagi kehidupan di sekitarnya.
Komunikasi lingkungan berfokus untuk membahas bagaimana hubungan antara manusia
dengan habitat lainnya yang tinggal di bumi. Komunikasi lingkungan hadir dengan menjadi
jembatan bagi kajian lingkungan, politik, budaya, jurnalisme, sains, hingga psikologi untuk
membahas mengenai lingkungan, perkembangan dan perubahannya. Komunikasi lingkungan
diinilai menjadi hal penting dalam memperbaiki bumi. Bagaimana cara mengkomunikasikan
lingkungan kepada khalayak, apakah berhasil atau justru gagal akan memiliki implikasi
mendalam tentang bagaimana mengatasi tantangan di sektor lingkungan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan interpretatif dengan melihat kondisi lingkungan
dan menghubungkannya dengan ekokultural serta budaya masyarakat. Dalam penelitian
mengenai komunikasi lingkungan ini, bagian yang didiskusikan adalah bagaimana komunikasi
lingkungan dalam lingkup atau konteks sosiokultural global dan dalam keadaan darurat
lingkungan. Penelitian ini melakukan survei terhadap bidang komunikasi lingkungan,
menguraikan asal-usul dan teori terkait dan mengonseptualisasikannya sebagai ‘disiplin krisi’.
Selanjutnya membahas hal-hal tersebut dengan lensa ekokultural dan memeriksa bagaimana
krisis ekologi hasil dari manifestasi orientasi sosiokulturall yang dominan dan tidak
berkelanjutan. Lalu melihat adanya keharusan dan urgensi untuk mengkomunikasikan
‘’lingkungan’’.

9. Studi kasus / konteks

How 360-Degree Video Influences Content Perceptions and Environmental Behavior: The
Moderating Effect of Environmental Self-Efficacy
Oh, J., Sudarshan, S., Jin, E., Nah, S., & Yu, N. (2020). How 360-Degree Video Influences
Content Perceptions and Environmental Behavior: The Moderating Effect of Environmental
Self-Efficacy. Science Communication, 107554702093217. doi:10.1177/1075547020932174

Artikel ini menjelaskan tentang efek dari video 360 derajat terhadap sikap penerimaan partisipan.
Ketika dampak positif dari video 360 derajat pada pengalaman pengguna telah ditunjukkan,
potensi persuasif darinya belum dapat diinvestigasi sepenuhnya. Eksperimen laboratorium
membandingkan video 360 derajat pro-lingkungan dan video searah dalam efektivitas
persuasifnya. Efikasi diri lingkungan, tingkat dimana individu mempercayai bahwa mereka dapat
mempengaruhi hasil yang berhubungan dengan pemanasan global, telah diajukan sebagai
moderator. Dalam eksperimen lab (N=76), partisipan efikasi diri lingkungan lebih banyak
melihat video konten yang sama lebih menyenangkan dan kredibel ketika menggunakan fitur 360
derajat. Mereka juga menunjukkan intensi yang lebih besar untuk melindungi lingkungan setelah
berinteraksi dengan video 360 derajat.
REFERENSI

Milstein, T., & Mocatta, G. (2022). Environmental communication theory and practice for global
transformation: An ecocultural approach. In Yin, J., & Miike, Y. (Eds.) Handbook of
Global Interventions in Communication Theory. London & New York: Routledge.
Littlejohn, Foss, and Oetzel. 2017. Theories of Human Communication: Eleventh Edition. USA:
Waveland Press, Inc.
Meleong, J. Lexy. 2013. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Neuman, W.. (2000). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches.
10.2307/3211488.
Oh, J., Sudarshan, S., Jin, E., Nah, S., & Yu, N. (2020). How 360-Degree Video Influences
Content Perceptions and Environmental Behavior: The Moderating Effect of
Environmental Self-Efficacy. Science Communication, 107554702093217.
doi:10.1177/1075547020932174

Anda mungkin juga menyukai