Anda di halaman 1dari 8

Majalah Farmaseutik Vol. 17 No.

3: 318-325
ISSN-p : 1410-590x
ISSN-e : 2614-0063

Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Obat di Puskesmas Wilayah Kota Kupang

Evaluation of Drug use Rationality in Kupang City Public Health Centers

Natalia Gilarsih1*, Achmad Fudholi2, Tri Murti Andayani2, Satibi2


1 Magister Manajemen Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada
2 Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada

Corresponding author: Natalia Gilarsih; Email: ngilarsih59@gmail.com


Submitted: 09-03-2020 Revised: 11-05-2020 Accepted: 11-05-2020

ABSTRAK
Berangkat dari permasalahan belum optimalnya penerapan penggunaan obat secara rasional
pada fasilitas kesehatan di Indonesia dan belum adanya laporan evaluasi penggunaan obat
berdasarkan indikator khusus yang menjadi dasar penilaian kinerja pelayanan kefarmasian di
puskesmas. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi rasionalitas penggunaan obat di puskesmas
wilayah Kota Kupang berdasarkan 8 indikator hasil metode delphi termodifikasi yang dikembangkan
oleh Satibi dkk. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kuantitatif
secara retrospektif menggunakan data tahun 2018 dan melalui observasi langsung. Pemilihan 8
sampel puskesmas di Kota Kupang dilakukan dengan purposive sampling. Data hasil penelitian
berupa data kuantitatif, dianalisis secara deskriptif dan 6 indikator diantaranya dibandingkan
dengan standar Kemenkes RI dan WHO. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan obat
belum rasional sesuai standar WHO pada item obat per resep, standar Kemenkes RI pada
penggunaan obat generik dan standar WHO maupun Kemenkes RI pada pemberian oralit dan zinc
untuk diare. Pada indikator biaya obat per kunjungan resep sebesar Rp.9.394 ± Rp.1.341 digunakan
sebagai parameter dalam penetapan alokasi dana pengadaan obat di Kota Kupang pada tahun 2019
dan kejadian medication error tidak bisa dievaluasi karena tidak adanya dokumentasi kejadian
tersebut pada puskesmas wilayah Kota Kupang.
Kata kunci: Rasionalitas penggunaan obat; Indikator; Puskesmas.

ABSTRACT
Based on the issues of the deficient application of the rational use of drugs in health facilities in
Indonesia and the absence of evaluation reports of drug use based on specific indicators underlying
performance assessments of pharmaceutical services in public health centers, this study aims to
evaluate drug use in public health centers in Kupang City based on eight indicators of the modified
Delphi method developed by Satibi et al. This study employs a descriptive method with a quantitative
approach retrospectively using 2018 data and direct observation. The selection of eight samples of
public health centers in Kupang City is done by purposive sampling. Data generated from this study
that is in the form of quantitative data is analyzed descriptively and seven out of the eight indicators
are compared with national standards set by the Indonesian Ministry of Health. The results show that
the use of drugs is not rational according to WHO standards on prescription drug items and the use
of generic drugs is not according to the standards of the Indonesia Ministry of Health, prescriptions
of ORS and zinc for diarrhea are not rational yet according to the standards of WHO and Indonesia
Ministry of Health. The drug cost per visit prescription is Rp 9.394 ± Rp.1.341 is used as a parameter
in determining the allocation of funds for the procuremenet of drugs in Kupang next year. The
occurrences of medication errors cannot be evaluated because there is no documentation of the
occurrencest in the public health centers in Kupang City.
Keywords: Drug Use Rationality; Indicators; Public Health Centers.

PENDAHULUAN (2018) menyatakan bahwa belum seluruh


Penggunaan obat dikatakan rasional fasilitas kesehatan dasar di Indonesia
apabila pasien menerima obat yang tepat sesuai menerapkan penggunaan obat rasional (POR).
kebutuhan klinis, dalam dosis dan durasi Penggunaan obat yang tidak rasional
pengobatan yang tepat dan dengan biaya diantaranya disebabkan kejadian polifarmasi,
seminimal mungkin (WHO, 2002). Kemenkes RI tingginya persentase peresepan antibiotik yang

318 DOI: 10.22146/farmaseutik.v1i1.54768 | MF Vol 17 No 3, 2021


Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Obat di Puskesmas Wilayah Kota Kupang

tidak tepat, penggunaan injeksi secara Peningkatan kolaborasi yang sinergis


berlebihan dan kejadian medication error antara dokter dan apoteker dibutuhkan dalam
terkait penulisan resep (WHO, 2002). Hal ini tercapainya POR (Kemenkes RI, 2018). Kota
menyebabkan tidak tercapainya tujuan terapi, Kupang belum memiliki tenaga apoteker di
peningkatan biaya pengobatan dan setiap sarana puskesmasnya. Hanya tiga dari
mengakibatkan penurunan kepatuhan pasien sebelas puskesmas yang memiliki apoteker
dalam mengkonsumsi obat (Enato dan Ifeanyl, sebagai penanggungjawab pelayanan
2011). kefarmasian, sehingga peneliti ingin melakukan
Strategi peningkatan penggunaan obat evaluasi terkait penggunaan obat di puskesmas
secara rasional telah dilakukan oleh pemerintah wilayah Kota Kupang. Setelah pengantar diatas,
di semua tingkat fasilitas kesehatan termasuk tulisan ini dimulai dengan menjelaskan metode
puskesmas. Bentuk intervensi pemerintah dan menyajikan hasil evaluasi penggunaan obat
dilakukan melalui strategi regulasi, edukasi yang dibandingkan dengan standar yang ada,
dan manajerial (Quick, 1997). Pemerintah dilanjutkan dengan menjelaskan hasil evaluasi
melakukan kebijakan strategi regulasi melalui yang diperoleh pada setiap indikator dan
penetapan pedoman standar klinis, strategi diakhiri kesimpulan.
edukasi melalui pembinaan masyarakat
dengan peningkatan peran tenaga kesehatan METODOLOGI
dan strategi manajerial dilakukan melalui Penelitian ini merupakan penelitian
advokasi kepada lintas sektor untuk deskriptif dengan pendekatan kuantitatif.
meningkatkan sinergisme terkait POR Pengambilan data dilakukan secara retrospektif
(Kemenkes RI, 2018). Dengan meningkatnya menggunakan data sekunder tahun 2018,
praktek POR di puskesmas diharapkan pasien kecuali pada indikator sediaan generik,
akan menggunakan obat secara efektif dilakukan melalui observasi langsung.
(efficacy), efisien (cost-effectiveness) dan aman Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober
(efficacy). 2019 di 8 puskesmas wilayah Kota Kupang.
Penelitian terkait evaluasi penggunaan Pengambilan sampel puskesmas secara
obat di fasilitas kesehatan banyak dilakukan purposive sampling, kriteria inklusi adalah
sebelumnya menggunakan indikator puskesmas rawat inap dan non rawat inap yang
penggunaan obat WHO (1993). Saat ini belum memiliki tenaga apoteker dan TTK sebagai
ada indikator khusus yang menjadi dasar penanggungjawabnya dengan masing-masing
penilaian kinerja pelayanan kefarmasian di jumlah kunjungan pasien terbanyak, menengah
puskesmas. Satibi dkk (2019) telah dan paling sedikit. Kriteria ekslusi adalah
mengembangkan indikator evaluasi puskesmas yang tidak memiliki ketersediaan
penggunaan obat yang merupakan bagian dari data lengkap.
indikator pelayanan mutu kefarmasian di Instrumen penelitian terdiri dari 8
puskesmas dengan metode delphi termodifikasi. indikator yaitu biaya obat per kunjungan resep,
Metode ini ditetapkan melalui forum group item obat per resep, sediaan generik, antibiotik
discussion (FGD) dari seluruh apoteker pada diare non spesifik, pemberian oralit dan
puskesmas dan Dinas Kesehatan Kota zinc pada diare, antibiotik pada ISPA non
Yogyakarta. pneumonia, penggunaan injeksi dan
Penelitian terdahulu yang dilakukan dokumentasi kejadian medication error. Data
terkait evaluasi penggunaan obat di fasilitas sekunder pada 4 indikator (item per resep,
kesehatan dasar, diantaranya evaluasi antibiotik pada ISPA non pneumonia, antibiotik
penggunaan obat berdasarkan indikator pada diare non spesifik dan penggunaan injeksi)
peresepan WHO di puskesmas wilayah Jakarta diperoleh dari laporan POR puskesmas tahun
Barat (Munarsih dkk, 2017), menunjukkan 2018, dengan pengambilan sampel 1 resep per
peresepan obat belum rasional kecuali untuk hari untuk setiap diagnosis terpilih sehingga
peresepan antibiotik sebesar 27,02% dan terkumpul 25 sampel per bulan dan dirata-rata
injeksi 0%. Demikian pula di Puskesmas Kota untuk mendapatkan persentase akhir di setiap
Kendari (Ihsan dkk. 2017), memberikan hasil puskesmas. Data pemberian oralit dan zink pada
bahwa penggunaan obat rasional di seluruh diare diperoleh dari observasi resep pasien
Puskesmas Kota Kendari belum sesuai dengan pada bulan Oktober-Desember 2018, dan
rekomendasi WHO. sampel indikator sediaan generik diambil 100

MF Vol 17 No 3, 2021 319


Natalia Gilarsih, et al

Tabel I. Hasil Evaluasi Penggunaan Obat Berdasarkan Indikator Delphi Termodifikasi di


Puskesmas Wilayah Kota Kupang
Puskesmas Wilayah Standar Standar
No Indikator
Kota Kupang WHO Kemenkes RI
1 Biaya Obat per Kunjungan Rp. 9.394 ± Rp. 1.341 - Sesuai kunjungan
Resep resep3
2 Item Per Resep 2,46 ± 0,94 1,8 - 2,2 1 ≤2,6 4
3 Sediaan Generik 96,13% ± 2,35% ≥ 82% 1 100%5
4 Antibiotik pada Diare non 6,94% ± 6,70% - ≤8% 4
Spesifik
5 Pemberian Oralit dan Zink 62,26% ± 6,35% 100% 2 100% 6
pada Diare
6 Antibiotik pada ISPA non 9,70% ± 6,03% - ≤20% 4
Pneumonia
7 Penggunaan injeksi 0% Seminimal ≤1% 4
mungkin 1
8 Dokumentasi Kejadian Tidak ada - -
Medication Error
Sumber : 1 Standar WHO (1993), 2 Standar WHO (2006), 3 Standar Kemenkes RI (2010a); 4 Standar
Kemenkes RI (2019), 5Standar Kemenkes RI (2010b; 6 Standar Kemenkes RI (2011a).

resep di masing-masing puskesmas dengan setiap resep (Kemenkes RI, 2010 a). Dalam
metode systematic random sampling di bulan penetapan alokasi dana pengadaan obat,
Oktober 2019. Data hasil penelitian berupa data pemerintah daerah Kota Kupang telah
kuantitatif, dianalisis secara deskripif dan 6 memasukkan parameter jumlah kunjungan
indikator diantaranya dibandingkan dengan resep dalam perencanaan kebutuhan obatnya
standar WHO dan Kemenkes RI. sehingga diharapkan ketersediaan dana
pengadaan obat tahun berikutnya disesuaikan
HASIL DAN PEMBAHASAN dengan jumlah kunjungan resep di puskesmas
Hasil penelitian pada tabel I wilayah Kota Kupang. Penyediaan dana yang
menunjukkan indikator biaya obat per memadai dari pemerintah sangat menentukan
kunjungan resep sebesar Rp. 9.394 ± Rp.1.341, ketersediaan dan keterjangkauan obat oleh
item per resep 2,46 ± 0,94, sediaan generik masyarakat (Waluyo dkk, 2015) sehingga ikut
96,13% ± 2,35%, antibiotik pada diare non mempengaruhi kerasionalan penggunaan obat.
spesifik 6,94 % ± 6,70%, pemberian oralit dan Ketersediaan anggaran obat bervariasi
zinc pada diare 62,26% ± 6,35%, antibiotik pada disesuaikan dengan jumlah kunjungan resep
ISPA non pneumonia 9,70% ± 6,03% dan yang ada di masing-masing daerah. Indikator ini
penggunaan injeksi sebesar 0%, serta tidak menjadi patokan bagi pemerintah di era BPJS
adanya dokumentasi kejadian medication error dalam memperkirakan kebutuhan obat yang
pada puskesmas wilayah Kota Kupang. harus disediakan pemerintah dan sebagai bahan
evaluasi terkait dana yang dibutuhkan (Satibi
Biaya Obat per Kunjungan Resep dkk, 2019). Banyak negara memiliki anggaran
Rata-rata biaya obat per kunjungan resep terbatas sehingga berdampak pada terbatasnya
di puskesmas wilayah Kota Kupang ditunjukkan alokasi dana bagi sektor kesehatan termasuk
pada tabel I didapatkan sebesar Rp. 9394. pengadaan obat. Oleh karena itu penting dalam
Berdasarkan tabel II, biaya obat per kunjungan memperhatikan efektivitas biaya obat melalui
resep tertinggi berada di Puskesmas Oesapa penggunaan obat rasional agar memberi
(Rp. 12.018) dan terendah di Puskesmas dampak terhadap efisiensi biaya kesehatan
Kupang Kota (Rp.7.997). Biaya obat per (Ariati, 2015).
kunjungan resep berkaitan dengan besaran Berdasarkan tabel I, dapat dilihat bahwa
dana yang dibutuhkan dan yang tersedia untuk banyaknya item obat per resep tidak diikuti

320 MF Vol 17 No 3, 2021


Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Obat di Puskesmas Wilayah Kota Kupang

Tabel II. Tingkat Penggunaan Obat per Indikator di Puskesmas Wilayah Kota Kupang

diare Non Spesifik

mentasi Kejadian
Nama Puskesmas

kunjungan resep

Medication Error
Sediaan Generik

untuk diare (%)


Antibio tik pada

Antibio tik pada

pneumonia (%)
Item per resep
Biaya obat per

Oralit & zinc

Penggunaan
Injeksi (%)
ISPA Non
(Rupiah)

Doku
(%)

(%)
No

1 Oesapa 12.018 2,96 98 7,29 61,06 13,46 0 Tidak ada


2 Kupang Kota 7.997 2,52 96 13,93 60,71 4,02 0 Tidak ada
3 Penfui 9.327 2,89 99 0 76 16,31 0 Tidak ada
4 Alak 10.468 1,75 94 6,5 61,9 10,42 0 Tidak ada
5 Pasir Panjang 8.030 2,82 94 19,37 52,83 5,33 0 Tidak ada
6 Sikumana 9.329 0,52 93 3,46 62,18 17,1 0 Tidak ada
7 Oebobo 9.445 2,54 99 0,18 61,16 0,25 0 Tidak ada
8 Oepoi 8.541 3,65 96 4,77 62,22 10,73 0 Tidak ada
Rata -Rata 9.394 2,46 96,13 6,94 62,26 9,70 0 Tidak ada
Sumber: data sekunder yang diolah

peningkatan biaya obat per kunjungan resep. item/resep) dan Puskesmas Oepoi (4,18 item
Hasil penelitian Hadiningsih (2015) di RS Awal obat/resep). Hasil yang didapat menunjukkan
Bros Bekasi menunjukkan biaya obat yang lebih bahwa kejadian polifarmasi masih terjadi dalam
tinggi pada pasien yang mendapatkan > 2 item peresepan obat, sehingga puskesmas di wilayah
obat dibanding dengan pasien yang Kota Kupang masih perlu mengevaluasi jumlah
mendapatkan ≤ 2 item obat. Hal ini bertolak item obat per resepnya. Semakin besar nilai
belakang dengan hasil yang didapat pada rata-rata jumlah item obat per resep, maka
penelitian ini yaitu biaya obat per kunjungan reaksi obat yang tidak diinginkan dari interaksi
resep tidak berbanding lurus dengan jumlah obat akan semakin meningkat (Destiani dkk,
item obat per lembar resep. 2016).
Puskesmas yang memiliki tingkat
Item Per Resep polifarmasi tertinggi adalah Puskesmas Oepoi
Terjadinya polifarmasi menunjukkan (4,18 item/resep) dan terendah adalah
tanda awal pengobatan yang tidak rasional Puskesmas Sikumana (0,52 item/resep).
karena terkait semakin banyaknya jumlah obat Polifarmasi dapat terjadi karena pola peresepan
yang diberikan kepada pasien dapat dokter ataupun karakteristik pasien. Tidak
meningkatkan resiko efek samping dan tersedianya alat untuk memastikan diagnosa di
interaksi obat. Polifarmasi adalah pemberian fasilitas kesehatan menyebabkan dokter
obat untuk satu diagnosis lebih dari dua item meresepkan obat hanya untuk mengatasi gejala
obat (WHO, 1993). Hasil penelitian berdasarkan pasien (Balushi dkk, 2014) ataupun tekanan
tabel 1 didapatkan rata-rata jumlah item obat pasien kepada dokter karena sugesti jika
per resep di puskesmas wilayah Kota Kupang menggunakan banyak obat kemungkinan
sebesar 2,46 menunjukkan tingkat pemakaian sembuh akan semakin besar.
obat tiap pasien telah sesuai standar Kemenkes
RI (<2,6 item /resep), namun masih melebihi Sediaan Generik
standar WHO (1,8 – 2,2 item/resep). Enam dari Rata-rata persentase sediaan obat
delapan puskesmas yang masih belum generik di 8 puskesmas wilayah Kota Kupang
memenuhi standar yaitu Puskesmas Oesapa (2, didapatkan sebesar 96,13 %, menunjukkan
96 item/resep), Puskesmas Kupang Kota (2, 52 masih di bawah standar Kemenkes RI (100%)
item/resep), Puskesmas Penfui (2,89 namun sudah sesuai dengan rekomendasi WHO
item/resep), Puskesmas Pasir panjang (2,82 (≥82%). Pemerintah Indonesia mewajibkan
item/resep), Puskesmas Oebobo (2,54 penggunaan obat generik bagi semua pasien di

MF Vol 17 No 3, 2021 321


Natalia Gilarsih, et al

fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah Puskesmas Penfui sebesar 0%. Hal ini terjadi
(Kemenkes RI, 2010b). Di era JKN, strategi disebabkan tingginya kepatuhan dokter dalam
kebijakan pengadaan obat melalui e-catalogue tercapainya kesesuaian peresepan sesuai
obat ikut mengendalikan biaya dalam pedoman tatalaksana diare non spesifik di
tercapainya pemerataan kesehatan masyarakat, puskesmas.
namun belum optimalnya mekanisme
pengadaan obat melalui e-catalogue Oralit dan Zink pada Diare
menyebabkan ketersediaan obat generik di Hasil penelitian menunjukkan bahwa
puskesmas belum mencapai 100% (Ariati, peresepan oralit dan zink pada diare non
2017). Adanya penggunaan sediaan non generik spesifik hanya mencapai 62,26% dari angka
di fasilitas kesehatan dapat memberi dampak 100% yang menjadi standar WHO dan
terjadinya duplikasi obat akibat ketidaktahuan Kemenkes RI. Masih rendahnya persentase
kandungan obat oleh pasien (Mekonnen, 2014). peresepan oralit dan zink pada diare di
Kebijakan penggunaan sediaan generik di puskesmas wilayah Kota Kupang disebabkan
fasilitas kesehatan mempertimbangkan manfaat pemberian obat pada resep hanya terdapat
obat di era JKN baik aksebilitas dan pemberian tablet zinc saja atau oralit saja.
keterjangkauannya dengan penggunaan obat Pemberian oralit sebagai cairan rehidrasi oral
secara rasional. Efektifitas biaya obat generik digunakan sebagai tindakan awal untuk
memberi dampak terhadap efisiensi biaya mengatasi dehidrasi, terbukti sejak lama dapat
kesehatan (Ariati, 2017). Sediaan generik menurunkan angka kematian sebagai akibat
memberikan efikasi dalam pelayanan kesehatan langsung dari dehidrasi namun tidak cukup
karena dengan mutu yang sama dengan obat signifikan dalam menurunkan frekuensi
non generik didapatkan harga yang lebih defekasi diare sehinggga WHO
terjangkau. merekomendasikan penambahan suplementasi
zinc untuk diresepkan kepada seluruh pasien
Antibiotik pada Diare non Spesifik pada penatalaksanaan diare (Kemenkes RI,
Rata-rata persentase resep antibiotik 2011a). Anggapan bahwa tingginya angka
pada diare non spesifik di 8 puskesmas wilayah kematian pasien diare lebih sering disebabkan
Kota Kupang didapatkan 6,94%, masih berada tidak teratasinya masalah kekurangan cairan
dalam standar Kemenkes RI yang dalam tubuh atau dehidrasi menjadi alasan
mempersyaratkan ≤ 8%. Tingkat peresepan tenaga medis hanya memberikan terapi oralit
antibiotik pada diare non spesifik tertinggi tunggal pada kasus diare, oralit dianggap
berada di Puskesmas Pasir Panjang (19,37%). sebagai pilihan utama dalam pengobatan
Hal ini kemungkinan dipengaruhi pola standar diare (Sasmitawati, 2011). Pasien yang
peresepan dokter berdasarkan terapi empiris hanya diberikan terapi zink tunggal juga
dengan pertimbangan pengobatan sedini dianggap belum tepat dalam pemilihan obat
mungkin untuk mencegah perkembangan karena untuk pasien diare non dehidrasi tetap
infeksi lebih lanjut, yang diberikan tanpa harus ditambahkan oralit untuk mencegah
melakukan pemeriksaan feses dalam proses dehidrasi (Kemenkes RI, 2011). Kemungkinan
identifikasi mikroorganisme penyebab diare. pasien yang hanya diberikan terapi zink karena
Penggunaan antibiotik yang tidak rasional pasien sudah memiliki persediaan oralit di
termasuk pada terapi diare non spesifik yang rumahnya sebagai usaha penanganan pertama
seharusnya tidak memerlukan antibiotik karena pada diare yang dialaminya (Putri, 2014).
tidak disebabkan infeksi bakteri (Kemenkes RI, Suplementasi zinc yang ditambahkan ke
2015), melainkan oleh infeksi rotavirus yang pengobatan standar diare dengan garam
bersifat self limited disease. Penelitian rehidrasi oral terbukti efektif dalam mengatasi
Trisnowati dkk (2017) mendapatkan tidak diare dengan cara mengurangi frekuensi
terdapatnya manfaat klinis bagi pasien, selain defekasi dan memperpendek durasi diare(Ulfah
menyebabkan peningkatan resiko resistensi dan dkk, 2012). Zink juga meningkatkan sistem
pengeluaran biaya kesehatan yang tidak kekebalan tubuh sehingga dapat mencegah
diperlukan, mengingat penyebab diare non resiko terulangnya diare selama 2-3 bulan
spesifik kebanyakan adalah virus dan dapat setelah anak sembuh dari diare (WHO, 2006).
sembuh tanpa terapi antibiotik. Tingkat Penelitian lain menemukan bahwa pemberian
peresepan antibiotik terendah berada di zink secara signifikan meningkatkan efisiensi

322 MF Vol 17 No 3, 2021


Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Obat di Puskesmas Wilayah Kota Kupang

biaya dibanding penanganan pengobatan injeksi di fasilitas kesehatan terutama


standar diare (Elni dan Wiyarni, 2010). puskesmas. Pemerintah melakukan kebijakan
melalui pedoman standar klinis dan regulasi
Persentase Peresepan Antibiotik pada ISPA pengadaan obat sehingga ketersediaan obat
non Pneumonia yang ada mempengaruhi peresepan
Persentase peresepan antibiotik pada pengobatan. Selain itu peningkatan
ISPA non pneumonia pada puskesmas wilayah pengetahuan dan pelatihan bagi tenaga medis
Kota Kupang didapatkan sebesar 9,70% dan kesehatan serta pemberdayaan tenaga
menunjukkan peresepan antibotika sudah kesehatan dan masyarakat (Kardela dkk, 2014)
memenuhi standar Kemenkes RI yaitu ≤ 20%. melalui sosialisasi gerakan masyarakat cerdas
Puskesmas dengan tingkat peresepan antibiotik menggunakan obat (gema cermat) ikut
pada kasus ISPA non pneumonia paling tinggi berperan dalam menekan tingginya tingkat
yaitu Puskesmas Penfui (16,31%) sedangkan peresepan injeksi. Pola pikir dan tingkat
tingkat terendah yaitu Puskesmas Oebobo pendidikan masyarakat saat ini sudah mulai
(0,25%). Tercapainya target persentase berpikir secara terbuka. Pengetahuan
peresepan antibiotik pada ISPA non pneumonia masyarakat tidak lagi terbatas bahwa hanya
di puskesmas wilayah Kota Kupang sediaan obat injeksi yang akan bekerja lebih
menunjukkan kerasionalan penggunaan cepat sehingga mempercepat kesembuhan
antibiotik pada ISPA non Pneumonia. Fasilitas penyakit. Salah satu aspek rasionalitas dalam
kesehatan di Indonesia memiliki keterbatasan penggunaan obat adalah tepat cara penggunaan
sarana pemeriksaan kultur (Kemenkes RI, obat, yang memerlukan pertimbangan
2011a), sehingga umumnya peresepan pemilihan penggunaan yang nyaman, aman dan
antibiotika pada ISPA berdasarkan terapi efektif untuk pasien. Cara penggunaan obat
empiris. Antibiotika diberikan jika ditemukan melalui injeksi harus dibatasi karena resiko efek
sindrom klinis yang mengarah pada infeksi samping penggunaan obat injeksi lebih besar
bakteri untuk mengeradikasi pertumbuhan dibandingkan dengan penggunaan obat secara
bakteri sebelum diperoleh hasil pemeriksaaan oral, yaitu dapat menyebabkan iritasi lokal
mikrobiologi. Berdasarkan guideline Centers for ditempat penyuntikan (Destiani dkk, 2016).
Disease Control and Prevention, pemberian Selain itu menyebabkan meningkatnya biaya
antibiotik hanya perlu diberikan pada 20% pengobatan untuk penggunaan injeksi yang
kasus ISPA. Hal tersebut berdasarkan hasil seharusnya masih dapat menggunakan sediaan
penelitian yang menunjukkan bahwa hanya oral.
19,4% kasus ISPA yang disebabkan oleh bakteri
(CDC, 2003). ISPA non pneumonia rentan Dokumentasi Kejadian Medication Error
terhadap penggunaan obat yang tidak rasional Tabel II menunjukkan bahwa jumlah
yaitu pemberian antibiotik yang seharusnya dokumentasi kejadian medication error adalah
tidak diberikan karena penyebab penyakit ini 0, yang artinya puskesmas pada wilayah Kota
pada umumnya adalah virus. Hal ini akan Kupang tidak ada yang melakukan
memperburuk kondisi pasien dengan terjadinya pendokumentasian kejadian medication error.
resistensi terhdap suatu jenis antibiotik, selain Hal ini disebabkan karena tidak semua
terjadi pemborosan biaya karena pemberian puskesmas memiliki tenaga apoteker. Mayoritas
obat yang sebenarnya tidak dibutuhkan untuk tenaga kefarmasian di puskesmas adlah tenaga
penyakit tersebut. teknis kefarmasian yang tidak memilki
kompetensi dalam melakukan kegiatan
Pengunaan injeksi pada Myalgia tersebut. Tidak adanya dokumentasi kejadian
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 1 medication error di puskesmas berdampak pada
menunjukkan bahwa tidak ada peresepan tidak terdapatnya bukti medication error
sediaan injeksi di puskesmas wilayah kota sehingga tidak ada bahan pelaporan dan
kupang dengan hasil persentase 0%, yang evaluasi agar kejadian yang sama tidak terulang
berarti sudah sesuai dengan standar yang kembali di kemudian hari. Medication error
ditargetkan oleh Kemenkes RI (≤ 1%) maupun dapat terjadi pada 4 fase yaitu kesalahan
WHO (seminimal mungkin) Upaya pemerintah peresepan (prescribing error), kesalahan
dalam meningkatkan penggunaan obat rasional penerjemahan resep (transcibibng error),
mempengaruhi penurunan tingkat peresepan kesalahan menyiapkan dan meracik obat

MF Vol 17 No 3, 2021 323


Natalia Gilarsih, et al

(dispensing error), dan kesalahan penyerahan Bencana Banjir. Jurnal Ilmu Kebencanaan,
obat kepada pasien (administration error) 2: 12.
(Khairuirrijal dan Norisca, 2017). Apoteker Firmansyah, I. dan Rasni, H., 2014. (The
berperan nyata dalam pencegahan tejadinya Correlation Between Knowledge and
medication error melalui kolaborasi dengan behavior preparedness in Facing of
dokter, pasien serta tenaga kesehatan lainnya Floods and Landslides disaster in
(Depkes RI, 2008). Studi di Yogyakarta adolescents aged 15-18 in SMA Al-Hasan
(Perwitasari, 2010) menunjukkan bahwa dari Kemiri Sub district Panti of Jember
229 resep ditemukan 226 resep medication Regency) 8.
error, yaitu 99,12% merupakan kesalahan Kepmenkes, 2011. Pedoman Pengelolaan Obat
peresepan, 3,02% kesalahan farmasetik dan Dan Perbekalan Kesehatan Pada
3,66% merupakan kesalahan penyerahan, Penanggulangan Bencana. Keputusan
dimana sebagian besar kesalahan peresepan Menteri Kesehatan, Jakrta.
merupakan akibat dari resep yang tidak Lai Elizabeth, Le Trac, dan Annesha Lovett,
lengkap. 2013. Expanding the pharmacist’s role in
public health. Universal Journal of Public
KESIMPULAN Health, 1: 79–85.
Indikator yang tidak memenuhi standar Pincock, L., Montello MJ, Tarosky MJ, Pierce WF,
yaitu item per resep melebihi standar WHO, dan Edwards CW, 2011. Pharmacist
sediaan generik belum memenuhi standar readiness roles for emergency
Kemenkes RI, dan peresepan oralit dan zinc preparedness. Am J Health-Syst Pharm,
pada diare yang belum memenuhi standar baik 620–623.
WHO maupun Kemenkes RI. Indikator biaya Sakhare, V. dan Waghmare, S., 2016. Knowledge
obat per kunjungan resep sebesar Rp.9.394 And Attitude Regarding Disaster
digunakan dalam penetapan alokasi dana Preparedness Among The Health Care
pengadaan obat di Kota Kupang pada tahun Team Members In Selected Hospitals Of
2019 dan pada indikator dokumentasi kejadian Pune City. International Journal of Recent
medication error didapatkan belum adanya Scientific Research, 7: 11251–11257.
pendokumentasian tesebut pada puskesmas Undang-undang, 2007. Undang-Undang No 24
wilayah Kota Kupang. Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
Bencana. Jakarta.
UCAPAN TERIMA KASIH Yava A, Cicek, H, Tosun, N, Ozcan, C, Yildiz, D, dan
Ucapan terima kasih kepada Badan Dizer, B, 2013. Knowledge and Attitudes
Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber of Nurses about Pain Management in
Daya Manusia Kesehatan (BPPSDMK) Turkey. International Journal of Caring
Kementerian Kesehatan atas bantuan biaya Sciences, (6)3: 494-505:. Ariati, N., 2017.
yang telah diberikan untuk penelitian ini. Tata Kelola Obat di Era Sistem Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Integritas, 3:
DAFTAR PUSTAKA 231-243.
Ahayalimudin N, Ismail A, dan Saiboon IM, 2012. Balushi, K.A., Shibli, S.A., Zakwani, I.A., 2014.
Disaster management: a study on Drug Utilization Patterns in the
knowledge, attitude and practice of Emergency Department: A Retrospective
emergency nurse and community health Study. J Basic Clin Pharm, 5: 1–6.
nurse. BMC Public Health, 2(2):1: . CDC, 2003. Outbreak of Severe Acute Respiratory
BNPB, 2008. Peraturan Kepala Badan Nasional Syndrome-Worldwide 2003. MMWR , 52:
Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 226-228.
2008 Tentang Pedoman Penyusunan Depkes RI, 2008. Tanggung Jawab Apoteker
Rencana Penanggulangan Bencana. Terhadap Keselamatan Pasien (Patient
BNPB, Jakarta. Safety), Departemen Kesehatan RI,
Fakhrurrazi, Mulyadi, dan Nizam Ismail, 2015. Jakarta.
Pengetahuan dan Sikap Tenaga Destiani. P., Syahrul, N., Aminah, N., Eli, H., Ellin,
Kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah F., 2016. Pola Peresepan Rawat Jalan:
(RSUD) Pidie Jaya Terhadap Studi Observasional Menggunakan
Kesiapsiagaan dalam Menghadapi Resiko Kriteria Prescribing Indicator WHO di

324 MF Vol 17 No 3, 2021


Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Obat di Puskesmas Wilayah Kota Kupang

Salah Satu Fasilitas Kesehatan Bandung. Mutu Pelayanan Farmasi di Unit Rawat
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia, 5 : 225- Jalan Rumah Sakit X di Bogor. Social
231. Clinical Pharmacy Indonesia Journal, 1:
Enato, E.F.O. dan Ifeanyl, E.C., 2011. Evaluation 89-106.
of Drug Utilization Patterns and Patient Mekonnen, L.B., 2014. Assessment of Drug
Care Practices. West African J Pharm, 22: Prescription Practise Using WHO
36– 41. Prescribing Indicators in Felege Hiwot
Hadiningsih, H., 2015. Analisis Besaran Biaya Referral Hospital (FHRH) Outpatient
Obat Beberapa Penyakit Rawat Jalan dan Department, North Ethiopia. Int J Pharm,
Faktor- Faktor yang Mempengaruhi di 4: 9-94.
Rumah Sakit. Awal Bros Bekasi Tahun Munarsih, F.C., Okpri, M dan Fitri, R., 2017.
2014. Jurnal Administrasi Rumah Sakit, 2: Evaluasi Penggunaan Obat dengan
53-63. Indikator Prescibing pada Puskesmas
Kardela, W., Retnosari, A., dan Sudibyo, S., 2014. Wilayah Kota Administrasi Jakarta Barat
Perbandingan Penggunaan Obat Rasional Periode Tahun 2016. Social Clinic
Berdasarkan Indikator WHO di Pharmacy Indonesia Jurnal, 2: 17-22.
Puskesmas Kecamatan antara Kota Perwitasari, D.A., Jami’ul, A., dan Iis
Depok dan Jakarta Selatan. Jurnal Wahyuningsih, 2010. Medication Errors
Kefarmasian Indonesia, 4: 91-102. in Outpatients of a Government hospital
Kemenkes RI, 2010a. Materi Pelatihan In Yogyakarta Indonesia. International
Manajemen Kefarmasian di Instalasi Journal of Pharmaceutical Sciences Review
Farmasi Kabupaten/Kota. Kementerian and Research, 1: 8-10.
Kesehatan RI bekerja sama dengan Japan Satibi, S., Rokhman, M.R., Aditama, H., 2019.
International Cooperation Agency (JICA), Developing Consensus Indicators to
Jakarta. Assess Pharmacy Service Quality at
Kemenkes RI, 2010b. Peraturan Menteri Primary Health Centres in Yogyakarta,
Kesehatan RI Nomor HK.02.02/ Indonesia. The Malaysian Journal of
Menkes/068/I/2010 tentang Kewajiban Medical Sciences: MJMS, 26:110-121.
Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Trisnowati, K.E., Sylvi, I., dan Eko, S., 2017.
Pelayanan Kesehatan Pemerintah, Kajian Penggunaan Antibiotik pada
Kementerian Kesehatan RI, Jakarta. Pasien Diare Akut di Bangsal Rawat Inap
Kemenkes RI, 2011a. Lintas Diare: Lima Langkah Anak. Jurnal Manajemen dan Pelayanan
Tuntaskan Diare, Kementerian Kesehatan Farmasi, 7: 15-23.
RI, Jakarta. Ulfah , M., Yeni, R., dan Dessie W., 2012. Zink
Kemenkes RI, 2011b. Pedoman Umum Efektif Mengatasi Diare pada Balita.
Penggunaan Antibiotik. Kementerian Jurnal Keperawatan Indonesia, 15: 137-
Kesehatan RI, Jakarta 142.
Kemenkes RI, 2018. Inilah penggunaan Obat Waluyo, Y. W., Umi, A., dan Thinni, N.R., 2015.
Rasional yang Harus Dipahami Analisis Faktor yang Mempengaruhi
Masyarakat. URL: Pengelolaan Obat Publik di Instalasi
http:///www.sehatnegeriku.kemkes.go.i Farmasi Kabupaten: Studi di Papua
d. (Diakses tanggal 11/01/2020). Wilayah Selatan. Jurnal Ilmu Kefarmasian
Kemenkes RI, 2019. Laporan Kinerja Direktorat Indonesia, 13: 94-101.
Pelayanan Kefarmasian Tahun 2018, WHO, 1993. How to Investigate Drug Use in
Kementerian Kesehatan RI, Jakarta. Health Facilities: Selected Drug Use
Khairuirrijal, M.A.W. dan Norisca, A.P., 2017. Indicators). World Health Organization,
Medication Error pada Tahap Geneva.
Prescribing, Transcribing, Dispensing WHO, 2002. Promoting Rational Use of Medicine:
dan Administration. Majalah Core Component. WHO Policy Perspective
Farmasetika, 2 :8-13. on Medicine. World Health Organization,
Kurniasih, F.D,.Lia, A., Yusi A., 2016. Analisis Geneva.

MF Vol 17 No 3, 2021 325

Anda mungkin juga menyukai