2 : 105-112
ISSN-p : 1410-590x
ISSN-e : 2614-0063
ABSTRAK
Berangkat dari permasalahan belum optimalnya penerapan penggunaan obat secara rasional
pada pelayanan kesehatan di Indonesia maka telah dikembangkan indikator khusus yang menjadi
dasar penilaian kinerja pelayanan kefarmasian di puskesmas. Penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi penggunaan obat di puskesmas wilayah Kota Kupang berdasarkan indikator hasil
metode Delphi yang dikembangkan oleh Satibi dkk. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif
dengan pendekatan kuantitatif, menggunakan data retrospektif tahun 2018 dan melalui observasi
langsung. Pemilihan sampel puskesmas dilakukan dengan purposive sampling. Data hasil penelitian
berupa data kuantitatif, dianalisis secara deskriptif dan 6 indikator diantaranya dibandingkan
dengan standar Kemenkes RI dan WHO. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan obat
belum rasional sesuai standar WHO ataupun Kemenkes RI pada indikator item per resep,
penggunaan obat generik dan pemberian oralit dan zink sedangkan indikator antibiotik pada diare
non spesifik, antibiotik pada ISPA non pneumonia dan penggunaan injeksi pada myalgia telah
memenuhi standar yang ada. Indikator biaya obat per kunjungan resep sebesar Rp.9.394 ± Rp.1.341
digunakan sebagai parameter dalam penetapan alokasi dana pengadaan obat tahun berikutnya dan
indikator kejadian medication error tidak dapat dievaluasi karena tidak tersedianya dokumentasi
tersebut. Kesimpulan menunjukkan puskesmas wilayah Kota Kupang masih mengalami masalah
dalam jumlah item obat per resep, penggunaan obat generik, pemberian oralit dan zink dan
pendokumentasian kejadian medication error. Hal ini menunjukkan adanya kebutuhan untuk
meningkatkan pengetahuan tenaga kefarmasian yang dapat mendukung penggunaan obat rasional
di puskesmas.
Kata kunci: penggunaan obat rasional; Indikator; Puskesmas
ABSTRACT
Based on the issues of the deficient application of the rational use of drugs in health facilities
in Indonesia, specific indicators have been developed that are the basis for evaluating the
performance of pharmaceutical services in public health centers. This study aims to evaluate the
rationality of drug use in public health centers in Kupang City Kupang City based on eight indicators
of the modified Delphi method developed by Satibi et al. This study employs a descriptive method
with a quantitative approach retrospectively using 2018 data and direct observation. The selection
of samples of public health centers is done by purposive sampling. Data generated from this study
that is in the form of quantitative data is analyzed descriptively and seven out of the eight indicators
are compared with the standards of WHO and Indonesian Ministry of Health. The results showed that
the use of drugs was not rational according to WHO or the Indonesia Ministry of Health standards on
item per prescription indicators, use of generic drugs and administration of ORS and zinc while
indicators of antibiotics in non-specific diarrhea, antibiotics in non-pneumonia ARI and use of
injections in myalgia had fulfilled the standard. The drug cost per visit prescription is Rp 9.394 ±
Rp.1.341 is used as a parameter in determining the allocation of funds for the procuremenet of drugs
next year. The occurrences of medication errors cannot be evaluated because the unavailability of
such documentation. The conclusions indicate that public helath centers in Kupang City still have
problems in the number of drug items per prescription, the use of generic drugs, administration of
ORS and zinc and documentation of medication error events. This shows the need to increase the
knowledge of pharmaceutical personnel who can support the use of rational drugs in health centers.
Keywords: Drug Use Rationality; Indicators; Public Health Centers
pada diare non spesifik, pemberian oralit dan zinc pada diare 62,26% ± 6,35%, antibiotik pada
zinc pada diare, antibiotik pada ISPA non ISPA non pneumonia 9,70% ± 6,03% dan
pneumonia, penggunaan injeksi dan penggunaan injeksi sebesar 0%, serta tidak
dokumentasi kejadian medication error. Data adanya dokumentasi kejadian medication error
sekunder pada 4 indikator (item per resep, pada puskesmas wilayah Kota Kupang.
antibiotik pada ISPA non pneumonia, antibiotik
pada diare non spesifik dan penggunaan injeksi) Biaya Obat per Kunjungan Resep
diperoleh dari laporan POR puskesmas tahun Rata-rata biaya obat per kunjungan resep
2018, dengan pengambilan sampel 1 resep per di puskesmas wilayah Kota Kupang ditunjukkan
hari untuk setiap diagnosis terpilih sehingga pada tabel I didapatkan sebesar Rp. 9.394.
terkumpul 25 sampel per bulan dan dirata-rata Berdasarkan tabel II, biaya obat per kunjungan
untuk mendapatkan persentase akhir di setiap resep tertinggi berada di Puskesmas Oesapa
puskesmas. Data pemberian oralit dan zink pada (Rp. 12.018) dan terendah di Puskesmas
diare diperoleh dari observasi resep pasien Kupang Kota (Rp.7.997). Biaya obat per
pada bulan November-Desember 2018, dan kunjungan resep berkaitan dengan besaran
sampel indikator sediaan generik diambil 100 dana yang dibutuhkan dan yang tersedia untuk
sampel resep di masing-masing puskesmas setiap resep (Kemenkes RI, 2010 a). Dalam
dengan metode systematic random sampling di penetapan alokasi dana pengadaan obat,
bulan November 2019. Data hasil penelitian pemerintah daerah Kota Kupang telah
berupa data kuantitatif, dianalisis secara memasukkan parameter jumlah kunjungan
deskripif dan 6 indikator diantaranya resep dalam perencanaan kebutuhan obatnya
dibandingkan dengan standar WHO dan sehingga diharapkan ketersediaan dana
Kemenkes RI. pengadaan obat tahun berikutnya disesuaikan
dengan jumlah kunjungan resep di puskesmas
HASIL DAN PEMBAHASAN wilayah Kota Kupang. Penyediaan dana yang
Hasil penelitian pada tabel I memadai dari pemerintah sangat menentukan
menunjukkan indikator biaya obat per ketersediaan dan keterjangkauan obat oleh
kunjungan resep sebesar Rp. 9.394 ± Rp.1.341, masyarakat (Waluyo dkk, 2015) sehingga ikut
item per resep 2,46 ± 0,94, sediaan generik mempengaruhi kerasionalan penggunaan obat.
96,13% ± 2,35%, antibiotik pada diare non Ketersediaan anggaran obat bervariasi
spesifik 6,94 % ± 6,70%, pemberian oralit dan disesuaikan dengan jumlah kunjungan resep
Tabel II. Tingkat Penggunaan Obat per Indikator di Puskesmas Wilayah Kota Kupang
Antibio
Biaya obat Oralit Antibio tik Doku
tik pada Pengg
per Item Sediaan & zinc pada ISPA mentasi
Nama diare unaan
kunjungan per Generik untuk Non Kejadian
Puskesmas Non Injeksi
resep resep (%) diare pneumonia Medica
Spesifik (%)
(Rupiah) (%) (%) tion Error
(%)
Oesapa 12.018 2,96 98 7,29 61,06 13,46 0 Tidak ada
Kupang
7.997 2,52 96 13,93 60,71 4,02 0 Tidak ada
Kota
Penfui 9.327 2,89 99 0 76 16,31 0 Tidak ada
Alak 10.468 1,75 94 6,5 61,9 10,42 0 Tidak ada
Pasir
8.030 2,82 94 19,37 52,83 5,33 0 Tidak ada
Panjang
Sikumana 9.329 0,52 93 3,46 62,18 17,1 0 Tidak ada
Oebobo 9.445 2,54 99 0,18 61,16 0,25 0 Tidak ada
Oepoi 8.541 3,65 96 4,77 62,22 10,73 0 Tidak ada
Rata -Rata 9.394 2,46 96,13 6,94 62,26 9,70 0 Tidak ada
Sumber: data sekunder yang diolah
yang ada di masing-masing daerah. Indikator ini interaksi obat. Polifarmasi adalah pemberian
menjadi patokan bagi pemerintah di era BPJS obat untuk satu diagnosis lebih dari dua item
dalam memperkirakan kebutuhan obat yang obat (WHO, 1993). Hasil penelitian berdasarkan
harus disediakan pemerintah dan sebagai bahan tabel 1 didapatkan rata-rata jumlah item obat
evaluasi terkait dana yang dibutuhkan (Satibi per resep di puskesmas wilayah Kota Kupang
dkk, 2020). Banyak negara memiliki anggaran sebesar 2,46 menunjukkan tingkat pemakaian
terbatas sehingga berdampak pada terbatasnya obat tiap pasien telah sesuai standar Kemenkes
alokasi dana bagi sektor kesehatan termasuk RI (<2,6 item /resep), namun masih melebihi
pengadaan obat. Oleh karena itu penting dalam standar WHO (1,8 – 2,2 item/resep). Enam dari
memperhatikan efektivitas biaya obat melalui delapan puskesmas yang masih belum
penggunaan obat rasional agar memberi memenuhi standar yaitu Puskesmas Oesapa (2,
dampak terhadap efisiensi biaya kesehatan 96 item/resep), Puskesmas Kupang Kota (2, 52
(Ariati, 2015). item/resep), Puskesmas Penfui (2,89
Berdasarkan tabel I, dapat dilihat bahwa item/resep), Puskesmas Pasir panjang (2,82
banyaknya item obat per resep tidak diikuti item/resep), Puskesmas Oebobo (2,54
peningkatan biaya obat per kunjungan resep. item/resep) dan Puskesmas Oepoi (4,18 item
Hasil penelitian Hadiningsih (2015) di RS Awal obat/resep). Hasil yang didapat menunjukkan
Bros Bekasi menunjukkan biaya obat yang lebih bahwa kejadian polifarmasi masih terjadi dalam
tinggi pada pasien yang mendapatkan > 2 item peresepan obat, sehingga puskesmas di wilayah
obat dibanding dengan pasien yang Kota Kupang masih perlu mengevaluasi jumlah
mendapatkan ≤ 2 item obat. Hal ini bertolak item obat per resepnya. Semakin besar nilai
belakang dengan hasil yang didapat pada rata-rata jumlah item obat per resep, maka
penelitian ini yaitu biaya obat per kunjungan reaksi obat yang tidak diinginkan dari interaksi
resep tidak berbanding lurus dengan jumlah obat akan semakin meningkat (Destiani dkk,
item obat per lembar resep. 2016).
Puskesmas yang memiliki tingkat
Item Per Resep polifarmasi tertinggi adalah Puskesmas Oepoi
Terjadinya polifarmasi menunjukkan (4,18 item/resep) dan terendah adalah
tanda awal pengobatan yang tidak rasional Puskesmas Sikumana (0,52 item/resep).
karena terkait semakin banyaknya jumlah obat Polifarmasi dapat terjadi karena pola peresepan
yang diberikan kepada pasien dapat dokter ataupun karakteristik pasien. Tidak
meningkatkan resiko efek samping dan tersedianya alat untuk memastikan diagnosa di
pasien yang hanya diberikan terapi zink karena terjadi pemborosan biaya karena pemberian
pasien sudah memiliki persediaan oralit di obat yang sebenarnya tidak dibutuhkan untuk
rumahnya sebagai usaha penanganan pertama penyakit tersebut.
pada diare yang dialaminya (Putri, 2014).
Suplementasi zinc yang ditambahkan ke Pengunaan injeksi pada Myalgia
pengobatan standar diare dengan garam Berdasarkan hasil penelitian pada tabel I
rehidrasi oral terbukti efektif dalam mengatasi menunjukkan bahwa tidak ada peresepan
diare dengan cara mengurangi frekuensi sediaan injeksi di puskesmas wilayah kota
defekasi dan memperpendek durasi diare (Ulfah kupang dengan hasil persentase 0%, yang
dkk, 2012). Zink juga meningkatkan sistem berarti sudah sesuai dengan standar yang
kekebalan tubuh sehingga dapat mencegah ditargetkan oleh Kemenkes RI (≤ 1%) maupun
resiko terulangnya diare selama 2-3 bulan WHO (seminimal mungkin) Upaya pemerintah
setelah anak sembuh dari diare (WHO, 2006). dalam meningkatkan penggunaan obat rasional
Penelitian lain menemukan bahwa pemberian mempengaruhi penurunan tingkat peresepan
zink secara signifikan meningkatkan efisiensi injeksi di fasilitas kesehatan terutama
biaya dibanding penanganan pengobatan puskesmas. Pemerintah melakukan kebijakan
standar diare (Elni dan Wiyarni, 2010). melalui pedoman standar klinis dan regulasi
pengadaan obat sehingga ketersediaan obat
Antibiotik pada ISPA non-Pneumonia yang ada mempengaruhi peresepan
Persentase peresepan antibiotik pada pengobatan. Selain itu peningkatan
ISPA non pneumonia pada puskesmas wilayah pengetahuan dan pelatihan bagi tenaga medis
Kota Kupang didapatkan sebesar 9,70% dan kesehatan serta pemberdayaan tenaga
menunjukkan peresepan antibotika sudah kesehatan dan masyarakat (Kardela dkk, 2014)
memenuhi standar Kemenkes RI yaitu ≤ 20%. melalui sosialisasi gerakan masyarakat cerdas
Puskesmas dengan tingkat peresepan antibiotik menggunakan obat (gema cermat) ikut
pada kasus ISPA non pneumonia paling tinggi berperan dalam menekan tingginya tingkat
yaitu Puskesmas Penfui (16,31%) sedangkan peresepan injeksi. Pola pikir dan tingkat
tingkat terendah yaitu Puskesmas Oebobo pendidikan masyarakat saat ini sudah mulai
(0,25%). Tercapainya target persentase berpikir secara terbuka. Pengetahuan
peresepan antibiotik pada ISPA non pneumonia masyarakat tidak lagi terbatas bahwa hanya
di puskesmas wilayah Kota Kupang sediaan obat injeksi yang akan bekerja lebih
menunjukkan kerasionalan penggunaan cepat sehingga mempercepat kesembuhan
antibiotik pada ISPA non-Pneumonia. Fasilitas penyakit. Salah satu aspek rasionalitas dalam
kesehatan di Indonesia memiliki keterbatasan penggunaan obat adalah tepat cara penggunaan
sarana pemeriksaan kultur (Kemenkes RI, obat, yang memerlukan pertimbangan
2011a), sehingga umumnya peresepan pemilihan penggunaan yang nyaman, aman dan
antibiotika pada ISPA berdasarkan terapi efektif untuk pasien. Cara penggunaan obat
empiris. Antibiotika diberikan jika ditemukan melalui injeksi harus dibatasi karena resiko efek
sindrom klinis yang mengarah pada infeksi samping penggunaan obat injeksi lebih besar
bakteri untuk mengeradikasi pertumbuhan dibandingkan dengan penggunaan obat secara
bakteri sebelum diperoleh hasil pemeriksaaan oral, yaitu dapat menyebabkan iritasi lokal
mikrobiologi. Berdasarkan guideline Centers for ditempat penyuntikan (Destiani dkk, 2016).
Disease Control and Prevention, pemberian Selain itu menyebabkan meningkatnya biaya
antibiotik hanya perlu diberikan pada 20% pengobatan untuk penggunaan injeksi yang
kasus ISPA. Hal tersebut berdasarkan hasil seharusnya masih dapat menggunakan sediaan
penelitian yang menunjukkan bahwa hanya oral.
19,4% kasus ISPA yang disebabkan oleh bakteri
(CDC, 2003). ISPA non pneumonia rentan Dokumentasi Kejadian Medication Error
terhadap penggunaan obat yang tidak rasional Tabel II menunjukkan bahwa jumlah
yaitu pemberian antibiotik yang seharusnya dokumentasi kejadian medication error adalah
tidak diberikan karena penyebab penyakit ini 0, yang artinya puskesmas pada wilayah Kota
pada umumnya adalah virus. Hal ini akan Kupang tidak ada yang melakukan
memperburuk kondisi pasien dengan terjadinya pendokumentasian kejadian medication error.
resistensi terhdap suatu jenis antibiotik, selain Hal ini disebabkan karena tidak semua
puskesmas memiliki tenaga apoteker. Mayoritas Kementerian Kesehatan atas bantuan biaya
tenaga kefarmasian di puskesmas adlah tenaga yang telah diberikan untuk penelitian ini.
teknis kefarmasian yang tidak memilki
kompetensi dalam melakukan kegiatan DAFTAR PUSTAKA
tersebut. Tidak adanya dokumentasi kejadian Ariati, N., 2017. Tata Kelola Obat di Era Sistem
medication error di puskesmas berdampak pada Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
tidak terdapatnya bukti medication error Integritas, 3: 231-243.
sehingga tidak ada bahan pelaporan dan Balushi, K.A., Shibli, S.A., Zakwani, I.A., 2014.
evaluasi agar kejadian yang sama tidak terulang Drug Utilization Patterns in the
kembali di kemudian hari. Medication error Emergency Department: A Retrospective
dapat terjadi pada 4 fase yaitu kesalahan Study. J Basic Clin Pharm, 5: 1–6.
peresepan (prescribing error), kesalahan CDC, 2003. Outbreak of Severe Acute Respiratory
penerjemahan resep (transcibibng error), Syndrome-Worldwide 2003. MMWR, 52:
kesalahan menyiapkan dan meracik obat 226-228.
(dispensing error), dan kesalahan penyerahan Depkes RI, 2008. Tanggung Jawab Apoteker
obat kepada pasien (administration error) Terhadap Keselamatan Pasien (Patient
(Khairuirrijal dan Norisca, 2017). Apoteker Safety), Departemen Kesehatan RI,
berperan nyata dalam pencegahan tejadinya Jakarta.
medication error melalui kolaborasi dengan Destiani. P., Syahrul, N., Aminah, N., Eli, H., Ellin,
dokter, pasien serta tenaga kesehatan lainnya F., 2016. Pola Peresepan Rawat Jalan:
(Depkes RI, 2008). Studi di Yogyakarta Studi Observasional Menggunakan
(Perwitasari, 2010) menunjukkan bahwa dari Kriteria Prescribing Indicator WHO di
229 resep ditemukan 226 resep medication Salah Satu Fasilitas Kesehatan Bandung.
error, yaitu 99,12% merupakan kesalahan Jurnal Farmasi Klinik Indonesia, 5: 225-
peresepan, 3,02% kesalahan farmasetik dan 231.
3,66% merupakan kesalahan penyerahan, Enato, E.F.O. dan Ifeanyl, E.C., 2011. Evaluation
dimana sebagian besar kesalahan peresepan of Drug Utilization Patterns and Patient
merupakan akibat dari resep yang tidak Care Practices. West African J Pharm, 22:
lengkap. 36– 41.
Hadiningsih, H., 2015. Analisis Besaran Biaya
KESIMPULAN Obat Beberapa Penyakit Rawat Jalan dan
Indikator pada evaluasi rasionalitas Faktor- Faktor yang Mempengaruhi di
penggunaan obat yang tidak memenuhi standar Rumah Sakit. Awal Bros Bekasi Tahun
yaitu item per resep melebihi standar WHO, 2014. Jurnal Administrasi Rumah Sakit, 2:
sediaan generik belum memenuhi standar 53-63.
Kemenkes RI, dan peresepan oralit dan zink Kardela, W., Retnosari, A., dan Sudibyo, S., 2014.
pada diare yang belum memenuhi standar baik Perbandingan Penggunaan Obat Rasional
WHO maupun Kemenkes RI sedangkan Berdasarkan Indikator WHO di
indikator antibiotik pada diare non spesifik, Puskesmas Kecamatan antara Kota
antibiotik pada ISPA non pneumonia dan Depok dan Jakarta Selatan. Jurnal
penggunaan injeksi pada myalgia telah Kefarmasian Indonesia, 4: 91-102.
memenuhi standar yang ada. Pada indikator Kemenkes RI, 2010a. Materi Pelatihan
biaya obat per kunjungan resep sebesar Manajemen Kefarmasian di Instalasi
Rp.9.394 digunakan dalam penetapan alokasi Farmasi Kabupaten/Kota. Kementerian
dana pengadaan obat di Kota Kupang pada Kesehatan RI bekerja sama dengan Japan
tahun 2019 dan pada indikator dokumentasi International Cooperation Agency (JICA),
kejadian medication error didapatkan belum Jakarta.
adanya pendokumentasian tesebut pada Kemenkes RI, 2010b. Peraturan Menteri
puskesmas wilayah Kota Kupang. Kesehatan RI Nomor
HK.02.02/Menkes/068/I/2010 tentang
UCAPAN TERIMA KASIH Kewajiban Menggunakan Obat Generik di
Ucapan terima kasih kepada Badan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Pemerintah, Kementerian Kesehatan RI,
Daya Manusia Kesehatan (BPPSDMK) Jakarta.
Kemenkes RI, 2011a. Lintas Diare: Lima Langkah Journal of Pharmaceutical Sciences Review
Tuntaskan Diare, Kementerian Kesehatan and Research, 1: 8-10.
RI, Jakarta. Satibi, S., Rifqi M.R., dan Hardika A., 2019.
Kemenkes RI, 2011b. Pedoman Umum Developing Consensus Indicators to
Penggunaan Antibiotik. Kementerian Assess Pharmacy Service Quality at
Kesehatan RI, Jakarta Primary Health Centres in Yogyakarta,
Kemenkes RI, 2018. Inilah penggunaan Obat Indonesia. The Malaysian Journal of
Rasional yang Harus Dipahami Medical Sciences : MJMS, 26:110-121.
Masyarakat. URL: http:/// Satibi, Septimawanto, D.P., Rifqi, M.R dan
www.sehatnegeriku.kemkes.go.id. Hardika A., 2020. Penilaian Mutu
(Diakses tanggal 11/01/2020). Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.
Kemenkes RI, 2019. Laporan Kinerja Direktorat Gadjah Mada University Press,
Pelayanan Kefarmasian Tahun 2018, Yogyakarta.
Kementerian Kesehatan RI, Jakarta. Trisnowati, K.E., Sylvi, I., dan Eko, S., 2017.
Khairuirrijal, M.A.W. dan Norisca, A.P., 2017. Kajian Penggunaan Antibiotik pada
Medication Error pada Tahap Pasien Diare Akut di Bangsal Rawat Inap
Prescribing, Transcribing, Dispensing Anak. Jurnal Manajemen dan Pelayanan
dan Administration. Majalah Farmasi, 7: 15-23.
Farmasetika, 2 :8-13. Ulfah, M., Yeni, R., dan Dessie W., 2012. Zink
Mekonnen, L.B., 2014. Assessment of Drug Efektif Mengatasi Diare pada Balita.
Prescription Practise Using WHO Jurnal Keperawatan Indonesia, 15: 137-
Prescribing Indicators in Felege Hiwot 142.
Referral Hospital (FHRH) Outpatient Waluyo, Y. W., Umi, A., dan Thinni, N.R., 2015.
Department, North Ethiopia. Int J Pharm, Analisis Faktor yang Mempengaruhi
4: 9-94. Pengelolaan Obat Publik di Instalasi
Munarsih, F.C., Okpri, M dan Fitri, R., 2017. Farmasi Kabupaten: Studi di Papua
Evaluasi Penggunaan Obat dengan Wilayah Selatan. Jurnal Ilmu Kefarmasian
Indikator Prescibing pada Puskesmas Indonesia, 13: 94-101.
Wilayah Kota Administrasi Jakarta Barat WHO, 1993. How to Investigate Drug Use in
Periode Tahun 2016. Social Clinic Health Facilities: Selected Drug Use
Pharmacy Indonesia Jurnal, 2: 17-22. Indicators). World Health Organization,
Perwitasari, D.A., Jami’ul, A., dan Iis Geneva.
Wahyuningsih, 2010. Medication Errors WHO, 2002. Promoting Rational Use of Medicine:
in Outpatients of a Government hospital Core Component. WHO Policy Perspective
In Yogyakarta Indonesia. International on Medicine. World Health Organization,
Geneva.