Anda di halaman 1dari 60

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Salah satu faktor penting dalam pelayanan kesehatan adalah obat. Tetapi

diperkirakan oleh WHO bahwa lebih dari separuh dari seluruh obat di dunia

diresepkan, diberikan dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan separuh dari

pasien menggunakan obat secara tidak tepat. Penggunaan suatu obat dikatakan

tidak rasional apabila kemungkinan dampak negatif yang diterima oleh pasien

lebih besar dibanding manfaatnya. Dampak negatif penggunaan obat yang tidak

rasional sangat beragam dan bervariasi tergantung dari jenis ketidakrasionalan

penggunaannya. Dampak negatif ini dapat dialami oleh pasien yaitu berupa efek

samping dan biaya yang mahal, dan dapat dialami pula oleh populasi yang lebih

luas berupa resistensi kuman terhadap antibiotik tertentu dan mutu pelayanan

pengobatan secara umum (Kemenkes RI, 2011).

Penggunaan obat dikatakan rasional apabila pasien menerima pengobatan

sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai, dalam periode waktu

yang adequate dan dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat. Alasan

penggunaan obat rasional adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi

belanja obat yang merupakan salah satu upaya cost effective medical

interventions. Selain itu untuk mempermudah akses masyarakat memperoleh obat

dengan harga terjangkau, mencegah dampak penggunaan obat yang tidak tepat
yang dapat membahayakan pasien dan meningkatkan kepercayaan pasien terhadap

mutu pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2010).

Identifikasi masalah monitoring dan evaluasi penggunaan obat rasional,

dilakukan oleh WHO dengan menyusun indikator utama, yang terdiri dari

indikator peresepan, indikator pelayanan dan indikator fasilitas (Kemenkes RI,

2011). Parameter indikator peresepan menurut WHO antara lain rata – rata jumlah

obat tiap pasien 2,6, persentase obat yang diresepkan menggunakan nama generik

100%, persentase peresepan antibiotik pada ISPA non pneumonia 20%, persentase

peresepan antibiotik pada diare non spesifik 8%, persentase injeksi pada myalgia

1%, persentase obat yang diresepkan dari DOEN 100%. Nilai-nilai tersebut tidak

ditetapkan sebagai standar penggunaan obat rasional dikarenakan Kemenkes

menyadari bahwa tidak seluruh Puskesmas memiliki kondisi pelayanan kesehatan

yang memadai (Mutiarani, 2011).

Sasaran kinerja kegiatan pada Direktorat Pelayanan Kefarmasian adalah

meningkatnya pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional di fasilitas

kesehatan (Kepmenkes RI, 2015). Salah satu kinerja dari Direktorat Pelayanan

Kefarmasian adalah indikator POR (Penggunaan Obat Rasional) nasional di

Puskesmas dengan menggunakan indikator peresepan yang terdiri dari

penggunaan antibiotik pada ISPA non pneumonia maksimal 20%, penggunaan

antibiotik pada diare non spesifik maksimal 8%, penggunaan injeksi pada myalgia

maksimal 1% dan rerata item obat yang diresepkan untuk 3 penyakit tersebut

diatas adalah maksimal 2,6 (Kemenkes RI, 2017).


Puskesmas adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten /

Kota yang bertanggung jawab menyelenggarkan pembangunan kesehatan di suatu

wilayah kerja. Salah satu tujuan Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di

Puskesmas yaitu untuk melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat

yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (Permenkes RI, 2016).

Hasil penelitian di seluruh puskesmas kecamatan Kota Depok pada tahun

2010 menunjukkan rata-rata jumlah obat tiap pasien 3,8, persentase peresepan

obat generik 98,13%, persentase peresepan antibiotik 46,22%, persentase

peresepan injeksi 0,09% dan persentase peresepan obat DOEN 91,61%.

Berdasarkan target Kemenkes RI dan saran dari WHO, penggunaan obat di

seluruh puskesmas kecamatan Kota Depok pada tahun 2010 belum rasional

kecuali pada parameter persentase peresepan injeksi (Permatasari, 2011).

Penggunaan obat yang tidak rasional memiliki dampak negatif berupa

efek samping, biaya mahal dan resistensi kuman terhadap antibiotik tertentu.

Indikator POR (Penggunaan Obat Rasional) nasional di Puskesmas yang mengacu

pada indikator peresepan merupakan salah satu kinerja Direktorat Pelayanan

Kefarmasian sehingga diperlukan perhatian khusus, hal inilah yang mendorong

peneliti untuk melakukan penelitian tentang rasionalitas penggunaan obat

berdasarkan indikator peresepan. Puskesmas Klareyan dipilih sebagai tempat

penelitian dikarenakan Puskesmas Klareyan berdasarkan observasi merupakan

salah satu Puskesmas kawasan pedesaan dengan jumlah pasien yang banyak.

Berdasarkan latar belakang dan alasan peneliti di atas maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai “ Rasionalitas Penggunaan Obat Berdasarkan

Indikator Peresepan di Puskesmas Klareyan Kabupaten Pemalang “

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan

penelitian adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah karakteristik penggunaan obat berdasarkan indikator

peresepan POR nasional di Puskesmas Klareyan Kabupaten Pemalang?

2. Bagaimanakah rasionalitas penggunaan obat berdasarkan indikator

peresepan POR nasional di Puskesmas Klareyan Kabupaten Pemalang ?

3. Bagaimanakah rasionalitas penggunaan obat berdasarkan persentase

penggunaan antibiotik pada ISPA non pneumonia di Puskesmas Klareyan

Kabupaten Pemalang?

4. Bagaimanakah rasionalitas penggunaan obat berdasarkan persentase

penggunaan antibiotik pada diare non spesifik di Puskesmas Klareyan

Kabupaten Pemalang?

5. Bagaimanakah rasionalitas penggunaan obat berdasarkan persentase

penggunaan injeksi pada myalgia di Puskesmas Klareyan Kabupaten

Pemalang?

6. Bagaimanakah rasionalitas penggunaan obat berdasarkan rerata item obat

yang diresepkan untuk 3 penyakit yaitu ISPA non pneumonia, diare non
spesifik dan injeksi pada myalgia di Puskesmas Klareyan Kabupaten

Pemalang?

1.3 Batasan Masalah

Penelitian ini memiliki batasan masalah sebagai berikut :

1. Rasionalitas penggunaan obat hanya menggunakan indikator peresepan

sesuai indikator kinerja POR (Penggunaan Obat Rasional) nasional

meliputi penggunaan antibiotik pada ISPA non pneumonia, penggunaan

antibiotik pada diare non spesifik, penggunaan injeksi pada myalgia dan

rerata item obat yang diresepkan ( untuk 3 penyakit tersebut diatas ).

2. Resep yang diambil berasal dari ruang farmasi Puskesmas Klareyan dan

tidak termasuk sub unit Puskesmas seperti Pos Kesehatan Desa,

Puskesmas Keliling, Puskesmas Pembantu dan lain – lain.

3. Resep yang diambil hanya mengandung satu diagnosa penyakit tanpa

penyakit penyerta pada masing – masing parameter indikator peresepan.

4. Resep yang digunakan pada periode Juli – September 2017.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut :

1. Mengetahui karakteristik penggunaan obat berdasarkan indikator

peresepan POR nasional di Puskesmas Klareyan Kabupaten Pemalang.


2. Mengetahui rasionalitas penggunaan obat berdasarkan indikator peresepan

POR nasional di Puskesmas Klareyan Kabupaten Pemalang

3. Mengetahui rasionalitas penggunaan obat berdasarkan persentase

penggunaan antibiotik pada ISPA non pneumonia di Puskesmas Klareyan

Kabupaten Pemalang.

4. Mengetahui rasionalitas penggunaan obat berdasarkan persentase

penggunaan antibiotik pada diare non spesifik di Puskesmas Klareyan

Kabupaten Pemalang.

5. Mengetahui rasionalitas penggunaan obat berdasarkan persentase

penggunaan injeksi pada myalgia di Puskesmas Klareyan Kabupaten

Pemalang.

6. Mengetahui rasionalitas penggunaan obat berdasarkan rerata item obat

yang diresepkan untuk 3 penyakit yaitu ISPA non pneumonia, diare non

spesifik dan injeksi pada myalgia di Puskesmas Klareyan Kabupaten

Pemalang.

1.5. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis

Bagi peneliti sebagai bentuk implementasi dari teori - teori yang diperoleh

selama pembelajaran di Akademi Farmasi serta sebagai bentuk kepedulian

terhadap permasalahan dalam pelayanan kesehatan yang terjadi khususnya


mengenai rasionalitas penggunaan obat berdasarkan indikator peresepan di

Puskesmas Klareyan Kabupaten Pemalang

b. Manfaat praktis

Bagi Puskesmas Klareyan sebagai bahan pertimbangan dan pandangan

serta upaya – upaya perbaikan agar tercapai rasionalitas penggunaan obat

berdasarkan indikator peresepan.


1.6. Keaslian Penelitian

Tabel 1. Keaslian Penelitian

Permatasari Wijayanti dkk Peneliti (2017)


Pembeda
(2011) (2016)
Evaluasi Evaluasi Rasionalitas
Rasionalitas Penggunaan Obat Penggunaan Obat
Penggunaan Obat Dengan Indikator Berdasarkan
Ditinjau Dari Prescribing Pada Indikator
Indikator Puskesmas Jakarta Peresepan Di
Peresepan Utara Periode Puskesmas
Menurut World Tahun 2016 Klareyan
Judul penelitian
Health Kabupaten
Organization Pemalang
(WHO) di seluruh
Puskesmas
Kecamatan Kota
Depok pada tahun
2010
Resep yang
Resep poli umum sesuai dengan
Resep rawat jalan
di seluruh parameter
Sampel di seluruh
Puskesmas indikator
Penelitian Puskesmas Jakarta
Kecamatan Kota peresepan di
Utara
Depok Puskesmas
Klareyan
Metode Analisis Deskriptif Deskriptif Deskriptif
Puskesmas
Seluruh
Tempat Seluruh Klareyan
Puskesmas Jakarta
penelitian Puskesmas Depok Kabupaten
Utara
Pemalang
Metode
Purposive
Pengambilan Random Sampling Random Sampling
Sampling
Data

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

2.1.Tinjauan Pustaka

2.1.1 Rasionalitas Penggunaan Obat

Rasional adalah menurut pikiran dan pertimbangan logis; menurut pikiran

yang sehat; cocok dengan akal. Rasionalitas adalah pendapat yang berdasarkan

pemikiran yang bersistem dan logis; hal dan keadaan rasional (KBBI, 2016). Obat

adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk

mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam

rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan

kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia (Permenkes, 2016).

Penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien menerima obat yang sesuai

dengan kebutuhannya untuk periode waktu yang adekuat dan dengan harga yang

paling murah untuk masyarakat. Secara praktis, penggunaan obat dikatakan

rasional jika memenuhi kriteria (Kemenkes RI, 2011) :

1. Tepat diagnosis

Penggunaan obat disebut rasional apabila diberikan untuk diagnosis yang

tepat. Apabila diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, pemilihan obat akan

mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang diberikan juga

tidak sesuai dengan indikasi yang sebenarnya.

2. Terapi indikasi penyakit


Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Sebagai contoh

antibiotik yang diindikasikan untuk infeksi bakteri. Pemberian obat ini hanya

dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri.

3. Tepat pemilihan obat

Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis

ditegakkan dengan benar sehingga obat yang dipilih harus yang memiliki efek

terapi yang sesuai dengan spektrum penyakit.

4. Tepat dosis

Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek

terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat dengan

rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping.

Sebaliknya, dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi

yang diharapkan.

5. Tepat cara pemberian

Pemilihan yang tepat pemberian obat sesuai dengan kondisi pasien.

Sebagai contoh: obat antasida yang dikunyah terlebih dahulu kemudian ditelan.

Contoh lainnya antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan

membentuk ikatan, sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan

efektivitasnya.

6. Tepat interval waktu pemberian


Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis,

agar mudah ditaati oleh pasien. Semakin sering frekuensi pemberian obat per hari

(misalnya empat kali sehari) semakin rendah pula tingkat ketaatan menggunakan

obat. Contoh: obat yang harus diminum tiga kali sehari harus diartikan bahwa

obat tersebut harus diminum dengan interval setiap delapan jam.

7. Tepat lama pemberian

Lama pemberian obat harus disesuaikan dengan penyakitnya masing -

masing. Contoh: penyakit tuberkulosis dan kusta, lama pemberian paling singkat

adalah enam bulan. Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah

sepuluh sampai empat belas hari. Pemberian obat yang terlalu singkat atau terlalu

lama dari yang seharusnya akan berpengaruh terhadap hasil pengobatan.

8. Waspada terhadap efek samping

Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak

diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, contoh: muka

merah setelah pemberian atropin bukan dikarenakan alergi, tetapi efek samping

sehubungan dengan vasodilatasi pembuluh darah di wajah. Pemberian tetrasiklin

tidak boleh untuk anak kurang dari dua belas tahun, karena menimbulkan kelainan

pada gigi dan tulang yang sedang tumbuh.

9. Tepat penilaian kondisi pasien


Respon individu terhadap efek obat sangan beragam, hal ini lebih jelas

terlihat pada beberapa jenis obat contoh: teofilin dan aminoglikosida. Pada

penderita dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya

dihindarkan, karena resiko terjadinya nefrotoksisitas pada kelompok ini

meningkat secara bermakna.

10. Obat yang diberikan harus efektif, aman, mutu terjamin, tersedia setiap

saat dan harga yang terjangkau.

Obat – obat dalam daftar obat esensial digunakan untuk keefektifan,

keamanan dan keterjangkauan bagi pasien. Pemilihan obat dalam daftar obat

esensial didahulukan dengan pertimbangan efektivitas, keamanan dan harganya

oleh para pakar di bidang pengobatan dan klinis.

11. Tepat informasi

Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting

dalam menunjang keberhasilan terapi. Contoh: peresepan rifampisin akan

mengakibatkan urine penderita berwarna merah. Apabila hal ini tidak

diinformasikan, penderita kemungkinan besar akan menghentikan penggunaan

obat dikarenakan diduga obat tersebut menyebabkan kencing disertai darah.

Padahal untuk penderita tuberkulosis, terapi dengan rifampisin harus diberikan

dalam jangka panjang.

12. Tepat tindak lanjut


Ketika memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan upaya

tindak lanjut yang diperlukan, misalnya apabila pasien tidak sembuh atau

mengalami efek samping. Contoh: terapi dengan teofilin sering memberikan

gejala takikardi. Jika hal ini terjadi, maka dosis obat perlu ditinjau ulang atau bisa

saja obatnya diganti.

13. Tepat penyerahan obat

Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat

dan pasien sebagai konsumen. Proses penyiapan obat dan penyerahan obat harus

dilakukan secara tepat, agar pasien mendapatkan obat sebagaimana harusnya.

14. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan

Ketidaktaatan minum obat umumnya terjadi pada keadaan sebagai berikut:

a. Jenis dan atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak

b. Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering

c. Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi

d. Pasien tidak mendapatkan informasi atau penjelasan yang cukup

mengenai cara minum dan menggunakan obat

e. Timbulnya efek samping atau efek ikutan tanpa diberikan penjelasan

terlebih dahulu.
Dampak negatif penggunaan obat yang tidak rasional sangat beragam dan

bervariasi tergantung dari jenis ketidakrasionalan penggunaannya. Dampak

negatif ini dapat meliputi (Kemenkes RI, 2011) :

1. Dampak pada mutu pengobatan dan pelayanan

Salah satu dampak penggunaan obat yang tidak rasional adalah

peningkatan angka morbiditas dan mortalitas penyakit. Contoh: penderita diare

akut non spesifik pada umumnya mendapatkan antibiotik dan injeksi, sementara

pemberian oralit (yang lebih dianjurkan) umumnya kurang banyak dilakukan.

Padahal diketahui bahwa resiko terjadinya dehidrasi pada anak yang diare dapat

membahayakan keselamatan jiwa anak tersebut.

2. Dampak terhadap biaya pengobatan

Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas merupakan pemborosan dan

sangat membebani pasien. Dalam hal ini termasuk pula peresepan obat yang

mahal, padahal alternatif obat yang lain dengan manfaat dan keamanan sama

dengan harga lebih terjangkau telah tersedia.

3. Dampak terhadap kemungkinan efek samping dan efek lain yang tidak

diharapkan

Beberapa data berikut mewakili dampak negatif yang terjadi akibat

penggunaan obat yang tidak rasional :


a. Resiko terjadinya penularan penyakit (misalnya hepatitis dan HIV)

meningkat pada penggunaan injeksi yang tidak lege artis (misalnya

satu jarum suntik digunakan untuk lebih dari satu pasien).

b. Kebiasaan memberikan obat dalam bentuk injeksi akan meningkatkan

resiko terjadinya syok anafilaksis.

c. Resiko terjadinya efek samping obat meningkat secara konsisten

dengan makin banyaknya jenis obat yang diberikan kepada pasien.

d. Terjadinya resistensi kuman terhadap antibiotik merupakan salah satu

akibat dari pemakaian antibiotik yang berlebih, kurang maupun

pemberian pada kondisi yang bukan merupakan indikasi (misalnya

infeksi yang disebabkan oleh virus)

4. Dampak terhadap mutu ketersediaan obat

Sebagian dokter masih cenderung meresepkan antibiotika untuk keluhan

batuk pilek sehingga kebutuhan antibiotika menjadi sangat tinggi. Sudah diketahui

bahwa sebagian besar batuk dan pilek disebabkan virus sehingga antibiotika tidak

diperlukan. Hal ini mengakibatkan tidak cukupnya ketersediaan antibiotika.

Akibatnya apabila suatu saat ditemukan pasien yang benar- benar menderita

infeksi bakteri, antibiotika yang dibutuhkan sudah tidak tersedia lagi. Yang terjadi

selanjutnya adalah pasien terpaksa diberikan antibiotik lain yang bukan pilihan

utama obat pilihan (drug of choice) dari infeksi tersebut.


5. Dampak injeksi

a. Pemberian substitusi terapi pada diare dengan memasyarakatkan

penanganan diare di rumah tangga mengakibatkan petugas kesehatan

enggan untuk tetap memberikan oralit tanpa disertai obat lain pada

pasien diare akut non spesifik. Oleh sebab itu sebagian besar penderita

diare akut non spesifik masih mendapat injeksi maupun antibiotik

yang sebenarnya tidak diperlukan, sedangkan oralit yang menjadi

terapi utama justru sering tidak diberikan.

b. Memberikan multivitamin pada anak dengan dalih untuk merangsang

nafsu makan sangatlah keliru apabila tidak disertai upaya untuk

memotivasi orang tua agar memberikan makanan yang bergizi, apalagi

pada saat anak sakit.

WHO menyusun indikator utama untuk melakukan identifikasi masalah,

monitoring dan evaluasi Penggunaan Obat Rasional yang terdiri dari indikator

peresepan, indikator pelayanan dan indikator fasilitas (Kemenkes RI, 2011).

1. Indikator peresepan

a. Rerata jumlah item dalam tiap resep.

b. Persentase peresepan dengan nama generik.

c. Persentase peresepan dengan antibiotik.

d. Persentase peresepan dengan suntikan.

e. Persentase peresepan yang sesuai dengan Daftar Obat Esensial.


2. Indikator pelayanan

a. Rerata waktu konsultasi.

b. Rerata waktu penyerahan obat.

c. Persentase obat yang sesungguhnya diserahkan.

d. Persentase obat yang dilabel secara adekuat.

3. Indikator fasilitas

a. Pengetahuan pasien mengenai dosis yang benar.

b. Ketersediaan Daftar Obat Esensial

c. Ketersediaan key drugs

2.1.2. Obat

Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang

digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan

patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,

pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia (Permenkes

RI, 2016).

Obat jadi adalah obat yang sudah dalam bentuk siap pakai. Obat jadi

dibedakan menjadi (Permenkes RI, 2010) :

1. Obat paten

Obat paten adalah obat yang masih memiliki hak paten.


2. Obat generik

Obat generik adalah obat dengan nama resmi International Non

Propietary Names (INN) yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku

standar lainnya untuk zat berkhasiat yang dikandungnya.

3. Obat generik bermerk / bernama dagang

Obat generik bermerk / bernama dagang adalah obat generik dengan nama

dagang yang menggunakan nama pemilik produsen obat yang bersangkutan .

4. Obat esensial

Obat esensial adalah obat terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan

kesehatan bagi masyarakat mencakup upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan

tercantum dalam Daftar Obat Esensial yang ditetapkan oleh Menteri.

Penggolongan obat dimaksudkan untuk meningkatkan keamanan dan

ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusinya. Penggolongan obat

dibedakan menjadi (Kemenkes RI,2016) :

1. Obat Bebas

Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa

resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran

hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh : Parasetamol.


2. Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras

tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan

tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas

adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh : CTM.

3. Obat Keras

Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep

dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran

merah dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh : Asam mefenamat

4. Obat Psikotropika

Psikotropika adalah obat keras baik alamiah maupun sintetis bukan

narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan

syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan

perilaku. Contoh : Diazepam

5. Obat Narkotika

Obat narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman

baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau

perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa

nyeri dan menimbulkan ketergantungan. Contoh : Morfin


2.1.3 Indikator Peresepan

Indikator adalah sesuatu yang dapat memberikan (menjadi) petunjuk atau

keterangan. Peresepan adalah proses, cara, perbuatan meresepkan (KBBI, 2016).

Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, kepada apoteker, baik

dalam bentuk paper maupun electronik untuk menyediakan dan menyerahkan

obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku (Permenkes RI,2016).

Identifikasi masalah monitoring dan evaluasi penggunaan obat rasional,

dilakukan oleh WHO dengan menyusun indikator utama, yang terdiri dari

indikator peresepan, indikator pelayanan dan indikator fasilitas. Parameter

indikator peresepan menurut WHO antara lain (Kemenkes RI, 2011) :

1. Rata – rata jumlah obat tiap pasien : 2,6

2. Persentase obat yang diresepkan menggunakan nama generik : 100%.

3. Persentase peresepan antibiotik pada ISPA non pneumonia : 20%.

4. Persentase peresepan antibiotik pada diare non spesifik : 8%

5. Persentase injeksi pada myalgia : 1%.

6. Persentase obat yang diresepkan dari DOEN : 100%.

Nilai-nilai tersebut tidak ditetapkan sebagai standar penggunaan obat

rasional dikarenakan Kemenkes menyadari bahwa tidak seluruh Puskesmas

memiliki kondisi pelayanan kesehatan yang memadai (Mutiarani, 2011).


Sasaran kinerja kegiatan pada Direktorat Pelayanan Kefarmasian adalah

meningkatnya pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional di fasilitas

kesehatan (Kepmenkes RI, 2015). Salah satu kinerja dari Direktorat Pelayanan

Kefarmasian adalah indikator POR (Penggunaan Obat Rasional) nasional di

Puskesmas dengan menggunakan indikator peresepan yang terdiri dari (Kemenkes

RI, 2017) :

1. Penggunaan antibiotik pada ISPA non pneumonia maksimal 20%

Persentase penggunaan antibiotik pada ISPA non pneumonia

Jika a ≤ 20%, maka persentase capaian indikator kinerja POR adalah 100%

2. Penggunaan antibiotik pada diare non spesifik maksimal 8%

Persentase penggunaan antibiotik pada diare non spesifik

Jika b ≤ 8%, maka persentase capaian indikator kinerja POR adalah 100%

3. Penggunaan injeksi pada myalgia maksimal 1%

Persentase penggunaan injeksi pada myalgia

Jika c ≤ 1%, maka persentase capaian indikator kinerja POR adalah 100%
4. Rerata item obat yang diresepkan (untuk tiga penyakit tersebut di atas)

adalah maksimal 2,6

Jika d ≤ 2,6 item, maka persentase capaian indikator POR adalah 100%

Dasar pemilihan ketiga diagnosis yaitu diagnosis ISPA non pneumonia,

diare non spesifik dan penyakit myalgia adalah (Kemenkes RI, 2011) :

1. Termasuk 10 penyakit terbanyak

2. Diagnosis dapat ditegakkan oleh petugas tanpa memerlukan pemeriksaan

penunjang

3. Pedoman terapi untuk ketiga diagnosis jelas

4. Tidak memerlukan antibiotik / injeksi

5. Selama ini ketiganya dianggap potensial untuk diterapi secara tidak

rasional

2.1.4. Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)

Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah

unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota yang bertanggung

jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.

Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai

tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka mendukung

terwujudnya kecamatan sehat (Permenkes RI, 2014).


2.1.4.1.Kategori Puskesmas

Dalam rangka pemenuhan pelayanan kesehatan yang didasarkan pada

kebutuhan dan kondisi masyarakat, Puskesmas dapat dikategorikan berdasarkan

karakteristik wilayah kerja dan kemampuan penyelenggaraan (Permenkes RI,

2014).

Berdasarkan karakteristik wilayah kerjanya, Puskesmas dikategorikan

menjadi (Permenkes RI, 2014) :

1. Puskesmas kawasan perkotaan

Puskesmas kawasan perkotaan merupakan Puskesmas yang wilayah

kerjanya meliputi kawasan yang memenuhi paling sedikit tiga dari empat kriteria

kawasan perkotaan sebagai berikut :

a. Aktivitas lebih dari 50% (lima puluh persen) penduduknya pada sektor non

agraris, terutama industri, perdagangan dan jasa.

b. Memiliki fasilitas perkotaan antara lain sekolah radius 2,5 km, pasar radius

2 km, memiliki sumah sakit radius kurang dari 5 km, bioskop, atau hotel.

c. Lebih dari 90% (sembilan puluh persen rumah tangga memiliki listrik.

d. Terdapat akses jalan raya dan transportasi menuju fasilitas perkotaan

antara lain sekolah, rumah sakit, bioskop dan hotel.


2. Puskesmas kawasan pedesaan

Puskesmas kawasan pedesaan merupakan Puskesmas yang wilayah

kerjanya meliputi kawasan yang memenuhi paling sedikit tiga dari empat kriteria

kawasan pedesaan sebagai berikut:

a. Aktivitas lebih dari 50% (lima puluh persen penduduk pada sektor

agraris.

b. Memiliki fasilitas antara lain sekolah radius lebih dari 2,5 km, pasar

dan perkotaan radius lebih dari 2 km, rumah sakit radius lebih dari 5

km, tidak memiliki fasilitas berupa bioskop atau hotel.

c. Rumah tangga dengan listrik kurang dari 90% (sembilan puluh

persen).

d. Terdapat akses jalan raya dan transportasi menuju fasilitas antara lain

sekolah, pasar, perkotaan dan Rumah Sakit.

3. Puskesmas kawasan terpencil dan sangat terpencil

Puskesmas kawasan terpencil dan sangat terpencil merupakan Puskesmas

uang wilayah kerjanya meliputi kawasan dengan karakteristik sebagai berikut :

a. Berada di wilayah yang sulit dijangkau atau rawan bencana, pulau

kecil, gugus pulau, atau pesisir.

b. Akses transportasi umum rutin 1 kali dalam 1 minggu, jarak tempuh

pulang pergi dari ibukota kabupaten memerlukan waktu lebih dari 6


jam, dan transportasi yang ada sewaktu – waktu dapat terhalang iklim

atau cuaca.

c. Kesulitan pemenuhan bahan pokok dan kondisi keamanan yang tidak

stabil.

Berdasarkan kemampuan penyelenggaraan, Puskesmas dikategorikan

menjadi (Permenkes RI, 2014) :

1. Puskesmas non rawat inap

Puskesmas non rawat inap adalah puskesmas yang tidak menyelenggarkan

pelayanan rawat inap, kecuali pertolongan persalinan normal.

2. Puskesmas rawat inap

Puskesmas rawat inap adalah Puskesmas yang diberi tambahan sumber

daya untuk menyelenggarakan pelayanan rawat inap, sesuai pertimbangan

kebutuhan pelayanan kesehatan.

2.1.4.2 Upaya Kesehatan Puskesmas

Puskesmas menyelenggarkan kesehatan upaya kesehatan masyarakat

tingkat pertama dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama. Upaya

kesehatan masyarakat tingkat pertama meliputi upaya kesehatan masyarakat

esensial dan upaya kesehatan masyarakat pengembangan.Upaya kesehatan

mayarakat esensial meliputi ( Permenkes RI, 2014 ) :

1. Pelayanan promosi kesehatan


2. Pelayanan kesehatan lingkungan

3. Pelayanan kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana

4. Pelayanan gizi

5. Pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit

Upaya kesehatan masyarakat pengembangan merupakan upaya kesehatan

masyarakat yang kegiatannya memerlukan upaya yang sifatnya inovatif dan atau

bersifat ekstensifikasi dan intensifikasi pelayanan, disesuaikan dengan prioritas

masalah kesehatan, kekhususan wilayah kerja dan potensi sumber daya yang

tersedia di masing – masing Puskesmas (Permenkes RI, 2014 ).

Upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama dilaksanakan dalam bentuk

(Permenkes RI, 2014) :

1. Rawat jalan

2. Pelayanan gawat darurat

3. Pelayanan satu hari (one day care)

4. Home care

5. Rawat inap berdasarkan pertimbangan kebutuhan pelayanan kesehatan.

Upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama dilaksanakan sesuai

dengan standar prosedur operasional dan standar pelayanan. Untuk melaksanakan

upaya kesehatan puskesmas harus menyelenggarakan (Permenkes RI, 2014) :

1. Manajemen Puskesmas
2. Pelayanan kefarmasian

3. Pelayanan keperawatan kesehatan masyarakat

4. Pelayanan laboratorium.

2.1.4.3 Puskesmas Klareyan Kabupaten Pemalang

1. Letak Geografi

Puskesmas Klareyan terletak di Jalan Raya Karangdempel No.69

Kecamatan Petarukan Kabupaten Pemalang 52357. Wilayah kerja Puskesmas

Klareyan meliputi 8 Desa dengan luas 37,70 Km2 (DKK Pemalang, 2017).

Batas – batas wilayah kerja Puskesmas Klareyan meliputi (DKK

Pemalang, 2017) :

a. Sebelah barat berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas banjardawa

Kec.Taman

b. Sebelah timur berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas Comal

Kec.Comal

c. Sebelah selatan berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas Petarukan

d. Sebelah utara berbatasan dengan wilayah kecamatan Laut Jawa.

2. Topografi

Puskesmas Klareyan yang terletak di Kecamatan Petarukan Kabupaten

Pemalang merupakan daerah pantai dengan ketinggian 9 m di atas permukaan air


laut dan terletak di bagian utara wilayah Kabupaten Pemalang (DKK Pemalang,

2017).

3. Sarana Kesehatan

Puskesmas Klareyan merupakan Puskesmas non perawatan, dan untuk

meningkatkan pelayanan dilengkapi dengan adanya Puskesmas Pembantu, Pos

Kesehatan Desa dan Puskesmas Keliling ( DKK Kabupaten Pemalang, 2017).

Tabel 2. Jumlah Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling dan


Pos Kesehatan DesaTahun 2016

No. Sarana Kesehatan Tahun 2016

1. Puskesmas Induk 1

2. Puskesmas Pembantu (PUSTU) 2

3. Poskesdes (PKD) 5

4. Puskesmas Keliling (Pusling) 1


2.2. Kerangka Teori
Kerangka teori penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Indikator WHO :

1.Rerata jumlah obat

2.Persentase antibiotik

ISPA non pneumonia

3.Persentase antibiotik

diare non spesifik

4.Persentase injeksi

Myalgia

5.Persentase obat DOEN

6.Persentase obat generik


Indikator

Peresepan Indikator POR Nasional :

1.Rerata jumlah obat Gambaran


rasionalitas
2.Persentase antibiotik penggunaan
Rasionalitas ISPA non pneumonia obat
penggunaan berdasarkan
3.Persentase antibiotik indikator
obat
diare non spesifik peresepan
POR nasional
4.Persentase injeksi

myalgia

Rerata waktu konsultasi

rerata waktu penyerahan obat


Indikator
Persentase obat yang
Pelayanan sesungguhnya diserahkan

Persentase obat yang dilabel


secara adekuat

Pengetahuan pasien mengenai


dosis yang benar
Indikator
Ketersediaan daftar obat
Fasilitas esensial

Ketersediaan key drugs

Gambar 1. Kerangka Teori


2.3.Kerangka Konsep

Kerangka Konsep penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Indikator Peresepan
POR Nasional :
1.Rerata jumlah obat Gambaran
rasionalitas
2.Persentase antibiotik
Rasionalitas penggunaan
Penggunaan ISPA non pneumonia obat
obat berdasarkan
3.Persentase antibiotik indikator
peresepan
diare non spesifik POR nasional
4.Persentase injeksi
myalgia

Gambar 2. Kerangka Konsep

2.4. Hipotesis

Berdasarkan uraian latar belakang, rumusan masalah dan tinjauan pustaka,

hipotesis yang dapat dikemukakan adalah penggunaan obat berdasarkan indikator

peresepan POR Nasional yang meliputi penggunaan antibiotik pada ISPA non

pneumonia, penggunaan antibiotik pada diare non spesifik, penggunaan injeksi

pada myalgia dan rerata item obat yang diresepkan (untuk tiga penyakit tersebut

di atas) adalah rasional.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini berada pada ruang lingkup farmasi sosial yang dilakukan di

Puskesmas Klareyan Jalan Raya Karangdempel No.69 Kecamatan Petarukan

Kabupaten Pemalang pada bulan Juli – September 2017.

3.2 Rancangan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan metode

retrospektif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang tujuannya untuk

menjelaskan atau mendeskripsikan suatu peristiwa, keadaan, objek apakah orang,

atau segala sesuatu yang terkait dengan variabel- variabel yang bisa dijelaskan

dengan angka maupun kata-kata sedangkan metode retrospektif adalah penelitian

yang didasarkan pada catatan medis, mencari mundur sampai waktu peristiwanya

terjadi di masa lalu (Setyosari, 2010). Pengumpulan sampel berasal dari resep

pasien periode Juli – September 2017, data dikelompokkan berdasarkan masing –

masing parameter indikator peresepan menurut indikator kinerja POR Nasional

kemudian data dibandingkan menurut standar rasionalitas penggunaan obat.

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1.Populasi

Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas subjek atau

objek yang memiliki karakter dan kualitas tertentu yang ditetapkan oleh seorang
peneliti untuk dipelajari yang kemudian ditarik sebuah kesimpulan (Sugiyono,

2011). Populasi penelitian ini adalah seluruh resep periode Juli – September 2017

di Puskesmas Klareyan Kabupaten Pemalang

3.3.2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi tersebut (Sugiyono, 2011). Berdasarkan hasil observasi populasi seluruh

resep pada periode penelitian bulan Juli – September 2017 sebesar 9559 resep.

Rumus pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus Slovin

yaitu :

Dimana :

N = Jumlah sampel

N = Jumlah populasi

e = Batas toleransi kesalahan (error tolerance)

Jumlah sampel minimal yang diambil berdasarkan rumus yang digunakan

adalah sebanyak 99 lembar resep, pengambilan sampel dilakukan dengan

menggunakan metode purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik

pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2011).


Pada penelitian ini pertimbangan berdasarkan sampel yang digunakan adalah

resep terpilih untuk masing – masing parameter penilaian dari indikator peresepan

di Puskesmas Klareyan Kabupaten Pemalang periode Bulan Juli – September

2017. Keseluruhan sampel dalam penelitian ini adalah 228 resep dengan

pertimbangan untuk 3 parameter indikator peresepan yaitu persentase antibiotik

ISPA non pneumonia, persentase antibiotik diare non spesifik dan persentase

injeksi pada myalgia masing-masing sebanyak 76 resep dimana resep diambilkan

dari hari kerja selama periode penelitian, sedangkan untuk rerata item obat per

pasien diambilkan dari rerata item obat untuk 3 diagnosa penyakit tersebut.

3.3.3.Kriteria Inklusi dan Eksklusi

a. Persentase antibiotik pada ISPA non pneumonia.

Kriteria inklusi resep adalah sebagai berikut :

1. Tanggal resep berada pada periode Juli – September 2017.

2. Resep untuk pasien dari pelayanan pengobatan poli umum dan poli KIA.

3. Resep adalah yang mempunyai satu diagnosa penyakit yaitu ISPA non

pneumonia.

4. Resep memiliki data : tanggal resep, nama pasien, umur pasien, jenis

kelamin pasien, nama poli dan nama obat serta jumlah obat yang diberikan.

Kriteria eksklusi resep adalah sebagai berikut :

1. Resep tidak mengandung diagnosa penyakit ISPA non pneumonia


2. Resep mengandung lebih dari satu diagnosa penyakit.

b. Persentase antibiotik pada diare non spesifik.

Kriteria inklusi resep adalah sebagai berikut :

1. Tanggal resep berada pada periode Juli – September 2017.

2. Resep untuk pasien dari pelayanan pengobatan poli umum dan poli KIA.

3. Resep adalah yang mempunyai satu diagnosa penyakit yaitu diare non

spesifik.

4. Resep memiliki data : tanggal resep, nama pasien, umur pasien, jenis

kelamin pasien, nama poli dan nama obat serta jumlah obat yang diberikan.

Kriteria eksklusi resep adalah sebagai berikut :

1. Resep tidak mengandung diagnosa penyakit diare non spesifik.

2. Resep mengandung lebih dari satu diagnosa penyakit.

c. Persentase injeksi pada myalgia.

Kriteria inklusi resep adalah sebagai berikut:

1. Tanggal resep berada pada periode Juli – September 2017.

2. Resep untuk pasien dari pelayanan pengobatan poli umum.

3. Resep adalah yang mempunyai satu diagnosa penyakit yaitu myalgia.

4. Resep memiliki data : tanggal resep, nama pasien, umur pasien, jenis

kelamin pasien, nama poli dan nama obat serta jumlah obat yang diberikan.
Kriteria eksklusi resep adalah sebagai berikut :

1. Resep tidak mengandung diagnosa penyakit myalgia.

2. Resep mengandung lebih dari satu diagnosa penyakit.

d. Rerata item obat perpasien

Kriteria inklusi resep adalah sebagai berikut :

1. Tanggal resep berada pada periode Juli – September 2017.

2. Resep adalah sampel dari tiga diagnosa penyakit yang telah ditetapkan

(ISPA non pneumonia, diare non spesifik, myalgia).

Kriteria eksklusi resep adalah resep bukanlah sampel dari tiga diagnosa

penyakit yang telah ditetapkan (ISPA non pneumonia, diare non spesifik,

myalgia).
3.4. Variabel Penelitian

Indikator Peresepan POR


Nasional :
1.Rerata jumlah obat
2.Persentase antibiotik Rasionalitas
penggunaan obat
ISPA non pneumonia berdasarkan indikator
3.Persentase antibiotik peresepan POR
nasional
diare non spesifik
4.Persentase injeksi
myalgia

Gambar 3. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah variabel tunggal yaitu rasionalitas

penggunaan obat berdasarkan indikator peresepan POR nasional ditinjau dari

rerata jumlah obat, persentase antibiotik ISPA non pneumonia, persentase

antibiotik diare non spesifik dan persentase injeksi myalgia.


3.5. Definisi operasional

Tabel 3. Definisi Operasional


Jenis Alat Hasil Ukur
Definisi Parameter Skala
Variabel Ukur

Jumlah
Rasional :
penggunaan
antibiotik ≤ 20%
Persentase Perhitungan adanya antibiotik
pada ISPA
penggunaan pada tiap resep ISPA non
non Tidak
antibiotik pneumonia bernilai mutlak ( 1=
pneumonia Resep rasional: Nominal
pada ISPA ada, 0 = tidak ada )
dibagi
non > 20%
jumlah
pneumonia
kasus ISPA
(Kemenkes
non
RI, 2011)
pneumonia

Jumlah Rasional :
penggunaan
antibiotik Perhitungan adanya antibiotik ≤ 8%
Persentase
pada diare pada tiap resep diare non
penggunaan Tidak
non spesifik spesifik bernilai mutlak ( 1=
antibiotik Resep rasional: Nominal
dibagi ada, 0 = tidak ada )
pada diare
jumlah > 8%
non spesifik
kasus ISPA
non (Kemenkes
pneumonia RI, 2011)

Rasional:
Jumlah
penggunaan ≤1%
Persentase injeksi pada Perhitungan adanya injeksi pada
tiap resep myalgia bersifat Tidak
peresepan myalgia
mutlak ( 1= ada, 0 = tidak ada ) Resep Rasional: Nominal
injeksi pada dibagi
myalgia jumlah >1%
kasus
myalgia (Kemenkes
RI, 2011)

Jumlah item 1.Resep yang digunakan adalah


obat dibagi sampel resep untuk tiga
penyakit (ISPA non pneumonia, Rasional:
jumlah
lembar diare non spesifik, myalgia) ≤ 2,6
resep untuk
Rerata item tiga 2.Semua obat yang berbeda Tidak
obat yang penyakit nama dalam satu resep dihitung Resep Rasional: Nominal
diresepkan diatas (ISPA sebagai obat yang berbeda.
non > 2,6
3.Vitamin yang diberikan dalam
pneumonia, resep dihitung sebagai obat. (Kemenkes
diare non
RI, 2011)
spesifik, 4.Kombinasi obat dalam resep
myalgia) dihitung sebagai satu obat.
3.6. Jenis dan Sumber Data

1. Data Sekunder

Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti

secara tidak langsung melalui media perantara. Data sekunder peneliti yaitu

berupa resep dan buku register harian Puskesmas Klareyan Kabupaten Pemalang

Periode Juli – September 2017.

2. Cara Pengumpulan Data

Sampel diambil dari resep, 1 kasus per hari untuk diagnosis terpilih.

Dengan demikian selama periode penelitian diharapkan terkumpul 76 resep per

diagnosis terpilih sehingga didapatkan 228 resep. Bila pada hari tersebut tidak ada

pasien dengan diagnosa terpilih, dapat diambilkan pada hari – hari berikutnya.

Diagnosis diambil yang tunggal atau yang tidak disertai penyakit lain, untuk

parameter rerata item obat per pasien diambilkan dari rerata obat untuk tiga

diagnosa penyakit tersebut.

3.7. Pengolahan dan Analisis Data

1. Editing

Pertama peneliti melakukan pemilahan resep sesuai kriteria inklusi

masing – masing parameter indikator peresepan, peneliti mengambil sampel satu

resep pada tiap hari kerja untuk masing – masing parameter indikator persentase

antibiotik pada ISPA non pneumonia, persentase antibiotik pada diare non
spesifik dan persentase injeksi pada myalgia selama periode juli – september 2017

sehingga sampel yang didapatkan sebanyak 228 sampel.

2. Coding

Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap

data non numerik yang diinput (Sarwono, 2006)

Data yang diberikan kode numerik adalah :

a. Pasien : diberikan nomor urut yang terdiri dari tiga digit angka.

b. Diagnosa penyakit : diberikan nomor 1 = ISPA non pneumonia, nomor 2 =

diare non spesifik, nomor 3 = injeksi pada myalgia.

3. Entry Data

Data resep terpilih untuk masing – masing parameter dimasukkan ke

dalam program microsoft excel, format tabel memuat tanggal resep, nomor pasien,

umur pasien, diagnosa penyakit, jumlah item obat, antibiotik, injeksi, nama obat,

dosis dan jumlah obat.

4. Cleaning Data

Setelah data diinput kemudian diperiksa kembali untuk memastikan

apakah data bersih dari kesalahan dan siap untuk dianalisis.


5. Analisis Data

Setelah semua data terkumpul, data diolah secara manual dalam bentuk

persentase dan tabulasi. Data yang sudah diolah kemudian dianalisa secara

deskriptif.

3.8. Etika Penelitian

Penelitian ini dilakukan setelah mendapat rekomendasi dari Politeknik

harapan Bersama Prodi DIII Farmasi Tegal kemudian dilanjutkan dengan

permohonan ijin kepada Kepala Puskesmas Klareyan dan pengambilan data dari

resep dilakukan setelah mendapat ijin dari Kepala Puskesmas Klareyan. Peneliti

tidak mencantumkan nama pasien pada waktu pengolahan data untuk menjamin

kerahasiaannya.

Tahapan penelitian tersebut dapat digambarkan dalam skema sebagai

berikut :

Surat Permohonan Ijin dari Politeknik Harapan Bersama


Prodi DIII Farmasi Tegal ditujukan kepada Kepala
Puskesmas Klareyan Kabupaten Pemalang

Puskesmas Klareyan memberikan surat rekomendasi


penelitian

Pengambilan data dapat dilakukan

Gambar 4. Skema Tahap Penelitian


BAB IV

JADWAL PENELITIAN

Tahapan Sub tahapan Bulan I Bulan II Bulan III

I II III IV I II III IV I II III IV

1.Studi
Pustaka
Persiapan
2.Penyusunan

3.Konsultasi
1.Persiapan
alat & bahan

Penelitian 2.Pengambilan
data

3.Sortir data

1.Analisis data

2.Evaluasi
Penutupan data

3.Pembahasan

4.Konsultasi
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2011. Modul
Penggunaan Obat Rasional. Jakarta : Kemenkes RI.
Nasirah Bahaudin. 2010. Implementasi Kebijakan Penggunaan Obat Rasional
(POR) Di Indonesia. Presentasi Direktur Bina Penggunaan Obat Rasional.
Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Jakarta : Depkes RI.
Mutiarani, S. Staf subdit POR Dirjen Binfar Kemenkes RI (2011, Januari 31).
Penggunaan Obat Rasional. (Permatasari, K.C.D, Pewawancara)
Kementerian Kesehatan RI. 2016. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor. HK 02.
02 / MENKES / 52 / 2015 Tentang Rencana Strategis Kementerian
Kesehatan Tahun 2015- 2019. Jakarta : Kemenkes RI.
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2017. Laporan
Akuntabilitas Kinerja 2016. Jakarta : Kemenkes RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74
Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.
Jakarta : Kemenkes RI.
Permatasari, K.C.D. 2011. Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Obat Ditinjau dari
Indikator Peresepan Menurut WHO di Seluruh Puskesmas Kecamatan
Depok. Skripsi. Depok : Program Studi Farmasi FMIPA Universitas
Indonesia.
Rahayu Wijayanti, Okpri Meila, Annisa Septiyani. Evaluasi Penggunaan Obat
dengan Indikator Prescribing pada Puskesmas Jakarta Utara Periode tahun
2016. Social Clinical Pharmacy Indonesia Journal. Jakarta : Fakultas
Farmasi Universitas 17 agustus 1945
KBBI, 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). [Online] Available at
https//kbbi.kemdikbud.go.id, accesed at 04 November 2017.
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK. 02.
02/MENKES/068/I/2010 Tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik
di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah. Jakarta : Kemenkes RI.
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2016. Pedoman
Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas. Jakarta : Kemenkes RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75
Tahun 2014 Tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Kemenkes RI.
Dinas Kesehatan Kabupaten Pemalang. 2017. Profil Kesehatan Puskesmas
Klareyan Tahun 2016. Pemalang : DKK Pemalang
Punaji Setyosari. 2010. Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan.
Jakarta: Kencana.
Sugiyono. 2011. Statistika untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.

DAFTAR PUSTAKA
Dinas Kesehatan Kabupaten Pemalang. 2017. Profil Kesehatan Puskesmas
Klareyan Tahun 2016. Pemalang : DKK Pemalang.
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2017. Laporan
Akuntabilitas Kinerja 2016. Jakarta : Kemenkes RI.
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2011. Modul
Penggunaan Obat Rasional. Jakarta : Kemenkes RI.
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2016. Pedoman
Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas. Jakarta : Kemenkes RI.
KBBI, 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). [Online] Available at
https//kbbi.kemdikbud.go.id, accesed at 04 November 2017.
Kementerian Kesehatan RI. 2016. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor. HK 02.
02 / MENKES / 52 / 2015 Tentang Rencana Strategis Kementerian
Kesehatan Tahun 2015- 2019. Jakarta : Kemenkes RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74
Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.
Jakarta : Kemenkes RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75
Tahun 2014 Tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Kemenkes RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK. 02.
02/MENKES/068/I/2010 Tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik
di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah. Jakarta : Kemenkes RI.
Mutiarani, S. Staf subdit POR Dirjen Binfar Kemenkes RI (2011, Januari 31).
Penggunaan Obat Rasional. (Permatasari, K.C.D, Pewawancara).
Nasirah Bahaudin. 2010. Implementasi Kebijakan Penggunaan Obat Rasional
(POR) Di Indonesia. Presentasi Direktur Bina Penggunaan Obat Rasional.
Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Jakarta : Depkes RI.
Permatasari, K.C.D. 2011. Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Obat Ditinjau dari
Indikator Peresepan Menurut WHO di Seluruh Puskesmas Kecamatan
Depok. Skripsi. Depok : Program Studi Farmasi FMIPA Universitas
Indonesia.
Punaji Setyosari. 2010. Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan.
Jakarta: Kencana.

Rahayu Wijayanti, Okpri Meila, Annisa Septiyani. Evaluasi Penggunaan Obat


dengan Indikator Prescribing pada Puskesmas Jakarta Utara Periode tahun
2016. Social Clinical Pharmacy Indonesia Journal. Jakarta : Fakultas
Farmasi Universitas 17 agustus 1945.
Sugiyono. 2011. Statistika untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.

DAFTAR ISI

Halaman Sampul……………………………………...…………………… i

Halaman Judul…………………………………………………………….. ii
Halaman Persetujuan………………………...……………………………. iii

Intisari Usulan Karya Tulis Ilmiah………………………………………… iv

DAFTAR ISI……………………………………………………………… v

DAFTAR TABEL………………………………………………………… vi

DAFTAR GAMBAR…………………………………………………….. vii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………... 1

1.1. Latar Belakang Masalah………………………………………… 1

1.2. Rumusan Masalah………………………………………………. 4

1.3. Batasan Masalah………………………………………………… 5

1.4. Tujuan Penelitian……………………………………………….. 5

1.5. Manfaat Penelitian……………………………………………… 6

1.6. Keaslian Penelitian……………………………………………… 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS…………………... 9

2.1. Tinjauan Pustaka………………………………………………..9

2.2. Kerangka Teori…………………………………………………. 29

2.3. Kerangka Konsep………………………………………………. 30

2.4. Hipotesis……………………………………………………….. 30

BAB III METODE PENELITIAN……………………………………… 31

3.1. Ruang Lingkup Penelitian……………………………………… 31

3.2. Rancangan dan Jenis Penelitian………………………………... 31

3.3. Populasi dan Sampel…………………………………………… 31

3.4. Variabel Penelitian……………………………………………… 36


3.5. Definisi Operasional……………………………………………. 37

3.6. Jenis dan Sumber Data…………………………………………. 38

3.7. Pengolahan dan Analisis Data…………………………………. 38

3.8. Etika Penelitian………………………………………………… 40

BAB IV JADWAL PENELITIAN……………………………………… 41

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. 42

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Keaslian Penelitian………………………………………………. 8

Tabel 2. Jumlah Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling


dan Pos Kesehatan Desa Tahun 2016……………………………… 28

Tabel 3. Definisi Operasional……………………………………………… 37

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Teori………………………………………………… 29

Gambar 2. Kerangka Konsep……………………………………………… 30


Gambar 3. Kerangka Penelitian…………………………………………… 36

Gambar 4. Skema Tahap Penelitian……………………………………….. 40


DAFTAR GAMBAR
DAFTAR
LAMPIRAN
INTISARI

Lestiyorini, Tri. 2017. Rasionalitas Penggunaan Obat Berdasarkan Indikator


Peresepan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rasionalitas penggunaan obat
berdasarkan indikator peresepan di Puskesmas Klareyan Kabupaten Pemalang
yang meliputi persentase antibiotik ISPA non pneumonia, persentase antibiotik
diare non spesifik, persentase injeksi pada myalgia dan rerata item obat tiap
pasien. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan metode
retrospektif. Pengumpulan sampel berasal dari resep pasien periode Juli –
September 2017. Hasil penelitian akan dianalisa secara deskriptif.
Kata Kunci : Rasionalitas, Indikator Peresepan, Puskesmas Klareyan
DAFTAR PUSTAKA

1. Kartika Citra Dewi Permatasari. 2011. Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Obat

Ditinjau Dari Indikator Peresepan Menurut WHO Di Seluruh Puskesmas

Kecamatan Kota Depok. Skripsi. Depok : Program Studi Farmasi FMIPA-UI

2. Dika Pramita Destiani. 2016. Pola Peresepan Rawat Jalan : Studi

Observasional Menggunakan Kriteria Prescribing Indicator WHO di Salah

Satu Fasilitas Kesehatan Bandung. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia.

Sumedang : Universitas Padjajaran

3. Widya Kardela, Retnosari Andrajati, Sudibyo Supardi. 2014. Perbandingan

Penggunaan Obat Rasional Berdasarkan Indikator WHO di Puskesmas

Kecamatan antara Kota Depok dan Jakarta Selatan. Jurnal Kefarmasian

Indonesia. Depok : Pascasarjana Fakultas Farmasi Universitas Indonesia

4. Fetri Charya Munarsih, Okpri Meila, Fitri Ramadhanti. Evaluasi Penggunaan

Obat dengan Indikator Prescribing pada Puskesmas Wilayah Kota Administrasi

Jakarta Barat Periode Tahun 2016. Social Clinical Pharmacy Indonesia

Journal. Jakarta : Fakultas Farmasi Universitas 17 agustus 1945

5. Rahayu Wijayanti, Okpri Meila, Annisa Septiyani. Evaluasi Penggunaan Obat

dengan Indikator Prescribing pada Puskesmas Jakarta Utara Periode tahun

2016. Social Clinical Pharmacy Indonesia Journal. Jakarta : Fakultas Farmasi

Universitas 17 agustus 1945


6. Ragil Setia Dianingati, Septimawanto Dwi Prasetyo. Analisis Kesesuaian

Resep untuk Pasien Jaminan Kesehatan Nasional dengan Indikator Peresepan

WHO 1993 pada Instalasi Farmasi Rawat Jalan di RSUD Ungaran Periode

Januari – Juni 2014. Majalah Farmaseutik. Yogyakarta : Bagian Farmasetika

Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada

7. Inaratul Rizkhy Hanifah, 2011. Analisis Penggunaan Obat di RSUD Kota

Yogyakarta Berdasarkan Indikator WHO. Jurnal Farmasi Indonesia.

Surakarta : Fakultas Farmasi, Universitas Setia Budi


KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT yang telah

memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya

Tulis Ilmiah ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada

junjungan kita nabi Muhammad SAW yang telah memberikan risalah islam yang

penuh dengan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu – ilmu keislaman, sehingga

dapat menjadi bekal hidup kita baik di dunia dan di akherat kelak.
Bagi penulis, penyusunan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “ Rasionalitas

Penggunaan Obat Berdasarkan Indikator Peresepan di Puskesmas Klareyan

Kabupaten Pemalang” ini merupakan tugas yang tidak ringan. Penulis sadar

banyak hambatan yang menghadang dalam proses penyusunan Karya Tulis Ilmiah

ini, dikarenakan keterbatasan kemampuan penulis sendiri. Terlaksananya

penelitian ini

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya. Selama Penulis melaksanakan penelitian
mengenai “ Rasionalitas Penggunaan Obat Berdasarkan Indikator Peresepan di
Puskesmas Klareyan Kabupaten Pemalang” dapat terlaksana dengan baik.

Terlaksananya penelitian ini tidak lepas dari bantuan dan kerja sama
berbagai pihak yang terkait secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena
itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ir. Mc. Chambali.,B.Eng.EE selaku Direktur Politeknik Harapan
Bersama Tegal.
2. Heru Nurcahyo, M.Sc.,Apt selaku Ketua Program Studi Diploma Tiga
Farmasi Politeknik Harapan Bersama Tegal.
3. Rosaria Ika Pratiwi, M.Sc.,Apt selaku Dosen Pembimbing I yang telah
memberikan petunjuk dan pengarahan dalam penyusunan Karya Tulis
Ilmiah.
4. Moh.Ihsanudin, S.Si.,Apt,M.Sc selaku Dosen Pembimbing II yang
telah memberikan petunjuk dan pengarahan dalam penyusunan Karya
Tulis Ilmiah.
5. Dr. Wendy Nuryanti selaku Kepala Puskesmas Klareyan Kabupaten
Pemalang
6. Para Dosen dan Staf D3 Farmasi Politeknik Harapan Bersama Tegal.
7. Rekan-rekan Mahasiswa dan semua pihak yang telah membantu dalam
pelaksanaan penelitian ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu.
Penulis menyadari bahwa pengetahuan yang Penulis miliki masih kurang
sehingga penulisan Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Akhirnya
dengan segala kerendahan hati penulis berharap semoga penelitian ini
memberikan manfaat kepada penulis sendiri maupun pihak-pihak yang
berkepentingan.

Tegal,Maret 2011

P
enulis
DAFTAR ISI

Halaman Sampul……………………………………...…………………… i

Halaman Judul…………………………………………………………….. ii

Halaman Persetujuan………………………...……………………………. iii

Kata Pengantar……………………………………………………………. iv

Intisari Usulan Karya Tulis Ilmiah………………………………………… v

DAFTAR ISI……………………………………………………………… vi

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………... 1
1.1. Latar Belakang Masalah………………………………………… 1

1.2. Rumusan Masalah………………………………………………. 4

1.3. Batasan Masalah………………………………………………… 5

1.4. Tujuan Penelitian……………………………………………….. 5

1.5. Manfaat Penelitian……………………………………………… 6

1.6. Keaslian Penelitian……………………………………………… 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS…………………... 9

2.1. Tinjauan Pustaka………………………………………………..9

2.2. Kerangka Teori…………………………………………………. 29

2.3. Kerangka Konsep………………………………………………. 30

2.4. Hipotesis……………………………………………………….. 30

BAB III METODE PENELITIAN……………………………………… 31

3.1. Ruang Lingkup Penelitian……………………………………… 31

3.2. Rancangan dan Jenis Penelitian………………………………... 31

3.3. Populasi dan Sampel…………………………………………… 31

3.4. Variabel Penelitian……………………………………………… 36

3.5. Definisi Operasional……………………………………………. 37

3.6. Jenis dan Sumber Data…………………………………………. 38

3.7. Pengolahan dan Analisis Data…………………………………. 38

3.8. Etika Penelitian………………………………………………… 40

BAB IV JADWAL PENELITIAN……………………………………… 41

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. 42

Anda mungkin juga menyukai