Anda di halaman 1dari 7

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2021/22.2 (2022.1)

Nama Mahasiswa : FAROUQ SAKTIAWAN TRI PUTRA

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 041922426

Tanggal Lahir : 19 – SEPTEMBER - 1998

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4204/ HUKUM ADAT

Kode/Nama Program Studi : 311/ ILMU HUKUM – S1

Kode/Nama UPBJJ : 84/ MANADO

Hari/Tanggal UAS THE : Rabu, 22 Juni 2022

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN


RISET, DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Surat
Pernyataan
Mahasiswa
Kejujuran
Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : FAROUQ SAKTIAWAN TRI PUTRA


NIM : 041922426
Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4204/ HUKUM ADAT
Fakultas : FHISIP
Program Studi : ILMU HUKUM
UPBJJ-UT : 84 - MANADO

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi
THE pada laman https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam
pengerjaan soal ujian UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya
sebagai pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai
dengan aturan akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan
tidak melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui
media apapun, serta tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan
akademik Universitas Terbuka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari
terdapat pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan
menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.

Manado, 22 Juni 2022


Yang Membuat Pernyataan
Farouq SaktiawanTri Putra
JAWABAN

1. A. Di provinsi Sumatera Utara terdapat berbagai suku bangsa yang hidup dan
berkembang di daerah tersebut. Salah satu sukubangsa yang terbesar di daerah tersebut
adalah suku Batak. Masyarakat Batak sebenarnya terdiri dari beberapa anak suku
walaupun secara umum lebih sering hanya disebut orang Batak. Suku batak terbagi lagi
menjadi beberapa bagian yaitu batak toba, batak simalungun, batak karo, batak pakpak
dan batak mandailing. Dalam hal ini Saya mengambil pembahasan tentang batak toba.
Proses Terbentuknya Hukum Adat yaitu aturan kebiasaan manusia dalam hidup
bermasyarakat. Sejak manusia itu diturunkan Tuhan ke muka bumi, maka ia memulai
hidupnya berkeluarga, bermasyarakat, dan kemudian bernegara. Sejak manusia itu
berkeluarga mereka telah mengatur hidupnya dan anggota keluarganya menurut
kebiasaan mereka. Maka dilihat dari perkembangan hidup manusia, terjadinya hukum itu
mulai dari pribadi manusia yang terus berkembang menjadi kebiasaan dan kebiasaan
menjadi adat dari suatu masyarakat. Lambat laun masyarakat atau kelompok-kelompok
masyarakat menjadikan adat itu sebagai adat yang seharusnya berlaku bagi semua
anggota masyarakat, sehingga menjadi hukum adat . Jadi hukum adat adalah adat yang
diterima dan harus dilaksanakan dalam masyarakat bersangkutan dalam hal ini suku
batak. Adapun aspek sosiologi terbentuknya pada suku batak dalam analisa saya bahwa
pada prinsipnya manusia atau masyarakat batak tidak dapat hidup sendiri dan
membutuhkan manusia lainnya karena manusia adalah makluk sosial dan memiliki
naluri. Dalam hukum adat batak sendiri juga memiliki asas – asas dan larangan terhadap
masyarakat adatnya. Dalam proses terbentuknya aspek sosiologi hukum adat masyarakat
batak juga tidak jauh berbeda dengan aspek sosiologi pada umumnya hukum adat
masyarkat lainnya. Seperti Dari Sistem nilai ini akan melahirkan suatu pola pikir / asumsi
yang akanmenimbulkan suatu sikap yaitu kecendrungan untuk berbuat atau tidak berbuat.
Bila sikap ini telah mengarah kecendrungan untuk berbuat maka akantimbulah perilak
yaitu :
 Interaksi
 Pengalaman
 Nilai pola pikir
 Sikap
 Perilaku
 Kebiasaan
Dari beberapa nilai inilah yang membuat masyarakat adat batak memiliki karakter yang
pemberani serta pola pikir yang maju. Adapun yang terus berulang-ulang dapat dilahirkan
atau diabstraksikan menjadi norma yaitu suatu pedoman prilaku untuk bertindak. Serta
Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan adat adalah ikatan sedarah dalammarga.
Dimana marga artinya, misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah margaHarahap
dengan marga lainnya. Berhubung bahwa adat Batak atau tradisi Bataksifatnya dinamis
yang seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruhterhadap perbedaan
corak tradisi antar daerah.

B. Aspek ini dilihat dari tingkat sanksinya. Bentuk konkret dari wujud prilaku adalah cara
yang seragam dari sekumpulan manusia misalnya cara berjual beli,cara bagi waris, cara
menikah, dsb. Bila ada penyimpangan ada sanksi namum lemah. Dari cara tersebut akan
terciptanya suatu kebiasaan, dan sanksi
atas penyimpangannya agak kuat dibanding sanksi cara atau
usage. Kebiasaan yang berulang
ulang dalam masyarakat akan lahir standar kelakuan atau mores dimana sanksi atas
penyimpangan sudah menjadi kuat. Dalam perkembangan standar kelakuan atau mores
ini akan melahirkan Custom yang terdiri dari Adat Istiadat dan Hukum Adat, dan
sanksinya pun sudah kuat sekali. Adapun dalam aspek yuridis suku batak sendiri terdapat
sistem perkawinan suku batak yang dimana masyarakat batak mengedepankan norma
ataupun nilai-nilai yang terkandung di dalam masyarakat yang berguna untuk menjaga
keseimbangan dalam tatanan kehidupan. Norma ataupun nilai-nilai ini dibentuk sesuai
dengan kebutuhan masyarakat setempat, yang pada akhirnya berkembang menjadi adat-
istiadat yang diwujudkan dalam bentuk tata upacara. Upacara sendiri merupakan wujud
dari adat istiadat yang sangat berhubungan dengan seluruh aspek kehidupan manusia, dan
disertai dengan berbagai macam perasaandan perlengkapan yang bersifat simbolis.
Perkawinana dalam dat Batak merupakan perkawinan eksogami yaitu perkawinan antar
orang Batakyang tidak satu marga. Seorang perempuan yang sudah dilamar dan menikah
akan meninggalkan marganya dan mengikut marga suami. Hal itu memiliki tujuan untuk
memperoleh dan melanjutkan keturunan dari marga anak laki-laki, sesuai dengansistem
budaya Batak yang bersifat patrilineal yakni garis keturunan diwariskanpada anak laki-
laki. Selain tentang perkawinan ada juga tentang mahar dari suku batak. Bagi masyarakat
suku batak sinamot merupakan media alat ukur pihakkeluarga laki-laki kepada pihak
keluarga perempuam dalam sistem perkawinanadat-istiadat mereka. Degan adanya
sinamot pada masyarakat Batak, melahirkan sebuah kesepakatan serta menciptakan
hubungan sosial antara pihaklaki-laki dan pihak perempuan yang diwadahi
oleh ikatan Dalihan Na Tolu sebagai pengikat hubungan sosial masyarakat Batak. Harga
sinamot seseorang perempuan mempengaruhi kemeriahan atas acara pestapernikahan
yang dilangsungkan. Indikator Sinamot dalam perkawinan masyarakat Batak bisa dilihat
dari segipendidikan, pekerjaan, dan status sosial keluarga perempuan. Hal ini akan
menjadipatokan seberapa besar sinamot yang akan diberikan pihak laki-laki kepada
pihakkeluarga perempuan. Indikator ini juga akan melihat besar, sedang, rendahnya
sinamot. Dijelaskan bahwa stratifikasi sosial adalah pembagian sekelompok orangke
dalam tingkatan atau strata yang berjenjang secara vertikal atau hierarkis Stratifikasi
berbicara mengenai posisi yang tidak sederajat antar individu ataupunantar kelompok.

2. A. Suku Sasak adalah penduduk asli pulau Lombok, sebuah pulau terletak
disebelahTimur Bali. Suku sasak adalah salah satu suku terbesar di Provinsi Nusa
Tenggara Barat.Sekitar 80% penduduk di pulau Lombok ini diduduki oleh suku sasak
dan selebihnya adalahsuku lainnya, seperti suku mbojo (Bima), dompu, sumawa
(Sumbawa), jawa, dan hindu. Suku sasak mendiami seluruh pulau Lombok, yang tersebar
di tiga kabupaten Lombok Barat,Lombok Tengah, dan Lombok Timur. Hukum waris adat
Sasak, mengharuskan wanita Sasak tidak mempunyai hak untukmewaris harta orang
tuanya. Hukum Adat Sasak, Suku Sasak menarik garis keturunan dari pihaklaki-laki
(patrilineal). Pada kaum bangsawan Suku Sasak, perempuan diberi gelar Baiq dan kaum
laki-lakinya mendapat gelar Lalu. Namun pada masyarakat lapisan bawah
baik perempuan maupun laki-laki tidak mempunyai gelar, namun kaum perempuannya
dipanggil Inaq dan laki-laki dipanggil Amaq. Pada dasarnya masyarakat Sasakmenganut
sistem patrilineal, bahwa garis keturunan ditarik dari pihak laki-laki atau bapak.Anak
perempuan dianggap keluar dari keluarganya dan pindah menjadi keluarga
suaminya,karena ia mengikuti suaminya setelah mereka kawin Hukum waris adat Sasak,
mengharuskanwanita Sasak tidak mempunyai hak untuk mewaris harta orang tuanya.
Bertitik tolak dari persamaan harkat danmartabat, serta persamaan hak dan kedudukan
setiap warga negara dihadapan hukum sesuaidengan Pancasila dan dalam Undang-
Undang Dasar 1945 dan mengingat pula keadilanumum, dan nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat, maka di dalam kasus iniPengadilan sependapat dan layak untuk
berpedoman kepada yurisprudensi tetap MahkamahAgung yang berlaku untuk seluruh
Indonesia tanggal 11 Nopember 1961, No.179 K/Sip/1961. Intinya bahwa anak
perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggalwarisan bersama-sama berhak atas
harta warisan dalam arti bahwa bagian anak laki-laki sama dengan anak perempuan.

B. Meskipun kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung sebagai anggota
keluarga orang tua angkat namun dalam hal-hal tertentu misalnya: dalam memperoleh
harta kekayaan orang tua angkatnya menurut hukum waris adat di tiap-tiap daerah di
Indonesia tidak sama. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (B.W.) yang kita warisi
dari Pemerintah Hindia Belanda tidak mengenal peraturan mengenai lembaga
pengangkatan anak. Hanya bagi golongan Thionghoa yang diadakan pengaturannya
secara tertulis di dalam Stb. 1917 No. 129. Bangsa Thionghoa yang sistem
kekeluargaannya patrilineal mempunyai kepercayaan untuk memelihara arwah nenek
moyang sehingga memerlukan keturunan laki-laki untuk melakukan upacara-upacara
yang ditujukan kepada nenek moyang tersebut. Meskipun anak angkat bukan sebagai ahli
waris sebagaimana ketentuan pasal tersebut, namun anak angkat berhak atas bagian harta
warisan orangtua angkatnya dengan mendapatkan bagian atas dasar wasiat wajibah
sebagaimana Pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang besarnya tidak lebih dari
(satu per tiga) dari seluruh harta peninggalan orang tua angkatnya. Untuk itu dalam hal
ini harus adanya kepatutan apabila anak angkat tidak mempunyai saudara dari ahli waris.
Adapun ketidak harusan dalam mepertimbangkan kepatutan karena mengingat ahli waris
yang telah meninggal mempunyai saudara atau kakak , adik yang juga termasuk dalam
warisan tersebut.

3. A. Menurut Analisa Saya secara yuridis formal eksistensi hak ulayat termaktub terutama
dalam ketentuan Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA. Ketentuan Pasal 3 UUPA menentukan
bahwa Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak
ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang
menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak
boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih
tinggi. Hakikat UUPA memberi syarat pengakuan kepada masyarakat hukum adat
terhadap hak ulayat sepanjang menurut kenyataan masih ada dan pelaksanaannya sesuai
dengan kepentingan nasional, negara dan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Kriteria eksistensi aspek ini dapat dilihat adanya
masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri tertentu sebagai subjek hak ulayat, adanya
wilayah tertentu sebagai batas objek hak ulayat serta adanya kewenangan masyarakat
hukum adat untuk melakukan tindakan tertentu. Sebenarnya bagi orang Minangkabau
sendiri, yang lahir dan bertumbuh dalam lingkungan matrilineal, tidak terlalu
mempermasalahkan sikap kritis dan radikal-revolusioner dari bunyi pertanyaan maupun
penegasan di atas. Karena seorang Minang–terutama laki-laki yang sudah menikah–
paham betul bahwa harta pusaka tinggi. Termasuk sawah dan sumber-sumber ekonomi
lainnya yang ia dapati berada di rumah ibunya tidak bisa ia bawa ke rumah istrinya.
Sedangkan Laki-laki Minang mengetahui bahwa harta pusaka itu adalah milik kaumnya
yang secara pewarisan turun ke garis ibu (perempuan). Sekalipun ia adalah seorang
Penghulu ataupun Kepala Suku dalam kaumnya, tetap tidak bisa menjual harta pusaka
tinggi tersebut. Harta pusaka tinggi di Minangkabau berupa tanah ulayat, bila dipadankan
dalam konteks ajaran agama Islam, termasuk dalam golongan harta musabalah.
Musabalah sama arti dengan wakaf atau sedeka. tujuan utama dari harta musabalah ini
adalah mengambil manfaat dari objek (tanah) tersebut, tetapi tidak boleh menjual objek
(tanah)nya. secara legalitas, tanah ulayat yang dimiliki oleh orang Minangkabau juga
telah memiliki badan hukum. Sebagaimana yang terdapat dalam Peraturan Daerah
Provinsi Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008. Perda ini menjelaskan tentang
keberadaan dan posisi tanah tersebut, termasuk juga bagaimana tata laksana
pemanfaatannya. Pasal demi pasal yang termaktub dalam Perda ini memberi pesan bahwa
tanah ulayat di Minangkabau adalah milik kaum (suku) dan hanya bisa diambil
manfaatnya, tidak boleh dijual, apalagi disertifikatkan atas nama pribadi. Oleh karena itu,
maka tanah ulayat di Minangkabau disebut dalam pepatah “dijua ndak di makan bali,
digadai ndak dimakan sando (dijual tidak di makan beli, digadai tidak dimakan sanda)”.
Maksudnya harta pusaka tinggi orang Minangkabau berada diluar jalur pragmatisme
ekonomi.

B. Tanah Ulayat adalah tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang
bersangkutan. Hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan Hak
Ulayat. Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat
hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan
wilayahnya. UU No. 5 Tahun 1960 atau UU Pokok Agraria (UUPA) mengakui adanya
Hak Ulayat. Pengakuan itu disertai dengan 2 (dua) syarat yaitu mengenai eksistensinya
dan mengenai pelaksanaannya. Berdasarkan pasal 3 UUPA, hak ulayat diakui sepanjang
menurut kenyataannya masih ada. Dengan demikian, tanah ulayat tidak dapat dialihkan
menjadi tanah hak milik apabila tanah ulayat tesebut menurut kenyataan masih ada,
misalnya dibuktikan dengan adanya masyarakat hukum adat bersangkutan atau kepala
adat bersangkutan maka. Sebaliknya, tanah ulayat dapat dialihkan menjadi tanah hak
milik apabila tanah ulayat tersebut menurut kenyataannya tidak ada atau statusnya sudah
berubah menjadi bekas tanah ulayat. Status tanah ulayat dapat dijadikan sebagai hak
milik perorangan apabila status tanah ulayat tersebut sudah menjadi “tanah negara”.
Tanah bekas ulayat merupakan tanah yang tidak dihaki lagi oleh masyarakat hukum adat,
untuk itu berdasarkan UUPA tanah tersebut secara otomatis dikuasai langsung oleh
negara. Dalam praktik administrasi digunakan sebutan tanah negara. Tanah negara itulah
yang dapat dialihkan menjadi hak milik perseorangan.

4. A. Penyelesaian sengketa di jalur non litigasi ada berbagai bentuk. Salah satunya adalah
arbitrase. Arbitrase, menurut UU No 30 Tahun 1999 adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang
dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa
Nonlitigasi telah diatur pada sistem hukum Indonesia yaitu dalam Undang Undang No.30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), maka
masyarakat dapat memilih penyelesaian sengketa melalui jalur Non Litigasi, tidak
melalui jalur Pengadilan, karena akan memakan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit.
Berdasarkan UU No 30 Tahun 1999 menurut analisa saya bahwa penyelesaian sengketa
adat melalui jalur non litigasi sama dengan penyelesaian sengketa pada umumnya yang
diatur dalam peraturan perundang undangan karena dalam undang undang itu mencapuk
pada semua aspek yang bersengketa.

B. Pada lapangan sosial, hukum adat sendiri berkembang di dalam institusi tradisional.
Peradilan adat pada derajat tertentu masih bertahan di praktik kehidupan masyarakat adat,
yang dalam kerangka formal dimasukkan ke dalam mekanisme penyelesaian sengketa
(PPS) di luar peradilan. Dalam hal ini, peradilan adat dianggap sebagai sebuah
mekanisme penyelesaian sengketa bersifat informal, yang tidak mempunyai kekuatan
hukum layaknya peradilan formal. Akibatnya, Hukum adatpun melemah dan tertinggal
dari perkembangan pembangunan hukum nasional. Kondisi di atas diperparah lagi
dengan pemberlakukan penyeragaman desa oleh rezim Orde Baru melalui pemberlakuan
UU 5/79 tentang Pemerintahan Desa. Dengan pemberlakukan beleid ini, maka Desa adat
dengan seperangkat institusi tradisionalnya, termasuk peradilan adat berada diluar arena
pemerintahan dan termarjinalkan.

Anda mungkin juga menyukai