1
KATA PENGANTAR
2
DAFTAR ISI
kata pengantar……………………………………………………………………………………………………………….2
Daftar isi ……………………………………………………………………………………………………………………….3
BAB I penadhuluan…………………………………………………………………………………………….............4
A. Parlemen………………………………………………………………………………………………………..6
B.Teori parlemen………………………………………………………………………………………………..7
C. Konsep parlemen…………………………………………………………………………………………...8
D. Parlemen republik indonesia…………………………………………………………………………11
BAB III PENUTUP……………………………………………………………………………………………………….15
3.1 kesimpulan ……………………………………………………………………………………………….15
3.2 Saran………………………………………………………………………………………………………….15
DAFTAR PUSAKA……………………………………………………………………………………………………….16
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
1.2 Rumusan masalah
5
Bab II
PEMBAHASAN
A.Parlemen
6
B.Teori parlemen
https://www.gramedia.com/literasi/parlementer/#Pengertian_Parlementer_Menurut_Para_Ahli
7
C.konsep parlemen
8
Kritik yang ditujukan pada sistem bikameral seperti A.F. Pollard yang
menyatakan bahwa House of Lords di Inggris, lahir dari kelicikan sistem
feodal dan untuk menjaga keterwakilan para bangsawan. Hans Kelsen
cenderung melihat adanya kamar kedua sebagai sebuah pengistimewaan
kaum bangsawan. H.J. Laski juga menyatakan bahwa sistem bikameral
merupakan kecelakaan sejarah dari kebiasaan konstitusi di Inggris. Kebisaan
ini harus diubah. Menurut Laski, sistem unikameral merupakan jawaban
terbaik yang dibutuhkan oleh negara modern saat ini. Hal ini berbeda
dengan argumentasi pendukung sistem bikameral yang melihat Senat bukan
institusi untuk sekedar sebagai pengakuan terhadap kaum bangsawan. Di
Amerika, pemilihan anggota Senat tidak didasarkan pada aristokrasi
kekayaan atau kebangsawanan, tetapi berdasarkan kebijaksanaan yang
dimiliki calon. Hal ini berdasarkan pemikiran Thomas Jefferson menyatakan:
“Jefferson rejected the solution, adopted by many of the first state
constitutions, of composing the upper house of men of distinguised
property.” His senate would have been aristocratis by virtue of its wisdom,
not its wealth; as he explained to Edmund Pendleton in the summer of 1776,
he sought top have the “wisest men” chosen and did not think “integrity the
caracteristic of wealth”
Pada awalnya, parlemen bikameral, khususnya kamar kedua memang dapat
dikatakan merupakan bentuk kekuatan dan bertahannya sistem aristokrasi.
Namun sepanjang perkembangan sejarahnya, kamar kedua telah banyak
berubah dan memenuhi sebagai kamar parlemen yang modern seperti yang
dikemukakan oleh Samuel C. Patterson dan Anthony Mughan berdasarkan
berkembangan kamar kedua di Eropa berikut ini; “The development of
European parliaments that incluided “secong chamber” or “upper house”
indicated the preeminance and survival of aristocracy. But senates have long
outlived their original purposes on justification. They have, in one way or
another, been transformed into modern viable parliamentary institutions.”
Roger D. Congleton menyatakan bahwa sistem bikameral mempengaruhi
berfungsinya kebijakan demokratis. Secara teoritis sistem parlemen
bikameral dapat menghindari masalah konflik mayoritas dan membentuk
kebijakan dengan dukungan super-mayoritas (supermajority) mewakili
kelompok dari kedua kamar yang berbeda. Studi yang dilakukan terhadap
Swedia dan Denmark yang berubah menjadi unikameral menunjukan bahwa
parlemen bikameral akan menghasilkan kebijakan publik yang dapat
diperkirakan.2
2
. http://repository.untag-sby.ac.id/337/3/Bab%20II.pdf/ hai 3l
9
2.Unikameralisme ( sistem satu kamar)
3
https://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_satu_kamar
10
D.Parlemen republic idnonesia
4
Jurnal perkembangan teori praktik mengenai parlemen di Indonesia , universitas gadjah mada
halaman 173,174,175,176,177
11
Konsep bikameral yang digunakan pada masa Konstitusi RIS 1949
tersebut diamini pula dalam Buku III Naskah Komprehensif Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
menyatakan bahwa sistem perwakilan menurut Konstitusi RIS menganut
sistem dua kamar, yang meliputi perwakilan politik dan perwakilan
kewilayahan yang diwujudkan dalam lembaga Senat RIS dan DPR.
Eksistensi lembaga perwakilan dua kamar yang terdiri dari Senat RIS
dan DPR RIS sebagaimana diatur dalam Konstitusi RIS 1949 tidak
bertahan lama, mengingat Konstitusi RIS hanya bertahan tidak lebih dari 6
(enam) bulan. Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku lagi sejak 15
Agustus 1950 dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950
tentang UndangUndang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS
1950), sehingga otomatis struktur ketatanegaraan yang terbangun melalui
Konstitusi RIS 1949 berubah pasca berlakunya UUDS 1945. Adanya
perubahan dari struktur ketatanegaraan Indonesia dari berdasarkan
Konstitusi RIS 1949 menjadi berdasarkan UUDS 1950 memberikan
implikasi pula pada berubahnya struktur parlemen Indonesia. Konsep
parlemen bikameral yang tercermin dalam Konstitusi RIS 1949 secara
yuridis berubah dan cenderung mengarah ke konsep unikameral
dikarenakan tidak adanya pembagian kamar di dalamnya meskipun
terdapat adanya akomodasi dari golongan-golongan masyarakat
sebagaimana disebutkan di atas. Pada masa UUDS 1950, sebelum
terbentuknya DPR berdasarkan pemilihan umum, maka fungsi DPR
dijalankan oleh DPRS, yang anggotanya merupakan sebagian anggota-
anggota dari KNIP.
Melalui pemilihan umum yang dilaksanakan tahun 1955, dipilihlah
anggota DPR dan anggota Konstituante (Sidang Pembuat Undang-Undang
Dasar), serta diangkat pula 14 wakil golongan minoritas oleh
Pemerintah.38 Konstituante yang diamanatkan untuk melakukan
perubahan terhadap UUDS 1950, tidak kunjung mengesahkan perubahan
terhadap perubahan UUDS, hingga akhirnya Presiden Soekarno
menerbitkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang pada intinya adalah
memberlakukan kembali UUD 1945 dan membubarkan Konstituante.5
5
Jurnal perkembangan teori praktik mengenai parlemen di Indonesia , universitas gadjah mada
halaman 177,178
12
Sistem yang demikian berlanjut pada masa orde baru hingga sebelum
lainnya, termasuk pula Presiden dan DPR. Hal ini ditegaskan kemudian
pada Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tahun 2001, melalui amandemen
dilaksanakan oleh MPR. Selain itu, melalui Perubahan Ketiga UUD 1945
DPD ini secara konstruksi keanggotaan, serupa dengan Senat pada masa
6
Jurnal perkembangan teori praktik mengenai parlemen di Indonesia , universitas gadjah mada
halaman 180
13
Melihat perkembangan dan dinamika struktur parlemen di
Indonesia sejak masa kolonial hingga pasca reformasi, dapat terlihat
Indonesia sejatinya telah menerapkan beberapa jenis parlemen seperti
nuansa sistem unikameral pada masa awal kemerdekaan Indonesia dan
pasca berlakunya UUDS 1950 hingga sebelum reformasi, serta nuansa
sistem bikameral yang secara eksplisit terlihat di masa berlakunya
Konstitusi RIS 1949. Pasca amandemen UUD 1945 pun, terdapat
perbedaan pandangan di kalangan ahli mengenai struktur parlemen di
Indonesia. Pandangan pertama menyatakan bahwa sistem parlemen
Indonesia menganut model unikameral, dikarenakan model yang ada saat
ini menunjukkan adanya kewenangan DPR yang sangat besar dan DPD
yang terkesan tidak memiliki original power sebagai lembaga legislatif,
serta MPR yang memiliki fungsi tersendiri di luar DPR dan DPD.
Pandangan kedua melihat bahwa parlemen Indonesia menganut model soft
bicameralism karena terdapat adanya dua lembaga perwakilan yakni DPR
dan DPD dengan kewenangan yang tidak setara. Pandangan ketiga,
mengatakan bahwa Indonesia menganut trikameral karena MPR, DPR, dan
DPD memiliki kewenangannya masing-masing.
14
BAB III
PENEUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
15
DAFTAR PUSAKA
Jurnal perkembangan teori dan praktik mengenai parlemen di Indonesia,universitas gadjah mada
halaman 165-166
https://www.gramedia.com/literasi/parlementer/#Pengertian_Parlementer_Menurut_Para_Ahli
1 Muchammad Ali Safa’at, Parlemen Bikameral, Malang, UB Press, 2010, hlm. 32
http://repository.untag-sby.ac.id/337/3/Bab%20II.pdf/ hai 3l
https://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_satu_kamar
Jurnal perkembangan teori praktik mengenai parlemen di Indonesia , universitas gadjah mada
halaman 173,174,175,176,177
Jurnal perkembangan teori praktik mengenai parlemen di Indonesia , universitas gadjah mada
halaman 177,178
16