Anda di halaman 1dari 5

ASOSIASI PERGURUAN TINGGI SWASTA INDONESIA

( APTISI )
d.a. Universitas Muhammadiyah Prof. Dr.Hamka (UHAMKA)
51. Gandaria N/24, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12130. Telp/Fax. : (021)7398898
Bank Niaga : 005-0106986002

PERNYATAAN SIKAP DAN REKOMENDASI APTISI


TERHADAP ISU-ISU PENDIDIKAN DAN KEBANGSAAN
RPPP APTISI KE-6,BANDUNG 23-24 OKTOBER 2014

Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) dalam Rapat Pleno Pengurus Pusat (RPPP)
ke-6 di Bandung 23-24 Oktober 2014 menegaskan kembali bahwa hingga saat ini telah
menunjukan peran penting dan strategis dalam menciptakan surnber daya manusia Indonesia,
karena APTISI memiliki 3,257 anggota dan 27 APTISI Wilayah di Indonesia. Dari jumlah
tersebut, terdapat lebih dari 8700 program studi, 3000 dosen, 400 tenaga kependidikan
(karyawan) dan 5,000 (70%) mahasiswa dari total mahasiswa di Indonesia.

Berkenaan dengan peran penting dan strategis tersebut, APTISI menyampaikan sikap terkait
dengan pengelolaan pendidikan tinggi dan masalah bangsa sebagai berikut:

I. Pengelolaan Pendidikan Tinggi

A. Pendidikan Tinggi

1. UU No.12 Tahun 2012

Sebagai implementasi Undang-undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi,


Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengeluar beberapa Permendikbud,
diantaranya Permendikbud no 11 tahun 2014 dan dirubah menjadi permendikbud no.
81 tahun 2014, Permendikbud no. 49 tahun 2014, Permendikbud no. 95 tahun 2014,
dan Permnendikbud no. 87 tahun 2014. Keberadaan UU dan Permendikbud tersebut
perlu diapresiasi dan disambut dengan positif, mengingat semangat yang melandasi
UU tersebut. Meskipun demikian ada beberapa catatan terkait dengan implementasi
UU Permendikbud tersebut:

a) Perluasan Akses dan Jaminan Kepastian

Peningkatkan APK yang dilakukan dengan memperluas akses dan jaminan


kepastian memperoleh pendidikan tinggi bagi masyarakat Indonesia diharapkan
tidak meninggalkan atau menafikan peran PTS. Semangat pemerintah untuk
melakukan "negerinisasi" hendaknya disertai dengan pemberdayaan PTS-PTS
yang ada. Misaluya, pemerintah tidak harus mendirikan PTN baru atau mengubah
PTS menjadi PTN baru (Permendikbud no. 95 tahun 2014), tetapi bisa dengan cara
memberdayakan PTS yang ada di daerah yang bersangkutan. Selain itu,
pengalokasian Beasiswa untuk mahasiswa kurang mampu dari daerah 3T
(tertinggal, terpencil, terluar) juga dapat disalurkan kepada PTS, bukan hanya
kepada PTN.
&
b) Akr~ditasiProgram Studi

UU memberikan ruang untuk membentuk Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM)


dan Pemerintah telah mengeluarkan Pennendikbud no. 87 tahun 2014 tentang
Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi. Namun demikian masih terdapat
pasal yakni pasal 34 dan 39 yang menunjukan diskriminatif antara pembiayaan
LAM Pemerintah dan LAM Masyarakat. Untuk itu APTISI meminta agar (1)
pemerintah memperlakukan Perguruan Tinggi secara sama dan tetap
bertanggungjawab atas pendanaan akreditasi dan reakreditasi sebagaimana yang
berlaku selama ini, sehingga Dewan Penvakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah
perlu menambah anggaran khusus untuk mengimplementasikan proses akreditasi,
(2) mengamandemen Permendikbud no. 87 tahun 2014, dan Permendikbud no. 49
tahun 2014.

c) Akreditasi tidak boleh dijadikan syarat seleksi Calon Pegawai Negeri (CPNS)
Kementrian PAN-RB hams meninjau ulang kebijakan memanfaatkan peringkat
akreditasi A dan B yang dibolehkan mengikuti seleksi menjadi pegawai negeri dan
menetapkan bahwa PNS yang melanjutkan studi hanya diberi izin jika melanjutkan
pada program studi terakreditasi A dan B. Kebijkan ini sangat diskriminatif dan
sangat berdampak tidak baik yang dialami oleh masyarakat di daerah-daerah. Jika
di suatu daerah tertentu tidak ada satupun Proram Studi danlatau Institusi yang
akreditasinya A dan B, maka di daerah tersebut tidak akan ada yang dapat
melamar menjadi pegawai negeri sipil atau tidak dapat melanjutkan studi pada
jenjang yang lebih tinggi.

d) Otonomi

UU Dikti menjamin otonomi perguruan tinggi, baik dalam bidang akademik


maupun non-akademik. Dalam bidang akademik, baik PTN maupun PTS diberikan
otonomi yang penuh, sedangkan dalam bidang non-akademik, yaitu yang
menyangkut tata kelola dilakukan sesuai dengan jenis badan hukumnya, dan tidak
ada lagi penyeragaman. Oleh karena itu, hendaknya pemerintah tidak memberikan
otonomi ini secara setengah hati, artinya desentralisasi-desentralisasi kebijakan
akademik dan tata kelola hendaknya semakin diperluas. Saat ini kecenderungan
sentralisasi dan birokratisasi semakin meningkat.

e) Tanggung jawab Negara

Tanggung jawab negara dalam membiayai pendidikan dipastikan dalam UU Dikti.


Hal ini disamping merupakan amanat konstitusi, juga dimaksudkan untuk
mengupayakan agar bidang pendidikan tinggi tidak terjerumus ke dalam
liberalisasi dan komersialisasi. Hal ini tentu tidak akan tercapai jika
tanggungjawab negara tersebut semata-mata hanya ditafsirkan sebagai
tanggungjwab yang terkait dengan PTN. Negara juga harus tumt bertanggung
jawab untuk menjamin bahwa PTS tetap benvatak nirlaba, dengan catatan negara
juga turut berkontribusi dalam Pembiayaan PTS. Misalkan dengan skema Bantuan
Operasional Perguruan Tinggi Swasta (BOPTS) yang dianggarkan dalam APBN.
f ) Pcrguruan Tir~ggiAsing (PTA)

Dengan dikeluarkanya Permendikbud no. 95 tahun 2014, memungkinkan


keberadaan PTA untuk beroperasi dalam bentuk Commercial Presence dan
mengabai idiologi dan budaya Indonesia. Oleh karena itu, APTISI mengusulkan
agar ketentuan yang akan dikeluarkan oleh DIKTI agar menetapkan syarat yang
ketat. Diantara persyaratan tersebut adalah memenuhi standar pendidikan nasional,
kearifan lokalldaerah, jenis dan program studi, kewajiban untuk kerjasama dengan
perguruan tinggi lokal, kewajiban merekrut dosen lokal, hams bersifat nirlaba dan
keharusan untuk mengembangkan ilmu yang mendukung kepentingan nasional.
Keberadaan PTA tersebut hendaknya diposisikan statusnya sebagai Perguruan
Tinggi Swasta Asing (PTSA) dan hendaknya dijadikan partner bagi PTN dan PTS
dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. Sebaliknya,
keberadaan PTA tersebut diharapkan tidak menyebabkan terpinggirkannya PTS.
Oleh karena itu, PTS harus didorong dan difasilitasi oleh pemerintah untuk
meningkatkan kualitas dari waktu ke waktu.

B. Kelembagaan dan Tata Kelola Perguruan Tinggi

1. Tata Kelola Perguruan Tinggi

a) Pada periode Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) 2010-


2014, banyak dikeluarkan berbagai SE Ditjen Dikti, tentang pelaksanaan
pengelolaan perguruan tinggi yang sifatnya mengatur. Selain itu, mengeluarkan
beberapa Permendikbud sebagai implementasi UU no. 12 tahun 2014. Namun
demikian, setelah dikeluarkannya Permendikbud tersebut masih terjadi
ketidakhati-hatian Kemendikbud. Diantaranya terjadinya perubahan Permen hanya
dalam jangka kurang dari satu tahun, yaitu Permendikbud no. I I tahun 2014
dirubah menjadi Permendikbud no. 81 tahun 2014 tentang Ijazah, Sertifikat
Kompetensi, dan Sertifikasi hofesi Pendidikan Tinggi. Hal ini selain
menunjukkan adanya kesemrawutan tertib hukum pada Kemendikbud, juga
mengindikasikan ketidaksiapan pemerintah khususnya Kemendikbud dalam
mempersiapkan Peraturan Menteri (Permen) yang lebih operasional sebagai
amanah yang tertulis dalam UU no.l2/2012, tentang Pendidikan Tinggi.

Oleh karena itu, APTISI meminta kepada pemerintah baru (1) tidak meneruskan
kebiasaan Kemendikbud maupun Dikti selama ini yang sering muncul dengan
gagasan besar dan mengagumkan tapi tidak membumi dan tidak bisa dilaksanakan
dan (2) bekerja secara profesional dan berhati-hati serta bemsaha melibatkan
stakeholders, seperti APTISI. Dengan demikian APTISI berharap bahwa PP dan
Permen yang akan diterbitkan lebih mengedepankan aspek pembinaan dan
pengawasan terhadap PTS, bukan aspek regulasi yang sangat memberatkan dan
memaksakan kehendak secara sepihak yang terkesan melemahkan PTS.

b) APTISI mengusulkan pada pemerintah baru untuk menetapkan Direktorak


Jenderal Perguruan Tinggi Swasta (Dirjen PTS) pada Kemendikbud dan latau
Kementrian Riset dan Pendidikan Tinggi. Selain itu, Aptisi juga mengusulkan agar
KOPERTIS di wilayah-wilayah tertentu ditambah sesuai dengan perkembangan
jumlah PTS yang dikoordinasikan agar pclayanan terhadap PTS di daerah-daerah
dapat ditingkatkan. APTISI juga mengusulkan agar Koordinator KOPERTIS
dijabat oleh kalangan PTS sendiri, agar dapat memahami masalah-masalah yang
dihadapi oleh PTS.

2. Penerbitan Artikel pada Jurnal lnternasional terindeks tidak terbatas pada Scopus
Salah satu persyaratan untuk menerbitkan artlkel pada jurnal internasional yang terindeks
pada Scopus untuk persyaratan kenaikan jabatan ke Guru Besar dipandang sangat
menyulitkan, dan oleh karenanya perlu ditinjau ulang. Scopus bukan satu-satunya lembaga
yang kredibel dalam mengindeks katya-katya ilmiah y n g berkualitas. Sebaiknya artikel-
artikel yang dimuat dalam jurnal lnternaslonal yang terindeks dalam lembaga lain juga diakui
keberadaannya, seperti Heins, Westlaw, Lexis-Nexis, dan lain-lain.

3 Kebijakan Anggaran Perguruan Tinggi


Kebijakan pemerintah dalam anggaran pendidikan harus memperhatikan prinsip
keadilan hagi PTN dan PTS karena sampai saat ini masih sangat dirasakan kebijakan
penganggaran pemerintah bias ke PTN dan PTS belum memperoleh keadilan. Untuk
itu, diharapkan pemerintah dapat mengalokasikan sebagian dana APBN kepada PTS
dalam rangka pembinaan dan peningkatan kualitas SDM dan program kewirausahaan
di PTS-PTS. Bila pemberian bantuan ini terealisasi maka implikasinya sangat besar
terhadap peningkatan kualitas dan keunggulan bangsa.

11. Masalah Kebangsaan

A. Kesiapan Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015


Pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN 31 Desember 2015 akan mentransformasi
ASEAN sebagai kawasan yang bebas bagi keluar masuknya barang, jasa, investasi, tenaga
kerja trampil dan modal. Pelaksanaan MEA ini memherikan konsekuensi bagi Indonesia
terhadap tingkat persaingan yang semakin terbuka dan tajam, terutama jasa dan salah
satunya bidang pendidikan. Namun demikian untuk menghadapi MEA, Indonesia,
khususnya perguruan tinggi, menghadapi persoalan yang serius karena persoalan daya
saing, khususnya daya saing tenaga kerja Indonesia saat ini masih rendah dibanding
Singapura, Filipina, dan Malaysia. Menurut Asian Productivip Organization (APO), dari
setiap 1.000 tenaga kerja Indonesia hanya ada sekitar 4,3% yang terampil, sedangkan
Filipina 8,3%, Malaysia 32,6% dan Singapura 34,7%.
Kekumng siapan Indonesia menghadapi pelaksanaa MEA hams menjadi perhatian serius
bagi pemerintah, dan khususnya perguruan tinggi sebagai lembaga mencipatakan tenaga
sumber daya insani Indonesia. Sosialisasi dan edukasi ke publik tentang MEA harus lebih
digerakan.

B. Tanggal 20 Oktober 2014, Ir. H. Joko Widodo (Jokowi) telah dilantik menjadi Presiden
Republik Indonesia Periode 2014-2019. Rakyat Indoesia menaruh harapan besar pada
pundak Bapak Joko Widodo utuk membawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik.
APTISI berharap dan berdo'a semoga Bapak Jokowi dapat memenuhi harapan rakyat
dengan memenuhi seluruh janjinya pada masa kampanye yang pro-rakyat. Untuk
keberhasilan program-program pembangunan yang telah dicanangkannya, diharapkan para
menterinya untuk bekerja sccara optimal dcngan memprioritaskan kepentingan bangsa di
atas kepentingan partai politik, kelompok dan pribadinya, serta senantiasa menjaga
integritasnya. Kepada seluruh rakyat Indonesia APTISI menghimbau agar senantiasa
mendukung Pemerintah baru dalam menjalankan program-programnya, terlepas dari
pilihan-pilihan politik pada masa Pemilihan Umum.

C. Salah satu program yang menjadi prioritas Presiden Joko Widodo adalah program
"Revolusi Mental". Program ini perlu untuk diapresiasi dan didukung sepenuhnya oleh
seluruh komponen bangsa termasuk oleh perguruan tinggi swasta, mengingat salah satu
problem bangsa yang sangat serius saat ini adalah penyakit mental bangsa yang
merupakan akar dari berbagai problem bangsa seperti korupsi, kolusi, nepotisme,
penyalahgunaan Narkoba, kejahatan seksual, intoleransi, kerakusan, sifat oportunis, dan
lain-lain. Program ini juga sejalan dengan program pendidikan karakter yang telah dan
sedang dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selama ini. Program
"Revolusi Mental" diharapkan akan memperkuat dan lebih mengefektifkan program
pendidikan karakter, bukan hanya merupakan slogan bombastis semata. Oleh karena itu,
program "Revolusi Mental" ini selain harus dilakukan secara sistemik, juga hendaknya
dijadikan sebagai sebuah gerakan nasional, dan menempatkan Presiden dan Wakil
Presiden sebagai "Role Model."

D. Penyalahgunaan Narkoba: Penyalahgunaan Narkoba di tanah air sudah sampai pada


situasi "gawat darurat" dan merupakan salh satu masalah bangsa yang sangat serius.
Menurut data dari Yayasan Kesatuan Peduli Masyarakat (Kelima) dan GRANAT,
diperkirakan bahwa jumlah pengguna narkoba pada 2012 mencapai 5 juta orang, yang
pada umumnya merupakan generasi muda, termasuk pelajar dan mahasiswa.
Prevalensinya menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, sebagaimana penelitian
BNN dan Puslitkes UI (201 I), pada tahun 201 1 angkanya sebesar 2,2 % dan diperkirakan
naik menjadi 2,56 % pada tahun 2013, dan 2,80 % pada 2015. BNN juga memprediksi
bahwa kerugian ekonomi mencapai Rp. 48,2 trilyun. Setiap hari tidak kurang dari 50
orang meninggal akibat mengkonsumsi Narkoba. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan
upaya sangat serius dan masif dari pemerintah, perguruan tinggi, lembaga pengiat anti
narkoba dan masyarakat luas. Dalam kaitan ini, APTISI mengajak semua PTS peduli pada
masalah ini, dengan memberikan edukasi dan melaksanakan upaya-upaya pencegahan
agar konsumsi rokok dan narkoba bisa ditekan seminimal mungkin.

Demikian pernyataan sikap APTISI hasil RPPP ke 6 di Bandung 23-24 Oktober 2014.
Besar harapan kami dapat menjadi perhatian pemerintah baru Indonesia.

Ketua Umum

Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, Prof. Dr. Suyatno, M.Pd.

Anda mungkin juga menyukai