Anda di halaman 1dari 25

BAB V

WAWASAN NUSANTARA

A. Pengertian Wawasan Nusantara


Kehidupan suatu bangsa dalam pertumbuhan dan perkembangannya dipengaruhi
oleh berbagai faktor yang bersifat timbal balik, baik bersifat fisik maupun yang bersifat
nonfisik. Sejalan dengan pemikiran tersebut suatu bangsa akan berusaha menempatkan
dirinya sehingga dapat mencapai cita-cita nasionalnya secara maksimal. Oleh karena itu,
bangsa yang bersangkutan haruslah memilliki pandangan tentang dirinya dalam hubungan
dengan lingkungan yang memungkinkan berlangsungnya berbangsa.
Bangsa Indonesia dalam kehidupan negaranya memilliki suatu wawasan nasional
yang disebut Wawasan Nusantara. Hakikat Wawasan Nusantara adalah cara pandang yang
utuh dan menyeluruh dalam lingkup nusantara demi kepentingan nasional Indonesia. Atau
dengan pengertian yang lengkap, Wawasan Nusantara adalah cara pandang dan sikap
Bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya yang serba beragam dan bernilai
strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan dengan tetap menghargai dan
menghormati kebhinekaan di dalam setiap aspek kehidupan nasional untuk mencapai tujuan
nasional Indonesia.
Makna yang dapat ditangkap dari pengertian tersebut, bahwa Wawasan Nusantara
mengajarkan kepada kita cara pandang dan sikap yang benar terhadap keberadaan negara
dan bangsa Indonesia yang nota bene diwarnai oleh berbagai-bagai macam perbedaan,
agar dalam kondisi perbedaan itu dapat mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa serta
dapat mencapai tujuan nasional. Adapun persatuan dan kesatuan yang diwujudkan
bukanlah persatuan dan kesatuan yang dibangun di atas penyeragaman, melainkan
persatuan dan kesatuan yang dibangun dengan tetap menghargai terdapatnya perbedaan.

B. Wawasan Nusantara dan Geopolitik


Sebelum melanjutkan pembahasan tentang wawasan nusantara, baik sebagai
fenomena sosial maupun sebagai konsep kewilayahan dan konsep politik/kenegaraan perlu
diuraikan dulu konsep geopilitik dan geostrategi yang melandasi suatu wawasan nasional.
Geopolitik (geo berasal dari bahasa Yunani, yang berarti bumi) adalah politik yang
tidak lepas dari pengaruh letak dan kondisi geografis bumi yang menjadi wilayah hidup.
Dalam hal ini tentu saja manusia yang hidup di atas bumi itulah yang berperan sebagai
penentu terhadap bumi tempatnya berada.
Sebenarnya geopolitik telah dipraktekkan sejak berabad-abad yang lalu tetapi
pengertiannya baru disadari pada abad ke-20. Pada abad ke-19 Friederich Ratzel (1897)

KONSEPSI WAWASAN NUSANTARA 59


mengemukakan geopolitik sebagai pelengkap ilmu bumi politik. Hubungan antara ilmu bumi
politik dan geopolitik baru kemudian dijelaskan oleh Karl Hausofer (1896-1946).
Dalam ilmu bumi politik yang dilaksanakan pada waktu yang lalu, pengertian
geopolitik itu diarahkan kepada pengertian ekspansi (perluasan) wilayah. Hal ini dapat dilihat
dari rumusan Karl Haushofer: “Geopolitik adalah landasan ilmiah bagi tindakan politik dalam
perjuangan demi kelangsungan hidup suatu organisasi negara untuk memperoleh ruang
hidupnya” (lebensraum).
Inti politik ialah kekuatan. Karena penggunaan kekuatan itu sangat penting, perlu ada
pengertian serta pembatasan arti kekuatan dan penggunaannya sesuai dengan nilai-nilai
moral.
Kita mengenal dua macam kekuatan, yaitu kekuatan fisik yang mencakup kekuatan
jasmaniah (fisik belaka) serta kekuatan kesejahteraan material dan kekuatan mental
(agama, ideologi, ilmu). Dalam prakteknya, penggunaan kekuatan fisik terutama oleh
negara-negara besar sering cenderung ke arah politik adu kekuasaan dan adu kekuatan.
Penggunaan kekuatan spiritual sebagai hasil kehidupan agama dan ideologi misalnya,
sering cenderung ke arah politik persuasi melalui diplomasi dan musyawarah.
Friederich Ratzel mengatakan bahwa dalam hal-hal tertentu negara dapat disamakan
dengan suatu organisme. Menurut keyakinannya, struktur politik dan geografi dapat
dibandingkan dengan organisme biologis.
Inti pendapat Ratzel ialah konsep ruang yang ditempati oleh kelompok-kelompok
politik. Ia mencoba terus mengembangkan “hukum” tentang ekspansi negara-negara.
Menurut “hukum” itu perkembangan kebudayaan yang terwujud dalam bentuk gagasan,
kegiatan perutusan, dan produksi harus diimbangi dengan pemekaran (perluasan) wilayah.
Untuk membuktikan keunggulannya negara harus dapat mengambil dan menguasai satuan-
satuan politik yang berdekatan terutama yang bernilai ekonomis dan strategis. Menurut
pandangan ini, dalam perjuangan mempertahankan kelangsungan hidup suatu bangsa,
hukum alam tetap berlaku: hanya yang unggul dapat bertahan dan hidup terus (survival of
the fittest).
Ratzel berpendapat bahwa sebagai organisme, negara mengalami siklus hidup
seperti manusia: lahir, tumbuh berkembang, mencapai puncak kemudian menyusut dan
mati. Sesuai dengan siklus tersebut, batas-batas negara hanya bersifat sementara: jika
ruang hidup suatu negara sudah tidak sesuai lagi dengan keperluan negara/bangsa, bangsa
itu dapat mengubah batas-batasnya, dengan jalan damai atau dengan jalan kekerasan
melalui perang. (Teori Ratzel di atas disebut teori ruang).
Rudolf Kjellen kemudian melanjutkan teori Ratzel. Ia mengatakan bahwa negara itu
tidak saja merupakan suatu organisme, tetapi juga memilliki kemampuan intelektual. Kjellen

KONSEPSI WAWASAN NUSANTARA 60


merumuskan negara dalam suatu sistem politik yang mencakup bidang-bidang geopolitik,
ekonomi politik, demopolitik dan kratopolitik.
Dalam mengejar kekuatan, negara tidak boleh hanya mengikuti hukum ekspansi saja
atau bergantung kepada pembekalan luar; suatu negara harus mampu berswasembada
serta memanfaatkan kemajuan kebudayaan dan teknologinya. Artinya, negara harus dapat
meningkatkan kekuatan nasionalnya. Pengembangan kekuatan nasional itu bertujuan:
1) Ke dalam, untuk mencapai persatuan dan kesatuan yang harmonis.
2) Ke luar, untuk memperoleh batas-batas negara yang lebih baik.
Selanjutnya, mengenai perebutan kekuatan kontinental dan maritim, Kjellen
berpendapat bahwa pada akhirnya kekuatan kontinental dapat mengalahkan kekuatan
maritim dan memperoleh kekuasaan pengawasan di lautan juga.
Karl Haushofer menjadikan geopolitik sebagai ajaran politik yang meliputi ajaran-
ajaran ekspansionisme dari Nazi Jerman dengan bentuk- bentuk ajaran politik geografi,
menitikberatkan pada soal-soal strategi perbatasan, ruang hidup bangsa, dan tekanan-
tekanan rasial, ekonomi dan sosial sebagai faktor-faktor yang mengharuskan pembagian
baru dari kekayaan alam dunia.
Pokok-pokok teori Karl Haushofer yang didasarkan pada pandangan Ratzel dan
Kjellen:
1) Kekuasaan imperium daratan yang kompak akan mengejar kekuasaan imperium
maritim dan akan menguasai pengawasan di lautan.
2) Beberapa negara besar di dunia akan timbul (Jerman, Italia, Jepang) dan akan
menguasai Eropa, Afrika, dan Asia Barat.
Ajaran Karl Haushofer berkembang pesat dan mencapai puncaknya ketika Jerman di
bawah kekuasan Adolf Hitler. Di Asia ajaran itu dikembangkan di Jepang dalam Hoko Ichiu
yang dilandasi semangat milliterisme dan fasisme.
Sehubungan dengan konsep geopolitik dan geostrategi, perlu pula diketahui
beberapa konsep kekuatan.
1) Konsep kekuatan di darat (Wawasan Benua) yang dikemukakan oleh Sir Halford
Mackinder (1861-1947) dan Karl Haushofer. Menurut pendapat mereka, negara yang
menguasai daerah jantung (Erasia) akan menguasai pulau dunia dan yang dapat
menguasai pulau dunia akan menguasai dunia.
2) Konsep kekuatan di lautan (Wawasan Bahari) yang dikemukakan oleh Sir Walter
Raleigh (1554-1618) dan Alferd Thayer Mahan. Menurut pendapat mereka, negara yang
menguasai lautan akan menguasai perdagangan. Menguasai perdagangan berarti
menguasai dunia.
3) Konsep kekuatan di udara (Wawasan Dirgantara); dicetuskan oleh Mitchell (1877-1946),
A. Savensky (1894-...), Guilio Douchet (1869-1930), dan J.F. Charles Fuller (1878-....).

KONSEPSI WAWASAN NUSANTARA 61


Menurut konsep ini kekuatan di udara merupakan daya tangkis yang ampuh terhadap
segala ancaman.
4) Teori daerah batas (Rimland) dari Nicholas Spykman merupakan wawasan gabungan
yang banyak diikuti oleh ahli geopolitik/ geostartegi dan negarawan dalam menyusun
kekuatan negara dewasa ini.
Pengaruh teori ruang hidup (lebensraum) maupun teori daerah jantung tidak terlepas
dari keinginan membentuk lingkungan atau wilayah pengaruh baru. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa pelaksanaan geopolitik sesudah Perang Dunia II tidak berbeda dengan
yang dilaksanakan sebelumnya.
Bagaimana rumusan bangsa Indonesia tentang geopolitik dan geostrategi? Bangsa
Indonesia tidak dapat menerima rumusan Karl Haushofer dan rumusan-rumusan lain yang
pada prinsipnya sama karena bertentangan dengan Pancasila. Bagi bangsa Indonesia,
geopolitik merupakan pandangan baru dalam mempertimbangkan faktor-faktor geografis
wilayah negara untuk mencapai tujuan nasionalnya. Jelasnya, Geopolitik adalah
kebijaksanaan dalam rangka mencapai tujuan nasional dengan memanfaatkan keuntungan
letak geografis negara berdasarkan pengetahuan ilmiah tentang kondisi geografis tersebut.
Sedangkan Geostrategi ialah kebijaksanaan dalam menentukan tujuan-tujuan dan sarana-
sarana, serta cara penggunaan sarana-sarana tersebut guna mencapai tujuan nasional
dengan memanfaatkan konstelasi geografis negara.
Geopolitik Indonesia dikembangkan sesuai dengan Pancasila, sehingga tidak
mengandung unsur-unsur ekspansionisme maupun kekerasan. Geopolitik dan geostrategi
bagi bangsa Indonesia hanya merupakan pembenaran dari kepentingan-kepentingan dan
cita-cita nasional. Agar berhasil guna, bangsa Indonesia harus memilliki kemampuan-
kemampuan statis maupun dinamis di bidang kesejahteraan dan keamanan.

1. Dasar pemirikan Historis dan Yuridis Formal: Perkembangan Konsep Wawasan


Nusantara
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, oleh
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) telah ditetapkan Undang-Undang Dasar
Negara yang kemudian dikenal dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun berkenaan
dengan wilayah negara, UUD 1945 tidak menentukan batas-batas wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Di dalam Pembukaan UUD 1945 hanya tercantum “segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Dengan demikian, ketentuan ordonansi
tahun 1939 tentang batas-batas laut wilayah masih berlaku. Teritorial-Zee en Maritieme
Kringen Ordonantie 1939 menentukan lebar laut wilayah Hindia-Belanda adalah 3 mill diukur
dari garis air rendah di pantai setiap pulau. Dalam pekembangan selanjutnya, disadari
bahwa ketentuan itu tidak sesuai dengan kepentingan bangsa Indonesia. Sebab dengan

KONSEPSI WAWASAN NUSANTARA 62


wilayah laut teritorial yang hanya 3 mill dari garis air rendah di pantai setiap pulau, antara
satu pulau dengan pulau lainnya terdapat lautan bebas. Hal itu jelas mengganggu
kepentingan negara Indonesia terutama dari segi pertahanan dan keamanan, karena di laut
bebas kapal-kapal asing dapat masuk-keluar setiap saat tanpa ada yang dapat
mempersoalkan, termasuk aparat pertahanan dan keamanan kita.
Menanggapi hal itu pada tanggal 13 Desember 1957 pemerintah Indonesia
mengeluarkan pengumuman mengenai wilayah perairan Indonesia yang kemudian dikenal
sebagai Deklarasi Juanda, yang menetapkan lebar laut wilayah Indonesia menjadi 12 mill,
lebar tersebut diukur dari garis-garis dasar yang menghubungkan titik terluar dari pulau-
pulau terluar dalam wilayah Republik Indonesia dan selanjutnya kita sebut dengan Point to
Point Theory. Pengumuman pemerintah itu kemudian diundangkan di dalam UU No. 4 tahun
1960 tanggal 18 Pebruari 1960 (Lembaran Negara No. 22 tahun 1960), dan dinyatakan
sebagai Ketetapan MPR tahun 1973, 1978, dan 1983, sebagai “Wawasan dalam Mencapai
Tujuan Pembangunan” (lihat GBHN 1983).
Dalam pengumuman pemerintah tanggal 13 Desember 1957, telah ditetapkan Azas
Nusantara, yang memandang nusantara sebagai suatu kesatuan bulat, penerapan asas
tersebut menimbulkan perubahan-perubahan radikal yang sungguh revolusioner dalam tata
kelautan Indonesia.
Tata kelautan menurut Ordonansi 1939 mengikuti asas Pulau Demi Pulau. asas ini
menjadikan Indonesia menjadi pulau-pulau yang masing-masing dibatasi oleh wilayahnya
selebar 3 mill diukur dari pantai pada waktu surut. Dengan demikian, jika jarak antara pulau
dengan pulau lebih dari 6 mill, maka di luar laut-laut wilayah itu akan terdapat jalur laut
bebas dan di atasnya jalur udara bebas. Jalur bebas ini termasuk kekayaan alamnya, dapat
dimanfaatkan secara bebas pula oleh negara mana pun. Asas tersebut sesuai dengan
Hukum Laut Internasional yang berlaku sampai 1951.
Dilihat dari segala aspek kehidupan nasional, di antaranya aspek Hankamnas dan
ekonomi/sosial, tata kelautan itu sangat tidak menguntungkan bangsa dan negara
Indonesia. Anda dapat membayangkan, betapa mudahnya armada negara-negara asing
memasuki dan memanfaatkan jalur bebas itu untuk berbagai kepentingan mereka. Belum
lagi kalau diingat persaingan antar negara-negara dalam mengambil dan memanfaatkan
kekayaan alam dari jalur tersebut: Dapatkah kita memenangkan persaingan itu?
Berdasarkan pertimbangan kesejahteraan dan keamanan untuk menjamin
kepentingan nasional negara Indonesia, pemerintah mengeluarkan pengumuman mengenai
wilayah perairan Republik Indonesia. Asas nusantara yang diterapkan itu memasukkan
kepulauan Indonesia ke dalam satu kesatuan yang bulat utuh. Batas wilayah ditentukan
berdasarkan Point to Point Theory yaitu: dengan menarik garis lurus antara titik terluar pulau
terluar, yang membentuk garis dasar (lihat peta wilayah Republik Indonesia menurut Asas

KONSEPSI WAWASAN NUSANTARA 63


Nusantara). Lautan di sebelah dalam garis dasar tersebut merupakan perairan dalam
Indonesia dan berada di bawah kedaulatan mutlak negara Republik Indonesia.
Asas Nusantara di atas sesuai dengan Archiplegic Principle yang mulai diterima
berlakunya berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Internasional tahun 1951, sehubungan
dengan sengketa perikanan antara Inggris dan Norwegia (Anglo-Norwegian Fisheries Case).
Pada tahun 1969 pemerintah Indonesia mengeluarkan pengumuman tentag landas
kontinen Indonesia sampai kedalaman laut 200 m, yang memuat pokok-pokok sebagai
berikut:
1) Segala sumber kekayaan alam yang terdapat kontinen Indonesia adalah millik eksklusif
negara Republik Indonesia.
2) Pemerintah Indonesia bersedia menyelesaikan dari garis batas landas kontinen dengan
negara-negara tetangga melalui perundingan.
3) Jika tidak ada perjanjian garis batas, maka batas landas kontinen Indonesia ialah suatu
garis yang ditarik di tengah-tengah antara pulau terluar Indonesia dan titik terluar
wilayah negara tetangga.
4) Tuntutan (claim) di atas tidak mempengaruhi sifat dan status perairan di atas landas
kontinen serta udara di atas perairan itu.
Tuntutan melalui pengumuman pemerintah di atas merupakan penerapan pasal 33
ayat 3 UUD 1945.
Kalau dibandingkan isi pengumuman tahun 1957 dan tahun 1969, terlihatlah
perbedaan mengenai sifat konsep nusantara. Konsep tahun 1957 merupakan konsep
kewilayahan, sedang konsep tahun 1969 lebih merupakan konsep politik dan
ketatanegaraan. Selanjutnya pada tahun 1980 Indonesia mengumumkan Zone Ekonomi
Ekslusif Indonesia (ZEEI) selebar 200 mill dari garis dasar.
Perjuangan Indonesia berkenaan dengan penerapan asas nusantara itu berlangsung
selama lebih dari 20 tahun. Tindakan Indonesia menentukan laut teritorial berdasarkan asas
nusantara, pada mulanya mendapat banyak tantangan, terutama dari negara-negara besar
yang memilliki kemampuan teknologi, peralatan, serta modal. Negara-negara itu
kebanyakan menganut paham lautan bebas.
Agar jelas dalam hubungan ini kita bahas dulu beberapa hal yang penting berkenaan
dengan hukum laut. Sejak berabad-abad yang lalu telah dikenal dua anggapan pokok
mengenai hak atas laut:
1) Res Nullius, yang beranggapan bahwa laut itu tidak ada yang memilliki, sehingga dapat
diambil atau dimilliki oleh siapa saja.
2) Res Communis, yang menyatakan bahwa laut itu millik bersama masyarakat dunia,
sehingga tidak dapat diambil atau dimilliki oleh siapa pun.

KONSEPSI WAWASAN NUSANTARA 64


Pada awal abad ke-17 (1609) Grotius, seorang ahli hukum bangsa Belanda,
mengemukakan tulisan Mare Liberum (lautan bebas) yang mengatakan bahwa “laut tidak
dapat dijadikan millik suatu negara karena tidak dapat dikuasai dengan tindakan okupasi,
sehingga dengan demikian, menurut sifatnya, laut adalah bebas dari kedaulatan mana pun”.
Tulisan itu ditentang oleh J. Seldon dari Inggris yang menulis Mare Clausum (lautan
tertutup), yang menyatakan bahwa lautan itu dapat dikuasai oleh suatu negara. Tentu saja,
tulisan-tulisan itu ditulis untuk kepentingan negara/bangsa masing-masing.
Dalam kenyataan sejarah, kita lihat memang ada negara-negara yang menyatakan
pemillikannya atas laut tertentu (Portugis, Spanyol, Venisia, Genoa, Swedia, Denmark),
meskipun sampai batas-batas tertentu harus memperhitungkan kebebasan berlayar bagi
bangsa lain. Pada abad-abad berikutnya diakui hak pemillikan atas laut selebar 3 mill
sepanjang pantai. Dalam praktek selanjutnya penentuan lebar laut wilayah ini diikuti dengan
penentang jalur tambahan (contiguous zone) untuk berbagai keperluan (perikanan,
kesehatan, netralitas, Hankam, Yurisdiksi kriminal, Yurisdiksi sipil). Lebar laut tambahan ini
sangat beragam. Amerika Serikat misalnya, menentukan lebar beratur-ratus mill.
Pengumuman Pemerintah tanggal 13 Desember 1957 dibawa ke Konferensi Hukum
Laut PBB I/1958. Kebanyakan delegasi dari negara-negara lain kurang dapat memahami
permasalahan dan argumentasi Indonesia, karena soalnya memang baru. Kemudian
pengumuman itu dituangkan ke dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU (PERPU) yang
dengan UU No. 1 tahun 1961 (Lembaran Negara No. 3/61), ditetapkan menjadi UU No.
4/Prp tahun 1960. Dengan demikian tersusunlah suatu tata lautan Indonesia menurut hukum
nasional.
Pada tahun 1960 rumusan-rumusan hukum dalam PERPU No. 4/1960 itu dibawa ke
Konperensi Hukum Laut PBB II di Jenewa. Konferensi ini juga belum mampu memberikan
pengesahan terhadap “asas negara nusantara” yang diterapkan oleh Indonesia. Pada
tanggal 25 Juli 1962 pemerintah mengundangkan PP No. 8/1962 tentang “Lalu-lintas laut
damai kendaraan air asing dalam perairan Indonesia”.
Sementara itu, di bidang pertahanan keamanan, sebagai pengaruh konsep-konsep
kekuatan yang ada, dianut wawasan yang berdiri sendiri-sendiri. Angkatan Darat memilliki
Wawasan Buana, Angkatan Laut memilliki Wawasan Bahari, Angkatan Udara memilliki
Wawasan Dirgantara. Hal ini pernah mengakibatkan pergeseran kekuatan di antara
angkatan-angkatan itu, yang tentu saja sangat membahayakan negara. Karena itu pimpinan
negara dan ABRI segera mengambil tindakan. Pada tahun 1966 diadakan seminar Hankam
I yang mengintegrasikan Angkatan darat, Laut, Udara, dan POLRI ke dalam satu wawasan
berdasarkan kebulatan dan keutuhan wilayah. Wawasan ini disebut “Wawasan Nusantara”.
Pada seminar inilah nama Wawasan Nusantara mulai dipergunakan. Wawasan Nusantara
dinyatakan sebagai Wawasan Hankamnas.

KONSEPSI WAWASAN NUSANTARA 65


Wawasan tersebut mencakup lima pokok perwujudan kepulauan nusantara sebagai
satu kesatuan wilayah, satu kesatuan politik, satu kesatuan ekonomi, satu kesatuan sosial-
budaya, dan satu kesatuan pertahanan keamanan. Wawasan itu kemudian dijabarkan ke
dalam “Rumusan Lemhanas” tahun 1972. Selanjutnya, dalam Ketetapan No. IV MPR tahun
1973, Ketetapan No. IV MPR tahun 1983 Wawasan Nusantara dinyatakan sebagai
Wawasan Pembangunan.
Perjuangan wawasan nusantara di dunia internasional ditingkatkan, terutama
sesudah Indonesia pada tahun 1971 menjadi anggota penuh Commite on the Peaceful Uses
of the Sea-Bed and the Ocean Floor beyond the Limits of National Jurisdiction yang
merupakan badan persiapan Konferensi Hukum Laut PBB II. Asas negara
kepulauan/wawasan nusantara makin luas dikenal dan makin banyak memperoleh
dukungan.
Indonesia belum berhasil sepenuhnya dalam perjuangan di dunia internasional,
namun sementara itu beberapa perjanjian berhasil diadakan:
1) Perjanjian Republik Indonesia-Malaysia di Kuala Lumpur pada tanggal 27 Oktober 1969,
mengenai landas kontinen Selat Malaka dan Laut Natuna (Laut Cina Selatan); berlaku
mulai tanggal 7 November 1969.
2) Republik Indonesia-Thailand, di Bangkok tanggal 17 Desember 1971, mengenai landas
kontinen Selat Malaka Utara dan Laut Andaman; berlaku mulai 7 April 1972.
3) Republik Indonesia-Malaysia dan Thailand, di Kuala Lumpur tanggal 21 Desember
1971, mengenai landas kontinen Selat Malaka bagian Utara; berlaku mulai tanggal 16
Juli 1973.
4) Republik Indonesia-Australia, di Canbera tanggal 18 Mei 1971, mengenai penetapan
garis batas dasar laut tertentu (Laut Arafuru dan daerah Utara Irian Jaya-Papua Nugini).
5) Republik Indonesia-Singapura, di Jakarta tanggal 25 Mei 1973, mengenai penetapan
garis batas laut wilayah; berlaku sejak tanggal 30 Agustus 1974.
6) Republik Indonesia-India, di Jakarta tanggal 8 Agustus 1974; mengenai garis batas
landas kontinen Laut Andaman; berlaku sesudah penandatanganan.
7) Republik Indonesia-Australia, di Jakarta tanggal 9 Oktober 1973, mengenai penetapan
garis batas daerah-daerah dasar laut di Selatan pulau Tanimbar dan pulau Timer;
berlaku mulai tanggal 8 November 1973.
Pada tanggal 21 Maret 1980, pemerintah Indonesia mengumumkan Zone Ekonomi
Ekslusif Indonesia (ZEEI) selebar 200 mill diukur dari garis dasar. Pengumuman Pemerintah
ini disahkan dengan UU RI No. 5/1983 tanggal 18-11-1983. Ini berarti bahwa segala sumber
hayati yang terdapat di bawah permukaan laut, di dasar laut, dan di bawah laut menjadi hak
eksklusif negara Republik Indonesia. Akibatnya penangkapan ikan oleh kapal-kapal asing

KONSEPSI WAWASAN NUSANTARA 66


menjadi terbatas daerahnya dan segala kegiatan penelitian, eksplorasi, dan eksploitasi
harus memperoleh izin pemerintah Republik Indonesia.
Tindakan sehubungan dengan ZEEI itu dilakukan berdasarkan beberapa
pertimbangan. Menurut perkiraan, pada tahun 2000 penduduk dunia akan berlipat
jumlahnya sehingga kebutuhan ikan meningkat, sedangkan hasil perikanan tidak
mencukupi. Sebagai negara pantai yang masih berkembang, negara Indonesia merasa
perlu melindungi sumber-sumber hayati yang berada di luar wilayahnya, untuk menjamin
kebutuhan bangsa Indonesia pada masa yang akan datang.
Pada tahun 1982 Konvensi Hukum Laut memberikan perluasan yurisdiksi negara-
negara pantai di lautan bebas. Azas Zone Ekonomi Eksklusif diterima. Hal lain yang sangat
menguntungkan Indonesia dari konvensi tersebut ialah diterimanya asas nusantara sebagai
asas hukum internasional. Hasil konvensi tersebut disahkan pada bulan Agustus 1983
dalam seminar Konvensi Hukum Laut Internasional di New York.
Dengan demikian, sahlah rumusan “Negara Republik Indonesia adalah satu
kesatuan wilayah laut yang di dalamnya terhampar 17.508 buah pulau besar dan kecil
sebagai satu kewilayahan darat dan dinaungi oleh satu kesatuan wilayah udara”. (Lihat
peta).
Satu hal lagi yang perlu dibahas sehubungan dengan konsep kewilayahan ialah yang
berhubungan dengan kedaulatan atas ruang udara. Dalam hal ini ada beberapa teori:
1) Teori udara bebas (The Air Freedom Theory): Udara bersifat bebas, tidak dimilliki oleh
negara tertentu.
2) Teori kedaulatan udara (The Air Seuvereignity Theory): Negara berkedaulatan atas
ruang udara di atas wilayah negara.
Pengikut teori bebas terbagi menjadi tiga kelompok aliran:
(1) Kebebasan udara tanpa batas: ruang udara dapat digunakan oleh siapa pun, tidak ada
yang berhak memillikinya.
(2) Kebebasan udara dengan hak khusus negara kolong: negara kolong mempunyai hak-
hak khusus yang tidak tergantung pada ketinggian. Pada pertemuan di Gent negara-
negara penganut aliran ini memutuskan bahwa negara tidak mempunyai hak apa pun
pada waktu perang atau damai; negara kolong hanya dapat mengatur segala sesuatu
yang berhubungan dengan kelangsungan hidupnya.
(3) Kebebasan dalam udara dengan penetapan wilayah/zone teritorial bagi negara kolong
untuk melaksanakan haknya.
Penganut teori kedaulatan udara terkelompok dalam pendapat-pendapat:
(1) Negara kolong berdaulat penuh, hanya dibatasi oleh ketinggian tertentu di ruang udara.
(2) Negara kolong berdaulat penuh, tetapi dibatasi oleh hak lintas damai bagi pesawat
negara asing.

KONSEPSI WAWASAN NUSANTARA 67


(3) Negara kolong berdaulat penuh tanpa batas ke atas.
Konvensi Chicago tahun 1944 menetapkan pengertian ruang udara sebagai jalur
ruang udara di atmosfer yang berisi cukup udara yang memungkinkan pesawat udara
bergerak. Jarak ketinggian kedaulatan negara di atmosfer ditentukan oleh kesanggupan
pesawat udara mencapai ketinggian. Dengan demikian, batas tersebut berubah sesuai
dengan kemajuan teknologi. Sehubungan dengan hal ini dikenal teori penguasan Cooper,
yang mengemukakan bahwa negara dapat menguasai ruang udara sesuai dengan
kemampuannya. Hal ini didasarkan atas ketetapan hukum Konvensi Chicago yang tidak
memberikan batas penguasaan udara. Ruang udara di atas laut lepas, bebas untuk segala
macam penerbangan. Akan tetapi, teori ruang udara Schachter menyatakan bahwa
ketinggian yang dapat dicapai penerbangan oleh manusia ialah 40 mill.
Untuk menentukan batas wilayah udara itu, dikemukakan berebapa cara. Indonesia
mengikuti sistem cerobong. Batas wilayah ditarik vertikal dari batas wilayah ke bawah dan
ke atas (lihat lampiran).

2. Dasar Pemikiran dari Segi Kepentingan Nasional


Sebagai bangsa yang telah menegara, bangsa Indonesia selalu berusaha
mempertahankan kelangsungan hidupnya. Penyelenggaraan kelangsungan hidup itu
dipandang sebagai suatu kebulatan yang utuh dan menyeluruh sesuai dengan prinsip
kesatuan dan keseimbangan Pancasila. Penyelenggaraan kelangsungan hidup sesuai
dengan prinsip Pancasila itu merupakan penyelenggaraan dan jaminan atas kepentingan
Indonesia. Untuk itu diperlukan suatu cara pandang yang utuh menyeluruh. Cara pandang
ini adalah wawasan nusantara.
Letak dan keadaan negara Indonesia mempengaruhi pula aspek-aspek kehidupan
sosial. Peristiwa yang terjadi sejak jaman prasejarah sampai akhir-akhir ini memberikan ciri-
ciri tertentu pada bangsa Indonesia sekarang.
Perhatikanlah kata-kata berikut: meja, jendela, bendera, bahasa, nirwana, antariksa,
puasa, aljabar, kudus, derajat, unsur, aspek, fakta, trayek, tahu, tongkang, dsb. Kata-kata
tersebut berasal dari bermacam-macam bahasa asing yang terserap ke dalam bahasa
Indonesia. Perhatikan juga tarian-tarian dan lagu-lagu dari berbagai daerah. Anda akan
mengenali persamaannya dengan tarian dan nyanyian di beberapa negara Asia.
Hal-hal di atas adalah contoh hasil proses akulturasi yang kejadiannya berhubungan
erat dengan letak dan keadaan geografis kepulauan Indonesia.
Akan tetapi pengaruh letak dan keadaan geografis itu tidak hanya berhenti di situ.
Laut di antara pulau-pulau merupakan pintu terbuka untuk masuknya segala bentuk
ancaman baik yang langsung maupun yang tidak langsung membahayakan, yaitu, infiltrasi,
penyelundupan, buronan internasional, lintasan kapal perang, dsb.

KONSEPSI WAWASAN NUSANTARA 68


Pada tanggal 3 Desember 1957 pemerintah mengumumkan politik nasionalisasi
perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia. Tindakan ini menimbulkan protes dari pihak
Belanda. Dengan dalih melindungi kepentingannya di Irian. Belanda mengirimkan kekuatan
lautnya ke sana melalui lautan Indonesia. pelayaran penjelajahan ini dilakukan dengan teliti
karena Belanda tahu dengan tepat jalur laut mana yang merupakan lautan bebas menurut
Ordonasi 1939. peristiwa di atas tidak dapat dibiarkan terus-menerus karena akan
mengganggu kepentingan bangsa Indonesia.

3. Batas Wilayah Indonesia


a. Batas Wilayah Perairan dan Darat
Negara merupakan organisasi masyarakat yang menempati wilayah dengan batas-
batas tertentu dan tunduk pada suatu pemerintahan yang berdaulat. Dari pengertian
tersebut, wilayah dengan batas-batas tertentu merupakan salah satu unsur yang pokok dari
sebuah negara. Wilayah itu umumnya meliputi wilayah darat, wilayah laut, dan wilayah
udara.
Nama “Indonesia” untuk kepulauan nusantara, pertama-tama diperkenalkan oleh J.R.
Logan pada tahun 1850. Negara Indonesia adalah negara kesatuan, yang berbentuk
Republik. Landasan idiilnya adalah Pancasila dan landasan konstitusionalnya adalah UUD
1945. Kedaulatan sepenuhnya di tangan rakyat. Negara Republik Indonesia adalah negara
kepulauan, sebuah Archipologic State.
Sesuai dengan Hukum Laut Internasional yang telah disepakati oleh PBB tahun
1980, batas republik Indonesia dengan negara lain, terdiri dari 3 (tiga) jenis batas laut yaitu:
(1) Batas laut teritorial
(2) Batas landas kontinen
(3) Batas zone ekonomi ekslusif.

b. Batas Laut Teritorial


Batas laut teritorial ditarik dari sebuah garis dasar, dengan jarak 12 mill laut ke luar,
ke arah lautan bebas, sedangkan laut yang terletak pada sebelah dalam garis dasar,
namanya laut pedalaman. Garis dasar, adalah garis khayal, yang menghubungkan titik-titik
dari ujung-ujung pulau-pulau. Jarak titik yang satu ke titik yang terjauh yang boleh
dihubungkan dengan garis dasar, tidak melebihi 200 mill. Oleh sebab itu, antara pulau
Chrismas yang merupakan wilayah Australia dan terletak di sebelah pulau Jawa, tidak boleh
ditarik garis dasar dengan titik mana pun di pantai Australia.

KONSEPSI WAWASAN NUSANTARA 69


c. Batas Landas Kontinen
Batas landas kontinen adalah dasar lautan, baik dari segi geologi maupun segi
morfologi, merupakan kelanjutan dari kontinen atau benuanya. Lautan yang ada di atasnya
adalah lautan yang dangkal (dangkalan) dengan kedalaman tidak lebih dari 150 meter.
Bagian-bagian kepulauan Indonesia terletak pada dua landas kontinen, yaitu landas
kontinen Asia dan landas kontinen Australia.
Batas landas kontinen dari garis dasar tidak tentu jaraknya, tetapi paling jauh 200
mill. Kalau ada dua negara atau lebih menguasai lautan di atas landas kontinen maka batas
antara negara-negara itu ditarik sama jauh dari garis dasar masing-masing. Sebagai contoh,
batas landas kontinen antara Republik Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka sebelah
selatan, selain ditarik di tengah-tengah antara Malaysia dan Republik Indonesia juga
berhimpit dengan batas laut teritorial kedua negara. Batas landas kontinen antara Republik
Indonesia-Malaysia dan Muang Thai di Selat Malaka sebelah utara bertemu dekat titik
dengan koordinat 980 BT – 60 LU.
Kewenangan atau hak sebuah negara dalam wilayah landas kontinen adalah dalam
memanfaatkan sumber daya alam yang terdapat di dalam dan di bawah wilayah landas
kontinen itu. Namun dengan kewajiban untuk tidak mengganggu lalu-lintas pelayaran damai.
Batas landas kontinen di Laut Timur, mempunyai jalur terbuka sampai kepada batas ZEE.
Jalur inilah yang dimaksud dengan Jalur Perikanan (Fishing Corridor).

d. Batas Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE)


Pada jarak 200 mill dari garis dasar ke arah laut bebas, adalah batas Zone Ekonomi
Eksklusif bagi sebuah negara maritim. batas ZEE di samudra Pasifik, antara kepulauan
Karolina dan Maluku Utara masih harus ditetapkan. Kewenangan negara di wilayah ZEE
adalah dalam memanfaatkan sumber daya, baik di laut maupun di bawah dasar laut. Negara
yang bersangkutan memperoleh kesempatan pertama dalam pemanfaatan sumber tersebut.
Kewajibannya adalah untuk menghormati lalu-lintas damai di lautan itu.
Selain ketiga batas di wilayah perairan tersebut di atas, Republik Indonesia memilliki
batas di darat dengan dua negara tetangga, yaitu Irian Jaya dengan Papua Nugini dan
Kalimantan dengan Malaysia Timur. Patok-patok batas antarnegara di Irian Jaya dan Papua
Nugini baru sebanyak 24 buah untuk jarak yang panjangnya kira-kira 900 Km. Di Kalimantan
jalur batas antarnegara masih harus ditegaskan dengan pengukuran. Meskipun di kedua
daerah tersebut tadi jalur perbatasan belum lagi sempurna, namun pos-pos lintas batas
telah ada di beberapa tempat untuk memudahkan masyarakat setempat melaksanakan
hajat hidupnya sehari-hari seperti:
1) pos pengawas perbatasan, di Longbawang, kalimantan Timur.
2) pos pengawas lintas batas, di Entikong di Kalimantan Barat.

KONSEPSI WAWASAN NUSANTARA 70


3) pos lintas batas, di pulau Serasan, Riau kepulauan dekat Kalimantan Barat.

e. Pulau-pulau Terluar
Berdasarkan inventarisasi yang telah dilakukan oleh DISHIDROS TNI AL, terdapat
92 pulau yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, di antaranya :
1) Pulau Simeulucut, Salaut Besar, Rawa, Rusa, Benggala dan Rondo berbatasan dengan
India.
2) Pulau Sentut,, Tokong Malang Baru, Damar, Mangkai, Tokong Nanas, Tokong Belayar,
Tokong Boro, Semiun, Subi Kecil, Kepala, Sebatik, Gosong Makasar, Maratua, Sambit,
Berhala, Batu Mandi, Iyu Kecil, dan Karimun Kecil berbatasan dengan Malaysia.
3) Pulau Nipa, Pelampong, Batu berhenti, dan Nongsa berbatasan dengan Singapura.
4) Pulau Sebetul, Sekatung, dan Senua berbatasan dengan Vietnam.
5) Pulau Lingian, Salando, Dolangan, Bangkit, Manterawu, Makalehi, Kawalusu, Kawio,
Marore, Batu Bawa Ikang, Miangas, Marampit, Intata, kakarutan dan Jiew berbatasan
dengan Filipina.
6) Pulau Dana, Dana (pulau ini tidak sama dengan Pulau Dana yang disebut pertama kali,
terdapat kesamaan nama), Mangudu, Shopialoisa, Barung, Sekel, Panehen, Nusa
Kambangan, Kolepon, Ararkula, Karaweira, Penambulai, Kultubai Utara, Kultubai
Selatan, Karang, Enu, Batugoyan, Larat, Asutubun, Selaru, Batarkusu, Masela dan
Meatimiarang berbatasan dengan Australia.
7) Pulau Leti, Kisar, Wetar, Liran, Alor, dan Batek berbatasan dengan Timor Leste.
8) Pulau Budd, Fani, Miossu, Fanildo, Bras, Bepondo danLiki berbatasan dengan Palau.
9) Pulau Laag berbatasan dengan Papua Nugini.
10) Pulau Manuk, Deli, Batu Kecil, Enggano, Mega, Sibarubaru, Sinyaunau, Simuk dan
wunga berbatasan dengan samudra Hindia.
Diantara 92 pulau terluar ini, ada 12 pulau yang harus mendapatkan perhatian serius
dintaranya:
1) Pulau Rondo
Pulau Rondo terletak di ujung barat laut Propinsi Nangro Aceh Darussalam (NAD).
Disini terdapat Titik dasar TD 177. Pulau ini adalah pulau terluar di sebelah barat
wilayah Indonesia yang berbatasan dengan perairan India.
2) Pulau Berhala
Pulau Berhala terletak di perairan timur Sumatera Utara yang berbatasan langsung
dengan Malaysia. Di tempat ini terdapat Titik Dasar TD 184. Pulau ini menjadi sangat
penting karena menjadi pulau terluar Indonesia di Selat Malaka, salah satu selat yang
sangat ramai karena merupakan jalur pelayaran internasional.

KONSEPSI WAWASAN NUSANTARA 71


3) Pulau Nipa
Pulau Nipa adalah salah satu pulau yang berbatasan langsung dengan Singapura.
Secara Administratif pulau ini masuk kedalam wilayah Kelurahan Pemping Kecamatan
Belakang Padang Kota Batam Propinsi Kepulauan Riau. Pulau Nipa ini tiba tiba menjadi
terkenal karena beredarnya isu mengenai hilangnya/tenggelamnya pulau ini atau
hilangnya titik dasar yang ada di pulau tersebut. Hal ini memicu anggapan bahwa luas
wilayah Indonesia semakin sempit. Pada kenyataanya, Pulau Nipa memang mengalami
abrasi serius akibat penambangan pasir laut di sekitarnya. Pasir pasir ini kemudian
dijual untuk reklamasi pantai Singapura. Kondisi pulau yang berada di Selat Philip serta
berbatasan langsung dengan Singapura disebelah utaranya ini sangat rawan dan
memprihatinkan. Pada saat air pasang maka wilayah Pulau Nipa hanya tediri dari Suar
Nipa, beberapa pohon bakau dan tanggul yang menahan terjadinya abrasi. Pulau Nipa
merupakan batas laut antara Indonesia dan Singapura sejak 1973, dimana terdapat
Titik Referensi (TR 190) yang menjadi dasar pengukuran dan penentuan media line
antara Indonesia dan Singapura. Hilangnya titik referensi ini dikhawatirkan akan
menggeser batas wilayah NKRI. Pemerintah melalui DISHIDROS TNI baru-baru ini
telah menanam 1000 pohon bakau, melakukan reklamasi dan telah melakukan
pemetaan ulang di pulau ini, termasuk pemindahan Suar Nipa (yang dulunya tergenang
air) ke tempat yang lebih tinggi.
4) Pulau Sekatung
Pulau ini merupakan pulau terluar Propinsi Kepulauan Riau di sebelah utara dan
berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD
030 yang menjadi Titik Dasar dalam pengukuran dan penetapan batas Indonesia
dengan Vietnam.
5) Pulau Marore
Pulau ini terletak di bagian utara Propinsi Sulawesi Utara, berbatasan langsung dengan
Mindanau Filipina. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 055.
6) Pulau Miangas
Pulau ini terletak di bagian utara Propinsi Sulawesi Utara, berbatasan langsung dengan
Pulau Mindanau Filipina. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 056.
7) Pulau Fani
Pulau ini terletak Kepulauan Asia, Barat Laut Kepala Burung Propinsi Irian Jaya Barat,
berbatasan langsung dengan Negara kepulauanPalau. Di pulau ini terdapat Titik Dasar
TD 066.

KONSEPSI WAWASAN NUSANTARA 72


8) Pulau Fanildo
Pulau ini terletak di Kepulauan Asia, Barat Laut Kepala Burung Propinsi Irian Jaya
Barat, berbatasan langsung dengan Negara kepulauanPalau. Di pulau ini terdapat Titik
Dasar TD 072.
9) Pulau Bras
Pulau ini terletak di Kepulauan Asia, Barat Laut Kepala Burung Propinsi Irian Jaya
Barat, berbatasan langsung dengan Negara Kepualuan Palau. Di pulau ini terdapat Titik
Dasar TD 072A.
10) Pulau Batek
Pulau ini terletak di Selat Ombai, Di pantai utara Nusa Tenggara Timur dan Oecussi
Timor Leste. Dari Data yang penulis pegang, di pulau ini belum ada Titik Dasar
11) Pulau Marampit
Pulau ini terletak di bagian utara Propinsi Sulawesi Utara, berbatasan langsung dengan
Pulau Mindanau Filipina. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 057.
12) Pulau Dana
Pulau ini terletak di bagian selatan Propinsi Nusa Tenggara Timur, berbatasan langsung
dengan Pulau Karang Ashmore Australia. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 121.

C. Latar Belakang Pemikiran Wawasan Nusantara


1. Aspek Kewilayahan Nusantara
Geografi adalah wilayah yang tersedia dan terbentuk secara alamiah, demikian
adanya oleh alam nyata. Kondisi obyektif geografis sebagai modal dalam pembentukan
suatu negara, merupakan suatu ruang atau wadah yang harus dipedomani sebagai ruang
gerak hidup dan kehidupan suatu yang didalamnya terdapat sumber kekayaan alam dan
insan manusianya atau penduduk yang bermukim di wilayah tersebut berpengaruh terhadap
pengambilan keputusan/kebijaksanaan politik suatu negara, oleh karena itu dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, geografis merupakan suatu fenomena yang mutlak
diperhitungkan baik fungsi maupun pengaruhnya terhadap sikap dan tata laku negara yang
bersangkutan. Demikian pula sebaliknya perlu diperhitungkan dampak sikap dan tata laku
negara terhadap geografis sebagai tata hubungan antara manusia dan wadah
lingkungannya.
Kondisi obyektif geografi Nusantara yang merupakan untaian ribuan pulau-pulau
yang tersebar dan terbentang di khatulistiwa serta terletak pada posisi silang yang sangat
strategis, memilliki karakteristik atau watak yang berbeda dengan negara lainnya. Wilayah
Indonesia pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 masih berlaku
“Territoriale Zee En Maritime Kringen Ordonantie” tahun 1939, dimana lebar laut wilayah
Indonesia adalah 3 mill diukur dari garis air rendah dari masing-masing pantai pulau

KONSEPSI WAWASAN NUSANTARA 73


Indonesia. Penetapan lebar wilayah laut 3 mill tersebut tidak menjamin kesatuan wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini lebih terasa lagi bila dihadapkan kepada
pergolakan-pergolakan dalam negeri pada saat itu dan mengingat keadaan lingkungan
alamnya maka persatuan bangsa dan kesatuan wilayah negara menjadi tuntutan utama bagi
terwujudnya kemakmuran dan keamanan yang berlanjut. Atas pertimbangan tersebut maka
dimaklumkanlah “Deklarasi Djuanda” pada tanggal 13 Desember 1957, yang berbunyi:
“...berdasarkan pertimbangan-pertimbangan maka pemerintah menyatakan bahwa
segala perairan disekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang
termasuk negara Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah
bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan negara Indonesia dengan
demikian bagian daripada perairan pedalaman atau nasional yang berada di bawah
kedaulatan mutlak negara Indonesia. Lalu lintas yang damai diperairan pedalaman
ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan
dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Penentuan
batas lautan teritorial (yang lebarnya 12 mill) diukur dari garis yang menghubungkan
titik-titik ujung yang terluar pada pulau-pulau negara Indonesia, ....”

Deklarasi ini menyatakan bahwa bentuk geografi Indonesia merupakan negara


kepulauan yang terdiri atas ribuan pulau besar dan kecil dengan sifat dan corak tersendiri.
Juga dinyatakan demi keutuhan teritorial dan untuk melindungi kekayaan negara yang
terkandung di dalamnya maka pulau-pulau serta laut yang ada diantaranya haruslah
dianggap sebagai suatu kesatuan yang bulat dan utuh. Untuk mengukuhkan asas negara
kepulauan ini ditetapkanlah Undang-Undang Nomor: 4/Prp tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia.
Maka sejak itu berubahlah luas wilayah dari ± 2 juta Km2 menjadi ± 5 juta Km2
dimana ± 65% wilayahnya terdiri dari laut/perairan, oleh karena itu tidaklah mustahil bila
negara Indonesia juga dikenal sebagai negara kepulauan (negara maritim). Sedangkan
yang ± 35% lagi adalah daratan yang terdiri dari 17.508 buah pulau yang antara lain berupa
5 (lima) buah pulau besar, yakni: Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi dan Irian Jaya
(Papua), ± 11.808 pulau-pulau kecil belum semua diberi (ada) namanya, dengan luas
daratan dari seluruh pulau-pulau tadi ± 2.028.087 km2 dengan panjang pantai 81.000 km
dan topografi daratannya merupakan pegunungan dengan gunung-gunung berapi, baik
yang masih aktif maupun yang sudah tidak aktif lagi.
Sekarang pengertian kata Nusantara ialah kepulauan Indonesia yang terdiri dari
17.508 pulau besar maupun kecil dan diantara batas astronomis sebagai berikut:
Utara : ± 060 08' LU
Selatan : ± 110 15' LS

KONSEPSI WAWASAN NUSANTARA 74


Barat : ± 940 45' BT
Timur : ± 1410 05' BT
Dan jarak Utara - Selatan ± 1.888 km
Barat - Timur ± 5.110 km

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat gambar dibawah ini.

Tambahkan Gambar

PETA POLITIK WILAYAH REPUBLIK INDONESIA s.d. 13 DESEMBER 1957


Bentuk dan luas wilayah Nusantara pada saat masih berlakunya “Territoriale Zee En
Maritieme Kringen Ordinantie” tahun 1939 warisan perundang-undangan Kolonial.
DASAR HUKUM
TZMKO TAHUN 1939 NO. 442

Tambahkan Gambar

PETA POLITIK WILAYAH REPUBLIK INDONESIA


DARI 13 DESEMBER 1957 s.d. 17 FEBRUARI 1969
Bentuk dan luas kedaulatan wilayah Nusantara sejak “Deklarasi Djuanda 1957”
DASAR HUKUM
DEKLARASI JUANDA 1957
UU NO. 4 PRP 1960

KONSEPSI WAWASAN NUSANTARA 75


Melalui konferensi PBB tentang Hukum Laut Internasional yang ketiga tahun 1982,
maka Pokok-pokok asas negara kepulauan diakui dan dicantumkan dalam UNCLOS 82
(United Nation Convention on the Law Of the Sea atau Konvensi Perserikatan Bangsa
Bangsa Tentang Hukum Laut).
Indonesia meratifikasi UNCLOS 82 tersebut melalui Undang-Undang No. 17 tahun
1985 pada tanggal 31 Desember 1985, dan sejak tanggal 16 Nopember 1993 UNCLOS 82
telah diratifikasi oleh 60 negara sehingga menjadi hukum positif sejak 16 Nopember 1994.

Tambahkan Gambar

PETA POLITIK WILAYAH RI S/D DESEMBER 1999

DASAR HUKUM
- PENGUMUMAN PEMERINTAH RI TAHUN 1969 TENTANG LANDAS KONTINEN
- UU NO. 1 TAHUN 1973
- UNCLOS TAHUN 1982
- UU NO. 17 TAHUN 1985

Tambahkan Gambar

PETA POLITIK WILAYAH RI


DARI DESEMBER 1999 S/D SEKARANG

KONSEPSI WAWASAN NUSANTARA 76


DASAR HUKUM
- PENGUMUMAN PEMERINTAH RI TAHUN 1969 TENTANG LANDAS KONTINEN
- UU NO. 1 TAHUN 1973
- UNCLOS 1982
- UU NO. 17 TAHUN 1985

Berlakunya UNCLOS 82 akan berpengaruh dalam upaya pemanfaatan laut bagi


kepentingan kesejahteraan seperti bertambah luasnya Zone Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan
Landas Kontinen Indonesia. Satu segi UNCLOS 82 memberikan keuntungan bagi
pembangunan nasional adalah bertambah luasnya perairan yurisdiksi nasional berikut
kekayaan alam yang terkandung di laut dan dasar lautnya, serta terbukanya peluang untuk
memanfaatkan laut sebagai medium transportasi, namun dari segi lain potensi
kerawanannya bertambah besar pula. Dengan telah dikukuhkannya wilayah darat dan laut
atau perairan, maka sebagaimana perjuangan tersebut, perjuangan bangsa Indonesia
selanjtnya adalah menegakkan kedaulatan di dirgantara yakni: wilayah Indonesia secara
vertikal, terutama dalam rangka memanfaatkan wilayah Geo Stationary Orbit (GSO) yang
dapat dijadikan kepentingan ekonomi maupun Hankam. Untuk memberikan gambaran
wilayah GSO Indonesia, maka dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Tambahkan Gambar

GAMBAR GSO INDONESIA


DAN BATAS DIRGANTARA NASIONAL

KONSEPSI WAWASAN NUSANTARA 77


Kondisi dan konstelasi geografi Indonesia yang mengandung beraneka ragam
kekayaan alam baik yang berada di dalam maupun di atas permukaan bumi serta potensi di
udara dan ruang angkasa, dengan jumlah penduduk yang besar, terdiri dari berbagai suku
yang memilliki budaya dan tradisi, serta pola kehidupan yang beraneka ragam.
Dengan demikian secara kontekstual, geografi Indonesia mengandung keunggulan
namun juga kelemahan/kerawanan, oleh karena itu kondisi dan konstelasi geografi ini harus
dicermati secara utuh menyeluruh dalam merumuskan kebijakan politik yang disebut
Geopolitik Indonesia. Dengan kata lain setiap perumus kebijakan nasional harus memilliki
wawasan kewilayahan atau ruang lingkup bangsa yang diatur politik ketatanegaraan. Oleh
karena itu, Wawasan Kebangsaan atau Wawasan Nasional Indonesia, yang memperhatikan
dan mempertimbangkan kondisi dan konstelasi geografis Indonesia, mengharuskan tetap
terpeliharanya keutuhan dan kekompakan wilayah, akan tetapi tetap menghargai dan
menjaga ciri, karakter dan kemampuan (keunggulan dan kelemahan) masing-masing daerah
dan harus mampu memanfaatkan nilai lebih dari geografi Indonesia tersebut.

2. Aspek Kehidupan
a. Latar Belakang Sosial Budaya
Budaya atau kebudayaan, dalam arti etimologis adalah segala sesuatu yang
dihasilkan oleh kekuatan budi manusia. Karena manusia tidak hanya bekerja dengan
kekuatan budinya, melainkan juga dengan perasaan fantasi atau imajinasi dan dengan
kehendaknya, maka lebih lengkap jika kebudayaan diungkapkan sebagai citra, rasa, dan
karsa (budi, perasaan, dan kehendak).
Sosial budaya sebagai salah satu aspek kehidupan nasional (disamping politik,
ekonomi dan Hankam) adalah faktor dinamik masyarakat yang terbentuk oleh keseluruhan
pola tingkah laku lahir batin yang memungkinkan hubungan sosial di antara anggota-
anggotanya.
Masyarakat Indonesia sejak awalnya terbentuk dengan ciri kebudayaan yang sangat
beragam oleh pengaruh ruang hidup berupa kepulauan dengan ciri alamiah tia-tiap pulau
yang berbeda-beda pula. Bahkan perbedaan ciri alamiah antara pulau-pulau yang satu
dengan lainnya sangat besar sehingga membawa pengaruh pada perbedaan karakter
masyarakatnya dengan sangat mencolok. Disamping perbedaan-perbedaan berkaitan
dengan ruang hidup, masyarakat Indonesia dapat pula dibedakan berdasarkan ras dan
etnik. Pengaruh/faktor alamiah itu membentuk perbedaan-perbedaan secara khas
kebudayaan masyarakat di tiap- tiap daerah dan sekaligus menampakkan perbedaan-
perbedaan daya tanggap inderawi serta pola tingkah laku kehidupan baik dalam hubungan
vertikal maupun horisontal. Secara universal kebudayaan masyarakat yang heterogen

KONSEPSI WAWASAN NUSANTARA 78


tersebut mempunyai unsur-unsur penting yang sama yaitu, pertama sistem religi dan
upacara keagamaan; kedua, sistem masyarakat dan organisasi kemasyarakatan; ketiga,
sistem pengetahuan; keempat, bahasa; kelima, kesenian (budaya dalam arti sempit);
keenam, sistem mata pencarian; dan ketujuh, sistem teknologi dan peralatan.
Dengan perbedaan ciri alamiah dan unsur-unsur penting kebudayaan sebagaimana
dijelaskan di atas, dapat dibedakan secara lahiriah antara orang Jawa dengan orang Batak,
atau antara orang Manado dengan orang Irian (Papua), baik dalam penampilan pribadi
maupun dalam hubungan kelompok (masyarakat). Dari ciri ruang hidup yang menjadi asal
usul suatu masyarakat dengan mudah pula dapat dikenali perbedaan umum antara
masyarakat pantai (nelayan) yang pemberani (menentang alam), dinamik, agresif dan
terbuka, dengan masyarakat petani (agraris) yang teratur (mengikuti ritme alam),
mementingkan keakraban, kurang terbuka (pandai menyembunyikan perasaan), atau antara
masyarakat desa yang masih memegang teguh nilai-nilai religius, kekerabatan dan
paguyuban, dengan masyarakat kota yag cenderung materialistik, individual dan
patembayan.
Sesuai dengan sifatnya, kebudayaan merupakan warisan yang bersifat memaksa
bagi masyarakat yang bersangkutan. Artinya, setiap generasi yang lahir dari suatu
masyarakat dengan serta merta mewarisi norma-norma budaya dari generasi sebelumnya
(nenek moyang), yang sekaligus menangani dirinya dengan segala peraturan atau
keharusan yang mesti dijalani dan yang tidak boleh dilanggar (ditabukan). Warisan budaya
diterima secara emosional, dan bersifat mengikat kedalam (cohesivness) secara kuat. Oleh
karena itu dapat dipahami bila ikatan budaya yang emosional itu menjadi sangat sensitif
sifatnya. Ketersinggungan budaya, walaupun secara rasional dianggap tidak berarti
(sepele), dapat meluapkan emosi masyarakat, bahkan dengan mudah memicu terjadinya
konflik antar golongan masyarakat secara meluas dan tidak rasional. Disamping itu warisan
budaya juga membentuk ikatan pada setiap individu atau masyaraat dengan daerah asal
budaya. Dengan demikian kebudayaan dapat membentuk sentimen-sentimen kelompok,
suku dengan daerah asalnya (parochial). Bahkan sentimen-sentimen kelompok tersebut
seringkali dijadikan perisai atau benteng pelindung terhadap ketidakmampuan individu-
individu yang menghadapi tantangan lingkungan yang dianggap mengancam eksistensi
budayanya.
Berdasarkan ciri dan sifat kebudayaan serta kondisi dan konstelasi geografi negara
Republik Indonesia, tergambarkan secara jelas betapa sangat heterogen serta uniknya
masyarakat Indonesia yang terdiri dari ratusan suku bangsa dengan masing-masing adat
istiadatnya, bahasa daerahnya, agama dan kepercayaannya. Oleh karena itu dalam
prospektif budaya tata kehidupan nasional yang berhubungan dengan interaksi antar
golongan masyarakat mengandung potensi konflik yang sangat besar, terlebih dengan

KONSEPSI WAWASAN NUSANTARA 79


kesadaran nasional masyarakat yang relatif masih rendah sejalan dengan masih
terbatasnya jumlah masyarakat terdidik.
Bangsa Indonesia yang menegara pada 17 Agustus 1945 adalah hasil dari suatu
proses perjuangan panjang yang secara embrional muncul melalui kesepakatan moral dan
politik sejak pergerakan Budi Utomo tahun 1908. Dalam perspektif budaya, kehendak
bersatu membentuk persatuan bangsa tersebut merupakan proses sosial yang didorong
oleh kesadaran segenap kelompok masyarakat untuk bersama-sama membangun satu
tatanan kehidupan baru sebagai satu masyarakat yang besar, dengan tetap mengakui dan
menerima eksistensi budaya masyarakat asal dengan segala perbedaan ciri dan sifatnya.
Sebagai suatu proses sosial, kehendak mewujudkan persatuan bangsa dalam satu
kesatuan wilayah negara Republik Indonesia tersebut mengandung unsur dinamik. Artinya,
nilai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia tidak akan terwujud secara lengkap dan
sempurna hanya dengan sekali usaha bersama berupa ikrar bersama (Sumpah Pemuda 28
Oktober 1928) atau secara politik (Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945). Proses
sosial untuk menjaga dan memelihara nilai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia harus
terus menerus dilakukan sejalan dengan dinamika lingkungan yang terus berkembang.
Besarnya potensi konflik antar golongan masyarakat yang setiap saat membuka peluang
terjadinya disintegrasi semakin mendorong perlunya dilakukan proses sosial yang
akomodatif. Proses sosial tersebut mengharuskan setiap kelompok masyarakat budaya
untuk saling membuka diri, memahami eksistensi budaya masing-masing, serta mau
menerima dan memberi (take and give), untuk itu keteguhan setiap warga atau kelompok
masyarakat atau suku bangsa terhadap ikrar/kesepakatan bersama akan sangat
menentukan kelangsungan hidup negara dan bangsa Indonesia dalam mencapai tatanan
masyarakat yang harmonis. Disamping itu bangsa Indonesia harus selalu ingat akan apa
yang pernah dialaminya dimana bentrokan yang menelan korban terjadi di beberapa tempat,
baik yang diakibatkan perbedaan agama, ingin merdeka atau memisahkan diri, perbedaan
etnis dan sebagainya.
Dari tinjauan sosial budaya seperti tersebut di atas, pada akhirnya dipahami bahwa
proses sosial dalam keseluruhan upaya menjaga persatuan nasional sangat membutuhkan
kesamaan persepsi atau kesatuan cara pandang diantara segenap masyarakat tentang
eksistensi budaya yang sangat beragam namun memilliki semangat untuk membina
kehidupan bersama secara harmonis, sehingga wawasan kebangsaan atau wawasan
nasional Indonesia diwarnai oleh keinginan untuk menumbuhsuburkan faktor-faktor positif,
terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa serta berusaha untuk mengurangi pengaruh
negatif dari faktor-faktor yang dapat menimbulkan disintegrasi bangsa atau kalau dapat
menghilangkannya.

KONSEPSI WAWASAN NUSANTARA 80


b. Tinjauan Kesejarahan
Perjuangan suatu bangsa dalam meraih cita-citanya pada umumnya tumbuh dan
berkembang akibat latar belakang sejarah. Demikian juga sejarah Indonesia diawali dari
negara-negara kerajaan tradisional yang pernah ada di wilayah Nusantara melalui kedatuan
Sriwijaya dan kerajaan Majapahit. Kedua kerajaan tersebut landasannya adalah
mewujudkan kesatuan wilayah, meskipun belum timbul rasa kebangsaan, namun sudah
timbul semangat bernegara. Kaidah-kaidah sebagai negara modern, seperti: rumusan
falsafah negara belum jelas, konsepsi cara pandang belum ada, yang ada berupa slogan-
slogan seperti yang ditulis Mpu Tantular, Bhinneka Tunggal Ika Tanhana Dharma Mangrwa.
Untuk selanjutnya Bhineka Tunggal Ika diangkat oleh Bangsa Indonesia sebagai sesanti
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Runtuhnya Sriwijaya dan
Majapahit antara lain disebabkan oleh karena belum adanya kesepakatan bersama untuk
menjadi satu kesatuan bangsa dan kesatuan wilayah dalam satu kesatuan negara yang
utuh.
Dalam perjuangan berikutnya nuansa kebangsaan mulai muncul sejak tahun 1900-
an yang ditandai dari lahirnya sebuah konsep baru dan modern. Konsep baru dan modern
ini berbeda secara prinsipil baik “dasar” maupun “tujuan” keberadaannya dengan kerajaan
tradisional sebelumnya. Wujud konsep baru dan modern ialah lahirnya Proklamasi
Kemerdekaan dan proklamasi penegakan negara merdeka. Kehadiran penjajahan telah
merapuhkan budaya Nusantara oleh budaya barat yang disebut “Renaisance”. Penjajahan
tersebut mengakibatkan penderitaan dan kepahitan yang sangat panjang, namun disisi lain
menimbulkan semangat, senasib sepenanggungan untuk bertekad memerdekakan diri yang
merupakan awal “semangat kebangsaan”, yang diwadahi dalam organisasi Boedi Oetomo
(20 Mei 1908), yang sekarang disebut “Kebangkitan Nasional”. Semangat inilah yang
merupakan modal dari konsepsi atau cara pandang kebangsaan atau “Wawasan
Kebangsaan Indonesia” yang dicetuskan dalam Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928), Satu
Nusa, Satu bangsa, dan menjunjung tinggi Bahasa Nasional Indonesia dan pada kongres
Pemuda tersebut untuk pertama kali lagu Indonesia Raya dikumandangkan.
Dengan semangat kebangsaan tersebut melalui perjuangan berikutnya
menghasilkan Proklamasi 17 Agustus 1945, di mana Indonesia mulai menegara. Proklamasi
kemerdekaan harus dipertahankan dengan semangat persatuan yang esensinya adalah
“mempertahankan persatuan Bangsa Indonesia dan menjaga kesatuan Wilayah Negara
Republik Indonesia”.
Batas wilayah Negara RI merupakan warisan kolonial Hindia Belanda di mana batas
wilayah perairan ditentukan dan diakui berdasarkan Territoriale Zee En Martitieme Kringen
Ordonnantie (TZMKO),1939, dimana laut teritorial selebar 3 mill laut dari garis pangkal
masing-masing pulau.

KONSEPSI WAWASAN NUSANTARA 81


Dengan menggunakan undang-undang kolonial tersebut, Indonesia secara politik
dan ekonomi sangat dirugikan, karena belum terwujudnya Tanah dan Air dalam satu
kesatuan yang utuh. Melalui proses perjuangan yang panjang (± 28 tahun) Indonesia
berhasil merubah batas wilayah perairan dari 3 mill laut menjadi 12 mill laut, melalui
Deklarasi Djuanda (13 Desember 1957), yang sekaligus merupakan kehendak politik RI
dalam menyatukan Tanah dan Air RI, menjadi satu kesatuan hingga terwujud kesatuan
wilayah RI dan sejak saat itu kata Nusantara resmi mulai digunakan dalam istilah “konsepsi
nusantara” sebagai nama dari Deklarasi Djuanda. Sedangkan kata “Nusantara” itu berasal
dari kata Nusa yang berarti pulau dan kata Antara. Jadi artinya adalah pulau-pulau yang
terletak diantara dua benua (Asia dan Australia) serta dua samudra (Pasifik dan Hindia).
Konsepsi Nusantara yang dilandaskan pada semangat kekompakan mengacu pada
konstelasi geografi RI sebagai negara kepulauan, dikukuhkan menjadi UU No 4/Prp tahun
1960 yaitu:
1) Perairan Indonesia ialah laut wilayah Indonesia beserta perairan pedalaman Indonesia.
2) Laut wilayah Indonesia ialah jalur laut 12 mill laut.
3) Perairan pedalaman Indonesia ialah semua perairan yang terletak pada sisi dalam dari
garis dasar, sebagai yang dimaksud pada ayat 2.
Konsepsi Nusantara mengilhami masing-masing Angkatan untuk mengembangkan
wawasan berdasarkan matranya masing-masing yang terdiri dari Wawasan Benua Angkatan
Darat Republik Indonesia, Wawasan Bahari Angkatan Laut Republik Indonesia, Wawasan
Dirgantara Angkatan Udara Republik Indonesia. Untuk menghindari berkembangnya
wawasan masing-masing yang tidak menguntungkan karena mangancam kekompakan
ABRI disusunlah Wawasan Hankamnas yang terpadu dan terintegrasi sebagai hasil seminar
Hankam I tahun 1966 yang diberi nama Wawasan Nusantara Bahari yang terdiri dari:
Wawasan Nusantara merupakan konsepsi dalam memanfaatkan konstelasi geografi
Indonesia dimana diperlukan keserasian antara Wawasan Bahari, Wawasan Dirgantara,
Wawasan Benua sebagai pengejawantahan segala dorongan-dorongan (motives) dan
rangsangan-rangsangan (drives) dalam usaha mencapai aspirasi-aspirasi bangsa dan
tujuan negara Indonesia. Sedangkan Wawasan Bahari adalah Wawasan masa depan yang
merupakan suatu pandangan, satu aspek falsafah hidup satu bangsa dimana penggunaan
dan penguasaan lautan adalah mutlak untuk perkembangan kesejahteraan dan kejayaan
negara serta bangsa dimasa mendatang.
Pada Rapat Kerja Hankam tahun 1967, diputuskan untuk menamakan Wawasan
Hankamnas sebagai Wawasan Nusantara. Selanjutnya pada November 1972 Lembaga
Pertahanan Nasional (Lemhannas) melakukan penelitian dan pengkajian segala bahan dan
data Wawasan Nusantara untuk sampai kepada perumusannya yang lebih terurai agar

KONSEPSI WAWASAN NUSANTARA 82


dapat bertegak sebagai wawasan nasional. Pada tahun 1973 Wawasan Nusantara diangkat
dalam Tap: IV/MPR/1973 tentang GBHN dalam bab II huruf “E”.
Perjuangan di dunia internasional untuk diakuinya wilayah Nusantara sesuai dengan
Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957, merupakan rangkaian perjuangan yang
cukup panjang untuk memperoleh pengukuhan bagi asas negara kepulauan di forum
internasional. Dimulai sejak konferensi PBB tentang Hukum Laut pada tahun 1958,
kemudian yang kedua tahun 1960 dan akhirnya pada konferensi ketiga tahun 1982, pokok-
pokok asas negara Kepulauan diakui dan dicantumkan dalam UNCLOS 82 (United Nations
Convention on the Law Of the Sea atau Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang
Hukum Laut).
Dari uraian tersebut di atas, maka Wawasan Kebangsaan atau Wawasan Nasional
Indonesia diwarnai oleh pengalaman sejarah yang menginginkan tidak terulangnya lagi
perpecahan dalam lingkungan bangsa dan negara Indonesia yang akan melemahkan
perjuangan dalam mengisi kemerdekaan untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional
sebagai hasil kesepakatan bersama, agar bangsa Indonesia setara dengan bangsa lain.

KONSEPSI WAWASAN NUSANTARA 83

Anda mungkin juga menyukai