Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pendidikan merupakan salah satu usaha meningkatkan kualitas hidup manusia melalui
pengembangan potensi yang mereka miliki. Oleh karena itu, Pendidikan memerlukan manajemen.
Manajemen adalah proses merencanakan, mengorganisasikan, memimpin, dan mengendalikan
usaha anggota-onggota organisasi serta pendayagunaan seluruh sumber daya organisasi dalam
rangka mencapai tujuan pendidikan.

Salah satu ruang lingkup manajemen pendidikan yang perlu di kelola adalah kelas karena ditempat
itulah terciptanya proses pembelajaran. Pembelajaran yang efektif disebabkan strategi
pembelajaran yang bagus, kesiapan sarana dan prasaran, suasana kelas yang aman, nyaman, dan
interaksi sosial yang bagus.

Manajemen kelas adalah usaha sadar untuk mengatur kegiatan proses belajar mengajar secara
sistematis. Usaha tersebut mengarah pada penyiapan bahan belajar, sarana prasarana
pembelajaran, pengaturan ruang belajar, yang diarahkan untuk mewujudkan suasan pembelajaran
yang efektif.

A. RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian manajemen kelas

2. Fenomena Guru Pemula

3. Peran guru kelas

4. Konsep efektifitas kelompok

5. Ukuran dan susunan kelompok siswa yang efektif

6. Kombinasi Pola Pribadi Anggota

B. TUJUAN

1. Untuk mengetahui pengertian manajemen kelas

2. Untuk mengetahui Fenomena Guru Pemula

3. Untuk mengetahui Peran Guru Kelas


4. Untuk mengetahui Konsep Efektifitas Kelompok

5. Untuk mengetahui Ukuran dan susunan kelompok siswa yang efektif

6. Untuk mengetahui Kombinasi Pola Pribadi Anggota

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Manajemen Kelas

Manajemen kelas berasal dari dua kata, yaitu manajemen dan kelas. Manajemen berasal dari
kata bahasa Inggris yaitu management, yang diterjemahkan pula menjadi pengelolaan, berarti
proses penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Sementara yang
dimaksud kelas secara umum diartikan sebagai sebagai sekelompok peserta didik yang ada pada
waktu yang sama menerima pembelajaran yang sama dari pendidik yang sama. Sebagian
pengamat yang lain mengartikan kelas menjadi dua pemaknaan, yaitu: Pertama, kelas dalam arti
sempit, yaitu berupa ruangan khusus, tempat sejumlah siswa berkumpul untuk mengikuti proses
belajar mengajar. Kelas dalam hal ini mengandung sifat-sifat statis, karena sekedar menunjuk
pada adanya pengelompokan siswa berdasarkan batas umur kronologis masing-masing. Kedua,
kelas dalam arti luas, yaitu suatu masyarakat kecil yang secara dinamis menyelenggarakan
kegiatan belajar mengajar secara kreatif untuk mencapai tujuan.

Dengan demikian, manajemen kelas adalah segala usaha yang diarahkan untuk mewujudkan
suasana pembelajaran yang efektif dan menyenangkan serta dapat memotivasi peserta didik
dengan baik.

Menurut Sudarman Danim, manajemen kelas dapat didefinisikan sebagai berikut;

Manajemen kelas adalah proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang dilakukan oleh
pendidik, baik individual maupun dengan atau melalui orang lain (semisal dengan sejawat atau
peserta didik) untuk mengoptimalkan proses pembelajaran. Kata perencanaan di sini merujuk
pada perencanaan pembelajaran dan unsur-unsur penunjangnya. Pelaksanaan bermakna proses
pembelajaran, sedangkan evaluasi bermakna evaluasi pembelajaran. Evaluasi di sini terdiri dua
jenis. Evaluasi di sini terdiri dari dua jenis, yaitu evaluasi proses dan evaluasi hasil pembelajaran.

Hadari Nawawi memandang kelas dari dua sudut yaitu :


1. Kelas dalam arti sempit yakni, ruangan yang dibatasi oleh empat dinding, tempat sejumlah
siswa berkumpul untuk mengikuti proses belajar mengajar.

2. Kelas dalam arti luas adalah, suatu masyarakat kecil yang merupakan bagian dari
masyarakat sekolah yang sebagai suatu kesatuan diorganisasi menjadi unit kerja yang secara
dinamisme menyelenggarakan kegiatan-kegiatan belajar mengajar yang efektif untuk
mencapai suatu tujuan

Dari definisi tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa dalam mewujudkan pengelolaan
kelas yang efektif tidak terlepas dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
pembelajaran, serta memanfaatkan sumber daya-sumber daya secara optimal.

B. Fenomena Guru Pemula

Guru merupakan garda terdepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Selama ini guru selalu
menjadi tumpuan semua pihak dalam gerbong dunia pendidikan sekaligus sebagai tempat
bertanya dan berlindung bagi peserta didik. Untuk itu dalam perekrutan guru baru harus benar-
benar melalui seleksi dan menggunakan alat ukur yang tepat. Oleh karenanya dalam seleksi dan
pengangkatan guru baru harus melibatkan beberapa stakeholder, yaitu kepala daerah, dinas
pendidikan, sekolah, masyarakat dan pemerhati dunia pendidikan yang akuntabel.

Sebagai seorang guru pemula, pada awal mulai mengajar dan mengenal lingkungan sekolah
mereka menghadapi beberapa hambatan antara lain :

1. Pengenalan karakteristik peserta didik

2. Budaya sekolah

3. Beradaptasi dan berkomunikasi dengan warga sekolah

Perekrutan guru baru yang selama ini telah dijalani, sering terjadi benturan antara guru, siswa
dan masyarakat. Guru sering melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak mendidik, ini dikarenakan
kemampuan guru sangat rendah dalam penyesuaian dengan dunia pendidikan dan lingkungan
sekolah. Sehingga tidak sedikit guru yang canggung, bingung, gagap dan bahkan dilecehkan oleh
muridnya didepan kelas. Atau guru yang galak sehingga ditakuti oleh muridnya, akibatnya guru
seperti harimau yang siap menerkam siswa setiap saat.

Fenomena ini akan terus berlangsung apabila pemerintah tidak secepat mungkin untuk
mengambil tindakan nyata. Maka perlu meningkatkan kualitas dalam pelaksanaan proses seleksi
penerimaan guru. Satu terobosan baru di dunia pendidikan nasional yakni sebuah program baru
untuk meningkatkan mutunya. Terobosan tersebut adalah program induksi bagi guru pemula
pada semua jenjang dan status. Sistem itu adalah sesuatu yang baru dalam sistem pendidikan
nasional kita dibanding dengan negara lain di kawasan Asia Pasifik. Ditengarai bahwa ketiadaan
sistem induksi ini menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas guru di Indonesia.
Pemerintah melalui Mendiknas telah meluncurkan regulasi baru yang dituangkan dalam
Permendiknas No 27 Tahun 2010 tentang Program Induksi bagi Guru Pemula terhitung tanggal
27 Oktober 2010. Peraturan ini menjadi payung hukum resmi tentang penyelenggaraan Program
Induksi bagi Guru Pemula di Indonesia. Peraturan ini terdiri dari 14 pasal, di dalamnya antara lain
mengatur tentang : tujuan, prinsip dan teknis pelaksanaan penyelenggaraan Program Induksi
secara umum. Sistem induksi merupakan suatu sistem yang memberi kesempatan kepada guru
pemula untuk dapat memahami tugas pokok dan fungsinya sebagai guru dengan bimbingan dari
seorang mentor. Kehadiran program induksi ini tampaknya semakin mempertegas komitmen
pemerintah untuk menata profesi guru, karena saat ini guru telah diyakini sebagai tumpuan
harapan utama dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.

Melalui proses pembimbingan selama mengikuti program induksi ini, diharapkan sejak awal
para guru sudah mampu membiasakan diri bekerja secara profesional. Hasil selama mengikuti
program induksi tentu akan menjadi bekal penting bagi guru yang bersangkutan dalam
menekuni pekerjaannya pada masa-masa selanjutnya, yakni menjadi seorang guru yang
profesional.

Program Induksi dilaksanakan dalam rangka menyiapkan guru pemula agar menjadi guru
profesional dalam melaksanakan proses pembelajaran. Melalui program induksi diharapkan
dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan guru dalam melaksanakan proses
pembelajaran, sehingga dapat menunjang usaha peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan
sekaligus memecahkan permasalahan yang dihadapi dan dialami oleh guru pemula dalam
pelaksanaan tugas sehari-hari sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, peserta didik, kondisi
sekolah, dan lingkungannya.

Selama masa induksi ini guru bersama mentor melakukan diskusi dan perbaikan terhadap
rencana-rencana pembelajaran yang dikembangkan oleh guru pemula. Program induksi adalah
semacam orientasi bagi guru pemula untuk mengenal dan memahami tugas-tugasnya sebagai
pendidik, dengan mengedepankan pengenalan lingkungan dan siswa yang akan dihadapi.
Program yang akan diterapkan selama setahun tersebut bakal melibatkan kepala sekolah
maupun guru senior untuk menjadi mentor saat guru pemula melakukan tugas pengajaran di
kelas.

Kegiatan pengembangan sistem induksi dan penilaian kinerja bagi guru pemula ini ditekankan
pada dua hal yaitu :

1. Penyusunan kebijakan sistem induksi dan penilaian kinerja guru pemula.

2. Penyusunan manual/modul induksi dan penilaian kinerja guru pemula.

Dengan naskah akademik dan kertas kerja yang dimiliki selanjutnya perlu diperkaya dengan
adanya berbagai masukan, ide, serta saran untuk mendudukkan konsep induksi ini ke dalam
khasanah ke-Indonesia-an, demi suksesnya gagasan program induksi bagi para guru pemula yang
ditawarkan oleh Depdiknas, sebagaimana dikemukakan di atas. Dengan harapan semoga dapat
semakin memperkokoh penguasaan kompetensi bagi para guru yang bersangkutan. Melalui
program induksi ini diharapkan dapat terlahir guru-guru kontruktivis, yang mampu membangun
dan mengembangkan segenap potensi yang dimiliki peserta didiknya. Bukan sebaliknya, menjadi
perusak perkembangan peserta didik alias destruktivis.

Konsep induksi sebagai sebuah sistem perlu mendapatkan pemikiran yang luas dari stakeholders
pendidikan agar pada implementasinya dapat berjalan dengan baik. Hadirnya kebijakan yang
menaungi sistem ini diharapkan dapat menjadi pegangan dalam pelaksanaan induksi. Selain
kebijakan perlu pula dukungan modul agar memudahkan guru pemula, kepala sekolah,
pengawas sekolah, guru mentor, dan pihak lainnya memahami konsep induksi serta penilaiannya
secara komprehensif.

Dapat disimpulkan bahwa program ini sebenarnya ingin menempatkan kembali tanggung jawab
guru senior, kepala sekolah, pengawas sekolah, bahkan kalangan birokrat pendidikan dalam
membina guru pemula. Guru pemula harus segera mendapatkan perlakukan khusus dalam
perjalanan pengabdiannya. Selama ini banyak terjadi dimana guru senior merasa mendapatkan
waktu istirahat dan bebas tanggung jawab mengajar ketika datang guru pemula.

Pada akhir masa induksi ini guru pemula akan dinilai kinerjanya oleh kepala sekolah dan
pengawas untuk menentukan kelayakan guru pemula tersebut. Hasil penilaian ini akan
mempengaruhi karir guru pemula tersebut. Memang, seandainya guru pemula tidak
mendapatkan bimbingan, guru pemula akan tetap menemukan keprofesionalannya. Tapi
mungkin akan menemukan waktu yang panjang sekali. Sangat berbeda jika ia diberikan
bimbingan. Jadi, meminjam istilah ilmu kimia, program ini adalah sebuah katalisator untuk
mempercepat proses pematangan profesi guru pemula sehingga siap untuk memberikan
pengabdian terbaiknya. Oleh karena itu, ada baiknya kita ucapkan: “Selamat Datang Program
Induksi Guru Pemula”. Mari kita induksi para guru pemula agar mereka menjadi matang dan
profesional, yang siap menggantikan para seniornya untuk melahirkan generasi baru yang
hebat.

Guru profesional adalah hasil cipta manusia (teacher is made) yang berkecimpung pada institusi
penyedia seperti lembaga pendidikan prajabatan dan dalam jabatan. Institusi tersebut
dinamakan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Dalam laporan yang ditulis oleh
The Association of Teacher Educator’s commission on the Education of Teacher (1991),
direkomendasikan secara spesifik empat substansi utama restrukturisasi pendidikan guru, yaitu :

1. College-based teacher educators

2. School-based teacher educators

3. State-agency-based teacher educator

4. National, state and local organization of proffesional educator.


Pengalaman yang bersifat school-based hanya dijalani oleh calon guru selama praktik
pengalaman lapangan atau PPL. Calon guru yang dihasilkan lebih banyak memiliki pengalamn
teoritis dari pada pengalaman praktik. Tiga area isu krusial dari keahlian yang perlu dimiliki oleh
guru pemula, yaitu :

1. Pengetahuan tentang cara mengelola kelas

2. Pengetahuan dalam bidang mata pelajaran atau penguasaan

3. Pembelajaran tentang latar belakang sosiologikan dari para siswa yang dididik atau diajarnya.

C. Peran guru kelas

Guru berperan menyampaikan ilmu-ilmu yang dimiliki kepada muridnya. Guru merupakan
sumber belajar muridnya. Dari gurulah, murid diajarkan membaca, menulis dan berhitung. Serta
dari gurulah, murid mendapat pengetahuan baru dan pendidikan karakter. Guru sebagai
orangtua kedua yang ada disekolah setelah orangtua kandung dirumah. Prey katz (Aini, 2012),
menggambarkan peranan guru sebagai komunikator, sahabat yang dapat memberikan nasihata-
nasihat, motivator sebagai pemberi inspirasi dan dorongan, pembimbing dalam pengembangan
sikap dan tingkah laku serta nilai-nilai, orang yang menguasai bahan yang diajarkan.

Namun, di zaman yang sudah modern ini, berbagai penemuan baru ditemukan untuk
mempermudah manusia dalam menjalankan aktivitasnya. Begitupun juga dalam dunia
pendidikan. Berbagai teknologi yang disebut-sebut bisa melakukan apa saja dan menjawab apa
saja ditemukan guna mempermudah manusia. Seperti misalnya Google, yang biasanya disebut
Om Google yang dikatakan oleh anak sekolahan zaman sekarang sebagai pengganti guru. Dari
google, segala macam hal dapat dicari dan ditemukan hanya dalam hitungan detik, Tidak heran,
anak-anak sangat menyukainya dan bahkan bergantung padanya. Bahkan ketika didalam kelas,
murid lebih bergantung kepada internet untuk mencari suatu jawaban daripada menanyakan
lansung kepada gurunya. Hal ini menyebabkan peran guru mulai tersinggirkan oleh teknologi.

Menurut Sanjaya (2006 : 21) peran guru dalam proses pembelajaran ada tujuh yakni :

1. Guru sebagai sumber belajar

Peran guru sebagai sumber belajar berkaitan dengan kemampuan guru dalam menguasai
materi pelajaran. Sehingga ketika siswa bertanya, dengan sigap dan cepat tanggap, guru
akan dapat lansung menjawabnya dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh siswanya.

2. Guru sebagai Fasilitator

Peran guru sebagai fasilitator dalam memberikan pelayanan kepada siswa untuk dapat
memudahkan siswa menerima materi pelajaran. Sehingga pembelajaran menjadi efektif
dan efisien.
3. Guru sebagai pengelola

Dalam proses pembelajaran, guru berperan untuk memegang kendali penuh atas iklim
dalam suasana pembelajaran. Diibaratkan seperti seorang nakhoda yang memegang setir
kemudi kapal, yang membawa jalannya kapal ke jalan yang aman dan nyaman. Guru
haruslah menciptakan suasanya kelas yang nyaman dan kondusif. Sehingga siswa dapat
menerima pembelajaran dengan nyaman.

4. Guru sebagai demonstrator

Berperan sebagai demonstrator maksudnya disini bukanlah turun ke jalan untuk berdemo.
Namun yang dimaksudkan disini adalah guru itu sebagai sosok yang berperan untuk
menunjukkan sikap-sikap yang akan menginspirasi siswa untuk melakukan hal yang sama,
bahkan lebih baik.

5. Guru sebagai pembimbing

Perannya sebagai seorang pembimbing, guru diminta untuk dapat mengarahkan kepada
siswa untuk menjadi seperti yang diinginkannya. Namun tentunya, haruslah guru
membimbing dan mengarahkan untuk dapat mencapai cita-cita dan impian siswa tersebut.

6. Guru sebagai motivator

Proses pembelajaran akan berhasil jika siswa memiliki motivasi disalam dirinya. Olehkarena
itu, guru juga berperan penting dalam menumbuhkan motivasi dan semangat dalam diri
siswa untuk belajar.

7. Guru sebagai elevator

Setelah melakukan proses pembelajaran, guru haruslah mengevaluasi semua hasil yang
telah dilakukan selama proses pembelajaran. Evaluasi ini tidak hanya mengevaluasi
keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Namun juga sebagai evaluasi
keberhasilan guru melaksanakan kegiatan pembelajaran yang telah dirancang.

Peran seorang guru tak akan dapat terganti oleh canggihnya teknologi. Teknologi memang bisa
memberi berbagai macam kemudahan kepada siswa. Namun teknologi tidak dapat memberikan
pendidikan karakter, nilai, dan moral kepada siswa. Sehingga gurulah yang memiliki peran
penting untuk dapat menciptakan generasi muda bangsa yang beretika, berpendidikan,
bermoral, dan berkarakter.

D. Konsep efektifitas kelompok

Rombongan belajar dikelas memerlukan pengorganisasian yang efektif. Karena itu hasil kajian
mengenai kelompok yang efektif, apapun jenis kelompok yang dikaji itu, sangat mungkin dapat
ditransfer kedalam situasi kelas. Kajian tentang factor tertentu penentu efektifitas kelompok,
termasuk kelompok atau rombongan belajar siswa dikelas, mengacu kepada dua kepentingan.
Pertama, kepentingan teoritis dimaksudkan untuk memperoleh tilikan yang mendalam tentang
fungsi kelompok, baik bagi anggota maupun bagi warga sekolah. Kedua, kepentingan praktis
dimaksudkan untuk memperoleh masukan tentang produktivitas, efisiensi, dan kebaikan-
kebaikan lain dari anggota kelompok, misalnya rombongan belajar dikelas tertentu.

Ukuran produktivitas, efesiensi dan efektivitas kelompok siswa itu berbeda masing-masing kelas,
apabila menurut kriteria dan kepentingan siswa secara individual. Ukuran produktivitas aktivitas
rombongan belajar dengan pendekatan teoritis, berbeda dengan rombongan belajar ddengan
pendekatan praktik. Ukuran produktivitas kegiatan belajar di kelas berbeda dengan kegiatan
sejenis diluar kelas. Demikian juga, ukuran hasil belajar di laboratoeium atau di objek-objek
studi di luar kampus sekolah. Efektivitas merujuk pada hasil guna dan efisien merunjuk pada
proses kerja. Mengukuti pemikiran David Krech, Richard S. Cruthfied dan Egerton L.Ballachey
dalam bukti mereka Individual and Society (1982) dapat dijabarkan tentang ukuran efektivitas
kelompok siswa perkelas. Secara umum, ukuran efektivitas kelompok seperti disajikan berikut
ini.

1. Prestasi yang dicapai oleh siswa dan kelompok siswa. Prestasi siswa secara individual
merupakan cerminan capaian peroranganya. Prestasi siswa secara kelompok dapat dilihat
dari rata-rata nilai yang mereka capai. Posisi prestasi siswa dalam kerangka kelompok ini
dapat dilihat dari rangkingnya.

2. Jumlah hasil yang bisa dicapai oleh kelompok. Hasil tersebut berupa kuantitas atau bentuk
fisik dari kerja kelompok itu. Misalnya, untuk siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),
berapa banyak satuan dari hasil karya kerajinan yang mereka lakukan untuk periode kerja
tertentu. Hasil dimaksud dapat dilihat dari perbandingan antara masukan dan keluaran,
usaha dan hasil, persentase pencapaian program kerja, dan sebagainya.

3. Tingkat kepuasan yang diperoleh oleh anggota kelompok siswa secara individual. Kepuasan
itu sukar diukur dan berfariasi untuk masing-masing anggota kelompok, seperti guru, staf
tata usaha, dan sebagainya. Kepuasan siswa juga berfariasi, misalnya ukuran kepuasan siswa
pria mungkin berbeda dengan siswa perempuan. Karakteristik kepuasan anggota kelompok
siswa secara individual antara lain tercermin dari keterbukaan berkomuikasi antaranggota,
kerajinan, tidak terlalu mempunyai “perhitungan” dalam bekerja, berkurangnya keluhan,
berkurangnya pembicaraan mengenai guru dan kebutuhan rekan sekelas, tingkat kehadiran
tinggi, dan lain-lain. Ukuran efektivitas ini bisa kuantitatif dan bisa pula kualitatif.

4. Produk kreatif kelompok. Banyak hal berkembang sendiri didalam kelas jika kondusinya
kondusif untuk itu. Oleh karena itu, salah satu ciri kelompok siswa yang efektif adalah
kemampuan kelompok itu menumbuhkan kreativitas anggotanya. Cara kerja anggoatanya
dalam organisasi atau kelompok itu tidak selalu dituangkan kedalam format khusus,
demikian juga cara kerja guru dan siswa. Cara kerja mereka seni atau kiat yang berbeda
pada masing-masing individu siswa. Oleh sebab itu, tuntutan akan konformitasyang
berlebihan akan menjadi bomerang bagi siswa.
5. Intensitas emosi yang dicapai oleh siswa karena dia menjadi anggota kelompok. Intensitas
diukur dengan ketaatan yang lebih tinggi karena menjadi anggota kelompok siswa atau rasa
memiliki dengan kadar tinggi karena termaksud kelompok yang ikut berjuang untuk
memilikinya.

Pada akhirnya yang menjadi dasar pengukuran efektivitas rombongan belajar dikelas adalah
keragaman kelompok dan keinginan setiap siswa secara individual. Berbeda kelompok, berbeda
pula ukuran efektivitasnya. Pada tataran yang lebih luas, apabila kita bertanya efektivitas
kelompok, pertanyaan lanjutan yang muncul adalah “efektif untu siapa?” Efektivitas kelompok
dan ukuran efektivitas kelompok itu sendiri berdimensi banya, dank arena itu sering ditemukan
kesukaran menentukan efektivitas kelompok, termasuk kelompok siswa. Setiap individu siswa
memasuki suatu kelompok dari rekan sepermainannya untuk pembagian tujuan dan ingin
mendapatkan kepuasan. Tentu saja sesuatu yang menjadi penentu kepuasn bagi seorang siswa
tertentu, belum tentu bagi yang lainnya. Kadang-kadang sebagian kelompok siswa sangat efektif,
sedangkan anggota kelompok lainnya tidak.

Efektivitas kelompok siswa dapat dilihat dari berbagai sudut pandang dan dapat dinilia dengan
berbagai cara. Setiap kelompok efektivitasnya hanya dappat diukur dengan ukuran tertentu.
Ukuran itu tidak cocok dipakai untuk mengukur efektivitas kelompok siswa yang memiliki
karakteristik berbeda. Secara luas, kriteria dapat dirumuskan sebagia penjumlahan sifat-sifat
yang dimiliki kelompok tersebut. Misalnya, digunakan adalah kepuasan yang dicapai dan aktifitas
persaudaraan, disbanding kriteria lain sesuai dengan harapan yang dikehendaki. Pada kelompok
siswa peserta olempiade, kriterianya adalah memenangi perlombaan, ditandai dengan menerima
penghargaan, piala, uang, dan sebagainya.

Pada satuan pendidikan, ukuran tersebut menjadi sangat relative. Sesuatu yang dianggap
memuaskan oleh kepala sekolah belum tentu memuaskan bagi guru. Sesuautu yang sangat
memuaskan bagi guru, belum tentu memuaskan bagi siswa. Merujuk pada kriteria pokok
efektivitas kelompok serta tujuan penentuan kriteria itu, kelompok siswa dapat digolongkan ke
dalam beberapa golongan, yaitu:

1. Kelompok kerja siswa,

2. Kelompok siswa kreatif,

3. Kelompok siswa seminat atau sehobi,

4. Kelompok bakti social siswa,

5. Kelompok siswa secara tentative,

6. Kelompok siswa yang terbentuk secara kebetulan.

Dalam praktiknya, kelompok-kelompok siswa ini tidak dapat dipisahkan secara tegas. Dalam
kelompok kerja siswa, tidak jarang ada sub-sub kelompok minat, kreatif, bakti social dan lain-lain.
Disamping itu, perlu diingat dan harus jadi perhatian munculnya klasifikasi tanpa dasar karena
perbedaan kategori hal yang mungkin terjadi. Kelompok-kelompok khusus dapat saja terbentuk
melalui proses yang amat sederhana. Dilembaga-lembaga sekolah dikenal adanya Kelompok
Kerja Guru (KKG), Munyawara Guru Mata Pelajaran (MGMP), Panitia Penerima Siswa Baru
(PPSB), dan kelompok kerja lainnya sesuai dengan kebutuuhan. Kecenderungan itu harus
berlangsung pada setiap organisasi social.

E. Ukuran dan susunan kelompok siswa yang efektif

 Ukuran Kelompok Siswa yang Efektif

Pertanyaan yang sering muncul pada kalangan teoritis dan praktis adalah “ mana yang lebih
efektif, kelompok besar atau kelompok kecil?” P ertanyaan ini penting untuk menentukan
jumlah rombongan belajar siswa per kelas. Studi Kochler (1972) menunjukan bahwa dalam
olah raga Tarik tambang terlihat bahwa kelompok yang lebih besar dapat menarik lebih kuat
daripada kelompok kecil. Akan tetapi, tidak semua anggota kelompok sisiwa menguluarkan
tenaga tidak maksimal. Perluasan atau penambahan angggota mungkin saja meningkatkan
penampilan kelompok secara keseluruhan, tetapi dapat pula mengurangi produktivitas
masing-masing anggota kelompok itu. Peningkatan produktivitas kelompok siswa tidak
terbanding lurus dengan penambahan jumlah anggotanya.

Untuk memahami hubungan antara ukuran kelompok siswa dan penampilan kelompok
siswa yang efektif, perlu diteliti bagaimana perubahan ukuran kelompok itu dapat
memengaruhi variable terikat. Analog dengan kesimpulan ini, jika siswa dikelompokkan
dalam jumlah yang cukup banyak, bukan tidak mungkin tugas kelompok itu dapat mereka
selesaikan lebih cepat. Namun, bukan tidak mungkin cepatnya menyelesaikan tugas
kelompok itu karena salah satu atau beberapa anggotanya bekerja cepat. Jika demikian,
penyelesaian tugas kelompok ini tidak mempresentasikan sumbangsih masing-masing
anggota kelompok siswa.

Ukuran kelompok menentukan kohesivitas dan kepuasan anggotanya. Hasil penelitian


Seashore (1954) terhadap kohesivitas dari 228 kelompok kerja suatu pabrik yang besar
menghasilkan beberapa kesimpulan. Pertama, kelommpok yang lebih kecil, yang terdiri atas
sebanyak 4 atau sampai dengan 22 anggota, ternyata rata-rata lebih kohesif daripada
kelompok yang lebih besar. Kedua, jangkauan kohesivitas keompok kecil lebih besar
daripada kelompok besar. Ukuran kelompok berkorelasi dengan penyebaran partisipasi.
Bales (1951), Stephen, dan Mishler (1952) merumuskan bebrapa kesimpulan penelitian
sebagai berikut.

1. Jika luas kelompok bertambah besar, contributor yang paling efektif yang akan
memegang peranan dominan. Dalam kerangka ini, penunjukan keua kelas menjadi
penting untuk diperhatikan, untuk dapat memberi pengaruh kepada siswa lainnya.
Idealnya, ketua kelas adalah siswa yang rajin, pintar, santun, dan memiliki kemampuan
memimpin dan memengaruhi teman-temannya.
2. Semakin besar kelompok, semakin besar pula jarak partisipasi antara kotributor yang
paling aktif dan anggota kelompok lain. Dalam kaitan ini, jumlah rombongan belajar per
kelas hendaknya tidak terlalu banyak. Factor kemampuan guru dalam mengelola kelas
menjadi factor yang harus dipertimbangkan. Dengan kemampuan mengelolah kelas
dengan baik, seorang guru tetap akan mampu melaksanakan pembelajaran secara
relative efektif meskipun jumlah rombongan belajar cukup besar.

3. Pada kelompok besar, komunikasi cenderung terputus pada satu orang. Di kelas, gejala
ini dapat dikurangi dengan mengembangkan kelompok seminat atau sehobi. Di kelas,
tidak dihadapkan adanya seorang atau sekelompok siswa mendomisi yang lain, kecuali
untuk tujuan-tujuan pembelajaran yang produktif.

4. Jumlah orang yang kurang aktif atau kurang mengambil bagian sebagaimana mestinya
dalam suatu keompok akan menjadi lebih besar pula jika luas kelompok bertambah.
Dengan demikian, tampaknya akan lebih efektif mengelolah rombongan belajar yang
relative kecil daripada rombongan belajar yang besar.

Ukuran kelompok siswa dilihat juga dalam kaitannya dengan perilaku guru sebagai manajer
kelas. Corak perilaku kepemimpinan guru kelas dapat dipengaru dengan oleh ukuran
kelompok siswa. Ukuran kelompok berkaitan erat dengan produktivitas. Guru sebagai
manajer kelas dapat memengaruhi cara berfungsi siswa, baik secara individual maupun
kelompok, meskipun untuk mengkajinya tidak sederhana. Beberapa hasil penelitian tentang
hubungan antara besar atau luas kelompok dengan efektivitas sangat sulit didefinisikan.
Hasil penilitian Krech dkk. (1982) dibawah ini sangat mungkin bermanfaat bagi pelaksanaan
manajemen kelas oleh guru.

1. Antara hasil dengan luas atau besarnya anggota kelompok terdapat korelasi negative.
Kelompok kecil dengan kurang dari 10 orang, perorangan menghasilkan 7% lebih banyak
dari kelompok dengan anggota sebanyak 30 orang atau lebih.

2. Kepuasan (satisfaction) dan efisiensi kerja cenderung berkurang sejalan bertambahnya


unit-unit administrasi. Semakin banyak unit dalam organisasi, kepuasan dan efisiensi
menjadi semakin berkurang.

3. Dalam proses pemecahan masalah (problem solving), kelompok kecil (sekitar 3 orang)
lebih cepat dan lebih teliti dalam memecahkan masalah-masalah konkret. Kelompok
yang lebih besar, sekitar 6 orang, lebih cepat dalam memecahkan masalah-masalah
abstrak. Prodik pemikir kuantitatif lebih mudah dihasilkan kelompok kecil, sedangkan
produk pemikiran kualitatif lebih mudah dihasilkan oleh kelompok yang lebih besar.

4. Dalam hal efisiensi pemecahan masalah (efficiency of problem solving) disimpulkan


bahwa usaha memperbesar jumlah peserta dari 2 orang menjadi 4 orang yang
mengurangi kemungkinan membuat kekagagalan. Dengan demikian, kelompok penecah
maslah jangan terlalu kecil dan jangan terlalu besar. Oleh sebab itu, ada pembatas
jumlah maksimal anggota kelompok untuk mencapai hasil yang optimal. Besar optimal
dari anggota kelompok merupakan fungsi kekompakan dalam melaksanakan tugas atau
derajat ketidak seragaman (hitrogenity) kemampuan dan keterampilan yang diperlukan
untuk tugas itu dari anggota-anggota yang ada.

 Susunan Kelompok Yang Efektif

Merujuk pada beberapa hasil penilaian dapat disimpulakan bahwa factor dominan dari
efektifitas pencapaian tujuan oleh kelompok. Beberapa factor penentu dimaksud adalah
karakteristik-karakteristik perseorangan tiap anggota yang membentuk kelompok itu, dan
kombinasi atau pola kepribadian yang relative menetap yang membentuk kelompok itu.

Haython (1953 mengadakan penelitian tentang karakteristik perorangan anggota kelompok


dan pengaruhnya terhadap perilaku kelompok.

1. Perilaku kerja sama, efisiensi dan pengertian mempunyai hubungan posirif dengan
kelancaran kerja dan produktivitas kelompok.

2. Perangi perorangan, seperti sifat argesif, percaya pada diri sendiri, inisiatif minat pada
pemecahan masalah serta perseorangan, serta sifat otoriter, cenderung mengurangi
kohesivitas dan persahabatan.

3. Sifat ramah berlebihan dapat mengurangi motivasi kelompok serta persaingan, tetapi
dapat meningkatakan persahabatan dan minat dalam interaksi social dalam anggota.

4. Kematangan dan sifat dapat menyesuaikan diri serta menerima orang lain dapat
menunjang cara kerja efektif dari kelompok.

5. Sifat curiga, eksentrik dan tidak peduli terhadp teman cenderung melemahkan
kelancaran kerja kelompok.

F. Kombinasi Pola Pribadi Anggota

Pola pribadi siswa didalam kelas tidak terlalu menetap tetapi situasional. Masalah yang sama
dapat saja direspon oleh siswa secara berbeda jika situasinya berbeda. Dalam keadaan biasa,
masalh tertentu dihadapi oleh siwa dengan cara yang biasa pula. Pada kondisi tidak biasa,
masalh yang sama sering dihadapi oleh siswa dengan cara yang berbeda, seperti menggerutu,
destruktif, menghindarkan dir dan lain-lain.

Pola keanggotaan kelompk siswa daa dua jenis, yaitu pola keanggotaan homogen dan dan pola
keanggotaan kompatibel. Siswa yang mempunya penilaian, sikap dan minat yang sama
cenderung membentuk kelompok yang stabil dan tahan lama setidaknya selama mereka berad
dikelas yang sama. Kelompok siswa yang homogentidak saling mengingkari , meskipun
situasinya berbeda. Jika ada diantara kelompok siswa yang hanya ingin mengambil keuntungan
dari persahabatan itu tanpa mau mengambil resiko, berarti dia tidak berada pada pola
keanggotaan yang homogeny. Keseragaman atau ketidak seragaman anggota kelompok siswa
dapat memengaruhi hubungan antara sesame mereka dan menentukan produktivitas kelompok
siswa itu. Kelompok homogeny dapat membantu produktivitas, sedangkan kelompok heterogen
yang dapat dikendalikan secara baik membuat produktivitas semakin tinggi. Meskipun begitu,
praktiknya tidak selalu demikian karena bnyak factor penentu produktivitas , seperti sarana dan
prasarana, iklim kerja, ketentuan jam kerja, sitem imbalan dan lain-lain. Oleh karena itu
homogenitas kelompok dapat nenunjang produktivitas, dapat sebaliknya, yaitu menurunkan
produktifitas.

Pola keanggotaan kompetibel merupakan factor yang sangant penting. Penelitian Schutz (1957),
mengenai pengaruh kompatibilitas kelompok terhadap produktivitas, menghasilka kesimpulan
berikut ini.Pertama, pengaru kompatibilitas terhadap produktifitas sangat positif. Produktifitas
meningkat sejalan dengan meningkatnya kerumitan tugas. Kedua, pada pemecahan masalah
yang sederhana, yang tidak memerlukan kerja sama antaranggota, tidak terdapat perbedaan
yang nyata antara kelompok yang kompatibel dan yang tidak kompatibel. Semakin rumit
masalah yang dihadapi dalam pekerjaan, semakin nyata bahwa kelompok yang kompatibel lebih
baik penampilannya yang tidak kompatibel.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Manajemen kelas adalah segala usaha yang diarahkan untuk mewujudkan suasana
pembelajaran yang efektif dan menyenangkan serta dapat memotivasi peserta didik dengan
baik.

Ukuran produktivitas, efesiensi dan efektivitas kelompok siswa itu berbeda masing-masing
kelas, apabila menurut kriteria dan kepentingan siswa secara individual. Ukuran
produktivitas aktivitas rombongan belajar dengan pendekatan teoritis, berbeda dengan
rombongan belajar ddengan pendekatan praktik. Ukuran produktivitas kegiatan belajar di
kelas berbeda dengan kegiatan sejenis diluar kelas. Demikian juga, ukuran hasil belajar di
laboratoeium atau di objek-objek studi di luar kampus sekolah.

Sebagai manajer, guru dituntut dapat memberikan kekuatan formal dan personal melalui
tata kelola rombonagn belajar dan semua daya dukungnya secara dinamis dan efektif dan
efisien. Rombongan belajar yang tidak mampu menciptakan dinamika proses pembelajaran
yang baik akan terjebak kedala kejenuhan. Sebaliknya, kelompok siswa yang dapat
membangun dinamika yang dinamis untuk pembelajaran senantiasa dapat memupuk
semangat belajarnya secara kontinu.

Anda mungkin juga menyukai