Berdirinya Dinasti Umayyah bermula dari peristiwa Tahkim atau Perang Shiffin. ini
adalah perang saudara antara kubu Muawiyah 1 kontra Ali bin Abi Thalib, khalifah ke-4
setelah wafatnya Nabi Muhammad. Perang Shiffin terjadi usai kematian khalifah ketiga,
Utsman bin Affan, pada 17 Juni 656, yang membuka peluang bagi Ali bin Abi Thalib,
menantu Nabi Muhammad, untuk memimpin. Setelah Ali bin Abi Thalib wafat pada 29
Januari 661, kepemimpinan sempat dilanjutkan oleh Hasan, putra Ali dan cucu Nabi
Muhammad, selama beberapa bulan. Hasan kemudian melepaskan jabatannya. Usai Hasan
bin Ali mundur, Muawiyah I tampil sebagai pemimpin meskipun diwarnai dengan berbagai
polemik di antara umat Islam sendiri. Dari sinilah sejarah Kekhalifahan Umayyah dimulai.
Dinasti Umayyah memiliki peran penting dalam perkembangan Islam. Kekhalifahan
ini pernah dipimpin oleh tokoh-tokoh berpengaruh, di antaranya adalah Al-Walid bin Abdul-
Malik dan Umar bin Abdul Aziz. Di masa pemerintahan Al Walid bin Abdul-Malik (705-
715), kekuasaan Kekhalifahan Umayyah meluas hingga ke Spanyol. Penaklukan Andalusia
terjadi pada 711 Masehi. Pembangunan diutamakan pada masa ini. Dibangunnya rumah sakit
dan Masjid Al Amawi di Damaskus, Masjid Al Aqsa di Yerussalem, perluasan Masjid Nabawi
di Madinah, merupakan sejarah penting dari peran Dinasti Umayyah. Ketika Umar bin Abdul
Aziz (717-720) menjadi khalifah, bidang keilmuan Islam merupakan prioritas utama.
Pengarsipan hadis, pengembangan bahasa Arab, ilmu qiraah (membaca Alquran), fikih,
hingga berbagai karya tulis maupun produk ilmiah berkembang pesat pada masa ini.
Kejayaan Dinasti Umayyah mulai menurun ketika kelompok yang tidak puas terhadap
pemerintahan mulai muncul. Bani Abbasiyyah memimpin upaya perlawanan ini dan pada
akhirnya melemahkan kekuasaan Bani Umayyah. Pertengahan abad ke-6 menjadi masa-masa
krusial Kekhalifahan Umayyah. Pada periode ini, Umayyah mulai mengalami kekalahan dari
pasukan Abbasiyyah. Hingga akhirnya, pada 750 M Damaskus berhasil direbut oleh
Abbasiyyah yang praktis membuat pemerintahan Umayyah jatuh. Khalifah terakhir Dinasti
Umayyah di Damaskus adalah Marwan II bin Muhammad (744-750). Sejak itu, berakhirlah
era Umayyah di Damaskus dan dimulailah era baru di Andalusia dengan pusatnya di
Cordoba, Spanyol.
DINASTI UMAYYAH SPANYOL
Dinasti Umayyah di Spanyol, juga dikenal sebagai Kekhalifahan Umayyah di
AlAndalus. Dinasti ini didirikan oleh Abdurrahman I (756-788 M). Abdurrahman I adalah
penguasa pertama dinasti Umayyah di Spanyol. Ia melarikan diri dari penganiayaan dinasti
Abbasiyah di Timur dan berhasil membangun kekhalifahan di Al-Andalus. Ia memperkuat
pemerintahannya, membangun infrastruktur, dan menggencarkan ekspansi wilayah.
Dinasti Umayyah di Spanyol dikenal dengan kebijakan toleransi terhadap agama dan
kebudayaan yang beragam di wilayah kekhalifahan. Kaum Muslim, Kristen, dan Yahudi
hidup berdampingan dengan relatif damai. Banyak dari mereka yang diberikan kebebasan
beragama dan hak-hak lainnya, serta berkontribusi dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan
sastra.
PERANG SALIB
Perang Salib adalah serangkaian perang agama yang berlangsung antara abad ke11
dan ke-13 antara pasukan Kristen dari Eropa Barat dan pasukan Muslim di Timur Tengah.
Berikut adalah resume singkat perang Salib:
Perang Salib dipicu oleh konflik agama antara Kristen dan Muslim. Pada abad ke 11,
wilayah Timur Tengah, termasuk Tanah Suci (Yerusalem dan sekitarnya), dikuasai oleh
Kekhalifahan Fatimiyah, yang dianggap sebagai ancaman oleh gereja-gereja Kristen di Eropa
Barat. Pemicu Utamanya adalah Paus Urbanus II memimpin panggilan untuk membebaskan
Tanah Suci dari cengkeraman Muslim dalam pidato terkenalnya pada tahun 1095, yang
dikenal sebagai "Panggilan untuk Salib". Ini menginspirasi ribuan orang Kristen Eropa untuk
bergabung dalam kampanye perang Salib untuk merebut kembali Tanah Suci dari Muslim.
Perang Salib terdiri dari beberapa ekspedisi militer yang dilakukan oleh pasukan
Kristen Eropa. Ekspedisi militer pertama (1096-1099) dipimpin oleh para bangsawan Eropa
seperti Raja Richard I dari Inggris dan Raja Philip II dari Prancis, dan berhasil merebut
Yerusalem pada tahun 1099, membentuk Kerajaan Yerusalem yang didominasi oleh Kristen.
Perang Salib juga diwarnai oleh konflik internal, persaingan kekuasaan antara
penguasa Kristen di Timur Tengah, serta serangan balasan dari pasukan Muslim di bawah
pimpinan pemimpin seperti Salahuddin al-Ayyubi (Saladin). Salahuddin akhirnya merebut
kembali Yerusalem dari pasukan Kristen pada tahun 1187, menyebabkan kekalahan bagi
Kerajaan Yerusalem.
Setelah itu, terjadi beberapa ekspedisi militer lanjutan, seperti Perang Salib Ketiga
(1189-1192) yang dipimpin oleh Raja Richard I dari Inggris, dan Perang Salib Keempat
(1202-1204) yang berakhir dengan penjarahan Konstantinopel, ibu kota Kekaisaran
Bizantium.
Perang Salib berlanjut selama beberapa dekade, tetapi secara umum dapat dikatakan
bahwa tujuan asli untuk merebut kembali Tanah Suci dari Muslim tidak berhasil dicapai
secara permanen. Terakhir, Perang Salib berakhir pada abad ke 13 dengan kekalahan pasukan
Kristen Eropa dan pengurangan minat mereka terhadap kampanye militer di Timur Tengah.
Dinasti Utsmani berawal dari keturunan suku Kabilah di Turkmenistan pada abad ke-
12, yang merupakan pengembara dari Kurdistan ke Anatolia. Pengembara itu dipimpin oleh
Raja Erthugrul dan anaknya, Usman I, yang pindah untuk menghindari serangan dari Mongol
di bawah Jenghis Khan. Raja Erthuugrul dan rombongannya akhirnya menetap di Kota
Athlah, sebelah timur Turki dan bergabung dengan Dinasti Saljuk. Mereka kemudian
membantu Dinasti Saljuk melawan Romawi hingga memenangkan pertempuran. Atas
bantuan tersebut, Raja Erthugrul diberi hadiah sebidang tanah di barat Anatolia yang
berbatasan dengan Romawi. Ia juga diberikan wewenang untuk meluaskan wilayahnya
hingga mendekati Romawi. Setelah Dinasti Saljuk runtuh, Usman I mendeklarasikan
berdirinya Dinasti Usmani di Turki.
Masa kejayaan Kesultanan Utsmani dimulai saat Sultan Selim I memerintah pada
abad ke-16. Selim I fokus pada perluasan wilayah ke selatan Turki. Ia juga berhasil
menguasai Baghdad, Kairo dan sisa-sisa kekuasaan Byzantium. Hingga abad ke-17.
Kesultanan Utsmani menjadi kerajaan Islam penting di Timur Tengah dan Semenanjung
Balkan. Setelah Selim I wafat dan digantikan oleh Sultan Suleiman I pada 1520, Kesultanan
Utsmani berhasil menguasai Lembah Sungai Nil hingga ke Gibrlatar. Kala itu, hanya Maroko
daerah yang tidak berhasil dikuasai. Kerajaan Usmani dalam menjalankan roda pemerintahan
sangat menghargai agama, dengan bukti Suleiman I membuat undang-undang bagi rakyat
dari berbagai golongan. Dengan itu, Suleiman I diberi gelar Al Kanuni yang memiliki makna
ahli penyusun undang-undang. Selain itu, di masa kejayaannya Kesultanan Utsmani
mengedepankan sikap toleransi terhadap keberagaman agama. Di era Suleiman I juga ajaran
Islam berkembang pesat. Begitu pula dengan kebudayaan, perdagangan, dan ilmu
pengetahuan.
Kesultanan Utsmaniyah secara resmi berakhir pada 1922, ketika gelar Sultan Utsmaniyah
ditiadakan. Adapun beberapa penyebab dari runtuhnya Kesultanan Utsmani adalah tidak
berwibawanya Sultan yang memerintah terutama di masa krisis Perang Dunia I dan terjadi
banyak penyimpangan terkait keuangan negara. Selain itu gaya hidup yang mewah kalangan
pembesar istana menjadi salah satu faktor runtuhnya Utsmani. Setelah Gencatan Senjata
Mudros (1918), sebagian besar wilayah Utsmaniyah dibagi antara Inggris, Prancis, Yunani,
dan Rusia. Turki dinyatakan sebagai republik pada 29 Oktober 1923, ketika Mustafa Kemal
Ataturk (1881-1938), seorang perwira militer, mendirikan Republik Turki yang merdeka.
DINASTI SAFAWIYAH
Berdirinya Dinasti Sawafi bermula dari gerakan tarekat Safawiyah yang didirikan
oleh Shafi Al-Din (1253-1334) di Azerbaijan. Dalam perkembangannya, tarekat ini
mendapatkan banyak pengikut, bahkan hingga kepemimpinan Sadr al-Din Musa, yang
menggantikan Shafi Al-Din. Namun, gerakan tarekat Safawiyah mulai berubah pada
pertengahan abad ke-15, ketika dipimpin oleh cicit Sadr al-Din Musa yang bernama Syekh
Junayd. Syekh Junayd adalah sosok yang haus kekuasaan, sehingga tarekat Safawiyah
berubah menjadi militan dan mulai meluaskan pengaruhnya di bidang politik serta militer.
Gerakan Safawiyah kemudian bergerak ke wilayah Iran, hingga berhasil merebutnya dari
pemerintahan Timuriyah yang didirikan oleh Timur Lenk pada abad ke-14. Sejak
kemunduran Dinasti Timuriyah, secara politik Iran telah terpecah, dan lahirlah berbagai
gerakan keagamaan beraliran Syiah. Salah satu yang terkuat secara politik adalah Safawi
Qizilbash, yang dipimpin oleh Shah Ismail I. Ismail I kemudian mendirikan Kerajaan Safawi
pada 1501, yang menjadikannya sebagai raja pertama serta pendiri Dinasti Safawiyah.
Dinasti Safawi mengalami masa kejayaan di era pemerintahan Abbas I (1587–1629),
yang berhasil mengatasi gejolak politik dalam negeri dan merebut beberapa wilayah. Pada
puncaknya, kerajaan ini menguasai wilayah yang sekarang dikenal sebagai Iran, Republik
Azerbaijan, Bahrain, Armenia, Georgia timur, sebagian Kaukasus Utara termasuk Rusia, Irak,
Kuwait, dan Afghanistan, serta sebagian Turki, Suriah, Pakistan, Turkmenistan, dan
Uzbekistan. Kemajuan juga dirasakan pada bidang ekonomi, yang ditandai dengan
penguasaan atas Kepulauan Hurmuz dan Pelabuhan Gumrun, yang diubah menjadi Bandar
Abbas. Hasilnya, Safawi menguasai perdagangan antara Barat dan Timur. Kehidupan
perekonomian kerajaan juga ditopang oleh hasil pertanian yang melimpah. Pada bidang ilmu
pengetahuan, ada beberapa nama ilmuwan hebat dari era Kerajaan Safawi, yakni Baha al-
Dina al-Syaerazi, Sadar al-Din al-Syaerazi, dan Muhammad al-Baqir Ibn Muhammad
Damad. Sedangkan kemajuan Kerajaan Safawi bidang arsitektur ditandai dengan berdirinya
sejumlah bangunan megah, seperti masjid, sekolah, rumah sakit, dan berbagai fasilitas public.
Kemunduran Kerajaan Safawi dirasakan setelah Abbas I turun takhta pada 1628.
Pasalnya, para pemimpin setelahnya kurang memperhatikan kemajuan pemerintahan dan
rakyatnya. Selain itu, pergolakan antara golongan Islam Syiah dan Sunni juga menjadi
penyebab kerajaan mengalami kemerosotan. Kemudian pada 1722, terjadi pemberontakan
orang Afghanistan yang dipimpin oleh Mir Mahmud, yang berhasil menduduki ibu kota
Isfahan. Pada 1729, Tahmasp II, sempat merebut istana Isfahan dengan bantuan Jenderal
Nadir dari suku Qazar di Rusia, dan merestorasi kerajaan. Namun, pada 8 Maret 1736, Raja
Abbas III akhirnya lengser, dan sekaligus menandai runtuhnya Dinasti Safawiah.
DINASTI MUGHAL
Dinasti Mughal adalah kerajaan Islam yang pernah berkuasa di India dari abad ke-16
hingga abad ke-19. Meski bukan kerajaan Islam pertama di India, kerajaan ini memberikan
pengaruh yang besar terhadap perkembangan Islam di tanah Hindu tersebut. Kesultanan
Mughal atau Kerajaan Mogul di india didirikan oleh Zahiruddin Babur, cucu Timur Lenk,
yang berasal dari keturunan Genghis Khan dari Mongol. Sementara khalifah yang membawa
Daulah Mughal ke puncak kejayaan adalah Jalaluddin Akbar, yang memerintah antara 1556-
1605 M. Namun, memasuki abad ke-19, Kesultanan Mughal mulai runtuh karena para raja
penerusnya tidak sanggup memertahankan kebesaran para pendahulunya.
Kesultanan Mughal mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Akbar
(1556-1605 M). Di bawah kendali Akbar, kesultanan ini tidak hanya maju di bidang politik
dan militer, tetapi juga di bidang ekonomi, pendidikan, arsitektur, seni dan budaya, serta
keagamaan. Kejayaan yang diraih Akbar masih dapat dipertahankan oleh tiga sultan
berikutnya, yaitu Jahangir (1605-1628 M), Shah Jahan (1628-1658 M) dan Alamgir atau
Aurangzeb (1658-1707 M). Pada periode ini, Kesultanan Mughal memiliki pertahanan militer
yang tangguh dan sukar ditaklukkan. Stabilitas politik karena sistem pemerintahan yang
diterapkan Akbar juga membawa kemajuan dalam segala bidang lainnya. Dalam bidang
ekonomi, Kesultanan Mughal dapat mengembangkan program pertanian, pertambangan, dan
perdagangan. Di samping untuk kebutuhan dalam negeri, hasil pertanian itu diekspor ke
Eropa, Afrika, Arabia, dan Asia Tenggara, bersamaan dengan hasil kerajinan seperti kain
tenun serta kain tipis berbahan gordyin yang banyak diproduksi di Bengal dan Gujarat.
Ketika Shah Jahan berkuasa, ia memerintahkan untuk membangun Taj Mahal, yang
menjadi salah satu bukti kemajuan di bidang arsitektur Mughal. Pada masa pemerintahan
Aurangzeb, pajak dihapuskan, harga bahan pangan diturunkan, dan korupsi diberantas.
Selama satu setengah abad, Kesultanan Mughal menjadi negara adikuasa yang menguasai
perekonomian dunia, mengalahkan Dinasti Qing di China dan Eropa Barat. Pada awal abad
ke-18, wilayah kekuasaannya membentang dari Bengal di Timur ke Kabul dan Sindh di
Barat, Kashmir di Utara ke lembah Kaveri di Selatan. Penduduknya saat itu diperkirakan
mencapai 150 juta jiwa, atau sekitar seperempat dari populasi dunia saat itu. Dengan berbagai
pencapaian itu, Mughal dapat dianggap sebagai salah satu kekaisaran terbesar di dunia kala
itu.
Setelah satu setengah abad berada dalam kejayaannya, Kesultanan Mughal mulai
mengalami kemunduran. Sepeninggal Aurangzeb, para penerusnya tidak sanggup
memertahankan kebesaran para pendahulunya. Bidang militer dan pertanian yang menjadi
tumpuan kebesaran Mughal tidak lagi dikembangkan. Kejayaan Mughal pun secara perlahan
hilang akibat satu per satu daerah kekuasaannya melepaskan diri dan mendirikan kerajaan
baru. Memasuki pertengahan abad ke-19, Inggris telah mengendalikan sebagian besar
wilayah kekuasaan Mughal. Raja terakhir Kesultanan Mughal, Bahadur Shah II, yang hanya
memiliki otoritas atas Kota Shahjahanabad, akhirnya digulingkan setelah Pemberontakan
India pada 1857. Bahadur Shah II kemudian diasingkan ke Myanmar oleh Inggris dan
peristiwa ini menandai berakhirnya Kesultanan Mughal.