Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Limbah Cair Laundry


Air limbah adalah cairan buangan dari rumah tangga, industri dan
tempat – tempat umum lain yang mengandung bahan – bahan atau zat – zat
yang dapat membahayakan kehidupan manusia dan makhluk lainnya serta
mengganggu kelestarian lingkungan (Sumantri, 2015). Air limbah memiliki
karakteristik secara fisika, kimia dan biologi. Secara fisik, air limbah
memiliki karakteristik yang diamati suhu, warna, bau dan kekeruhan.
Karakteristik air limbah secara kimia yaitu terdapat berbagai macam
kandungan dalam air limbah seperti bahan – bahan organik dan anorganik.
Kandungan tersebut mencakup pH, BOD, COD dan bahan kimia berbahaya
seperti fosfor, nitrogen dan klorida. Pada karakteristik biologi pada
umumnya terkandung berbagai macam organisme seperti bakteri, jamur dan
organisme air sejenis (Sperling, 2007).
Berdasarkan sumber penghasilnya, air limbah dibagi menjadi dua
jenis yaitu air limbah industri dan air limbah domestik (Helmer dan
Hespanhol, 1997). Air limbah domestik menurut Suyasa (2015) adalah air
hasil buangan dari perumahan, bangunan, perdagangan, perkantoran dan
sarana sejenisnya. Air limbah domestik dikarakteristikan sebagai grey water
dan black water. Grey water adalah limbah domestik yang berasal dari air
bekas cucian piring, air bekas mandi dan cuci pakaian. Sedangkan black
water adalah air limbah yang dikeluarkan melalui toilet, urinoir dan bidets
(Cahyadi, 2008).
Air limbah laundry berasal dari sisa proses kegiatan mencuci
pakaian. Maka dari itu, air limbah tersebut dapat digolongkan ke dalam
kategori grey water. Menurut Tjandraatmadja dan Diaper (2006), pengaruh
perubahan kualitas grey water selama 10 tahun terakhir ini adalah
berubahnya formula pada produk laundry seperti deterjen, softener, pemutih
dan jenis produk laundry lainnya.

6 6
2.2. Limbah Deterjen
Deterjen adalah produk konsumen dengan volume yang sangat besar,
setelah pemakaiannya akan dibuang sebagai limbah domestik. Sebagai
pengganti sabun, deterjen telah dianggap sebagai kontributor utama polusi
air. Sebagai contoh, formulasi deterjen awal mengandung surfaktan non
biodegradable. Air limbah deterjen termasuk polutan atau zat yang
mencemari lingkungan karena di dalamnya terdapat zat yang disebut ABS
(alkyl benzene sulphonate) yang merupakan detergen tergolong keras.
Detergen tersebut umumnya non biodegradable. Surfaktan sebagai
komponen utama dalam deterjen memiliki rantai kimia yang sulit
didegradasi alam (Sutanto, 1996 & Widiyani, 2010). Eutrofikasi dan
masalah terkait dengan menurunnya kualitas air juga telah menerima banyak
perhatian dalam beberapa tahun terakhir terutama dalam hal efek pada badan
air.
Phospat dalam deterjen telah menarik banyak perhatian karena fosfor
menyebabkan pencemaran air. Umumnya deterjen yang digunakan sebagai
pencuci pakaian / laundry merupakan deterjen anionik yang memiliki daya
bersih tinggi. Phospat memegang peran penting dalam produk deterjen,
sebagai softener air. Bahan ini mampu menurunkan kesadahan air dengan
cara mengikat ion kalsium dan magnesium. Berkat aksi softenernya,
efektifitas dari daya cuci deterjen meningkat. Phospat tidak memiliki daya
racun, bahkan sebaliknya merupakan salah satu nutrisi penting yang
dibutuhkan makhluk hidup. Tetapi dalam jumlah yang terlalu banyak, fosfat
dapat menyebabkan pengkayaan unsur hara (eutrofikasi) yang ditandai oleh
ledakan pertumbuhan tanaman air dan kemudian menyebabkan pencemaran
di suatu badan air (Widiyani, 2010).

2.5. Phospat (PO4)


Phospat yang terdapat pada air alam dan limbah cair, hadir dalam
bentuk senyawa ortophospate, poliphospate, dan phospate organis.
Ortophospate adalah senyawa monomer seperti H2PO4-, HPO42-, dan PO43-,

6 7
sedangkan poliphospate (juga disebut “condensed phosphates”) merupakan
senyawa polimer seperti (PO3)63- (heksametaphospate) P3O105
(tripoliphospate) dan P2O74 (pirophospate). Pirophospate organik adalah P
yang terikat dengan senyawa – senyawa organik sehingga tidak berada pada
larutan secara lepas. Dalam air atau limbah cair, fosfor P yang terlepas dan
senyawa P selain yang disebutkan di atas hampir tidak ditemui.
Phospat ini berasal dari Sodium Tripolyphospate (STPP) yang
merupakan salah satu bahan yang kadarnya besar dalam deterjen (Hera,
2003). STTP ini akan terhidrolisa menjadi PO 4 dan P2O7 yang selanjutnya
terhidrolisa menjadi PO4 (Hera, 2003). Reaksinya adalah sebagai berikut :
P3O105- + H2O PO43- + P2O74- + 2H+
P2O74- + H2O 2PO43- + 2H+
Kehadiran senyawa phospat umumnya dalam bentuk terlarut,
tersuspensi atau terikat di dalam sel organisme dalam air. Dalam limbah cair
senyawa phospat dapat berasal dari buangan limbah cair hasil kegiatan
rumah tangga, industri, dan aktifitas pertanian. Di daerah pertanian
ortophospate berasal dari bahan pupuk, yang masuk ke dalam aliran air
sungai, drainase dan aliran air hujan. Poliphospate dapat memasuki aliran
air sungai melaui buangan limbah cair domestik (rumah tangga), dan
industri yang menggunakan bahan detergen yang mengandung phospat
seperti industri pencucian, industri logam, dan sebagainya. Sedangkan
phospat organik terdapat dalam limbah cair domestik (tinja) dan sisa
makanan. Phospat organik dapat terjadi dari ortophospate yang terlarut
melalui biologis karena baik bakteri maupun tanaman menyerap phospat
untuk pertumbuhannya. Bermacam – macam jenis phospat juga digunakan
untuk pengolahan anti karat dan anti kerak pada unit pemanas air (boiler)
(Purwanto, 2008).
Dampak phospat diperairan jika berlebihan akan sangat
memungkinkan tumbuhan air berukuran mikro, untuk tumbuh berkembang
biak dengan pesat (blooming) akibat ketersediaan phospat yang berlebihan
serta kondisi lain yang memadai. Hal ini bisa dikenali dengan warna air
yang menjadi kehijauan, berbau tak sedap, dan kekeruhannya yang menjadi

6 8
semakin meningkat. Banyaknya eceng gondok yang bertebaran di rawa-rawa
dan danau-danau juga disebabkan phospat yang sangat berlebihan ini.
Akibatnya, kualitas air di banyak ekosistem air menjadi sangat menurun.
Rendahnya konsentrasi oksigen terlarut, bahkan sampai batas nol,
menyebabkan makhluk hidup air seperti ikan dan spesies lainnya tidak bisa
tumbuh dengan baik sehingga akhirnya mati. Hilangnya ikan dan hewan
lainnya dalam mata rantai ekosistem air menyebabkan terganggunya
keseimbangan ekosistem air. Permasalahan lainnya, cyanobacteria (blue
green algae) diketahui mengandung toksin sehingga membawa risiko
kesehatan bagi manusia dan hewan.

2.4. Amonia (NH3)


Amonia (NH3) merupakan senyawa nitrogen yang menjadi NH 4+
pada pH rendah dan disebut ammonium. Amonia sendiri berada dalam
keadaan tereduksi (-3). Amonia dalam air permukaan berasal dari buangan
limbah cair rumah tangga terutama dari air seni dan tinja, juga dari hasil
proses oksidasi zat organik (HaObCcNd) secara mikrobiologis, yang berasal
dari air alam atau buangan limbah cair industri dan buangan penduduk,
sesuai dengan gambaran reaksi berikut ini :
bakteri
HaObCcNd+(c + a/4 – b/2 – 3/4d)O2 c CO2+(a/2 – 3/2d)H2O+dNH3
Zat Organik
Dapat dikatakan amonia berada dimana – mana, dari kadar beberapa
mg/lt pada air permukaan dan air tanah sampai kira – kira 30 mg/lt lebih,
pada buangan limbah cair. Air tanah hanya mengandung sedikit NH 3, karena
NH3 dapat menempel pada butir – butir tanah liat selama infiltrasi air
kedalam tanah, dan sulit terlepas dari butir – butir tanah liat tersebut. (Alaert
dan Santika, 1984)
Kadar amonia yang tinggi pada air badan air selalu menunjukkan
adanya pencemaran. Rasa NH3 kurang enak, sehingga kadar NH3 harus
rendah, pada air minum kadarnya nol dan pada air sungai harus dibawah 0,5
mg/lt N (syarat baku mutu air badan air di Indonesia).

6 9
NH3 tersebut dapat dihilangkan sebagai gas melalui proses aerasi atau
reaksi dengan hipoklorit HOCl atau kaporit dan sebagainya, hingga menjadi
kloramin yang tidak berbahaya atau sampai menjadi N2.
Pada buangan limbah cair NH3 dapat diolah secara mikrobiologis
melalui proses nitrifikasi hingga menjadi Nitrit NO2 dan Nitrat NO3 sesuai
dengan reaksi berikut ini :
Nitromonas
2NH4+ + 3O2 2NO2- 4H+ + 2 H2O + energy
Nitromonas
2 NO2- + O2 2NO3- + energi
Nitrit dan Nitrat merupakan bentuk nitrogen yang teroksidasi,
dengan tingkat oksidasi masing – masing +3 dan +5. Nitrit biasanya tidak
bertahan lama dan merupakan keadaan sementara proses oksidasi antara
ammoniak dan nitrat, yang dapat terjadi pada instalasi pengolahan air limbah
(IPAL), dalam air badan air saluran drainase (Alaert dan Sumeastri, 1984).
Nitrit yang ditemui pada air minum berasal dari bahan inhibitor
korosi yang dipakai pabrik untuk mendapatkan air dari system distribusi air
minum. Nitrit sendiri membahayakan kesehatan karena dapat bereaksi
dengan hemoglobin dalam darah, hingga darah tersebut tidak dapat
mengangkut oksigen lagi. Disamping itu NO2 juga menimbulkan
nitrosamine (RR’N – NO) pada buangan limbah cair tertentu, sedangkan
nitrosamine tersebut dapat menyebabkan kanker (Purwanto, 2008).

2.5. Aplikasi Teknologi Pengolahan Limbah Cair Domestik


Terdapat berbagai macam teknologi terapan yang telah
dikembangkan oleh para ahli di bidang pengolahan limbah cair. Teknologi
tersebut diharapkan dapat ikut mengurangi permasalahan limbah cair. Satu
teknologi tersebut ialah :

6 10
Sistem Constructed Wetland
Menurut Hammer (1991), sistem constructed wetland adalah sistem
yang terdiri dari tiga factor utama :
2.5.1. Area yang tergenang air dan mendukung hidup tanaman air sejenis
hydrophita.
2.5.2. Media tempat tumbuh tanaman berupa tanah yang selalu digenangi
air (basah).
2.5.3. Media tempat tumbuh tanaman bias juga bukan tanah, tetapimedia
yang jenuh dengan air.
Definisi lain dari sistem constructed wetland adalah suatu lahan yang
jenuh air dengan kedalaman air yang kurang dari 0,6 m yang mendukung
pertumbuhan tanaman air misalnya cattail, bulrush, umbrella plant dan
canna (Metcalf dan Eddy, 1991).

2.6. Proses Pengelolaan Limbah Dengan Rawa Buatan (Construted Wetland)


Pengelolaan air tercemar dengan rawa buatan adalah sistem
pengelolaan air tercemar yang memanfaatkan tumbuhan air dan
mikroorganisme sebagai mesin pengolahan limbah serta matahari sebagai
sumber energinya. Oleh sebab itu sistem rawa buatan adalah sistem
lingkungan (ekosistem) yang berkelanjutan (environmental substraintable).
Pada prinsipnya sistem ini memanfaatkan aktifitas mikroorganisme
yang menempel pada akar tumbuhan air dalam menguraikan zat pencemar
dimana akar tumbuhan menghasilkan oksigen sehingga tercipta kondisi
aerobik yang mendukung penguraian tersebut. Pada akhirnya di dalam rawa
buatan terjadi siklus biogeokisme dan rantai makanan, sehingga sistem ini
merupakan sistem berkelanjutan (Meutia, 2001).
2.6.1. Mikroorganisme
Mikroorganisme pada rawa buatan biasanya melekat
dipermukaan perakaran dan substrat atau media membentuk biofilm.
Mikroorganisme berperan sangat penting dalam sistem rawa buatan
karena mikroorganisme melaksanakan penguraian bahan – bahan
baik secara aerobik maupun anaerobik.

6 11
2.6.2. Tanaman air
Tanaman berperan dalam translokasi oksigen ke zona akar.
Tumbuhan air mempunyai sistem akar rizhosphere yang
mengandung saluran udara tebal tempat ujung akar rambut
menggantung dan cabang yang tumbuh vertikal ke atas. Tanaman
menyerap O2 yang ada di udara melalui daun dan diteruskan ke
batang dan akar (rizhoma). Keberadaan O2 di sekitar akar
rizhosphere menstimulasi pertumbuhan bakteri aerobik di dalam air
dan media terutama di daerah sekitar akar. Kepadatan tanaman yang
ideal untuk sistem ini adalah berkisar antara 40 – 60 tanaman
permeter persegi.
Tanaman air pada rawa buatan berperan sebagai :
2.6.2.1. Penyediaan oksigen bagi proses penguraian zat pencemar.
2.6.2.2. Media tumbuh dan berkenbangnya mikroorganisme.
2.6.2.3. Penahan laju aliran sehingga memudahkan proses
sedimentasi padatan, membantu proses filtrasi (terutama
bagian perakaran tanaman), dan pencegahan erosi.
2.6.2.4. Penyerapan nutrient dan bahan – bahan lainnya.
Pencegahan pertumbuhan virus dan bakteri patogen dengan
mengeluarkan zat – zat tertentu semacam antibiotik, selain itu serasa
tumbuhan juga dapat mencegah pertumbuhan jentik – jentik nyamuk
dan mengurangi bau.
2.6.3. Substrat atau media
Substrat atau media tanam berperan sebagai tempat
menempelnya mikroorganisme sehingga memperluas permukaan
sistem rawa buatan. Selain itu substrat juga berperan untuk
menyongkong tumbuhan air, membantu proses filtrasi (terutama
pada rawa buatan beraliran bawah permukaan atau subsurface flow,
dan menampung sediment. Jenis substrat sangat mempengaruhi
waktu detensi, oleh karena itu pemilihan substrat yang tepat sangat
menentukan keberhasilan sistem dalam mengolah air limbah.

6 12
2.6.4. Kolom air
Kolom air di dalam rawa buatan berperan penting, karena
apabila kolom air tertentu akan berpengaruh terhadap efisiensi rawa
buatan. Rawa buatan memiliki kemampuan yang cukup tinggi dalam
menghilangkan bahan pencemar.

2.7. Tipe – Tipe Rawa Buatan Berdasarkan Aliran Air


2.7.1. Rawa buatan beraliran di bawah permukaan (subsurface flow
constructed wetland)
Rawa buatan dengan sistem aliran bawah permukaan ini
terdiri dari saluran – saluran atau kolam – kolam dangkal yang berisi
tanah, pasir, atau media batu atau kerikil yang akan membantu
proses penyaringan air. Air tercemar atau air limbah mengalir
dibawah permukaan media horizontal melalui zona perakaran
tanaman rawa diantara kerikil atau pasir (Meutia, 2001). Dalam
sistem pengaliran air di bawah permukaan ini, mikroorganisme
sangat berperan dalam menghilangkan bahan pencemar.
Mikroorganisme yang menempel di dekat akar menguraikan bahan
pencemar secara aerob, kondisi subtrat yang aerob di dekat perakaran
tumbuhan ini disebabkan oleh adanya pasokan oksigen dari akar
tanaman (Khiatuddin, 2003). Tipe rawa buatan beraliran bawah
permukaan (subsurface flow atau SSF) dapat dilihat pada Gambar
2.1.

6 13
Gambar 2.1. Rawa Buatan Beraliran Bawah Tanah
Subsurface flow constructed wetland disebut juga rawa
buatan dengan aliran di bawah permukaan tanah. Air limbah
mengalir melalui tanaman yang ditanam pada media yang berpori
(Novoty dan Olem, 1994). Sistem ini menggunakan media seperti
pasir dan kerikil dengan diameter bervariasi antara 3 – 32 mm, untuk
zona inlet dan outlet biasanya digunakan diameter kerikil yang lebih
besar untuk mencegah terjadinya penyumbatan
Proses pengolahan yang terjadi pada sistem ini adalah filtrasi,
absorbsi oleh mikroorganisme, dan absorbsi oleh akar – akar
tanaman terhadap tanah dan bahan organik (Novoty dan Olem,
1994). Pada sistem ini diperlukan slope untuk pengaliran limbah atau
air yang tercemar dari inlet dan outlet. Tipe pengaliran air limbah
pada umumnya secara horizontal, karena jenis ini memiliki efesiensi
pengolahan terhadap suspended solid dan bakteri lebih tinggi
dibandingkan tipe yang lain. Hal ini disebabkan karena daya
filtrasinya lebih baik (Khiattudin, 2003). Disamping itu sistem
pengolahan ini merupakan alternative pengolahan air yang hampir
tidak mempunyai efek samping dan tidak membutuhkan biaya besar
sehingga mampu menjadi solusi tepat yang dapat dengan mudah
diterapkan.
2.7.2. Rawa buatan beraliran permukaan (surface flow constructed
wetland)
Rawa buatan dengan sistem aliran permukaan terdiri dari
kolam atau saluran dengan media alami (tanah) atau buatan (pasir
atau kerikil) untuk menyongkong pertumbuhan tanaman air.
Tanaman air mencuat (emergent aquatic plant) tumbuh di atas media
tanam dan air tercemar diolah pada saat air mengalir diatas
permukaan media tanam dan air tercemar diolah pada saat air
mengalir diatas permukaan media diatas permukaan media melalui
rumpun tanaman (Meutia, 2001). Rawa tipe ini mirip dengan rawa
alami dimana air tercemar mengalir disela – sela tumbuhan air, di

6 14
atas permukaan media tanam yang tergenang (Khiatuddin, 2003).
Pada rawa buatan tipe ini, air tercemar terutama diolah oleh bakteri
yang menempel di batang, daun, dan rhizome tanaman air.
Ketinggian paras air pada rawa buatan tipe ini biasanya kurang dari
0,4 m (Fujita research, 2004). Rawa buatan beraliran permukaan
biasanya panjang dan sempit untuk mengurangi aliran air singkat
(hydraulic short circuiting) (Meutia, 2001). Tipe rawa buatan
beraliran permukaan (surface flow atau SF) dapat dilihat pada
Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Rawa Buatan Beraliran Permukaan

2.7.3. Rawa buatan beraliran vertikal


Rawa buatan beraliran vertikal sering digunakan pada tahap
awal sistem pengolahan air tercemar setelah proses pra pengendapan
air limbah dilakukan. Pada rawa buatan tipe ini, air dialirkan diatas
permukaan kolam secara berselang – seling sehingga terjadi percikan
air yang merembes atau mengalir kebawah melalui media kerikil dan
sistem perakaran tanaman dimana proses – proses penjernihan alami
secara aerobik berlangsung.
Pengontrolan debit air perlu dilakukan agar tidak terbentuk
genangan air di bagian dasar sistem rawa buatan sehingga kondisi
aerobik dapat tercipta di seluruh bagian kolam (Meutia, 2001).
Menurut Khiattudin (2003) rawa buatan beraliran vertikal ini dapat
dibagi lagi menjadi dua tipe, yaitu :

6 15
2.7.1. Rawa buatan dengan tipe aliran vertikal menurun
Pada rawa buatan dengan tipe aliran vertikal
menurun ini, air dialirkan di permukaan sistem lalu
merembes melalui subtract yang dipenuhi oleh akar
tanaman hingga kemudian mencapai dasar rawa untuk
keluar dari sistem. Rawa buatan dengan sistem aliaran ini
mudah mengalami penyumbatan.Tipe rawa buatan dengan
tipe aliran vertikal menurun dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3.Rawa Buatan Tipe Airan Vertikal Menurun

2.7.2. Rawa buatan dengan tipe aliran menanjak


Pada rawa buatan tipe ini air disalurkan melalui pipa
ke dasar sistem lalu naik pelan – pelan melalui subtract
keluar melalui saluran yang terletak dipermukaan subtrat
kemudian merembes lagi melalui subtrat yang dipenuhi
oleh akar tanaman hingga mencapai dasar rawa dan keluar
dari sistem. Tipe rawa buatan dengan aliaran vertikal
menanjak dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4. Rawa Buatan Aliran Vertikal Menanjak

6 16
2.7.4. Rawa buatan dengan tanaman tenggelam
Rawa buatan dengan tanaman tenggelam (submerged aquatic
plant) biasanya ditempatkan di tengah – tengah unit sistem rawa
buatan yang disusun seri, tepatnya setelah perlakukan air tercemar
dengan tanaman air mencuat dan sebelum perlakuan air tercemar
dengan tanaman terapung. Fungsinya rawa buatan tipe ini sama
dengan rawa yang menggunakan tanaman air mencuat tapi biasanya
untuk air limbah atau air tercemar yang kadar pencemarannya relatif
rendah.
2.7.5. Rawa buatan dengan tanaman terapung
Sistem tanaman air terapung (floating aquatic plant) ini
berguna pada tahap penjernihan akhir (polishing), yaitu setelah
semua tahapan pengolahan air tercemar dilakukan. Sistem aliran
permukaan biasa diterapkan di Amerika Serikat, khususnya
untuk pengolahan air limbah dalam jumlah besar dan untuk
penanganan limbah nutrient, sedangkan sistem aliran bawah
permukaan digunakan secara luas di seluruh Eropa, Australia, dan
Afrika Selatan. Di Indonesia kedua sistem aliran pada rawa buatan
ini telah diterapkan dan hasil evaluasi statistik menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan efisiensi yang nyata antara kedua sistem tersebut
(Meutia, 2001).

2.8. Jenis Tumbuhan yang Digunakan Dalam Sistem Wetland


Jenis tumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
2.8.1. Tanaman melati air yang memiliki nama latin Echinodorus
palaefolius, keuntungan menggunakan tanaman melati air adalah :
2.8.1.1. Tanaman melati air merupakan jenis tanaman yang banyak
dijumpai di Indonesia dan banyak terdapat di sungai -
sungai.
2.8.1.2. Dari segi ekonomi tanaman melati air harganya relatif
murah.

6 17
2.8.1.3. Tanaman melati air merupakan salah satu jenis tanaman
akuatik yang rentan terhadap adanya pencemaran.
2.8.1.4. Tidak memerlukan perawatan khusus dan pemeliharaan
sangat mudah. Dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5. Tanaman Melati Air (Echinodorus palaefolius)

Klasifikasi tanaman melati air


Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
Sub Kelas: Alismatidae
Ordo: Alismatales
Famili: Alismataceae
Genus: Echinodorus
Spesies: Echinodorus palaefolius var. latifolius
Echinodorus palaefolius adalah nama latin dari tanaman melati air
yang dalam bahasa Inggris sering disebut dengan Mexican-Sword
Plant.
2.8.2. Tanaman kayu apu yang memiliki nama latin Pistia stratiotes L.,
keunggulan tanaman kayu apu adalah memiliki akar seperti bulu
berbentuk labirin – labirin yang lembut dan ringan, berwarna putih,
ungu dan hitam. Akar menyebar dengan akar pokok yang

6 18
panjangnya dapat mencapai 90 mm, perkembangbiakkan dengan
tunas vegetatif lebih cepat, dan panjangnya bisa mencapai 60 cm
serta pemeliharaannya relatif mudah. Kelebihan yang dimiliki
tanaman kayu apu sangat berpengaruh terhadap waktu detensi dalam
mendegradasi bahan organik (protein dan lemak) dan anorganik
(mineral) yang terkandung pada limbah cair. Sehingga semakin cepat
proses penyerapan bahan organik dan anorganik oleh akar tumbuhan
kayu apu, maka semakin cepat pula proses perbaikan kualitas limbah
cair dan efektivitas waktu detensi yang diperlukan untuk
memperoleh kualitas air limbah sesuai standar dapat tercapai. Dapat
dilihat pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6. Tanaman Kayu Apu (Pistia stratiotes L.)

Klasifikasi tanaman kayu apu


Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
Sub Kelas: Arecidae
Ordo: Arales
Famili: Araceae
Genus: Pistia
Spesies: Pistia stratiotes L.

6 19
2.9. Siklus Fosfor
Daur fosfor yaitu daur atau siklus yang melibatkan fosfor, dalam hal
input atau sumber fosfor- proses yang terjadi terhadap fosfor- hingga
kembali menghasilkan fosfor lagi. Daur fosfor dinilai paling sederhana
daripada daur lainnya, karena tidak melalui atmosfer. fosfor di alam
didapatkan dari: batuan, bahan organik, tanah, tanaman, PO 4- dalam tanah.
kemudian inputnya adalah hasil pelapukan batuan, dan outputnya : fiksasi,
mineral dan pelindikan. Fosfor berupa fosfat yang diserap tanaman untuk
sintesis senyawa organik. Humus dan partikel tanah mengikat fosfat, jadi
daur fosfat dikatakan daur lokal.
Di alam, fosfor terdapat dalam dua bentuk, yaitu senyawa fosfat
organik (pada tumbuhan dan hewan) dan senyawa fosfat anorganik (pada air
dan tanah). Fosfat organik dari hewan dan tumbuhan yang mati diuraikan
oleh decomposer (pengurai) menjadi fosfat anorganik. Fosfat anorganik
yang terlarut di air tanah atau air laut akan terkikis dan mengendap di
sedimen laut. Oleh karena itu, fosfat banyak terdapat di batu karang dan
fosil. Fosfat dari batu dan fosil terkikis dan membentuk fosfat anorganik
terlarut di air tanah dan laut. Fosfat anorganik ini kemudian akan diserap
oleh akar tumbuhan lagi.
Siklus ini berulang terus menerus. Fosfor dialam dalam bentuk
terikat sebagai Ca-fosfat, Fe- atau Al-fosfat, fitat atau protein. Bakeri yang
berperan dalam siklus fosfor : Bacillus, Pesudomonas, Aerobacter
aerogenes, Xanthomonas, dll. Mikroorganisme (Bacillus, Pseudomonas,
Xanthomonas, Aerobacter aerogenes) dapat melarutkan P  menjadi tersedia
bagi tanaman.
Daur fosfor terlihat akibat aliran air pada batu – batuan akan
melarutkan bagian permukaan mineral termasuk fosfor akan terbawa sebagai
sedimentasi ke dasar laut dan akan dikembalikan ke daratan, gambar siklus
Nitrogen di alam bebas dapat dilihat pada Gambar 2.7.

6 20
Gambar 2.7. Daur Fosfor

2.10. Siklus Nirogen (N2)


Gas nitrogen banyak terdapat di atmosfer, yaitu 80% dari udara
nitrogen bebas dapat difiksasi terutama oleh tumbuhan yang berbintil akar
dan beberapa jenis ganggang. Nitrogen bebas dapat bereaksi dengan
hidrogen atau oksigen, dengan bantuan kilat atau petir. Tumbuhan
memperoleh nitrogen dari dalam tanah berupa amonia (NH 3), ion nitrit
(NO2) dan ion nitrat (NO-3). Beberapa bakteri yang dapat menambat nitrogen
terdapat pada akar legum dan akar tumbuhan lain seperti itu, terdapat bakteri
dalam tanah yang dapat mengikat nitrogen secara langsung, yakni
Azotobacter sp, yang bersifat aerob dan Clostridium sp. yang bersifat
anaerob, Nostoc sp. dan Anabaena sp. (ganggang biru) juga mampu
mengikat atau menambah nitrogen.
Nitrogen yang diikat biasanya dalam bentuk gas amonia, gas
diperoleh dari hasil penguraian jaringan yang matimoleh bakteri. Amonia
akan dinitrifikasi oleh bakteri nitrit, yaitu Nitrosomonas dan Nitrosococcus
sehingga menghasilkan nitrat yang akan diserap oleh akar tumbuhan sebagai
nutrisi. Selanjutnya oleh bakteri akan denitrifikasi, nitrat diubah menjadi

6 21
ammonia kembali dan amonia diubah menjadi nitrogen yang dilepas ke
udara, dengan cara ini siklus nitrogen akan berulang dalam ekosistem.
Selanjutnya jika tumbuhan atau hewan mati, mahluk pengurai
merombaknya menjadi gas amoniak (NH3) dan garam ammonium yang larut
dalam air (NH4+). Proses ini disebut dengan amonifikasi. Bakteri
Nitrosomonas mengubah amonia dan senyawa ammonium menjadi nitrat
oleh Nitrobacter. Apabila oksigen dalam tanah terbatas, nitrat dengan cepat
ditransformasikan menjadi gas nitrogen atau oksida nitrogen oleh proses
yang disebut denitrifikasi. Siklus nitrogen dapat dilihat pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8. Daur Nitrogen

2.11. Baku Mutu Limbah Cair Untuk Kegiatan Industri Laundry


Berikut adalah baku mutu limbah cair sesuai dengan Peraturan
Gubernur Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi
Industri dan / atau Kegiatan Usaha Lainnya dapat dilihat pada Tabel 2.1.

6 22
Tabel 2.1. Baku Mutu Limbah Cair Untuk Kegiatan Laundry
Volume Air Limbah Maximum per satuan produk
16 liter / kg cucian
No. Parameter Satuan Kadar Maksimum
1. BOD mg/L 100
2. COD mg/L 250
3. TSS mg/L 100
4. Minyak dan Lemak mg/L 10
5. Deterjen Anionik mg/L 10
6. PO4 mg/L 10
7. pH - 6-9
Sumber :PerGub Jatim No. 52 Tahun 2014

6 23

Anda mungkin juga menyukai