Anda di halaman 1dari 37

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi Limbah Cair
Limbah merupakan buangan atau sisa yang dihasilkan dari suatu proses
atau kegiatan dari industri maupun domestik (rumah tangga). Menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 101 tahun 2014, limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau
kegiatan. Menurut Metcalf dan Eddy (2003), yang dimaksud air buangan
(wastewater) adalah kombinasi dari cairan dan sampah–sampah (air yang
berasal dari daerah permukiman, perdagangan, perkantoran, dan industri)
bersama–sama dengan air tanah, air permukaan dan air hujan yang mungkin
ada. Menurut Ehlers and Steel (1999), limbah merupakan cairan yang dibawa
oleh saluran air buangan. Secara umum dapat dikemukakan air buangan adalah
cairan buangan yang berasal dari rumah tangga, industri maupun tempat-tempat
umum lainnya, dan biasanya mengandung bahan-bahan/zat yang dapat
membahayakan kehidupan manusia serta mengganggu kelestarian hidup.
Menurut A. K. Haghi, 2011 menyatakan bahwa berdasarkan Sumber yang
menghasilkan limbah secara umum dapat dibedakan menjadi lima yaitu:
1. Limbah rumah tangga, biasa disebut juga limbah domestik.
2. Limbah industri merupakan limbah yang berasal dari industri pabrik.
3. Limbah pertanian merupakan limbah padat yang dihasilkan dari kegiatan
pertanian, contohnya sisa daun-daunan, ranting, jerami, kayu dan lain-
lain.
4. Limbah konstruksi didefinisikan sebagai material yang sudah tidak
digunakan lagi dan yang dihasilkan dari proses konstruksi, perbaikan atau
perubahan. Jenis material limbah konstruksi yang dihasilkan dalam setiap
proyek konstruksi antara lain proyek pembangunan maupun proyek
pembongkaran (contruction and domolition). Limbah konstruksi antara
lain pembangunan perubahan bentuk (remodeling), perbaikan (baik itu
rumah atau bangunan komersial). Sedangkan limbah demolition antara
lain limbah yang berasal dari perobohan atau penghancuran bangunan.
5. Limbah radioaktif, limbah radioaktif berasal dari setiap pemanfaatan
tenaga nuklir, baik pemanfaatan untuk pembangkitan daya listrik
menggunakan reaktor nuklir, maupun pemanfaatan tenaga nuklir untuk

8
keperluan industri dan rumah sakit. Bahan atau peralatan terkena atau
menjadi radioaktif dapat disebabkan karena pengoperasian instalasi nuklir
atau instalasi yang memanfaatkan radiasi pengion.
Sumber–sumber air buangan dapat dibedakan menjadi 3, yaitu :
1. Air limbah rumah tangga (domestic wasted water), air limbah dari
permukiman ini umumnya mempunyai komposisi yang terdiri atas
ekskreta (tinja dan urin), air bekas cucian dapur dan kamar mandi,
dimana sebagian besar merupakan bahan organik.
2. Air limbah kota praja (municipal wastes water), air limbah ini umumnya
berasal dari daerah perkotaan, perdagangan, sekolah, tempat–tempat
ibadah dan tempat–tempat umum lainnya seperti hotel, restoran, dan
lain–lain.
3. Air limbah industri (industrial wastes water), air limbah yang berasal dari
berbagai jenis industri akibat proses produksi ini pada umumnya lebih
sulit dalam pengolahannya serta mempunyai variasi yang luas (Entjang,
2000).

3.2 Klasifikasi Limbah


Berdasarkan dari wujud limbah yang dihasilkan, limbah dibagi menjadi tiga
yaitu limbah padat dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Limbah padat adalah limbah yang berwujud padat. Limbah padat bersifat
kering, tidak dapat berpindah kecuali ada yang memindahkannya. Limbah
padat ini misalnya, sisa makanan, sayuran, potongan kayu, sobekan kertas,
sampah, plastik, dan logam
2. Limbah cair adalah limbah yang berwujud cair. Limbah cair terlarut dalam air,
selalu berpindah, dan tidak pernah diam. Contoh limbah cair adalah air
bekas mencuci pakaian, air bekas pencelupan warna pakaian, dan
sebagainya.
3. Limbah gas adalah limbah zat (zat buangan) yang berwujud gas. Limbah gas
dapat dilihat dalam bentuk asap. Limbah gas selalu bergerak sehingga
penyebarannya sangat luas. Contoh limbah gas adalah gas pembuangan
kendaraan bermotor. Pembuatan bahan bakar minyak juga menghasilkan
gas buangan yang berbahaya bagi lingkungan.

9
Berdasarkan Polimer Penyusun limbah digolongkan menjadi dua
berdasarkan polimer penyusun mudah dan tidak terdegradasinya antara lain:
1. Limbah yang dapat mengalami perubahan secara alami (degradable waste),
yaitu limbah yang dapat mengalami dekomposisi oleh bakteri dan jamur,
seperti daun-daun, sisa makanan, kotoran, dan lain-lain.
2. Limbah yang tidak atau sangat lambat mengalami perubahan secara alami
(nondegradable waste), misanya besi, plastik, kaca, kaleng, dan lain-lain.
Berdasarkan sifatnya, limbah terdiri atas lima jenis, yaitu:
1. Limbah korosif adalah limbah yang dapat menyebabkan iritasi pada kulit dan
dapat membuat logam berkarat.
2. Limbah beracun adalah limbah yang mengandung racun berbahaya bagi
manusia dan lingkungan. Limbah ini mengakibatkan kematian jika masuk ke
dalam laut.
3. Limbah reaktif adalah limbah yang memiliki sifat mudah bereaksi dengan
oksigen atau limbah organik peroksida yang tidak stabil dalam suhu tinggi
dan dapat menyebabkan kebakaran.
4. Limbah mudah meledak adalah limbah yang melalui proses kimia dapat
menghasilkan gas dengan suhu tekanan tinggi serta dapat merusak
lingkungan.
5. Limbah mudah terbakar adalah limbah yang mengandung bahan yang
menghasilkan gesekan atau percikan api jika berdekatan dengan api.

3.3 Baku Mutu Limbah Domestik


Baku mutu air buangan domestik berdasarkan Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan No: P.68/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2016
Tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik dapat dilihat pada Tabel 2.1
Tabel 3.1 Baku Mutu Air Limbah Domestik
Parameter Satuan Kadar maksimum

pH - 6-9
BOD mg/l 30
COD mg/l 100
TSS mg/l 30
Minyak dan lemak mg/l 5

10
Parameter Satuan Kadar maksimum

Amoniak mg/l 10
Total coliform Jumlah/100ml 3000
Debit l/orang/hari 100
Sumber: PerMenLHK No: P.68/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2016

3.4 Parameter Kualitas Air Limbah


Menurut Retno (2011), beberapa parameter yang digunakan dalam
pengukuran kualitas air limbah antara lain:
1. Temperatur
Air normal yang memenuhi persyaratan untuk suatu kehidupan
mempunyai pH sekitar 6,5-7,5. Air akan bersifat asam atau basa bergantung
besar kecilnya pH. Bila pH di bawah pH normal, maka air tersebut bersifat asam,
sedangkan air yang mempunyai pH di atas pH normal bersifat basa. Air limbah
dan bahan buangan industri akan mengubah pH air yang akhirnya akan
mengganggu kehidupan biota akuatik. Sebagian besar biota akuatik sensitif
terhadap pH dan menyukai pH antara 7-8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi
proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir pada pH
yang rendah
(Sumantri, 2010).
Adapun kadar yang baik adalah kadar dimana masih memungkinkan
kehidupan biologis di dalam air berjalan dengan baik. Air limbah dengan
konsentrasi air limbah yang tidak netral akan menyulitkan proses biologis,
sehingga mengganggu proses penjernihannya (Sugiharto, 1987).
2. Kandungan Zat Padat
Pengukuran kandungan zat padat ini adalah dalam bentuk Total Solid
Suspended (TSS) dan Total Dissolved Solid (TDS). TSS adalah padatan yang
menyebabkan kekeruhan air yang tidak larut dan tidak dapat mengendap
langsung. TDS adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan pada air yang
sifatnya terlarut dalam air.
3. Kandungan Zat Organik
Zat organik di dalam penguraiannya memerlukan oksigen dan bantuan
mikroorganisme. Salah satu penentuan zat organik adalah dengan mengukur
BOD (Biochemical Oxygen Demand) dari buangan tersebut. BOD adalah jumlah

11
oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk melakukan dekomposisi aerobik
bahan-bahan organik dalam larutan, di bawah kondisi waktu dan suhu tertentu
(biasanya lima hari pada 200°C).
4. Coliform
Bakteri golongan Coliform terdapat normal di dalam usus dan tinja
manusia. Sumber bakteri patogen dalam air berasal dari tinja manusia yang
sakit. Untuk menganalisa bakteri patogen yang terdapat dalam air buangan
cukup sulit sehingga parameter mikrobiologis digunakan perkiraan terdekat
jumlah golongan coliform (MPN/ Most Probably Number) dalam sepuluh mili
buangan serta perkiraan terdekat jumlah golongan coliform tinja dalam seratus
mili air buangan.
5. Kandungan Zat Anorganik
Beberapa komponen zat anorganik yang penting untuk mengawasi
kualitas air limbah antara lain : Nitrogen dalam senyawaan Nitrat, fosfor, H 2O
dalam zat beracun dan logam berat seperti Hg, Cd, Pb dan lain-lain.

3.5 Sistem Pengolahan Air Limbah Domestik di Indonesia Secara Umum


Semakin banyak limbah yang dihasilkan akan dapat menyebabkan
dampak terhadap lingkungan. Limbah yang dihasilkan bisa berdampak positif
dan negatif terhadap lingkungan. Perlu dilakukan pengolahan limbah untuk
mengurangi dampaknya terhadap lingkungan. Beberapa faktor yang
mempengaruhi kualitas limbah antara lain volume limbah, kandungan bahan
pencemar, dan frekuensi pembuangan limbah. Untuk mengatasi limbah ini
diperlukan pengolahan dan penanganan limbah. Pengolahan limbah dapat
dilakukan berdasarkan beberapa hal yaitu:
1. Pengolahan menurut tingkatan perlakuan
2. Pengolahan menurut karakteristik limbah
Menurut perkiraan National Urban Development Srtategy (NUDS) tahun
2003 rata – rata volume limbah domestik yang dihasilkan per orang sekitar 0,5 –
0,6 kg/hari. Secara umum, sistem pengolahan air limbah domestik di Indonesia
dilakukan dengan 2 sistem, yaitu:
1. Pengolahan Air Limbah Sistem Setempat (On Site System)
Pengolahan air limbah dengan sistem sanitasi setempat adalah suatu
sistem pengolahan air limbah yang berada di dalam persil (batas tanah yang

12
memiliki) atau dengan kata lain pada titik dimana limbah tersebut timbul. Sarana
sistem sanitasi setempat dapat secara individual maupun secara komunal seperti
pada sarana MCK (mandi, cuci dan kakus). Beberapa contoh sarana sanitasi
dengan sistem pembuangan secara setempat adalah kakus ceplung, cubluk, dan
septic tank. Terdapat beberapa keuntungan dan kerugian dalam penggunaan
sistem sanitasi setempat tersebut antara lain:
a) Keuntungan
1) Biaya pembuatan murah
2) Biasanya dibuat secara pribadi
3) Teknologi serta pembangunannya relatif sederhana
4) Sistem yang terpisah bagi tiap-tiap rumah dapat menjaga privacy yang
aman dan bebas.
5) Operasi dan pemeliharaannya mudah dan umumnya merupakan
tanggung jawab pribadi masing-masing, kecuali yang tidak terpisah atau
dalam kelompok/blok.
6) Manfaatnya dapat dirasakan segera, seperti jamban menjadi bersih,
terhindar dari bau dan lalat.
b) Kerugian
1) Tidak cocok bagi daerah dengan kepadatan penduduk sangat tinggi
sehingga lahan yang tersedia bagi sarana pembuangan menjadi sangat
sempit.
2) Tidak cocok bila digunakan pada daerah dengan muka air tanah yang
tinggi dan daya resap tanah rendah.
3) Kedua hal diatas, selain berdampak mencemari lingkungan, juga sangat
berbahaya bagi kesehatan masyarakat bila kebutuhan air sehari-harinya
tergantung dari air sumur karena air dari PDAM belum masuk.
Kemungkinan air sumur terkontaminasi tinja akan sangat besar pada
kondisi seperti ini (Darmasetiawan, 2004).
2. Pengolahan Air Limbah Sistem Terpusat (Off Site System)
Sistem sanitasi secara terpusat adalah suatu sistem yang menggunakan
sarana tertentu untuk membawa air limbah keluar daerah persil dan
mengolahnya di lokasi tertentu. Air limbah rumah tangga yang diolah secara
terpusat di Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) tersebut adalah berasal dari
kamar mandi, toilet, dapur.

13
Keuntungan penggunaan sistem terpusat antara lain mencegah
pencemaran air tanah terutama ketika penggunaan sistem setempat tidak layak
lagi karena kepadatan penduduk yang tinggi. Sistem terpusat dapat dirancang
sesuai dengan perkiraan pertumbuhan penduduk dan tidak tergantung pada
kondisi tanah dan muka air tanah.
Adapun hal yang menjadi kendala biasanya adalah biaya investasi dan
operasi dan pemeliharaan yang cukup tinggi, serta memerlukan tenaga terampil
untuk memelihara pipa dan mengoperasikan IPAL. Sistem ini memerlukan
perencanaan yang matang dan sebaiknya pelaksanaannya untuk jangka panjang
(Darmasetiawan, 2004).

3.6 Pengolahan Limbah


Pengolahan limbah terdiri dari pengolahan primer, pengolahan sekuder,
pengolahan tersier, pengolahan lanjutan, dan pengolahan lumpur.
1. Pengolahan Primer (Primary Treatment)
Tahap pengolahan primer limbah cair sebagian besar adalah berupa
proses pengolahan secara fisika.
2. Penyaringan (Screening)
Pertama, limbah yang mengalir melalui saluran pembuangan disaring
menggunakan jeruji saring. Metode ini disebut penyaringan. Metode penyaringan
merupakan cara yang efisien dan murah untuk menyisihkan bahan-bahan padat
berukuran besar dari air limbah.
3. Pengolahan Awal (Pretreatment)
Kedua, limbah yang telah disaring kemudian disalurkan kesuatu tangki
atau bak yang berfungsi untuk memisahkan pasir dan partikel padat teruspensi
lain yang berukuran relatif besar. Tangki ini dalam bahasa inggris disebut grit
chamber dan cara kerjanya adalah dengan memperlambat aliran limbah
sehingga partikel – partikel pasir jatuh ke dasar tangki sementara air limbah terus
dialirkan untuk proses selanjutnya.
4. Pengendapan
Setelah melalui tahap pengolahan awal, limbah cair akan dialirkan ke
tangki atau bak pengendapan. Metode pengendapan adalah metode pengolahan
utama dan yang paling banyak digunakan pada proses pengolahan primer
limbah cair. Di tangki pengendapan, limbah cair didiamkan agar partikel – partikel

14
padat yang tersuspensi dalam air limbah dapat mengendap ke dasar tangki.
Endapan partikel tersebut akan membentuk lumpur yang kemudian akan
dipisahkan dari air limbah
5. Pengapungan (Floation)
Metode ini efektif digunakan untuk menyingkirkan polutan berupa minyak
atau lemak. Proses pengapungan dilakukan dengan menggunakan alat yang
dapat menghasilkan gelembung- gelembung udara berukuran kecil (± 30 – 120
mikron). Gelembung udara tersebut akan membawa partikel –partikel minyak dan
lemak ke permukaan air limbah sehingga kemudian dapat disingkirkan.
Bila limbah cair hanya mengandung polutan yang telah dapat disingkirkan
melalui proses pengolahan primer, maka limbah cair yang telah mengalami
proses pengolahan primer tersebut dapat langsung dibuang ke lingkungan
(badan air penerima). Namun, bila limbah tersebut juga mengandung polutan
yang lain yang sulit dihilangkan melalui proses tersebut, misalnya agen
penyebab penyakit atau senyawa organik dan anorganik terlarut, maka limbah
tersebut perlu disalurkan ke proses pengolahan selanjutnya.
6. Pengolahan Sekunder (Secondary Treatment)
Tahap pengolahan sekunder merupakan proses pengolahan secara
biologis, yaitu dengan melibatkan mikroorganisme yang dapat mengurai/
mendegradasi bahan organik. Mikroorganisme yang digunakan umumnya adalah
bakteri aerob. Terdapat tiga metode pengolahan secara biologis yang umum
digunakan yaitu metode penyaringan dengan tetesan (trickling filter), metode
lumpur aktif(activated sludge), rotating biological contactor (RBC) dan metode
kolam perlakuan (treatment ponds / lagoons).
Tabel 3.2 Karakteristik Operasional Proses Pengolahan Air Limbah dengan
Proses Biologis
EFISIENSI
JENIS PROSES PENGHILANGAN KETERANGAN
BOD (%)
PPROSES Lumpur Aktif
85 - 95 -
BIOMASA Standar
TERSUSPENSI Step Aeration 85 - 95 Digunakan untuk beban
pengolahan yang besar.

15
Modified Untuk pengolahan dengan
60 - 75
Aeration kualitas air olahan sedang
Digunakan untuk pengolahan
Contact
80 - 90 paket. Untuk mereduksi
Stabilization
ekses lumpur.
Untuk pengolahan paket, bak
High Rate aerasi dan bak pengendap
75 - 90
Aeration akhir merupakan satu paket.
Memerlukan area yang kecil.
Untuk pengolahan air limbah
Pure Oxygen yang sulit diuraikan secara
85 - 95
Process bilogis. Luas area yang
dibutuhkan kecil.
Oxidation Konstruksinya mudah, tetapi
75 - 95
Ditch memerlukan area yang luas.

Sering timbul lalat dan bau.


Trickling Filter 80 - 95
Proses operasinya mudah.

Rotating Konsumsi energi rendah,

PROSES Biological 80 - 95 produksi lumpur kecil. Tidak

BIOMASA Contactor memerlukan proses aerasi.

MELEKAT Contact Memungkinkan untuk


Aeration 80 - 95 penghilangan nitrogen dan
Process phospor.
Memerlukan waktu tinggal
Biofilter
65 - 85 yang lama, lumpur yang
Unaerobic
terjadi kecil.
Memerlukan waktu tinggal
Kolam
LAGOON 60 - 80 yang cukup lama, dan area
stabilisai
yang dibutukkan sangat luas

7. Pengolahan Tersier (Tertiary Treatment)


Pengolahan tersier dilakukan jika setelah pengolahan primer dan
sekunder masih terdapat zat tertentu dalam limbah cair yang dapat berbahaya
bagi lingkungan atau masyarakat. Pengolahan tersier bersifat khusus, artinya
pengolahan ini disesuaikan dengan kandungan zat yang tersisa dalam limbah

16
cair / air limbah. Umunya zat yang tidak dapat dihilangkan sepenuhnya melalui
proses pengolahan primer maupun sekunder adalah zat-zat anorganik terlarut,
seperti nitrat, fosfat, dan garam- garaman.
Pengolahan tersier sering disebut juga pengolahan lanjutan (advanced
treatment). Pengolahan ini meliputi berbagai rangkaian proses kimia dan fisika.
Contoh metode pengolahan tersier yang dapat digunakan adalah metode
saringan pasir, saringan multimedia, precoal filter, microstaining, vacum filter,
penyerapan dengan karbon aktif, pengurangan besi dan mangan, dan osmosis
bolak-balik.
Metode pengolahan tersier jarang diaplikasikan pada fasilitas pengolahan
limbah. Hal ini disebabkan biaya yang diperlukan untuk melakukan proses
pengolahan tersier cenderung tinggi sehingga tidak ekonomis.
8. Desinfeksi
Desinfeksi atau pembunuhan kuman bertujuan untuk membunuh atau
mengurangi mikroorganisme patogen yang ada dalam limbah cair. Meknisme
desinfeksi dapat secara kimia, yaitu dengan menambahkan senyawa/zat tertentu,
atau dengan perlakuan fisik. Dalam menentukan senyawa untuk membunuh
mikroorganisme, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
1) Daya racun zat
2) Waktu kontak yang diperlukan
3) Efektivitas zat
4) Kadar dosis yang digunakan
5) Tidak boleh bersifat toksik terhadap manusia dan hewan
6) Tahan terhadap air
7) Biayanya murah
Contoh mekanisme desinfeksi pada limbah cair adalah penambahan
klorin (klorinasi), penyinaran dengan ultraviolet (UV), atau dengan ozon (Oз).
Proses desinfeksi pada limbah cair biasanya dilakukan setelah proses
pengolahan limbah selesai, yaitu setelah pengolahan primer, sekunder atau
tersier, sebelum limbah dibuang ke lingkungan.
9. Pengolahan Lumpur (Slude Treatment)
Setiap tahap pengolahan limbah cair, baik primer, sekunder, maupun
tersier, akan menghasilkan endapan polutan berupa lumpur. Lumpur tersebut
tidak dapat dibuang secara langsung, melainkan perlu diolah lebih lanjut.

17
Endapan lumpur hasil pengolahan limbah biasanya akan diolah dengan cara
diurai/dicerna secara aerob (aerob digestion), kemudian disalurkan ke beberapa
alternatif, yaitu dibuang ke laut atau ke lahan pembuangan (landfill), dijadikan
pupuk kompos, atau dibakar (incinerated).

3.7 Deskripsi Aerated Lagoon


Lagoon merupakan kolam dari tanah yang luas, dangkal atau tidak terlalu
dalam dimana air limbah dimasukkan ke dalam kolam dalam watu yang cukup
lama agar terjadi pemurnian secara biologis alami sesuai dengan derajad
pengolahan yang ditentuntukan. Pada lagoon suplai oksigen dilakukan secara
alami. Aerated Lagoon merupakan prasarana pengolahan air limbah secara
secara aerobik yang menggunakan peralatan aerator mekanik berupa surface
aerator yang digunakan untuk membantu mekanisme suplai oksigen terlarut
dalam air (Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat, 2017). Aerated
lagoon diklasifikasikan menjadi 2 macam, yaitu secara aerob dan fakultatif
lagoon.
Menurut Setiadi dan Dewi (2003), pengolahan limbah secara Aerated
lagoon atau kolam ekualisasi memeiliki keuntungan dan kerugian tersendiri.

Tabel 3.3 Keuntangan dan Kekurangan.


Keuntungan Kerugian
 Dapat menghilangkan senyawa  Terjadi emisi volatil
terlarut  Membutuhkan lahan yang luas
 Menggunakan proses untuk membangun kolamnya
penghancuran  Mudah terganggu oleh shock
 Memiliki tingkat pemeliharaan yang loading dan senyawa toksik
rendah  Mudah terpengaruh perubahan
 Relatif aman iklim
 Biaya investasi rendah  Tidak ada pengendalian
 Biaya energi rendah operasi.
 Mudah dioperasikan
 Tidak sering menghasilkan lumpur

18
1. Konsep/ Teori
Pada umumnya sistem biologi yang terjadi pada lagoon dapat
dideskripsikan bahwa kondisi aerobik terdapat pada bagian atas lagoon. Oksigen
yang terlarut didapatkan pada proses foto sintesis dari alga serta segaian
didapatkan dari difusi oksigen dari udara atau atmosfer. Pada laguna aerobik,
oksigen terlarut dan padatan tersuspensi teraduk dengan baik, dari
mikroorganisme yang bekerjapun termasuk mikroorganisme aerobik. Kebutuhan
energi untuk laguna aerobik berkisar antara 14 -20 hp/sejuta gallon. Laguna
aerobik mendegradrasi organik terlarut tetapi menambah konsentrasi
biomassa/mikroorganisme. Waktu tinggal hidraulik dalam laguna aerobik sekitar
1 - 3 hari. Laguna fakultatif mengurangi BOD yang tcrsisa dan sebagian besar
dari padatan tersuspensi dengan waktu tinggal sekitar 3-6 hari. Bila padatan
tcrsuspensi dari aliran keluar harus lebih kecil dari 50 mg/L, maka diperlukan
sebuah laguna pengendapan.

2. Peralatan Aerated Lagoon


Pengolahan limbah cari secara aerobik lagoon memerlukan tempat yangg
luas, pemgaduk, dan alat aerator. Pengolahan limbah cair secara fakultatif
lagoon memerlukan tempat untuk menampung limbah cari yaitu bak
pengendapan awal, bak aerai I, bak aerasi II, dan bak sedimentasi. Alat-alat
yang digunakan yaitu jaringan pipa sekunder, pipa sekunder, bak pengendapan,
bak aerasi I, mesin aerator, bak aerasi II, pompa centrifugal self priming dan
pontoon, pipa fleksibel.

3. Metode atau Mekanisme Kerja Aerated lagoon


Pengolahan limbah secara Aerated lagoon diklasifikasikan menjadi 2
macam, yaitu secara aerob dan fakultatif lagoon.
1. Laguna Aerobik
Pengolahan limbah cair secara laguna aerobik kebutuhan energi untuk
laguna aerobik berkisar antara 14 – 20 hp/sejuta gallon. Pada proses ini oksigen
terlarut dan padatan tersuspensi teraduk dengan baik, dan mikroorganisme yang
bekerja pun termasuk mikroorganisme aerobik (Gunawan, 2006). Adapun
konfigurasi dari laguna aerobik dapat dilihat pada Gambar 1.

19
Gambar 3.1. Konfigurasi laguna aerobik (Puspita, et al., 2005)

Pengolahan limbah cair secara aerated lagoon menggunakan alat yang


dinamakan aerator yang sangat cocok digunakan untuk mengolah air limbah
dengan volume yang besar. Aerator ini berfungsi untuk memberikan putaran
pada bak penampungan atau kolam yang telah berisi limbah. Adanya aerasi ini
mengakibatkan banyaknya jumlah oksigen yang tersedia sehingga mikroba-
mikroba pengurai tumbuh.
Pengolahan limbah cair secara aerated lagoon akan menghasilkan
produk akhir yang berupa cairan yang telah bebas dari polutan atau senyawa
organik. Jadi, setelah dilakukan aerasi selama kurang lebih 3 hari, selanjutnya
dilakukan pendiaman utuk mengendapkan sisa-sisa lumpur yang terikut setelah
proses anaerob dan fakultatif lagoon. Lumpur yang mengendap tersebut
nantinya akan dialirkan ke pembuangan melalui selang yang telah terpasang
pada bak penampungan limbah atau dapat juga dilakukan dengan cara
pengaliran limbah cair yang telah terbebas dari polutan ke lingkunga, sehingga
lumpur yang terendap di lagoon nantinya diambil agar tidak terjadi pendangkalan
kolam.
Salah satu faktor yang mempengaruhi dalam proses pengolahan limbah
cair seacara aerated lagoon adalah iklim yang tidak menentu. Pegolahan limbah
cair ini dilakukan di tempat terbuka. Namun perubahan iklim ini tidak memberikan
dampak yang begitu besar pada pengolahan limbah cair secara aerated logon.
Hal ini dikarenakan terdapat aerator yang bertugas untuk memberikan putaran
pada bak penampungan yang berisi limbah secara terus menerus yang akan
membuat mikroba yang digunakan pada proses pengolahan ini dapat tercukupi
asupan oksigennya.
2. Aerated facultative logoon
Pada pengolahan limbah cair laguna fakultatif ( facultative lagoons )
hanya bagian permukaan saja yang diaduk, dan sebagian dari padatan akan

20
mengendap di dasar kolam. Kebutuhan energi untuk laguna fakultatif relatif lebih
rendah dibanding dengan laguna aerobik yaitu antara 4 – 10 hp/satu juta gallon
(Gunawan, 2006). Adapaun konfigurasi dari laguna fakultatif dapat dilihat pada
gambar 3.2.

Gambar 3.2. Laguna fakultatif (Puspita, et al., 2005)

Pengolahan limbah cair pada suatu pabrik dapat dilakukan dengan cara
aerated facultative logoon. Pada cara ini memerlukan beberapa tahapan yaitu
pengendapan awal, aerasi fakultatif I, aerasi fakultatif II, dan pengendapan
(sedimentasi) (Lestari, 2011).
Pengendapan awal dilakukan menggunakan jaringan pipa sekunder
sistem
sambungan rumah yang berfungsi untuk menahan kotoran atau sampah dari
sambungan pipa sekunder. Apabila air limbah tidak diharapkan melewati bak ini,
maka gate valve (katub) dioperasikan dalam keadaan terbuka sehingga air akan
mengalir langsung menuju bak aerasi I (aerated facultative logoon I), tetapi
apabila air limbah dialirkan melewati bak, maka gate valve (katub) dioperasikan
keadaan tertutup (Lestari, 2011).
Air limbah yang dialirkan menuju ruang pengendapan, maka pasir yang
terbawa akan mengendap. Sedangkan sampah terapung dapat ditahan oleh
penyekat yang kemudian diambil secara manual setiap satu minggu sekali
kemudian dibuang ke tempat sampah. Air limbah yang melewati penyekat
menuju pipa outlet masuk ke bak aerasi, hasil endapan dari bak ini dikuras setiap
3 bulan sekali karena dalam jangka waktu 3 bulan endapan lumpur sudah
banyak, dengan volume lumpur lebih kurang 1 m³. Jika pengurasan lumpur tidak
dilakukan maka air yang masuk ke dalam bak aerasi I akan mengakibatkan

21
proses perkembangan mikroorganisme.Lumpur yang mengendap pada bak
pengendap awal dikuras dan
lumpurnya ditampung di bak pengering lumpur (driying bed) (Lestari, 2011).
Pengolahan air limbah dengan cara aerated facultative logoon, pada
lagun aerasi yang di dalamnya terdapat mesin aerator yang berfungsi sebagai
proses penambahan udara atau oksigen secara mekanis untuk menambahkan
kandungan oksigen terlarut dalam air limbah tersebut. Air limbah yang masuk
pada aerasi dibiarkan selama 1 sampai dengan 2 minggu agar mikroorganisme
dapat berkembang biak. Untuk mempercepat berkembangnya mikroorganisme,
biasanya pada permukaan perlu dilakukan seeding dengan cara menahan
lumpur aktif dari septictank ke dalam bak aerasi. Pada proses ini oksigen
dipompakan ke dalam ruang aerasi agar terjadi oksidasi terus menerus serta
dekomposisi aerobik bahan-bahan padat air limbah (Lestari, 2011).
Bak aerasi I dapat dilengkapi dengan 3 unit aerator yang mempunyai
kemampuan 2,2 kg/jam per unitnya dan 1kg/jam akan menghasilkan oksigen
1,345 kg/jam. Bila pemberian oksigen berkurang akan ditandai dengan timbulnya
bau dimana akan terjadi proses anaerobik yang dibutuhkan dan ada
pembentukan seperi lumut pada permukaan air (Lestari, 2011).
Pada bak aerasi II, terjadi pemompaan oksigen ke dalam ruang aerasi
agar terjadi oksidasi terus menerus serta dekomposisi aerobik bahan-bahan
padat air limbah tersebut. Mesin aerator yang dihidupkan untuk menambah
oksigen dengan kebutuhan penambahan sebanyak 26 kg oksigen per jam. Pada
proses ini, terjadi pengendapan lumpur didasar bak sehingga perlu adanya
pengurasan secara periodik. Pengurasan lumpur menggunakan pompa
centrifugal self priming dan pontoon, serta pipa fleksibel untuk menghisap atau
menekan lumpur yang ada. Pompa lumpur tersebut berkapasitas 8 lt/dt. (Lestari,
2011).
Pada proses pengendapan, memerlukan bak penampung akhir dimana
dilakukan pengendapan akhir untuk lumpur yang masih terbawa sebelumnya
akhirnya dibuang ke lingkungan sekitar, sehingga dapat mengurangi lumpur
sedimen yang akan dikeluarkan bersama-sama dengan air hasil akhir olahan
yang layak sesuai dengan baku mutu kualitas air limbah domestik. Air limbah dari
aerated facultative logoon mengalir secara gravitasi ke bak sedimentasi. Air yang
telah di aerasi, sebagian besar partikel - partikelnya akan mengendap di dalam

22
bak ini. Dari bak ini air limbah dapat air limbah dapat dibuang ke lingkungan,
seperti sungai (Lestari, 2011).
3. Perhitungan Dimensi Kolam Aerasi
Perhitungan dimensi kolam aerasi dilaksanakan menggunakan formulasi berikut
ini:
a) BOD load atau beban BOD merupakan banyaknya Kg BOD yang terdapat
dalam limbah lumpur tinja dalam satu hari.
mg m2
konsentrasi BOD x debit lumpur tinja
BOD Load ¿ = l h ... (1.1)
1000

b) SS load atau beban SS merupakan banyaknya Kg SS yang terdapat dalam


limbah lumpur tinja dalam satu hari.
mg m2
konsentrasi SS x debit lumpur tinja
SS Load ¿= l h ... (1.2)
1000
c) BOD tereduksi
BOD tereduksi = BOD loadinfluent ¿ ¿
... (1.3)
d) SS tereduksi
SS teredoksi = SS load influent ¿ ¿
... (1.4)
e) Waktu tinggal
Volume tangki
Waktu tinggal (hari) = ... (1.5)
Debit(m 3/hari)

f) Overflow rate (OR)


Debit lumpur tinja (m 3/hari)
OR = ... (1.6)
Luas permukaan tangki(m 2)

g) Volume tangki/bak aerasi


Beban SS ( Kg/hari)
Vol = KgVSS ... (1.7)
VSSloading ( volumetricloading ) ( /m 3)
hari

23
3.8 Deskripsi Lumpur Aktif (Activated Lagoon)
Pencemaran organic pada air limbah dapat didegradasi melalui orises
biologi yakni dengan memanfaatkan kemampuan miktoorganisme yang dapat
mengoksidasi substrat senyawa organic. Oleh karena itu, dalam proses ini
sangat bergantung pada kondisi yang spesifik seperti suhu, pH, DO,
pengadukan, nutrient, dan lain-lain. Lumpur aktif merupakan salah satu
pengolahan biologi yang memanfaatkan bakteri dalam prosesnya (Azkiya, 2011).
Proses lumpur aktif merupakan proses yang umum diterapkan untuk
meremoval COD, BOD, SS dan AOX yang terdapat dalam limbah kertas.
Saunamaki (1997) menyatakan bahwa 60 – 87% penyisishan COD dengan
lumpur aktif. Disisi lain Hansen et al. (1999) dan Chandra (2001) menyatakan
bahwa penyisihan BOD dan COD yang tinggi dapat dicapai melalui proses
lumpur aktif dengan dua tahap (Rosidi, 2017).
Proses lumpur aktif secara prinsip merupakan proses aerobic dimana senyawa
organic akan dioksidasi menjadi CO2, H2O, NH4 dan sel biomassa baru. Untuk
menciptakan suasana aerobik dilakukan dengan cara mengalirkan udara
kedalam reactor secara mekanik. System pengolahan air limbah tersuspensi
yang digunakan secara luas adalah dengan system lumpur aktif (Asmadi &
Suharno, 2012).

Tabel 3.4 Kelebihan dan Kekurangan Lumpur Aktif.


Kelebihan Kekurangan
 Dapat mengolah air limbah  Perlu pengontrolan yang relarif
dengan bebab BoD yang cukup ketat agar diperoleh perbandingan
besar yaitu 250-300 mg/liter yang tepat antara jumlah makanan
 Tidak memerlukan lahan yang dan jumlah mikroorganisme yang
luars ada
 Mampu membentuk gumpalan  Sering menimbulkan bau bila
(flok) yang dapat menjerap bahan jumlah lumpur terlalu banyak
onoganik seperti logam berat  Banyak menghabiskan suplay
 Jumlah biomassa tidak akan oksigen
pernah habis (melimpah)
(Sumber: Indra, 2013).

24
3.8.1 Mekanisme dan Variabel Operasional di Dalam Proses Lumpur Aktif
Pengolahan dengan lumpur aktif digunakan untuk mengubah buangan
organik, menjadi bentuk anorganik yang lebih stabil dimana bahan organik yang
lebih terlarut yang tersisa setelah prasedimentasi dimetabolisme oleh
mikroorganisme menjadi CO2 dan H2O, sedang fraksi terbesar diubah menjadi
bentuk anorganik yang dapat dipisahkan dari air buangan oleh sedimentasi.
umum digunakan dalam proses pengolahan air limbah dengan sistem lumpur
aktif (Metcalf and Eddy, 1991) adalah sebagai berikut:
 Beban BOD (BOD Loading rate) merupakan jumlah massa BOD di dalam air
limbah yang masuk (inflent) dibagi dengan volume reaktor. Beban BOD
dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Beban BOD=Q× S o ... (1.8)
Dimana :
Q = debit air limbah yang masuk (m3/hari)
S0 = Konsentrasi BOD limbah yang masuk (kg/m3)
V = Volume reaktor (m3)
 Mixed-liqour suspended solids (MLSS) merupakan jumlah total dari padatan
tersuspensi yang berupa material organic dan mineral, termasuk di
dalamnya adalah mikroorganisme. MLSS ditentukan dengan cara menyaring
lumpur campuran dengan kertas saring (filter), kemudian filter dikeringkan
pada temperatur 105°C, dan berat padatan dalam sampel ditimbang.
 Mixed-liqour volatile suspended solids (MLVSS), diukur dengan
memanaskan terus sampel filter yang telah kering pada 600 - 650°C, dan
untuk proses lumpur aktif yang baik nilai MLVSS mendekati 65-75% dari
MLSS.
 Food - to - microorganism ratio atau Food – to - mass ratio disingkat F/M
Ratio. Parameter ini menujukkan jumlah zat organik (BOD) yang dihilangkan
dibagi dengan jumlah massa mikroorganisme di dalam bak aerasi atau
reaktor. Besarnya nilai F/M ratio umunya ditunjukkan dalam kilogram BOD
per kilogram MLSS per hari. F/M dapat dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut :

25
Q(s 0−s)
F /M =
MLSS × V
... (1.9)
Dimana :
Q = debit air limbah yang masuk (m3/hari)
S0 = Konsentrasi BOD limbah yang masuk (kg/m3)
S = Konsentrasi BOD di effluent (kg/m3)
MLSS = Mixed liquor suspended solids (kg/m3)
V = Volume reaktor (m3)
Rasio F/M dapat dikontrol dengan cara mengatur laju sirkulasi lumpur aktif
dari bak pengendapan akhir yang disirkulasi ke bak aerasi. Lebih tinggi laju
sirkulasi lumpur aktif lebih tinggi pula rasio F/M-nya. Untuk pengolahan air
limbah dengan system lumpur aktif konvensional atau standar, rasio F/M
adalah 0,2 - 0,5 kg BOD5 per kg MLSS per hari, tetapi dapat lebih tinggi
hingga 1,5 jika digunakan oksigen murni. Rasio F/M yang rendah
menujukkan bahwa mikroorganisme dalam tangki aerasi dalam kondisi lapar,
semakin rendah rasio F/M pengolah limbah semakin efisien.
 Hydraulic retention time (HRT), merupakan waktu rata-rata yang dibutuhkan
oleh larutan influent masuk dalam tangki aerasi untuk proses lumpur aktif;
nilainya berbanding terbalik dengan laju pengenceran (dilution rate, D)
(Sterritt dan Lester, 1988).
HRT =1/ D=V / Q ... (1.10)
Dimana :
V = Volume reaktor (m3)
Q = Debit air limbah (m3/jam)
D = Laju pengenceran (jam-1)
 Rasio Sirkulasi Lumpur (Hydraulic Recycle Ratio, HRT), adalah
perbandingan antara jumlah lumpur yang disirkulasikan ke bak aerasi
dengan jumlah air limbah yang masuk ke dalam bak aerasi. •
 Umur lumpur (sludge age) atau sering disebut waktu tinggal rata-rata sel
(meancell residence time). Parameter ini menunjukkan waktu tinggal rata-
rata mikroorganisme dalam sistem lumpur aktif. Jika HRT memerlukan waktu
dalam jam, maka waktu tinggal sel mikroba dalam bak aerasi dapat dalam
hitungan hari. Parameter ini berbanding terbalik dengan laju pertumbuhan

26

... (1.11)
mikroba. Umur lumpur dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Lin,
2007) :
MLSS ×V
Umur Lumpur ( Hari )=
SSe × Qe + SS w × Qw
Dimana :
MLSS = Mixed liquor suspended solids (mg/l)
V = Volume bak aerasi (m3)
SSe = Padatan tersuspensi dalam effluent (mg/l)
SSw = Padatan tersuspensi dalam lumpur limbah (mg/l)
Qe = Laju effluent limbah (m3/hari)
Qw = Laju influent limbah (m3/hari)
 Parameter penting yang mengendalikan operasi lumpur aktif adalah beban
organic atau beban BOD, suplai oksigen, dan pengendalian dan operasi bak
pengendapan akhir. Bak pengendapan akhir ini mempunyai dua fungsi yakni
untuk penjernihan (clarification) dan pemekatan lumpur (thickening) (Jelena,
2008).
Adapun proses didalam activated sludge yaitu :
1. Kovensional
Pada sistem konvensional terdiri dari tanki aerasi, secondary clarifier dan
recycle sludge. Selama berlangsungnya proses terjadi absorsi, flokulasi dan
oksidasi bahan organik.

Gambar 3.3 Lumpur Aktif dengan Sistem Konvensional

27
2. Nonkovensional
a) Step aerasi
 Merupakan type plug flow dengan F/M atau subtrat dan mikroorganisme
menurun menuju outlet.
 Inlet air buangan masuk melalui 3 - 4 titik ditanki aerasi dengan masuk
untuk menetralkan rasio subtrat dan mikroorganisme dan mengurangi
tingginya kebutuhan oksigen ditik yang paling awal.
 Keuntungannya mempunyai waktu detensi yang lebih pendek.

Gambar 3.4 Lumpur Aktif dengan Step Aerasi


b) Tapered Aerasi
Hampir sama dengan step aerasi, tetapi injeksi udara dititik awal lebih tinggi.

Gambar 3.5 Lumpur Aktif dengan Tapered Aeration


c) Contact Stabilisasi
Pada sistem ini terdapat 2 tanki yaitu :
 Contact tank yang berfungsi untuk mengabsorb bahan organik untuk
memproses lumpur aktif.
 Reaeration tank yang berfungsi untuk mengoksidasi bahan organik yang
mengasorb (proses stabilasi).

28
Gambar 3.6 Lumpur Aktif dengan Contact Stabilisasi
d) Pure Oxygen
Oksigen murni diinjeksikan ke tanki aerasi dan diresirkulasi.
Keuntungannya adalah mempunyai perbandingan subtrat dan mikroorganisme
serta volumetric loading tinggi dan td pendek.

Gambar 3.7 Lumpur Aktif dengan Pure Oxygen


e)High Rate Aeration
Kondisi ini tercapai dengan meninggikan harga rasio resirkulasi, atau debit air
yang dikembalikan dibesarkan 1 - 5 kali. Dengan cara ini maka akan
diperoleh jumlah mikroorganisme yang lebih besar.

Gambar 3.8 Lumpur Aktif dengan High Rate Aeration

29
f) Extended Aeration
Pada sistem ini reaktor mempunyai umur lumpur dan time detention (td)
lebih lama, sehingga lumpur yang dibuang atau dihasilkan akan lebih sedikit.

Gambar 3.9 Lumpur Aktif dengan Extended Aeration


g)Oxidation Dicth
Bentuk oksidation ditch adalah oval dengan aerasi secara mekanis,
kecepatan aliran 0,25 - 0,35 m/s.

Gambar 3.10 Lumpur Aktif dengan Oxidating Ditch


3.9 Rotating Biological Contactor (RBC)
Untuk merancang unit pengolahan air limbah dengan sistem RBC,
beberapa parameter desain yang harus diperhatikan antara lain adalah
parameter yang berhubungan dengan beban (loading). Beberapa parameter
tersebut antara lain sebagai berikut:
a. Rasio Volume Reaktor Terhadap Luas Permukaan Media
Harga G (G Value) adalah menunjukkan kepadatan media yang dihitung
sebagai perbandingan volume reaktor dengan luas permukaan media. Harga G
yang digunakan untuk perencanaan biasanya berkisar antara 5 – 9 liter per m2

30
V 3
G= × 10
A
Dimana:
G = ratio volume reaktor terhadap luas permukaan media (liter/m2)
V = volume efektif reaktor (m3)
A = luas permukaan media RBC (m2).

b) Rasio Volume Reaktor Terhadap Luas Permukaan Media


Beban BOD atau BOD surface loading yang biasa digunakan untuk perencanaan
sistem RBC yakni 5 – 20 gram-BOD/m2/hari.
(Q ×CO)
BOD Loading=LA= ( gr ./m2 hari)
A
Dimana :
Q = debit air limbah yang diolah (m3/hari).
Co = Konsentrasi BOD (mg/l).
A = Luas permukaan media RBC (m2)

Tabel 3.5 Hubungan antara konsentrasi BOD inlet dan beban BOD untuk
mendapatkan efisiensi penghilangan BOD 90 %*
Konsentrasi BOD inlet (mg/l) 3
Beban BOD, LA (gr/m .hari)
300 30
200 20
150 15
100 10
50 5
(Sumber : Ebie Kunio dan Ashidate Noriatsu, “ Eisei Kougaku Enshu –
Jousuidou to gesuidou “, Morikita Shupan, Tokyo, 1992)

Tabel 3.6 Hubungan antara beban BOD dengan efisiensi penghilangan BOD
untuk air limbah domestik*
2
Beban BOD, LA (gr/m .hari) Efisiensi penghilangan BOD (%)
6 93
10 92

31
2
Beban BOD, LA (gr/m .hari) Efisiensi penghilangan BOD (%)
25 90
30 81
60 60
(Sumber : Ebie Kunio dan Ashidate Noriatsu, “ Eisei Kougaku Enshu –
Jousuidou to gesuidou “, Morikita Shupan, Tokyo, 1992).

c) Beban Hidrolik (Hydraulic Loading, HL)


Beban hidrolik adalah jumlah air limbah yang diolah per satuan luas
permukaan media per hari.
Q
H L= × 1000( Liter /m2 . hari)
A
Di dalam sistem RBC, parameter ini relatif kurang begitu penting dibanding
dengan parameter beban BOD, tetapi jika beban hidrolik terlalu besar maka akan
mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada permukaan media. Selain itu
jika beban hidrolik terlalu besar maka mikroorganisme yang melekat pada
permukaan media dapat terkelupas.
Hubungan antara harga G dan beban hidrolik terhadap efisiensi
penghilangan BOD ditunjukkan seperti pada Gambar 2.4. Dengan beban hihrolik
yang sama, makin kecil harga G efisiensi penghilangan BOD juga makin kecil.
Tetapi untuk harga G >5 hampir tidak menunjukkan pengaruh terhadap efisiensi
penghilangan BOD.

Gambar 3.11 Hubungan antara harga G dan beban hidrolik terhadap efisiensi
penghilangan BOD.

32
d) Waktu Tinggal Rata-rata
Q
T= ×24
V
V l
T =24000 × ×
A Hl
G
T =24 ×
Hl

Dimana :
Q = debit air limbah yang diolah (m3/hari).
V = volume efektif reaktor (m3)
e) Jumlah Stage (Tahap)
Di dalam sistem rotating biological contactor (RBC), Reaktor RBC dapat
dibuat beberapa tahap (stage) tergantung dari kualitas air olahan yang
diharapkan. Makin banyak jumlah tahapnya efisiensi pengolahan juga makin
besar. Kualitas air limbah di dalam tiap tahap akan menjadi berbeda, oleh
karena itu jenis mikroorganisme pada tiap tiap tahap umumnya juga berbeda.
Keanekaragaman mikroorganisme tersebut mengakibatkan efisiensi RBC
menjadi lebih besar.
f) Jumlah Stage (Tahap)
Di dalam sistem rotating biological contactor (RBC), Reaktor RBC dapat
dibuat beberapa tahap (stage) tergantung dari kualitas air olahan yang
diharapkan. Makin banyak jumlah tahapnya efisiensi pengolahan juga makin
besar. Kualitas air limbah di dalam tiap tahap akan menjadi berbeda, oleh
karena itu jenis mikroorganisme pada tiap tiap tahap umumnya juga berbeda.
Keanekaragaman mikroorganisme tersebut mengakibatkan efisiensi RBC
menjadi lebih besar.
g) Diameter Disk
Diameter rotating biological contactor (RBC) umumnya berkisar antara 1 m
sampai 3,6 meter. Apabila diperlukan luas permukaan media RBC yang besar,
satu unit modul RBC dengan diameter yang besar akan lebih murah
dibandingkan dengan beberapa modul RBC dengan diameter yang lebih kecil,
tetapi strukturnya harus kuat untuk menahan beban beratnya. Jika dilihat dari
aspek jumlah tahap, dengan luas permukaan media yang sama RBC dengan

33
diameter yang kecil dengan jumlah stage yang banyak lebih efisien dibanding
dengan RBC dengan diameter besar dengan jumlah stage yang sedikit.
h) Kecepatan Putaran
Kecepatan putaran umumnya ditetapkan berdasarkan kecepatan
peripheral. Biasanya untuk kecepatan peripheral berkisar antara 15-20 meter per
menit atau kecepatan putaran 1-2 rpm. Apabila kecepatan putaran lebih besar
maka transfer oksigen dari udara di dalam air limbah akan menjadi lebih besar,
tetapi akan memerlukan energi yang lebih besar. Selain itu apabila kecepatan
putaran terlalu cepat pembentukan lapisan mikroorganisme pada permukaan
media RBC akan menjadi kurang optimal.
i) Kecepatan Putaran
Kecepatan putaran umumnya ditetapkan berdasarkan kecepatan
peripheral. Biasanya untuk kecepatan peripheral berkisar antara 15-20 meter per
menit atau kecepatan putaran 1-2 rpm. Apabila kecepatan putaran lebih besar
maka transfer oksigen dari udara di dalam air limbah akan menjadi lebih besar,
tetapi akan memerlukan energi yang lebih besar. Selain itu apabila kecepatan
putaran terlalu cepat pembentukan lapisan mikroorganisme pada permukaan
media RBC akan menjadi kurang optimal.
j) Temperatur
Sistem Rotating Biological Contactor (RBC) relatif sensitif terhadap
perubahan suhu. Suhu optimal proses RBC berkisar antara 15-40oC. Jika suhu
terlalu dingin dapat diatasi dengan memberikan tutup di atas reaktor RBC.
k) Modul Media
Media Rotating Biological Contactor (RBC) umumnya dibuat dari bahan
plastik atau polimer yang ringan, bahan yang sering dipakai adalah poly vinyl
chlorida (PVC), polystyrene, Polyethylene (PE), polyeprophylene (PP) dan
lainnya. Bentuk yang sering digunakan adalah tipe bergelombang, plat cekung-
cembung, plat datar. Desain modul media RBC biasanya dirakit menjadi bentuk
yang kompak dengan luas permukaan media yang besar dan dibuat agar
sirkulasi udara dapat berjalan dengan baik.
Modul media RBC tersebut dipasang tercelup sebagian di dalam reaktor.
Air limbah dari bak pengedapan awal dialirkan ke dalam reaktor dengan arah
aliran searah dengan sudut putaran media, arah aliran berlawanan dengan arah

34
sudut putaran media atau arah aliran air limbah searah dengan poros
horizontal.
Cara pengaliran air limbah di dalam reaktor RBC secara sederhana dapat dilihat
pada Gambar 2

Gambar 3.12. Pengaliran Air Limbah di dalam Reaktor RBC

l) Keunggulan dan Kelemahan RBC


Beberapa keunggulan proses pengolahan air limbah dengan sistem
RBC antara lain:
 Pengoperasian alat serta perawatannya mudah.
 Untuk kapasitas kecil atau paket, dibandingkan dengan proses
lumpur aktif konsumsi energi lebih rendah.
 Dapat dipasang beberapa tahap (multi stage), sehingga tahan
terhadap fluktuasi beban pengolahan.
 Reaksi nitrifikasi lebih mudah terjadi, sehingga efisiensi
penghilangan ammonium lebih besar.
 Tidak terjadi bulking ataupun buih (foam) seperti pada proses
lumpur aktif.
Sedangkan beberapa kelemahan dari proses pengolahan air limbah
dengan sistem RBC antara lain yakni :

35
 Pengontrolan jumlah mikroorganisme sulit dilakukan.
 Sensitif terhadap perubahan temperatur.
 Kadang-kadang konsentrasi BOD air olahan masih tinggi.
 Dapat menimbulkan pertumbuhan cacing rambut, serta kadang-
kadang timbul bau yang kurang busuk.
m) Keunggulan dan Kelemahan RBC
Beberapa masalah/gangguan yang terjadi di dalam proses RBC antara
lain :
1. Terjadi suasana anaerob dan gas H2S di dalam reaktor RBC.
Indikasi yang dapat dilihat dari luar adalah ketebalan lapisan
mikroorganisme di bagian inlet dan outlet sama-sama tebal, dan lapisan
mikroorganisme yang melekat pada permukaan media berwarna hitam.
Gangguan tersebut disebabkan karena beban hidrolik atau beban organik
melebihi kapasitas desain. Penanggulangan masalah tersebut antara lain
dengan cara menurunkan debit air limbah yang masuk ke dalam reaktor
RBC atau melakukan aerasi di dalam bak ekualisasi sehingga jumlah
oksigen terlarut bertambah sehingga diharapkan beban organik atau
beban BOD diturunkan.
2. Kualitas air hasil olahan kurang baik dan lapisan mikroorganisme cepat
terkelupas. Indikasi yang dapat dilihat yakni biofilm terkelupas dari
permukaan media dalam jumlah yang besar dan petumbuhan biofilm yang
melekat pada permukaan media tidak normal. Gangguan tersebut
disebabkan karena terjadinya fluktuasi beban BOD yang sangat besar,
perubahan pH air limbah yang tajam, serta perubahan sifat atau
karakteristik limbah. Penanggulangan masalah dapat dilakukan dengan
cara pengontrolan terhadap beban BOD, kontrol pH dan pengukuran
konsentrasi BOD, COD serta senyawa-senyawa yang menghambat
proses.
Terjadi kelainan pada pertumbuhan biofilm dan timbul gas H2S
dalam jumlah yang besar. Indikasi yang terlihat adalah timbulnya lapisan
biofilm pada permukaan media yang berbentuk seperti gelatin berwarna
putih agak bening transparan. Jumlah oksigen terlarut lebih kecil 0,1 mg/l.
Sebab-sebab gangguan antara lain terjadi perubahan beban hidrolik atau

36
beban BOD yang besar, mikroorganisme sulit mengkonsumsi oksigen,
air limbah mengandung senyawa reduktor dalam jumlah yang besar,
keseimbangan nutrien kurang baik. Penanggulangan masalah dapat
dilakukan dengan cara melakukan aerasi di dalam bak ekualisasi,
menaikkan pH air limbah dan memperbaiki keseimbangan nutrien.
3. Terdapat banyak gumpalan warna merah yang melayang- layang di
dalam reaktor RBC. Indikasi yang nampak adalah terjadi cacing air,
cacing bebang secara tidak normal, dan lapisan biofilm yang tumbuh
pada permukaan media sangat tipis. Gangguan tersebut disebabkan
karena beban hidrolik atau beban organik (BOD) sangat kecil
dibandingkan dengan kapasitas desainnya. Cara mengatasi gangguan
tersebut yakni dengan cara memperbesar debit air limbah yang masuk
ke dalam reaktor.

3.10 Tricking Filter


Trickling Filter merupakan salah satu aplikasi pengolahan air
limbah dengan memanfaatkan teknologi biofilm. Trickling filter ini terdiri dari
suatu bak dengan media fermiabel untuk pertumbuhan organisme yang
tersusun oleh materi lapisan yang kasar, keras, tajam dan kedap air.
Kegunaannya adalah untuk mengolah air limbah dengan mekanisme air
yang jatuh mengalir perlahan-lahan melalui lapisan batu untuk kemudian
tersaring. Operasi trickling filter yaitu penghapusan polutan dari aliran
limbah yang melibatkan kedua absorpsi dan adsorpsi senyawa organik oleh
lapisan biofilm mikroba. Media filter biasanya dipilih untuk menyediakan luas
permukaan yang sangat tinggi untuk volume, bahan khas sering berpori dan
memiliki luas permukaan internal yang cukup besar disamping permukaan
eksternal medium.
Bagian dari air limbah yang melalui media memoles terlarut udara,
oksigen yang lapisannya lendir diperlukan untuk oksidasi biokimia senyawaa
organik dan melepaskan gas karbon dioksida, air dan produk akhir
teroksidasi. Biasanya, trickling filter diikut dengan sebuah tangki clarifier atau
sedimentasi untuk pemisahan dan penghapusan peluruhan tersebut. Filter
lainnya memanfatkan media seperti pasir, busa dan gambut yang tidak
menghasilkan lumpur yang harus dibuang, tetapi membutuhkan paksa blower

37
udara dan lingkungan anaerobik tertutup. Perlakuan air limbah atu limbah
lainnya dengan tipe trickling filter adalah salah satu teknologi pengolahan
tertua. Adapun faktor-faktor yang berpengaruh pada efisiensi trickling filter,
yaitu (Suratmo G., 1991):
1. Persyaratan Abiotis
 Jenis Media
Bahan untuk media Trickling Filter harus kuat, keras dan tahan
tekanan, tahan lama, tidak mudah berubah dan mempunyai luas
permukaan per unit volume yang tinggi. Bahan-bahan yang biasa
digunakan adalah batu kali, krikil, antrasit, batu bara, dan
sebagainya. Akhir-akhir ini telah digunakan media plastik yang
dirancang sedemikian rupa sehingga menghasilkan panas yang
tinggi.
 Diameter Media
Diameter media Trickling Filter biasanya antara 2,5-7,5 cm.
Sebaiknya dihindari penggunaan media dengan diameter terlalu
kecil karena akan memperbesar kemungkinan penyumbatan.
Makin luas permukaan media maka semakin banyak pula
mikrooganisme yang hidup diatasnya.
 Ketebalan Susunan Media
Ketebalan media Trickling Filter minimum 1 meter dan maksimum
3-4 meter. Makin tinggi ketebalan media maka makin besar pula
total luas permukaan yang ditumbuhi mikroorganisme sehingga
makin banyak pula mikroorganisme yang tumbuh menempel
diatasnya.
 Lama Waktu Tinggal
Diperlukan lama waktu tinggal yang disebut waktu pengkondisian
atau pendewasaan agar mikroorganisme yang tumbuh diatas
permukaan media telah tumbuh cukup memadai untuk
terselenggaranya proses yang diharapkan. Masa pendewasaan
biasa berkisar 2-6 minggu. Lama waktu tinggal ini dimaksudkan
agar mikroorganisme dapat menguraikan bahan-bahan organik dan
tumbuh dipermukaan media Trickling Filter membentuk lapisan
Biofilm atau lapisan berlendir.

38
 pH
Pertumbuhan mikroorganisme khususnya bakteri dipengaruhi oleh
nilai pH. Agar pertumbuhan baik diusahakan agar pH mendekati
keadaan netral. Nilai pH antara 4-9,5 dengan nilai pH yang
optimum 6,5-7,5 merupakan lingkungan yang sesuai.
 Suhu
Suhu yang baik untuk mikroorganisme adalah 25-370C. Selain itu
suhu juga mempengaruhi kecepatan reaksi dari suatu proses
biologis. Bahkan efisiensi dari trickling Filter sangat dipengaruhi
oleh suhu.
 Aerasi
Aerasi berlangsung dengan baik media Trickling Filter dengan
disusun sedemikian rupa sehingga memungkinkan masuknya udara
kedalam sistem Trickling Filter tersebut. Ketersediaan udara, dalam
hal ini adalah Oksigen sangat berpengaruh terhadap proses
penguraian oleh mikroorganisme.
2. Persyaratan Biotis
Persyaratan biotis diperlukan dalam penggunaan trickling filter adalah
jenis, jumlah dan kemampuan mikroorganisme dalam trickling filter
serta asosiasi kehidupan didalamnya.

3.10.1 Prinsip Kerja


Air limbah diteteskan secara periodik dan terus-menerus ke atas
media TF. Bahan organik yang ada dalam air limbah akan diuraikan oleh
mikroorganisme yang menempel pada media filter. Bahan organik sebagai
substrat yang terlarut dalam air limbah yang akan. Diabsorbsi biofilm dan
kemudian dilepaskan sebagai bahan suspensi yang berkoagulasi lebih
mudah mengendap karena massanya lebih berat. Mekanisme proses
metabolisme di dalam sistem biofilm aerobik secara sederhana dapat
diterangkan seperti pada Gambar 1. tersebut menunjukkan suatu sistem
biofilm yang terdiri dari media, lapisan biofilm yang melekat pada media,
lapisan alir limbah dan lapisan udara yang terletak diluar. Senyawa polutan

39
yang ada di dalam air limbah misalnya senyawa organik (BOD), ammonia,
phospor dan lainnya akan terdifusi ke dalam lapisan biofilm yang melekat
pada permukaan medium. Saat yang bersamaan dengan menggunakan
oksigen yang terlarut di dalam air limbah, senyawa polutan tersebut akan
diuraikan oleh mikroorganisme yang ada di dalam lapisan biofilm dan energi
yang dihasilhan akan diubah menjadi  biomasa. Suplai  oksigen
pada lapisan biofilm dapat dilakukan dengan beberapa cara misalnya pada
sistem RBC yakni dengan cara kontakdengan udara luar, pada sistem
TF  menggunakan blower udara atau pompa sirkulasi.

Gambar 3.13. Metabolisme di dalam Sistem Biofilm Aerobik

Gambar 3.14. Proses Pengolahan air dengan Sistem Tricking Filter

40
Bahan-bahan organik yang ada dalam air limbah diuraikan oleh mikro-
organisme yang menempel pada media filter. Bahan organik sebagai subtrat
yang terlarut dalam air limbah diadsorbsi ke dalam biofilm atau lapisan berlendir.
Pada bagian luar lapisan biofilm, bahan organik diuraikan mikroorganisme
aerobik. Pertumbuhan mikroorganisme akan mempertebal lapisan biofilm.
Oksigen yang terdifusi dapat dikonsumsi sebelum biofilm mencapai ketebalan
maksimum. Pada saat mencapai ketebalan penuh maka oksigen dapat mencapai
penetrasi secara penuh, sehingga pada bagian dalam atau pada permukaan
media akan berada pada kondisi anaerobik.
Pada saat lapisan biofilm mengalami penambahan ketebalan, bahan
organik yang diadsorb dapat diuraikan oleh mikroorganisme namun tidak
mencapai mikroorganisme yang berada di permukaan media, dengan kata lain
tidak tersedia bahan organik untuk sel karbon pada bagain permukaan media,
sehingga organisme sekitar permukaan media mengalami fase endogenous
(kematian). Pada akhirnya mikroorganisme sebagai biofilm tersebut akan lepas
dari media. Cairan yang masuk akan turut melapas / mencuci dan mendorong
biofilm keluar. Setelah itu lapisan biofilm baru akan segera mulai tumbuh.
Fenomena lepasnya biofilm dari media disebut sebagai sloughing dan hal ini
fungsi dari beban organik dan beban hidrolik pada Tricking Filter tersebut. Beban
hidrolik (hydroulik Loading) memberikan kecepatan daya gerus biofilm, sedangan
beban organik (beban Organik) memberikan kontribusi pada laju metabolisme
dalam biofilm. Berdasarkan beban hidrolik dan organik maka dapat
dikelompokkan tipe Trickling Filter low rate dan high rate.
Trickling Filter terdiri dari suatu bak dengan media permeabel untuk
pertumbuhan mikroorganisme. Filter media biasanya mempunyai ukuran
diameter 25 – 10 mm. Kedalaman media filter berkisar 0.9 – 2.5 m (rata-rata 1.8).
Media filter dapat berupa batu atau plastik. Kedalaman filter dapat mencapai 12
m yang disebut sebagai tower trickling filter. Air limbah didistribusikan pada
bagian atas dengan suatu lengan distributor yang dapat berputar. Filter juga
dilengkapi dengan underdrain untuk mengumpulkan biofilm yang mati untuk
kemudian diendapkan dalam bak sedimentasi. Bagian cairan yang keluar
biasanya dikembalikan lagi ke Trickling Filter sebagai air pengencer air baku
yang diolah.

41
3.10.2 Aplikasi pada Proses Tricking Filter

Q.So Qso – Q(so + dS) = kv .Ady


Qso – Q.so – Q.dS) = kv .Ady

Q.So dS
Dy dy = - kv A/Q
Q (So+dS)dy
Dy

Gambar 3.15 Keseimbangan Substrat pada Filter


Dengan :
S = substrat (g/m3 BOD)
Y = kedalaman filter (m)
A = luas permukaan filter
Q = debit yang diolah (m3/hari)
Kv = kosntanta konsumsi substrat
Kv adalah konstanta konsumsi substrat yang besarnya fungsi dari specific
surface ω yaitu perbandingan antara luas permukaan media dan volume media
(A/V), untuk reaksi orde ke nol kv = ω k(o)a.
Integrasi persamaan diatas diperoleh persaman untuk tiap orde reaksi
sebagai berikut :
ω.V
Orde ke nol : Se = So – k (o)a Q
ω.V
Orke ke satu : Se = So exp – ( k (1)a Q )
Dimana V adalah volume trickling filter bagian media.
Formula NRC :
Formula praktis yang dikembangkan oleh NRC (National Research
Council) adalah :

42
100
E1 =
1 + 0.0085 √ Yo/V1 . F 1
Dengan :
E1 = efisiensi TF (%)
Yo = lb BOD5 influent per hari (SoQ)
V = volume filter bagian media (actft)
F = faktor resirkulasi
Harga F hitung dengan persamaan resirkulasi :
1 + R/Q
2
F = ( 1 + 0 .1 R/Q)
R/Q adalah perbandingan resirkulasi (dianjurkan oleh NRC nilai
maksimum 8). Untuk TF jenis low harga F = 1.
Apabila kita menggunakan dua TF yang dibangun secara seri maka
kinerja filter ke dua dapat dihitung sebagai berikut :
100
0 . 0085
1+
1 - E1
√ Yo'/V2 . F2
E2 =
Dengan :
E2 = efisiensi TF ke dua (%)
Yo’ = lb BOD5 influent per hari (SoQ)
Yo’ = Yo (1 - E1)
V = volume filter bagian media (actft)
F = faktor resirkulasi

3.10.3 Desain Parameter Operasional


Di dalam operasional trickling filter secara garis besar dibagi
menjadi dua yakni trickling filter standar (Low Rate) dan trickling filter kecepatan
tinggi. Parameter disain untuk trickling filter standar dan trickling filter kecepatan
tinggi ditunjukkan pada Tabel 3.7.

43
Tabel 3.7. Parameter disain Trickling Filter.
Trickling Filter Trickling Filter
Parameter Standar (High Rate)
Beban Hidrolik m3/m2. hari 0,5 - 4 8 – 40

Beban BOD kg/m3. hari 0,08 - 0,4 0,4 – 4 ,7

Jumlah Mikroorganisme 4,75 - 7,1 3,3 – 6 ,5


(kg/m .media)
3

Stabilitas Porses Stabil Kurang Stabil


BOD Air Olahan < 20 Fluktuasi
Nitrat dalam Air Olahan Tinggi Rendah

Efisiensi Pengolahan 90 -95 + 80


(Sumber : GesuidouShisetsuSekkeiShishin to Kaisetsu, Nihon GesuidouKyoukai
(Japan Sewage Work Assosiation), 1984).

44

Anda mungkin juga menyukai