Anda di halaman 1dari 26

i

PERFORMA REPRODUKSI PADA KERBAU LUMPUR (Bubalus bubalis),


DI KECAMATAN BARAKA, KABUPATEN ENREKANG

SKRIPSI

MUKHAMMAD YUSUF KADIR POLE


O111 13 307

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
ii

PERFORMA REPRODUKSI PADA KERBAU LUMPUR (Bubalus bubalis),


DI KECAMATAN BARAKA, KABUPATEN ENREKANG

MUKHAMMAD YUSUF KADIR POLE

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Program Studi Kedokteran
Hewan Fakultas Kedokteran

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
iii
iv
v

ABSTRAK

MUKHAMMAD YUSUF KADIR POLE. Performa Reproduksi Pada Kerbau


Lumpur (Bubalus Bubalis), Di Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang. Di
bawah bimbingan FIKA YULIZA PURBA dan SUHARTILA.

Kerbau lumpur adalah hewan ruminansia yang bernilai ekonomis tinggi, dan
mudah beradaptasi dengan lingkungan geografisnya, sehingga mudah untuk
dikembangkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui performa reproduksi kerbau
lumpur (Bubalus bubalis) yang ada di Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang.
Penelitian ini dilakukan dengan metode Survei, melalui wawancara langsung kepada
peternak. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 77 ekor kerbau lumpur
betina yang telah berusia 3 tahun atau lebih dan telah beranak. Pengambilan sampel
menyebar di Desa Bone-bone (DB, n=5 ekor), Desa Kendenan (DK, n=26 ekor), Desa
Salukanan (DS, n=1 ekor) dan Desa Pepandungan (DP, n=45 ekor). Parameter yang
digunakan untuk menilai performa reproduksi kerbau lumpur dalam penelitian ini
adalah umur induk berahi pertama, lama bunting, umur induk beranak pertama, jarak
partus, dan berahi setelah beranak. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah rata-rata
umur induk pertama berahi 3,59 ± 0,49 tahun, lama kebuntingan 11,11 ± 0,73 bulan,
umur induk beranak pertama 4,41 ± 0,59 tahun, jarak beranak 2,04 ± 0,75 tahun, dan
berahi setelah beranak 30,11 ± 0,73 hari. Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan
bahwa performa reproduksi kerbau lumpur di Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang
berada dalam kategori baik. Hal ini didukung oleh pengamatan di lapangan yang
menunjukkan bahwa kondisi ternak dalam keadaan prima, sistem pemeliharaan yang
baik, dan pengetahuan peternak yang baik mengenai reproduksi dengan pengalaman
beternak yang telah turun- temurun dari para peternak.
Kata kunci : kerbau lumpur, performa, reproduksi, parameter, Enrekang
vi

ABSTRACT

MUKHAMMAD YUSUF KADIR POLE. Reproductivre Performance of Buffalo


(Bubalus bubalis) in Sub-District Baraka, Enrekang. Adviser: FIKA YULIZA
PURBA and SUHARTILA

Water buffalo is a ruminant animal that has high economical value, which easily
adapt with their geographical environment and becoming one of the livestock. The study
aims to gather the information about the reproductive performance of buffaloes
(Bubalus bubalis) in Sub-district Baraka, Enrekang. The study was conducted by survey
method, with interviews to buffalo breeders. The study used about 77 female water
buffaloes that has the age three years or more and has been breeding. Sampling was
distributed into Bone-bone Village (DB, n = 5), Kendenan Village (DK, n = 26),
Salukanan Village (DS, n = 1) and Pepandungan Village (DP, n = 45). The parameters
used to assess buffalo performance in this study are the age of the mother at the first
estrus, pregnancy duration, age of the mother delivering first birth, time interval
between each birth, and estrus after delivered. The results obtained from this study are:
the average age of the mother at the first estrus is 3.59 ± ± 0,49 years; the pregnancy
duration is 11,11 ± 0,73 months; the age of the mother delivering first birth is 4,41 ±
0,59 years; the time interval between each birth is 2,04 ± 0,75 years; and the estrus after
delivered is 30,11 ± 0,73 days. From the results of this study, it can be concluded that
the reproductive performance of water buffalo in Sub-district Baraka, Enrekang is in a
good category. This is supported by field observations that is indicate that the condition
of livestock is in its prime condition and in a good maintenance system, also supported
by breeder's knowledge about buffalo reproduction and the breeder's years of
experiences.
Keywords: water buffalo, performance, reproduction, parameter, Enrekang
vii

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Azza wa Jalla, Sang
Pemilik Kekuasaan dan Rahmat, yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Performa Reproduksi
Pada Kerbau Lumpur (Bubalus Bubalis), Di Kecamatan Baraka, Kabupaten
Enrekang” ini. Salam, shalawat serat taslim senantiasa tercurahkan kepada baginda
Muhammad Saw. keluarga beliau yang Muslim, para sahabat, kepada orang senantiasa
menyeruh pada jalan Allah, kepada orang-orang yang senantiasa menempatkan Islam
sebagai asas berfikir mereka, dan kepada orang-orang yang senantiasa mengunakan
Syariat Islam sebagai tolak ukur bertingkah laku mereka. Pada kesempatan ini, penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, sejak
persiapan, pelaksanaan hingga pembuatan skripsi setelah penelitian selesai. Penulis
menyadari bahwa penyelesaian skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan,
bimbingan, motivasi dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala
kerendahan hati, penyusun mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ayahanda Kadir Pole dan Ibunda Rosmina B. yang telah memberikan dorongan
inspirasi, semangat juang serta do’a yang tak putus-putusnya sehingga meringankan
langkah penulis untuk menghadapi segala kesulitan yang ada.
2. Saudara-saudaraku yang tercinta Sitti Khadijah Kadir Pole, Nuur Munjiyah
Kadir Pole, Mukhammad Muhsyih Kadir Pole, Syachrul Ramadan Kadir
Pole, Amirah Al-Khumairah serta seluruh keluarga besar yang selalu
memberikan motivasi dan semangat kepada penulis agar cepat menjadi sarjana.
3. Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS selaku Dekan Fakultas Kedokteran
4. Prof. Dr. Drh. Lucia Muslimin, M.Sc selaku Ketua Program Studi Kedokteran
Hewan
5. Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc dan Drh. Suhartila sebagai dosen pembimbing
skripsi yang telah memberikan bimbingan dan nasihat penuh kesabaran dan rasa
semangat selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.
6. Drh. Zainal Abidin Kholilullah, M.Kes dan Dr. Muhammad Yusuf S.Pt sebagai
dosen pembahas dalam seminar proposal yang telah memberikan masukan-
masukan dan penjelasan untuk perbaikan penulisan ini.
7. Drh. Zainal Abidin Kholilullah, M.Kes dan Drh. Imam Sobari sebagai dosen
pembahas dalam seminar hasil yang telah memberikan masukan-masukan dan
penjelasan untuk perbaikan penulisan ini.
8. Drh. Zainal Abidin Kholilullah, M.Kes sebagai penguji dalam ujian meja yang
telah banyak memberikan saran dan masukan dalam penulisan hasil penelitian.
9. Seluruh staf Dosen dan Pegawai di PSKH FK UNHAS yang telah membantu dalam
melakukan penelitian dan penyusunan skripsi.
10. Teman seangkatan 2013 ‘O-BREV’ sesama pencari makna kehidupan, terima kasih
atas cinta, pendidikan, petualangan, perasaan dan pengalaman lainnya selama
viii

11. kehidupan di bangku perkuliahan. Terus berkarya dan berkreatifitas karena


petualangan baru telah menunggu di depan untuk ditaklukkan. Semoga impian kita
tercapai hingga lahirnya kenyataan besar dalam hidup.
12. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah ikut
menyumbangkan pikiran dan tenaga untuk penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun agar dalam penyusunan karya berikutnya dapat lebih baik. Akhir
kata, semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi setiap jiwa yang bersedia
menerimanya. Amiin ya rabbal alamain.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Makassar, 11 Agustus 2017

MUKHAMMAD YUSUF KADIR POLE


ix

DAFTAS ISI

HALAMAN SAMPUL i
HALAMAN JUDUL ii
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN iv
ABSTRAK v
KATA PENGENTAR vii
DAFTAS ISI ix
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xi
1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penelitian 2
1.4 Manfaat Penelitian 3
1.5 Keaslihan Penelitian 3
2. TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1 Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis) 4
2.2 Karakteristik Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis) 7
2.3 Performa Reprosuksi 9
2.4 Parameter Performa Reroduksi 12
2.4.1. Umur Induk Berahi Pertama 13
2.4.2. Lama Bunting 13
2.4.3. Umur Induk Beranak Pertama 14
2.4.4. Jarak Beranak 14
2.4.5. Berahi Setelah Beranak 15
3. METODE PENELITIAN 16
3.1 Waktu dan Tempat 16
3.2 Jenis Penelitian dan Metode Pengambilan Sampel 16
3.3 Materi Penelitian 16
3.4 Metode Penelitian 16
3.5 Analisis Data 16
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 18
4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian 18
4.1.1 Keadaan Topografi 18
4.1.2 Keadaan Demografi 19
4.2 Karakteristik Peternak 21
x

4.3 Kondisi dan Sistem Peternakan 23


4.4 Populasi Kerbau Lumpur 24
4.5 Performa Reproduksi 25
4.5.1 Umur Berahi Pertama 26
4.5.2 Lama Bunting 27
4.5.3 Umur Induk Beranak Pertama 28
4.5.4 Jarak Beranak 29
2.3.5 Berahi Setelah Beranak 30
5. PENUTUP 34
5.1 Kesimpulan 34
5.2 Saran 34
DAFTAR PUSTAKA 35
LAMPIRAN 39
RIWAYAT HIDUP 54
xi

DAFTAR TABEL
1. Tabel 1. Populasi kerbau di delapan kota/provinsi di Indonesia 6
2. Tabel 2. Keunggulan kerbau dibandingkan
dengan sapi pada kondisi ekstensif 10
3. Tabel 3. Teknologi pembudidayaan kerbau lumpur di Indonesia 11
4. Tabel 4. Jumlah kepala keluarga, jumlah penduduk, kepadatan
penduduk, dan luas wilayah, Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang 20
5. Tabel 5. Katakterristik peternak kerbau lumpur di Kecamatan Baraka 21
6. Tabel 6. Populasi kerbau lumpur Kecamatan Baraka 24
7. Tabel 7. Jumlah sampel dari lokasi penelitian 25
8. Tabel 8. Umur berahi pertama kerbau lumpur di Kecamatan Baraka 27
9. Tabel 9. Umur induk kerbau beranak pertama di Kecamatan Baraka 28
10. Tabel 10. Lama kebuntingan kerbau lumpur di Kecamatan Baraka 29
11. Tabel 11. Jarak beranak kerbau lumpur di Kecamatan Baraka 30
12. Tabel 12. Berahi setelah beranak pada kerbau lumpur
di Kecamatan Baraka 31
13. Tabel 13. Hasil Penilaian BCS karbau lumpur di Kecamatan Baraka 32
14. Tabel 14. Metode penilaian BCS pada kerbau lumpur 47

DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1. Kerbau belang (Tana Toraja/Sulawesi Selatan) 8
2. Gambar 2. Peta Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang 18
3. Gambar 3. Kondisi topografi Kecamatan Baraka 19
4. Gambar 4. Gambaran sistem pemeliharaan ternak kerbau lumpur 23
5. Gambar 5. Penyebaran populasi kerbau lumpur di Kecamatan Baraka 25
6. Gambar 6. Penentuan nilai BCS 46

DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran 1. Kuesioner Penelitian 40
2. Lampiran 2. Perhitungan dari parameter penelitian 44
3. Lampiran 3. Penentuan niali Body Condition Score (BCS) pada kerbau
lumpur 47
4. Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian 52
1

1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Beberapa tahun terakhir ini, konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia selalu
mengalami penurunan. Hal ini dilihat dengan penurunan konsumsi protein hewani yang
juga mengalami penurunan yang sama. Jumlah populasi ternak yang ada, ternyata tidak
dapat menunjang pemenuhan kebutuhan masyarakat Indonesia akan konsumsi protein
hewani yang sangat bermanfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan masyarakat
Indonesia. Konsumsi protein hewani asal ternak per kapita per hari di Indonesia masih
sangat rendah, yakni 5,68 g/kapita/hari. Sementara itu, 30 – 35% kebutuhan daging
dalam negeri masih harus diimpor berupa sapi bakalan dan daging beku (Anonim,
2009). Kondisi ini dapat dilihat dari konsumsi daging pada tahun 2015 yang ditargetkan
mencapai 632.9 ribu ton. Namun, pada tahun yang sama jumlah ternak yang ada di
Indonesia hanya mampu memproduksi daging dengan angkan pencapaian 395.14 ribu
ton, dengan adanya perhitungan ini dapat dipastikan kebutuhan daging di Indonesia
akan mengalami defisit mencapai 225.6 ribu ton. Data statistik seperti yang ada di atas,
sesuai dengan apa yang diusulkan oleh Kementerian Pertanian Republik Indonesia
dalam Rancangan Pembangunan Menengah Nasional dalam Bidang Pangan dan
Pertanian 2015- 2019.
Dengan kondisi yang tercantum dari data statistik tersebut, menunjukkan bahwa
jumlah produksi tidak pernah seimbang dengan jumlah kebutuhan dan konsumsi secara
nasional, maka dibutukan langkah strategis untuk mengembangkan ternak produktif
yang ada di Indonesia. Pengembangan ternak ruminansia besar seperti kerbau lumpur
adalah salah satu jalan yang dapat ditempuh dalam menggagas solusi pemenuhan
konsumsi daging Indonesia. Kerbau lumpur merupakan salah satu ternak penghasil
protein hewani yang dapat dijadikan sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat, sebab kerbau lumpur selain mudah untuk dipelihara juga dapat
memanfaatkan rumput berkualitas rendah dan menghasilkan berat karkas yang
memadai. Kerbau lumpur adalah hewan ruminansia yang bernilai ekonomis tinggi,
dimana kerbau lumpur mudah beradapatasi dengan lingkungan geografis, memiliki
kemampuan tinggi di dalam mencerna serat kasar dibanding ternak ruminansia lainnya
(Baliarti, 2006).
Dalam beberapa tahun terakhir, produksi kerbau Indonesia selalu mengalami
peningkatan. Pada tahun 2011 tercatat produksi daging kerbau mancapai 35.3 ribu ton,
dan meningkat pada tahun 2012 dengan jumlah produksi yang mencapai 37.0 ribu ton.
Pada tahun yang sama, provinsi Sulawesi Selatan masuk dalam delapan besar ketegori
pemasok daging kerbau terbesar di Indonesia. Pada tahun 2011, provensi Sulawesi
Selatan mampu memproduksi daging kerbau yang mencapai 1.821 ton.
Jumlah tersebut, mengalami peningkatan pada tahun 2012 yang mampu mencapai
2.690 ton. Setiap tahun jumlah tersebut selalu mengalami peningkatan, dan terbukti
pada tahun 2015, provinsi Sulawesi Selatan mampu masuk dalam dua besar dengan
jumlah produksi daging kerbau terbesar di Indonesia, setelah provinsi Sumatera Utara.
Prosduksi
2

yang mencapai 3.622 ton di tahun 2015, membuktikan provinsi Sulawesi Selatan
sebagai daerah yang mampu menyuplai produksi daging kerbau skala nasional.
Pada tahun 2015, jumlah kerbau yang ada di Indonesia mencapai 1.381 juta ekor,
dengan provinsi Sulawesi Selatan mencapai 111.683 ekor. Sedangkan jumlah kerbau
lumpur yang ada di kecemaran Baraka, kebupaten Enrekang, pada tahun 2015,
mencapai 690 ekor. Dengan jumlah populasi ternak dan luas wilayah yang mencapai
159,15 𝑘𝑚2. Kecamatan Baraka adalah salah satu daerah yang ada di Kabupaten
Enrekang sebagai daerah pemuliabiakan kerbau lumpur yang produktif. Hal ini di
dukung dengan kultur lahan peternakan yang baik sehingga dapat menunjang
produktifitas dari performa reproduksi yang baik.
Hubungan antara kultur lahan, serta manajemen peternakan yang baik, sangat
berpengaruh pada performa reproduksi pada ternak, khususnya kerbau lumpur.
Sehingga, performa reproduksi pada kerbau lumpur merupakan hal yang sangat penting
untuk diperhatikan. Demikian halnya, untuk mendukung peningkatan hasil produksi
dari kerbau lumpur di Kecamatan Baraka, maka hal yang penting diperhatikan dan
dipahami adalah performa reproduksi pada kerbau lumpur tersebu. Performa reproduksi
pada kerbau akan dipengaruhi oleh nilai performa reproduksi pada kerbau lumpur.
Adapun parameter performa reproduksi yaitu meliputi, jarak beranak, perkawinan
sampai dengan bunting, lama bunting, dan waktu kosong pada kerbau lumpur (Chaiklun
et al., 2012).

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana performa reproduksi dari kerbau (Bubalus bubalis) yang terdapat di
Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang?

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. 3. 1. Tujuan Umum
Mengetahui performa reproduksi kerbau lumpur (Bubalus bubalis) yang ada di
Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang.
1. 3. 2. Tujuan Khusus
Mengetahui performa reproduksi yang terdiri dari, umur induk berahi pertama,
lama bunting, umur induk beranak pertama, jarak beranak, dan berahi setelah
beranak, pada kerbau lumpur (Bubalus bubalis) yang teradapat di Kecamatan
Baraka, Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan
3

1.4 Manfaat Penelitian


1. 4. 1. Manfaat Pengembangan Ilmu Teori
Sebagai tambahan ilmu pengetahuan dan referensi dalam pengembangan
performa reproduksi kerbau lumpur (Bubalus bubalis).
1. 4. 2. Manfaat Untuk Aplikasi
a. Untuk Peneliti
Melatih kemampuan meneliti dan menjadi acuan bagi peneliti selanjutnya.
b. Untuk Peternak
Sebagai rujukan bagi peneliti selanjutnya tentang performa reproduksi pada
kerbau lumpur (Bubalus bubalis), dan membantu dalam memberikan informasi
yang berkaitan dengan sistem reproduksi khususnya parameter performa
reproduksi pada kerbau lumpur (Bubalus bubalis).

1.5 Keaslian Penelitian


Penelitian mengenai performa reproduksi pada kerbau lumpur(Bubalus bubalis),
di Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang sebelumnya belum pernah dilakukan.
Penelitian yang serupa sebelumnya pernah dilakukan mengenai performa reproduksi
kerbau lumpur (Bubalus bubalis) di Kabupaten Malang, yang dilakukan oleh Suhedro
Dwi et al., pada tahun 2014.
4

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis)


Kerbau lumpur adalah hewan ruminansia yang bernilai ekonomis tinggi, dan salah
satu ternak yang sangat mudah beradabtasi dengan lingkungan geografisnya, serta
memiliki kemampuan tinggi di dalam mencerna serat kasar dibanding ternak ruminansia
lainnya (Baliarti, 2006). Selain itu kerbau lumpur merupakan sumberdaya genetik yang
keberadaanya kini relatif kurang diperhatikan dalam dunia budidaya ternak besar.
Namun demikian, secara nasional hewan ini berkontribusi besar terhadap pembangunan
peternakan yang ada di Indonesia. Produksi daging dari kerbau lumpur selalu
mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir ini, tapi masih belum cukup
untuk memenuhi kebutuhan daging nasioanal yang selalu mengalami defisit dari tahun
ke tahun.
Menurut FAO (2007), hanya 41 negara yang menunjukan perhatian pada
pemeliharaan kerbau yang ada di dunia. Dari negara-negara ini, 29% menyebutkan
breeding kerbau merupakan hal yang prioritas dan 22% lainnya telah memiliki program
breeding. Negara-negara yang memiliki program budidaya kerbau dengan tujuan utama
produksi susu adalah India, Pakistan, China, Mesir dan Bulgaria.
Produktivitas ternak potong dipengaruhi oleh struktur populasi ternak, natural
increase (angka pertambahan alami), angka panen (calf crop), mortalitas sesudah lepas
sapih dan masa aktivitas reproduksi (beranak) bagi induk. Produktivitas ini ditinjau dari
dinamika populasi yang dapat dijabarkan sebagai perkembangan populasi ternak dalam
periode waktu tertentu (umumnya satu tahun) dan sering dinyatakan dalam persentase
(%), apabila dibandingkan dengan populasi ternak secara keseluruhan (Basuki, 1998).
Produktivitas kerbau lumpur di Indonesia pada umumnya rendah yang disebabkan oleh
beberapa kendala, antara lain: peranan kerbau lumpur pada sistem usahatani tradisional,
pengusahaan lahan yang kurang ekonomis, kurangnya modal, sangat terbatasnya bibit
unggul, kualitas pakan yang rendah, serta kurangnya pengetahuan petani terhadap
produksi kerbau lumpur. Kendala-kendala tersebut dapat diminimalisasi dengan
program jangka panjang terutama dalam bidang reproduksi dan pemuliabiakan kerbau
dengan sistem kelola yang modern (Dwiyanto dan Subandryo, 1995).
Menurut pakar sejarah, kerbau lumpur (Bubalus bubalis) adalah hewan liar yang
ditemukan pertama kali di benua Asia. Pada awalnya, kerbau ditemukan terdapat dua
tipe utama, yaitu kerbau lumpur dan kerbau sungai yang didasarkan pada perbedaan
fenotipe, karyotipe dan struktur mitokondria pada DNA ternak tersebut. Kerbau sungai
adalah jenis kerbau yang merupakan penghasil utama susu. Kerbau jenis ini hidup di
beberapa wilayah India, Timur Tengah dan sekitarnya, serta Eropa Timur. Sedangkan
kerbau lumpur, merupakan jenis kerbau yang digunakan sebagai tenaga kerja pada
budidaya padi. Kerbau ini banyak ditemukan di China dan negara-negara di Asia
Tenggara, termasuk Indonesia. Kedua tipe kerbau ini merupakan hasil hibridisasi di
bagian Timur Laut India. Kerbau sungai diperkirakan didomestikasi dengan metode
terpisah, dengan kemungkinan pusat domestikasi kerbau sungai terjadi di Lembah Indus
atau Lembah Efrat dan Lembah Tigris pada 5000 tahun yang lalu. Sedangkan kerbau
lumpur didomestikasi di China
5

sekitar 4000 tahun yang lalu bersamaan dengan munculnya budidaya padi (Hasinah,
2009).
Kerbau yang ada di Indonesia diduga telah lama dibawa ke Jawa, yaitu pada saat
perpindahan masyarakat India ke pulau Jawa pada tahun 1.000 SM. Melihat
kemampuan adaptasi kerbau tersebut pengembangan dan penyebaran kerbau lumpur
dapat dilakukan di banyak daerah yang terdapat di Indonesia dengan memperhatikan
kerbau lumpur dan daya adaptasinya terhadap lingkungannya.
Sebagian besar kerbau di Indonesia adalah tipe kerbau lumpur, namun telah
muncul berbagai jenis kerbau lumpur yang mengikuti agroekosistem dan
membentuknya sehingga kerbau lumpur ini dikenal dengan berbagai nama seperti di
Tana Toraja yang dikenal dengan Tedong Bonga, di daerah Alabio terdapat kerbau
Kalang yang selalu berendam di rawa-rawa dan hanya naik ke darat apabila menjelang
malam hari untuk masuk ke kandang yang disebut kalang, di Tapanuli Selatan terdapat
kerbau Binanga dan di Maluku ada kerbau Moa. Kerbau lumpur mempunyai variasi
yang cukup besar pada bobot badan dan warna kulit (Siregar et al., 1997).
Sementara kerbau sungai hanya sedikit ditemukan di sekitar Medan yaitu kerbau
Murrah yang dibawa oleh masyarakat keturunan India dari negeri asalnya. Kerbau
Murrah merupakan kerbau perah menghasilkan susu yang lebih banyak jika
dibandingkan dengan kerbau lumpur dengan kemampuan produksi susu sekitar 8
liter/ekor/hari. Pemerahan susu kerbau yang banyak dilakukan di beberapa daerah
biasanya diolah sebelum dikonsumsi dan dikenal dengan berbagai nama seperti Dadih
(Sumatra Utara), Sago puan, Gulo puan (Sumatra Selatan dan Barat), Danke (Sulawesi
Selatan), susu goreng (NTT) dan lain-lain (Hasinah, 2009).
Dewasa ini, banyak metode pemeliharaan yang digunakan untuk melakukan
pengembangan budidaya kerbau lumpur. Beberapa wilayah di Indonesia secara khusus
telah melakukan beberapa menajemen yang digunakan untuk meningkatkan produksi
dari budidaya kerbau lumpur tersebut. Dalam pemeliharaan ternak, untuk mendapatkan
produksi yang maksimal diperlukan performa reproduksi yang baik. Sehingga performa
merupakan hal yang sangat penting diperhatikan dalam pemeliharaan ternak, termasuk
kerbau. Kerbau lumpur sebagai penghasil daging dan susu harus mempunyai performa
yang baik, termasuk didalamnya performa reproduksi. Performa reproduksi nantinya
akan mempengaruhi produksi yang dihasilkan oleh yang dihasilkan setelah mengalami
proses reproduksi seperti kawin, bunting dan beranak.
Dalam beberapa tahun terakhir, populasi kerbau lumpur yang terdapat di
Indonesia selalu mengalami peningktan yang signifikan. Pada tahun 2011 sekitar 1.305
juta ekor, mengalami peningkatan pada tahun 2014 menjadi 1,335 juta ekor. Populasi
kerbau lumpur lebih terpusat di Nusa Tenggara Timur, Aceh, dan Jawa Barat (Tabel 1).
Namun, dari peningkatan populasi yang terjadi, jumlah produksi daging dari empat
tahun terakhir ini, mengalami penurunan. Pada tahun 2011, total produksi daginga
kerbau lumpur mencapai 35.331 ton, namun pada tahun 2014, produksi daging kerbau
lumpur mengalami penurunan dengan total produksi menjadi 35. 237 ton (Anonim,
2015).
6

Tabel 1. Populasi kerbau di delapan kota/provinsi di Indonesia

Provinsi/ Tahun/Year
Provinces 2011 2012 2013 2014 2015*
Nusa Tenggara 150.038 152.449 133.122 134.457 139.208
Timur
Aceh 131.494 164.294 111.950 166.903 175.248
Jawa Barat 130.157 121.854 108.303 113.869 117.313
Sumatera Utara 114.289 131.483 93.966 116.008 117.200

Banten 123.143 124.108 98.710 101.632 104.031


Nusa Tenggara Barat 105.391 144.232 80.093 129.141 133.323

Sumatera Barat 100.310 113.370 86.330 118.844 123.598

Sulawesi Selatan 96.505 103.160 90.642 108.679 111.68


Catatan: * Angka sementara (Preliminary figures)
Sumber: Anonim, 2015
Kerbau lumpur merupakan sumber genetik khas yang dapat berperan dalam
perbaikan mutu genetik ternak lokal yang terdapat di Indonesia. Kerbau lokal yang
dimiliki merupakan plasma nutfah yang dapat dikembangkan untuk perbaikan kualitas
baik secara morfologi maupun genetik pada semua kerbau lumpur yang terdapat di
Indonesia. Kerbau lumpur (Bubalus bubalis Linn.), merupakan salah satu komuditas
peternakan yang potensial dalam hal penyediaan daging karena pada kondisi pakan
berkualitas rendah, kerbau spesies ini mampu mencerna serat kasar yang relatif tinggi
mencapai 40-47 persen (Siregar, 2012).
Menurut Subandriyo et al., (2006), kerbau lumpur merupakan ternak yang
mempunyai keistimewaan tersendiri dibanding dengan ternak sapi dan beberapa ternak
besar lainnya. Hal ini didukung karena kerbau lumpur mampu hidup dalam kawasan
atau lingkungan yang relatif sulit terutama bila pakan yang tersedia berkualitas sangat
rendah. Pada kondisi pakan yang tersedia kurang baik, setidaknya pertumbuhan kerbau
lumpur dapat menyamai atau justru lebih baik jika dibandingkan dengan sapi. Kondisi
ekstrim pada suatu daerah masih dapat membuat kerbau lumpur berkembang biak
dengan baik.
Kondisi ini didukung dengan kemampuan kerbau lumpur yang dapat tumbuh pada
lahan yang relatif sulit dalam keadaan pakan yang kurang baik di wilayah-wilayah
dalam dengan kondisi argoekosistem yang sangat luas dari daerah yang sangat basah
sampai kering. Melihat adaptasi kerbau lumpur tersebut, pengembangan dan penyebaran
kerbau lumpur dapat dilakukan pada banyak daerah di Indonesia, dengan
memperhatikan jenis kerbau lumpur dan daya adaptasi terhadap lingkungannya.
7

2.2 Karakteristik Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis)


Kerbau yang ada di Indonesia sebagian besar merupakan rumpun kerbau lumpur
(Swamp buffalo), dengan persentase 95 persen sedangkan sisanya adalah merupakan
kerbau sungai (River buffalo), sebanyak 5 persen. Keduanya dapat dibedakan dengan
membandingkan, ukuran atau morfometrik, morfologi tubuh dan sifat kualitatif serta
kuntitatif yang mucul pada masing-masing kerbau lumpur (Siregar, 2012).
Rumpun kerbau di Indonesia yaitu kerbau lumpur (Swamp buffalo) dan kerbau
Sungai (Riverine buffalo), dengan total populasi sekitar 2.246.000 ekor (Sutama, 2008).
Kerbau lumpur memiliki 48 pasang dan kerbau sungai memiliki 50 pasang kromosom,
walaupun berbeda dalam jumlah kromosom tetapi perkawinan keduanya mengahasilkan
keturunan yang fertil baik pada ternak jantan maupun betina, diduga bahwa daya
reproduksi crossbred tersebut lebih rendah dari masing-masing indukan yang
dikawinkan (Talib, 2008).
Menurut Busrayana (2016), kerbau lumpur selain ada di Indonesia, juga di
Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand dan Malaysia. Kerbau lumpur yang terdapat di
Malaysia Barat, memiliki habitat atau daerah hidup asli di daerah berlumpur atau
berrawa-rawa. Habitat yang baik dalam pertumbuhan kerbau lumpur akan berperan
dalam kualitas produksi yang dihasilkan, baik susu maupun karkas atau daging. Kerbau
yang tersebar banyak di Indonesia ini, disebut kerbau lumpur bertujuan untuk
membedakan dengan kerbau sungai (kerbau Murrah) yang berasal dari India.
Kerbau adalah hewan ruminansia dari sub famili Bovinae, yang berkembang
banyak di beberapa belahan dunia. Hewan jenis ini, sampai sekarang diduga dari daerah
India. Kerbau domestikasi (Water buffalo), yang ada pada saat ini beradal dari spesies
Bubalus arnee. Sedangakan kerbau yang masih liar, terdiri dari spesies, B.
mindorensis,
B. depressicornis dan B. cafer. Kerbau yang terdapat di benua Asia, terdiri dari dua sub
spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau domestik terdiri atas dua yaitu
kerbau lumpur (Swamp bufallo), dan kerbau sungai (River bufallo). Adapun klasifikasi
dari kerbau adalah sebagi berikut (Storer et al., 1971).
Kingdom : Animalia
Filum : Choradata
Class : Mamalia
Sub-class : Ungulata
Ordo : Artiodactyla
Sub-ordo : Ruminansia
Family : Bovidae
Genus : Bubalus
Spesies : Bubalus bubalis Linn.
Indonesia memiliki berbagai bangsa kerbau, hal ini karena pengaruh adaptasi yang
dilakukan oleh masing-masing kerbau dai daerah tertentu. Penyebutan atas masing-
masing kerbau juga mengalami perbedaan, yang ditentukan sesuai daerah kerbau
8

beradaptasi, misalnya, Kerbau Pampangan (Pampangan/Sumsel), Kerbau Binanga


(Tapsel/Sumut), Kerbau lumpur (Sumatera dan Kalimantas), Kerbau Benuang
(Bengkulu), Kerbau belang (Tana Toraja/Sulsel), Kerbau Sumbawa (NTB), Kerbau
Sumba (NTT), Kerbai Moa (Maluku), dan lain-lain, yang pada dasarnya adalah satu.
Termasuk kerbau Lumpur (Swamp buffalo) (Talib, 2008).
Kerbau lumpur (Swamp buffalo), adalah jenis kerbau yang banyak terdapat di
Asia Tenggara. Termasuk di Indonesia, dengan jumlah populasi yang cukup banyak.
Kerbau ini tampak lebih liar jika dibandingkan dengan kerbau tipe sungai (River
buffalo). Fahimuddin (1975), mengatakan bahwa, kerbau lumpur merupakan kerbau
berbadan pendek, besar, bertanduk panjang, memiliki konformasi tubuh yang besar dan
padat serta memiliki warna abu-abu pada bagian kaki, bahkan bisa lebih cerah lagi.
Warna yang lebih terang menyerupai kalung, terdapat pada bagian bawa dagu dan
leher. Kerbau lumpur tidak pernah ditemukan memiliki warna coklat, atau abu-abu
coklat, sebagaimana yang ditemukan pada kerbau sungai. Ciri-ciri dari bagian muka,
dahi datar, muka pendek, moncong lebar, dan terdapat bercak putih disekitar mata.
Fahimuddin (1975), menyatakan bahwa, kerbau jantan dewasa memiliki bobot
mencapai 500 kg dan kerbau betina mencapai 400 kg, dengan tinggi pundak jantan dan
betina, berturut-turut adalah 135 cm dan 130 cm. Kerbau lumpur yang berusia dewasa
di Indonesia memiliki tinggi rata-rata 127-130 cm, untuk kerbau jantan, serta 124-125
cm untuk kerbau betina.

Gambar 1. Kerbau belang (Tana Toraja/Sulawesi Selatan)


Kerbau yang khas di Sulawesi Selatan adalah kerbau belang yang berasal dari
Kabupaten Tana Toraja. Hewan ini bernilai paling tinggi baik secara ekonomi maupun
status sosial dalam budaya masyarakat yang terdapat di Tana Toraja. Kerbau yang
dalam bahasa setempat disebut ‘Tedong atau Karembau’, memainkan peran sangat
penting dalam kehidupan sosial masyarakat Tana Toraja. Hewan ini selain rnenjadi
hewan pekerja (membantu membajak sawah dan mengangkut barang), alat transaksi
(misalnya dalam jual beli tanah, mahar, warisan), kerbau juga dipakai sebagai
persembahan dalam upacara Rambu Solo' (acara kematian) masyarakat Tana Toraja.
Berkaitan dengan tradisi adat masyarakat setempat, maka sangat memungkinkan apabila
harga kerbau belang menjadi
9

mahal. Kerbau belang tersebut merupakan jenis kerbau yang termasuk kedalam bangsa
kerbau lumpur (Swamp buffalo) (Afandi, 2011).

2.3 Performa Reprosuksi


Performa reproduksi merupakan salah satu aspek yang penting disebabkan
performa reproduksi setiap individu dapat mencerminkan kemampuan ternak tersebut
dalam berproduksi selama hidupnya. Peningkatan jumlah populasi yang terjadi ternyata
tidak didukung dengan performa reproduksi yang dimiliki oleh beberapa populasi
kerbau lumpur yang terdapat di Indonesia. Hal ini berakibat pada rendahnya
produktivitas dari semua populasi kerbau yang terdapat di Indonesia. Menurut
Dwiyanto dan Subandryo (1995), produktivitas kerbau lumpur di Indonesia pada
umumnya rendah yang disebabkan oleh beberapa kendala atau faktor, di antaranya
adalah, peranan kerbau lumpur pada sistem usahatani tradisional, pengusahaan lahan
yang kurang ekonomis, kurangnya modal, sangat terbatasnya bibit unggul, kualitas
pakan yang rendah, kurangnya pengetahuan petani terhadap produksi kerbau lumpur.
Kendala-kendala tersebut dapat diminimalisasi dengan program jangka panjang
terutama dalam bidang reproduksi dan pemuliabiakan kerbau lumpur yang terdapat di
Indonesia.
Pernyataan di atas didukung oleh Basuki (1998), yang menjelaskan bahwa
produktivitas ternak potong khususnya kerbau lumpur dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain adalah, struktur populasi ternak, natural increase (angka pertambahan
alami), angka panen (calf crop), mortalitas sesudah lepas sapih dan masa aktivitas
reproduksi (beranak) bagi induk. Sedangkan daya reproduksi didefinisikan sebagai
kemampuan seekor ternak untuk menghasilkan anak selama hidupnya (Hardjopranjoto,
1995).
Daya reproduksi kelompok ternak yang tinggi disertai dengan pengelolaan ternak
yang baik akan menghasilkan efisiensi produksi yang tinggi pula. Laju peningkatan
populasi ternak akan menjadi lebih cepat bila efisiensi reproduksinya lebih baik dan
rendahnya angka gangguan reproduksi. Tinggi rendahnya efisiensi reproduksi
sekelompok ternak ditentukan oleh lima hal, yaitu: l). Angka kebuntingan (Conception
rate), 2). Jarak antar beranak (Calving interval), 3). Jarak waktu antara beranak sampai
bunting kembali (Service period), 4). Angka perkawinan per kebuntingan (Service per
conception), dan 5). Angka kelahiran (Calving rate) (Hardjopranjoto, 1995).
Karakteritik budidaya kerbau lumpur yang terdapat di Indonesia umumnya masih
dengan sistem usahatani tradisional yang belum berorientasi agribisnis. Hal ini terjadi
disebabkan karena kebutuhan bibit unggul yang terbatas, kualitas pakan yang masih
cukup rendah, daya tahan panas yang kurang, parasit penyebab penyakit yang sering
ditemukan, penanganan penyakit yang msih kurang maksimal, serta teknologi tepat
guna yang juga kurang tersedia. Walaupun kerbau lumpur belum memberikan produksi
optimal namun performa reproduksinya tergolong baik (Putu et al., 1994), jika
dibandingkan dengan persentase hewan besar lainnya. Hal ini, ditunjukkan dengan
peningkatan populasi induk dewasa setiap 2,5 tahun dapat beranak dua kali dengan
bobot badan lahir anak berkisar antara 24 – 31 kg, dan bobot badan anak umur setahun
mencapai 176 – 179 kg.
1

Seperti yang dilaporkan oleh Praharani (2009), bahwa pada pemeliharaan sistem
ekstensif di dataran rendah Amerika Selatan dengan kondisi gersang kerbau lebih
produktif dibandingkan dengan sapi (Tabel 2). Selain itu kerbau lumpur memiliki
kapasitas yang cukup tinggi untuk mengatasi tekanan dan perubahan lingkungan yang
ekstrim. Sebagai contoh, kerbau lumpur mampu bertahan hidup dengan baik meski
terjadi perubahan temperature (heat load) dan perubahan vegetasi padang rumput.
Dengan keunggulan-keunggulan tersebut, kerbau lumpur adalah salah satu ternak yang
potensial untuk dikembangkan, pengembangan usaha peternakan kerbau lumpur dan
wilayah agribisnis kerbau lumpur sangat luas, hampir meliputi seluruh agroekosistem
dan sosio- budaya yang ada.
Tabel 2. Keunggulan kerbau dibandingkan dengan sapi pada kondisi ekstensif

Parameter Sapi Kerbau


Beranak (%) 40 80
Mortalitas Pra-Sapih (%) 10 1,4
Berat Sapih (Kg) 120-150 220-250
Berat Potong (Kg) 450 500
Umur Potong (Bulan) 48 24
Karkas (%) 51-52 48-53
Sumber: Praharani (2009)
Sejauh ini peternak tradisional memegang peranan yang besar dalam pelestarian
ternak asli dan ternak lokal termasuk kerbau. Di sisi lain ancaman kelestarian
sumberdaya genetik datang sebagai akibat dari pemanfaatan yang berlebihan dan
pencemaran akibat migrasi genetik yang terjadi. Upaya untuk mempertahankan
kelestarian dan kemurnian ternak asli perlu ditangani dalam rangka mempertahankan
sumber daya genetik ternak asli yang mempunyai keunggulan adaptasi yang tinggi.
Upaya pengembangan dapat dilakukan sesuai dengan potensi daerah yang didukung
dengan perbaikan teknologi (bibit, manajemen, pakan) (Hasinah, 2009).
Kendala reproduksi diantaranya adalah lambatnya angka pertumbuhan,
keterlambatan pubertas, musim kawin, tingginya umur beranak pertama, panjangnya
calving interval, dan lain-lain (Fahimuddin, 1975). Menurut Cockrill (1974), Kerbau
lumpur mampu menghasilkan anak 10-15 ekor selama hidupnya dan dapat hidup sampai
25 tahun.
Dalam upaya pelestarian perlu adanya dukungan dan campur tangan pemerintah
dalam hal regulasi dan kebijakan, penerapan teknologi yang tepat, penguatan
kelembagaan serta peningkatan keterampilan dan wawasan para peternak. Pembentukan
village breeding centre dapat dilakukan dengan melibatkan kelompok-kelompok
peternak yang merupakan salah satu cara untuk memperbanyak populasi atau
pembentukan pusat-pusat/usaha pembibitan kerbau terutama pada wilayah yang
memiliki populasi kerbau banyak. Upaya pelestarian lainnya adalah diperlukan
adanya lomba
1

keindahan, kontes ternak misalnya dilihat dari performaya dan bursa hewan, kegiatan
seperti ini sekaligus untuk penjaringan bibit unggul (Hasinah, 2009).
Jika dilihat dari komponen teknologi yang dilakukan dalam peningkatan populasi
kerbau di Indonesia (Tabel 3), banyaknya metode pengembangan yang dilakukan,
ternyata berbanding terbalik dengan hasil yang diharapkan. Salah satu masalahnya yang
sangat berpengaruh dalam pengembangan populasi kerbau adalah manajeman ternak
dan pengetahuan akan performa reproduksi yang masih sangat kudang di antara
peternak. Hal ini didukung dengan kurangnya pemberian pakan tambahan pada kerbau
oleh peternak tradisional berskala kecil (Herawati, 2011).
Tabel 3. Teknologi Pembudidayaan Kerbau di Indonesia
Teknologi Uraian
Budidaya INKA, IB, FIV, TE, TG, Cloning, sexing sperm, sinkronisasi
estrus, dan persilangan antara kerbau Sungai dengan kerbau
lumpur.
Reproduksi Karakteristik morfologi kerbau lumpur, Sungai (murrah),
persilangan antara kerbau lumpur dan kerbau Sungai
Karakteristik genetik kerbau lumpur lokal NTB dan NTT,
perilaku kerbau toraja, kerbau Kalang di Kaltim, kerbau
Benuang di Bengkulu, kerbau Moa di MTB dan kerbau lumpur
di Humbang Hasundutan, Sumbar, Pasaman, Batanghari, Jambi,
Kotabaru, Kalsel, Banten, Bogor, Jakarta, Brebes, Semarang,
Boyolali, Temanggung, Banyumas, Grobogan, Ngawi dan
Toraja
Pakan Ampas bir, Fermentasi jagung, Chromolaena odorata, Daun
gamal, Limbah tanaman pangan
Penyakit Antraks dan ngorok
Sosek Analisa
usahatani Sumber: Herawati (2011).
Performa reproduksi kerbau lumpur dengan dipengaruhi oleh aktivitas berahi,
terutama pada kerbau muda. Manajemen perkawinan, baik menggunakan IB ataupun
kawin alam sangat ditentukan oleh aktivitas berahi. Dengan penentuan berahi yang tepat
dapat ditentukan pula waktu perkawinan yang tepat pada kerbau lumpur. Berbagai
upaya telah dilakukan untuk penanggulangan gangguan reproduksi dan peningkatan
pelayanan kesehatan hewan yang mempunyai target untuk mengurangi tingkat
kegagalan reproduksi bagi ternak betina produktif yang telah berhasil dikawini
dengan penentuan dewasa kelamin yang tepat dan siklus berahi yang didukung dengan
kondisi kerbau yang baik (). Pubertas atau dewasa kelamin dapat didefinisikan sebagai
umur atau waktu organ- organ reproduksi mulai berfungsi dengan baik dan
perkembangbiakan terjadi. Dewasa kelamin pada kerbau tidak tidak ditandai dengan
kapasitas reproduksi yang normal. Pubertas pada hewan jantan
ditandai dengan kemampuan hewan untuk berkopulasi dan
menghasilkan sperma serta perubahan-perubahan kelamin sekunder lain
1

yang dimiliki oleh hewan jantan, sedangkan pada hewan betina ditandai dengan
terjadinya estrus dan ovulasi. Estrus dan ovulasi pertama disertai oleh kenaikan ukuran
dan berat organ reproduksi secara cepat (Toelihere, 1981).
Hasil penelitian Lendhanie (2005) menyatakan bahwa umur pubertas kerbau
lumpur tidak diketahui dengan pasti. Meskipun demikian, berdasarkan umur kelahiran
pertama yaitu 3-4 tahun diperkirakan konsepsi pertama terjadi pada umur 2-3 tahun.
Umur konsepsi pertama ini dapat dijadikan patokan sebagai umur dewasa kelamin
dengan asumsi lama kebuntingan selama 12 bulan.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi keberhasilan reproduksi adalah penentuan
siklus berahi yang tepat pada kerbau. Berahi adalah saat hewan betina bersedia
menerima pejantan untuk kopulasi. Jarak antara berahi yang satu sampai pada berahi
berikutnya disebut satu siklus berahi, jika berahi yang pertama tidak menghasilkan
kebuntingan maka berahi yang pertama itu akan disusul dengan berahi kedua. Lama
berahi berkisar antara waktu penerimaan pertama sampai penolakan terakhir.
Mongkopunya (1980) menjelaskan bahwa lama berahi kerbau lumpur adalah 32
jam. Kerbau lumpur Thailand memiliki siklus berahi 2l hari, sedangkan di Philipina
siklus berahi kerbau lumpur selama 20 hari (Guzman, 1980). Gejala berahi tidak
muncul disebabkan oleh temperatur yang tinggi pada kondisi lingkungan yang
berpengaruh dalam perubahan berahi menjadi lebih pendek (dari 11,9 jam menjadi 6,1
jam) (Cockrill, 1974). Penyebab lain rendahnya produktivitas kerbau dikemukakan
Qomariah et al.,
(2006) adalah:
1. Penurunan mutu bibit, rendahnya produktivitas dan terjadinya inbreeding.
2. Tingginya penjualan pejantan.
3. Lokasi pemeliharaan kerbau terlalu jauh dari tempat permukiman penduduk
sehingga penyuluhan yang rutin sukar dilakukan.
4. Pada musim kemarau panjang mengalami kekeringan sehingga ternak
kekurangan air minum.
5. Terjadi serangan penyakit yang menyebabkan kematian. Kematian anak kerbau
(gudel) mencapai 10% dan rendahnya reproduktivitas.

2.4 Parameter Performa Reproduksi


Sistem pemeliharaan kerbau Lumpur yang terdapat pada kabanyakan daerah di
Indonesia, termasuk di Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang masih dengan cara
semi intensif dan intensif yang bersifat tradisional dan merupakan peternakan rakyat
yang potensial untuk dikembangkan. Hal ini didukung oleh kondisi lingkungan
setempat yang cocok, ketersediaan limbah hasil pertanian melimpah, jenis pekerjaan
masih didominasi dari sektor pertanian dan budaya masyarakat dalam memelihara
kerbau masih turun- temurun (Anonim, 2009).
Salah satu faktor yang paling berperan dalam menentukan performa reproduksi
dari kerbau lumpur adalah faktor lingkungan tempat pembudidayaan kerbau tersebut.
Lingkungan yang optimum akan memberikan suasana yang kondusif bagi ternak untuk
berproduksi. Kondisi suhu lingkungan yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dari suhu
1

optimum dapat mengakibatkan kerbau stress. Hal ini dapat menurunkan produktivitas
kerbau. Suhu 15-25 ℃ dan kelembaban 60-70 persen adalah zona optimum bagi kerbau
untuk hidup dan berkembang biak (Yurleni, 2000).
Menurut Joseph (1996), dalam penelitian yang dilakukannya, menyatakan bahwa
zona nyaman untuk hidup kerbau adalah 15,5-21 ℃ dengan curah hujan 500-2000
mm/tahun. Ketinggian tempat dapat berpengaruh secara tidak langsung, yaitu terhadap
ketersediaan pakan hijauan dari segi kualitas maupun kuantitas dan pengaruhnya secara
langsung yaitu melalui suhu. Suhu lingkungan yang optimal memberi suasana kondusif
bagi kerbau yang hidup.
Faktor produksi kerbau yang dapat berperan dalam meningkatkan hasil maksimal
dalam pembudidayaan kerbau adalah terletak pada pemahaman akan performa
reproduksi yang dimiliki hewan tersebut. Sehingga performa reproduksi merupakan hal
yang sangat penting diperhatikan dalam pembudidayaan kerbau. Untuk menunjang
peningkatan hasil produksi dari kerbau, maka diperlukan pengetahuan tentang kondisi
performa reproduksi. Performa reproduksi yaitu , umur induk berahi pertama, lama
bunting, umur induk beranak pertama, jarak beranak, dan berahi setelah beranak
Chaiklun et al., 2012).

2.4.1 Umur Induk Berahi Pertama


Busono (1993), melaporkan bahwa panjang siklus berahi kerbau yang normal ±
22,4 hari, dengan rataan lama periode berahi 20 – 28 jam. Rendahnya reproduksi kerbau
betina salah satunya disebabkan oleh faktor lingkungan, manajemen pemeliharaan,
pemberian pakan tidak optimal dan suhu udara tinggi. Angka kematian induk berkisar
antara 4 – 6%, abortus yang tinggi, terutama pada kerbau betina dengan umur
kebuntingan muda, anak lahir langsung mati di padang penggembalaan sebelum menuju
kalang, serta kematian anak pra sapih berkisar antara 18 – 21%. (Putu, 2003).
Menurut Anonim (2009), upaya untuk penanggulangan gangguan reproduksi dan
peningkatan pelayanan kesehatan hewan mempunyai target untuk mengurangi tingkat
kegagalan reproduksi bagi ternak betina produktif yang telah berhasil dikawini.

2.4.2 Lama Bunting


Periode kebuntingan diukur sebagai jumlah hari antara waktu kawin sampai
kelahiran anak karena ketepatan waktu fertilisasi tidak diketahui. Faktor yang
mempengaruhi lama kebuntingan adalah jenis kelamin, keturunan, umur induk dan yang
lebih luas yaitu musim kelahiran dan kondisi lingkungan. Kebuntingan anak jenis
kelamin jantan pada spesies mamalia umumnya sedikit lebih lama daripada betina dan
bunting pertama selalu lebih singkat daripada kebuntingan selanjutnya (Fahimuddin,
1975).
Lama bunting adalah suatu aspek yang mempengaruhi selang kelahiran. Menurut
Guzman (1980), kerbau lumpur memiliki lama bunting berkisar antara 320-325
hari, Mongkopunya (1980) menyatakan bahwa lama bunting kerbau lumpur adalah 336
hari, dan menurut Toelihere (1981), rata-rata periode kebuntingan adalah 310-315
hari
1

dan selanjutnya dikatakan bahwa perbedaan lama kebuntingan bisa disebabkan oleh
manajemen, pakan dan iklim lingkungan.

2.4.3 Umur Induk Beranak Pertama


Hewan-hewan betina muda, tidak boleh dikawinkan sampai pertumbuhan
badannya memungkinkan (dewasa kelamin dan dewasa tubuh), agar diperoleh suatu
kebuntingan dan kelahiran yang normal. Hal ini karena dewasa kelamin terjadi sebelum
dewasa tubuh pada suatu hewan (Toelihere, 1981). Umur kerbau betina pada konsepsi
pertama berbeda- beda tergantung pada manajemen pemeliharaan, pemberian pakan,
dan faktor genetik hewan. Umur kawin pertama kerbau lumpur di Malaysia adalah rata-
rata 28 bulan atau
2.3 tahun (Fahimuddin, 1975). Menurut hasil penelitian Lendhanie (2005), kerbau
betina di Kalimantan Selatan baru mencapai masa berahi pertama setelah berumur 3
tahun atau lebih lama jika dibandingkan dengan sapi.
Kerbau lumpur yang terdapat di Asia Tenggara umumnya mengalami kelahiran
pertama lebih lambat dari ternak lainnya. Hal ini disebabkan oleh faktor manajemen dan
pakan yang masih rendah. Kerbau di Kabupaten Malang umur induk beranak pertama
kali rata-rata 45,6 ± 2,0 bulan dapat dibulatkan menjadi 3,5 tahun. Umur ini hampir
sama dengan hasil penelitian Yendraliza (2010), yang melaporkan bahwa umur beranak
pertama kerbau di Kabupaten Kampar yaitu 1253 ± 179 hari, sedangkan pada
pemeliharaan intensif atau terkontrol umur beranak pertama kerbau adalah 24 – 36
bulan, dan lebih cepat dengan rata-rata umur beranak pertama kerbau lumpur di Filipina
yaitu 3,6 tahun.

2.4.4 Jarak Beranak


Menurut pendapat Guzman (1980) bahwa selang kelahiran kerbau lumpur berkisar
antara 1-3 tahun atau rata-rata 1,5 tahun. Menurut penelitian Lendhanie (2005) bahwa
jarak beranak kerbau lumpur di Kabupaten Hulu Sungai Utara adalah 18-24 bulan.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Yendraliza (2010) jarak beranak kerbau lumpur
di Kabupaten Kampar yaitu 391.667 ± 18,92 hari. Jarak beranak dipengaruhi oleh
berahi pertama setelah beranak dan lama bunting. Semakin lama muncul berahi setelah
beranak maka jarak beranak akan semakin lama.
Sedangkan menurut Fahimuddin (1975), selang atau jarak beranak adalah jangka
waktu dari saat induk beranak hingga saat beranak berikutnya. Calving interval
dipengaruhi oleh daya reproduksi dan ditentukan pada lamanya masa kosong serta
angka perkawinan per kebuntingan (S/C). Siklus reproduksi akan diulang kembali
sampai pada kebuntingan berikutnya setelah kerbau mengalami berahi kembali dan
beranak. Panjang Calving interval sangat bervariasi pada kerbau lumpur bergantung
kepada semua karakteristik reproduksi. Menurut Guzman (1980), selang kelahiran
kerbau lumpur berkisar antara l-3 tahun atau rata-rata 1,5 tahun. Calving interval lebih
banyak diatur oleh faktor non genetik yaitu ada kesempatan menurunkannya dengan
efisiensi manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan yang tepat.
1

Pendeknya jarak beranak pada kerbau lumpur di Kabupaten Malang disebabkan


dengan cepatnya berahi pertama muncul setelah beranak. Hal ini juga berkaitan dengan
kemampuan peternak dalam mendeteksi berahi pada kerbau di Kabupaten Malang
cukup baik. Secara ekonomis jarak beranak yang pendek akan menguntungkan peternak
karena dalam satu tahun ternak mereka akan selalu menghasilkan anak (Dwi, 2014).

2.4.5 Berahi Setelah Beranak


Fase kelahiran atau partus akan terjadi apabila masa kebuntingan telah
mencukupi. Organ reproduksi, terutama uterus akan mengalami proses penyembuhan
setelah peristiwa kelahiran yaitu kembali keukuran semula pada saat tidak bunting.
Proses ini disebut dengan istilah involusi uterus. Berahi kembali akan terjadi setelah
involusi uterus selesai. Proses berahi setelah beranak pada tiap individu berbeda beda
bergantung kepada lamanya proses involusi uterus. Menurut Guzman (1980), bahwa
pada Kerbau lumpur berahi kembali setelah beranak adalah 30-35 hari. Kerbau seperti
halnya dengan sapi bahwa apabila dalam pengelolaan pasca beranak induk dihadapkan
pada pakan yang kurang, lingkungan yang tidak serasi, sanitasi kandang yang kurang
baik atau kondisi lain yang tidak mendukung maka pada induk akan terjadi gangguan
dalam proses reproduksi selanjutnya (Hardjopranjoto, 1995).

Anda mungkin juga menyukai