SKRIPSI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Program Studi Kedokteran
Hewan Fakultas Kedokteran
ABSTRAK
Kerbau lumpur adalah hewan ruminansia yang bernilai ekonomis tinggi, dan
mudah beradaptasi dengan lingkungan geografisnya, sehingga mudah untuk
dikembangkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui performa reproduksi kerbau
lumpur (Bubalus bubalis) yang ada di Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang.
Penelitian ini dilakukan dengan metode Survei, melalui wawancara langsung kepada
peternak. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 77 ekor kerbau lumpur
betina yang telah berusia 3 tahun atau lebih dan telah beranak. Pengambilan sampel
menyebar di Desa Bone-bone (DB, n=5 ekor), Desa Kendenan (DK, n=26 ekor), Desa
Salukanan (DS, n=1 ekor) dan Desa Pepandungan (DP, n=45 ekor). Parameter yang
digunakan untuk menilai performa reproduksi kerbau lumpur dalam penelitian ini
adalah umur induk berahi pertama, lama bunting, umur induk beranak pertama, jarak
partus, dan berahi setelah beranak. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah rata-rata
umur induk pertama berahi 3,59 ± 0,49 tahun, lama kebuntingan 11,11 ± 0,73 bulan,
umur induk beranak pertama 4,41 ± 0,59 tahun, jarak beranak 2,04 ± 0,75 tahun, dan
berahi setelah beranak 30,11 ± 0,73 hari. Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan
bahwa performa reproduksi kerbau lumpur di Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang
berada dalam kategori baik. Hal ini didukung oleh pengamatan di lapangan yang
menunjukkan bahwa kondisi ternak dalam keadaan prima, sistem pemeliharaan yang
baik, dan pengetahuan peternak yang baik mengenai reproduksi dengan pengalaman
beternak yang telah turun- temurun dari para peternak.
Kata kunci : kerbau lumpur, performa, reproduksi, parameter, Enrekang
vi
ABSTRACT
Water buffalo is a ruminant animal that has high economical value, which easily
adapt with their geographical environment and becoming one of the livestock. The study
aims to gather the information about the reproductive performance of buffaloes
(Bubalus bubalis) in Sub-district Baraka, Enrekang. The study was conducted by survey
method, with interviews to buffalo breeders. The study used about 77 female water
buffaloes that has the age three years or more and has been breeding. Sampling was
distributed into Bone-bone Village (DB, n = 5), Kendenan Village (DK, n = 26),
Salukanan Village (DS, n = 1) and Pepandungan Village (DP, n = 45). The parameters
used to assess buffalo performance in this study are the age of the mother at the first
estrus, pregnancy duration, age of the mother delivering first birth, time interval
between each birth, and estrus after delivered. The results obtained from this study are:
the average age of the mother at the first estrus is 3.59 ± ± 0,49 years; the pregnancy
duration is 11,11 ± 0,73 months; the age of the mother delivering first birth is 4,41 ±
0,59 years; the time interval between each birth is 2,04 ± 0,75 years; and the estrus after
delivered is 30,11 ± 0,73 days. From the results of this study, it can be concluded that
the reproductive performance of water buffalo in Sub-district Baraka, Enrekang is in a
good category. This is supported by field observations that is indicate that the condition
of livestock is in its prime condition and in a good maintenance system, also supported
by breeder's knowledge about buffalo reproduction and the breeder's years of
experiences.
Keywords: water buffalo, performance, reproduction, parameter, Enrekang
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Azza wa Jalla, Sang
Pemilik Kekuasaan dan Rahmat, yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Performa Reproduksi
Pada Kerbau Lumpur (Bubalus Bubalis), Di Kecamatan Baraka, Kabupaten
Enrekang” ini. Salam, shalawat serat taslim senantiasa tercurahkan kepada baginda
Muhammad Saw. keluarga beliau yang Muslim, para sahabat, kepada orang senantiasa
menyeruh pada jalan Allah, kepada orang-orang yang senantiasa menempatkan Islam
sebagai asas berfikir mereka, dan kepada orang-orang yang senantiasa mengunakan
Syariat Islam sebagai tolak ukur bertingkah laku mereka. Pada kesempatan ini, penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, sejak
persiapan, pelaksanaan hingga pembuatan skripsi setelah penelitian selesai. Penulis
menyadari bahwa penyelesaian skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan,
bimbingan, motivasi dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala
kerendahan hati, penyusun mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ayahanda Kadir Pole dan Ibunda Rosmina B. yang telah memberikan dorongan
inspirasi, semangat juang serta do’a yang tak putus-putusnya sehingga meringankan
langkah penulis untuk menghadapi segala kesulitan yang ada.
2. Saudara-saudaraku yang tercinta Sitti Khadijah Kadir Pole, Nuur Munjiyah
Kadir Pole, Mukhammad Muhsyih Kadir Pole, Syachrul Ramadan Kadir
Pole, Amirah Al-Khumairah serta seluruh keluarga besar yang selalu
memberikan motivasi dan semangat kepada penulis agar cepat menjadi sarjana.
3. Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS selaku Dekan Fakultas Kedokteran
4. Prof. Dr. Drh. Lucia Muslimin, M.Sc selaku Ketua Program Studi Kedokteran
Hewan
5. Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc dan Drh. Suhartila sebagai dosen pembimbing
skripsi yang telah memberikan bimbingan dan nasihat penuh kesabaran dan rasa
semangat selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.
6. Drh. Zainal Abidin Kholilullah, M.Kes dan Dr. Muhammad Yusuf S.Pt sebagai
dosen pembahas dalam seminar proposal yang telah memberikan masukan-
masukan dan penjelasan untuk perbaikan penulisan ini.
7. Drh. Zainal Abidin Kholilullah, M.Kes dan Drh. Imam Sobari sebagai dosen
pembahas dalam seminar hasil yang telah memberikan masukan-masukan dan
penjelasan untuk perbaikan penulisan ini.
8. Drh. Zainal Abidin Kholilullah, M.Kes sebagai penguji dalam ujian meja yang
telah banyak memberikan saran dan masukan dalam penulisan hasil penelitian.
9. Seluruh staf Dosen dan Pegawai di PSKH FK UNHAS yang telah membantu dalam
melakukan penelitian dan penyusunan skripsi.
10. Teman seangkatan 2013 ‘O-BREV’ sesama pencari makna kehidupan, terima kasih
atas cinta, pendidikan, petualangan, perasaan dan pengalaman lainnya selama
viii
DAFTAS ISI
HALAMAN SAMPUL i
HALAMAN JUDUL ii
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN iv
ABSTRAK v
KATA PENGENTAR vii
DAFTAS ISI ix
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xi
1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penelitian 2
1.4 Manfaat Penelitian 3
1.5 Keaslihan Penelitian 3
2. TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1 Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis) 4
2.2 Karakteristik Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis) 7
2.3 Performa Reprosuksi 9
2.4 Parameter Performa Reroduksi 12
2.4.1. Umur Induk Berahi Pertama 13
2.4.2. Lama Bunting 13
2.4.3. Umur Induk Beranak Pertama 14
2.4.4. Jarak Beranak 14
2.4.5. Berahi Setelah Beranak 15
3. METODE PENELITIAN 16
3.1 Waktu dan Tempat 16
3.2 Jenis Penelitian dan Metode Pengambilan Sampel 16
3.3 Materi Penelitian 16
3.4 Metode Penelitian 16
3.5 Analisis Data 16
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 18
4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian 18
4.1.1 Keadaan Topografi 18
4.1.2 Keadaan Demografi 19
4.2 Karakteristik Peternak 21
x
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1. Populasi kerbau di delapan kota/provinsi di Indonesia 6
2. Tabel 2. Keunggulan kerbau dibandingkan
dengan sapi pada kondisi ekstensif 10
3. Tabel 3. Teknologi pembudidayaan kerbau lumpur di Indonesia 11
4. Tabel 4. Jumlah kepala keluarga, jumlah penduduk, kepadatan
penduduk, dan luas wilayah, Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang 20
5. Tabel 5. Katakterristik peternak kerbau lumpur di Kecamatan Baraka 21
6. Tabel 6. Populasi kerbau lumpur Kecamatan Baraka 24
7. Tabel 7. Jumlah sampel dari lokasi penelitian 25
8. Tabel 8. Umur berahi pertama kerbau lumpur di Kecamatan Baraka 27
9. Tabel 9. Umur induk kerbau beranak pertama di Kecamatan Baraka 28
10. Tabel 10. Lama kebuntingan kerbau lumpur di Kecamatan Baraka 29
11. Tabel 11. Jarak beranak kerbau lumpur di Kecamatan Baraka 30
12. Tabel 12. Berahi setelah beranak pada kerbau lumpur
di Kecamatan Baraka 31
13. Tabel 13. Hasil Penilaian BCS karbau lumpur di Kecamatan Baraka 32
14. Tabel 14. Metode penilaian BCS pada kerbau lumpur 47
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1. Kerbau belang (Tana Toraja/Sulawesi Selatan) 8
2. Gambar 2. Peta Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang 18
3. Gambar 3. Kondisi topografi Kecamatan Baraka 19
4. Gambar 4. Gambaran sistem pemeliharaan ternak kerbau lumpur 23
5. Gambar 5. Penyebaran populasi kerbau lumpur di Kecamatan Baraka 25
6. Gambar 6. Penentuan nilai BCS 46
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran 1. Kuesioner Penelitian 40
2. Lampiran 2. Perhitungan dari parameter penelitian 44
3. Lampiran 3. Penentuan niali Body Condition Score (BCS) pada kerbau
lumpur 47
4. Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian 52
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Beberapa tahun terakhir ini, konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia selalu
mengalami penurunan. Hal ini dilihat dengan penurunan konsumsi protein hewani yang
juga mengalami penurunan yang sama. Jumlah populasi ternak yang ada, ternyata tidak
dapat menunjang pemenuhan kebutuhan masyarakat Indonesia akan konsumsi protein
hewani yang sangat bermanfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan masyarakat
Indonesia. Konsumsi protein hewani asal ternak per kapita per hari di Indonesia masih
sangat rendah, yakni 5,68 g/kapita/hari. Sementara itu, 30 – 35% kebutuhan daging
dalam negeri masih harus diimpor berupa sapi bakalan dan daging beku (Anonim,
2009). Kondisi ini dapat dilihat dari konsumsi daging pada tahun 2015 yang ditargetkan
mencapai 632.9 ribu ton. Namun, pada tahun yang sama jumlah ternak yang ada di
Indonesia hanya mampu memproduksi daging dengan angkan pencapaian 395.14 ribu
ton, dengan adanya perhitungan ini dapat dipastikan kebutuhan daging di Indonesia
akan mengalami defisit mencapai 225.6 ribu ton. Data statistik seperti yang ada di atas,
sesuai dengan apa yang diusulkan oleh Kementerian Pertanian Republik Indonesia
dalam Rancangan Pembangunan Menengah Nasional dalam Bidang Pangan dan
Pertanian 2015- 2019.
Dengan kondisi yang tercantum dari data statistik tersebut, menunjukkan bahwa
jumlah produksi tidak pernah seimbang dengan jumlah kebutuhan dan konsumsi secara
nasional, maka dibutukan langkah strategis untuk mengembangkan ternak produktif
yang ada di Indonesia. Pengembangan ternak ruminansia besar seperti kerbau lumpur
adalah salah satu jalan yang dapat ditempuh dalam menggagas solusi pemenuhan
konsumsi daging Indonesia. Kerbau lumpur merupakan salah satu ternak penghasil
protein hewani yang dapat dijadikan sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat, sebab kerbau lumpur selain mudah untuk dipelihara juga dapat
memanfaatkan rumput berkualitas rendah dan menghasilkan berat karkas yang
memadai. Kerbau lumpur adalah hewan ruminansia yang bernilai ekonomis tinggi,
dimana kerbau lumpur mudah beradapatasi dengan lingkungan geografis, memiliki
kemampuan tinggi di dalam mencerna serat kasar dibanding ternak ruminansia lainnya
(Baliarti, 2006).
Dalam beberapa tahun terakhir, produksi kerbau Indonesia selalu mengalami
peningkatan. Pada tahun 2011 tercatat produksi daging kerbau mancapai 35.3 ribu ton,
dan meningkat pada tahun 2012 dengan jumlah produksi yang mencapai 37.0 ribu ton.
Pada tahun yang sama, provinsi Sulawesi Selatan masuk dalam delapan besar ketegori
pemasok daging kerbau terbesar di Indonesia. Pada tahun 2011, provensi Sulawesi
Selatan mampu memproduksi daging kerbau yang mencapai 1.821 ton.
Jumlah tersebut, mengalami peningkatan pada tahun 2012 yang mampu mencapai
2.690 ton. Setiap tahun jumlah tersebut selalu mengalami peningkatan, dan terbukti
pada tahun 2015, provinsi Sulawesi Selatan mampu masuk dalam dua besar dengan
jumlah produksi daging kerbau terbesar di Indonesia, setelah provinsi Sumatera Utara.
Prosduksi
2
yang mencapai 3.622 ton di tahun 2015, membuktikan provinsi Sulawesi Selatan
sebagai daerah yang mampu menyuplai produksi daging kerbau skala nasional.
Pada tahun 2015, jumlah kerbau yang ada di Indonesia mencapai 1.381 juta ekor,
dengan provinsi Sulawesi Selatan mencapai 111.683 ekor. Sedangkan jumlah kerbau
lumpur yang ada di kecemaran Baraka, kebupaten Enrekang, pada tahun 2015,
mencapai 690 ekor. Dengan jumlah populasi ternak dan luas wilayah yang mencapai
159,15 𝑘𝑚2. Kecamatan Baraka adalah salah satu daerah yang ada di Kabupaten
Enrekang sebagai daerah pemuliabiakan kerbau lumpur yang produktif. Hal ini di
dukung dengan kultur lahan peternakan yang baik sehingga dapat menunjang
produktifitas dari performa reproduksi yang baik.
Hubungan antara kultur lahan, serta manajemen peternakan yang baik, sangat
berpengaruh pada performa reproduksi pada ternak, khususnya kerbau lumpur.
Sehingga, performa reproduksi pada kerbau lumpur merupakan hal yang sangat penting
untuk diperhatikan. Demikian halnya, untuk mendukung peningkatan hasil produksi
dari kerbau lumpur di Kecamatan Baraka, maka hal yang penting diperhatikan dan
dipahami adalah performa reproduksi pada kerbau lumpur tersebu. Performa reproduksi
pada kerbau akan dipengaruhi oleh nilai performa reproduksi pada kerbau lumpur.
Adapun parameter performa reproduksi yaitu meliputi, jarak beranak, perkawinan
sampai dengan bunting, lama bunting, dan waktu kosong pada kerbau lumpur (Chaiklun
et al., 2012).
2 TINJAUAN PUSTAKA
sekitar 4000 tahun yang lalu bersamaan dengan munculnya budidaya padi (Hasinah,
2009).
Kerbau yang ada di Indonesia diduga telah lama dibawa ke Jawa, yaitu pada saat
perpindahan masyarakat India ke pulau Jawa pada tahun 1.000 SM. Melihat
kemampuan adaptasi kerbau tersebut pengembangan dan penyebaran kerbau lumpur
dapat dilakukan di banyak daerah yang terdapat di Indonesia dengan memperhatikan
kerbau lumpur dan daya adaptasinya terhadap lingkungannya.
Sebagian besar kerbau di Indonesia adalah tipe kerbau lumpur, namun telah
muncul berbagai jenis kerbau lumpur yang mengikuti agroekosistem dan
membentuknya sehingga kerbau lumpur ini dikenal dengan berbagai nama seperti di
Tana Toraja yang dikenal dengan Tedong Bonga, di daerah Alabio terdapat kerbau
Kalang yang selalu berendam di rawa-rawa dan hanya naik ke darat apabila menjelang
malam hari untuk masuk ke kandang yang disebut kalang, di Tapanuli Selatan terdapat
kerbau Binanga dan di Maluku ada kerbau Moa. Kerbau lumpur mempunyai variasi
yang cukup besar pada bobot badan dan warna kulit (Siregar et al., 1997).
Sementara kerbau sungai hanya sedikit ditemukan di sekitar Medan yaitu kerbau
Murrah yang dibawa oleh masyarakat keturunan India dari negeri asalnya. Kerbau
Murrah merupakan kerbau perah menghasilkan susu yang lebih banyak jika
dibandingkan dengan kerbau lumpur dengan kemampuan produksi susu sekitar 8
liter/ekor/hari. Pemerahan susu kerbau yang banyak dilakukan di beberapa daerah
biasanya diolah sebelum dikonsumsi dan dikenal dengan berbagai nama seperti Dadih
(Sumatra Utara), Sago puan, Gulo puan (Sumatra Selatan dan Barat), Danke (Sulawesi
Selatan), susu goreng (NTT) dan lain-lain (Hasinah, 2009).
Dewasa ini, banyak metode pemeliharaan yang digunakan untuk melakukan
pengembangan budidaya kerbau lumpur. Beberapa wilayah di Indonesia secara khusus
telah melakukan beberapa menajemen yang digunakan untuk meningkatkan produksi
dari budidaya kerbau lumpur tersebut. Dalam pemeliharaan ternak, untuk mendapatkan
produksi yang maksimal diperlukan performa reproduksi yang baik. Sehingga performa
merupakan hal yang sangat penting diperhatikan dalam pemeliharaan ternak, termasuk
kerbau. Kerbau lumpur sebagai penghasil daging dan susu harus mempunyai performa
yang baik, termasuk didalamnya performa reproduksi. Performa reproduksi nantinya
akan mempengaruhi produksi yang dihasilkan oleh yang dihasilkan setelah mengalami
proses reproduksi seperti kawin, bunting dan beranak.
Dalam beberapa tahun terakhir, populasi kerbau lumpur yang terdapat di
Indonesia selalu mengalami peningktan yang signifikan. Pada tahun 2011 sekitar 1.305
juta ekor, mengalami peningkatan pada tahun 2014 menjadi 1,335 juta ekor. Populasi
kerbau lumpur lebih terpusat di Nusa Tenggara Timur, Aceh, dan Jawa Barat (Tabel 1).
Namun, dari peningkatan populasi yang terjadi, jumlah produksi daging dari empat
tahun terakhir ini, mengalami penurunan. Pada tahun 2011, total produksi daginga
kerbau lumpur mencapai 35.331 ton, namun pada tahun 2014, produksi daging kerbau
lumpur mengalami penurunan dengan total produksi menjadi 35. 237 ton (Anonim,
2015).
6
Provinsi/ Tahun/Year
Provinces 2011 2012 2013 2014 2015*
Nusa Tenggara 150.038 152.449 133.122 134.457 139.208
Timur
Aceh 131.494 164.294 111.950 166.903 175.248
Jawa Barat 130.157 121.854 108.303 113.869 117.313
Sumatera Utara 114.289 131.483 93.966 116.008 117.200
mahal. Kerbau belang tersebut merupakan jenis kerbau yang termasuk kedalam bangsa
kerbau lumpur (Swamp buffalo) (Afandi, 2011).
Seperti yang dilaporkan oleh Praharani (2009), bahwa pada pemeliharaan sistem
ekstensif di dataran rendah Amerika Selatan dengan kondisi gersang kerbau lebih
produktif dibandingkan dengan sapi (Tabel 2). Selain itu kerbau lumpur memiliki
kapasitas yang cukup tinggi untuk mengatasi tekanan dan perubahan lingkungan yang
ekstrim. Sebagai contoh, kerbau lumpur mampu bertahan hidup dengan baik meski
terjadi perubahan temperature (heat load) dan perubahan vegetasi padang rumput.
Dengan keunggulan-keunggulan tersebut, kerbau lumpur adalah salah satu ternak yang
potensial untuk dikembangkan, pengembangan usaha peternakan kerbau lumpur dan
wilayah agribisnis kerbau lumpur sangat luas, hampir meliputi seluruh agroekosistem
dan sosio- budaya yang ada.
Tabel 2. Keunggulan kerbau dibandingkan dengan sapi pada kondisi ekstensif
keindahan, kontes ternak misalnya dilihat dari performaya dan bursa hewan, kegiatan
seperti ini sekaligus untuk penjaringan bibit unggul (Hasinah, 2009).
Jika dilihat dari komponen teknologi yang dilakukan dalam peningkatan populasi
kerbau di Indonesia (Tabel 3), banyaknya metode pengembangan yang dilakukan,
ternyata berbanding terbalik dengan hasil yang diharapkan. Salah satu masalahnya yang
sangat berpengaruh dalam pengembangan populasi kerbau adalah manajeman ternak
dan pengetahuan akan performa reproduksi yang masih sangat kudang di antara
peternak. Hal ini didukung dengan kurangnya pemberian pakan tambahan pada kerbau
oleh peternak tradisional berskala kecil (Herawati, 2011).
Tabel 3. Teknologi Pembudidayaan Kerbau di Indonesia
Teknologi Uraian
Budidaya INKA, IB, FIV, TE, TG, Cloning, sexing sperm, sinkronisasi
estrus, dan persilangan antara kerbau Sungai dengan kerbau
lumpur.
Reproduksi Karakteristik morfologi kerbau lumpur, Sungai (murrah),
persilangan antara kerbau lumpur dan kerbau Sungai
Karakteristik genetik kerbau lumpur lokal NTB dan NTT,
perilaku kerbau toraja, kerbau Kalang di Kaltim, kerbau
Benuang di Bengkulu, kerbau Moa di MTB dan kerbau lumpur
di Humbang Hasundutan, Sumbar, Pasaman, Batanghari, Jambi,
Kotabaru, Kalsel, Banten, Bogor, Jakarta, Brebes, Semarang,
Boyolali, Temanggung, Banyumas, Grobogan, Ngawi dan
Toraja
Pakan Ampas bir, Fermentasi jagung, Chromolaena odorata, Daun
gamal, Limbah tanaman pangan
Penyakit Antraks dan ngorok
Sosek Analisa
usahatani Sumber: Herawati (2011).
Performa reproduksi kerbau lumpur dengan dipengaruhi oleh aktivitas berahi,
terutama pada kerbau muda. Manajemen perkawinan, baik menggunakan IB ataupun
kawin alam sangat ditentukan oleh aktivitas berahi. Dengan penentuan berahi yang tepat
dapat ditentukan pula waktu perkawinan yang tepat pada kerbau lumpur. Berbagai
upaya telah dilakukan untuk penanggulangan gangguan reproduksi dan peningkatan
pelayanan kesehatan hewan yang mempunyai target untuk mengurangi tingkat
kegagalan reproduksi bagi ternak betina produktif yang telah berhasil dikawini
dengan penentuan dewasa kelamin yang tepat dan siklus berahi yang didukung dengan
kondisi kerbau yang baik (). Pubertas atau dewasa kelamin dapat didefinisikan sebagai
umur atau waktu organ- organ reproduksi mulai berfungsi dengan baik dan
perkembangbiakan terjadi. Dewasa kelamin pada kerbau tidak tidak ditandai dengan
kapasitas reproduksi yang normal. Pubertas pada hewan jantan
ditandai dengan kemampuan hewan untuk berkopulasi dan
menghasilkan sperma serta perubahan-perubahan kelamin sekunder lain
1
yang dimiliki oleh hewan jantan, sedangkan pada hewan betina ditandai dengan
terjadinya estrus dan ovulasi. Estrus dan ovulasi pertama disertai oleh kenaikan ukuran
dan berat organ reproduksi secara cepat (Toelihere, 1981).
Hasil penelitian Lendhanie (2005) menyatakan bahwa umur pubertas kerbau
lumpur tidak diketahui dengan pasti. Meskipun demikian, berdasarkan umur kelahiran
pertama yaitu 3-4 tahun diperkirakan konsepsi pertama terjadi pada umur 2-3 tahun.
Umur konsepsi pertama ini dapat dijadikan patokan sebagai umur dewasa kelamin
dengan asumsi lama kebuntingan selama 12 bulan.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi keberhasilan reproduksi adalah penentuan
siklus berahi yang tepat pada kerbau. Berahi adalah saat hewan betina bersedia
menerima pejantan untuk kopulasi. Jarak antara berahi yang satu sampai pada berahi
berikutnya disebut satu siklus berahi, jika berahi yang pertama tidak menghasilkan
kebuntingan maka berahi yang pertama itu akan disusul dengan berahi kedua. Lama
berahi berkisar antara waktu penerimaan pertama sampai penolakan terakhir.
Mongkopunya (1980) menjelaskan bahwa lama berahi kerbau lumpur adalah 32
jam. Kerbau lumpur Thailand memiliki siklus berahi 2l hari, sedangkan di Philipina
siklus berahi kerbau lumpur selama 20 hari (Guzman, 1980). Gejala berahi tidak
muncul disebabkan oleh temperatur yang tinggi pada kondisi lingkungan yang
berpengaruh dalam perubahan berahi menjadi lebih pendek (dari 11,9 jam menjadi 6,1
jam) (Cockrill, 1974). Penyebab lain rendahnya produktivitas kerbau dikemukakan
Qomariah et al.,
(2006) adalah:
1. Penurunan mutu bibit, rendahnya produktivitas dan terjadinya inbreeding.
2. Tingginya penjualan pejantan.
3. Lokasi pemeliharaan kerbau terlalu jauh dari tempat permukiman penduduk
sehingga penyuluhan yang rutin sukar dilakukan.
4. Pada musim kemarau panjang mengalami kekeringan sehingga ternak
kekurangan air minum.
5. Terjadi serangan penyakit yang menyebabkan kematian. Kematian anak kerbau
(gudel) mencapai 10% dan rendahnya reproduktivitas.
optimum dapat mengakibatkan kerbau stress. Hal ini dapat menurunkan produktivitas
kerbau. Suhu 15-25 ℃ dan kelembaban 60-70 persen adalah zona optimum bagi kerbau
untuk hidup dan berkembang biak (Yurleni, 2000).
Menurut Joseph (1996), dalam penelitian yang dilakukannya, menyatakan bahwa
zona nyaman untuk hidup kerbau adalah 15,5-21 ℃ dengan curah hujan 500-2000
mm/tahun. Ketinggian tempat dapat berpengaruh secara tidak langsung, yaitu terhadap
ketersediaan pakan hijauan dari segi kualitas maupun kuantitas dan pengaruhnya secara
langsung yaitu melalui suhu. Suhu lingkungan yang optimal memberi suasana kondusif
bagi kerbau yang hidup.
Faktor produksi kerbau yang dapat berperan dalam meningkatkan hasil maksimal
dalam pembudidayaan kerbau adalah terletak pada pemahaman akan performa
reproduksi yang dimiliki hewan tersebut. Sehingga performa reproduksi merupakan hal
yang sangat penting diperhatikan dalam pembudidayaan kerbau. Untuk menunjang
peningkatan hasil produksi dari kerbau, maka diperlukan pengetahuan tentang kondisi
performa reproduksi. Performa reproduksi yaitu , umur induk berahi pertama, lama
bunting, umur induk beranak pertama, jarak beranak, dan berahi setelah beranak
Chaiklun et al., 2012).
dan selanjutnya dikatakan bahwa perbedaan lama kebuntingan bisa disebabkan oleh
manajemen, pakan dan iklim lingkungan.