) DI
KECAMATAN BONTOBAHARI KABUPATEN BULUKUMBA,
SULAWESI SELATAN
A. SRY WAHYUNI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
A. Sry Wahyuni
NIM E351140071
RINGKASAN
Paliasa (Kleinhovia hospita L.) is a tropical plant with has tree habitus from
5 to-20 meters high, it is a species within the Sterculiaceae family. This species can
be found throughout the Indonesian archipelago. One of the provinces that has the
greatest distribution of K hospita L is South Sulawesi. K hospita L has been widely
used by the communities as the raw material traditional medicine. Extracts from
Paliasa and other medical plants can be believed for the treatment of liver disease,
hypertension, diabetes, cholesterol, and hepatitis consumed by drinking boiled
water. The objectives of this research are; firstly to estimate population and
mapping out the spatial distribution of paliasa, secondly to compile Paliasa
utilization knowledge of the local communities finally, to set up the conservation
strategy for paliasa by adopting tri stimulus attitude.
The research was conducted in Bontobahari Subdistrict, South Sulawesi on 6
land use tipes, namely forest, mixed garden, bush, garden, settlement, and field.
Paliasa population data are collected using stratified random sampling method with
100 m x 100 m square plot measurements. Paliasa distribution is determined by
marking the coordinate points in site where each paliasa found. The coordinates are
shaved in GPS (Global Positioning System) then overlaid on the land use map. The
knowledge of paliasa utilization is obtained by from interviewing the local
communities.
The results show that the highest paliasa population density was in the land
cover of 88.33 individuals / ha and the lowest was in the land and bushland cover,
namely, 4.33 individuals/ha. Spatial distribution of paliasa (Kleinhovia hospita L)
in various types of identified land use generally spreads clustered. Utilization of
paliasa undertaken by the communities is as raw materials for traditional medicine
and also raw materials used in cultural and religious custom rituals. The
communities protect paliasa by using it wisely so paliasa population can be
sustainable due to understand the importance of paliasa as the medicinal plant.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KONSERVASI PALIASA (Kleinhovia hospita L.) DI
KECAMATAN BONTOBAHARI KABUPATEN BULUKUMBA,
SULAWESI SELATAN
A. SRY WAHYUNI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Rachmad Hermawan, M.Sc.F
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2016 – September 2016
ini ialah Distribusi Spasial Tumbuhan Paliasa (Kleinhovia hospita Linn.) dan
Konservasinya di Kecamatan Bontobahari, Sulawesi Selatan.
Pada kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih yang sangat
besar kepada yang terhormat Komisi Pembimbing Prof Dr Ir Ervizal A. M. Zuhud,
MS dan Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc yang telah memberikan bimbingan,
arahan dan saran kepada penulis sehingga hasil penelitian ini dapat terselesaikan.
Tak lupa pula ucapan terimakasih ini penulis sampaikan kepada para staf di bagian
Konservasi Biodiversitas Tropika Bapak Sofwan yang membantu dalam proses
administrasi serta teman-teman KVT yang telah banyak membantu selama proses
penyusunan hasil penelitian ini. Semoga bantuan, dukungan, dorongan dan
perhatian dari semua pihak yang telah diberikan dengan tulus kepada penulis
mendapat imbalan yang setimpal dari Allah subhanahu wa ta’ala. Ungkapan terima
kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua saya tercinta H. Baharuddin
dan Hj. Rohani serta seluruh keluarga, atas segala do’a, kasih sayang dan bantuan
materil yang tak henti-hentinya serta pengorbanannya yang tulus dalam mendidik
dan memberi tauladan untuk menjadi seseorang yang bertanggung jawab dalam
segala hal.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang ilmu Konservasi
Biodiversitas Tropika
A. Sry Wahyuni
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
1 Tumbuhan Paliasa (Kleinhovia hospita L) 4
2 Struktur kimia dari scopoletin (A), flavonol (B), quercetin (C) 6
3 Peta lokasi penelitian di Kecamatan Bontobahari 12
4 Petak ukur bujur sangkar berukuran 100 m x 100 m 15
5 Petak ukur yang diletakkan secara acak 15
6 Bentuk sebaran spasial a. Mengelompok, b. Acak, c. Seragam 20
7 Diagram alir “tri-stimulus amar pro-konservasi”: stimulus, sikap
dan perilaku aksi konservasi (Zuhud et al. 2007). 21
8 Peta lokasi penelitian dan titik sebaran tumbuhan paliasa
(Kleinhovia hospita L) yang ditemukan pada beberapa tipe
penggunaan lahan di Kecamatan Bontobahari. 23
9 Data curah hujan rata-rata dalam kurung waktu lima tahun terakhir 24
10 Komposisi struktur umur responden (%) (N= 30 responden) 26
11 Kepadatan populasi paliasa bedasarkan tingkat pertumbuhan di
enam tipe penggunaan lahan 34
12 Sebaran tumbuhan paliasa di enam tipe penggunaan lahan 36
13 Pola sebaran paliasa di tipe lahan kebun dengan 3 kali pengulangan 37
14 Pola sebaran paliasa di tipe lahan belukar dengan 3 kali ulangan 38
15 Pola sebaran paliasa di tipe lahan hutan dengan 3 kali ulangan 39
16 Pola sebaran paliasa di tipe lahan kebun campuran dengan 3 kali
ulangan 40
17 Pola sebaran paliasa di tipe lahan pemukiman dengan 3 kali ulangan 41
18 Pola sebaran paliasa di tipe lahan ladang 42
19 Kemasan produk paliasa 47
20 Diagram alir “tri-stimulus amar pro-konservasi”: stimulus, sikap
dan perilaku aksi konservasi (Zuhud et al. 2007). 50
DAFTAR LAMPIRAN
1 Ancaman tumbuhan paliasa akibat perubahan fungsi lahan 57
2 penyebaran tumbuhan paliasa pada 6 tipe penggunaan lahan yang
ada di Kecamatan Bontobahari 58
3 Peta penyebaran tumbuhan paliasa (Kleinhovia hospita L) yang
ditemukan pada beberapa tipe penggunaan lahan di Kecamatan
Bontobahari 59
4 Proses pengambilan bagian dari tumbuhan tambaro’go 60
5 Tumbuhan kayu cina 61
6 Tumbuhan tinappasa 61
7 Proses pembuatan ramuan obat tradisional dari kulit batang paliasa
dan kayu cina 62
8 Proses sebaran spasial paliasa (Kleinhovia hospita L.) 63
PENDAHULUAN
Latar Belakang
obat tradisional Indonesia yakni paliasa sebagai bahan baku obat hepatitis. Namun
demikian kurangnya pengetahuan masyarakat khususnya bagi kalangan usia muda
akan tumbuhan paliasa mengakibatkan tumbuhan tersebut terabaikan yang akhirnya
akan berefek pada ketidaktahuan masyarakat akan bentuk dan struktur morfologi
paliasa di alam.
Berdasarkan hal tersebut penelitian ini dilakukan untuk mengkaji distribusi
spasial tumbuhan paliasa dan konservasinya dengan pendekatan Tri-stimulus
konservasi yang tak lain adalah konteks nilai-nilai alamiah (bio-ekologi dan
kelangkaan), nilai-nilai manfaat (ekonomi), dan nilai-nilai rela-religius (agama,
keikhlasan, moral, dan sosial budaya) sebagai alat untuk mengimplementasikan
pengelolaan kawasan konservasi di Kecamatan Bontobahari, Provinsi Sulawesi
Selatan sehingga dapat di manfaatkan secara berkelanjutan demi kesejahteraan
masyarakat.
Melihat potensi daerah tersebut yang cukup mendukung pertumbuhan dan
perkembangan tumbuhan paliasa sehingga menarik minat peneliti untuk mengkaji
pola distribusi spasial tumbuhan paliasa dengan menggunakan teknologi informasi
spasial yang diperkuat melalui survei lapangan serta mengkaji informasi mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan tumbuhan tersebut pada suatu
ekosistemnya. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui
informasi tersebut adalah dengan Sistem Informasi Geografis (SIG).
Keistimewaan SIG dalam penelitian ekosistem antara lain dalam hal efisiensi
dan efektifitas dalam pengumpulan, penyimpanan dan pengolahan data dalam
jumlah yang besar pada cakupan wilayah ekosistem yang cukup luas (Stow 1993).
Keistimewaan lain menurut Tian et al. (2008) adalah kemampuan menyediakan
informasi spasial terbaru dan relevan untuk mendukung pengelolaan dan konservasi
suatu tumbuhan untuk habitat dan lingkungan yang cukup dinamis dengan
pendekatan Tri-stimulus konservasi, lagi pula data dan informasi mengenai
distribusi spasial tumbuhan paliasa (K. hospita L.) di daerah Kecamatan
Bontobahari belum pernah dilaporkan.
Perumusan Masalah
Pemanfaatan paliasa sebaiknya lebih diterapkan dengan cara yang lebih baik
dan lestari yakni melakukan suatu upaya yang dapat membuat tumbuhan tersebut
memiliki nilai arti penting dalam bidang ekonomi maupun kesehatan. Hal tersebut
dapat terwujud ketika pengetahuan secara tradisional disatukan dengan
pengetahuan modern. Namun, keterlibatan atau peran serta masyarakat hanya akan
terwujud manakala ada kerelaan dari masyarakat serta dukungan dari pemerintah
untuk melakukannya.
Adanya kerelaan serta harapan yang timbul dari dalam diri seseorang maka
konservasi paliasa nantinya akan terwujud sebagaimana mestinya. Hal lain yang
perlu dikaji adalah untuk mengetahui status paliasa saat ini sebagai dampak
kegiatan manusia dan aktivitas alam terhadap distribusi paliasa, sehingga
kelestarian dan ekosistem ini dapat terjaga. Lagi pula infomasi mengenai distribusi
paliasa juga belum tersedia di daerah Kecamatan Bontobahari.
Salah satu cara untuk melakukan pemantauan adalah dengan melihat sebaran
spasial tumbuhan paliasa. Salah satu alternatif untuk mengetahui sebaran spasial
paliasa adalah dengan menggunakan sistem informasi spasial yang diperkuat
dengan mengumpulkan data-data mengenai keberadaan serta status paliasa yang
diperoleh dari pengamatan dilapangan yang kemudian dihubungkan dengan data
status lahan dan penggunaan tipe habitat paliasa dimana data tersebut akan
menggambarkan status sebaran tumbuhan paliasa.
Untuk menelaah permasalahan ini maka disusunlah beberapa pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1 Bagaimana penggunaan tumbuhan paliasa oleh masyarakat Kecamatan
Bontobahari?
2 Bagaimanakah kondisi populasi tumbuhan paliasa (Kleinhovia hospita L.) di
Kecamatan Bontobahari?
3 Bagaimanakah penyebaran tumbuhan paliasa (Kleinhovia hospita L.) di
berbagai tipe penggunaan lahan yang ada di Kecamatan Bontobahari?
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat: 1) menjadi salah satu sumber informasi
mengenai potensi paliasa yang ada di daerah kecamatan Bontobahari, 2)
memberikan informasi mengenai karakteristik penyebaran tumbuhan paliasa di
Kecamatan Bontobahari, 3) hasil penelitian ini diharapkan dapat mewujudkan sikap
konservasi masyarakat yang berlandaskan tri-stimulus konservasi terhadap
tumbuhan paliasa 4) dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi
4
TINJAUAN PUSTAKA
Bio-ekologi Paliasa
Gambar 2 Struktur kimia dari scopoletin (A), flavonol (B), quercetin (C)
diabetes, alzheimer, dan Parkinson (Saifuddin et al. 2013 dalam Matteo & Esposito
2003; Touyz & Schiffrin 2004).
Selanjutnya dari hasil penelitian Yuliana et al. (2013) menemukan bahwa
pemberian ekstrak daun paliasa dapat menurunkan kadar glukosa darah pada hewan
uji tikus yang mengalami hiperglikemia dimana makin tinggi dosis ekstrak paliasa
yang diberikan, maka makin kuat efeknya terhadap penurunan kadar glukosa darah
yang artinya bahwa ekstrak paliasa tersebut dapat digunakan sebagai bahan terapi
untuk pengobatan diabetes.
Penelitian yang dilakukan oleh Aliyah et al. (2013) yaitu melakukan
percobaan pemberian pakan tambahan menggunakan sari daun paliasa terhadap
lebah madu Apis mellifera L menunjukkan bahwa efek hepatoprotektif dan
hepatoregeneratif madu sari paliasa yang dihasilkan oleh Apis mellifera L.
memberikan hasil positif untuk alkaloid, polifenol dan flavonoid. Hal ini
menunjukkan bahwa komponen kimia dari paliasa diubah oleh lebah ke dalam HEP,
konsentrasi tinggi dari paliasa menghasilkan tingkat yang lebih tinggi dari polifenol
dan flavonoid HEP dimana jumlah total isi polifenol lebih besar dari total isi
flavonoid sehingga madu sari paliasa berpotensi terhadap perbaikan fungsi hati.
Kegunaan
dipahami orang hanya sebatas perlindungan dan pengawetan semata dan tidak
boleh untuk pemanfaatan sehingga kata “konservasi” banyak tidak disukai
masyarakat, karena salah dimaknai dan diterapkan di dunia nyata. Walau demikian
jelaslah bahwa kata “konservasi” merupakan kata kerja yag maknanya harus
memayungi semua bentuk kerja pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
yang bertanggung jawab, berkelanjutan, dan berkesinambungan (Zuhud 2011).
Indonesia dengan mega biodiversitasnya memiliki ancaman kelestarian
tumbuhan yang berpotensi salah satunya tumbuhan obat yang diakibatkan oleh
kurangnya kebijakan pemerintah dan peraturan perundangan dalam upaya
pelestarian dan pemanfaatan tumbuhan obat, kurangnya perhatian terhadap
pengelolaan dan budidayanya serta hilangnya budaya dan pengetahuan tradisional
apalagi di era modern seperti saat ini. Meskipun demikian terdapat prospek
pengembangan tumbuhan obat Indonesia yaitu dengan adanya permintaan bahan
baku tumbuhan obat yang terus meningkat.
Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk harga obat-oabatan dari
manca negara yang semakin mahal, meningkatnya jumlah industri farmasi dan obat
tradisional, serta kecenderungan masyarakat dunia untuk back to nature. Dengan
ketersediaan SDM (sumber daya manusia), para pakar dan lembaga-lembaga
penelitian akan mengembangkan pemanfaatan tumbuhan obat dan menemukan
obat-obat baru (Zuhud & Siswoyo 2001).
Tiga unsur dasar dalam strategi konservasi sumberdaya alam hayati yaitu
melindungi, pengkajian, pemanfaatan, yang dijadikan sebagai dasar dalam tujuan
pelestarian pemanfaatan keanekaragaman tumbuhan obat hutan tropika indonesia,
yaitu untuk memanfaatkan secara berkelanjutan, melestarikan potensi dan
mempelajari keanekaragaman tumbuhan obat hutan tropika (Zuhud & Haryanto
1994).
Terdapat pula konsep konservasi dalam perlindungan dan pemanfaatan
tumbuhan berpotensi indonesia yang dapat diterapkan untuk pelestarian dan
pengelolaan sumber daya alam hutan yang disebut dengan Tri-stimulus amar
konservasi. Menurut (Zuhud et al. 2007), Tri-stimulus amar konservasi adalah alat
yang efektif untuk digunakan dalam strategi pengelolaan sumberdaya alam hayati agar
dapat terwujud tujuan ideal dari konservasi, yaitu terpeliharanya dan berkembangnya
potensi sumberdaya keanekaragaman hayati dan terwujudnya kesejahteraan
masyarakat yang berkelanjutan.
Tri-stimulus amar konservasi bukanlah suatu konsep baru tetapi merupakan
perumusan determinasi stimulus tentang apa yang sebenarnya sudah berlaku, terjadi
dan berjalan di dalam kehidupan masyarakat kecil tradisional yang berada dalam
dan sekitar hutan yang telah bertungkus lumus dengan ekosistem hutan dan telah
pernah berhasil mewujudkan konservasi atau pengelolaan hutan lestari di dunia
nyata. Konsep Tri-stimulus amar konservasi dapat diterapkan sebagai alat untuk
menwujudkan pengelolaan sumber daya alam hayati, kawasan hutan produksi
maupun kawasan konservasi atau taman nasional indonesia mulai dari sekarang.
Sikap konservasi masyarakat harus dibangun dengan konteks nilai-nilai
alamiah (bio-ekologi dan kelangkaan yang cenderung bersifat jangka panjang),
nilai-nilai manfaat (ekonomi yang cenderung bersifat jangka pendek) dan nilai-nilai
religius (agama, moral, dan sosio budaya, yang cenderung mendorong kerelaan atau
keikhlasan untuk berbuat) hal ini merupakan prasyarat terwujudnya aksi konservasi
secara nyata dilapangan. Dalam hal yang sama telah dikemukakan oleh Erasmus
(1963); Rachman (2000) yang berbicara economic, culture, dan belive tidak bisa
9
Distribusi Spasial
Pola sebaran spasial merupakan aspek penting dalam struktur populasi dan
terbentuk oleh faktor intrinsik spesies dan kondisi habitatnya. Diskripsi kuantitatif
dari pola spasial tidak hanya penting untuk mengetahui dinamika sebaran atau
spasial populasi saja tapi juga untuk menentukan teknik sampling dalam survei
populasi (Iwao 1970). Pola sebaran spasial tanaman maupun satwa merupakan
karakter penting dalam komunitas ekologi. Hal ini biasanya merupakan kegiatan
awal yang dilakukan untuk meneliti suatu komunitas dan merupakan hal yang
sangat mendasar dalam kehidupan suatu organisme (Cornel, 1963 dalam Kissinger
2002).
Hutchinson (1953) dalam ludwig dan reynold (1988) menyebutkan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi pola sebaran spasial yaitu:
a. Faktor vektorial yaitu faktor yang dihasilkan dari aksi lingkungan (misal angin,
intensitas cahaya, dan air)
b. Faktor reproduksi yaitu bagaimana cara organisme tersebut berproduksi (misal
cloning dan progeni)
c. Faktor sosial yaitu bagaiman perilaku dari organisme itu sendiri (misal :
teritorial)
d. Faktor co-aktif yaitu faktor yang dihasilkan dari interaksi intraspesifik (misal
kompetisi)
e. Faktor stokastik yaitu faktor yang dihasilkan dari variasi acak pada beberapa
faktor diatas.
Faktot-faktor di atas terbagi menjadi faktor intrinsik (reproduktif, sosial dan co-
aktif) dan faktor intrinsik (vektorial).
Distribusi lokal organisme-organisme secara dua dimensi umumnya disebut
dispersi. Terdapat tiga pola dasar sebaran spesies yaitu (1) Acak atau random
dimana keberadaan individu pada suatu titik tidaklah mempengaruhi peluang
adanya anggota populasi yang sama disuatu titik yang berdekatan, (2)
mengelompok dimana keberadaan individu pada suatu titik meningkatkan peluang
adanya individu yang sama pada suatu titik yang lain didekatnya, (3) teratur atau
seragam dimana keberadaan individu pada suatu titik menurunkan peluang adanya
suatu individu yang sama pada titik disekitarnya (McNaughton & Wolf 1990).
Odum (1959) menyatakan bahwa indvidu dalam suatu populasi menyebar
mengikuti tiga pola yaitu (1). random, (2). Uniform (lebih teratur dibanding
random), (3). Clumped (non random), dimana pola penyebaran radom sangat jarang
ditemui di alam dan hanya akan terjadi bila kondisi lingkungan seragam dan tidak
ada kecenderungan terjadi agregasi. Pola acak atau random terbentuk sebagai akibat
dari lingkungan yang homogen atau pola perilaku yang non selektif (Odum 1993;
Ludwig & reynold 1988). Di sisi lain, pola sebaran non acak (menggerombol dan
seragam) menunjukkan bahwa terdapat suatu konstrain pada populasi yang ada.
Rosalina (1996) mengemukakan bahwa sebagian besar jenis flora khususnya
di daerah tropis, pola sebarannya adalah umumnya acak. Bruenig (1995)
10
Analisis Spasial
METODE
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas Global
Positioning Sistem (GPS) yang digunakan untuk menentukan titik koordinat paliasa
(lokasi dan sebaran), perlengkapan alat tulis menulis, kamera, tape recorder, pita
ukur, tali rafia, timbangan, kantung plastik, tallysheet, laptop yang dilengkapi dengan
software ArcGis versi 10.3 digunakan untuk pengolahan data spasial, Microsoft
Excell 2010 untuk pencatatan dan tabulasi data, SPSS 16 untuk analisis data, peta
kerja wilayah Kecamatan Bontobahari untuk memudahkan pengambilan titik
sampel di lapangan, peta petak contoh dan peta penggunaan lahan, sedangkan bahan
objek yang diamati dilapangan adalah paliasa (K. hospita L.).
Jenis data, aspek yang diamati, sumber data dan metode pengumpulannya
ditampilkan secara ringkas pada Tabel 1 dibawah ini.
13
Tabel 1 Jenis, aspek yang diamati, sumber dan metode pengumpulan data paliasa
Jenis data Aspek yang diamati Sumber data Metode
Data Sosial Budaya Masyarakat
Etnobotani Manfaat paliasa, bagian Lapangan Wawancara
paliasa yang dimanfaatkan, cara
pengolahan, pola
konsumsi paliasa oleh
masyarakat, kegiatan
budidaya dan kearifan
lokal lainnya dalam
pemanfaatan paliasa
Pengetahuan Pemanenan daun paliasa, Pengukuran Survei
produktivitas pengeringan, langsung di lapangan, dan
daun paliasa penimbangan, lapangan kajian pustaka
pengukuran lama waktu
pemanenan dari daun
muda ke daun tua sampai
dapat dipanen kembali
Kondisi Letak geografis dan luas, Kantor BMKG, Kajian pustaka,
umum lokasi sosial ekonomi data penduduk wawancara
penelitian masyarakat (mata Kecamatan
pencaharian, pendidikan, Bontobahari
tata guna lahan, kearifan
budaya dan sejarah
masyarakat) serta
kondisi fisik (topografi
dan iklim)
Sikap Pengetahuan tentang Warga Wawancara
masyarakat paliasa (siapa, dimana, masyarakat dan survei
pro kapan, mengapa, Kecamatan lapangan
konservasi bagaimana agar Bontobahari dan
keberadaan paliasa tetap lapangan
lestari), tingkat
pengetahuan tentang
paliasa (pernah
mendengar, pernah
melihat, pernah
menggunakan dan rutin
menggunakan),
keterlibatan masyarakat
dan perannya dalam
konservasi paliasa,
harapan masyarakat serta
hal lainnya yang
menyangkut pemahaman
dan kepekaan terhadap
stimulus alami, manfaat
14
Tabel 1 Jenis, aspek yang diamati, sumber dan metode pengumpulan data
paliasa (lanjutan)
Karakteristik Jenis kelamin, Warga Wawancara
responden kelompok umur, masyarakat
pendidikan,
pekerjaan dan
luas kepemilikan
lahan
Pengumpulan Data
belukar, (3) kebun, (4) kebun campuran, (5) pemukiman, (6) ladang. Kemudian
banyaknya unit contoh yang akan diambil sebanyak 18 unit contoh yang terbagi
dalam 6 tipe lahan tersebut berdasarkan alokasi sebanding/ proporsional. Petak
ukur yang dibuat berupa petak ukur berukuran 100 m x 100 m atau 1 ha
(Gambar 3).
Adapun penempatan petak ukur dilakukan pada masing-masing
lapisan/tipe lahan dimana pada setiap tipe habitat menempatkan 3 petak ukur
secara acak (Gambar 4). Selanjutnya Pada setiap petak ukur dilakukan
pencatatan jumlah individu paliasa (Kleinhovia hospita) tujuannya adalah
untuk mengetahui total individu tumbuhan persatu hektarnya. Pengambilan
data lokasi dan perhitungan total jumlah individu paliasa ditentukan dengan
menandai posisi koordinat pada setiap temuan tumbuhan paliasa dalam petak
ukur dengan menggunakan alat GPS (Global Positioning Sistem).
Selain itu pengumpulan data juga dilakukan dengan metode wawancara
yaitu dengan cara melakukan wawancara langsung terhadap masyarakat
Kecamatan Bontobahari yang meliputi identitas responden, status kepemilikan
lahan saat ditemukan apakah termasuk lahan pemerintah, pribadi (masyarakat)
atau umum, sikap, pemanfaatan tumbuhan paliasa dan bentuk pengeloalaan
yang telah dilakukan.
100 m
100 m
2. Penentuan responden
Penentuan jumlah responden pada penelitian ini terbagi menjadi dua
yakni responden untuk data etnobotani dan responden untuk menilai sikap
masyarakat “rela” masyarakat terhadap upaya konservasi paliasa (sikap
masyarakat pro konservasi). Adapun responden yang akan dipilih untuk
memperoleh data etnobotani paliasa yakni melalui wawancara menggunakan
metode snowball sampling yaitu responden berikutnya didasarkan atas
informasi dari responden sebelumnya dengan panduan pertanyaan yang telah
disediakan.
Metode ini diterapkan dengan mencari responden kunci (key person)
sebanyak satu atau dua orang seperti kepala desa atau dukun (ahli pengobatan)
ataupun pelaku yang dianggap mengetahui banyak informasi tentang paliasa di
wilayah tersebut, kemudian berdasarkan informasi dari tokoh kunci tersebut
diperbanyak dengan menambahkan informan lain yaitu tergantung dari
banyaknya penambahan informan berdasarkan arahan dari tokoh kunci
sebelumnya hingga data atau informasi berada pada tahap jenuh (tidak terdapat
penambahan informasi baru) (Denzin & Lincoln 2009). Parameter yang
digunakan dalam wawancara adalah bagian yang dimanfaatkan dan kegunaan
bagi masyarakat.
Responden dalam menilai sikap masyarakat pro konservasi dilakukan
secara acak (simple random sampling) Sugiyono (2013). Pemilihan metode
secara acak dimaksudkan untuk mengetahui respon/sikap secara berimbang,
17
Etnobotani Paliasa
Kepadatan Populasi
Untuk menghitung kepadatan populasi maka menggunakan metode kuadrat
dengan rumus D= N/S, dimana D= kepadatan populasi N= jumlah individu S= luas
plot contoh.
Ada tiga tipe pola sebaran dalam suatu komunitas, yaitu acak (random),
mengelompok (clumped) dan seragam (uniform) (Gambar 6). Terbentuknya pola
sebaran tersebut dipengaruhi oleh berbagai mekanisme. Berbagai proses interaksi
baik biotik dan abiotik saling berkontribusi untuk membentuk pola sebaran tersebut.
19
Suatu pola sebaran acak dalam populasi organisme disebabkan oleh lingkungan
yang homogen dan pola perilaku non selektif sedangkan pola sebaran non-acak
(mengelompok dan seragam) menunjukkan adanya suatu pembatas pada populasi
yang ada (Ludwig & Reynolds 1988).
Pola mengelompok disebabkan oleh adanya individu-individu yang akan
berkelompok dalam suatu habitat yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Sebaran
seragam merupakan hasil dari adanya interaksi negatif antar individu, misalkan
adanya kompetisi atas makanan dan ruang tumbuh. Untuk mengetahui pola
penyebaran individu paliasa maka dapat dihitung dengan menggunakan Indeks
Morisita yang distandarisasi (Krebs 1989).
∑ 𝑛𝑖 (𝑛𝑖 −1)
IM = .N
𝑛 (𝑛−1)
Dimana :
IM = Indeks Morisita
N = jumlah plot contoh
n = jumlah total individu dalam seluruh sampel
ni = jumlah individu pada sampel ke-i
𝑥2
0,975−𝑛+∑ 𝑥𝑖
Mu = (∑ 𝑥𝑖 )−1
𝑥2
0,025−𝑛+∑ 𝑥𝑖
MC = (∑ 𝑥𝑖 )−1
Dimana :
Mu = indeks kehomogenan (Uniform index)
Mc = indeks pengelompolakan (Clumped indeks)
2
𝑋0,975.0,025 = nilai Chi-square tabel dengan derajat bebas n-1
N = jumlah plot/kuadrat
𝑋𝑖 = jumlah individu dalam plot/kuadrat
𝐼𝑑−𝑀𝑐
a. Jika IM ≥ Mc > 0 maka Ip = 0,5 + 0,5 ( 𝑛−𝑀𝑐 )
𝐼𝑑−1
b. Jika Mc > IM ≥ 0 maka Ip = 0,5 (𝑀𝑐−1)
𝐼𝑑−1
c. Jika 1,0 > IM > Mu maka Ip = -0,5 (𝑀𝑢−1)
𝐼𝑑−𝑀𝑢
d. Jiak 1,0 > Mu > IM maka Ip = -0,5 + 0,5 ( )
𝑀𝑢
Produktivitas Paliasa
Jenis data yang digunakan adalah data primer yang dikumpulkan melalui
pengamatan langsung di lapangan. Keseluruhan data tersebut kemudian
dikumpulkan dan diolah untuk selanjutnya dianalisis. Analisis data yang akan
dilakukan untuk mengetahui produktivitas daun paliasa dalam satu periode panen
yaitu dengan menggunakan model matematis pertumbuhan.
Hasil kajian beberapa literatur fungsi pertumbuhan adalah model yang
berasimtot dimana model tersebut sering digunakan dalam fenomena-fenomena
biologi. Alasan penggunan model persamaan tersebut adalah model ini tepat
digunakan untuk mengukur sebuah fenomena pertumbuhan yang berbentuk
sigmoid sepanjang waktu pertumbuhan. Model produksi daun dalam satu periode
panen diukur tegakan tumbuhannya dengan menghitung diameter pohon, cabang
produktif dan anak cabang produktif pada satu pohon untuk mengetahui berapa
banyak daun yang dihasilkan satu pohon dalam satu periode panen.
LOKASI PENELITIAN
Gambar 8 Peta lokasi penelitian dan titik sebaran tumbuhan paliasa (Kleinhovia
hospita L) yang ditemukan pada beberapa tipe penggunaan lahan di
Kecamatan Bontobahari.
Curah hujan disuatu tempat dipengaruhi oleh kondisi iklim, topografis dan
pertemuan arus udara. Oleh sebab itu, jumlah curah hujan sangat beragam menurut
bulan. Adapun data curah hujan yang diperoleh di lokasi penelitian dapat
ditampilkan pada Gambar 9.
24
500
450
400
350
mm/Tahun
300
250
200
150
100
50
0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGST SEP OKT NOP DES
Bulan
2011 2012 2013 2014 2015
Gambar 9 Data curah hujan rata-rata dalam kurung waktu lima tahun terakhir
Berdasarkan data curah hujan bulanan yang diperoleh dari stasiun
Bontobahari/tanahberu dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2011 hingga 2015),
diketahui bahwa pola curah hujannya bervariasi yakni berkisar antara 893 mm
sampai 1 368 mm pertahun (BBMKG 2016). Berdasarkan Gambar 16,
menunjukkan bahwa curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 2013 yaitu rata-rata
114.00 mm dan terendah tahun 2015 yakni 74.42 mm. Selain itu dapat diketahui
pula bahwa rata-rata curah hujan selama lima tahun menunjukkan bahwa curah
hujan tertinggi terjadi pada bulan Mei sebesar 211.6 mm sedangkan curah hujan
terendah terjadi pada bulan Agustus sebesar 9.4 mm (BBMKG 2016).
Wilayah Kecamatan Bontobahari merupakan daerah dengan curah hujan
terendah diantara daerah yang lain yang berada dalam lingkup Kabupaten
Bulukumba, hal tersebut mungkin dikarenakan bahwa wilayah tersebut sangat
dipengaruhi oleh iklim laut. Jika ditinjau dari data suhu yang diperoleh dari stasiun
Paotere dalam kurun waktu lima tahun terakhir maka dapat diketahui bahwa
wilayah penelitian memiliki suhu antara 26°C hingga 29°C. Hubungan antara curah
hujan dan suhu udara di wilayah tersebut menunjukkan bahwa rata-rata perubahan
suhu menjadi turun akibat curah hujan yang meningkat, hal tersebut juga dapat
disebabkan oleh faktor iklim lainnya seperti intensitas cahaya matahari.
Kecamatan Bontobahari sebagai wilayah penelitian merupakan daerah yang
banyak ditemukan tumbuhan paliasa karena hampir ditemukan disetiap tutupan
lahan walaupun keberadaannya bervariasi. Kondisi iklim yang terjadi di wilayah
tersebut sangat berpengaruh untuk pertumbuhan paliasa salah satunya adalah
intensitas cahaya matahari. Faktor perbedaan kondisi lingkungan ini menyebabkan
perbedaan pada jumlah individu tumbuhan yang tumbuh pada kawasan tersebut.
Hasil pengukuran suhu yang dilakukan dilapangan berkisar antara 28°C
hingga 33°C. Kisaran suhu udara untuk wilayah tropis yaitu 25-32°C, kisaran suhu
di wilayah penelitian masih tergolong normal yang ternyata tidak jauh berbeda
dengan kondisi lingkungan yang berada di lahan kebun khususnya di Bontobahari
yakni berkisar antara 27°C-32°C.
25
Berdasarkan data sumberdaya manusia dari data BPS (Badan Pusat Statistik)
Kabupaten Bulukumba tahun 2016 bahwa jumlah penduduk daerah Kecamatan
Bontobahari adalah 25 040 jiwa dimana untuk jenis kelamin laki-laki sebanyak 11
382 jiwa sedangkan perempuan sebanyak 13 658 jiwa data tersebut menunjukkan
bahwa jenis kelamin perempuan lebih mendominasi dibandingkan dengan jenis
kelamin laki-laki. Banyaknya dusun yang ada di daerah ini sebesar 26, RW 59 dan
RT sebesar 122, mayoritas penduduk beragama islam (BPS Bulukumba 2016).
Data total luas lahan tanaman pangan di Kecamatan Bontobahari sebesar
1023 ha, sementara untuk lahan perkebunan 1386 ha dengan luas lahan tersebut
mencerminkan bahwa penduduk setempat berprofesi sebagai petani. Walaupun
demikian sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah nelayan hal tersebut
dikarenakan wilayah Kecamatan Bontobahari merupakan wilayah pesisir yang
berbatasan langsung dengan laut dengan total luas wilayah Kecamatan Bontonahari
sebesar 108.00 km2 (BPS Bulukumba 2016).
Karakteristik Responden
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat lokal daerah Kecamatan
Bontobahari diperoleh sekitar 30 responden yang diwawancarai, masing-masing
terdiri dari 17 orang (56.7%) perempuan dan 13 orang (43.3%) laki-laki, jumlah
responden lebih banyak perempuan dibanding laki-laki hal tersebut dikarenakan
perempuan memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih luas dibandingkan
laki-laki faktor lain mengapa responden laki-laki lebih sedikit karena pada saat
melakukan wawancara mereka sedang melakukan aktifitas keseharian yakni
bekerja.
Ditinjau dari segi umur responden, sebagian besar responden telah berumur
sekitar 40 hingga lanjut usia. Masyarakat yang berusia tua lebih banyak yang
mengetahui dan paham tentang kegunaan serta pemanfaatan tumbuhan paliasa bagi
kehidupan mereka. Adapun responden yang diwawancarai terdiri dari kepala desa
atau kelurahan, masyarakat yang berprofesi sebagai dukun (ahli pengobatan) serta
masyarakat lokal yang lain. Sementara mata pencarian masyarakat Kecamatan
Bontobahari sebagian besar adalah nelayan, peternak, berladang dan pengajar.
Pendidikan rata-rata responden adalah SMA (Sekolah Menengah Atas).
Struktur Umur
Berdasarkan data dalam kelompok umur diperoleh responden yang
diwawancarai termasuk dalam kelompok umur yang beragam mulai dari kategori
umur muda (17-30), tua (31-50) hingga lanjut usia (>50) adapun jumlah responden
dari hasil wawancara diperoleh sebanyak 30 responden diantaranya 10 orang untuk
kategori muda, 15 orang untuk kategori tua dan 5 orang untuk kategori lansia.
Data struktur umur responden dapat ditampilkan pada (Gambar 18). Kelompok
26
umur yang relatif banyak diwawancarai adalah kelompok umur dalam kategori tua
hal ini disebabkan kategori umur tua yang paling banyak mengetahui tentang
paliasa, manfaat paliasa dan telah berpengalaman meramu dan bagaimana cara
penggunaannya sebagai tumbuhan obat. Sedangkan untuk kategori umur muda
relatif sangat sedikit yang mengetahui tentang tumbuhan paliasa, sehingga
penelitian secara berkelanjutan dilakukan dengan adanya penyuluhan dan edukasi
tentang pentingnya mengkonsumsi paliasa sebagai bahan obat tradisional yang
telah dipercaya oleh masyarakat setempat dalam penyembuhan penyakit kuning,
hipertensi, perasaan lelah sehabis bekerja dan juga sebagai salah satu obat yang
diberikan kepada hewan ternak.
Di masyarakat paliasa ini juga dipercaya sebagai salah satu tumbuhan yang
digunakan dalam upacara adat keagamaan sehingga pemanfaatannya sangat perlu
untuk dikembangkan secara berkelanjutan. Dengan adanya penyuluhan diharapkan
masyarakat khususnya kategori umur muda dapat lebih mengetahui apa saja
kandungan dari paliasa sehingga mereka percaya secara ilmiah bahwa penggunaan
paliasa sebagai obat tradisional yang selama ini dikonsumsi oleh sebagian
masyarakat sangatlah aman terhadap kesehatan karena telah diuji oleh beberapa
peneliti sebelumnya seperti (Waston & Dalwit 2002) tentang maanfaat kandungan
paliasa yang dapat dilihat pada (Halaman 5) pada sub bab manfaat dan kandungan
kimia paliasa. Upaya pengembangan tumbuhan paliasa kedepan baik dalam bentuk
jamu maupun teh sangat baik dan lebih praktis dalam penggunaan tumbuhan obat
di samping itu rencana pengembangannya dapat menunjang perekonomian
masyarakat maupun daerah.
17% 33%
50%
Tingkat Pendidikan
Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
responden di daerah Kecamatan Bontobahari sebagian besar sudah tergolong
terpelajar hal ini dapat di sajikan pada (Tabel 3) dimana 2 orang responden dengan
status tidak bersekolah, 5 orang tamatan SD, 1 orang tamatan SMP, 12 orang
tamatan SMA dan 10 orang merupakan tamatan S1. Hasil wawancara menunjukkan
bahwa tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap pengetahuan status paliasa
sehingga perlu adanya pemahaman terhadap masyarakat dalam mengkaji paliasa
yang pemanfaatannya dapat berkelanjutan sebagai bahan baku yang berpotensi di
daerah Kecamatan Bontobahari. Dalam hal ini masyarakat setempat beserta
dukungan dari pemerintah sangat berpengaruh dalam mewujudkan pengembangan
usaha obat tradisional dengan bahan baku tumbuhan paliasa, dengan adanya usaha
tersebut sehingga kelestarian paliasa dapat terjaga.
27
masyarakat lokal serta bahan penghasil tali. Data selengkapnya dapat disajikan pada
Tabel 4.
sakit kepala, dari hasil penelitian Raflizar dan Sihombing (2009) menegaskan
adanya kandungan kimia yang dapat menghambat hingga menyembuhkan penyakit
tersebut dimana dijelaskan pada (Halaman 6) Sub Bab manfaat dan kandungan
kimia paliasa. Selain itu Masyarakat yang berprofesi sebagai petani yang memiliki
hewan ternak juga sering menggunakan bagian tumbuhan paliasa yakni bagian
daunnya yang direbus untuk diberikan kepada hewan ternak mereka yang
mengalami gejala sakit perut dengan ciri-ciri konsumsi makannya yang berkurang
dan bahkan tidak makan sama sekali.
Daun paliasa juga sering digunakan oleh sebagian masyarakat untuk
mengobati luka mereka, dari pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian
Soekamto et al. (2008) yang menyatakan bahwa daun tumbuhan paliasa
mengandung zat anti antiseptik alami yang dimanfaatkan untuk membunuh bakteri-
bakteri pemicu terjadinya infeksi pada luka. Lanjut penelitian (Soekamto et al.
2010) tentang senyawa kimia yang terdapat pada paliasa serta efek manfaatnya
dapat dilihat pada (Halaman 6) Sub Bab manfaat dan kandungan kimia palisa. Lain
daerah lain pula cara meramu bagian dari tumbuhan tersebut, sehingga ada
perbedaan dari setiap masyarakat dalam menyajikan hingga mengkonsumsi ramuan
dari tumbuhan paliasa.
Pendapat beberapa manyarakat menyatakan bahwa yang paling berkhasiat
dikonsumsi dari tumbuhan paliasa adalah bagian irisan-irisan atau serat batangnya,
kerena menurut mereka apabila menggunakan daun biasanya terdapat lendir-lendir
pada daun tersebut sehingga kurang nyaman apabila dikonsumsi. Berbeda dengan
salah satu responden lain yang menyatakan bahwa mereka telah mengkonsumsi
bagian dari daun tumbuhan paliasa kurang lebih 8 tahun dan efeknya sangat baik,
menurutnya yang dirasakan setelah mengkonsumsi tubuhnya terasa ringan dan
segar, efek yang di timbulkan adalah mengeluarkan keringat, adanya nafsu makan
serta kualitas tidur yang lebih baik. Berdasarkan pernyataan yang dikemukakan
oleh beberapa masyarakat pun dapat diperkuat oleh penemuan Arung et al. (2009)
yang menyatakan bahwa ekstrak dari daun tumbuhan paliasa menghasilkan
senyawa antioksidan kuat dan senyawa yang dapat mengeluarkan racun pada sel
kanker hingga mencapai (96 %).
Selain sebagai tumbuhan obat, tumbuhan paliasa juga memiliki fungsi lain
yakni sebagai tumbuhan peneduh, habitat bagi satwa, serta pakan bagi satwa seperti
burung dan serangga. Terdapat salah satu tokoh masyarakat yang berada di
Kecamatan Bontobahari tepatnya di Kelurahan Tanah Lemo yang bernama Arifin.
Beliau tinggal di kawasan yang dekat dengan Tahura (Taman Hutan Raya), beliau
merupakan masyarakat yang banyak berperan dalam melestarikan tumbuhan
paliasa yang berada dihutan menurutnya tumbuhan tersebut merupakan salah satu
tumbuhan pakan bagi lebah-lebah yang beliau budidayakan di dalam hutan.
Disamping beliau membudidayakan lebah, beliaupun mengamati pakan lebah
dengan mencari tahu bahwa dari bunga tumbuhan apa saja yang diperoleh lebah-
lebah tersebut, hingga beliau menemukan bahwa nektar bunga dari paliasa adalah
salah satu pakan lebahnya.
Pemanfaatan Lain
Pemanfaatan lain dari paliasa berdasarkan hasil wawancara oleh masyarakat
setempat adalah sebagai pengobatan luar. Masing-masing masyarakat lokal
memiliki pengalaman dan kepercayaan tertentu yang mempengaruhi
32
Populasi Paliasa
Tabel 5 Kepadatan populasi paliasa per hektar (Ha) pada enam tipe penggunaan
lahan
Tipe Kepadatan
penggunaan Ciri lahan Paliasa/Ha 𝑋̅
lahan 1 2 3 Ha
Hutan Tumbuhan alami dengan
75 39 90 68
keanekaragamannya yang tinggi
Kebun Lahan tanaman pertanian jangka
102 15 148 88.33
panjang
Kebun Tanaman pertanian dengan
54 5 2 22.33
campuran beberapa spesies
Ladang Tanaman pertanian jangka
13 0 0 4.33
pendek (musiman)
Belukar Hamparan lahan kosong yang
6 4 3 4.33
ditumbuhi gulma
Pemukiman Lingkungan rumah-rumah
31 5 5 13.66
penduduk
tanaman selama 2 tahun dimana panen biasanya dapat dilakukan setelah satu tahun
atau lebih. Seperti halnya pada kebun yang ada di Bontobahari dimana mayoritas
perkebunan masyarakat yang didominasi oleh tanaman jambu mete (Anacardium
occidentale), kebun kelapa (Cocos nucifera) dan tanaman jati putih (Gmelina
arborea R.).
140
semai = 256 (42.9%)
120
Jumlah Individu
disebabkan oleh adanya persaingan yang tinggi dengan popohonan yang lebih besar
karena saling bersaing untuk memperoleh cahaya matahari. Hal tersebut dapat
ditemukan pada lahan hutan yang merupakan tegakan tertutup dengan tajuk pohon
yang rapat. Perbedan jumlah suatu individu ini disebabkan karena adaptasi dan
kebutuhan masing-masing individu juga berbeda.
Jumlah individu paliasa terendah ditemukan pada tutupan lahan belukar dan
ladang yang hanya mencapai 4.33 individu/Ha (Gambar 11) hal tersebut disebabkan
oleh tumbuhan bawah dan tumbuhan semak yang mendominasi lahan belukar
tersebut sehingga tidak ada ruang bagi tumbuhan paliasa untuk tumbuh dan
berkembang. Lain halnya untuk tipe ladang, kurangnya paliasa yang terdapat pada
lahan tersebut dikarenakan ladang merupakan lahan atau area yang digunakan
untuk kegiatan pertanian dengan jenis tanaman musiman, vegetasinya bersifat
artifisial dan memerlukan campur tangan manusia untuk menunjang kelangsungan
hidupnya, sehingga tidak memungkinkan paliasa untuk tumbuh dalam jumlah
banyak pada habitat tersebut. Oleh sebab itu tumbuhan paliasa hanya sebagian besar
ditemukan pada tepi-tepi ladang yang tidak digarap.
Tipe Habitat
Berdasarkan hasil penelitian bahwa secara keseluruhan administrasi daerah
Kecamatan Bontobahari memiliki sembilan tipe habitat yang diantaranya adalah
kebun, hutan, kebun campuran, ladang, pemukiman, daerah persawahan, industri,
tambak dan belukar dimana dari tipe habitat tersebut dapat didefinisikan sebagai
berikut:
1. Kebun merupakan areal atau lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian
tanpa pergantian tanaman selama dua tahun atau lebih waktu pemanenan
biasanya dapat dilakukan setelah satu tahun atau lebih atau dengan kata lain
lana kebun ini dijadikan sebagai usahatani dengan penanaman tanaman
tahunan (Dephut 2006; SNI 2010).
2. Hutan merupakan areal hutan yang tumbuh dan berkembang di habitat lahan
kering yang dapat berupa hutan dataran rendah, perbukitan pegunungan, atau
hutan tropis dataran tinggi.
3. Kebun campuran merupakan lahan yang ditanami tanaman keras lebih dari satu
jenis atau tidak seragam yang menghasilkan bunga, buah dan getah dan cara
pengambilan hasilnya bukan dengan cara menebang pohon. Di Indonesia
kebun campuran biasanya berasosiasi dengan pemukiman pedesaaan atau
pekarangan dan digarap secara tradisional oleh penduduk.
4. Ladang merupakan areal yang digunakan untuk kegiatan pertanian dengan
jenis tanaman selain padi. Ladang tersebut tidak memerlukan pengairan secara
ekstensif, vegetasinya bersifat artifisial dan memerlukan campur tangan
manusia.
5. Pemukiman adalah Areal atau lahan yang digunakan sebagai lingkungan
tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung
kehidupan masyarakat.
6. Daerah persawahan merupakan areal pertanian yang digenangi air atau diberi
air baik dengan teknologi pengairan, tadah hujan, maupun pasang surut. Areal
pertanian dicirikan oleh pola pematang dengan ditanami jenis tanaman pangan
berumur pendek (padi).
7. Kawasan industri adalah Areal lahan yang digunakan untuk bangunan pabrik
atau industri yang berupa kawasan industri atau perusahaan.
8. Tambak merupakan Aktivitas untuk perikanan atau penggaraman yang tampak
dengan pola pematang di sekitar pantai.
9. Belukar adalah Kawasan lahan kering yang telah ditumbuhi berbagai vegetasi
alami heterogen dan homogen yang tingkat kerapatannya jarang hingga rapat.
Kawasan tersebut didominasi vegetasi rendah (alami). Belukar di Indonesia
biasanya kawasan bekas hutan dan biasanya tidak menampakkan lagi bekas
atau bercak tebangan.
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan di lapangan (Tabel 6)
bahwa dari sembilan tutupan lahan yang terdapat di wilayah Kecamatan
Bontobahari hanya enam tutupan lahan saja yang dipilih sebagai objek penelitian
hal tersebut dikarenakan bahwa paliasa hanya ditemukan di enam tutupan lahan saja
(hutan, kebun, kebun campuran, belukar, pemukiman dan ladang). Selama
penelitian berlangsung ditemukan 597 titik tumbuhan paliasa yang tersebar
36
Kebun 44.39%
sehingga membatasi ruang pertumbuhan bagi paliasa. Selain itu, adanya perubahan
fungsi penggunaan lahan menjadi ladang dan lahan terbangun seperti pembangunan
industri menyebabkan pertumbuhan paliasa dapat berkurang seperti yang
ditampilkan pada Lampiran 1. Hasil pengamatan untuk titik sebaran tumbuhan
paliasa dalam perhektar di enam tipe tutupan lahan dapat ditampilkan pada Gambar
dalam setiap petak pengambilan sampel yang berada di Kecamatan Bontobahari.
Gambar 13 Pola sebaran paliasa di tipe lahan kebun dengan 3 kali pengulangan
Gambar 14 Pola sebaran paliasa di tipe lahan belukar dengan 3 kali ulangan
Belukar merupakan tutupan lahan dimana salah satu titik penyebaran
tumbuhan paliasa ditemukan paling sedikit dibandingkan dengan tutupan lahan
yang lain yang berada di daerah Kecamatan Bontobahari. Di lahan ini pertemuan
tumbuhan paliasa pada tiga petak contoh yang disebar memperoleh data titik yang
seragam perolehannya tidak berbeda jauh atau dapat dikatakan hampir sama.
Kesamaan data tersebut disebabkan oleh faktor lingkungan yang sama di daerah
tersebut, lahan belukar lebih terbuka sehingga intensitas cahaya matahari langsung
lebih banyak. Selain itu tumbuhan bawah dan gulma lebih mendominasi lahan
tersebut yang akhirnya menghambat pertumbuhan paliasa yang tumbuh secara
alami dibelukar.
Berdasarkan hasil penelitian tingkat pertumbuhan pada paliasa di lahan
belukar terbilang sangat sedikit yang mencapai pertumbuhan sampai tingkat pohon
hal ini di sebabkan anakan paliasa tidak boleh terkena cahaya matahari langsung
karena tidak mampu mentolerir suhu panas akan mengakibatkan perubahan fisik
tumbuhan seperti pelayuan hingga daun tersebut berubah warna menjadi hijau
kekuningan.
39
Gambar 15 Pola sebaran paliasa di tipe lahan hutan dengan 3 kali ulangan
Hutan merupakan vegetasi lahan kering yang tertutup oleh tanaman hutan
dengan ketinggian tanaman rata-rata lebih dari lima meter (SNI 2010). Lahan hutan
yang ada di kecamatan Bontobahari ini termasuk dalam kawasan TAHURA
(Taman Hutan Raya) yang ditetapkan oleh pemerintah daerah pada tahun 2004 yang
dulunya termasuk dalam kawasan hutan margasarwa. Penyebaran tumbuhan paliasa
di lahan hutan memiliki keragaman data yang tidak jauh berbeda antara petak satu,
petak dua dan petak tiga.
Terjadinya keragaman data tersebut disebabkan oleh keadaan lingkungan
dimana paliasa yang tumbuh di kawasan hutan tumbuh dan berkembang dalam
keadaan tidak terkontrol. Banyak sedikitnya tumbuhan yang tumbuh tergantung
kebutuhan seperti pemenuhan zat hara, intensitas cahaya dan faktor-faktor lain yang
berpengaruh pada pertumbuhan paliasa itu sendiri. Rata-rata sebaran paliasa yang
tumbuh di lahan ini mencapai 68 individu/Ha (Gambar 15). Untuk luasan kawasan
hutan sendiri di daerah tersebut luasannya mencapai 4 639.50 Ha dengan perolehan
jumlah individu paliasa yang di temukan di kawasan hutan maka dapat di
asumsikan bahwa jumlah individu paliasa dapat mencapai 315 486 ind/Ha.
40
Gambar 16 Pola sebaran paliasa di tipe lahan kebun campuran dengan 3 kali
ulangan
Kebun campuran yang berada di daerah Kecamatan Bontobahari merupakan
lahan yang dekat dengan lahan pemukiman karena penduduk menggantungkan
mata pencaharian mereka pada lahan tersebut, lahan ini difungsikan sebagai lahan
yang ditanami tanaman tahunan yang menghasilkan buah yang dipanen setiap tahun,
sebagian lagi ditanami tanaman penghasil kayu seperti tanaman jati. Sebagaimana
pernyataan tersebut didukung oleh SNI (2010) bahwa kebun campuran merupakan
lahan yang ditanami tanaman keras lebih dari satu jenis atau tidak seragam yang
menghasilkan bunga, buah serta getah dan cara pengambilan hasilnya bukan dengan
cara menebang pohon. Secara umum kebun campuran di Indonesia biasanya
berasosiasi dengan pemukiman pedesaan atau pekarangan dan digarap secara
tradisional oleh penduduk setempat.
Berdasarkan titik temuan paliasa di lahan kebun menggambarkan ketidak
seragaman data disetiap plot pengambilan sampel. Hal tersebut di karenakan adanya
perbedaan struktur lahan kebun campuran milik masyarakat, dimana terdapat
sebagian lahan terbuka yang tidak ditanami tanaman budidaya sebagaimana yang
terjadi pada kebun campuran lainnya sehingga memungkinkan terjadinya peluang
pertumbuhan paliasa secara alami. Sementara itu terdapat pula tiga jenis pohon
induk paliasa yang tumbuh tegak di lahan tersebut yang secara biologis
41
menghasilkan buah dan biji disetiap periode produktifnya. Dengan demikian pohon
tersebut meghasilkan anakan yang tumbuh tersebar dilahan ini.
Gambar 17 Pola sebaran paliasa di tipe lahan pemukiman dengan 3 kali ulangan
Distribusi seluruh tumbuhan di alam dapat disusun dalam tiga pola dasar,
yakni acak, seragam dan mengelompok. Pola dostribusi demikian erat hubungannya
dengan kondisi lingkungan. Untuk dapat mengetahui pola distribusi suatu
tumbuhan di alam maka dapat melakukan perhitungan dengan menggunakan indeks
penyebaran. Hulrbert (1990) menyatakan bahwa indeks Morosita merupakan salah
satu ideks penyebaran terbaik. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan
indeks morisita (IM), dapat dilihat bahwa pola distribusi jenis tumbuhan paliasa di
43
enam tipe penggunaan lahan memiliki sifat yang berbeda seperti yang disajikan
pada Tabel 7.
cuaca atau faktor fisik dan tipe pola reproduktif yang khas pada suatu jenis
tumbuhan (Odum 1993).
Kebun Pribadi
Belukar Umum
Hutan TAHURA Pemerintah Daerah
Kebun Campuran Pribadi
Pemukiman Pribadi
Ladang Pribadi
dapat diketahui dari jumlah produktivitas daun yang dapat dihasilakan oleh satu
anak ranting produktiv yaitu sebanyak 21 helai daun (Tabel 11).
Disamping itu, berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dengan mengukur
dua individu pohon paliasa yang berbeda menunjukkan bahwa dalam waktu 29 hari,
satu anak ranting menghasilkan 7 helai daun, kemudian 4 hari menghasilkan 8 helai
daun, sihingga dari hasil tersebut dapat diasumsikan bahwa dalam waktu empat
hari dapat menghasilkan satu helai daun paliasa pada satu anak ranting produktiv.
Sementara untuk menghasilkan 21 helai daun maka dapat membutuhkan waktu
selama 89 hari.
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan untuk mendapatkan hasil panen
daun paliasa dengan kualitas daun yang lebih baik maka sebaiknya setiap
pemanenan dilakukan pemangkasan anak cabang agar menghasilkan anak cabang
baru dan helai daun yang lebih subur serta ukuran helai daun yang lebih lebar. Cara
lain yang dapat dilakukan agar kualitas paliasa tetap terjaga adalah dengan selalu
memperhatikan tumbuhan lain yang dapat mengganggu pertubuhan paliasa. Oleh
sebab itu tumbuhan yang dianggap mengganggu atau sebagai gulma yang dapat
menghambat pertumbuhan paliasa yang ada disekitarnya seharusnya dibersihkan.
Kerelan berkorban merupakan suatu sikap yang tumbuh dari dalam diri
seseorang untuk melakukan suatu tindakan positif terhadap suatu objek dimana
objek tersebut memiliki nilai yang dapat memberikan suatu harapan. Dengan
adanya nilai dapat memotivasi seseorang baik individu ataupun kelompok untuk
melakukan suatu tindakan tertentu. Sikap dan aksi masyarakat tersebut dapat
dikategorikan kedalam Tri-stimulus “Amar” (alamiah, manfaat, religius). Zuhud
(2011) menyatakan bahwa pada akhirnya konservasi baru dapat terwujud di
lapangan dengan syarat apabila ketiga kelompok stimulus sudah mengkristal
menjadi pendorong sikap dan aksi masyarakat untuk konservasi.
Upaya pelestarian tumbuhan paliasa bertujuan untuk melindungi spesies dari
ancaman kepunahan atau hilangnya spesies tersebut pada habitat alaminya.
Penurunan populasi suatu jenis di ekosistemnya dapat menjadi indikasi bahwa
keseimbangan ekosistem di daerah tersebut mulai terganggu. Agar dapat
melindungi dan mengelolah jenis tumbuhan paliasa ini perlu adanya pengetahuan
dan pemahaman mengenai karakteristiknya yang dapat dilihat dari sifat alaminya
sehingga dapat terwujud kerelaan masyarakat maupun pemerintah untuk
melakukan konservasi paliasa.
Bedasarkan hasil pengamatan di lapangan dan hasil wawancara terhadap
tokoh masyarakat terlihat bahwa pemanfaatan terhadap tumbuhan paliasa masih
sangat kurang, pengetahuan akan pemanfaatannya dari tumbuhan tersebut sebagian
besar hanya dikonsumsi oleh ahli-ahli pengobatan dan masyarakat yang mengetahui
kegunaanya dari pengalaman mereka sehingga perkembangan pertumbuhan paliasa
di alam menurut informasi dari masyarakat masih sama saja dan tidak ada
perubahan apa lagi terjadi penurunan jumlah individunya di alam. Namun apabila
ada upaya untuk mengembangkan potensi tumbuhan paliasa maka sebaiknya pihak
pemerintah setempat berserta masyarakat bekerja sama dalam upaya
pembudidayaan tumbuhan paliasa. Agar pemanfaatan paliasa bisa dilakukan secara
berkelanjutan.
Informasi yang diperoleh dari kepala desa menyatakan bahwa apabila
tumbuhan paliasa nantinya akan menjadi bahan produk yang memiliki nilai
ekonomi yang dapat menguntungkan, maka beliau siap membantu demi
kesejateraan masyarakatnya. Dalam hal yang sama, sebagian besar masyarakat juga
menyatakan bahwa mereka rela dan ikhlas melakukan budidaya tumbuhan paliasa
dilahan mereka. Menurutnya, disamping karena tumbuhan tersebut memiliki
karakteristik pertumbuhan pohon yang mudah tumbuh juga memiliki banyak
manfaat dalam bidang kesehatan serta memiliki nilai magis. Zuhud (2007) stimulus
rela-religius sangat berpengaruh dan efektif dalam mendorong terwujutnya sikap
dan perilaku dalam aksi konservasi. Tri stimulus AMAR konservasi merupakan
suatu alat untuk mengimplementasikan pengelolaan kawasan konservasi seperti
pada Gambar 19.
50
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Denzin NK, Lincoln YS. 2009. Hanbook of Qualitative Research [Edisi Bahasa
Indonesia]. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar.
[Dephut] Departemen Kehutanan, 2006. Glossary Pengelolaan DAS. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Balai Penelitiandan
Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS Indonesia Bagian Timur.
Makassar.
Erasmus CJ. 1963. Man Takes Control. Minneapolis: University of Minnesota Pr.
Ewusie JY. 1980. Pengantar Ekologi Tropika. Tanuwidjaja U, penerjemah; Sasanti,
editor. Bandung (ID): Penerbit ITB Bandung. Terjemahan dari: Elements of
tropical ecology. Ed ke-1.
Gaffar I, Mamahit LP. 2010. Satu senyawa steroid dari kulit batang tumbuhan
paliasa (kleinhovia hospita l.) asal sulawesi selatan. Chem Prog. 3(1):24-28.
Hanum IF, Maesen LJGVD. 1997. Plant Resources of South-East Asia No. 11.
Bogor (ID): LIPI Pr.
Heddy S, Soemitro SB, Soekartomo S. 1986. Pengantar Ekologi. Jakarta (ID): CV.
Rajawali.
Hendra M. 2002. Pemanfaatan tumbuhan buah-buahan dan sayuran liar oleh suku
dayak kenyah kalimantan timur. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor.
Hill RA, Connolly JD. 2016. Triterpenoids [review]. Natural product reports.
2015(29):1028-1065.
Ilyas A. 2014. Senyawa 4-hidroksi sinamamida dari ekstrak etil asetat (Etoac) kulit
akar paliasa (Kleinhovia Hospita Linn). J teknos. 8(2):152-160.
Imran. 2011. Isolasi senyawa metabolit sekunder fraksi metilen klorida ekstrak
kayu batang paliasa (Kleinhovia hospita L.). J Prog Kim Si. 1(1):16-24.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
Iwao S. 1970. Problems of spatial distribution in animal population ecology.
Random counts in scientific work. 2:118-149.
Jaya INS. 2002. Aplikasi Sistem Informasi Geografi untuk Kehutanan, Penuntun
Praktis Menggunakan Arcinfo dan Arcview. Bogor (ID): IPB.
Jaya INS. 2010. Anilisis Citra Digital Perspektif Penginderaan Jauh untuk
Pengelolaan Sumberdaya Alam Teori dan Praktik Menggunakan Erdas
Imagine. Bogor (ID): IPB.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Sebagian Besar Kematian
Akibat Hepatitis Virus Berhubungan dengan Hepatitis B dan C Kronis.
Jakarta (ID).
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI
Kissinger. 2002. Keanekaragaman jenis tumbuhan, struktur tegakan, dan pola
sebaran spasial beberapa spesies pohon tertentu di hutan kerangas. [tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Krebs CJ. 1978. Ecology. The experimental analysis of distribution and abundance.
New York (US): Harper and Row Publishers.
Krebs CJ. 1989. Ecological Methodology. New York (US): Harper and Row
Publishers.
Kusmana C. 1997. Metode survey vegetasi. Bogor (ID): IPB Pr.
Li SG, Gang R, Jian XM, Xiang, Yi Z, Wei, Yao, Chang, Xin Z. 2009. Cycloartane
Triterpenoids from Kleinhovia hospita. J Nat Prod. 72(2009):1102–1105.
53
Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistik ekology, a primer on methods and
computing. New York (US). A Willey-Interscience publication john
Willeynand Sons.
Mardalis. 2004. Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta (ID):
Bumi Aksara.
Martin GJ. 1995. Ethnobotany. London (GB): Chapman and Hall Mc Neely.
Matteo VD, Esposito E. 2003. Biochemical and therapeutic effects of antioxidants
in the treatment of alzheimer's disease, parkinson's disease, and amyotrophic
lateral sclerosis. Current Drug Targets- CNS & Neurological Disorders.
2(2):95-107.
McNaughton SJ, Wolf LL. 1990. Ekologi Umum. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada
University Press.
Morilla LJG, Nuñeza OM, Uy MM. 2015. Brine shrimp lethality test of Kleinhovia
hospita stem and bark from Agusan del Sur, Philippines. ELBA
Bioflux.7(1):61-66.
Muhammadi, Amirullah E, Soesilo B. 2001. Analisis Sistem Dinamis Lingkungan
Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. Jakarta (ID): UMJ Pr.
Noor A, Kumanireng S, Kartikasari R, Suryaningsih, Hakim A, Takbir R. 2004.
Isolasi dan identifikasi konstituen organik Tanaman daun paliasa (kleinhovia
hospita linn.) Pada kelarutan berdasarkan kelompok polaritasnya. Marin
Chimic Act. 5(2):2-10.
Odum EP. 1959. Fundamentals of ecology. London (GB): WB Saunders Company
Press.
Odum PE. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Gadjah Mada University
Press. Yogjakarta.
Pawiroharsono S. 2003. Tinjauan Pustaka. Prospek dan Manfaat Isoflavon untuk
Kesehatan,(Online), (http://www.tempo.co.id/medika/arsip/o42001/pus-2,
diakses 5 Oktober 2015).
Polunin N. 1990. Pengantar Geografi Tumbuhan dan Beberapa Ilmu Serumpun.
Tjitrosoepomo G, penerjemah; Soerodikoesoemo W, editor. Yogyakarta
(ID): GMU Pr. Terjemahan dari: Introduction To Plant Geography and Some
Related Sciences.
Purwanto Y, Laumonir Y, Malaka M. 2004. Antropologi dan Etnobiologi
Masyarakat Yamdena di Kepulauan Tanimbar. Jakarta (ID): The TLUP
Project Director, Tanimbar LUP/BAPPEDA.
Rachman AMA. 2000. Masyarakat Kecil Dalam Era Global. Bangi: Penerbit
University Kebansaan Malaysia.
Raflizar, Adimunca C, Sulistyowati T. 2006. Dekok daun paliasa (kleinhovia
hospita linn.) sebagai obat radang hati akut. Cermin Dunia Kedokteran.
150:10-14.
Raflizar, Sihombing M. 2009. Dekok daun paliasa (Kleinhovia hospita linn.)
sebagai obat radang hati akut. J Ekol Kesehat. 8(2):984–993.
Raflizar. 2009. Sub chronic toxicity test from alkohol extract paliasa leaves
(Kleinhovia Hospita Linn) to hepar/liver and kidney of experimental mice.
Media Penelit dan Pengembang Kesehat. 19(4):204-213.
Ramesh P, Subramanian SS. 1984. Flavonoids of Kleinhovia hospita. Med Educ
Res. 10:76–77.
54
Touyz RM, Schiffrin EL. 2004. Reactive oxygen species in vascular biology:
implications in hypertension. Histochem Cell Biol. 122:339-352.
Waston L, Dallwit MJ. 2002. The families of flowering plants: sterculiceae vent.
(Online). (http://www.sterculiceae.html), diakses 1 November 2015.
Walpole RE. 1993. Pengantar Statistika. Ed ke-3. Jakarta (ID): PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Yuliana, Widarsa T, Wiranatha G. 2013. Pemberian ekstrak metanol daun paliasa
menurunkan kadar glukosa darah tikus hiperglikemik [Methanol Extract Of
Paliasa Leaves Decreases Blood Glucose Level Hyperglycemic Rats]. J
veterin. 14(4):495-500.
Zuhud EAM, Sofyan K, Prasetyo LB, Kartodihardjo H. 2007. Sikap Masyarakat
dan Konservasi: Suatu Analisis Kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr.)
sebagai Stimulus Tumbuhan Obat bagi Masyarakat, Kasus di Taman Nasional
Meru Betiri (Community’s Attitudes and Conservation: An Analysis of
Kedawung (Parkia timoriana (DC.) Merr.), Stimulus of Medicinal Plant for
the Community, Case in Meru Betiri National Park). Media Konserv.
12(2007):22-32.
Zuhud EAM. 2008. Mengembangkan multisistem silvikultur dengan pendekatan
holistik tri-stimulus amar (alamiah, manfaat, religius) pro-konservasi.
Prosiding lokakarya nasional penerapan multisistem silvikultur pada
pengusahaan hutan produksi [Internet]. Bogor (ID): 259-270
Zuhud EAM. 2011. Pengembangan desa konservasi hutan keanekaragaman hayati
untuk mendukung kedaulatan pangan dan obat keluarga (POGA) indonesia
dalam menghadapi ancaman krisis baru ekonomi dunia di era globalisasi.
Bogor (ID): IPB Pr.
Zuhud, Haryanto. 1994. Pelestarian pemanfaatan keanekaragaman tumbuhan obat
hutan tropika Indonesia. Kerjasama jurusan konservasi sumberdaya hutan
IPB dan lembaga alam tropika Indonesia (LATIN). Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Zuhud, Siswoyo. 2001. Rencana strategi konservasi tumbuhan obat Indonesia.
Kerjasama proyek pengelolaan dan pemulihan kerusakan lingkungan
BAPEDAL dan Fahutan IPB. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
56
LAMPIRAN
57
57
58
Lampiran 3 Peta penyebaran tumbuhan paliasa (Kleinhovia hospita L) yang ditemukan pada beberapa tipe penggunaan lahan
di Kecamatan Bontobahari
59
60
60
Lampiran 4 Proses pengambilan bagian dari tumbuhan tambaro’go
61
61
62
62
Lampiran 7 Proses pembuatan ramuan obat tradisional dari kulit batang paliasa dan kayu cina
63
Sebaran Spasial K.
hospita L.
64
RIWAYAT HIDUP