Anda di halaman 1dari 79

KONSERVASI PALIASA (Kleinhovia hospita L.

) DI
KECAMATAN BONTOBAHARI KABUPATEN BULUKUMBA,
SULAWESI SELATAN

A. SRY WAHYUNI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Konservasi Paliasa


(Kleinhovia hospita L.) di Kecamatan Bontobahari Kabupaten Bulukumba,
Sulawesi Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2017

A. Sry Wahyuni
NIM E351140071
RINGKASAN

A. SRY WAHYUNI. Konservasi Paliasa (Kleinhovia hospita L.) di Kecamatan


Bontobahari Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh ERVIZAL
A M ZUHUD dan LILIK BUDI PRASETYO.

Kleinhovia hospita L. merupakan tumbuhan tropis berhabitus pohon dengan


tinggi 5-20 m, spesies dari famili Sterculiaceae. Spesies ini dapat ditemukan di
seluruh kepulauan Indonesia. Salah satu Provinsi yang memiliki penyebaran K
hospita yang paling besar adalah Sulawesi Selatan, dikenal dengan nama paliasa. K
hospita telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan baku obat
tradisional. Ekstrak dari tumbuhan tersebut dapat berkhasiat dan dipercaya dalam
pengobatan penyakit liver, hipertensi, diabetes, kolesterol dan hepatitis yaitu
dikonsumsi dengan cara meminum air rebusannya. Tujuan penelitian ini adalah
Menduga populasi paliasa serta mengetahui penyebaran spasial tumbuhan paliasa
(Kleinhovia hospita L.) di berbagai tipe penggunaan lahan di Kecamatan
Bontobahari, mendokumentasikan pengetahuan pemanfaatan paliasa oleh
masyarakat, dan strategi konservasi paliasa kedepan dengan pengembangan sikap
tri stimulus konservasi.
Penelitian dilakukan di Kecamatan Bontobahari, Sulawesi Selatan pada 6
penggunaan lahan yaitu hutan, kebun campuran, belukar, kebun, pemukiman, dan
ladang. Pengambilan data populasi menggunakan metode stratified random
sampling (penarikan contoh acak berlapis) berupa petak ukur bujur sangkar
berukuran 100 m x 100 m. Distribusi paliasa ditentukan dengan menandai titik
koordinat pada setiap temuan paliasa dalam petak ukur menggunakan GPS (Global
Positioning System) yang di overlay ke data peta penggunaan lahan yang memuat
Kecamatan Bontobahari, sementara pengetahuan pemanfaatan paliasa diperoleh
dari hasil wawancara oleh masyarakat setempat.
Hasil penelitian tercatat populasi tumbuhan paliasa yang tumbuh di
Kecamatan Bontobahari berdasarkan enam tipe penggunaan lahan melimpah.
Kepadatan populasi paliasa tertinggi berada pada tutupan lahan kebun yakni
mencapai 88.33 individu/ha dan yang terendah berada pada tutupan lahan ladang
dan belukar yaitu 4.33 individu/ha. Sebaran spasial paliasa (Kleinhovia hospita L)
diberbagai tipe penggunaan lahan teridentifikasi secara umum menyebar
mengelompok. Pemanfaatan paliasa yang dilakukan oleh masyarakat adalah
sebagai bahan baku obat tradisional serta bahan baku yang digunakan dalam ritual
adat budaya dan keagamaan. Masyarakat melakukan aksi perlindungan paliasa
dengan tidak melakukan penebangan sehingga potensi paliasa dapat ditingkatkan
melalui pemahaman pentingnya paliasa sebagai obat yang dapat dijadikan suatu
produk.

Kata kunci: Distribusi spasial, Kleinhovia hospita, upaya konservasi, Bontobahari,


Sulawesi Selatan
SUMMARY

A. SRY WAHYUNI. Conservation Paliasa (Kleinhovia hospita L.) in Bontobahari


districts, Bulukumba regency, South Sulawesi province. Supervised by ERVIZAL
A M ZUHUD and LILIK BUDI PRASETYO.

Paliasa (Kleinhovia hospita L.) is a tropical plant with has tree habitus from
5 to-20 meters high, it is a species within the Sterculiaceae family. This species can
be found throughout the Indonesian archipelago. One of the provinces that has the
greatest distribution of K hospita L is South Sulawesi. K hospita L has been widely
used by the communities as the raw material traditional medicine. Extracts from
Paliasa and other medical plants can be believed for the treatment of liver disease,
hypertension, diabetes, cholesterol, and hepatitis consumed by drinking boiled
water. The objectives of this research are; firstly to estimate population and
mapping out the spatial distribution of paliasa, secondly to compile Paliasa
utilization knowledge of the local communities finally, to set up the conservation
strategy for paliasa by adopting tri stimulus attitude.
The research was conducted in Bontobahari Subdistrict, South Sulawesi on 6
land use tipes, namely forest, mixed garden, bush, garden, settlement, and field.
Paliasa population data are collected using stratified random sampling method with
100 m x 100 m square plot measurements. Paliasa distribution is determined by
marking the coordinate points in site where each paliasa found. The coordinates are
shaved in GPS (Global Positioning System) then overlaid on the land use map. The
knowledge of paliasa utilization is obtained by from interviewing the local
communities.
The results show that the highest paliasa population density was in the land
cover of 88.33 individuals / ha and the lowest was in the land and bushland cover,
namely, 4.33 individuals/ha. Spatial distribution of paliasa (Kleinhovia hospita L)
in various types of identified land use generally spreads clustered. Utilization of
paliasa undertaken by the communities is as raw materials for traditional medicine
and also raw materials used in cultural and religious custom rituals. The
communities protect paliasa by using it wisely so paliasa population can be
sustainable due to understand the importance of paliasa as the medicinal plant.

Keywords: Spatial distribution, Kleinhovia hospita, conservation efforts,


Bontobahari, South Sulawesi.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KONSERVASI PALIASA (Kleinhovia hospita L.) DI
KECAMATAN BONTOBAHARI KABUPATEN BULUKUMBA,
SULAWESI SELATAN

A. SRY WAHYUNI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Rachmad Hermawan, M.Sc.F
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2016 – September 2016
ini ialah Distribusi Spasial Tumbuhan Paliasa (Kleinhovia hospita Linn.) dan
Konservasinya di Kecamatan Bontobahari, Sulawesi Selatan.
Pada kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih yang sangat
besar kepada yang terhormat Komisi Pembimbing Prof Dr Ir Ervizal A. M. Zuhud,
MS dan Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc yang telah memberikan bimbingan,
arahan dan saran kepada penulis sehingga hasil penelitian ini dapat terselesaikan.
Tak lupa pula ucapan terimakasih ini penulis sampaikan kepada para staf di bagian
Konservasi Biodiversitas Tropika Bapak Sofwan yang membantu dalam proses
administrasi serta teman-teman KVT yang telah banyak membantu selama proses
penyusunan hasil penelitian ini. Semoga bantuan, dukungan, dorongan dan
perhatian dari semua pihak yang telah diberikan dengan tulus kepada penulis
mendapat imbalan yang setimpal dari Allah subhanahu wa ta’ala. Ungkapan terima
kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua saya tercinta H. Baharuddin
dan Hj. Rohani serta seluruh keluarga, atas segala do’a, kasih sayang dan bantuan
materil yang tak henti-hentinya serta pengorbanannya yang tulus dalam mendidik
dan memberi tauladan untuk menjadi seseorang yang bertanggung jawab dalam
segala hal.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang ilmu Konservasi
Biodiversitas Tropika

Bogor, Agustus 2017

A. Sry Wahyuni
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii


DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
TINJAUAN PUSTAKA 4
Bio-ekologi Paliasa 4
Ekologi dan Penyebaran 5
Manfaat dari Kandungan Kimia Paliasa 5
Kegunaan 7
Konservasi Paliasa (K. hospita L.) 7
Distribusi Spasial 9
Analisis Spasial 10
METODE 12
Alat dan Bahan 12
Jenis Data yang Dikumpulkan 12
Pengumpulan Data 14
Pengolahan dan Analisis Data 17
Etnobotani Paliasa 17
Bentuk Pemanfaatan Paliasa Oleh Masyarakat 18
Pola Sebaran Spasial 18
Produktivitas Paliasa 20
Upaya Pelestarian Paliasa 20
LOKASI PENELITIAN 22
Kondisi Umum Lokasi Penelitian 22
Letak dan Posisi Geografis 22
Kondisi Lingkungan di Kecamatan Bontobahari 23
Monografi Penduduk Kecamatan Bontobahari 25
HASIL DAN PEMBAHASAN 25
Etnobotani Paliasa (Kleinhovia hospita L) 25
Populasi Paliasa 33
Penyebaran Spasial Paliasa (Kleinhovia hospita L.) 34
Pola Distribusi Tumbuhan Paliasa 42
Produktivitas Tumbuhan Paliasa 45
Prospek Aksi Konservasi Paliasa 47
SIMPULAN DAN SARAN 50
Simpulan 50
Saran 50
DAFTAR PUSTAKA 51
LAMPIRAN 57
RIWAYAT HIDUP 64
DAFTAR TABEL

1 Jenis, aspek yang diamati, sumber dan metode pengumpulan data


paliasa 13
2 Rincian pemanfaatan paliasa oleh masyarakat Kecamatan
Bontobahari 17
3 Komposisi tingkat pendidikan 27
4 Komposisi dan pemanfaatan paliasa oleh masyarakat Kecamatan
Bontobahari 28
5 Kepadatan populasi paliasa per hektar (Ha) pada enam tipe
penggunaan lahan 33
6 Distribusi spasial tumbuhan paliasa berdasarkan tipe penggunaan
lahan di Kecamatan Bontobahari 36
7 Sebaran tumbuhan paliasa (Kleinhovia hospita) pada enam tipe
penggunaan lahan di Kecamatan Bontobahari berdasarkan hasil
perhitungan Indeks Morisita (IM) 43
8 Status kepemilikan lahan di Kecamatan Bontobahari 44
9 Produksi paliasa (Ind/pohon) 46
10 Potensi produksi paliasa di Kecamatan Bontobahari 46
11 Data selang hari pemanenan tumbuhan paliasa 46
12 Bioprospektif paliasa 48

DAFTAR GAMBAR
1 Tumbuhan Paliasa (Kleinhovia hospita L) 4
2 Struktur kimia dari scopoletin (A), flavonol (B), quercetin (C) 6
3 Peta lokasi penelitian di Kecamatan Bontobahari 12
4 Petak ukur bujur sangkar berukuran 100 m x 100 m 15
5 Petak ukur yang diletakkan secara acak 15
6 Bentuk sebaran spasial a. Mengelompok, b. Acak, c. Seragam 20
7 Diagram alir “tri-stimulus amar pro-konservasi”: stimulus, sikap
dan perilaku aksi konservasi (Zuhud et al. 2007). 21
8 Peta lokasi penelitian dan titik sebaran tumbuhan paliasa
(Kleinhovia hospita L) yang ditemukan pada beberapa tipe
penggunaan lahan di Kecamatan Bontobahari. 23
9 Data curah hujan rata-rata dalam kurung waktu lima tahun terakhir 24
10 Komposisi struktur umur responden (%) (N= 30 responden) 26
11 Kepadatan populasi paliasa bedasarkan tingkat pertumbuhan di
enam tipe penggunaan lahan 34
12 Sebaran tumbuhan paliasa di enam tipe penggunaan lahan 36
13 Pola sebaran paliasa di tipe lahan kebun dengan 3 kali pengulangan 37
14 Pola sebaran paliasa di tipe lahan belukar dengan 3 kali ulangan 38
15 Pola sebaran paliasa di tipe lahan hutan dengan 3 kali ulangan 39
16 Pola sebaran paliasa di tipe lahan kebun campuran dengan 3 kali
ulangan 40
17 Pola sebaran paliasa di tipe lahan pemukiman dengan 3 kali ulangan 41
18 Pola sebaran paliasa di tipe lahan ladang 42
19 Kemasan produk paliasa 47
20 Diagram alir “tri-stimulus amar pro-konservasi”: stimulus, sikap
dan perilaku aksi konservasi (Zuhud et al. 2007). 50

DAFTAR LAMPIRAN
1 Ancaman tumbuhan paliasa akibat perubahan fungsi lahan 57
2 penyebaran tumbuhan paliasa pada 6 tipe penggunaan lahan yang
ada di Kecamatan Bontobahari 58
3 Peta penyebaran tumbuhan paliasa (Kleinhovia hospita L) yang
ditemukan pada beberapa tipe penggunaan lahan di Kecamatan
Bontobahari 59
4 Proses pengambilan bagian dari tumbuhan tambaro’go 60
5 Tumbuhan kayu cina 61
6 Tumbuhan tinappasa 61
7 Proses pembuatan ramuan obat tradisional dari kulit batang paliasa
dan kayu cina 62
8 Proses sebaran spasial paliasa (Kleinhovia hospita L.) 63
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kleinhovia hospita L. spesies dari famili Sterculiaceae merupakan tumbuhan


tropis berhabitus pohon dengan tinggi mencapai 5 sampai 20 m. Tumbuhan tersebut
dapat ditemukan hampir diseluruh kepulauan Indonesia salah satu penyebarannya
banyak ditemukan di Sulawesi Selatan yang dikenal dengan nama daerah paliasa,
tahongai (Makassar) dan aju pali untuk suku Bugis (Soekamto et al. 2010).
Kleinhovia hospita telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan baku
obat tradisional.
Pemanfaatan bahan baku tumbuhan obat tradisional oleh masyarakat dapat
mencapai kurang lebih 1000 jenis, dimana 74% diantaranya merupakan tumbuhan
liar yang hidup di hutan. Salah satu tumbuhan tumbuhan hutan yang memiliki
potensi tersebut dikenal dengan nama Kleinhovia hospita L. (Zuhud & Haryanto
1994). Pengetahuan penggunaan tumbuhan paliasa tersebut berkembang dari
pengalaman empiris yang diwariskan secara turun temurun, pengetahuan
tradisional tentang pemanfaatan sumberdaya nabati juga dapat digunakan sebagai
dasar pengembangan sumber devisa baru bagi negara (Soekarman & Riswan 1992).
Menurut penelitian Raflizar et al. (2006) bahwa ekstrak dari tumbuhan
paliasa ini mengandung senyawa kimia saponin, cardenolin, bufadienol,
antrakinon, scopoletin, keampferol, quercetin, serta senyawa sianogenik.
Sementara hasil temuan (Li et al. 2009), menambahkan bahwa daun paliasa
mengandung triterpenoid sikloartan, sehingga ekstrak dari tumbuhan tersebut dapat
berkhasiat dan dipercaya dalam pengobatan penyakit liver, hipertensi, diabetes,
kolesterol dan hepatitis yaitu dikonsumsi dengan cara meminum air rebusannya.
Daun dan kulit K. hospita mengandung senyawa sianogen yang dapat
membantu membunuh ektoparasit, seperti kutu, untuk ekstrak dari daun
menunjukkan aktivitas antitumor pada sarkoma tikus (Arung et al. 2009). Selain itu
batang dan daun dari tumbuhan paliasa menurut Li et al. (2008) juga mengandung
zat antiseptik, antialergi anti oksidan dan dapat menghambat prostatglandin
synthetase sebagaimana yang pernah diteliti sebelumnya oleh (Ramesh &
Subramanian 1984).
Tumbuhan paliasa ini memiliki nilai manfaat tinggi sebagai obat tradisional
seperti yang digunakan dalam mengobati penyakit hepatitis juga sebagai bahan
pelengkap lain seperti yang digunakan dalam ritual adat dan keagamaan masyarakat
Sulawesi Selatan khususnya daerah Kecamatan Bontobahari. Berdasarkan data
Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan (2015) data kebutuhan obat
masyarakat Indonesia pada tahun 2015 sebesar 77% dengan melibatkan 77 industri
farmasi, sementara penderita hepatitis di Indonesia sendiri menurut (Depkes 2016)
bahwa terdapat 18 juta orang memiliki Hepatitis B dan 3 juta orang menderita
Hepatitis C. Sekitar 50% dari orang-orang ini memiliki penyakit hati yang
berpotensi kronis dan 10% berpotensi menuju fibrosis hati yang dapat
menyebabkan kanker hati. Angka-angka ini menunjukkan bahwa 1.050.000 pasien
memiliki potensi untuk menjadi kanker hati, sementara ketersediaan obat hepatitis
tidak terpenuhi karena semakin tingginya angka penderita hepatitis setiap tahunnya
di Indonesia (Kemenkes 2014). Tingginya harga obat Hepatitis sofosbuvir dan
ledipasvir mencapai 3 sampai 4 jutaan perbotol. Sementara terdapat bahan baku
2

obat tradisional Indonesia yakni paliasa sebagai bahan baku obat hepatitis. Namun
demikian kurangnya pengetahuan masyarakat khususnya bagi kalangan usia muda
akan tumbuhan paliasa mengakibatkan tumbuhan tersebut terabaikan yang akhirnya
akan berefek pada ketidaktahuan masyarakat akan bentuk dan struktur morfologi
paliasa di alam.
Berdasarkan hal tersebut penelitian ini dilakukan untuk mengkaji distribusi
spasial tumbuhan paliasa dan konservasinya dengan pendekatan Tri-stimulus
konservasi yang tak lain adalah konteks nilai-nilai alamiah (bio-ekologi dan
kelangkaan), nilai-nilai manfaat (ekonomi), dan nilai-nilai rela-religius (agama,
keikhlasan, moral, dan sosial budaya) sebagai alat untuk mengimplementasikan
pengelolaan kawasan konservasi di Kecamatan Bontobahari, Provinsi Sulawesi
Selatan sehingga dapat di manfaatkan secara berkelanjutan demi kesejahteraan
masyarakat.
Melihat potensi daerah tersebut yang cukup mendukung pertumbuhan dan
perkembangan tumbuhan paliasa sehingga menarik minat peneliti untuk mengkaji
pola distribusi spasial tumbuhan paliasa dengan menggunakan teknologi informasi
spasial yang diperkuat melalui survei lapangan serta mengkaji informasi mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan tumbuhan tersebut pada suatu
ekosistemnya. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui
informasi tersebut adalah dengan Sistem Informasi Geografis (SIG).
Keistimewaan SIG dalam penelitian ekosistem antara lain dalam hal efisiensi
dan efektifitas dalam pengumpulan, penyimpanan dan pengolahan data dalam
jumlah yang besar pada cakupan wilayah ekosistem yang cukup luas (Stow 1993).
Keistimewaan lain menurut Tian et al. (2008) adalah kemampuan menyediakan
informasi spasial terbaru dan relevan untuk mendukung pengelolaan dan konservasi
suatu tumbuhan untuk habitat dan lingkungan yang cukup dinamis dengan
pendekatan Tri-stimulus konservasi, lagi pula data dan informasi mengenai
distribusi spasial tumbuhan paliasa (K. hospita L.) di daerah Kecamatan
Bontobahari belum pernah dilaporkan.

Perumusan Masalah

Tumbuhan paliasa merupakan tumbuhan yang berhabitus pohon yang banyak


ditemukan tumbuh di daerah Sulawesi Selatan khususnya di Kecamatan
Bontobahari. Spesies ini berpotensi nilai tinggi dalam penyembuhan berbagai
macam penyakit terbukti dari beberapa hasil penelitian terdahulu, namun
masyarakat belum banyak memanfaatkannya, pengetahuan akan tumbuhan paliasa
dan pemanfaatannya secara tradisional hanya diketahui oleh kalangan usia tua
hingga lanjut usia. Kekawatiran akan manfaat paliasa dikalangan usia muda lambat
laun dapat hilang karena informasi tersebut tidak disebarluaskan atau tidak adanya
keberlanjutan pengetahuan lokal dimasa yang akan datang.
Keberadaan paliasa di daerah Kecamatan Bontobahari masih terbilang cukup
banyak namun, keberadaan paliasa di lahan milik masyarakat akan menjadi sulit
bertahan ketika mereka harus merubah fungsi lahan. Selain hal tersebut, upaya
konservasi paliasa akan sulit diterapkan ketika pengetahuan dan pengalaman
masyarakat terdahulu tidak berlanjut kemasa kini. Pengalaman secara tradisional
oleh suatu tumbuhan yang diramu menjadi obat-obatan telah banyak ditinggalkan
dan dianggap kuno sehingga lebih memilih dengan pengobatan yang lebih modern.
3

Pemanfaatan paliasa sebaiknya lebih diterapkan dengan cara yang lebih baik
dan lestari yakni melakukan suatu upaya yang dapat membuat tumbuhan tersebut
memiliki nilai arti penting dalam bidang ekonomi maupun kesehatan. Hal tersebut
dapat terwujud ketika pengetahuan secara tradisional disatukan dengan
pengetahuan modern. Namun, keterlibatan atau peran serta masyarakat hanya akan
terwujud manakala ada kerelaan dari masyarakat serta dukungan dari pemerintah
untuk melakukannya.
Adanya kerelaan serta harapan yang timbul dari dalam diri seseorang maka
konservasi paliasa nantinya akan terwujud sebagaimana mestinya. Hal lain yang
perlu dikaji adalah untuk mengetahui status paliasa saat ini sebagai dampak
kegiatan manusia dan aktivitas alam terhadap distribusi paliasa, sehingga
kelestarian dan ekosistem ini dapat terjaga. Lagi pula infomasi mengenai distribusi
paliasa juga belum tersedia di daerah Kecamatan Bontobahari.
Salah satu cara untuk melakukan pemantauan adalah dengan melihat sebaran
spasial tumbuhan paliasa. Salah satu alternatif untuk mengetahui sebaran spasial
paliasa adalah dengan menggunakan sistem informasi spasial yang diperkuat
dengan mengumpulkan data-data mengenai keberadaan serta status paliasa yang
diperoleh dari pengamatan dilapangan yang kemudian dihubungkan dengan data
status lahan dan penggunaan tipe habitat paliasa dimana data tersebut akan
menggambarkan status sebaran tumbuhan paliasa.
Untuk menelaah permasalahan ini maka disusunlah beberapa pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1 Bagaimana penggunaan tumbuhan paliasa oleh masyarakat Kecamatan
Bontobahari?
2 Bagaimanakah kondisi populasi tumbuhan paliasa (Kleinhovia hospita L.) di
Kecamatan Bontobahari?
3 Bagaimanakah penyebaran tumbuhan paliasa (Kleinhovia hospita L.) di
berbagai tipe penggunaan lahan yang ada di Kecamatan Bontobahari?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji status konservasi dan pengembangan


paliasa yang dirinci sebagai berikut:
1. Mengkaji konservasi paliasa oleh masyarakat Kecamatan Bontobahari.
2. Menganalisis populasi paliasa (Kleinhovia hospita L.) dan status konservasinya
di Kecamatan Bontobahari.
3. Menganalisis penyebaran spasial tumbuhan paliasa (Kleinhovia hospita L.) di
berbagai tipe penggunaan lahan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat: 1) menjadi salah satu sumber informasi
mengenai potensi paliasa yang ada di daerah kecamatan Bontobahari, 2)
memberikan informasi mengenai karakteristik penyebaran tumbuhan paliasa di
Kecamatan Bontobahari, 3) hasil penelitian ini diharapkan dapat mewujudkan sikap
konservasi masyarakat yang berlandaskan tri-stimulus konservasi terhadap
tumbuhan paliasa 4) dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi
4

berharga bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian mengenai spesies


tumbuhan paliasa (K. hospita L.) yang ada di daerah tersebut.

TINJAUAN PUSTAKA

Bio-ekologi Paliasa

Klasifikasi dan Deskripsi Morfologi


Spesies tumbuhan Kleinhovia hospita L. tumbuh dan berkembang di hutan
dataran rendah terutama pada elevasi rendah, merupakan famili dari Sterculiaceae
(Soekamto et al. 2008), habitus berupa pohon berbelukar yang tingginya antara 5–
20 meter, daunnya bertangkai panjang, berbentuk jantung, lebar 4,5 – 27 cm dan
panjang 3–24 cm, pada pangkalnya bertulang daun menjari selalu hijau.
Perbungaan dengan mahkota membulat dan taburan bunga yang tegak dan buah
berwarna merah muda. Pepagan melekah, keabu-abuan di luar, kekuningan di
dalam.
Daun tunggal, berseling, membundar telur sampai menjantung, gundul di
kedua permukaan. Perbungaan malai terminal, renggang, bunga lebar sekitar 5 mm,
pink muda, daun kelopak memita melanset, daun mahkota kuning. Buah kapsul
berselaput yang membulat, merekah pada rongganya, masing-masing rongga
berbiji 1-2. Biji membulat, keputihan (Aspan et al. 2008). Berdasarkan identifikasi
yang telah dilakukan oleh (Raflizar 2009) maka secara taksonomi paliasa dapat di
klasifikasikan kedalam :
Regnum : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Class : Dicotyledoneae
Ordo : Malvales
Family : Sterculiaceae
Genus : Kleinhovia
Species : Kleinhovia hospital L.

Gambar 1 Tumbuhan Paliasa (Kleinhovia hospita L)


5

Spesies tumbuhan K. Hospita disetiap daerah di Indonesia dikenal dengan


beberapa nama sebutan yakni untuk nama di Indonesia disebut Betenuh, Sumatera
(Lampung) dengan Manjar, Jawa ubut, Lesmu, Senu, Weina, Kayu tahun,
Katunanja, Tunala dan Timanja. Mangar/Bisnah (Madura), Nusa Tenggara dengan
sebutan Katimala, Katimaljan (Bali), Klundang (Sumba), Kadanga (Flores).
Maluku Mjededo, Nguhulu (Halmahera), Ngaru, Kuhusu (Ternate) Melayu
Katimahar, Kimau dan untuk Sulawesi sendiri disebut Kayu paliasa, Kauwasan
(Makasar), Aju Pali, Palia (Bugis), Daun monto (Toraja). Selain itu tumbuhan ini
memiliki nama lokal di setiap negara yaitu Tan-ag, Bignon, Hamitanago (Filifina),
Temahai (Malaysia), Champhu phuang, Hatsathun thet, po farang (Thailand) dan
trador, chaa traf (Vietnam) (Hanum & Maesen 1997).

Ekologi dan Penyebaran

Penyebaran dan ekologi Kleinhovia hospita sulit untuk di uraikan karena


minimnya literatur yang mendukung. Berdasarkan studi pustaka diketahui bahwa
K. hospita tumbuh alami di seluruh Asia tropis, tumbuhan tersebut tumbuh dan
berkembang di hutan dataran rendah terutama pada elevasi rendah (Steenis 2006).
Tanaman paliasa ini dapat ditemukan di seluruh kabupaten dan kota di Sulawesi
Selatan (Astuti et al. 2009). Di Jawa, jenis ini lebih umum dijumpai di Jawa Tengah
dan Timur. Di Semenanjung Malaya K. hospita tersebar alami sepanjang pinggiran
sungai dan di daerah-daerah pantai dekat Malaka. K. hospita umumnya dijumpai di
daerah terbuka yang ditinggalkan dan di hutan sekunder.
Suatu tumbuhan hanya dapat hidup di tempat yang kondisnya cukup sesuai
baginya, dan jenis-jenis yang berbeda sering kali memeliki kebutuhan yang berbeda
pula. Berarti bahwa kondisi setempat merupakan faktor-faktor utama dalam
pertumbuhan suatu jenis tumbuhan tertentu. Pada dasarnya perkembangan
tumbuhan ditentukan oleh kondisi fisiologi umum jenis tumbuhan yang
bersangkutan meskipun keadaan perkembangan individu dan derajat kemampuan
beradaptasi terhadap keadaan setempat juga memiliki peranan penting. Fisiologi
tumbuhan yang dimaksud adalah yang menyangkut kerja internal tumbuhan baik
yang bersifat biologi, kimiawi, atau fisik. Ciri-ciri fisiologi tersebut ditemukan pada
jenis tumbuhan tertentu yang biasanya diwariskan dari induknya dan secara
bersamaan menentukan sebagian besar berada pada kondisi habitat dimana
tumbuhan itu dapat mempertahankan dirinya (Polunin 1990).

Manfaat dari Kandungan Kimia Paliasa

Secara umum kulit pohon Paliasa mengandung minyak atsiri seperti


penelitian yang telah dilakukan oleh Waston dan Dalwit (2002) yang menyatakan
bahwa pada daun, kulit, dan batang K. hospita diidentifikasi mengandung minyak
atsiri, triterpenoid, sianogenin, asam lemak dan siklopropenil. Khusus pada kayu
batangnya ditemukan mengandung flavonol, kaemferol dan kuersetin, senyawa
sianogenik yang berfungsi membasmi ektoparasit seperti kutu, juga mengandung
cincin siklopropenil yang terdiri atas scopoletin, kempferol, dan quercetin (Gambar
2).
6

Gambar 2 Struktur kimia dari scopoletin (A), flavonol (B), quercetin (C)

Pawiroharsono (2003) menemukan bahwa senyawa kaemferol dan kuersetin


dapat berfungsi sebagai antikanker. Namun bunga daun paliasa mengandung juga
flavonoid yang berkhasiat untuk menstimulasi jantung, memperkuat pembuluh
darah kapiler, dan bertindak sebagai antioksidan dan lemak (Noor et al. 2004).
Beberapa manfaat dari tumbuhan paliasa yang telah terbukti di uji oleh
bebepara peneliti sebelumnya diantaranya penelitian yang telah dilakukan oleh
Gaffar dan Lexie (2010) yang menyatakan bahwa terdapat satu senyawa steroid dari
kulit batang paliasa asal sulawesi selatan yang disebut dengan senyawa sitosterol
dimana senyawa ini memiliki efek farmakologis yaitu mampu menghambat kerja
enzim yang mengkonversi testoteron menjadi dehidrotestosteron (DHT) yang
merupakan penyebab terjadinya kanker prostat (Slaga & Keuneke 2005).
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Raflizar dan Sihombing (2009)
dimana ekstrak dari daun tumbuhan paliasa secara efektif dapat menurunkan
aktivitas enzim SGPT dalam darah yang dapat mengurangi kerusakan sel hati yang
ditimbulkan oleh karbon tetraklorida (CC14) dan berkhasiat untuk pengobatan
radang hati.
Menurut Ilyas (2014) dari proses isolasi ekstrak EtOAc kulit akar Kleinhovia
hospita Linn. Diperoleh satu senyawa yaitu senyawa 4-hidroksi sinamamida (1)
yang memiliki pola struktur fenilpropanoid (golongan fenolik) yang dapat
disimpulkan bahwa manfaat lain dari tumbuhan paliasa ini terdapat pada kulit
akarnya yaitu senyawa fenol yang merupakan salah satu penghasil sumber senyawa
kimia yang unik.
Hal yang sama ditemukan oleh (Soekamto et al. 2010) bahwa terdapat dua
senyawa kimia dari proses isolasi kulit batang dan akar tumbuhan paliasa yang
cukup aktif terhadap sel murin leukimia. Sementara dari penelitian lain yang telah
dilakukan oleh (Arung et al. 2009; Morilla et al. 2015) mengatakan bahwa manfaat
dari ekstrak daun tumbuhan paliasa dapat berfungsi sebagai obat anti tumor, kanker
hati serta memiliki kandungan sebagai antioksidan aktif 96% dan kandungan
vitamin C 98%.
Antioksidan adalah senyawa yang berguna dalam membantu mengatasi
kerusakan oksidatif akibat radikal bebas atau senyawa oksigen reaktif saat terpapar
radikal bebas baik yang dihasilkan dari proses metabolisme normal maupun dari
lingkungan, seperti asap rokok dan polusi. Paparan radikal bebas yang berlebih
terhadap tubuh dapat berakibat terhadap kerusakan sel dan memicu patogenesis
berbagai penyakit seperti penyakit kardiovaskular, hipertensi, hiperlipidemia,
7

diabetes, alzheimer, dan Parkinson (Saifuddin et al. 2013 dalam Matteo & Esposito
2003; Touyz & Schiffrin 2004).
Selanjutnya dari hasil penelitian Yuliana et al. (2013) menemukan bahwa
pemberian ekstrak daun paliasa dapat menurunkan kadar glukosa darah pada hewan
uji tikus yang mengalami hiperglikemia dimana makin tinggi dosis ekstrak paliasa
yang diberikan, maka makin kuat efeknya terhadap penurunan kadar glukosa darah
yang artinya bahwa ekstrak paliasa tersebut dapat digunakan sebagai bahan terapi
untuk pengobatan diabetes.
Penelitian yang dilakukan oleh Aliyah et al. (2013) yaitu melakukan
percobaan pemberian pakan tambahan menggunakan sari daun paliasa terhadap
lebah madu Apis mellifera L menunjukkan bahwa efek hepatoprotektif dan
hepatoregeneratif madu sari paliasa yang dihasilkan oleh Apis mellifera L.
memberikan hasil positif untuk alkaloid, polifenol dan flavonoid. Hal ini
menunjukkan bahwa komponen kimia dari paliasa diubah oleh lebah ke dalam HEP,
konsentrasi tinggi dari paliasa menghasilkan tingkat yang lebih tinggi dari polifenol
dan flavonoid HEP dimana jumlah total isi polifenol lebih besar dari total isi
flavonoid sehingga madu sari paliasa berpotensi terhadap perbaikan fungsi hati.

Kegunaan

Secara tradisional, daun tumbuhan K. hospita telah dimanfaatkan sebagai


obat oleh masyarakat luas, khususnya di Sulawesi Tenggara dan Selatan, karena
dipercaya berkhasiat sebagai obat yang mampu mengobati penyakit liver (Raflizar
et al. 2006). Penggunaan tumbuhan tersebut sebagai obat juga tersebar di seluruh
Nusantara termasuk di Maluku, Ternate dan Papua, bahkan sampai di Papua New
Guinea (PNG) dan Kepulauan Solomon di Kawasan Pasik (Heyne dalam Imran
2011).
Di Kepulauan Solomon, ranting dari K. hospita yang memuntir dipakai untuk
hiasan seperti pegangan pisau, kalau di Jawa biasanya digunakan sebagai sarung
keris. Daun muda dapat dimakan sebagai sayuran. Jus daun dipakai untuk mencuci
mata. Di Papua Nugini dan Kepulauan Solomon, kambium yang telah diolah dapat
menyembuhkan pneumonia. Oleh karena itu, tumbuhan ini diyakini dapat
menghasilkan senyawa-senyawa metabolit sekunder yang memiliki bioaktivitas
tertentu dan efek terapetik yang ampuh. Daunnya dapat digunakan untuk mencuci
rambut karena dipercaya dapat menghilangkan kutu rambut.
Serat kambium K. hospita digunakan sebagai anti tumor dalam sarkoma
mencit Hanum dan Maesen (1997). Sementara ekstrak daun K. hospita juga dapat
melindungi radang hati pada tikus putih betina Strain wistar yang diakibatkan oleh
CCl4 (Raflizar et al. 2006). Jenis ini juga sangat bagus sebagai tanaman hias karena
perbungaan malainya yang terlihat indah dan berwarna merah muda. K. hospita
memerlukan percobaan lebih lanjut bila akan digunakan untuk reforestasi, karena
umumnya dijumpai di daerah terbuka yang ditinggalkan dan di hutan sekunder.

Konservasi Paliasa (K. hospita L.)

Istilah konservasi diartikan sebagai pengelolaan pemanfaatan paliasa secara


berkelanjutan Setiawan dan Alikodra (2001). Namun selama ini konservasi banyak
8

dipahami orang hanya sebatas perlindungan dan pengawetan semata dan tidak
boleh untuk pemanfaatan sehingga kata “konservasi” banyak tidak disukai
masyarakat, karena salah dimaknai dan diterapkan di dunia nyata. Walau demikian
jelaslah bahwa kata “konservasi” merupakan kata kerja yag maknanya harus
memayungi semua bentuk kerja pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
yang bertanggung jawab, berkelanjutan, dan berkesinambungan (Zuhud 2011).
Indonesia dengan mega biodiversitasnya memiliki ancaman kelestarian
tumbuhan yang berpotensi salah satunya tumbuhan obat yang diakibatkan oleh
kurangnya kebijakan pemerintah dan peraturan perundangan dalam upaya
pelestarian dan pemanfaatan tumbuhan obat, kurangnya perhatian terhadap
pengelolaan dan budidayanya serta hilangnya budaya dan pengetahuan tradisional
apalagi di era modern seperti saat ini. Meskipun demikian terdapat prospek
pengembangan tumbuhan obat Indonesia yaitu dengan adanya permintaan bahan
baku tumbuhan obat yang terus meningkat.
Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk harga obat-oabatan dari
manca negara yang semakin mahal, meningkatnya jumlah industri farmasi dan obat
tradisional, serta kecenderungan masyarakat dunia untuk back to nature. Dengan
ketersediaan SDM (sumber daya manusia), para pakar dan lembaga-lembaga
penelitian akan mengembangkan pemanfaatan tumbuhan obat dan menemukan
obat-obat baru (Zuhud & Siswoyo 2001).
Tiga unsur dasar dalam strategi konservasi sumberdaya alam hayati yaitu
melindungi, pengkajian, pemanfaatan, yang dijadikan sebagai dasar dalam tujuan
pelestarian pemanfaatan keanekaragaman tumbuhan obat hutan tropika indonesia,
yaitu untuk memanfaatkan secara berkelanjutan, melestarikan potensi dan
mempelajari keanekaragaman tumbuhan obat hutan tropika (Zuhud & Haryanto
1994).
Terdapat pula konsep konservasi dalam perlindungan dan pemanfaatan
tumbuhan berpotensi indonesia yang dapat diterapkan untuk pelestarian dan
pengelolaan sumber daya alam hutan yang disebut dengan Tri-stimulus amar
konservasi. Menurut (Zuhud et al. 2007), Tri-stimulus amar konservasi adalah alat
yang efektif untuk digunakan dalam strategi pengelolaan sumberdaya alam hayati agar
dapat terwujud tujuan ideal dari konservasi, yaitu terpeliharanya dan berkembangnya
potensi sumberdaya keanekaragaman hayati dan terwujudnya kesejahteraan
masyarakat yang berkelanjutan.
Tri-stimulus amar konservasi bukanlah suatu konsep baru tetapi merupakan
perumusan determinasi stimulus tentang apa yang sebenarnya sudah berlaku, terjadi
dan berjalan di dalam kehidupan masyarakat kecil tradisional yang berada dalam
dan sekitar hutan yang telah bertungkus lumus dengan ekosistem hutan dan telah
pernah berhasil mewujudkan konservasi atau pengelolaan hutan lestari di dunia
nyata. Konsep Tri-stimulus amar konservasi dapat diterapkan sebagai alat untuk
menwujudkan pengelolaan sumber daya alam hayati, kawasan hutan produksi
maupun kawasan konservasi atau taman nasional indonesia mulai dari sekarang.
Sikap konservasi masyarakat harus dibangun dengan konteks nilai-nilai
alamiah (bio-ekologi dan kelangkaan yang cenderung bersifat jangka panjang),
nilai-nilai manfaat (ekonomi yang cenderung bersifat jangka pendek) dan nilai-nilai
religius (agama, moral, dan sosio budaya, yang cenderung mendorong kerelaan atau
keikhlasan untuk berbuat) hal ini merupakan prasyarat terwujudnya aksi konservasi
secara nyata dilapangan. Dalam hal yang sama telah dikemukakan oleh Erasmus
(1963); Rachman (2000) yang berbicara economic, culture, dan belive tidak bisa
9

dipisah-pisahkan (Zuhud 2008). Wujud aksi konservasi yang semestinya terjadi


pada suatu sumberdaya alam hayati, merupakan wujud sikap dan aksi masyarakat
yang terkait kuat dengan stimulus kebutuhan konservasi sumberdaya hayati itu
sendiri (Zuhud et al 2007).

Distribusi Spasial

Pola sebaran spasial merupakan aspek penting dalam struktur populasi dan
terbentuk oleh faktor intrinsik spesies dan kondisi habitatnya. Diskripsi kuantitatif
dari pola spasial tidak hanya penting untuk mengetahui dinamika sebaran atau
spasial populasi saja tapi juga untuk menentukan teknik sampling dalam survei
populasi (Iwao 1970). Pola sebaran spasial tanaman maupun satwa merupakan
karakter penting dalam komunitas ekologi. Hal ini biasanya merupakan kegiatan
awal yang dilakukan untuk meneliti suatu komunitas dan merupakan hal yang
sangat mendasar dalam kehidupan suatu organisme (Cornel, 1963 dalam Kissinger
2002).
Hutchinson (1953) dalam ludwig dan reynold (1988) menyebutkan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi pola sebaran spasial yaitu:
a. Faktor vektorial yaitu faktor yang dihasilkan dari aksi lingkungan (misal angin,
intensitas cahaya, dan air)
b. Faktor reproduksi yaitu bagaimana cara organisme tersebut berproduksi (misal
cloning dan progeni)
c. Faktor sosial yaitu bagaiman perilaku dari organisme itu sendiri (misal :
teritorial)
d. Faktor co-aktif yaitu faktor yang dihasilkan dari interaksi intraspesifik (misal
kompetisi)
e. Faktor stokastik yaitu faktor yang dihasilkan dari variasi acak pada beberapa
faktor diatas.
Faktot-faktor di atas terbagi menjadi faktor intrinsik (reproduktif, sosial dan co-
aktif) dan faktor intrinsik (vektorial).
Distribusi lokal organisme-organisme secara dua dimensi umumnya disebut
dispersi. Terdapat tiga pola dasar sebaran spesies yaitu (1) Acak atau random
dimana keberadaan individu pada suatu titik tidaklah mempengaruhi peluang
adanya anggota populasi yang sama disuatu titik yang berdekatan, (2)
mengelompok dimana keberadaan individu pada suatu titik meningkatkan peluang
adanya individu yang sama pada suatu titik yang lain didekatnya, (3) teratur atau
seragam dimana keberadaan individu pada suatu titik menurunkan peluang adanya
suatu individu yang sama pada titik disekitarnya (McNaughton & Wolf 1990).
Odum (1959) menyatakan bahwa indvidu dalam suatu populasi menyebar
mengikuti tiga pola yaitu (1). random, (2). Uniform (lebih teratur dibanding
random), (3). Clumped (non random), dimana pola penyebaran radom sangat jarang
ditemui di alam dan hanya akan terjadi bila kondisi lingkungan seragam dan tidak
ada kecenderungan terjadi agregasi. Pola acak atau random terbentuk sebagai akibat
dari lingkungan yang homogen atau pola perilaku yang non selektif (Odum 1993;
Ludwig & reynold 1988). Di sisi lain, pola sebaran non acak (menggerombol dan
seragam) menunjukkan bahwa terdapat suatu konstrain pada populasi yang ada.
Rosalina (1996) mengemukakan bahwa sebagian besar jenis flora khususnya
di daerah tropis, pola sebarannya adalah umumnya acak. Bruenig (1995)
10

mengemukakan bahwa terbentuknya pola acak suatu jenis dikarenakan jenis


tersebut dalam proses hidupnya dapat bertahan dan berlangsung relatif baik tanpa
persyaratan khusus dalam hal cahaya dan hara.
Pola penyebaran uniform akan terjadi bila tingkat kompetisi antar individu
sama atau bila terjadi hubungan antagonis positif yang mendukung penyebaran
keruangan. Pola sebaran clamped (mengelompok atau seragam) merupakan pola
penyebaran yang paling umum. Pola sebaran non acak tersebut menunjukkan
bahwa terdapatnya satu faktor pembatas pada populasi yang ada (Ludwig &
Reynold 1988). Pola sebaran yang tidak acak biasanya ditemui akibat adanya
keteraturan sebagai akibat adanya kendala atau faktor pembatas terhadap
keberadaan jenis tertentu atau kesesuaian jenis dari populasi tertentu terhadap
lingkungan (Rosalina 1996).
Bila sebaran tersebut mengelompok, berarti keberadaan suatu individu pada
suatu titik meningkatkan peluang adanya individu yang sama pada suatu titik yang
lain di dekatnya. Pola mengelompok terjadi sebagai akibat individu akan
mengelompok pada habitat yang lebih sesuai dengan tuntutan hidupnya. Selain itu
pola sebaran mengelompok diakibatkan oleh heterogenitas faktor-faktor
lingkungan dari tempat tumbuh, variasi dari individu di dalam populasi dapat
merupaka resultante dari model reproduktif, dan kesesuaian tempat tumbuh atau
tapak (Ludwig & Reinold 1988).
Sedangkan sebaran populasi seragam merupakan kejadian yang berlawanan
seperti apa yang tejadi pada sebaran mengelompok (McNaugton & Wolf 1990).
Sebaran suatu spesies dikontrol oleh faktor lingkungannya terutama berlaku bagi
organisme yang mempunyai kisaran kemampuan adaptasi yang sempit (Krebs
1989). Selanjutnya Krebs (1978) bahwa hewan atau tumbuhan dalam fase awal
kehidupannya sering mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan.
Faktor-faktor yang membatasi distribusi antara lain tingkah laku, suhu, hubungan
timbal balik dengan organisme lain kelembaban serta faktor fisik dan kimianya.
Distribusi suatu spesies terpola baik dalam distribusi secara spasial maupun
distribusi secara tempotal. Distribusi spasial (menurut tempat) bagi hewan dan
tumbuhan merupakan suatu karakteristik komunitas ekologi, sedangkan distribusi
secara temporal mengikuti waktu atau musim (Ludwing & Reynold 1988).
Pola dispersi (penyebaran) tertentu tidak selalu merupakan karakteristik dari
suatu spesies tertentu, tapi merupakan refleksi dari interaksi antara adaptasi
individu dan pola habitatnya, terutama distribusi dari faktor-faktor pembatasnya
(McNaugton & Wolf 1990).

Analisis Spasial

Kemampuan untuk menggabungkan, menganalisis dan memetakan informasi


geografis di permukaaan bumi dimiliki oleh SIG. Data geografis yang dianalisis dari
SIG dapat dipergunakan untuk memecahkan berbagai permasalahan terutama yang
terkait dengan keruangan (spasial). Analisis spasial merupakan proses mendapatkan
dan membentuk informasi baru yang berasal dari data geografis. Analisis sering juga
disebut dengan pemodelan (modeling) dimana tercakup proses pemodelan, pengujian
model serta interpretasi hasil model (Jaya 2002).
Model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau
proses (Muhammadi et al. 2001). Model juga diartikan sebagai abstraksi atau
11

penyederhanaan dari sistem yang sebenarnya (Darsihardjo 2006). Jaya (2010)


menerangkan bahwa model mengandung 2 pengertian; pertama yaitu abstraksi dari
suatu kenyataan yang ada di permukaan bumi dan kedua yaitu representasi dari data
realitas. Jaya (2002) juga mengelompokkan pemodelan berdasarkan proses/teknik
analisisnya yaitu; (1) pemodelan kartografi; (2) pemodelan simulasi dan (3)
pemodelan prediktif. Pemodelan katografi merupakan metode umum untuk analisis
dan sinthesis data geografi. Pemodelan ini menggunakan aljabar dengan peta
sebagai faktor utama sebagai variabel yang fleksibel untuk dimanipulasi (Tomlin
1991). Pemodelan simulasi merupakan kombinasi antara data atau informasi spasial
dan non-spasial. Penyusunan model ini memerlukan keahlian sesuai model yang
ingin dibangun. Pemodelan prediktif pada umumnya menggunakan teknik statistik
dalam menyusun model. Teknik statistik yang digunakan biasanya adalah analisis
regresi. Pada pemodelan ini digunakan variabel-variabel prediktor yang berasal dari
data spasial.
Kesesuaian habitat merupakan suatu kemampuan habitat untuk
menyediakan kebutuhan hidup. Indeks kesesuaian habitat dapat menghitung
kualitas habitat menggunakan atribut-atribut yang dipertimbangkan penting bagi
suatu spesies dan seringkali menandai kualitas habitat relatif. Indeks kesesuaian
habitat didasarkan pada asumsi bahwa individu atau kelompok suatu spesies akan
memilih daerah yang paling memenuhi kebutuhan hidupnya (Coops & Catling
2002). Sehubungan dengan hal tersebut, maka penggunaan suatu kawasan menjadi
habitatnya adalah suatu kawasan yang memiliki kualitas lebih tinggi dibandingkan
dengan bagian kawasan lain.
Model yang dihasilkan dari analisis spasial merupakan bentuk
penyederhanaan informasi spasial. Model akan memperlihatkan perubahan yang
terjadi dalam konteks spasial untuk periode waktu yang berbeda (Alcamo et al.
2007). Hasil yang diperoleh dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan saat ini
maupun untuk memprediksi kondisi masa depan dari perubahan informasi spasial
yang dihimpun. Prediksi kesesuaian habitat dapat dimodelkan dari informasi spasial
variabel habitat bagi spesies terkait.
12

METODE

Gambar 3 Peta lokasi penelitian di Kecamatan Bontobahari


Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Bontobahari Kabupaten
Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Lokasi penelitian ini merupakan lokasi
yang masih banyak ditemukan individu tumbuhan paliasa (Kleinhovia hospita L.).
Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada akhir bulan Mei sampai dengan
September 2016. Analisis data dilakukan di Laboratorium Analisis Spasial
Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas Global
Positioning Sistem (GPS) yang digunakan untuk menentukan titik koordinat paliasa
(lokasi dan sebaran), perlengkapan alat tulis menulis, kamera, tape recorder, pita
ukur, tali rafia, timbangan, kantung plastik, tallysheet, laptop yang dilengkapi dengan
software ArcGis versi 10.3 digunakan untuk pengolahan data spasial, Microsoft
Excell 2010 untuk pencatatan dan tabulasi data, SPSS 16 untuk analisis data, peta
kerja wilayah Kecamatan Bontobahari untuk memudahkan pengambilan titik
sampel di lapangan, peta petak contoh dan peta penggunaan lahan, sedangkan bahan
objek yang diamati dilapangan adalah paliasa (K. hospita L.).

Jenis Data yang Dikumpulkan

Jenis data, aspek yang diamati, sumber data dan metode pengumpulannya
ditampilkan secara ringkas pada Tabel 1 dibawah ini.
13

Tabel 1 Jenis, aspek yang diamati, sumber dan metode pengumpulan data paliasa
Jenis data Aspek yang diamati Sumber data Metode
Data Sosial Budaya Masyarakat
Etnobotani Manfaat paliasa, bagian Lapangan Wawancara
paliasa yang dimanfaatkan, cara
pengolahan, pola
konsumsi paliasa oleh
masyarakat, kegiatan
budidaya dan kearifan
lokal lainnya dalam
pemanfaatan paliasa
Pengetahuan Pemanenan daun paliasa, Pengukuran Survei
produktivitas pengeringan, langsung di lapangan, dan
daun paliasa penimbangan, lapangan kajian pustaka
pengukuran lama waktu
pemanenan dari daun
muda ke daun tua sampai
dapat dipanen kembali
Kondisi Letak geografis dan luas, Kantor BMKG, Kajian pustaka,
umum lokasi sosial ekonomi data penduduk wawancara
penelitian masyarakat (mata Kecamatan
pencaharian, pendidikan, Bontobahari
tata guna lahan, kearifan
budaya dan sejarah
masyarakat) serta
kondisi fisik (topografi
dan iklim)
Sikap Pengetahuan tentang Warga Wawancara
masyarakat paliasa (siapa, dimana, masyarakat dan survei
pro kapan, mengapa, Kecamatan lapangan
konservasi bagaimana agar Bontobahari dan
keberadaan paliasa tetap lapangan
lestari), tingkat
pengetahuan tentang
paliasa (pernah
mendengar, pernah
melihat, pernah
menggunakan dan rutin
menggunakan),
keterlibatan masyarakat
dan perannya dalam
konservasi paliasa,
harapan masyarakat serta
hal lainnya yang
menyangkut pemahaman
dan kepekaan terhadap
stimulus alami, manfaat
14

Tabel 1 Jenis, aspek yang diamati, sumber dan metode pengumpulan data
paliasa (lanjutan)
Karakteristik Jenis kelamin, Warga Wawancara
responden kelompok umur, masyarakat
pendidikan,
pekerjaan dan
luas kepemilikan
lahan

Data ekologi paliasa


Penyebaran Koordinat GPS, status Lapangan dan Sampling,
populasi kepemilikan lahan saat warga masyarakat Wawancara,
paliasa ditemukan kajian pustaka,
analisis spasial
Populasi Himpunan atau jumlah Lapangan dan Survei
keseluruhan individu dari literatur lapangan dan
tegakan-tegakan paliasa kajian pustaka
(semai, pancang, tiang
dan pohon ) dalam satu
petak contoh, tempat
tumbuh (hutan, belukar,
kebun, kebun campuran,
pemukiman, ladang)
Morfologi Habitus, Karakteristik Literatur Kajian pustaka
batang, daun, bunga,
buah dan biji

Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan tahap kegiatan yaitu observasi langsung


untuk menentukan lokasi pengambilan sampel tumbuhan yang akan diteliti dengan
melihat kondisi umum lokasi penelitian (letak dan luas, iklim, topografi) metode
observasi yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Observasi langsung
Dimana metode yang digunakan adalah metode sampling, penelitian
dilakukan menggunakan penarikan contoh acak berlapis, Wolpole (1993)
menjelaskan dalam penarikan contoh acak berlapis, populasinya disekat sekat
menjadi beberapa lapisan sehingga relatif homogen dalam setiap lapisan.
Untuk memperoleh kehomogenan dalam setiap lapisan, pelapisannya harus
dilakukan sedemikian sehingga ada suatu hubungan tertentu dengan ciri yang
sedang diteliti. Pelapisan populasi menghasilkan lapisan-lapisan yang berbeda-
beda ukurannya. Dengan demikian, kita harus memperhatikan ukuran contoh
yang harus diambil dari setiap lapisan. Salah satu cara yang disebut alokasi
sebanding, yaitu mengambil ukuran contoh yang sebanding dengan ukuran
lapisannya.
Pada penelitian ini data akan dikumpulkan dari wilayah/area yang
mewakili 6 (enam) tipe penggunaan lahan yang berbeda yaitu (1) hutan, (2)
15

belukar, (3) kebun, (4) kebun campuran, (5) pemukiman, (6) ladang. Kemudian
banyaknya unit contoh yang akan diambil sebanyak 18 unit contoh yang terbagi
dalam 6 tipe lahan tersebut berdasarkan alokasi sebanding/ proporsional. Petak
ukur yang dibuat berupa petak ukur berukuran 100 m x 100 m atau 1 ha
(Gambar 3).
Adapun penempatan petak ukur dilakukan pada masing-masing
lapisan/tipe lahan dimana pada setiap tipe habitat menempatkan 3 petak ukur
secara acak (Gambar 4). Selanjutnya Pada setiap petak ukur dilakukan
pencatatan jumlah individu paliasa (Kleinhovia hospita) tujuannya adalah
untuk mengetahui total individu tumbuhan persatu hektarnya. Pengambilan
data lokasi dan perhitungan total jumlah individu paliasa ditentukan dengan
menandai posisi koordinat pada setiap temuan tumbuhan paliasa dalam petak
ukur dengan menggunakan alat GPS (Global Positioning Sistem).
Selain itu pengumpulan data juga dilakukan dengan metode wawancara
yaitu dengan cara melakukan wawancara langsung terhadap masyarakat
Kecamatan Bontobahari yang meliputi identitas responden, status kepemilikan
lahan saat ditemukan apakah termasuk lahan pemerintah, pribadi (masyarakat)
atau umum, sikap, pemanfaatan tumbuhan paliasa dan bentuk pengeloalaan
yang telah dilakukan.

100 m

100 m

Gambar 4 Petak ukur bujur sangkar berukuran 100 m x 100 m

Gambar 5 Petak ukur yang diletakkan secara acak


16

Parameter yang diukur pada setiap petak contoh yakni :


a. Spesies tingkat semai (anakan pohon mulai dari tingkat kecambah sampai
yang memiliki tinggi < 1,5 m)
b. Spesies tingkat pancang (anakan pohon dengan tinggi > 1,5 m atau pohon
muda dengan diameter setinggi dada < 10 cm)
c. Spesies tingkat tiang (pohon-pohon dengan diameter setinggi dada 10 cm
– 19 cm)
d. Spesies, jumlah, tinggi total, tinggi bebas cabang dan diameter tingkat
pohon (pohon-pohon yang memiliki diameter setinggi dada > 20 cm)
Selanjutnya mengetahui produktivitas daun paliasa dalam satu periode
panen maka tahap awal yang dilakukan yakni pemanenan daun tua (daun yang
warnanya hijau tua yang siap dipanen) terhadap pohon paliasa kemudian daun
tersebut ditimbang dan dicatat keseluruhan berat biomassanya (kg). Tahap
selanjutnya melakukan pengeringan pada daun tersebut dengan diangin-
anginkan dalam ruangan atau tanpa penyinaran, setelah kering daun tersebut
kembali ditimbang dan dicatat berat biomassanya (kg).
Untuk memperoleh data yang akurat maka dilakukan pemanenan
sebanyak 3 kali terhadap 3 pohon paliasa yang ukurannya kurang lebih sama
besar pada setiap petak ukur. Di samping itu untuk mengetahui selang waktu
daun muda ke daun tua untuk dapat dipanen kembali maka dilakukan
pengukuran dengan cara memberikan tanda berupa tali rafia tehadap daun yang
masih sangat muda kemudian dihitung lama waktu sampai daun tersebut siap
untuk dipanen kembali. Cara untuk mengetahui produktivitas daun paliasa
dapat dilakukan dengan perhitungan menggunakan model matematis
pertumbuhan.

2. Penentuan responden
Penentuan jumlah responden pada penelitian ini terbagi menjadi dua
yakni responden untuk data etnobotani dan responden untuk menilai sikap
masyarakat “rela” masyarakat terhadap upaya konservasi paliasa (sikap
masyarakat pro konservasi). Adapun responden yang akan dipilih untuk
memperoleh data etnobotani paliasa yakni melalui wawancara menggunakan
metode snowball sampling yaitu responden berikutnya didasarkan atas
informasi dari responden sebelumnya dengan panduan pertanyaan yang telah
disediakan.
Metode ini diterapkan dengan mencari responden kunci (key person)
sebanyak satu atau dua orang seperti kepala desa atau dukun (ahli pengobatan)
ataupun pelaku yang dianggap mengetahui banyak informasi tentang paliasa di
wilayah tersebut, kemudian berdasarkan informasi dari tokoh kunci tersebut
diperbanyak dengan menambahkan informan lain yaitu tergantung dari
banyaknya penambahan informan berdasarkan arahan dari tokoh kunci
sebelumnya hingga data atau informasi berada pada tahap jenuh (tidak terdapat
penambahan informasi baru) (Denzin & Lincoln 2009). Parameter yang
digunakan dalam wawancara adalah bagian yang dimanfaatkan dan kegunaan
bagi masyarakat.
Responden dalam menilai sikap masyarakat pro konservasi dilakukan
secara acak (simple random sampling) Sugiyono (2013). Pemilihan metode
secara acak dimaksudkan untuk mengetahui respon/sikap secara berimbang,
17

tingkat kerelaan masyarakat umum terhadap upaya konservasi paliasa. Melalui


pemilihan metode secara acak diharapkan menghasilkan gambaran yang lebih
beragam terhadap pengharapan masyarakat dan pandangannya sehingga
nantinya dapat dirumuskan secara lebih komprehensip, strategi konservasi
paliasa berbasis masyarakat. Mereka yang mengkonservasi paliasa diharapkan
tidak hanya individu-individu yang tahu tentang manfaat paliasa semata,
namun melalui metode ini nantinya setiap/semua masyarakat dalam wilayah
administrasi tersebut dimana di sekitar lingkungan hidupnya terdapat
tumbuhan paliasa, juga mau melestarikan tumbuhan ini.

Pengolahan dan Analisis Data

Etnobotani Paliasa

Kebutuhan manusia dapat terpenuhi karena adanya hubungan timbal balik


dan pemanfaatan potensi sumberdaya alam yang ada. Suatu tumbuhan dalam
masyarakat tidak hanya bersifat tunggal namun keberadaan tumbuhan tersebut
memiliki latar belakang yang beraneka ragam. Paliasa merupakan salah satu spesies
tumbuhan yang berpotensi sebagai tumbuhan obat yang dipercaya dapat
menyembuhkan berbagai macam penyakit, lazimnya diolah menjadi obat
tradisional.
Obat tradisional berperan sejak dahulu berdasarkan pengalaman orang tua
terdahulu oleh karenanya masyarakat mencari dan memanfaatkan tumbuhan
sebagai obat hanya berdasarkan informasi dari keluarga atau tetangga saja. Bagian
tumbuhan paliasa tersebut hampir semua dapat dimanfaatkan mulai dari akar,
batang, daun, bunga, buah dan biji. Pada tabel berikut akan menggambarkan secara
deskriptif pemanfaatan paliasa oleh masyarakar Kecamatan Bontobahari.

Tabel 2 Rincian pemanfaatan paliasa oleh masyarakat Kecamatan Bontobahari


Bagian Macam pemanfaatan
No.
tumbuhan A B C D E F Keterangan
1. Akar √ tempat/daerah
2. Batang
a. Kulit batang √
b. Kayu/tunas √
3. Daun
a. Pucuk √
b. Muda √
c. Tua √
d. Kering √
4. Bunga
5. Buah √
Keterangan : A= pangan, B= bangunan, C= obat, D= upacara, E= kerajinan,
F= lainnya, √= ia
18

Bentuk Pemanfaatan Paliasa Oleh Masyarakat

Pengambilan data sebagian besar diperoleh dari hasil wawancara. Salerno et


al. (2005) Hasil wawancara tersebut menggunakan teknik semi terstuktur yaitu
dengan memberikan beberapa pertanyaan dan pilihan jawaban yang telah disiapkan
peneliti kepada responden namun ada pula pertanyaan yang tidak diberikan pilihan
jawaban sehingga dapat ditemukan keragaman pendapat dalam menjawab setiap
pertanyaan yang diajukan atau responden dapat menjawab pertanyaan sesuai
dengan pengetahuan mereka (Mardalis 2004). Data yang diperoleh tersebut
kemudian dianalisis secara deskriptif.

Kepadatan Populasi
Untuk menghitung kepadatan populasi maka menggunakan metode kuadrat
dengan rumus D= N/S, dimana D= kepadatan populasi N= jumlah individu S= luas
plot contoh.

Pemetaan Distribusi Tumbuhan Paliasa


Untuk mengetahui sebaran spasial K. hospita dilakukan dengan menggunkan
analisis spasial terhadap citra google earth resolusi tinggi yang memuat daerah
Kecamatan Bontobahari. Pada tahap awal, dilakukan koreksi geometrik terhadap
citra google earth, yaitu proses memproyeksikan data peta ke dalam suatu sistem
proyeksi peta tertentu.
Untuk memudahkan proses analisis penutupan lahan/vegetasi, dilakukan
pemotongan batas area penelitian pada citra sehingga diperoleh wilayah yang akan
di analisis saja. Pada penelitian ini adalah wilayah Kecamatan Bontobahari. Hasil
pemotongan citra ini, selanjutnya dilakukan digitasi dan klasifikasi tutupan
lahan/vegetasi yaitu hutan, belukar, kebun, kebun campuran, pemukiman, ladang,
kawasan industri, sawah, dan tambak.
Selanjutnya Posisi GPS lokasi titik temuan tumbuha paliasa dilapangan
kemudian di upload ke dalam file database (*.gpx) di dalam program ArcGIS 10.3
selanjutnya data ini di overlay dengan layer penutupan lahan hasil interpretasi citra
yang telah di clip dengan peta daerah Kecamatan Bontobahari sehingga menjadi
peta distribusi tumbuhan paliasa menurut tipe tutupan lahan di Kecamatan
Bontobahari dengan skala peta 1:50 000. Tahapan identifikasi sebaran spasial K.
hospita dan tutupan lahan/vegertasi ditunjukkan pada Lampiran 8.
Selanjutnya analisis data masyarakat yang diperoleh dari hasil wawancara
tentang potensi tumbuhan paliasa kemudian disusun dan dikelompokkan kedalam
(1) karakteristik masyarakat, (2) bagian dari tumbuhan paliasa yang digunakan atau
dimanfaatkan (3) cara pengelolaan dan pola konsumsi tumbuhan tersebut (4) upaya
konservasi oleh masyarakat. Selanjutnya data yang diperoleh dari hasil penelitian
tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif.

Pola Sebaran Spasial

Ada tiga tipe pola sebaran dalam suatu komunitas, yaitu acak (random),
mengelompok (clumped) dan seragam (uniform) (Gambar 6). Terbentuknya pola
sebaran tersebut dipengaruhi oleh berbagai mekanisme. Berbagai proses interaksi
baik biotik dan abiotik saling berkontribusi untuk membentuk pola sebaran tersebut.
19

Suatu pola sebaran acak dalam populasi organisme disebabkan oleh lingkungan
yang homogen dan pola perilaku non selektif sedangkan pola sebaran non-acak
(mengelompok dan seragam) menunjukkan adanya suatu pembatas pada populasi
yang ada (Ludwig & Reynolds 1988).
Pola mengelompok disebabkan oleh adanya individu-individu yang akan
berkelompok dalam suatu habitat yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Sebaran
seragam merupakan hasil dari adanya interaksi negatif antar individu, misalkan
adanya kompetisi atas makanan dan ruang tumbuh. Untuk mengetahui pola
penyebaran individu paliasa maka dapat dihitung dengan menggunakan Indeks
Morisita yang distandarisasi (Krebs 1989).
∑ 𝑛𝑖 (𝑛𝑖 −1)
IM = .N
𝑛 (𝑛−1)

Dimana :
IM = Indeks Morisita
N = jumlah plot contoh
n = jumlah total individu dalam seluruh sampel
ni = jumlah individu pada sampel ke-i

Koefisien ini relatif tidak bergantung pada kepadatan populasi tetapi


dipengaruhi oleh ukuran contoh (jumlah kwadrat). Jika mengikuti distribusi acak,
maka nilai Id < 0, distribusi seragam Id = 0, dan distribusi mengelompok Id > 0
Nilai indeks morisita yang diperoleh diinterpretasikan sebagai berikut:
id < 0, pemencaran individu cenderung acak
id = 0, pemencaran individu bersifat merata
id > 0, pemencaran individu cenderung berkelompok

Tahap selanjutnya setelah nilai IM didapatkan adalah menentukan apakah pola


spasial tersebut bersifat acak, mengelompok atau seragam. Dimana indeks yang
digunakan adalah standarisasi indeks Morisita = IP (Krebs 1989) dalam perhitungan
sebagai berikut :
1. Menentukan indeks seragam (Uniform indeks = Mu) dan indeks kelompok
(Clumped indeks = Mc) dengan persamaan berikut :

𝑥2
0,975−𝑛+∑ 𝑥𝑖
Mu = (∑ 𝑥𝑖 )−1
𝑥2
0,025−𝑛+∑ 𝑥𝑖
MC = (∑ 𝑥𝑖 )−1

Dimana :
Mu = indeks kehomogenan (Uniform index)
Mc = indeks pengelompolakan (Clumped indeks)
2
𝑋0,975.0,025 = nilai Chi-square tabel dengan derajat bebas n-1
N = jumlah plot/kuadrat
𝑋𝑖 = jumlah individu dalam plot/kuadrat

2. Menghitung indeks Morisita yang distandardisasi (Ip) dengan empat


persamaan sebagai berikut :
20

𝐼𝑑−𝑀𝑐
a. Jika IM ≥ Mc > 0 maka Ip = 0,5 + 0,5 ( 𝑛−𝑀𝑐 )
𝐼𝑑−1
b. Jika Mc > IM ≥ 0 maka Ip = 0,5 (𝑀𝑐−1)
𝐼𝑑−1
c. Jika 1,0 > IM > Mu maka Ip = -0,5 (𝑀𝑢−1)
𝐼𝑑−𝑀𝑢
d. Jiak 1,0 > Mu > IM maka Ip = -0,5 + 0,5 ( )
𝑀𝑢

3. Menentukan IP dengan selang kepercayaan 95 % (limit + 0,5 sampai - 0,5


dengan ketentuan :
Acak = IP : -0,5 sampai +0,5
Kelompok = IP : +0,5 sampai 1
Seragam = IP : -0,5 sampai -1

Indeks dispersi Morisita yang telah distandarisasi (Ip) berkisar antara -1


sampai 1, dengan batas kepercayaan 95% pada 0,5 dan -0,5. Pola acak memberikan
nilai Ip=0, pola mengelompok jika Ip>0, dan pola yang seragam jika Ip<0.

Gambar 6 Bentuk sebaran spasial a. Mengelompok, b. Acak, c. Seragam

Produktivitas Paliasa

Jenis data yang digunakan adalah data primer yang dikumpulkan melalui
pengamatan langsung di lapangan. Keseluruhan data tersebut kemudian
dikumpulkan dan diolah untuk selanjutnya dianalisis. Analisis data yang akan
dilakukan untuk mengetahui produktivitas daun paliasa dalam satu periode panen
yaitu dengan menggunakan model matematis pertumbuhan.
Hasil kajian beberapa literatur fungsi pertumbuhan adalah model yang
berasimtot dimana model tersebut sering digunakan dalam fenomena-fenomena
biologi. Alasan penggunan model persamaan tersebut adalah model ini tepat
digunakan untuk mengukur sebuah fenomena pertumbuhan yang berbentuk
sigmoid sepanjang waktu pertumbuhan. Model produksi daun dalam satu periode
panen diukur tegakan tumbuhannya dengan menghitung diameter pohon, cabang
produktif dan anak cabang produktif pada satu pohon untuk mengetahui berapa
banyak daun yang dihasilkan satu pohon dalam satu periode panen.

Upaya Pelestarian Paliasa

Data mengenai upaya konservasi yang dilakukan oleh masyarakat diperoleh


dengan melakukan wawancara secara mendalam (in depth interview) terhadap
masyarakat dan melihat langsung apakah ada atau tidak kegiatan konservasi yang
21

dilakukan oleh masyarakat. Wawancara dilakukan untuk mengetahui bentuk


pemanfaatan paliasa bagi masyarakat dan apakah terdapat suatu aturan dalam
masyarakat untuk mengkonservasi paliasa.
Hal ini penting sebagai acuan dalam melakukan konservasi terhadap paliasa
karena terdapat aturan yang tidak tertulis dalam masyarakat tersebut. Analisis ini
juga untuk melihat upaya apasaja yang telah dilakukan oleh masyarakat dan kendala
apasaja yang dihadapi oleh masyarakat dalam upaya menjaga kelestarian paliasa di
hutan ataupun dilahan yang lain sehingga akan diperoleh data mengenai faktor-
faktor yang berpengaruh dalam upaya konservasi paliasa.
Hal paling penting untuk dapat mewujudkan konservasi seperti apa yang
diharapkan adalah dengan adanya kerelaan berkorban untuk melakukan konservasi
(Zuhud 2007). Tri_stimulus AMAR konservasi merupakan suatu alat untuk
mengimplentasikan pengelolaan kawasan konservasi (Gambar 6). Nilai alamiah
adalah nilai-nilai kebenaran di alam dimana paliasa ini tubuh dan berkembang pada
lahan-lahan terbuka hampir diseluruh tipe lahan yang ada di Kecamatan
Bontobahari. Habitus berupa pohon dengan cabang-cabang yang banyak (Aspan et
al. 2008) Nilai manfaat berkaitan erat dengan pandangan praktis atau pragmatis
yang bahkan menjadi pegangan banyak orang terutam apabila dikaitkan dengan
kenyataan dan tujuan yang ingin dicapai baik pada tingkat individu, kelompok
maupun masyarakat (Zuhud 2007).
Nilai rela, moral dan spiritual berkaitan dengan konservasi tumbuhan yaitu
berupa nilai kearifan tradisional yang dimiliki oleh masing-masing masyarakat.
Menurut Zuhud (2007) stimulus rela-religius sangat berpengaruh dan efektif
mendorong terwujudutnya sikap dan perilaku untuk aksi konservasi.

Gambar 7 Diagram alir “tri-stimulus amar pro-konservasi”: stimulus, sikap dan


perilaku aksi konservasi (Zuhud et al. 2007).
22

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui langkah-langkah konservasi paliasa


yang telah dan akan dilakukan, seberapa besar manfaat paliasa dalam kehidupan
mereka, dan adakah kerelaan atau aturan dalam masyarakat untuk menanam
tumbuhan paliasa. Berdasarkan analisis ini dapat dilihat faktor yang mempengaruhi
kelestarian paliasa pada lokasi, upaya pelestarian paliasa dapat dilakukan serta siapa
saja yang mampu berperan dalam upaya konservasi paliasa. Faktor ini dapat dilihat
dari segala aspek seperti ekologi, sosial, dan ekonomi. Berdasarkan hasil tersebut
maka dapat dilakukan suatu upaya demi menjaga kelestarian tumbuhan berpotensi
tersebut yakni paliasa serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

LOKASI PENELITIAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Wilayah Kecamatan Bontobahari merupakan kecamatan yang paling ujung


selatan dari pulau sulawesi dari ibukota Tanah Beru dan merupakan salah satu
Kecamatan yang berada di Kabupaten Bulukumba Timur. Secara geografis wilayah
Kecamatan Bontobahari ini berbatasan langsung dengan daerah kecamatan Bonto
Tiro dan Ujung Loe yang terletak disebelah Utara, sebelah Timur teluk Bone,
sebelah Selatan Selat Selayar dan Kabupaten Selayar sedangkan disebelah Barat
adalah Laut Flores.
Secara administrasi pemerintahan Kecamatan Bontobahari terbagi menjadi
empat desa (Ara, Bira, Darubiah, Lembanna) dan empat kelurahan (Tanah Beru,
Tanah Lemo, Sapolohe, Benjala), secara keseluruhan berdasarkan penggunaan
lahan Kecamatan Bontobahari terdiri dari hutan, ladang, belukar, kawasan industri,
kebun campuran, pemukiman, sawah dan tambak.
Kecamatan Bontobahari merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian
tempat 0-150 mdpl dengan kondisi tanah kars (vegetasi tanah kapur). Kecamatan
Bontobahari mempunyai suhu rata-rata berkisar antara 23,82 ºC–27,68 ºC dan
Curah hujan antara 800–1000 mm/tahun termasuk daerah dengan curah hujan
rendah. Bontobahari memiliki hutan suaka margasatwa dan pada tahun 2004 beralih
nama menjadi tahura (taman hutan raya) berdasarkan surat keputusan menteri
kehutana RI nomor: 721/Menhut-II/2004 secara administrasi kawasan tahura
berada di kelurahan Tanah Lemo Kecamatan Bontobahari.

Letak dan Posisi Geografis

Wilayah Kecamatan Bontobahari merupakan kecamatan yang paling ujung


selatan dari pulau Sulawesi dari ibukota Tanah Beru dan merupakan salah satu
kecamatan yang berada di Kabupaten Bulukumba Timur. Secara geografis,
Kecamatan Bontobahari terletak pada 05°31' - 05°40' LS dan 120°21' - 120°28' BT.
Wilayah tersebut berbatasan langsung dengan daerah Kecamatan Bonto Tiro dan
Ujung Loe yang terletak disebelah Utara, Teluk Bone disebelah Timur, Selat
Selayar dan Kabupaten Selayar disebelah Selatan sedangkan disebelah Barat adalah
Laut Flores.
Secara administrasi, pemerintahan Kecamatan Bontobahari terbagi menjadi
empat desa (Ara, Bira, Darubiah, Lembanna) dan empat kelurahan (Tanah Beru,
23

Tanah Lemo, Sapolohe, Benjala). Secara keseluruhan berdasarkan penggunaan


lahan, Kecamatan Bontobahari terdiri dari hutan, ladang, belukar, kawasan industri,
kebun campuran, pemukiman, sawah dan tambak, seperti yang disajikan pada
Gambar 8. Merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian tempat 0-150
mdpl.

Gambar 8 Peta lokasi penelitian dan titik sebaran tumbuhan paliasa (Kleinhovia
hospita L) yang ditemukan pada beberapa tipe penggunaan lahan di
Kecamatan Bontobahari.

Kondisi Lingkungan di Kecamatan Bontobahari

Curah hujan disuatu tempat dipengaruhi oleh kondisi iklim, topografis dan
pertemuan arus udara. Oleh sebab itu, jumlah curah hujan sangat beragam menurut
bulan. Adapun data curah hujan yang diperoleh di lokasi penelitian dapat
ditampilkan pada Gambar 9.
24

500
450
400
350
mm/Tahun

300
250
200
150
100
50
0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGST SEP OKT NOP DES

Bulan
2011 2012 2013 2014 2015

Gambar 9 Data curah hujan rata-rata dalam kurung waktu lima tahun terakhir
Berdasarkan data curah hujan bulanan yang diperoleh dari stasiun
Bontobahari/tanahberu dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2011 hingga 2015),
diketahui bahwa pola curah hujannya bervariasi yakni berkisar antara 893 mm
sampai 1 368 mm pertahun (BBMKG 2016). Berdasarkan Gambar 16,
menunjukkan bahwa curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 2013 yaitu rata-rata
114.00 mm dan terendah tahun 2015 yakni 74.42 mm. Selain itu dapat diketahui
pula bahwa rata-rata curah hujan selama lima tahun menunjukkan bahwa curah
hujan tertinggi terjadi pada bulan Mei sebesar 211.6 mm sedangkan curah hujan
terendah terjadi pada bulan Agustus sebesar 9.4 mm (BBMKG 2016).
Wilayah Kecamatan Bontobahari merupakan daerah dengan curah hujan
terendah diantara daerah yang lain yang berada dalam lingkup Kabupaten
Bulukumba, hal tersebut mungkin dikarenakan bahwa wilayah tersebut sangat
dipengaruhi oleh iklim laut. Jika ditinjau dari data suhu yang diperoleh dari stasiun
Paotere dalam kurun waktu lima tahun terakhir maka dapat diketahui bahwa
wilayah penelitian memiliki suhu antara 26°C hingga 29°C. Hubungan antara curah
hujan dan suhu udara di wilayah tersebut menunjukkan bahwa rata-rata perubahan
suhu menjadi turun akibat curah hujan yang meningkat, hal tersebut juga dapat
disebabkan oleh faktor iklim lainnya seperti intensitas cahaya matahari.
Kecamatan Bontobahari sebagai wilayah penelitian merupakan daerah yang
banyak ditemukan tumbuhan paliasa karena hampir ditemukan disetiap tutupan
lahan walaupun keberadaannya bervariasi. Kondisi iklim yang terjadi di wilayah
tersebut sangat berpengaruh untuk pertumbuhan paliasa salah satunya adalah
intensitas cahaya matahari. Faktor perbedaan kondisi lingkungan ini menyebabkan
perbedaan pada jumlah individu tumbuhan yang tumbuh pada kawasan tersebut.
Hasil pengukuran suhu yang dilakukan dilapangan berkisar antara 28°C
hingga 33°C. Kisaran suhu udara untuk wilayah tropis yaitu 25-32°C, kisaran suhu
di wilayah penelitian masih tergolong normal yang ternyata tidak jauh berbeda
dengan kondisi lingkungan yang berada di lahan kebun khususnya di Bontobahari
yakni berkisar antara 27°C-32°C.
25

Monografi Penduduk Kecamatan Bontobahari

Berdasarkan data sumberdaya manusia dari data BPS (Badan Pusat Statistik)
Kabupaten Bulukumba tahun 2016 bahwa jumlah penduduk daerah Kecamatan
Bontobahari adalah 25 040 jiwa dimana untuk jenis kelamin laki-laki sebanyak 11
382 jiwa sedangkan perempuan sebanyak 13 658 jiwa data tersebut menunjukkan
bahwa jenis kelamin perempuan lebih mendominasi dibandingkan dengan jenis
kelamin laki-laki. Banyaknya dusun yang ada di daerah ini sebesar 26, RW 59 dan
RT sebesar 122, mayoritas penduduk beragama islam (BPS Bulukumba 2016).
Data total luas lahan tanaman pangan di Kecamatan Bontobahari sebesar
1023 ha, sementara untuk lahan perkebunan 1386 ha dengan luas lahan tersebut
mencerminkan bahwa penduduk setempat berprofesi sebagai petani. Walaupun
demikian sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah nelayan hal tersebut
dikarenakan wilayah Kecamatan Bontobahari merupakan wilayah pesisir yang
berbatasan langsung dengan laut dengan total luas wilayah Kecamatan Bontonahari
sebesar 108.00 km2 (BPS Bulukumba 2016).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Etnobotani Paliasa (Kleinhovia hospita L)

Karakteristik Responden
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat lokal daerah Kecamatan
Bontobahari diperoleh sekitar 30 responden yang diwawancarai, masing-masing
terdiri dari 17 orang (56.7%) perempuan dan 13 orang (43.3%) laki-laki, jumlah
responden lebih banyak perempuan dibanding laki-laki hal tersebut dikarenakan
perempuan memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih luas dibandingkan
laki-laki faktor lain mengapa responden laki-laki lebih sedikit karena pada saat
melakukan wawancara mereka sedang melakukan aktifitas keseharian yakni
bekerja.
Ditinjau dari segi umur responden, sebagian besar responden telah berumur
sekitar 40 hingga lanjut usia. Masyarakat yang berusia tua lebih banyak yang
mengetahui dan paham tentang kegunaan serta pemanfaatan tumbuhan paliasa bagi
kehidupan mereka. Adapun responden yang diwawancarai terdiri dari kepala desa
atau kelurahan, masyarakat yang berprofesi sebagai dukun (ahli pengobatan) serta
masyarakat lokal yang lain. Sementara mata pencarian masyarakat Kecamatan
Bontobahari sebagian besar adalah nelayan, peternak, berladang dan pengajar.
Pendidikan rata-rata responden adalah SMA (Sekolah Menengah Atas).

Struktur Umur
Berdasarkan data dalam kelompok umur diperoleh responden yang
diwawancarai termasuk dalam kelompok umur yang beragam mulai dari kategori
umur muda (17-30), tua (31-50) hingga lanjut usia (>50) adapun jumlah responden
dari hasil wawancara diperoleh sebanyak 30 responden diantaranya 10 orang untuk
kategori muda, 15 orang untuk kategori tua dan 5 orang untuk kategori lansia.
Data struktur umur responden dapat ditampilkan pada (Gambar 18). Kelompok
26

umur yang relatif banyak diwawancarai adalah kelompok umur dalam kategori tua
hal ini disebabkan kategori umur tua yang paling banyak mengetahui tentang
paliasa, manfaat paliasa dan telah berpengalaman meramu dan bagaimana cara
penggunaannya sebagai tumbuhan obat. Sedangkan untuk kategori umur muda
relatif sangat sedikit yang mengetahui tentang tumbuhan paliasa, sehingga
penelitian secara berkelanjutan dilakukan dengan adanya penyuluhan dan edukasi
tentang pentingnya mengkonsumsi paliasa sebagai bahan obat tradisional yang
telah dipercaya oleh masyarakat setempat dalam penyembuhan penyakit kuning,
hipertensi, perasaan lelah sehabis bekerja dan juga sebagai salah satu obat yang
diberikan kepada hewan ternak.
Di masyarakat paliasa ini juga dipercaya sebagai salah satu tumbuhan yang
digunakan dalam upacara adat keagamaan sehingga pemanfaatannya sangat perlu
untuk dikembangkan secara berkelanjutan. Dengan adanya penyuluhan diharapkan
masyarakat khususnya kategori umur muda dapat lebih mengetahui apa saja
kandungan dari paliasa sehingga mereka percaya secara ilmiah bahwa penggunaan
paliasa sebagai obat tradisional yang selama ini dikonsumsi oleh sebagian
masyarakat sangatlah aman terhadap kesehatan karena telah diuji oleh beberapa
peneliti sebelumnya seperti (Waston & Dalwit 2002) tentang maanfaat kandungan
paliasa yang dapat dilihat pada (Halaman 5) pada sub bab manfaat dan kandungan
kimia paliasa. Upaya pengembangan tumbuhan paliasa kedepan baik dalam bentuk
jamu maupun teh sangat baik dan lebih praktis dalam penggunaan tumbuhan obat
di samping itu rencana pengembangannya dapat menunjang perekonomian
masyarakat maupun daerah.

17% 33%

50%

Muda Tua Lansia

Gambar 10 Komposisi struktur umur responden (%) (N= 30 responden)

Tingkat Pendidikan
Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
responden di daerah Kecamatan Bontobahari sebagian besar sudah tergolong
terpelajar hal ini dapat di sajikan pada (Tabel 3) dimana 2 orang responden dengan
status tidak bersekolah, 5 orang tamatan SD, 1 orang tamatan SMP, 12 orang
tamatan SMA dan 10 orang merupakan tamatan S1. Hasil wawancara menunjukkan
bahwa tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap pengetahuan status paliasa
sehingga perlu adanya pemahaman terhadap masyarakat dalam mengkaji paliasa
yang pemanfaatannya dapat berkelanjutan sebagai bahan baku yang berpotensi di
daerah Kecamatan Bontobahari. Dalam hal ini masyarakat setempat beserta
dukungan dari pemerintah sangat berpengaruh dalam mewujudkan pengembangan
usaha obat tradisional dengan bahan baku tumbuhan paliasa, dengan adanya usaha
tersebut sehingga kelestarian paliasa dapat terjaga.
27

Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa responden dari tingkat pendidikan


SMA merupakan responden terbanyak yang diwawancarai namun dalam hal
pengetahuan paliasa hanya sebagian besar dari mereka yang tahu akan bentuk
morfologi dan manfaat paliasa, begitupun dengan responden yang berstatus
mahasiswa. Hasil wawancara menunjukkan bahwa mahasiswa yang mengetahui
akan paliasa sebagian besar diketahui dari artikel-artikel yang pernah mereka baca
sebelumnya tentang paliasa dan manfaatnya, sementara status responden yang tidak
bersekolah megetahui paliasa dari pengalaman mereka dalam menggunakan dan
mengkonsumsi sendiri secara tradisional. Penggunaan tumbuhan paliasa sebagai
bahan baku obat telah diketahui sejak lama oleh masyarakat terdahulu, masyarakat
yang mengetahui tumbuhan paliasa adalah masyarakat yang berprofesi sebagai
“sanro” (ahli pengobatan) dari hasil wawancara diketahui bahwa sanro tersebut
tidak pernah mengecap bangku pendidikan dalam hal ini bahwa responden tersebut
tidak sekolah. Bahkan usia responden tergolong dalam usia tua atau lanjut usia.
Adanya pengalaman dari masyarakat Bontobahari dalam meramu paliasa
serta hasil-hasil penelitian terhadap kandungan paliasa yang mendukung sehingga
dipercaya dapat menyembuhkan penyakit kuning, sakit kepala, demam dan
sebagainya sehingga sangat memungkinkan untuk menerapkannya sebagai salah
satu obat yang dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Tabel 3 Komposisi tingkat pendidikan
Pendidikan Jumlah Responden (orang) Presentase P L
(%)
SD 5 16.7 3 2
SMP 1 3.3 1 0
SMA 12 40.0 5 7
Mahasiswa 10 33.3 7 3
Tidak Sekolah 2 6.7 1 1
Total 30 100 17 13

Pengetahuan Pemanfaatan Paliasa Oleh Masyarakat


Etnobotani merupakan kajian interaksi antara manusia dengan tumbuhan atau
diartikan sebagai studi mengenai pemanfaatan tumbuhan pada suatu budaya
tertentu (Martin 1995). Etnobotani digunakan sebagai salah satu usaha
mendokumentasikan pengetahuan masyarakat tradisional bagaimana mereka
memanfaatkan jasa tumbuhan untuk menunjang kehidupannya seperti bahan
makanan, pengobatan, upacara adat budaya, keagamaan dan lainnya.
Etnobotani memberikan manfaat yang besar dalam proses pengenalan
sumberdaya alam yang ada disuatu wilayah melalui kegiatan pengumpulan kearifan
lokal dari masyarakat setempat. Pengetahuan tradisional akan pemanfaatan
tumbuhan terancam hilang dari keberadaan suatu masyarakat. Menurut Sastrapradja
dan Rifai (1989) hilangnya kearifan tradisional atau berbagai spesies tumbuhan dan
variasinya belum sempat diketahui dan dikaji informasinya karena kondisi
lingkungan berubah dengan cepat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
masyarakat Kecamatan Bontobahari memanfaatkan tumbuhan paliasa sebagai
bahan obat, bahan pelengkap keperluan ritual adat budaya dan keagaman
28

masyarakat lokal serta bahan penghasil tali. Data selengkapnya dapat disajikan pada
Tabel 4.

Tabel 4 Komposisi dan pemanfaatan paliasa oleh masyarakat Kecamatan


Bontobahari
Paliasa (Kleihovia hospita L)
No.
Bagian yg Kegunaan Komposisi Cara pengolahan Peruntukan
digunakan
1 Kulit Pengobatan Serat kulit Potong kecil Sakit kepala
batang luar batang batang paliasa berat disertai
paliasa, 7 dan akar rasa nyut-nyut
butir biji tambaro’go,
merica, tumbuk halus
akar/ serat merica. Semua
batang dimasukkan
tumbuhan kedalam wadah
tambaro’go berisi air,
(lampiran 5) direbus
2 Kulit Pengobatan Paliasa dan Semua serat Sakit pada
batang penyakit kayu cina kulit batang bagian dada
dalam (serat kulit paliasa dan kayu hingga muntah
batang) cina direbus darah
secukupnya hingga mendidih
(lampiran 7) kedalam wadah
berisi 2-3 gelas
air hingga
menyisahkan 1
gelas air.
Diminum setiap
pagi sebelum
makan.
3 Kulit Zimat Kulit Kulit batang Zimat atau
batang batang paliasa penangkal
paliasa diletakkan di makhluk halus,
dalam potongan dipercaya
kain bersih, dapat
dibungkus lalu mencegah
dijahit terjadinya
mara bahaya.
4 Daun Pengobatan Daun Semua daun Kurang nafsu
pada hewan Paliasa direbus hingga makan akibat
ternak secukupnya mendidih, sakit perut
diberikan pada
hewan ternak
29

Tabel 4 Komposisi dan pemanfaatan paliasa oleh masyarakat Kecamatan


Bontobahari (lanjutan)
5 Daun Nilai Magis Daun Daun paliasa Selamatan atas
paliasa disebar diseluruh bentuk
bagian tiang kesyukuran
rumah (rumah kepada Sang
panggung) sudut Pencipta atas
rumah (jika rumah rezeki yang
permanen) yang diberikan
diberi sesajen selama tinggal
dalam rumah
tersebut.
6 Daun Nilai Magis Daun Semua spesies Songko bala
(keperluan paliasa, daun digabung (istilah agar
ritual adat cocor bebek menjadi satu terhindar dari
dan (Calanchoe bagian dalam mara bahaya
keagamaan) pinnata), wadah berisi air atau tolak bala)
daun bitti yang langsung dan meminta
(Vitex dari sumbernya. hanya rezeki
cofassus), Keragaman jenis kebaikan yang
daun kayu daun memiliki datang
cina makna tersendiri
(lampiran
4), daun
kelapa,
daun
tinappasa
(lampiran
6), daun
karet kebo
(ficus
elastica), air
secukupnya
7 Daun Pengobatan Daun Semua daun Luka yang
luar paliasa diremas-remas terbuka dapat
secukupnya atau ditumbuk, pula
diberikan pada dikompreskan
bagian yang pada perut yang
memar atau sakit
terluka (dibalut
atau
dikompreskan)
30

Tabel 4 Komposisi dan pemanfaatan paliasa oleh masyarakat Kecamatan


Bontobahari (lanjutan)
8 Daun Pengobatan 7-9 daun Semua daun Penyakit (liver,
penyakit paliasa, air direbus sebanyak hepatitis,
dalam 3 gelas 3 gelas air hingga hipertensi,
mendidih sampai diabetes,
tersisa satu gelas. kolesterol)
Diminum pada serta sakit perut
pagi hari sebelum
makan dan malam
sebelum tidur.

Pengetahuan adalah hasil ‘tahu’, yang didapatkan seseorang setelah


melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan termasuk ke
dalam faktor intern yang mempengaruhi perilaku seseorang (Notoatmodjo 2007).
Sistem pengetahuan tentang alam dan tumbuh-tumbuhan merupakan pengetahuan
dasar yang amat penting bagi masyarakat lokal dalam mempertahankan
kelangsungan hidup mereka. Seiring berjalannya waktu ekosistem tempat mereka
hidup pun mengalami perubahan. Sistem komunikasi dan informasi dari luar
menyebabkan nilai-nilai budaya yang selama ini tumbuh dan berkembang di
masyarakat ikut berkembang.
Salah satu potensi yang dimiliki dalam lingkup daerah Kecamatan
Bontobahari adalah tumbuhan paliasa, dimana tumbuhan tersebut tumbuh dan
menyebar dihampir seluruh tutupan lahannya. Untuk mendapatkan informasi
tentang tumbuhan paliasa ini maka pengetahuan pemanfaatan tumbuhan paliasa
diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap masyarakat Kecamatan
Bontobahari yang ditinjau dari tingkat pendidikan, jenis kelamin, usia, pekerjaan
serta jarak terdekat antara pemukiman penduduk dengan lahan.
Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa dari total keselurahan
responden hampir sebagian besar masyarakat mengetahui tumbuhan paliasa, namun
umur responden dalam kategori dewasa dan lanjut usia lebih banyak yang
mengetahui dan memahami mengenai tumbuhan paliasa. Hal tersebut dikarenakan
pengalaman mereka terkait pemanfaatan tumbuhan paliasa disamping itu mereka
masih sering menerapkan penggunaan tumbuhan tersebut sebagai salah satu
tumbuhan obat tradisional dan bahan pelengkap yang digunakan dalam upacara
adat atau ritual adat budaya serta acara-acara keagamaan lainnya.
Menurut responden kunci (key person) yakni kepala desa dan dukun (ahli
pengobatan) mengungkapkan bahwa tumbuhan tersebut memiliki potensi sebagai
obat dalam dan anti nyeri, pernyataan tersebut diperkuat oleh hasil penelitian
Waston dan Dalwit (2002) dimana menemukan bahwa pada daun, kulit, dan batang
K. hospita telah teridentifikasi mengandung minyak atsiri, triterpenoid, sianogenin,
asam lemak dan siklopropenil. Lanjut dari pada itu Hill dan Connolly (2016)
menegaskan bahwa triterpenoid yang terdapat pada tumbuhan paliasa merupaka
senyawa metabolit yang dapat mencegah penyakit kanker dan anti diabetes.
Informasi lain yang diperoleh dari responden menyatakan bahwa daun paliasa
dapat mengobati penyakit liver atau penyakit kuning, hepatitis, muntah darah dan
31

sakit kepala, dari hasil penelitian Raflizar dan Sihombing (2009) menegaskan
adanya kandungan kimia yang dapat menghambat hingga menyembuhkan penyakit
tersebut dimana dijelaskan pada (Halaman 6) Sub Bab manfaat dan kandungan
kimia paliasa. Selain itu Masyarakat yang berprofesi sebagai petani yang memiliki
hewan ternak juga sering menggunakan bagian tumbuhan paliasa yakni bagian
daunnya yang direbus untuk diberikan kepada hewan ternak mereka yang
mengalami gejala sakit perut dengan ciri-ciri konsumsi makannya yang berkurang
dan bahkan tidak makan sama sekali.
Daun paliasa juga sering digunakan oleh sebagian masyarakat untuk
mengobati luka mereka, dari pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian
Soekamto et al. (2008) yang menyatakan bahwa daun tumbuhan paliasa
mengandung zat anti antiseptik alami yang dimanfaatkan untuk membunuh bakteri-
bakteri pemicu terjadinya infeksi pada luka. Lanjut penelitian (Soekamto et al.
2010) tentang senyawa kimia yang terdapat pada paliasa serta efek manfaatnya
dapat dilihat pada (Halaman 6) Sub Bab manfaat dan kandungan kimia palisa. Lain
daerah lain pula cara meramu bagian dari tumbuhan tersebut, sehingga ada
perbedaan dari setiap masyarakat dalam menyajikan hingga mengkonsumsi ramuan
dari tumbuhan paliasa.
Pendapat beberapa manyarakat menyatakan bahwa yang paling berkhasiat
dikonsumsi dari tumbuhan paliasa adalah bagian irisan-irisan atau serat batangnya,
kerena menurut mereka apabila menggunakan daun biasanya terdapat lendir-lendir
pada daun tersebut sehingga kurang nyaman apabila dikonsumsi. Berbeda dengan
salah satu responden lain yang menyatakan bahwa mereka telah mengkonsumsi
bagian dari daun tumbuhan paliasa kurang lebih 8 tahun dan efeknya sangat baik,
menurutnya yang dirasakan setelah mengkonsumsi tubuhnya terasa ringan dan
segar, efek yang di timbulkan adalah mengeluarkan keringat, adanya nafsu makan
serta kualitas tidur yang lebih baik. Berdasarkan pernyataan yang dikemukakan
oleh beberapa masyarakat pun dapat diperkuat oleh penemuan Arung et al. (2009)
yang menyatakan bahwa ekstrak dari daun tumbuhan paliasa menghasilkan
senyawa antioksidan kuat dan senyawa yang dapat mengeluarkan racun pada sel
kanker hingga mencapai (96 %).
Selain sebagai tumbuhan obat, tumbuhan paliasa juga memiliki fungsi lain
yakni sebagai tumbuhan peneduh, habitat bagi satwa, serta pakan bagi satwa seperti
burung dan serangga. Terdapat salah satu tokoh masyarakat yang berada di
Kecamatan Bontobahari tepatnya di Kelurahan Tanah Lemo yang bernama Arifin.
Beliau tinggal di kawasan yang dekat dengan Tahura (Taman Hutan Raya), beliau
merupakan masyarakat yang banyak berperan dalam melestarikan tumbuhan
paliasa yang berada dihutan menurutnya tumbuhan tersebut merupakan salah satu
tumbuhan pakan bagi lebah-lebah yang beliau budidayakan di dalam hutan.
Disamping beliau membudidayakan lebah, beliaupun mengamati pakan lebah
dengan mencari tahu bahwa dari bunga tumbuhan apa saja yang diperoleh lebah-
lebah tersebut, hingga beliau menemukan bahwa nektar bunga dari paliasa adalah
salah satu pakan lebahnya.

Pemanfaatan Lain
Pemanfaatan lain dari paliasa berdasarkan hasil wawancara oleh masyarakat
setempat adalah sebagai pengobatan luar. Masing-masing masyarakat lokal
memiliki pengalaman dan kepercayaan tertentu yang mempengaruhi
32

pengetahuannya terhadap manfaat paliasa. Pengetahuan Pemanfaatan paliasa pada


sebagian komunitas belum diketahui dan dikenal secara luas. Pemanfaatan paliasa
untuk pengobatan luar berdasarkan informasi yang dikemukakan oleh beberapa
masyarakat yang berperan sebagai “sanro” (sebutan bagi ahli pengobatan atau
dukun) yaitu memanfaatkan daun tumbuhan paliasa sebagai pengobatan luar yang
digunakan seperti untuk “pallopu” (istilah masyarakat lokal Kecamatan
Bontobahari untuk kompres dalam meringankan rasa sakit pada bagian tertentu).
Berbeda dengan “sanro” yang lain dimana beliau menggunakan potongan-
potongan kulit batang paliasa sebagai “pallopu” yang diramu dengan beberapa
campuran bahan-bahan lain yang terdiri dari akar tumbuhan “tambaro’go” yang
tumbuh di pesisir pantai namun akar yang digunakan adalah akar yang muncul di
atas permukaan tanah akibat abrasi pantai. Selain itu bahan campuran lain adalah
biji merica (Piper nigrum) kemudian diramu dengan cara direbus atau ditumbuk
hingga halus lalu hasil rebusannya ataupun ekstrak dari tumbuhan yang ditumbuh
tadi dikompreskan pada kepala yang terasa pusing berat.
Menurut para pakar pengobatan ramuan tradisional tersebut harus lengkap
untuk mendapatkan khasiat obat yang lebih baik. Pemanfaatan lain dari daun
paliasa bagi sanro yakni digunakan sebagai zimat campuran atau pelengkap
tumbuhan lain yang dijadikan “pa’ dingin-dingin” atau songkobala (tolak bala)
pada acara-acara ritual adat, acara keagamaan, serta acara peringatan hari besar
lainnya.

Bahan Ritual Adat Tradisional


Masyarakat lokal Kecamatan Bontobahari menggunakan bagian tumbuhan
paliasa (Kleinhovia hospita) sebagai pelengkap sajian ritual adat dan keagamaan.
Ada beberapa nama dan cara penggunaannya diantaranya dengan menggabungkan
daun paliasa tersebut dengan beberapa jenis tumbuhan lain yang dianggap memiliki
arti dan makna tertentu. Salah satu kegunaan dari paliasa menurut masyarakat yaitu
dijadikan sebagai bahan pelengkap untuk “songko bala” (tolak bala).
Daun dari tumbuhan paliasa dan tumbuhan lain (Tabel 8) di masukkan
kedalam wadah yang berisi air kemudian membaca mantra atau dengan
membacakan ayat-ayat suci oleh dukun atau “guru” (guru ngaji), yaitu dengan
memohon perlindungan oleh sang maha pencipta serta memohon rezeki dunia,
akhirat. Makna dari daun paliasa dari hasil wawancara terhadap responden yaitu
akan selalu diberi rezeki oleh sang pencipta, seperti yang terlihat pada tumbuhan
paliasa yakni diibaratkan walaupun tumbuhannya terlihat memiliki batang pohon
yang lemah namun daunnya selalu terlihat lebat dan subur.
Di samping itu daun dari paliasa ini juga digunakan sebagai wadah untuk
meletakkan sajian-sajian yang dibuat oleh dukun pada acara-acara selamatan atau
syukuran dimana daun paliasa tersebut akan diletakkan disetiap tiang rumah atau
sudut rumah yang menandakan bahwa disetiap sudut rumah selalu ada malaikat
yang akan selalu melindungi sehingga tercipta kedamain dan ketenteraman didalam
rumah tersebut. Selain daripada itu paliasa juga digunakan untuk keperluan seperti
upacara pernikahan, syukuran atas keberhasilan hasil panen, usaha dan hasil kerja
yang lain serta ritual kematian.
Bagian dari tumbuhan paliasa disamping sebagai bahan ritual juga dapat digunakan
sebagai zimat menurut kepercayaan masyarakat setempat namun bagian yang
digunakan adalah potongan kulit batang tumbuhannya, menurut hasil wawancara
33

oleh ahli pengobatan (dukun) menyatakan bahwa batang tumbuhan paliasa


memiliki nilai mistik mereka percaya bahwa batang paliasa yang dijadikan sebagai
zimak dapat dipercaya untuk mengusir roh jahat dan melindungi kita dari mara
bahaya.

Populasi Paliasa

Umumnya tumbuhan paliasa tumbuh dan berkembang di hutan dan lahan


terbuka. Kecamatan Bontobahari memiliki beberapa tipe tutupan lahan (hutan,
belukar, kebun, kebun campuran, pemukiman, ladang, sawah, tambak dan kawasan
industri). Namun yang potensial sebagai habitat tumbuhan paliasa hanya ditemukan
pada enam tipe tutupan lahan. Hasil pengamatan menyatakan bahwa jumlah
populasi paliasa (Kleinhovia hospita L.) yang ditemukan di Kecamatan
Bontobahari dari keseluruhan enam tipe penggunaan lahan mencapai 597 individu
dimana hasil perhitungan kepadatan populasi dapat disajikan pada (Tabel 5).

Tabel 5 Kepadatan populasi paliasa per hektar (Ha) pada enam tipe penggunaan
lahan
Tipe Kepadatan
penggunaan Ciri lahan Paliasa/Ha 𝑋̅
lahan 1 2 3 Ha
Hutan Tumbuhan alami dengan
75 39 90 68
keanekaragamannya yang tinggi
Kebun Lahan tanaman pertanian jangka
102 15 148 88.33
panjang
Kebun Tanaman pertanian dengan
54 5 2 22.33
campuran beberapa spesies
Ladang Tanaman pertanian jangka
13 0 0 4.33
pendek (musiman)
Belukar Hamparan lahan kosong yang
6 4 3 4.33
ditumbuhi gulma
Pemukiman Lingkungan rumah-rumah
31 5 5 13.66
penduduk

Berdasarkan hasil perhitungan dugaan populasi paliasa disetiap tipe


penggunaan lahan menunjukkan adanya perbedaan pada masing-masing tutupan
lahan. Kebun memiliki dugaan populasi terbanyak yaitu 88.33 individu/ha
dibandingkan hutan 68 individu/ha namun, kepadatan populasi pohon lebih banyak
pada tipe lahan hutan, sedangkan ladang dan belukar diketahui memiliki kepadatan
populasi terendah yaitu 4.33 individu/ha.
Kebun memiliki ekosistem yang mendukung tingginya perkembangan paliasa
hal tersebut disebabkan oleh rendahnya kerapatan tajuk pada tutupan lahan tersebut
sehingga tubuhan paliasa memperoleh intensitas cahaya yang cukup. Tumbuhan
paliasa pada masa anakan dapat bertahan hidup dibawah naungan tumbuhan yang
lain disekitarnya. Seiring pertumbuhannya, paliasa yang telah berkembang hingga
berukuran pancang (anakan pohon dengan tinggi >1.5 m atau pohon muda dengan
diameter setinggi dada <10 cm) maka memerlukan cahaya penuh. Perkebunan
merupakan lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian tanpa penggantian
34

tanaman selama 2 tahun dimana panen biasanya dapat dilakukan setelah satu tahun
atau lebih. Seperti halnya pada kebun yang ada di Bontobahari dimana mayoritas
perkebunan masyarakat yang didominasi oleh tanaman jambu mete (Anacardium
occidentale), kebun kelapa (Cocos nucifera) dan tanaman jati putih (Gmelina
arborea R.).

140
semai = 256 (42.9%)
120
Jumlah Individu

100 pancang = 223 (37.4%)


80 tiang = 76 (12.7%)
60 pohon = 42 (7.0%)
40
20
0
kebun belukar hutan kebun pemukiman ladang
campuran
Tutupan Lahan
Gambar 11 Kepadatan populasi paliasa bedasarkan tingkat pertumbuhan di enam
tipe penggunaan lahan

disebabkan oleh adanya persaingan yang tinggi dengan popohonan yang lebih besar
karena saling bersaing untuk memperoleh cahaya matahari. Hal tersebut dapat
ditemukan pada lahan hutan yang merupakan tegakan tertutup dengan tajuk pohon
yang rapat. Perbedan jumlah suatu individu ini disebabkan karena adaptasi dan
kebutuhan masing-masing individu juga berbeda.
Jumlah individu paliasa terendah ditemukan pada tutupan lahan belukar dan
ladang yang hanya mencapai 4.33 individu/Ha (Gambar 11) hal tersebut disebabkan
oleh tumbuhan bawah dan tumbuhan semak yang mendominasi lahan belukar
tersebut sehingga tidak ada ruang bagi tumbuhan paliasa untuk tumbuh dan
berkembang. Lain halnya untuk tipe ladang, kurangnya paliasa yang terdapat pada
lahan tersebut dikarenakan ladang merupakan lahan atau area yang digunakan
untuk kegiatan pertanian dengan jenis tanaman musiman, vegetasinya bersifat
artifisial dan memerlukan campur tangan manusia untuk menunjang kelangsungan
hidupnya, sehingga tidak memungkinkan paliasa untuk tumbuh dalam jumlah
banyak pada habitat tersebut. Oleh sebab itu tumbuhan paliasa hanya sebagian besar
ditemukan pada tepi-tepi ladang yang tidak digarap.

Penyebaran Spasial Paliasa (Kleinhovia hospita L.)

Sebaran spasial merupakan aspek penting dalam struktur populasi dan


terbentuk oleh faktor intrinsik spesies dan kondisi habitatnya. Diskripsi kuantitatif
dari pola spasial tidak hanya penting untuk mengetahui dinamika sebaran atau
spasial populasi saja tapi juga untuk menentukan teknik sampling dalam survei
populasi (Iwao 1970). Sebaran spasial tanaman maupun satwa merupakan karakter
penting dalam komunitas ekologi. Hal ini biasanya merupakan kegiatan awal yang
dilakukan untuk meneliti suatu komunitas dan merupakan hal yang sangat
mendasar dalam kehidupan suatu organisme (Cornel, 1963 dalam Kissinger 2002).
35

Sebaran spasial tumbuhan paliasa di wilayah kecamatan Bontobahari dapat


ditampilkan pada lampiran 3.

Tipe Habitat
Berdasarkan hasil penelitian bahwa secara keseluruhan administrasi daerah
Kecamatan Bontobahari memiliki sembilan tipe habitat yang diantaranya adalah
kebun, hutan, kebun campuran, ladang, pemukiman, daerah persawahan, industri,
tambak dan belukar dimana dari tipe habitat tersebut dapat didefinisikan sebagai
berikut:
1. Kebun merupakan areal atau lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian
tanpa pergantian tanaman selama dua tahun atau lebih waktu pemanenan
biasanya dapat dilakukan setelah satu tahun atau lebih atau dengan kata lain
lana kebun ini dijadikan sebagai usahatani dengan penanaman tanaman
tahunan (Dephut 2006; SNI 2010).
2. Hutan merupakan areal hutan yang tumbuh dan berkembang di habitat lahan
kering yang dapat berupa hutan dataran rendah, perbukitan pegunungan, atau
hutan tropis dataran tinggi.
3. Kebun campuran merupakan lahan yang ditanami tanaman keras lebih dari satu
jenis atau tidak seragam yang menghasilkan bunga, buah dan getah dan cara
pengambilan hasilnya bukan dengan cara menebang pohon. Di Indonesia
kebun campuran biasanya berasosiasi dengan pemukiman pedesaaan atau
pekarangan dan digarap secara tradisional oleh penduduk.
4. Ladang merupakan areal yang digunakan untuk kegiatan pertanian dengan
jenis tanaman selain padi. Ladang tersebut tidak memerlukan pengairan secara
ekstensif, vegetasinya bersifat artifisial dan memerlukan campur tangan
manusia.
5. Pemukiman adalah Areal atau lahan yang digunakan sebagai lingkungan
tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung
kehidupan masyarakat.
6. Daerah persawahan merupakan areal pertanian yang digenangi air atau diberi
air baik dengan teknologi pengairan, tadah hujan, maupun pasang surut. Areal
pertanian dicirikan oleh pola pematang dengan ditanami jenis tanaman pangan
berumur pendek (padi).
7. Kawasan industri adalah Areal lahan yang digunakan untuk bangunan pabrik
atau industri yang berupa kawasan industri atau perusahaan.
8. Tambak merupakan Aktivitas untuk perikanan atau penggaraman yang tampak
dengan pola pematang di sekitar pantai.
9. Belukar adalah Kawasan lahan kering yang telah ditumbuhi berbagai vegetasi
alami heterogen dan homogen yang tingkat kerapatannya jarang hingga rapat.
Kawasan tersebut didominasi vegetasi rendah (alami). Belukar di Indonesia
biasanya kawasan bekas hutan dan biasanya tidak menampakkan lagi bekas
atau bercak tebangan.
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan di lapangan (Tabel 6)
bahwa dari sembilan tutupan lahan yang terdapat di wilayah Kecamatan
Bontobahari hanya enam tutupan lahan saja yang dipilih sebagai objek penelitian
hal tersebut dikarenakan bahwa paliasa hanya ditemukan di enam tutupan lahan saja
(hutan, kebun, kebun campuran, belukar, pemukiman dan ladang). Selama
penelitian berlangsung ditemukan 597 titik tumbuhan paliasa yang tersebar
36

berdasarkan enam tutupan lahan yang berada di daerah Kecamatan Bontobahari.


Penentuan titik-titik tersebut diperoleh berdasarkan hasil temuan paliasa di
lapangan.

Tabel 6 Distribusi spasial tumbuhan paliasa berdasarkan tipe penggunaan lahan di


Kecamatan Bontobahari
Penggunaan Luas Lahan Presentase Jumlah Presentase Rata-rata
Lahan (Ha) Luas Lahan Titik Jumlah Temuan N/Ha
(%) Temuan Paliasa
Paliasa (%)
Belukar 1 093.80 9.90 13 2.18 4.33
Hutan 4 639.50 42.01 204 34.17 68
Kebun 135.05 1.22 265 44.39 88.33
Kebun Campuran 3 367.59 30.49 61 10.22 22.33
Ladang 884.11 8.00 13 2.18 4.33
Kawasan Industri 42.38 0.38 0 0.00 0
Tambak 108.67 0.98 0 0.00 0
Sawah 92.71 0.84 0 0.00 0
Pemukiman 681.03 6.17 41 6.87 13.66
Jumlah 11 044.84 597
Keterangan: N= jumlah individu paliasa

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tumbuhan paliasa memiliki


perbedaan jumlah populasi yang beragam pada setiap tutupan lahan dimana
diketahui bahwa tumbuhan terbanyak ditemukan di tipe lahan perkebunan yakni
mencapai 265 spesies atau 44.39% dari total luas keseluruhan lahan sekecamatan
135.05 Ha (1.22%) dari luas total kebun di kecamatan Bontobahari. Luasan tersebut
sudah dapat mewakili total jumlah spesies paliasa yang ada di perkebunan.
Jumlah terbanyak kedua ditemukan di hutan yaitu sebanyak 204 spesies
paliasa atau 34.17% dari total luas keseluruhan hutan 4639.50 Ha (42.01%),
kemudian disusul oleh kebun campuran 61 spesies (10.22%), pemukiman 41
spesies (6.87%) belukar dan ladang memiliki jumlah yang sama yaitu 13 spesies
(2.18%) seperti yang ditampilkan pada (Gambar 12).

Pemukiman 6.87% Belukar 2.18%


Ladang 2.18%
Kebun Campuran 10.22%
Hutan 34.17%

Kebun 44.39%

Gambar 12 Sebaran tumbuhan paliasa di enam tipe penggunaan lahan

Adanya perbedaan jumlah populasi yang terdapat disetiap tutupan lahan


dikarenakan oleh kondisi lingkungan, campur tangan manusia serta kepadatan
jumlah vegetasi pionir yang kemungkinan besar dapat menguasai habitat tersebut
37

sehingga membatasi ruang pertumbuhan bagi paliasa. Selain itu, adanya perubahan
fungsi penggunaan lahan menjadi ladang dan lahan terbangun seperti pembangunan
industri menyebabkan pertumbuhan paliasa dapat berkurang seperti yang
ditampilkan pada Lampiran 1. Hasil pengamatan untuk titik sebaran tumbuhan
paliasa dalam perhektar di enam tipe tutupan lahan dapat ditampilkan pada Gambar
dalam setiap petak pengambilan sampel yang berada di Kecamatan Bontobahari.

Gambar 13 Pola sebaran paliasa di tipe lahan kebun dengan 3 kali pengulangan

Berdasarkan titik temuan tumbuhan paliasa di tutupan lahan kebun


menunjukkan adanya keragaman data yang terlihat dari ketiga plot yang disebar
secara acak. Sebaran tumbuhan paliasa yang ditemukan dilahan kebun adalah tiga
pemilik lahan yang berbeda. Pemilihan lahan tersebut dilakukan sebagai salah satu
cara untuk mengetahui bagaimana sifat sebaran tumbuhan paliasa pada tutupan
lahan yang sama.
Adanya keragaman data yang diperoleh disebabkan karena perlakuan campur
tangan manusia terhadap paliasa yang tumbuh secara alami dilahan masyarakat.
Titik tumbuhan paliasa yang ditemukan lebih sedikit terdapat pada plot kedua
dibandingkan dengan plot pertama dan ketiga, hal ini disebabkan karena lahan
kebun tersebut lebih sering dilakukan pembersihan lahan yakni dengan
pembabakan tumbuhan yang dianggap tidak begitu penting yang menurut
masyarakat dapat mengganggu pertumbuhan tanaman perkebunan sehingga
perlakuan tersebut menjadi salah satu faktor kurangnya penyebaran paliasa.
38

Gambar 14 Pola sebaran paliasa di tipe lahan belukar dengan 3 kali ulangan
Belukar merupakan tutupan lahan dimana salah satu titik penyebaran
tumbuhan paliasa ditemukan paling sedikit dibandingkan dengan tutupan lahan
yang lain yang berada di daerah Kecamatan Bontobahari. Di lahan ini pertemuan
tumbuhan paliasa pada tiga petak contoh yang disebar memperoleh data titik yang
seragam perolehannya tidak berbeda jauh atau dapat dikatakan hampir sama.
Kesamaan data tersebut disebabkan oleh faktor lingkungan yang sama di daerah
tersebut, lahan belukar lebih terbuka sehingga intensitas cahaya matahari langsung
lebih banyak. Selain itu tumbuhan bawah dan gulma lebih mendominasi lahan
tersebut yang akhirnya menghambat pertumbuhan paliasa yang tumbuh secara
alami dibelukar.
Berdasarkan hasil penelitian tingkat pertumbuhan pada paliasa di lahan
belukar terbilang sangat sedikit yang mencapai pertumbuhan sampai tingkat pohon
hal ini di sebabkan anakan paliasa tidak boleh terkena cahaya matahari langsung
karena tidak mampu mentolerir suhu panas akan mengakibatkan perubahan fisik
tumbuhan seperti pelayuan hingga daun tersebut berubah warna menjadi hijau
kekuningan.
39

Gambar 15 Pola sebaran paliasa di tipe lahan hutan dengan 3 kali ulangan

Hutan merupakan vegetasi lahan kering yang tertutup oleh tanaman hutan
dengan ketinggian tanaman rata-rata lebih dari lima meter (SNI 2010). Lahan hutan
yang ada di kecamatan Bontobahari ini termasuk dalam kawasan TAHURA
(Taman Hutan Raya) yang ditetapkan oleh pemerintah daerah pada tahun 2004 yang
dulunya termasuk dalam kawasan hutan margasarwa. Penyebaran tumbuhan paliasa
di lahan hutan memiliki keragaman data yang tidak jauh berbeda antara petak satu,
petak dua dan petak tiga.
Terjadinya keragaman data tersebut disebabkan oleh keadaan lingkungan
dimana paliasa yang tumbuh di kawasan hutan tumbuh dan berkembang dalam
keadaan tidak terkontrol. Banyak sedikitnya tumbuhan yang tumbuh tergantung
kebutuhan seperti pemenuhan zat hara, intensitas cahaya dan faktor-faktor lain yang
berpengaruh pada pertumbuhan paliasa itu sendiri. Rata-rata sebaran paliasa yang
tumbuh di lahan ini mencapai 68 individu/Ha (Gambar 15). Untuk luasan kawasan
hutan sendiri di daerah tersebut luasannya mencapai 4 639.50 Ha dengan perolehan
jumlah individu paliasa yang di temukan di kawasan hutan maka dapat di
asumsikan bahwa jumlah individu paliasa dapat mencapai 315 486 ind/Ha.
40

Gambar 16 Pola sebaran paliasa di tipe lahan kebun campuran dengan 3 kali
ulangan
Kebun campuran yang berada di daerah Kecamatan Bontobahari merupakan
lahan yang dekat dengan lahan pemukiman karena penduduk menggantungkan
mata pencaharian mereka pada lahan tersebut, lahan ini difungsikan sebagai lahan
yang ditanami tanaman tahunan yang menghasilkan buah yang dipanen setiap tahun,
sebagian lagi ditanami tanaman penghasil kayu seperti tanaman jati. Sebagaimana
pernyataan tersebut didukung oleh SNI (2010) bahwa kebun campuran merupakan
lahan yang ditanami tanaman keras lebih dari satu jenis atau tidak seragam yang
menghasilkan bunga, buah serta getah dan cara pengambilan hasilnya bukan dengan
cara menebang pohon. Secara umum kebun campuran di Indonesia biasanya
berasosiasi dengan pemukiman pedesaan atau pekarangan dan digarap secara
tradisional oleh penduduk setempat.
Berdasarkan titik temuan paliasa di lahan kebun menggambarkan ketidak
seragaman data disetiap plot pengambilan sampel. Hal tersebut di karenakan adanya
perbedaan struktur lahan kebun campuran milik masyarakat, dimana terdapat
sebagian lahan terbuka yang tidak ditanami tanaman budidaya sebagaimana yang
terjadi pada kebun campuran lainnya sehingga memungkinkan terjadinya peluang
pertumbuhan paliasa secara alami. Sementara itu terdapat pula tiga jenis pohon
induk paliasa yang tumbuh tegak di lahan tersebut yang secara biologis
41

menghasilkan buah dan biji disetiap periode produktifnya. Dengan demikian pohon
tersebut meghasilkan anakan yang tumbuh tersebar dilahan ini.

Gambar 17 Pola sebaran paliasa di tipe lahan pemukiman dengan 3 kali ulangan

Pemukiman merupakan lahan terbangun atau lahan yang digunakan sebagai


lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang
mendukung kehidupan manusia, lahan pemukiman ini terdiri dari kelompok
bangunan beserta jalan (SNI 2010). Bagi pertumbuhan paliasa di lahan ini terbilang
tidak banyak, berdasarkan hasil survei bahwa penyebarannya dilahan ini terlihat
megelompok. Untuk petak 1 dan petak 2 penyebaran jenisnya yang paling kurang
di banding dengan petak 3. Terjadinya keragaman data sebaran paliasa di lahan
pemukiman ini dikarenakan pemukiman sebagai lingkungan tempat masyarakat
beraktifitas setiap harinya sehingga ada perlakuan terhadap tumbuhan tersebut oleh
masyarakat setempat seperti penebangan pohon dan pemangkasan.
Ketika tumbuhan tersebut tumbuh dan berkembang lebih banyak di halaman
atau pekarangan rumah-rumah masyarakat maka dianggap sebagai penyempitan
halaman oleh karena itu tumbuhan paliasa di lahan ini hanya ditemukan dibatas
tanah milik masyarakat untuk dijadikan sebagai pagar pembatas lahan. Sementara
di petak 3 penyebaran titik tumbuh paliasa terlihat lebih banyak hal tersebut
42

dikarenakan tumbuhan tersebut tumbuh dilahan pemukiman yang berbatasan


langsung dengan lahan kebun campuran.
Tumbuhan paliasa ini tumbuh menyebar di halaman belakang rumah-rumah
penduduk yang didiami oleh beberapa masyarakat selain itu tumbuhan tersebut
dibiarkan tumbuh oleh masyarakat. Banyaknya terdapat titik tumbuh paliasa karena
pada lahan tersebut terdapat pohon induk yang dianggap keramat oleh masyarakat
setempat sehingga dibiarkan dan tidak diganggu. Maka ketika tumbuhan tersebut
berbunga dan berbuah, maka biji akan jatuh dan tumbuh disekitar lahan ini. Peluang
besarnya tumbuhan paliasa untuk tumbuh dan berkembang di lahan ini disebabkan
karena area lahan di halaman belakang perumahan penduduk terbilang luas untuk
mendukung pertumbuhannya.

Gambar 18 Pola sebaran paliasa di tipe lahan ladang


Tumbuhan paliasa hanya ditemukan pada satu plot saja yang tumbuh di tipe
lahan ladang namun tidak ditemukan pada ladang yang lain di daerah Kecamatan
Bontobahari hal ini mengindikasikan bahwa penduduk memilih ladang mereka
hanya dikhususkan untuk tanaman musiman. Data sebaran paliasa yang ditemukan
pada ladang ini tumbuh dibagian tepi-tepi ladang yang sama tidak digarap ataupun
di olah penduduk sehingga di biarkan tumbuh begitu saja bersama tanaman yang
lain. Tumbuhan tersebut akhirnya berasosiasi dengan tanaman musiman seperti
tanaman jagung, kacang-kacangan dan jenis tanaman sayuran lain.

Pola Distribusi Tumbuhan Paliasa

Distribusi seluruh tumbuhan di alam dapat disusun dalam tiga pola dasar,
yakni acak, seragam dan mengelompok. Pola dostribusi demikian erat hubungannya
dengan kondisi lingkungan. Untuk dapat mengetahui pola distribusi suatu
tumbuhan di alam maka dapat melakukan perhitungan dengan menggunakan indeks
penyebaran. Hulrbert (1990) menyatakan bahwa indeks Morosita merupakan salah
satu ideks penyebaran terbaik. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan
indeks morisita (IM), dapat dilihat bahwa pola distribusi jenis tumbuhan paliasa di
43

enam tipe penggunaan lahan memiliki sifat yang berbeda seperti yang disajikan
pada Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran tumbuhan paliasa (Kleinhovia hospita) pada enam tipe


penggunaan lahan di Kecamatan Bontobahari berdasarkan hasil
perhitungan Indeks Morisita (IM)
No. Lahan IM Ip Pola Sebaran
1 Kebun 1.384 0.591 Mengelompok
2 Belukar 0.923 -0.089 Acak
3 Hutan 1.090 0.515 Mengelompok
4 Kebun Campuran 2.364 0.830 Mengelompok
5 Pemukiman 1.774 0.671 Mengelompok
6 Ladang 3.000 1.000 Mengelompok
Keterangan: IM= Indeks Morisita, Ip= Indeks Morisita yang distandarisai

Berdasarkan hasil perhitungan indeks morisita menunjukkan bahwa hampir


disetiap tutupan lahan menunjukkan nilai Ip > 0. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa sifat tumbuhan paliasa yang ada pada suatu lahan secara umum
penyebarannya bersifat mengelompok dengan batas kepercayaan 95% pada -0.5
dan 0.5. Menurut indeks penyebaran morisita dari hasil perhitungan analisis data
pola penyebaran spesies menujukkan bahwa dapat dipercaya 95% sebaran
tumbuhannya mengelompok, kecuali pada lahan belukar sendiri yang bersifat acak
karena Ip < 0.
Pola penyebaran dikatakan mengelompok apabila memiliki nilai indek
Morisita > 0, sedangkan dikatakan acak apabila nilai Indeks Morisita = 0. Oleh
sebab itu dapat dikatakan bahwa tumbuhan paliasa yang ditemukan hampir
diseluruh tutupan lahan yang berada di Kecamatan Bontobahari penyebarannya
bersifat mengelompok. Terlepas dari faktor lingkungan dan kompetisi, hasil
tersebut relevan dengan pernyataan Barbour et al. (1987) yang menyatakan bahwa
pola distribusi spesies tumbuhan cenderung menyebar mengelompok, sebab
tumbuhan bereproduksi dengan menghasilkan biji yang jatuh dekat induknya atau
dengan rimpang yang menghasikan anakan vegetatif masih dekat dengan induknya.
Fenomena penyebaran tumbuhan secara mengelompok di alam sangat umum
ditemukan (Odum 1959; Krebs 1978; Ludwig & Eynolds 1988; Indriyanto 2006).
Hal yang sama dikemukakan oleh Ewusie (1980) pada umumnya pengelompokkan
dalam berbagai tingkat pertumbuhan suatu jenis merupakan pola yang paling sering
ditemukan apabila mengkaji sebaran individu di alam. Selanjutnya menurut
McNaughton dan wolf (1990) menyebutkan bahwa faktor ketersediaan hara dan
kondisi iklim merupakan faktor lingkungan yang paling berperan dalam penyebaran
suatu spesies di alam.
Adapun menurut Heddy et al. (1986) dalam Indriyanto (2006) menyebutkan
pola penyebaran mengelompok terjadi akibat kondisi lingkungan jarang yang
seragam meskipun pada area yang kecil atau sempit. Pada tumbuhan dengan
penyebaran acak terjadi apabila penghamburan benih disebebkan oleh angin.
Penyebaran acak terjadi apabila kondisi lingkungan bersifat seragam dan tidak
adanya kecenderungan individu untuk bersegresi. Tingkat pengelompokkan yang
dijumpai di dalam populasi tertentu bergantung pada sifat khas dari suatu habitat,
44

cuaca atau faktor fisik dan tipe pola reproduktif yang khas pada suatu jenis
tumbuhan (Odum 1993).

Status Kepemilikan Lahan


Kepemilikan lahan di Kecamatan Bontobahari sebagian besar sudah
bersertifikat. Kepemilikan lahan responden berdasarkan hasil wawancara memiliki
lahan yang relatif kecil sehingga penggunaan lahan dalam 1 Hektarnya dapat
dimiliki oleh beberapa masyarakat setempat Tabel 8.

Tabel 8 Status kepemilikan lahan di Kecamatan Bontobahari


Tipe Lahan Status Kepemilikan Lahan

Kebun Pribadi
Belukar Umum
Hutan TAHURA Pemerintah Daerah
Kebun Campuran Pribadi
Pemukiman Pribadi
Ladang Pribadi

Lahan kebun milik masyarakat Kecamatan Bontobahari dari hasil survei


lapangan menunjukkan bahwa terdapat tumbuhan paliasa yang tumbuh dan tersebar
di lahan mereka. Berdasarkan status kepemilikan lahan keberadaan tumbuhan
paliasa yang ditemukan di dalam lahan kebun masyarakat berdasarkan hasil
wawancara menyatakan bahwa tumbuhan tersebut tumbuh secara alamiah dan
tanpa adanya faktor kesengajaan dari pihak masyarakat untuk menanam. Oleh
sebab itu tumbuhan paliasa secara alami tumbuh dan berkembang hingga dewasa
dan menghasilkan anakan-anakan baru.
Faktor keberadaan paliasa di lahan kebun hingga tetap terjaga dan tidak
hilang dikarenakan masyarakat setempat dengan sengaja membiarkan tumbuhan
tersebut tetap tumbuh dan tidak dipangkas. Salah satu faktor lain yang
mempengaruhi paliasa adalah ketika masyarakat tidak memperhatikan atau tidak
mengurus kebun mereka dalam waktu yang lama sehingga memungkinkan
tumbuhan liar yang sewaktu-waktu tumbuh di lahan mereka dibiarkan tumbuh
begitu saja salah satunya adalah tumbuhan paliasa (Kleinhovia hospita L).
Demikian untuk lahan belukar yang berada di Kecamatan Bontobahari
berdasarkan status kepemilikan lahan menunjukkan bahwa lahan tersebut adalah
milik umum dimana lahan berada pada kawasan yang letaknya tidak berjauhan
dengan kawasan hutan dan kawasan pemukiman. Kawasan belukar merupakan
kawasan terbuka yang tidak digarap oleh masyarakat dapat pula dikatakan bahwa
kawasan tersebut areal yang ditinggalkan sehingga mayoritas kawasan belukar
didominasi oleh tumbuhan bawah.
Di areal lahan belukar, berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa
tumbuhan paliasa yang ditemukan dalam lahan tersebut memiliki jumlah titik
temuan yang cukup sedikit atau kurang dibandingkan dengan tipe lahan yang lain.
Lahan belukar tersebut merupakan areal yang habitatnya tidak terkontrol sehingga
memungkinkan terjadinya kompotisi suatu spesies tumbuhan lainnya dalam suatu
komunitas. Selain lahan belukar, titik temuan tumbuhan paliasa yang paling sedikit
juga ditemukan pada lahan ladang.
45

Berdasarkan status kepemilikan lahan untuk ladang sendiri merupakan lahan


milik masyarakat, secara pribadi lahan tersebut merupakan lahan yang sering
digarap oleh pemilik lahan. Dalam hal ini terdapat 6 pemilik ladang yang masuk
dalam plot contoh pengamatan, dimana pada ladang milik masyarakat ini
ditemukan adanya tumbuhan paliasa yang tumbuh di dalam lahan mereka.
Walaupun jumlah sebarannya tidak banyak namun masyarakat pemilik lahan tetap
mempertahankan keberadaan tumbuhan paliasa.
Pernyataan masyarakat terkait keberadaan paliasa di ladang yakni tumbuhan
tersebut dapat dijadikan sebagai obat tradisional dan salah satu bagian
tumbuhannya yang dapat dimanfaatkan dalam ritual adat masyarakat setempat.
Berbeda dengan lahan yang lain seperti hutan, kebun campuran dan pemukiman.
Hutan sendiri berdasarkan status kepemilikan lahan merupakan milik pemerintah,
keberadaan tumbuhan paliasa di hutan adalah faktor alamiah dimana hutan yang
berada di Sulawesi Selatan merupakan salah satu habitat dari paliasa. Kawasan
hutan TAHURA (Taman Hutan Raya) di Sulawesi Selatan tepatnya di Kecamatan
Bontobahari adalah merupakan salah satu hutan konservasi yang dilindungi serta
dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat setempat.
Kebun campuran dan lahan pemukiman adalah milik pribadi. Pada kebun
campuran berdasarkan status kepemilikan lahan dimiliki oleh 5 orang kepala
keluarga dimana tumbuhan paliasa tersebut tumbuh tersebar dalam lahan mereka.
Sementara pada kawasan pemukiman dimiliki oleh 13 orang kepala keluarga yang
masuk dalam sampel plot pengamatan.

Produktivitas Tumbuhan Paliasa

Produktivitas berkaitan dengan produksi (kg) daun paliasa (Kleinhovia


hospita L) yang dihasikan per individu pohon (ind). Produktivitas dapat
menggambarkan seberapa banyak yang dapat dihasilkan oleh satu individu pohon
paliasa dilapangan. Produktivitas suatu tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Menurut odum (1993) faktor yang mempengaruhi produktivitas adalah stabilitas
iklim. Pada daerah yang beriklim stabil mempunyai produktivitas yang tinggi.
Selain itu curah hujan, ketinggian tempat serta umur pangkas menjadi salah satu
faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas suatu tumbuhan.
Dalam hal ini pengetahuan produktivitas terhadap daun tumbuhan paliasa di
lakukan terhadap tiga pohon paliasa yang ukurannya tidak jauh berbeda yakni
diameter pohon berkisar antara 36.62 cm sampai 31.21 pada Tabel 9. Hal tersebut
dilakukan untuk mengetahui seberapa banyak yang diproduksi oleh tumbuhan
paliasa di alam dalam satu pohon yang produktiv. Adapun perhitungan
produktivitas daun paliasa dapat di sajikan pada (Tabel 9) dan untuk potensi
produksi paliasa di Kecamatan Bontobahari disajikan pada Tabel 10.
46

Tabel 9 Produksi paliasa (Ind/pohon)


Diameter Bagian Tumbuhan Produksi Daun
Penyusutan
Paliasa Pohon Anak Basah Kering
Cabang Ranting (Kg)
(Cm) Ranting (Kg) (Kg)
Pohon 1 36.62 7 31 65 14.9 6.4 8.5
Pohon 2 32.48 6 26 56 11.5 5.3 6.2
Pohon 3 31.21 5 21 47 8.9 3.7 5.2
Total 100.32 18 78 168 35.3 15.4 19.9
Rata-rata 33.44 6 26 56 11.8 5.1 6.6

Tabel 10 Potensi produksi paliasa di Kecamatan Bontobahari


Kerapatan
Luas Lahan Total
Tutupan Lahan pohon Potensial Produksi
(Ha) Individu
(Ind/Ha)
Basah (kg) Kering (kg)
Kebun 135.05 14 1 891 22 310.26 9 642.57
Belukar 1 093.80 1 1 094 12 906.84 5 578.38
Hutan 4 639.50 13 60 314 711 699.30 307 598.85
Kebun Campuran 3 367.59 4 13 470 158 950.24 68 698.83
Pemukiman 681.03 5 3 405 40 180.77 17 366.26
Ladang 884.11 5 4 421 52 162.49 22 544.80
Jumlah 10 801.08 42 84 594 998 209.90 431 429.70

Tabel 11 Data selang hari pemanenan tumbuhan paliasa


Pengamatan Hari Ke-
Paliasa 1 2 3 4 5
A B A B A B A B A B
Pohon 1 3 13 7 29 11 46 15 63 21 89
Pohon 2 3 13 7 29 11 46 15 63 21 89
Pohon 3 2 9 8 34 14 60 18 77 21 89
Keterangan: A= Jumlah daun (Helai), B= Selisih hari

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di lapangan setelah melakukan


pemanenan terhadap daun paliasa maka dapat diketahui bahwa produktivitas yang
dihasilkan pada satu pohon paliasa yang berdiameter 31.2 cm dengan tangkai
produktif 47 tangkai adalah sebanyak 3.7 (kg/ind). Perhitungan hasil tersebut
diperoleh dari tahap pengambilan sampai tahap pengeringan sampel daun paliasa.
Perhitungan berat basah daun paliasa setelah ditimbang mencapai 8.9 kg/ind
(Gambar 10) dan setelah melakukan pelayuan hingga pengeringan daun paliasa
maka menghasilkan penyusustan bobot daun paliasa menjadi sekitar 28 %.
Hasil perolehan tersebut telah memenuhi standar rasio penyusutan bobot
kering dan basah yang ditetapkan yaitu 1:5 atau 22 %. Selanjutnya untuk
perhitungan selang waktu dari waktu masa panen hingga daun tersebut siap
dilakukan pemanenan kembali membutuhkan waktu selama 89 hari. Hal tersebut
47

dapat diketahui dari jumlah produktivitas daun yang dapat dihasilakan oleh satu
anak ranting produktiv yaitu sebanyak 21 helai daun (Tabel 11).
Disamping itu, berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dengan mengukur
dua individu pohon paliasa yang berbeda menunjukkan bahwa dalam waktu 29 hari,
satu anak ranting menghasilkan 7 helai daun, kemudian 4 hari menghasilkan 8 helai
daun, sihingga dari hasil tersebut dapat diasumsikan bahwa dalam waktu empat
hari dapat menghasilkan satu helai daun paliasa pada satu anak ranting produktiv.
Sementara untuk menghasilkan 21 helai daun maka dapat membutuhkan waktu
selama 89 hari.
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan untuk mendapatkan hasil panen
daun paliasa dengan kualitas daun yang lebih baik maka sebaiknya setiap
pemanenan dilakukan pemangkasan anak cabang agar menghasilkan anak cabang
baru dan helai daun yang lebih subur serta ukuran helai daun yang lebih lebar. Cara
lain yang dapat dilakukan agar kualitas paliasa tetap terjaga adalah dengan selalu
memperhatikan tumbuhan lain yang dapat mengganggu pertubuhan paliasa. Oleh
sebab itu tumbuhan yang dianggap mengganggu atau sebagai gulma yang dapat
menghambat pertumbuhan paliasa yang ada disekitarnya seharusnya dibersihkan.

Prospek Aksi Konservasi Paliasa

Masyarakat lokal Kecamatan Bontobahari telah mendiami daerah tersebut


sejak ratusan tahun yang lalu. Dengan adanya campur tangan pemerintah dalam
kehidupuan masyarakat diharapkan mampu memberikan pelayanan atau kontribusi
dalam perbaikan hidup demi meningkatkan nilai kesejahteraan dengan bersama-
sama meningkatkan suatu objek yang kiranya berpotensi dalam daerah tersebut
guna menunjang perekonomian masyarakat sehingga dapat tercipta pemanfaatan
yang berkelanjutan. Paliasa adalah salah satu tumbuhan yang perpotensi yang
terdapat di Kecamatan Bontobahari yang dapat dijadikan obyek usaha kedepan,
disamping karena memiliki nilai manfaat obat yang telah dirasakan oleh masyarakat
setempat juga dapat dikembangkan dalam sebuah produk sehingga pemanfaatannya
lebih praktis dan mudah diperoleh. Dengan adanya upaya tersebut sehingga dapat
menambah nilai ekonomi daerah serta masyarakat walaupun dimulai terlebih
dahulu pada skala rumah tangga. Strategi produk tersebut dapat di lihat pada
Gambar 19.

Gambar 19 Kemasan produk paliasa


48

Strategi konservasi tumbuhan obat Indonesia seperti pada spesies paliasa


dapat dilaksanakan oleh berbagai pihak di tingkat kabupaten dan kecamatan dengan
program aksi sebagai berikut (Zuhud & Siswoyo 2001):
1. Tata guna lahan/ruang
2. Konservasi insitu
3. Konservasi eksitu
4. Budidaya
5. Peningkatan nilai tambah tumbuhan obat melalui pemanfaatan pada pelayanan
kesehatan formal
6. Menerapkan sistem sertifikasi/ ekolabeling terhadap produk obat asli Indonesia
7. Membangun pusat informasi agribisnis tumbuhan obat
8. Membangun partisipasi semua stakeholder, antara lain para pengusaha, petani,
pembuat kebijakan, dan pers.
9. Perlindungan hak kekayaan intelektual masyarakat
10. Kerjasama internasional.
Strategi pengelolaan sumber daya alam tradisional memperlihatkan pola-pola
sosial budaya Masyarakat lokal. Upaya konservasi sumberdaya alam memiliki
target utama pemanfaatan berkelanjutan (sustainable use) didasarkan prinsip
keselarasan budaya dengan alam sekitar (Purwanto et al. 2004). Menurut Zuhud
(2007) hal penting untuk dapat mewujudkan konservasi adalah prasyarat adanya
kerelaan berkorban untuk konservasi. Dalam hal ini untuk mencapai suatu tujuan
maka tercipta suatu usaha dimana usaha tersebut yang dapat dikelolah adalah
peningkatan produksi paliasa yang berpotensi di Kecamatan Bontobahari
berdasarkan adanya stimulus kerelaan serta keikhlasan pada diri seseorang atau
penduduk masyarakat setempat, selain itu adanya nilai manfaat pada objek tersebut
yang dapat dikembangkan. Berdasarkan dari data sebaran paliasa yang
menunjukkan bahwa temuan paliasa terbanyak berada pada lahan kebun sehingga
apabila dikelolah dengan baik menjadi suatu produk maka akan menambah nilai
mutu pada paliasa. Dengan adanya upaya pengembangan paliasa oleh masyarakat
dalam bentuk produk yang dapat memberikan daya tarik kepada konsumen
sehingga sebisa mungkin dapat dipasarkan dalam skala lokal hingga nasional oleh
karenanya pentingnya penyuluhan tentang potensi paliasa dilakukan oleh
masyarakat serta dukungan dari pemerintah daerah. Dengan upaya tersebut
sekiranya dapat memberikan nilai tambah terhadap para pelaku atau pengolah
bahan baku paliasa, pemerindah, serta nilai pemasukan daerah. Apabila saat ini
produk paliasa ditaksir dengan harga per kemasan sebesar Rp 25 000 maka
diasumsikan dalam satu hektar lahan kebun yang memiliki pohon paliasa dapat
mencapai total harga Rp 9 271 701 923 dalam sekali panen hal tersebut dikarenakan
setiap pemanenan menghasilakan total berat kering daun paliasa sebesar 9 642.57
kg, data tersebut disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12 Bioprospektif paliasa
Tutupan Kering Kering Perke total Harga/ Total harga
Lahan (kg) (gr) masan kemasan kemasan (Rp)
(gr) (Rp)
Kebun 9 642.57 9 642 570 26 370 868 25 000 9 271 701 923
49

Kerelan berkorban merupakan suatu sikap yang tumbuh dari dalam diri
seseorang untuk melakukan suatu tindakan positif terhadap suatu objek dimana
objek tersebut memiliki nilai yang dapat memberikan suatu harapan. Dengan
adanya nilai dapat memotivasi seseorang baik individu ataupun kelompok untuk
melakukan suatu tindakan tertentu. Sikap dan aksi masyarakat tersebut dapat
dikategorikan kedalam Tri-stimulus “Amar” (alamiah, manfaat, religius). Zuhud
(2011) menyatakan bahwa pada akhirnya konservasi baru dapat terwujud di
lapangan dengan syarat apabila ketiga kelompok stimulus sudah mengkristal
menjadi pendorong sikap dan aksi masyarakat untuk konservasi.
Upaya pelestarian tumbuhan paliasa bertujuan untuk melindungi spesies dari
ancaman kepunahan atau hilangnya spesies tersebut pada habitat alaminya.
Penurunan populasi suatu jenis di ekosistemnya dapat menjadi indikasi bahwa
keseimbangan ekosistem di daerah tersebut mulai terganggu. Agar dapat
melindungi dan mengelolah jenis tumbuhan paliasa ini perlu adanya pengetahuan
dan pemahaman mengenai karakteristiknya yang dapat dilihat dari sifat alaminya
sehingga dapat terwujud kerelaan masyarakat maupun pemerintah untuk
melakukan konservasi paliasa.
Bedasarkan hasil pengamatan di lapangan dan hasil wawancara terhadap
tokoh masyarakat terlihat bahwa pemanfaatan terhadap tumbuhan paliasa masih
sangat kurang, pengetahuan akan pemanfaatannya dari tumbuhan tersebut sebagian
besar hanya dikonsumsi oleh ahli-ahli pengobatan dan masyarakat yang mengetahui
kegunaanya dari pengalaman mereka sehingga perkembangan pertumbuhan paliasa
di alam menurut informasi dari masyarakat masih sama saja dan tidak ada
perubahan apa lagi terjadi penurunan jumlah individunya di alam. Namun apabila
ada upaya untuk mengembangkan potensi tumbuhan paliasa maka sebaiknya pihak
pemerintah setempat berserta masyarakat bekerja sama dalam upaya
pembudidayaan tumbuhan paliasa. Agar pemanfaatan paliasa bisa dilakukan secara
berkelanjutan.
Informasi yang diperoleh dari kepala desa menyatakan bahwa apabila
tumbuhan paliasa nantinya akan menjadi bahan produk yang memiliki nilai
ekonomi yang dapat menguntungkan, maka beliau siap membantu demi
kesejateraan masyarakatnya. Dalam hal yang sama, sebagian besar masyarakat juga
menyatakan bahwa mereka rela dan ikhlas melakukan budidaya tumbuhan paliasa
dilahan mereka. Menurutnya, disamping karena tumbuhan tersebut memiliki
karakteristik pertumbuhan pohon yang mudah tumbuh juga memiliki banyak
manfaat dalam bidang kesehatan serta memiliki nilai magis. Zuhud (2007) stimulus
rela-religius sangat berpengaruh dan efektif dalam mendorong terwujutnya sikap
dan perilaku dalam aksi konservasi. Tri stimulus AMAR konservasi merupakan
suatu alat untuk mengimplementasikan pengelolaan kawasan konservasi seperti
pada Gambar 19.
50

Gambar 20 Diagram alir “tri-stimulus amar pro-konservasi”: stimulus, sikap dan


perilaku aksi konservasi (Zuhud et al. 2007).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Masyarakat telah melakukan aksi konservasi paliasa dengan cara tidak


melakukan penebangan karena paliasa memiliki stimulus manfaat sehingga
potensi paliasa dapat ditingkatkan melalui pemahaman pentingnya paliasa
sebagai obat yang dapat dijadikan suatu produk. Pemanfaatan paliasa yang
dilakukan oleh masyarakat adalah sebagai bahan baku obat tradisional serta
bahan baku yang digunakan dalam ritual adat budaya dan keagamaan.
2. Populasi tumbuhan paliasa yang tumbuh di Kecamatan Bontobahari
berdasarkan enam tipe penggunaan lahan (kebun, hutan, ladang, kebun
campuran, belukar dan pemukiman) dimana kelimpahan terbesar berada
pada tipe lahan kebun. Kepadatan populasi paliasa yang berada pada tipe
lahan kebun yakni mencapai 88.33 individu/Ha dan yang terendah berada
pada tutupan lahan ladang dan belukar yaitu 4.33 individu/Ha.
3. Sebaran spasial tumbuhan paliasa (Kleinhovia hospita L) di berbagai tipe
penggunaan lahan teridentifikasi secara umum menyebar mengelompok.

Saran

1. Perlu dilakukan pemahaman akan manfaat pelestarian tumbuhan paliasa


(Kleinhovia hospita L) terutama di kalangan generasi muda di Kecamatan
Bontobahari
51

2. Perlu adanya sosialisasi bagaimana meningkatkan potensi paliasa sehingga


dapat menjadi suatu produk yang mampu membuka peluang pemasaran di
pasar lokal maupun nasional.
3. Perlu penelitian lanjutan mengenai kandungan kimia paliasa yang baik
berada pada ketinggian tempat berapa meter di atas permukaan laut

DAFTAR PUSTAKA

Aliyah, Wahyudin E, Kaelan C, Sila M. 2013. Preference level of bees Apis


mellifera L. to the supplementary feed of mixed syrup and paliasa leaf
decoction and physico-chemical characteristics of produced honey. Ijstr.
2(10):4-8.
Alcamo J, Moreno JM, & Shvidenko A. 2007. Europe. Climate change 2007:
Impacts, adaptation and vulnerability. Di dalam: Parry ML, Canziani OF,
Palutikof JP, Linden, Van der PJ, Hanson CE, editor. Contribution of Working
Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on
Climate Change. Cambridge (GB): Cambridge University Pr. Hlm 541-580
Arikunto S. 2009. Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Edisi RevisiEnam.
Jakarta (ID): Rineka Cipta.
Arung ET, Kusuma IW, Purwatiningsih S, Roh SS, Yang CH, Jeon S, Kim YU,
Sukaton E, Susilo J, Astuti Y et al. 2009. Antioxidant Activity and
Cytotoxicity of the Traditional Indonesian Medicine Tahongai (Kleinhovia
hospita L.) Extract. J Acupunct Meridian Stud. 2(4):306−308.
Aspan R, Sherley, Napitupulu R, Wisaksono LS, Efisal, Mooduto L. 2008.
Taksonomi Koleksi Tanaman Obat Kebun Tanaman Obat Citeureup. Jakarta
(ID). Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
Astuti J, ET Arung, W Suwinarti. 2009. Antioxidant activities from extract leavesof
tahongai (Kleinhovia hospita Linn.). 12th Indonesian Wood Research Society
National Seminar. Bandung (ID). 23-25 July 2009. P. E22.
Barbour SL, Lam L, Fredlund DG. 1987. Transient seepage model for saturatet-
unsaturated soil systems: a geotechnical engineering approach. J. Can
Geotech. 24(198):565-580.
[BBMKG] Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2016. Informasi
Data BMKG Makassar.
[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2016. Informasi Data
BMKG Jakarta.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Informasi jumlah penduduk menurut kecamatan
tahun 2016. BPS Kabupaten Bulukumba.
Bruenig EF. 1995. Conservation and Management of Tropical Rainforests: An
Integrated Approach to Sustainability. CAB International.
Coops NC, Catling PC. 2002. Prediction of the spatial distribution and relative
abundance of ground-dwelling mammals using remote sensing imagery and
simulation models. Landscape Ecology. 17(2002):173–188.
Darsiharjo. 2006. Pendidikan Petani dan Model Pemanfaatan Lahan Berkelanjutan
di Daerah Hulu Sungai Kasus di Daerah Hulu Sungai Cikapundung Bandung
Utara. J Pendidikan Geografi. 6(2006):
52

Denzin NK, Lincoln YS. 2009. Hanbook of Qualitative Research [Edisi Bahasa
Indonesia]. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar.
[Dephut] Departemen Kehutanan, 2006. Glossary Pengelolaan DAS. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Balai Penelitiandan
Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS Indonesia Bagian Timur.
Makassar.
Erasmus CJ. 1963. Man Takes Control. Minneapolis: University of Minnesota Pr.
Ewusie JY. 1980. Pengantar Ekologi Tropika. Tanuwidjaja U, penerjemah; Sasanti,
editor. Bandung (ID): Penerbit ITB Bandung. Terjemahan dari: Elements of
tropical ecology. Ed ke-1.
Gaffar I, Mamahit LP. 2010. Satu senyawa steroid dari kulit batang tumbuhan
paliasa (kleinhovia hospita l.) asal sulawesi selatan. Chem Prog. 3(1):24-28.
Hanum IF, Maesen LJGVD. 1997. Plant Resources of South-East Asia No. 11.
Bogor (ID): LIPI Pr.
Heddy S, Soemitro SB, Soekartomo S. 1986. Pengantar Ekologi. Jakarta (ID): CV.
Rajawali.
Hendra M. 2002. Pemanfaatan tumbuhan buah-buahan dan sayuran liar oleh suku
dayak kenyah kalimantan timur. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor.
Hill RA, Connolly JD. 2016. Triterpenoids [review]. Natural product reports.
2015(29):1028-1065.
Ilyas A. 2014. Senyawa 4-hidroksi sinamamida dari ekstrak etil asetat (Etoac) kulit
akar paliasa (Kleinhovia Hospita Linn). J teknos. 8(2):152-160.
Imran. 2011. Isolasi senyawa metabolit sekunder fraksi metilen klorida ekstrak
kayu batang paliasa (Kleinhovia hospita L.). J Prog Kim Si. 1(1):16-24.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
Iwao S. 1970. Problems of spatial distribution in animal population ecology.
Random counts in scientific work. 2:118-149.
Jaya INS. 2002. Aplikasi Sistem Informasi Geografi untuk Kehutanan, Penuntun
Praktis Menggunakan Arcinfo dan Arcview. Bogor (ID): IPB.
Jaya INS. 2010. Anilisis Citra Digital Perspektif Penginderaan Jauh untuk
Pengelolaan Sumberdaya Alam Teori dan Praktik Menggunakan Erdas
Imagine. Bogor (ID): IPB.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Sebagian Besar Kematian
Akibat Hepatitis Virus Berhubungan dengan Hepatitis B dan C Kronis.
Jakarta (ID).
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI
Kissinger. 2002. Keanekaragaman jenis tumbuhan, struktur tegakan, dan pola
sebaran spasial beberapa spesies pohon tertentu di hutan kerangas. [tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Krebs CJ. 1978. Ecology. The experimental analysis of distribution and abundance.
New York (US): Harper and Row Publishers.
Krebs CJ. 1989. Ecological Methodology. New York (US): Harper and Row
Publishers.
Kusmana C. 1997. Metode survey vegetasi. Bogor (ID): IPB Pr.
Li SG, Gang R, Jian XM, Xiang, Yi Z, Wei, Yao, Chang, Xin Z. 2009. Cycloartane
Triterpenoids from Kleinhovia hospita. J Nat Prod. 72(2009):1102–1105.
53

Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistik ekology, a primer on methods and
computing. New York (US). A Willey-Interscience publication john
Willeynand Sons.
Mardalis. 2004. Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta (ID):
Bumi Aksara.
Martin GJ. 1995. Ethnobotany. London (GB): Chapman and Hall Mc Neely.
Matteo VD, Esposito E. 2003. Biochemical and therapeutic effects of antioxidants
in the treatment of alzheimer's disease, parkinson's disease, and amyotrophic
lateral sclerosis. Current Drug Targets- CNS & Neurological Disorders.
2(2):95-107.
McNaughton SJ, Wolf LL. 1990. Ekologi Umum. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada
University Press.
Morilla LJG, Nuñeza OM, Uy MM. 2015. Brine shrimp lethality test of Kleinhovia
hospita stem and bark from Agusan del Sur, Philippines. ELBA
Bioflux.7(1):61-66.
Muhammadi, Amirullah E, Soesilo B. 2001. Analisis Sistem Dinamis Lingkungan
Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. Jakarta (ID): UMJ Pr.
Noor A, Kumanireng S, Kartikasari R, Suryaningsih, Hakim A, Takbir R. 2004.
Isolasi dan identifikasi konstituen organik Tanaman daun paliasa (kleinhovia
hospita linn.) Pada kelarutan berdasarkan kelompok polaritasnya. Marin
Chimic Act. 5(2):2-10.
Odum EP. 1959. Fundamentals of ecology. London (GB): WB Saunders Company
Press.
Odum PE. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Gadjah Mada University
Press. Yogjakarta.
Pawiroharsono S. 2003. Tinjauan Pustaka. Prospek dan Manfaat Isoflavon untuk
Kesehatan,(Online), (http://www.tempo.co.id/medika/arsip/o42001/pus-2,
diakses 5 Oktober 2015).
Polunin N. 1990. Pengantar Geografi Tumbuhan dan Beberapa Ilmu Serumpun.
Tjitrosoepomo G, penerjemah; Soerodikoesoemo W, editor. Yogyakarta
(ID): GMU Pr. Terjemahan dari: Introduction To Plant Geography and Some
Related Sciences.
Purwanto Y, Laumonir Y, Malaka M. 2004. Antropologi dan Etnobiologi
Masyarakat Yamdena di Kepulauan Tanimbar. Jakarta (ID): The TLUP
Project Director, Tanimbar LUP/BAPPEDA.
Rachman AMA. 2000. Masyarakat Kecil Dalam Era Global. Bangi: Penerbit
University Kebansaan Malaysia.
Raflizar, Adimunca C, Sulistyowati T. 2006. Dekok daun paliasa (kleinhovia
hospita linn.) sebagai obat radang hati akut. Cermin Dunia Kedokteran.
150:10-14.
Raflizar, Sihombing M. 2009. Dekok daun paliasa (Kleinhovia hospita linn.)
sebagai obat radang hati akut. J Ekol Kesehat. 8(2):984–993.
Raflizar. 2009. Sub chronic toxicity test from alkohol extract paliasa leaves
(Kleinhovia Hospita Linn) to hepar/liver and kidney of experimental mice.
Media Penelit dan Pengembang Kesehat. 19(4):204-213.
Ramesh P, Subramanian SS. 1984. Flavonoids of Kleinhovia hospita. Med Educ
Res. 10:76–77.
54

Rosalina U. 1996. Analisis populasi dan penyebaran keanekaragaman flora. Pusat


pengkajian keanekaragaman hayari tropika lembaga penelitian institut
pertanian Bogor. Bogor (ID): IPB Pr.
Saefuddin, Sornie M, Chaerul. 2013. Aktivitas antioksidan pada enam jenis
Tumbuhan sterculiaceae (antioxidan activity on six species of sterculiaceae
plants). J Penelit Has Hut. 31(2):103-109.
Salerno G, Guarrera PM, Caneva G. 2005. Agricultural, domestic and handicraft
folk uses of plants in the tyrrhenian sector of Basilicata (Italy). Journal of
Ethnobiology and Etnomedicine. (1):2.
Sastrapradja DS, Rifai Ma. 1989. Sumber Pangan Nabati dan Plasma Nyutfahnya.
Bogor (ID): Puslitbang Bioteknologi-LIPI.
Setiawan A, Alikodra HS. 2001. Tinjauan terhadap pembangunan sistem kawasan
konservasi di Indonesia [Review on the development of conservation area
system in Indonesia]. Media Konserv. 7(2):39-46.
Slaga TJ, Keuneke R. 2005. The detox revolution, a powerful new program for
boosting your body’s ability to fight cancer and other disease. McGraw-Hill
Co.
Soekamto NH, Alfian N, Iwan D, Hasriani A, Ruhman, Agustono. 2008. Coumarin
and steroid compound from stem bark of Kleinhovia hospita Linn.
Proceeding of The International Seminar on Chemistry. pp.231-234.
Stow DA. 1993. The role of geographic information systems for landscape
ecological studies. Di dalam: Young RH, Green DR, Cousin S, editor.
Lanscape Ecology and Geographic Information system. London (GB): Taylor
& Francis.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2010. Klasifikasi Penutupan Lahan. Jakarta
(ID): Badan Standardisasi Nasional
Soekamto NH, Alfian N, Iwan D, Hasriani A, Ruhman, Agustono. 2010. Dua
senyawa triterpenoid dari tumbuhan paliasa (Kleinhovia hospita L.) Famili
Sterculiaceae. J Sains MIPA. 16(2):94-98.
Soekarman, Riswan S. 1992. Status pengetahuan etnobotani di Indonesia. Prosiding
seminar etnobotani. Departemen pendidikan dan kebudayaan RI Departemen
pertanian RI, LIPI. Bogor (ID). Perpustakaan Nasional RI.
Steenis CGGJV. 2006. Flora. Volume ke-11. Surjowinoto M, Hardjosuwarno S,
Adisewojo SS, Wibisono, Partodidjojo M, Wirjahardja S, penerjemah.
Jakarta (ID): PT Pradnya Paramita.
Stow DA. 1993. The role of geographic information systems for landscape
ecological studies. Di dalam: Young RH, Green DR, Cousin S, editor.
Lanscape Ecology and Geographic Information system. London (GB): Taylor
& Francis.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung (ID):
Alfabeta.
Susanti AR. 2000. Pola sebaran spasial jenis meranti merah (Shorea leprosula) di
hutan hujan dataran rendah. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Tian B, Zhou Y, Zhang L, Yuan L. 2008. Analyzing the habitat suitability for
migratory birds at the Chongming Dongtan Nature Reserve in Shanghai,
China. Estuarine, Coastal and Shelf Science. 80(2008):296–302.
Tomlin CD. 1991. Cartographic Modeling. In Maguire D, Goodchild MF, Rhind D.
Geographic Information Systems: Principles and Applications. London (GB):
Longman. 361-374.
55

Touyz RM, Schiffrin EL. 2004. Reactive oxygen species in vascular biology:
implications in hypertension. Histochem Cell Biol. 122:339-352.
Waston L, Dallwit MJ. 2002. The families of flowering plants: sterculiceae vent.
(Online). (http://www.sterculiceae.html), diakses 1 November 2015.
Walpole RE. 1993. Pengantar Statistika. Ed ke-3. Jakarta (ID): PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Yuliana, Widarsa T, Wiranatha G. 2013. Pemberian ekstrak metanol daun paliasa
menurunkan kadar glukosa darah tikus hiperglikemik [Methanol Extract Of
Paliasa Leaves Decreases Blood Glucose Level Hyperglycemic Rats]. J
veterin. 14(4):495-500.
Zuhud EAM, Sofyan K, Prasetyo LB, Kartodihardjo H. 2007. Sikap Masyarakat
dan Konservasi: Suatu Analisis Kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr.)
sebagai Stimulus Tumbuhan Obat bagi Masyarakat, Kasus di Taman Nasional
Meru Betiri (Community’s Attitudes and Conservation: An Analysis of
Kedawung (Parkia timoriana (DC.) Merr.), Stimulus of Medicinal Plant for
the Community, Case in Meru Betiri National Park). Media Konserv.
12(2007):22-32.
Zuhud EAM. 2008. Mengembangkan multisistem silvikultur dengan pendekatan
holistik tri-stimulus amar (alamiah, manfaat, religius) pro-konservasi.
Prosiding lokakarya nasional penerapan multisistem silvikultur pada
pengusahaan hutan produksi [Internet]. Bogor (ID): 259-270
Zuhud EAM. 2011. Pengembangan desa konservasi hutan keanekaragaman hayati
untuk mendukung kedaulatan pangan dan obat keluarga (POGA) indonesia
dalam menghadapi ancaman krisis baru ekonomi dunia di era globalisasi.
Bogor (ID): IPB Pr.
Zuhud, Haryanto. 1994. Pelestarian pemanfaatan keanekaragaman tumbuhan obat
hutan tropika Indonesia. Kerjasama jurusan konservasi sumberdaya hutan
IPB dan lembaga alam tropika Indonesia (LATIN). Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Zuhud, Siswoyo. 2001. Rencana strategi konservasi tumbuhan obat Indonesia.
Kerjasama proyek pengelolaan dan pemulihan kerusakan lingkungan
BAPEDAL dan Fahutan IPB. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
56

LAMPIRAN
57

Lampiran 1 Ancaman tumbuhan paliasa akibat perubahan fungsi lahan

57
58

Lampiran 2 penyebaran tumbuhan paliasa pada 6 tipe penggunaan lahan yang


ada di Kecamatan Bontobahari
59

Lampiran 3 Peta penyebaran tumbuhan paliasa (Kleinhovia hospita L) yang ditemukan pada beberapa tipe penggunaan lahan
di Kecamatan Bontobahari

59
60

60
Lampiran 4 Proses pengambilan bagian dari tumbuhan tambaro’go
61

Lampiran 5 Tumbuhan kayu cina Lampiran 6 Tumbuhan tinappasa

61
62

62
Lampiran 7 Proses pembuatan ramuan obat tradisional dari kulit batang paliasa dan kayu cina
63

Lampiran 8 Proses sebaran spasial paliasa (Kleinhovia hospita L.)

Citra Google Earth


(*ecw)

Pemotongan Batas Area Digitasi (*.shp)


Penelitian

Klasifikasi Tutupan Lahan

overlay dengan layer GPS titik temuan


penutupan lahan paliasa (*.gpx)

Sebaran Spasial K.
hospita L.
64

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bulukumba pada tanggal 14 November 1989 sebagai


anak ke dua dari pasangan H. Baharuddin dan Hj. Rohani. Pendidikan sarjana
ditempuh di Progaram Studi Biologi Sains, Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, lulus pada tahun 2012. Selanjutnya
pada tahun 2014, penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan pada tingkat
Magister dan diterima di Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika Program
Pascasarjana IPB (Institut Pertanian Bogor) dan menamatkannya pada tahun 2017.

Anda mungkin juga menyukai