Anda di halaman 1dari 108

KARAKTERISTIK SAPI PASUNDAN BERDASARKAN STUDI

MORFOMETRIK DAN KRANIOMETRIK

SULASMI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakteristik Sapi


Pasundan berdasarkan Studi Morfometrik dan Kraniometrik adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, November 2016

Sulasmi
NPM D151140221
RINGKASAN

SULASMI. Karakteristik Sapi Pasundan berdasarkan Studi Morfometrik dan


Kraniometrik. Dibimbing oleh ASEP GUNAWAN, RUDI PRIYANTO dan
CECE SUMANTRI.

Sapi pasundan merupakan ternak lokal Jawa barat yang telah ditetapkan
sebagai rumpun ternak lokal Indonesia berdasarkan SK Menteri Pertanian
Republik Indonesia Nomor 1051/Kpts/RI/SR.10/2014. Sapi pasundan merupakan
ternak penghasil daging dengan kualitas reproduksi yang baik. Informasi tentang
karakteristik ukuran tubuh dan asal-usul sapi pasundan masih terbatas.
Karakterisasi sapi pasundan dan perbandingannya dengan sapi lokal lainnya di
Indonesia perlu dikaji.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik ukuran tubuh dan
asal-usul sapi pasundan dengan sapi bali, madura dan peranakan ongole. Ternak
yang diukur adalah sapi jantan dan betina kondisi dewasa tubuh pada kisaran 2– 3
tahun (I2). Jumlah ternak yang diukur adalah 142 ekor sapi jantan dan 328 ekor
sapi betina. Variabel ukuran tubuh yang diukur diantaranya tinggi pundak,
panjang badan, lingkar dada, lebar dada, dalam dada, tinggi pinggang, lebar
pinggul dan panjang kelangkang sedangkan bobot badan diestimasi menggunakan
pendekatan model regresi. Nilai indeks morfometrik didapatkan menggunakan
rasio dari beberapa ukuran tubuh. Variabel ukuran kranium yang diukur meliputi
Profile length, median frontal length, length of the nasals, foramen gums length,
condilo basal length, greatest breath of the skull, least breadth between the basses
of the horn cores, least frontal breadth, least breadth between supraorbital
foramina, least breadth between the orbits dan breadth between supraorbital
foramina.
Ukuran tubuh dan kranium sapi pasundan di wilayah subpopulasi maupun
jika dibandingkan dengan sapi bali, madura dan PO relatif lebih beragam. Nilai
indeks sapi pasundan terlihat lebih kecil dibandingkan dengan sapi bali, madura
dan PO dengan nilai 2.64 pada sapi pasundan jantan dan 2.73 pada sapi pasundan
betina. Penciri ukuran tubuh sapi pasundan adalah panjang badan sedangkan
penciri bentuk adalah lingkar dada. Penciri kranium sapi pasundan yaitu least
breadth between the orbits (penciri ukuran) dan profile length serta candilo bassal
length (penciri bentuk). Jarak genetik sapi pasundan berdasarkan ukuran tubuh
memiliki hubungan kekerabatan lebih dekat dengan sapi PO sedangkan
berdasarkan ukuran kranium terlihat lebih dekat dengan sapi madura.

Kata kunci: sapi pasundan, karakteristik penciri ukuran tubuh dan kranium, jarak
genetik
SUMMARY

SULASMI. Characteristics of Pasundan cattle based on Morphometric and


Craniometric Study. Supervised by ASEP GUNAWAN, CECE SUMANTRI and
RUDI PRIYANTO.

Pasundan cattle is a local livestock western Java which has been designated
as the local livestock clumps Indonesia based on the Minister of Agriculture of the
Republic of Indonesia No. 1051/Kpts/RI/SR.10/2014. Pasundan cattle is a meat
producer local livestock in west Java. Information about characterizatics of body
measurements and origin of pasundan cattle is very limited. Characterizations
between pasundan cattle and comparing with local cattle in Indonesian need to be
studied.
This research aims to study the characteristics of pasundan cattle as the
identifier of body size and shapes and compered by bali, madura and peranakan
ongole cattle. As many as 470 adult of cattle at 2–3 year (I2) awere used which 72
bulls and 242 cows of pasundan cattle, 30 bulls and 30 cows of bali cattle, 30
bulls and 30 cows of madura cattle and 10 cows and 30 of peranakan ongole
cattle. Eigth body measurements namely height at withers, rumpt heigth, body
length, hearth girth, chest width, rumpt heigth, hip width and crotch length. Body
weight estimation using regression model approach. Morphometric index values
obtained using ratios of some body size. Variable size cranium measured include
Profile length, median frontal length, length of the nasals, foramen gums length,
condilo basal length, greatest breath of the skull, the least breadth between the
basses of the horn cores, least frontal breadth, least breadth between supraorbital
foramina, least breadth between the orbits and breadth between supraorbital
foramina.
The statistical analysis used descriptive analysis statistics, analysis of
variance, tukey test, Principal Component Analysis (PCA) and discriminant
analysis. The body size and cranium of pasundan cattles in subpopulation are
diverse. The diversity of body sizes and cranium sizes in pasundan is higher and
have lower body weight along the morphometric index value is smaller than bali,
madura and PO cattle. The indentifier of pasundan cattle have a longer body size
and shape higher and the identifier of cranium are longer resembles of PO cattle
and greater than bali and madura cattle. The results of genetic distance analysis
showed that pasundan cattle have a closer distance with madura cattle.

Keywords : Pasundan cattle, characteristics of body size and cranium, genetic


distance
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KARAKTERISTIK SAPI PASUNDAN BERDASARKAN
STUDI MORFOMETRIK DAN KRANIOMETRIK

SULASMI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Sri Darwati, MSi
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga Tesis dengan judul “Karakteristik Sapi Pasundan
berdasarkan Studi Morfometrik dan Kraniometrik” ini dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Tesis. Ucapan terima kasih
yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Dr agr Asep Gunawan SPt MSc, Dr
Ir Rudi Priyanto dan Prof Dr Ir Cece Sumantri selaku pembimbing yang telah
memberikan arahan dalam penyusunan Tesis ini. Kepada Johar Arifin SPt MP,
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk ikut dalam penelitian
Konservasi Sapi Pasundan di Jawa Barat, sehingga sebagian data dapat penulis
jadikan sebagai bahan penulisan Tesis.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang
tua yang sangat penulis cintai, papa Kisman Minggu SP MSi, mama yang
tersayang Kasehati P Nittisastro terimakasih atas segalanya. Doa terbaik untuk
kalian sepanjang hayat. Kepada adik-adik yang tersayang Zamrud M Sangaji, Eny
Anggraeni Kisman, Dinda, Isah, Masida, Hasna, Hasni dan segenap keluarga serta
Rajif Duchlun terimakasih atas motivasi yang telah diberikan kepada penulis
selama melangsungkan studi.
Kepada Bapak Dr Ir Salundik MSi selaku Ketua Program Studi Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan dan Dr Ir Niken Ulupi MSi selaku Sekretaris
Program Studi serta seluruh staf Dosen Pengajar di Pascasarjana di Program Studi
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan IPB. Dr. Ir Sri Darwati MSi selaku
penguji pada ujian tesis, terimakasih atas kritik dan saran serta arahan yang sangat
konstruktif. Kepada Prof Muladno dan Dr Ir Jakaria MSi serta seluruh staf Dosen
Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan IPB. Tenaga
Administrasi di Prodi IPTP, terimakasih Bu Ade dan Mba Okta atas pelayanan
terbaik dan kebaikannya selama ini.
Segenap Dosen di Fakultas Pertanian Universitas Khairun khususnya Prodi
Peternakan Universitas Khairun. Teman-teman Dosen Muda Universitas Khairun
dan Staf Pegawai Birokrat serta Laboran Lingkup Universitas Khairun. Dinas
Peternakan Provinsi Jawa Barat, BP3IPTEK Jawa Barat, Dinas Peternakan di 11
Kabupaten Jawa Barat, BPPT Sapi Potong Ciamis, Dinas Peternakan Denpasar
Bali, Dinas Peternakan Kabupaten Pamekasan dan Kelompok-kelompok Ternak
di VBC (Village Breeding Center) Pengembangan Sapi Pasundan di Jawa Barat
serta Tim Penelitian yang solid. Teman-teman seperjuangan Pascasarjana IPTP
Angkatan 51, ABG Sci-IPB (Animal Breeding and Genetics Student Community
IPB), HIMAWIPA-IPB (Himpuan Mahasiswa Pascasarjana IPB) dan FORPAS-
MU (Forum Mahasiswa Pascasarjana Maluku Utara).
Semoga Tesis ini dapat memberikan kebermanfaatan.

Bogor, November 2016

Sulasmi
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 3
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
Ruang Lingkup Penelitian 4
2 METODE 4
Waktu dan Lokasi 4
Prosedur Penelitian 5
Analisis Data 8
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 13
Kondisi Umum Lokasi Penelitian 13
Karakteristik Morfometrik Ukuran Tubuh 16
Indeks Morfometrik Sapi Pasundan, Bali, Madura dan PO 34
Karakteristik Ukuran Kranium 39
Jarak Genetik 52
4 PEMBAHASAN UMUM 59
5 SIMPULAN DAN SARAN 63
Simpulan 63
Saran 63
DAFTAR PUSTAKA 64
LAMPIRAN 71
RIWAYAT HIDUP 90
DAFTAR TABEL
1 Deskripsi ukuran tinggi pundak, panjang badan dan tinggi pinggul sapi
pasundan berdasarkan wilayah subpopulasi 17
2 Deskripsi ukuran lebar dada, lebar pinggul dan panjang kelangkang sapi
pasundan berdasarkan wilayah subpopulasi 19
3 Deskripsi ukuran dalam dada dan lingkar dada sapi pasundan berdasarkan
wilayah subpopulasi 21
4 Deskripsi bobot badan sapi pasundan berdasarkan wilayah subpopulasi 23
5 Deskripsi ukuran tinggi pundak, panjang badan dan tinggi pinggul sapi
pasundan, bali, madura dan PO 25
6 Deskripsi ukuran lebar pinggul dan panjang kelangkang sapi pasundan,
bali, madura dan PO 27
7 Deskripsi ukuran dalam dada dan lingkar dada sapi pasundan, bali,
madura dan PO 28
8 Deskripsi bobot badan sapi pasundan, bali, madura dan PO 29
9 Hasil analisis statistik T2-Hotelling variabel ukuran tubuh sapi pasundan,
bali, madura dan PO 30
10 Persamaan penciri ukuran kranium dan bentuk serta nilai korelasi pada
sapi pasundan, bali, madura dan PO 30
11 Rekapitulasi penciri ukuran kranium dan bentuk serta nilai korelasi pada
sapi pasundan, bali, madura dan PO 31
12 Deskripsi nilai indeks heigth slope, length index dan balance sapi
pasundan, bali, madura dan PO 34
13 Deskripsi nilai indeks width slope, depth index dan foreleg length (cm)
sapi pasundan, bali, madura dan PO 36
14 Deskripsi nilai cumulative index sapi pasundan, bali, madura dan PO 37
15 Deskripsi ukuran kranium profile length, median frontal length, dan
length of the nasals sapi pasundan berdasarkan wilayah subpopulasi 39
16 Deskripsi ukuran kranium foramen gums length, candilo bassal length
dan greatest breadth of the skulls sapi pasundan berdasarkan wilayah
subpopulasi 40
17 Deskripsi ukuran kranium least breadth between the basses of the horn
cores, least breadth dan least breadth between supraorbital foramina sapi
pasundan berdasarkan wilayah subpopulasi 40
18 Deskripsi ukuran kranium least breadth between the orbits dan breadth
between supraorbital foramina sapi pasundan berdasarkan wilayah
subpopulasi 42
19 Deskripsi ukuran profile length (x1), median frontal length (x2), length
of the nasals (x3) dan foramen gums length (x4) sapi pasundan, bali,
madura dan PO 44
20 Deskripsi ukuran candilo bassal length (x5), greatest breadth of the skull
(x6), least breadth between supraorbital foramina (x7), dan least breadth
between the orbits (x8) sapi pasundan, bali, madura dan PO 46
21 Deskripsi ukuran kranium breadth between the infraorbital foramina (x9),
least breadth between the orbits (x10), breadth between the infraorbital
foramina (x11) sapi pasundan, bali, madura dan PO 47
22 Hasil analisis T2-Hotelling ukuran kranium sapi pasundan, bali, madura
dan PO 48
23 Persamaan, keragaman total dan nilai eigen ukuran kranium dan bentuk
sapi pasundan, bali, madura dan PO 49
24 Rekapitulasi penciri ukuran kranium dan bentuk serta nilai korelasi pada
sapi pasundan, bali, madura dan PO 49
25 Persentase nilai kesamaan dan campuran sapi pasundan, bali, madura
dan PO berdasarkan ukuran tubuh 52
26 Matriks jarak genetik sapi pasundan, bali, madura dan PO berdasarkan
ukuran tubuh 53
27 Persentase nilai kesamaan dan campuran sapi pasundan, bali, madura
dan PO berdasarkan ukuran kranium 54
28 Matriks jarak genetik sapi pasundan, bali, madura dan PO berdasarkan
ukuran kranium 54

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka Pemikiran Penelitian 2
2 Peta lokasi penelitian 5
3 Ukuran tubuh sapi yang diukur 6
4 Ilustrasi nama titikukuran dari arah dorsal dan ventral kranium sapi
(Hayashi et al. 1982 dan Saparto 2004) 7
5 Ilustrasi ukuran kranium sapi yang diukur 7
6 (a) Sapi pasundan di wilayah hutan saat pengembalaan (b) sapi pasundan
di lokasi kandang pada kelompok ternak 13
7 (a) Pemeliharaan sapi pasundan di BPPT Ciamis (b) Gudang pakan di
BPPT Ciamis 13
8 (a) Sapi bali indukan di balai pembibitan (b) Sapi bali di Simantri 14
9 (a) Sapi jantan madura di peternakan rakyat (b) Kondisi pemeliharaan sapi
madura di Kabupaten Pamekasan 15
10 (a) Sapi PO di BPPT sapi potong Ciamis (b) sapi PO di peternakan rakyat
Kabupaten Indramayu 16
11 Diagram kerumunan sapi pasundan, bali, madura dan PO berdasarkan
ukuran tubuh 32
12 Diagram kerumunan sapi pasundan, bali, madura dan PO berdasarkan
ukuran kranium 51

DAFTAR LAMPIRAN
1 Lokasi dan jumlah ternak sapi dalam penelitian 72
2 Letak geografi dan iklmim wilayah subpopulasi sapi pasundan 73
3 Luas lahan dan jenis penggunaannya di lokasi penelitian 75
4 Analisis sidik ragam ukuran tubuh dan bobot badan sapi pasundan
jantan di wilayah subpopulasi 78
5 Analisis sidik ragam ukuran tubuh dan bobot badan sapi pasundan
betina di wilayah subpopulasi 79
6 Analisis sidik ragam ukuran tubuh dan bobot badan sapi pasundan,
bali, madura dan PO jantan 79
7 Analisis sidik raga, ukuran tubuh dan bobot badan sapi pasundan, bali,
madura dan PO betina 80
8 Analisis sidik ragam indeks morfometrik sapi pasundan, bali, madura
dan PO jantan 79
9 Analisis sidik ragam indeks morfometrik sapi pasundan, bali, madura
dan PO betina 80
10 Analisis sidik ragam ukuran kranium sapi pasundan jantan di wilayah
subpopulasi 81
11 Analisis sidik ragam ukuran kranium sapi pasundan betina di wilayah
subpopulasi 82
12 Analisis sidik ragam ukuran kranium sapi pasundan, bali, madura dan
PO jantan 84
13 Analisis sidik ragam ukuran kranium sapi pasundan, bali, madura dan
PO betina 85
6

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sapi pasundan ditetapkan sebagai kekayaan sumberdaya genetik ternak


lokal Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor
1051/Kpts/SR.120/10/2014. Sapi pasundan merupakan ternak hasil adaptasi lebih
dari sepuluh generasi antara Bos sundaicus dengan sapi Jawa, madura dan sumba
ongole. Sebaran asli sapi pasundan terdapat di Provinsi Jawa Barat meliputi
Kabupaten Pangandaran, Tasikmalaya, Garut, Cianjur, Sukabumi, Ciamis,
Kuningan, Majalengka, Sumedang, Indramayu dan Purwakarta. Sapi pasundan
dipelihara secara turun-temurun dan telah menyatu dengan kehidupan masyarakat
peternak selama ratusan tahun serta dijadikan sebagai sumber modal (Kementan
2014).
Secara kualitatif sapi pasundan memiliki warna tubuh dominan merah bata,
terdapat warna putih bagian pelvis dan keempat kaki bagian bawah (tarsus dan
carpus) dengan batasan tidak kontras. Terdapat garis belut atau garis punggung
sepanjang punggung dengan warna lebih tua dari warna dominan. Beberapa sapi
pasundan jantan dapat mengalami perubahan warna dari merah bata menjadi
hitam sesuai dengan dewasa kelamin (perubahan hormon anderogen). Secara
kuantitatif sapi pasundan memiliki ukuran tinggi pundak jantan 115.74+8.40 cm
dan betina 109.74+6.30 cm, panjang badan jantan 120.09+9.80 cm dan betina
110.09+9.68 cm serta lingkar dada jantan 150.22+11.76 dan betina 138.22+11.85
cm. Bobot badan sapi pasundan jantan 240.40+34.00 kg dan 220.30 kg (Baharun
2015).
Sapi pasundan memiliki tubuh yang kecil, tahan terhadap penyakit tropis
dan perubahan lingkungan yang ekstrim termasuk kondisi pakan yang berkualitas
rendah (Arifin et al. 2015). Badan Pusat Statistik Jawa Barat tahun 2015
melaporkan bahwa populasi sapi pasundan mengalami penurunan pada tahun
2013 sebanyak 50 000 ekor menjadi 40 000 ekor pada tahun 2015 (Dwitresnadi et
al. 2015). Penurunan ini diduga karena adanya seleksi negatif dalam populasi,
yang mana sapi-sapi berukuran besar terkuras melalui pemotongan dan
pengeluaran yang tidak terkontrol. Introduksi inseminasi buatan (IB) yang cukup
intensif mengakibatkan pengurasan sumberdaya genetik ternak lokal (Hilmia
2013).
Keberadaan sapi pasundan sebagai rumpun ternak lokal memerlukan upaya
pelestarian dan pengembangan. Namun kajian terkait karakterisasi sifat kuantitatif
sapi pasundan belum banyak dilakukan. Keterbatasan data karakteristik ini
menjadi kendala dalam upaya pelestarian dan pengembangan. Pemanfaatan
sumberdaya genetik ternak dilakukan melalui karakterisasi terhadap ternak atau
menggunakan database berupa karakteristik ternak secara lengkap baik secara
kualitatif dan kuantitatif (Hilmia (2013); Tsegaye et al. (2013); Kugonza et al.
(2011); Kayatsha et al. (2011)). Tampilan fenotipik eksternal ternak masih umum
digunakan para peneliti dan praktisi peternakan dalam mengidentifikasi,
mengkarakterisasi serta menyeleksi ternak-ternak untuk dikembangbiakkan
(Sarbaini 2004).
2

Karakterisasi sifat kuantitatif ukuran tubuh dan kranium ternak dapat


dilakukan dengan menggunakan metode sederhana melalui pengukuran.
Penelitian tentang karakteristik ternak lokal telah berdasarkan ukuran tubuh telah
dilakukan pada sapi bali (Hikmawaty et al. 2015), sapi katingan (Utomo et al.
2010) dan sapi aceh (Sarbaini et al. 2004). Sedangkan penelitian tentang
pengukuran ukuran kranium telah dilakukan untuk menyelediki asal-usul
beberapa tipe sapi Asia Timur termasuk sapi asli Indonesia (Hayashi et al. 1980
dan 1982) dan beberapa sapi lokal diantaranya sapi jawa, madura dan PO (Saparto
2004).
Eksplorasi terhadap informasi karakteristik sapi pasundan dan
perbandingannya dengan sapi lokal Indonesia lainnya sangat penting dilakukan
untuk mengetahui potensi genetik secara kuantitatif. Sehubungan dengan itu maka
penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi karakteristik ukuran tubuh
maupun kranium sapi pasundan melalui kajian di seluruh wilayah sebaran
populasi dan perbandingan dengan sapi bali, madura dan peranakan ongole.
Informasi ini diharapkan dapat menjadi data base deskripsi karakteristik ternak
sapi pasundan yang dapat dimanfaatkan dalam upaya pelestarian dan
pengembangan.

Penetapan rumpun sapi pasundan


sebagai sumberdaya genetik
ternak lokal Jawa Barat
(SK Menteri Pertanian No.
1051/Kpts/SR.12/10/2014)
Masih terbatasnya data
karakteristik sapi
pasundan secara
kuantitatif
Eksplorasi sifat kuantitatif

Ukuran tubuh Wilayah


subpopulasi sapi Keragaman
Ukuran kranium pasundan

- Keragaman
Ukuran tubuh Perbandingan: - Penciri ukuran dan
sapi bali, madura bentuk
Ukuran kranium dan PO - Indeks morfometrik
- Jarak genetik

Data karakteristik ternak


sapi pasundan

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian


3

Perumusan Masalah

Rumpun sapi pasundan ditetapkan sebagai ternak lokal Provinsi Jawa Barat
berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1051/Kpts/SR.120/10/2014.
Informasi karakteristik sangat penting sebagai upaya pelestarian sumberdaya
genetik ternak lokal. Informasi karakteristik sapi pasundan sangat terbatas
sehingga diperlukan eksplorasi tentang :
1 Bagaimana keragaman ukuran tubuh dan kranium sapi pasundan di wilayah
subpopulasi?
2 Bagaimana keragaman, penciri ukuran dan bentuk, nilai indeks morfometrik
serta jarak genetik antara sapi pasundan dengan sapi bali, madura dan PO
berdasarkan ukuran tubuh?
3 Bagaimana keragaman, penciri ukuran dan bentuk serta jarak genetik
berdasarkan ukuran kranium antara sapi pasundan dengan sapi bali, madura
dan PO berdasarkan ukuran kranium?

Tujuan Penelitian

Tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :


1 Mengkaji keragaman ukuran tubuh dan kranium sapi pasundan di wilayah
subpopulasi.
2 Mengidentifikasi keragaman, penciri ukuran dan bentuk, nilai indeks
morfometrik serta jarak genetik sapi pasundan dibandingkan dengan sapi bali,
madura dan PO berdasarkan ukuran tubuh.
3 Mengidentifikasi keragaman, penciri ukuran dan bentuk serta jarak genetik
sapi pasundan dibandingkan dengan sapi bali, madura dan PO berdasarkan
ukuran kranium.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :


1 Mendapatkan informasi keragaman ukuran tubuh dan kranium sapi pasundan
di wilayah subpopulasi.
2 Mendapatkan informasi perbandingan keragaman, penciri ukuran dan bentuk,
indeks morfometrik serta hubungan kekerabatan antara sapi pasundan dengan
sapi bali, madura dan PO berdasarkan ukuran tubuh.
3 Mendapatkan informasi perbandingan keragaman, penciri ukuran dan bentuk
serta hubungan kekerabatan antara sapi pasundan dengan sapi bali, madura
dan PO berdasarkan ukuran kranium.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mengkaji tentang karakterisasi sapi pasundan di wilayah


subpopulasi dan perbandingannya dengan sapi bali, madura dan PO berdasarkan
ukuran tubuh dan kranium. Hasil penelitian berupa keragaman, penciri ukuran dan
bentuk, indeks morfometrik serta jarak genetik sapi pasundan yang dapat
mendeskripsikan karakteristik sapi pasundan secara kuantitatif.
4

2 METODE

Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan September 2015 sampai Januari


2016. Penelitian dilaksanakan di lokasi pemeliharaan sapi pasundan meliputi
Kabupaten Sumedang, Majalengka, Ciamis, Kuningan, Purwakarta, Indramayu,
Tasikmalaya, Cianjur, Garut, Pangandaran dan Sukabumi. Lokasi sapi bali di
Kabupaten Jembrana Provinsi Bali dan Balai Veteriner Denpasar Provinsi Bali.
Sapi madura di Kabupaten Pamekasan Pulau Madura. Sapi PO di Balai
Pengembangan dan Pembibitan Sapi Potong Kabupaten Ciamis dan Kabupaten
Indramayu. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2.

Bahan

Ternak yang diukur dalam penelitian ini sapi pasundan, bali, madura dan PO
dengan jumlah 162 ekor sapi jantan dan 310 ekor sapi betina. Adapun jumlah
ternak di masing-masing lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 2.

Alat

Peralatan yang digunakan adalah pita meteran, tongkat ukur (FHK Stainless
steel), kaliper, alat tulis dan kamera digital. Alat bantu analisis data menggunakan
Microsoft Excel 2013 dan Software MINITAB 16.1.1.0.

Prosedur

Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini diperoleh dari data primer dan sekunder. Data
primer pada penelitian ini terdiri atas data ukuran tubuh dan kranium sapi. Data
diperoleh menggunakan metode survei yaitu dengan melakukan pengukuran
secara langsung pada variabel ukuran tubuh maupun kranium pada sapi yang akan
diamati. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari penelusuran
laporan/dokumen hasil studi/penelitian, peraturan perundang-undangan dan data
pendukung lainnya. Data pendukung dari masing-masing lokasi penelitian
bersumber dari Dinas Peternakan, Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geografi (BMKG).

Pemilihan Lokasi.
Teknik sampling lokasi dilakukan secara purpossive sampling (Sugiyono
2011). Lokasi pengukuran sapi pasundan diambil berdasarkan rekomendasi Dinas
Peternakan Jawa Barat. Kelompok ternak terpilih memiliki konsentrasi dalam
budidaya dan pembibitan sapi pasundan dan atas dasar kepemilikan jumlah ternak
sapi pasundan terbanyak di masing-masing Kabupaten. Lokasi pengukuran sapi
bali, madura dan PO diambil di wilayah sentra populasi dan sumber bibit.
5

Gambar 2 Peta lokasi penelitian


6

Pemilihan ternak.
Sampel ternak dipilih secara random (acak) pada jenis kelamin jantan dan
betina. Sapi yang dipilih untuk diukur adalah yang memiliki kondisi dewasa tubuh
pada umur 2–3 tahun, kondisi gigi (I2) dan tidak bunting untuk sapi betina.
Pendugaan umur dilakukan dengan melihat kondisi gigi seri bawah, mengacu
pada data recording dan melakukan wawancara langsung kepada peternak.
Pemilihan ternak sapi pasundan mengacu pada SK penetapan rumpun sapi
pasundan tahun 2014 (Kementerian Pertanian 2014) sedangkan sapi bali, madura
dan PO berdasarkan SNI (BSN 2013 dan 2015).

Metode Pengukuran Tubuh.


Pengukuran terhadap ukuran-ukuran tubuh dilakukan ketika ternak dalam
kondisi berdiri normal dan bobot badan bertumpu pada kedua kakinya dalam
kondisi seimbang. Metode pengukuran ukuran tubuh berdasarkan Amano et al.
(1981) yang dimodifikasi, disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Ukuran tubuh sapi yang diukur

Adapun bagian-bagian permukaan tubuh yang diukur meliputi ukuran :


1 Tinggi gumba, titik tertinggi diantara bahu (withers) sampai tanah dengan
menggunakan tongkat ukur. Posisi sapi tegak dan tempat pijakan rata.
Apabila terdapat punuk (gumba) maka pengukuran tinggi badan dilakukan
tepat di punuk.
2 Panjang badan, tinggi tertinggi pinggul secara tegak lurus ke tanah dengan
menggunakan tongkat ukur.
3 Lingkar dada diukur melingkar di sekeliling rongga dada melalui belakang
punuk dan di belakang sendi bahu (Os scapula) dengan menggunakan pita
ukur.
4 Lebar dada, jarak antara penonjolan sendi bahu (tuber humerus) kiri dan
kanan dengan menggunakan kaliper.
5 Dalam dada, titik tertinggi gumba (Os thoracic vertebrae) sampai tulang dada
(Os sternum) bagian bawah di belakang kaki depan dengan menggunakan
tongkat ukur.
7

6 Tinggi pinggul, titik tertinggi pinggul secara tegak lurus ke tanah dengan
menggunakan tongkat ukur.
7 Lebar pinggul, jarak antara tuber coxae kiri dan kanan dengan menggunakan
kaliper.
8 Panjang kelangkang, jarak antara tuber coxae dan tuber ischii dengan
menggunakan pita ukur.

Metode Pengukuran Kranium


Pengukuran kranium dilakukan ketika ternak dalam kondisi tenang.
Variabel yang diamati berdasarkan jarak titik-titik tulang pada kranium yang telah
ditetapkan oleh Hayashi et al. (1982) sebagaimana yang disajikan pada Gambar 4.
Arah ventral : Arah dorsal :

Keterangan :
A : Akrokranium Eu : Euryon
N : Nasion Sp : Supraorbitale
P : Prosthion Ft : Fossotemporale
Ent : Entorbitale If : Infraorbitale
Rh : Rhinion Zy : Zygion

Gambar 4 Ilustrasi nama titik ukuran dari arah dorsal dan ventral kranium sapi
(Hayashi et al. 1982 dan Saparto 2004)

Metode pengukuran berdasarkan Hayashi et al. (1982) yang telah


dimodifikasi tersaji pada Gambar 5.

Gambar 5 Ilustrasi pengukuran ukuran kranium sapi (Hayashi et al. 1982)


8

Adapun bagian-bagian permukaan kranium yang diukur meliputi variabel :


1 Profile length yaitu jarak Akrokranion (A) sampai Prosthion (P).
2 Median frontal length yaitu jarak akrokranion (A) sampai Nasion (N).
3 Length of the nasals yaitu jarak Nasion (N) sampai Rhinion (Rh).
4 Foramen gums length yaitu jarak Rhinion (Rh) sampai Prosthion (P).
5 Condilo basal length yaitu jarak Basion (B) sampai Prosthion (P).
6 Greatest breath of the skull yaitu jarak Zygon (Zy).
7 Least Breadth between the basses of the horn cores yaitu jarak antar
Fossotemporale (Ft).
8 Least frontal breadth yaitu jarak antar Euryon (Eu).
9 Least breadth between supraorbital foramina yaitu jarak antar Supraorbitale
(Sp).
10 Least breadth between the orbits yaitu jarak antar Entorbitale (Ent).
11 Breadth between supraorbital foramina yaitu jarak antar Infraorbitale (If).

Analisis Data

Standarisasi Umur Sapi


Data ukuran tubuh dan kranium kelompok sapi dengan umur berbeda
distandarisasi ke data kelompok sapi umur terbanyak yaitu kelompok umur 2
tahun. Standarisasi ini dilakukan sebelum dilakukan analisis lebih lanjut.
Standarisasi diperoleh dengan pendekatan perhitungan sebagai berikut :

Keterangan :
Pi-terkoreksi = nilai pengamatan ukuran tubuh/kranium tertentu yang terkoreksi
ke umur 2 tahun
ppengamatan ke – i = nilai pengamatan awal ukuran/kranium tubuh tertentu pada
kelompok umur tertentu
p2 = rataan nilai pengamatan ukuran tubuh/kranium tertentu pada
kelompok umur 2 tahun
px = rataan nilai pengamatan awal ukuran tubuh/kranium tertentu
pada
kelompok umur ke-x

Standarisasi Jenis Kelamin


Sebelum melakukan analisis diskriminan, data ukuran tubuh dan kranium
pada sapi jantan diseragamkan dengan koreksi ke betina menggunakan
pendekatan perhitungan sebagai berikut :

Keterangan :
qi-terkoreksi (jenis kelamin) = nilai pengamatan ukuran tubuh/kranium tertentu yang
terkoreksi ke kelompok betina
9

qpengamatan ke – i = nilai pengamatan awal ukuran tubuh/kranium tertentu


pada kelompok betina
q2 = rataan nilai pengamatan ukuran tubuh/kranium tertentu
pada kelompok betina
qx = rataan nilai pengamatan awal ukuran tubuh/kranium
tertentu pada kelompok jantan

Estimasi Bobot Badan


Bobot badan diduga dengan menggunakan model regresi Gunawan (2015).
Estimasi bobot badan ini menggunakan ukuran lingkar dada. Pendekatan model
regresi ini telah diaplikasikan pada sapi PO menggunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan :
BB = Bobot badan (kg)
ld = lingkar dada (cm)

Analisis Statistik Deskriptif


Deskripsi ukuran tubuh, nilai indeks morfometrik dan kranium hasil
pengukuran dan bobot badan hasil estimasi regresi (Gunawan et al 2015)
dianalisis secara deskriptif dengan menentukan nilai rataan ( ̅ ), standar deviasi
(sd) dan koefisien keragaman (KK) berdasarkan Walpole (1992).
Rataan ( ̅ ) dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:


̅

Keterangan :
̅ = Rataan ukuran tubuh (cm)/indeks morfometrik/ukuran
kranium (cm)/bobot badan (kg)
∑ = jumlah keseluruhan ukuran tubuh (cm)/bobot badan (kg)
Indeks morfometrik/ukuran kranium (cm)
n = jumlah ternak yang diamati, jantan/betina (ekor)
Standar deviasi (sd) dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

∑ ∑

Keterangan :
= standar deviasi
∑ = jumlah ukuran-ukuran tubuh (cm)/indeks
morfometrik/ukuran kranium (cm)/bobot badan (kg)
n = banyaknya ternak yang diukur (ekor)
10

Koefisien keragaman (KK) dihitung menggunakan rumus:

̅
Keterangan :
= Koefisien Keragaman (%)
s = standar deviasi
̅ = nilai rata-rata ukuran tubuh (cm)/bobot badan (kg)/indeks
morfometrik/ukuran kranium (cm)

Indeks Morfometrik
Indeks morfometrik dapat digunakan sebagai alternatif dalam penilaian
ternak sebagai indikator tipe (pedaging, perah atau dwiguna) dan fungsi ternak
Indeks morfometrik menggunakan rasio dari beberapa ukuran tubuh berdasarkan
Alderson (1999), Salako dan Ngere (2002) dan Takaendengan (2011) dengan
rumus sebagai berikut:

Heigth slope = tinggi pinggul – tinggi pundak

Length index =

Balance =

Width slope = lebar pinggul – lebar dada

Depth Index =

Foreleg length = tinggi pundak – dalam dada

Cumulative Index = + length index + balance

Analisis Ragam (ANOVA)


Analisis Ragam (ANOVA) digunakan untuk mempelajari pengaruh dari
perbedaan wilayah subpopulasi maupun rumpun sapi terhadap ukuran tubuh,
bobot badan, indeks morfometrik dan ukuran kranium pada selang kepercayaan
95%.
Model matematika ANOVA (Mattjik dan Sumertajaya 2002) dengan
persamaan matematis sebagai berikut:

Yij = µ + τi + εij
11

Keterangan :
Yij = Respon ukuran tubuh (cm)/bobot badan (kg)/
Indeks morfometrik/ukuran kranium (cm)
µ = pengaruh lokasi/rumpun sapi
τi = pengaruh galat perlakuan ke-i ulangan ke-j
εij = galat
Jika perlakuan berpengaruh nyata, dilakukan uji lanjut tukey (Steel and Torrie
1993).

Statistik T2-Hotelling
T2-Hotelling digunakan untuk menentukan perbedaan antara morfometrik
ukuran tubuh atau ukuran kranium berdasarkan antara rumpun sapi yang diamati.
Hipotesis dalam pengujian tersebut adalah:
H0 : U1= U2: berarti bahwa vektor nilai rataan dari kelompok pertama sama
dengan kelompok kedua
H0 : U1 U2 : berarti bahwa vektor nilai rataan dari kelompok pertama berbeda
dengan kelompok kedua
Statistik T2-Hottelling digunakan untuk menguji hipotesis (Gaspersz 1992) :

T2 = ( -

Selanjutnya besaran:

F= T2

Akan berdistribusi dengan derajat bebas:

V1 = p V2 = n1 + n2 – p 1

Keterangan:
T2 = hasil uji statistik T2-Hotelling
F = nilai hitung untuk T2-Hotelling
n1 = ukuran sampel sapi dari kelompok 1
n2 = ukuran sampel sapi dari kelompok 2
P = banyaknya variabel yang digunakan
= invers dari matriks kovarian (SG)
X1 = vektor nilai rataan variabel acak dari kelompok 1
X2 = vektor nilai rataan variabel acak dari kelompok 2
Hasil statistik T2-Hottelling yang berbeda dilanjutkan dengan Analisis Komponen
Utama (AKU) dan analisis diskriminan.

Analisis Komponen Utama (AKU)


AKU dapat digunakan untuk pengelompokan sifat-sifat yang kemungkinan
menjadi prioritas sebagai dasar seleksi atau dapat dipakai untuk mempelajari
keterkaitan diantara ukuran-ukuran tubuh khususnya pada ternak besar
(Takaendengan 2011).
12

Data ukuran tubuh dan kranium dianalisis menggunakan AKU untuk


mengidentifikasi penciri ukuran dan bentuk. Persamaan ukuran dan bentuk
diturunkan dari matriks kovarian (Gasperz 1992) dengan model matematis:

γ1= α11χ1 + α21χ2 + α31χ3...+ α111χ11 ; γ2 = α12χ1+ α22χ2 + α32χ3…+ α112χ11

Keterangan :
γ1 = komponen utama ke-1
χ1 – χ11 = variabel ke 1,2,3,…8...11 (variabel ukuran tubuh/kranium)
α11 – α111 = vektor eigen ke-1,2,3 ,…8...11 untuk persamaan ukuran
γ2 = komponen utama ke-2
χ1 – χ11 = variabel ke 1,2,3,…8...11 (variabel ukuran tubuh/kranium)
α12– α112 = vektor eigen ke-1,2,3,..8...11 untuk persamaan bentuk

Penciri Ukuran dan Bentuk. Penciri ukuran diperoleh berdasarkan vektor eigen
tertinggi pada persamaan komponen utama pertama atau persamaan ukuran.
Penciri bentuk diperoleh berdasarkan vektor eigen tertinggi pada persamaan
komponen utama kedua atau persamaan bentuk (Hayashi 1982).
Korelasi Ukuran dan Bentuk. Vektor dan nilai eigen digunakan untuk
perhitungan korelasi antara ukuran, bentuk dan peubah ukuran-ukuran tubuh
maupun kranium yang berasal dari persamaan analisis komponen utama. Keeratan
hubungan (korelasi antara ukuran atau bentuk) dari peubah yang diamati dihitung
dengan rumus Gaspersz (1992):

Keterangan :
= nilai koefisien korelasi antara peubah ke-x (1,2,3..,..,8....11) dan
komponen
utama ke-y
= vektor eigen variabel ke-i (1,2,3..,..,8,....11) pada persamaan
ukuran/bentuk
= nilai eigen (akar penciri) ke-j
Si = simpangan baku variabel ke-j (1,2,3..,..,8,.....11)
Komponen utama I dapat diterima sebagai faktor ukuran (size factor) dan
komponen utama II sebagai faktor bentuk (shape factor). Skor pada persamaan
ukuran (sumbu X) dan bentuk (sumbu Y) divisualisasikan dalam bentuk diagram
kerumunan (Nishida et al. 1983).

Analisis Diskriminan
Penentuan hubungan kekerabatan antar rumpun sapi menggunakan fungsi
diskriminan sederhana melalui pendekatan jarak Mahalanobis (Nei 1987). Jarak
Mahalanobis sebagai ukuran jarak kuadrat genetik minimum digunakan dengan
perhitungan :

D (i, j)  X i  X jC-1 Xi  X j 


13

Keterangan :
D (i, j) = nilai statistik Mahalanobis sebagai ukuran jarak kuadrat
antar rumpun sapi ke-i dan antar rumpun sapi sapi ke-j
kelompok betina
C-1 (X i - X j) = kebalikan matriks gabungan ragam peragam antar peubah
Xi = vektor nilai rataan pengamatan dari antar sapi ke-i dari
masing-masing peubah
Xj = vektor nilai rataan pengamatan dari antar sapi ke-j dari
masing-masing peubah
Jarak Genetik. Hasil perhitungan jarak kuadrat kemudian diakarkan terhadap
hasil kuadrat jarak untuk membuat jarak genetik (tidak dalam bentuk kuadrat).
Data hasil analisis diskriminan dideskripsikan, nilai terkecil merupakan
representasi dari hubungan genetik dekat sedangkan nilai terbesar, hubungan
genetik yang berjauhan.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kondisi Umum Lokasi Pemeliharaan Sapi Pasundan


Sebaran populasi sapi pasundan terdapat di dua wilayah yaitu buffer zone
hutan dan pesisir selatan. Wilayah pesisir selatan terdapat di Kabupaten
Pangandaran, Tasikmalaya, Garut, Cianjur dan Sukabumi, sedangkan wilayah
buffer zone di Kabupaten Kuningan, Majalengka, Sumedang, Indramayu,
Purwakarta dan Ciamis. Pemeliharaan sapi pasundan secara umum masih bersifat
tradisional dengan secara pola semi intensif dan ekstensif. Kedua pola ini
mengandalkan vegetasi alam sebagai daya dukung pakan (Arifin et al. 2015). Sapi
pasundan biasanya digembalakan di sekitar hutan maupun sepanjang pesisir
pantai.
Provinsi Jawa Barat terletak pada 5o50–7o50’Lintang Selatan dan 104o48’–
o
108 48 Bujur Timur. Curah hujan berada antara 1.00–322 mm selama tahun 2014
Secara klimatologis, wilayah buffer zone sepanjang priangan utara dan pesisir
selatan memiliki ketinggian tempat yang relatif sama antara 7–100 mdpl, suhu
24–28oC dan kelembaban 70–80% (BPS Provinsi Jawa Barat 2015).
14

(a) (b)
Gambar 6 (a) Sapi pasundan di wilayah hutan saat pengembalaan (b) Sapi
pasundan di lokasi kandang pada kelompok ternak

(a) (b)
Gambar 7 (a) Pemeliharaan sapi pasundan di BPPT Ciamis (b) Gudang pakan
di BPPT Ciamis

Pemeliharan sapi pasundan di di Balai Perbibitan dan Pengembangan


Ternak Sapi Potong Ciamis (BPPT-SP) dilakukan secara intensif. Sapi pasundan
dikonsentrasikan pemeliharaannya untuk produksi semen sedangkan sapi betina
sebagai calon indukan. Hal ini merupakan program pemerintah sebagai upaya
pelestarian dan pengembangan ternak sapi pasundan sebagai plasma nutfah Jawa
Barat. Lahan di sekitar Balai Perbibitan dan Pengembangan Ternak Sapi Potong
Ciamis (BPPT-SP) dimanfaatkan sebagai lahan penanaman hijauan.

Kondisi Umum Lokasi Pemeliharaan Sapi Bali


Pemeliharan sapi bali di Balai Veteriner Denpasar dilakukan secara semi
intensif. Sapi bali dikandangkan di pedok-pedok atau kandang koloni.
Pemeliharaan sapi bali di Balai Veteriner dikonsentrasikan untuk bibit sedangkan
di Simantri diarahkan ke final stock. Simantri memiliki program mengintegrasikan
usaha budidaya tanaman, ternak dan limbah tanaman.

(a) (b)
Gambar 8 (a) Sapi bali indukan di balai pembibitan (b) Sapi bali di Simantri
15

Lokasi pengambilan sampel sapi bali bertempat di Balai Veteriner Denpasar


Bali dan Simantri di Kabupaten Jembrana. Denpasar terletak di 08o36’56’LS –
115o16’27oBT dengan suhu 27.6oC–30.7oC dengan kelembaban udara 75% (BPS
Provinsi Bali 2015). Sedangkan Kabupaten Jembrana secara geografis berada
pada 08o09’58’LS–115o51’–28oBT. Suhu udara di 20oC sampai 39oC dan
kelembaban udara antara 74 dan 87% (Bappeda Jembrana 2011). Curah hujan di
Kabupaten Jembrana 1 428.5 dengan suhu 26.5oC serta kelembaban 75%.
Ketinggian tempat berada pada 12 mdpl (BMKG Kabupaten Jembrana 2015).

Kondisi Umum Lokasi Pemeliharaan Sapi Madura


Pulau Madura terletak pada 113o19’–113o58 Bujur Timur dan 6o51–
7 31’Lintang Selatan. Suhu udara berada 28 sampai 30oC dengan kelembaban
o

80% termasuk cuaca yang cukup panas dengan tingkat curah hujan berada pada
kisaran 4.1–11.1 mm dan berada 6–350 mdpl (BPS Kabupaten Pamekasan 2016).

(a) (b)
Gambar 9 (a) Sapi jantan madura di peternakan rakyat (b) Kondisi
pemeliharaan sapi madura di Kabupaten Pamekasan

Pemeliharaan sapi madura di lokasi penelitian ini dilakukan secara semi


intensif. Pengembalaan terhadap sapi madura dilakukan pada pagi sampai sore
hari. Pakan yang diberikan hijauan dan konsentrat. Hijauan diperoleh dari rumput
lapang sekitar wilayah pemeliharaan sedangkan konsentrat diperoleh secara
komersial. Secara umum pemeliharaan sapi madura di lokasi penelitian
diorientasikan sebagai ternak potong penghasil daging.

Kondisi Umum Lokasi Pemeliharaan Sapi PO


Lokasi pemeliharaan sapi PO dalam penelitian ini berada di Balai Perbibitan
dan Pengembangan Ternak Sapi Potong (BPPT-SP) Ciamis dan peternakan rakyat
Kabupten Indramayu Kecamatan Terisi. Sapi PO di BPPT dipelihara secara
intensif sedangkan pemeliharaan di Kabupaten Terisi dipelihara secara semi
intensif dengan tipe kandang koloni.
Kabupaten Ciamis terletak 108°20’–108°40’BT dan 7°40’20”–7o41’20’’LS
(BPS Provinsi Jawa Barat 2015) sedangkan Kabupaten Indramayu terletak pada
1070’52’–1080 36’BT dan 060’15’–060’40’LS. Ciamis memiliki curah hujan 3
093 mm/tahun, suhu antara 20o –30oC, kelembaban udara 70–80% (BMKG
Kabupaten Ciamis 2015). Kabupaten Indramayu memiliki curah hujan 1 428.45
16

dan suhu 27–34°C serta kelembaban udara 70–80% (BMKG Kabupaten


Indramayu 2015).

(a) (b)
Gambar 10 (a) Sapi PO di BPPT sapi potong Ciamis (b) Sapi PO di peternakan
rakyat Kabupaten Indramayu

Pemeliharaan sapi PO di BPPT Ciamis mengembangkan sapi PO sejak


tahun 2012. Pemberian pakan rumput raja dan konsentrat dilakukan pada pagi dan
sore hari. Silase, hay dan wafer diberikan pada musim kemarau. Pemeliharaan
sapi PO di Kabupaten Indramayu dilakukan secara semi intensif, dikandangkan
secara koloni. Sapi digembalakan pada siang sampai sore hari dan diorientasikan
untuk penggemukkan.

Karakteristik Morfometrik Ukuran Tubuh

Morfometrik merupakan studi yang berhubungan dengan variasi dan


perubahan bentuk dan ukuran dari suatu organisme, meliputi pengukuran panjang
dan analisa kerangka (Komariah 2016). Karakteristik morfometrik ukuran tubuh
ternak dapat digunakan untuk mendeskripsikan potensi ternak secara kuantitatif.
Ukuran-ukuran biometrik atau morfometrik dapat digunakan untuk membedakan
pertumbuhan antar ternak (Pundir et al. 2011).

Deskripsi Morfometrik Ukuran Tubuh Sapi Pasundan berdasarkan Wilayah


Subpopulasi
Deskripsi morfometrik ukuran tubuh sapi pasundan jantan dan betina
berdasarkan wilayah subpopulasi disajikan pada Tabel 1, 2 dan 3. Deskripsi
morfometrik ukuran tinggi pundak, panjang badan dan tinggi pinggul pada sapi
pasundan jantan dan betina di wilayah subpopulasi disajikan pada Tabel 1.
Deskripsi ukuran lebar dada, lebar pinggul dan panjang kelangkang (Tabel 2) dan
deskripsi ukuran dalam dada dan lingkar dada (Tabel 3). Secara umum
perbedaan wilayah subpopulasi memberikan pengaruh terhadap ukuran-ukuran
tubuh sapi.
17

Tabel 1 Deskripsi morfometrik ukuran tinggi pundak, panjang badan dan tinggi pinggul sapi pasundan berdasarkan wilayah subpopulasi

Wilayah n JK Tinggi pundak (cm) Panjang badan (cm) Tinggi pinggul (cm)
Min Max ̅ +Sd KK Min Max ̅ +Sd KK Min Max ̅ +Sd KK
Kuningan 7 ♂ 125.00 145.50 133.14+8.97a 9.19 133.00 160.50 135.92+10.43a 6.39 127.00 147.50 135.29+8.08a 6.53
20 ♀ 115.98 145.50 125.16+1.57a 6.25 115.50 160.50 134.42+9.09a 6.76 119.00 141.16 127.40+7.08ab 5.70
Majalengka 5 ♂ 121.00 128.00 123.85+2.69b 2.17 126.00 133.00 128.60+2.88bc 2.24 122.00 130.00 126.25+3.03b 2.40
20 ♀ 109.00 120.00 114.08+3.21d 2.82 100.00 121.00 114.27+6.00de 5.25 114.50 124.00 119.08+2.58def 2.17
Sumedang 5 ♂ 119.00 130.00 124.80+5.26ab 4.22 124.00 145.00 124.50+3.56bc 6.51 122.00 132.00 127.40+4.45ab 3.49
20 ♀ 96.34 120.43 121.41+4.40d 3.63 92.22 124.50 112.10+7.99e 7.46 100.00 122.50 112.87+5.16f 5.22
Indramayu 5 ♂ 126.00 128.50 127.13+1.14ab 0.90 130.00 133.00 131.25+1.30bc 0.99 129.00 132.00 130.00+1.22ab 0.94
20 ♀ 109.50 122.20 119.87+5.70abc 4.76 114.50 135.39 124.87+5.71bc 5.27 110.00 132.00 121.75+5.60bcde 4.62
Purwakarta 5 ♂ 118.00 125.00 121.20+3.56b 2.94 120.00 130.00 125.40+3.97bc 3.17 129.00 130.00 123.40+3.36b 2.72
20 ♀ 110.00 130.00 121.33+5.31ab 4.38 115.00 135.00 126.08+5.45bc 5.75 113.00 134.00 121.33+5.31abcde 4.40
Ciamis 8 ♂ 117.00 125.00 121.80+5.31b 2.59 121.00 130.00 125.13+3.27c 2.61 119.00 131.00 125.13+3.44b 2.75
20 ♀ 109.00 122.20 116.73+3.94bcd 3.37 96.75 118.00 104.70+5.69f 5.43 110.60 125.00 118.75+4.29ef 3.61
Pangandaran 5 ♂ 119.00 125.00 120.80+2.39b 1.98 124.00 130.00 125.80+2.90bc 1.90 122.00 124.00 122.80+0.84b 0.68
20 ♀ 105.00 132.00 120.23+6.82abc 5.67 110.00 137.00 125.23+6.82bc 5.05 113.00 134.00 122.00+1.25bcde 4.24
Tasikmalaya 5 ♂ 122.00 128.50 126.10+2.56ab 2.03 127.75 133.00 130.55+2.03bc 1.56 125.50 132.00 129.10+2.36ab 1.82
20 ♀ 115.00 132.00 121.41+4.40ab 3.63 110.50 129.63 121.41+5.19cd 4.28 118.00 133.00 123.92+4.46abcd 4.31
Garut 10 ♂ 115.00 130.00 120.90+5.04b 4.19 97.00 118.00 107.60+6.48bc 6.03 120.00 132.00 125.10+4.91b 3.92
20 ♀ 118.00 134.00 124.73+4.07a 3.26 121.00 139.57 131.79+5.18ab 4.96 120.00 136.01 127.16+3.99a 3.10
Cianjur 5 ♂ 120.00 127.20 124.00+2.72b 2.20 125.00 142.21 136.00+6.70ab 4.93 122.00 130.00 127.15+3.02ab 2.37
20 ♀ 114.50 129.00 122.22+4.56a 3.73 120.00 138.47 130.94+8.65ab 6.61 115.00 130.00 124.56+4.39abc 8.15
Sukabumi 5 ♂ 122.00 126.00 123.60+1.52b 1.23 125.00 127.00 126.20+0.84bc 0.66 124.00 132.00 125.60+2.51b 2.00
20 ♀ 105.00 130.00 114.79+6.23cd 5.42 97.00 115.77 108.00+5.35ef 4.96 110.00 135.00 114.79+6.23def 5.34
a,b..dst
n = jumlah sampel, JK = jenis kelamin (♂ = jantan, ♀ = betina), min = nilai minimum, max = nilai maksimum, ̅ = rataan Sd = standar deviasi, Angka dengan huruf yang
berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05), KK = Koefisien keragaman (%)
18

Ukuran tinggi pundak sapi pasundan jantan tertinggi terdapat di wilayah


Kuningan dengan rataan 133.14 cm terlihat berbeda nyata (P<0.05) dengan
wilayah Cianjur, Majalengka, Sukabumi, Ciamis, Purwakarta, Garut dan
Pangandaran. Tinggi pundak terendah terdapat di wilayah Pangandaran dengan
rataan 120.80 cm. Tinggi pundak tertinggi sapi pasundan betina terdapat di
wilayah Kuningan yaitu 125.16 cm, berbeda nyata (P<0.05) dengan wilayah
Ciamis, Sukabumi, Majalengka dan Sumedang. Ukuran tinggi pundak di wilayah
Majalengka dan Sumedang memiliki perbedaan tidak nyata (P>0.05) dengan
rataan terendah masing-masing yaitu 114.07 cm dan 112.87 cm.
Ukuran panjang badan tertinggi sapi pasundan jantan terdapat di wilayah
Kuningan dengan rataan 143.86 cm, berbeda nyata (P<0.05) dengan wilayah
subpopulasi lainnya. Wilayah Cianjur berbeda nyata (P<0.05) dengan Garut.
Panjang badan di wilayah Garut terlihat lebih kecil dibandingkan wilayah
subpopulasi lainnya dengan rataan 107.60 cm. Panjang badan tertinggi pada sapi
pasundan betina terdapat di wilayah Kuningan dengan rataan 135.92 dan terlihat
berbeda nyata (P<0.05) dengan Purwakarta, Pangandaran, Indramayu,
Tasikmalaya, Majalengka, Sumedang, Sukabumi dan Ciamis. Ukuran panjang
badan di wilayah Purwakarta berbeda nyata (P<0.05) dengan wilayah Ciamis.
Panjang badan di wilayah Ciamis terlihat lebih rendah (104.70 cm).
Ukuran tinggi pinggul tertinggi sapi pasundan jantan terdapat di wilayah
Kuningan dengan rataan 135.29 cm, berbeda nyata (P<0.05) dengan wilayah
Majalengka, Sukabumi, Ciamis, Garut dan Purwakarta. Sedangkan wilayah
Indramayu, Tasikmalaya, Sumedang dan Cianjur menunjukkan perbedaan tidak
nyata (P>0.05). Hal yang sama terdapat pada wilayah Majalengka, Sukabumi,
Ciamis, Garut, Purwakarta dan Pangandaran. Rataan tinggi pinggul terendah
terdapat di wilayah Pangandaran yaitu 122.80 cm. Tinggi pinggul tertinggi sapi
pasundan betina terdapat di wilayah Kuningan (127.40 cm) terlihat berbeda nyata
(P<0.05) dengan wilayah Pangandaran, Indramayu, Sukabumi, Majalengka,
Ciamis dan Sumedang. Wilayah Majalengka dan Ciamis berbeda nyata (P<0.05)
dengan Sumedang dan memiliki rataan lebih rendah yaitu 116.13 cm.
Secara umum ukuran tinggi pundak, panjang badan dan tinggi pinggul
tertinggi sapi pasundan jantan dan betina terdapat di wilayah Kuningan. Koefisien
keragaman ukuran tinggi pundak, panjang badan dan tinggi pinggul sapi pasundan
jantan dan betina di wilayah subpopulasi memiliki keragaman yang kecil. Tinggi
pundak sapi pasundan jantan berada pada kisaran 0.90–6.73%, panjang badan
(0.66–6.51%) dan tinggi pinggul (0.68–6.53%). Sapi pasundan betina memiliki
keragaman tinggi pundak, panjang badan dan tinggi pinggul masing-masing
berada pada kisaran 2.82–5.67%; 3.93–7.90% dan 2.17–5.55 %.
Keragaman ukuran tinggi pundak, panjang badan dan tinggi pinggul hasil
penelitian ini relatif rendah tetapi rataan ukuran tubuh menyerupai ukuran tubuh
sapi Ciamis (Hilmia 2014). Hasil penelitian Hilmia (2014) menunjukkan bahwa
rataan koefisien keragaman sapi Ciamis pada ukuran tinggi pundak, panjang
badan dan tinggi pinggul yaitu 3.80%, 5.19% dan 4.05%. Selanjutnya dijelaskan
bahwa sampel sapi lokal Ciamis pada penelitian Hilmia (2014) secara fenotipik
tidak memiliki tanda persilangan dengan Bos taurus dan berada di wilayah Ciamis
dengan sistem pemeliharaan intensif.
19

Tabel 2 Deskripsi morfometrik lebar dada, lebar pinggul dan panjang kelangkang sapi pasundan berdasarkan wilayah subpopulasi

Wilayah n JK Lebar dada (cm) Lebar pinggul (cm) Panjang kelangkang (cm)

a,b..dst
n = jumlah sampel, JK = jenis kelamin (♂ = jantan, ♀ = betina), min = nilai minimum, max = nilai maksimum, ̅ = rataan , Sd = standar deviasi, Angka dengan huruf yang
berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05), KK = Koefisien keragaman (%)
20

Min Max ̅ +Sd KK Min Max ̅ +Sd KK Min Max ̅ +Sd KK


Kuningan 7 ♂ 23.50 31.00 30.80+1.70a 5.60 29.00 30.00 32.00+2.08b 6.51 28.00 34.00 30.43+2.37ab 7.79
20 ♀ 28.00 37.10 31.60+3.22a 10.05 29.00 42.00 32.77+3.09ab 9.76 25.92 35.50 30.68+2.96bcd 8.76
Majalengka 5 ♂ 27.52 29.40 28.90+0.89a 3.09 30.00 31.50 30.75+0.71bc 2.30 25.00 27.00 26.25+0.83c 3.16
20 ♀ 22.50 33.00 27.18+2.85bc 10.32 28.00 35.50 30.96+2.05bcd 6.60 18.50 33.00 27.54+3.53de 12.80
Sumedang 5 ♂ 25.00 30.00 27.60+2.07ab 7.51 26.00 31.00 29.40+2.03bcd 7.83 26.00 30.00 27.40+1.52bc 5.53
20 ♀ 22.50 36.00 28.22+3.58bc 51.99 25.00 36.00 31.09+3.12bc 42.10 18.50 33.00 28.26+3.67cd 42.80
Indramayu 5 ♂ 27.00 31.00 28.75+1.44a 5.00 33.00 39.00 36.50+2.18a 5.97 26.00 29.00 27.63+1.08abc 3.92
20 ♀ 23.71 28.22 28.17+2.89bc 10.57 28.00 40.00 34.58+3.57a 10.41 21.00 37.00 31.33+3.78bc 12.12
Purwakarta 5 ♂ 25.00 29.00 27.20+1.64ab 6.04 27.00 32.00 29.60+2.07bcdf 7.01 25.00 27.00 25.80+0.84c 3.24
20 ♀ 25.00 33.00 28.19+1.93bc 8.75 28.00 40.00 34.62+2.93a 8.53 21.00 37.00 31.50+3.47bc 12.16
Ciamis 8 ♂ 23.50 31.00 28.18+8.89a 13.18 24.00 32.00 32.60+4.03cd 12.36 25.00 27.00 24.81+2.03c 8.04
20 ♀ 23.35 34.36 29.055+2.64ab 9.10 29.75 36.85 33.99+2.09a 6.15 32.06 41.80 38.38+2.67a 6.97
Pangandaran 5 ♂ 28.00 33.00 25.80+1.93a 6.25 31.00 34.00 32.40+1.14ab 3.52 26.00 29.00 27.40+1.14bc 4.16
20 ♀ 24.36 36.80 28.77+3.39ab 9.82 28.00 40.99 35.17+3.66a 9.22 21.00 37.00 31.75+3.69bc 10.94
Tasikmalaya 5 ♂ 27.00 29.50 28.30+0.91a 3.21 29.00 32.00 31.05+1.23bc 3.96 26.00 29.00 27.35+1.24bc 4.55
20 ♀ 24.00 30.50 27.67+3.67bc 9.16 26.00 37.29 32.76+3.03ab 8.57 21.00 35.00 31.50+3.01bc 10.58
Garut 10 ♂ 22.00 29.00 24.75+2.30b 9.29 24.00 29.00 26.10+1.73d 6.62 24.00 31.00 27.20+2.35c 8.63
20 ♀ 27.96 38.22 31.27+2.56a 8.35 28.00 39.95 32.47+2.78ab 11.01 30.50 41.10 34.19+2.80b 8.50
Cianjur 5 ♂ 27.52 29.48 28.50+0.78a 2.73 29.00 33.00 31.00+1.58bc 5.10 24.00 31.00 31.10+0.96a 3.09
20 ♀ 24.50 30.50 27.18+1.67bc 8.70 26.00 31.50 28.81+1.52cd 11.80 22.67 41.70 28.44+5.53cde 19.44
Sukabumi 5 ♂ 28.00 30.00 29.00+1.00a 7.51 30.50 34.00 31.90+1.34b 4.21 25.00 27.00 26.00+1.00c 3.85
20 ♀ 22.00 29.00 25.82+0.52c 10.87 24.00 32.20 28.10+2.27d 17.29 24.00 30.14 26.25+1.90e 10.09
21

Ukuran lebar dada tertinggi sapi pasundan jantan terdapat di wilayah


Pangandaran yaitu 30.80 cm dan terlihat berbeda nyata (P<0.05) dengan Garut
tetapi tidak berbeda (P>0.05) dengan Pangandaran, Kuningan, Sukabumi,
Majalengka, Indramayu, Cianjur, Tasikmalaya, Ciamis, Sumedang dan
Purwakarta. Wilayah Garut memiliki rataan lebar dada terendah yaitu 24.75 cm.
Pada sapi pasundan betina lebar dada tertinggi terdapat di wilayah Kuningan
(31.60 cm), berbeda nyata (P<0.05) dengan Pangandaran, Sumedang, Purwakarta,
Indramayu, Tasikmalaya, Majalengka Cianjur dan Sukabumi. Lebar dada terendah
terdapat di wilayah Sukabumi (25.82 cm).
Ukuran lebar pinggul tertinggi sapi pasundan jantan terdapat di wilayah
Indramayu dengan rataan 36.50 cm dan berbeda nyata (P<0.05) dengan semua
wilayah subpopulasi kecuali Pangandaran. Wilayah Pangandaran dan Sukabumi
tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan seluruh wilayah subpopulasi kecuali wilayah
Garut. Wilayah Garut memiliki lebar pinggul terendah dengan rataan 26.10 cm.
Lebar pinggul sapi pasundan betina tertinggi terdapat di wilayah Pangandaran
dengan rataan 35.17 cm, tidak berbeda nyata dengan wilayah Sumedang,
Majalengka, Cianjur dan Sukabumi. Lebar pinggul terendah terdapat di wilayah
Sukabumi dengan rataan 28.09 cm.
Panjang kelangkang tertinggi sapi pasundan jantan terdapat di wilayah
Cianjur (31.10 cm) berbeda nyata (P<0.05) dengan wilayah Sumedang,
Pangandaran, Tasikmalaya, Garut, Majalengka, Sukabumi dan Purwakarta.
Wilayah Kuningan terlihat berbeda nyata (P<0.05) dengan Garut, Majalengka,
Sukabumi, Purwakarta dan Ciamis. Wilayah Sumedang, Pangandaran dan
Tasikmalaya terlihat berbeda nyata (P<0.05) dengan Garut, Majalengka,
Sukabumi, Purwakarta dan Ciamis. Rataan panjang kelangkang sapi pasundan
jantan di wilayah Ciamis lebih rendah (24.81 cm) namun pada sapi betina
memiliki panjang kelangkang tertinggi yaitu 38.38 cm berbeda nyata (P<0.05)
dengan wilayah subpopulasi lainnya. Ukuran panjang kelangkang wilayah Garut
berbeda (P<0.05) dengan Cianjur, Sumedang, Majalengka dan Sukabumi. Panjang
kelangkang terendah terdapat di wilayah Sukabumi dengan rata-rata 26.25 cm.
Hasil menunjukkan bahwa secara umum rataan tertinggi ukuran lebar dada,
lebar pinggul dan panjang kelangkang pada sapi pasundan jantan masing-masing
terdapat di wilayah Pangandaran, Indramayu dan Cianjur. Sedangkan sapi
pasundan betina memiliki rataan tertinggi di wilayah Kuningan, Pangandaran dan
Ciamis. Tingkat keragaman ukuran lebar dada sapi pasundan jantan berada pada
kisaran antara 2.73–9.29%, lebar pinggul (0.70–3.34%) dan panjang kelangkang
(3.09–8.63%). Sapi pasundan betina terlihat memiliki keragaman lebar dada
antara 6.14–12.70% dan panjang kelangkang antara 6.97–19.44%. Koefisien
keragaman yang tinggi mendekati nilai sebesar 20% pada ukuran lebar dada, lebar
pinggul dan panjang kelangkang mengindikasikan adanya keberagaman terhadap
ukuran-ukuran tersebut.
22

Tabel 3 Deskripsi morfometrik ukuran dalam dada dan lingkar dada sapi pasundan
berdasarkan wilayah subpopulasi
Dalam dada (cm) Lingkar dada (cm)
Wilayah n JK
Min Max 𝑥̅ +Sd KK Min Max 𝑥̅ +Sd KK
Kuningan 7 ♂ 21.00 31.00 24.98+3.77c 15.10 125.00 145.00 132.50+6.15ab 4.65
20 ♀ 33.00 40.00 36.99+1.80b 11.71 124.00 153.10 125.15+5.01bc 4.39
Majalengka 5 ♂ 37.00 39.00 37.80+0.84ab 2.21 128.00 137.00 132.50+3.64ab 2.75
20 ♀ 23.00 36.00 32.15+2.85c 9.29 122.32 139.41 127.22+2.98bc 2.45
Sumedang 5 ♂ 37.00 39.00 37.90+0.89ab 2.36 120.00 145.00 128.40+10.01b 7.80
20 ♀ 30.50 41.00 37.17+2.48b 6.98 122.00 134.54 128.36+4.39bc 7.68
Indramayu 5 ♂ 40.00 41.00 40.40+1.58ab 1.04 130.00 133.00 142.00+7.71a 5.43
20 ♀ 35.00 40.50 37.38+1.37b 12.36 120.08 136.15 129.34+4.49bc 3.38
Purwakarta 5 ♂ 37.50 41.00 39.10+1.43ab 3.66 125.00 135.00 130.00+3.81ab 2.93
20 ♀ 35.00 40.00 37.47+1.68b 11.37 122.00 135.00 128.27+3.78bc 6.29
Ciamis 8 ♂ 26.23 31.45 45.34+11.89a 26.23 125.00 140.00 132.50+2.74a 4.29
20 ♀ 43.20 58.30 49.95+4.59b 16.43 124.00 153.10 140.18+11.8a 8.56
Pangandaran 5 ♂ 38.00 42.00 40.00+1.58ab 3.95 124.00 130.00 130.80+5.12b 3.91
20 ♀ 34.00 40.00 37.00+1.61b 12.28 125.00 145.00 130.97+5.32b 4.24
Tasikmalaya 5 ♂ 37.63 41.50 39.73+1.39ab 3.50 135.00 140.00 136.60+2.30ab 2.68
20 ♀ 33.00 39.65 36.84+2.13b 12.34 120.00 134.54 126.26+3.67bc 2.67
Garut 10 ♂ 34.00 40.00 36.75+1.79b 4.88 120.00 140.00 129.60+6.76bc 5.21
20 ♀ 33.25 42.00 37.38+1.37b 9.14 110.00 145.00 130.46+7.74bc 3.04
Cianjur 5 ♂ 39.00 41.00 39.90+0.89ab 2.24 130.00 135.00 132.00+2.78a 2.07
20 ♀ 37.00 46.00 39.29+2.35b 7.22 126.00 148.00 137.17+7.15a 2.98
Sukabumi 5 ♂ 38.00 39.00 38.51+0.50ab 1.30 124.00 130.00 126.40+2.51b 1.99
20 ♀ 20.83 40.25 37.35+2.36b 10.96 116.37 134.00 127.00+5.57bc 22.34
n = jumlah sampel, JK = jenis kelamin (♂ = jantan, ♀ = betina), min = nilai minimum, max = nilai
maksimum, 𝑥̅ = rataan, Sd = standar deviasi, a,b..dstAngka dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda nyata (P<0.05), KK = Koefisien keragaman (%)

Ukuran dalam dada sapi pasundan jantan tertinggi terdapat di wilayah


Ciamis dengan rataan 45.34 cm, berbeda nyata (P<0.05) dengan Garut dan
Kuningan. Dalam dada di wilayah Indramayu tidak berbeda nyata (P>0.05)
dengan Pangandaran, Cianjur, Tasikmalaya, Purwakarta, Sukabumi, Sumedang,
Majalengka dan Garut. Ukuran dalam dada terendah terdapat di wilayah Kuningan
(24.98 cm). Dalam dada sapi pasundan betina tertinggi terdapat di wilayah Ciamis
(49.96 cm) dan terlihat berbeda nyata (P<0.05) dengan wilayah subpopulasi
lainnya. Dalam dada sapi pasundan betina di wilayah Cianjur, Garut, Purwakarta,
Indramayu, Sumedang, Pangandaran, Kuningan, Tasikmalaya dan Sukabumi
berbeda nyata (P<0.05) dengan wilayah Majalengka. Ukuran dalam dada terendah
pada sapi pasundan betina terdapat di Majalengka (32.15 cm).
Ukuran lingkar dada tertinggi sapi pasundan jantan terdapat di wilayah
Indramayu dengan rataan 142.00 cm, ukuran lingkar dada sapi pasundan di
wilayah Indramayu berbeda nyata (P<0.05) dengan Garut, Sumedang dan
Sukabumi. Wilayah Indramayu tidak berbeda nyata dengan (P<0.05) dengan
Tasikmalaya, Majalengka, Ciamis, Kuningan, Cianjur, Pangandaran dan
Purwakarta. Wilayah Garut tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan Sumedang dan
Sukabumi. Rataan terendah lingkar dada sapi pasundan jantan terdapat di wilayah
Sukabumi (126.40 cm). Rataan tertinggi terdapat di wilayah Indramayu (142 cm)
23

dan terendah di Sukabumi (126.40 cm). Lingkar dada sapi pasundan betina
wilayah Ciamis dan Cianjur berbeda nyata dengan wilayah Pangandaran, Garut,
Indramayu, Sumedang, Purwakarta, Sukabumi, Majalengka, Tasikmalaya dan
Kuningan. Wilayah Garut tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan Indramayu,
Sumedang, Purwakarta, Sukabumi, Majalengka, Tasikmalaya tetapi berbeda nyata
dengan Kuningan. Rataan tertinggi sapi pasundan betina terdapat di wilayah
Cianjur dengan rataan 137.16 dan terendah di Kuningan yaitu 125.15 cm.
Keragaman ukuran dalam dada sapi pasundan jantan berada pada kisaran
1.04–26.23% sedangkan pada sapi pasundan betina 9.14–16.43%. Sapi pasundan
betina memiliki keragaman ukuran dalam dada sebesar 2.34–5.93% sedangkan
sapi pasundan jantan 3.65–11.5%. Rataan ukuran dalam dada dan lingkar dada
sapi pasundan berdasarkan hasil penelitian ini terlihat lebih kecil dibandingkan
penelitian Hilmia (2014), namun memiliki koefisien keragaman yang lebih besar.
Hasil penelitian Hilmia (2014) menunjukkan bahwa rataan dalam dada dan
lingkar dada sapi Ciamis berturut-turut yaitu 54.70+4.39 cm dan 152.61+7.25 cm
sementara koefisien keragaman sapi Ciamis pada dua ukuran tersebut yaitu 8.03%
dan 4.75%. Hal ini menginterpretasikan bahwa ukuran tubuh sapi pasundan
khususnya dalam dada dan lingkar dada lebih beragam.

Deskripsi Bobot Badan Sapi Pasundan


Bobot badan merupakan salah satu indikator produktivitas ternak yang
didapatkan selama ternak dipelihara. Performa bobot badan dapat menjadi
standarisasi kondisi lingkungan pemeliharaan peternakan di suatu wilayah. Bobot
badan merupakan salah satu sifat yang memiliki nilai ekonomis dan bersifat
kuantitiatif yang dikendalikan oleh banyak gen (Warwick et al. 1995). Deskripsi
bobot badan sapi pasundan jantan dan betina di wilayah subpopulasi disajikan
pada Tabel 4.
Secara umum hasil penelitian ini menunjukkan bahwa wilayah subpopulasi
memberikan pengaruh terhadap bobot badan sapi pasundan jantan dan betina.
Tabel 4 menunjukkan bahwa rataan bobot badan sapi pasundan jantan tertinggi
terdapat di wilayah Indramayu yaitu 234.06 kg dan terlihat berbeda nyata
(P<0.05) dengan Garut, Sumedang dan Sukabumi. Rataan ukuran bobot badan
sapi pasundan jantan terkecil terdapat di wilayah Sukabumi (186.59 kg) dan tidak
berbeda nyata (P<0.05) dengan Tasikmalaya, Ciamis, Majalengka, Kuningan,
Cianjur, Pangandaran, Purwakarta, Garut dan Sumedang namun terlihat berbeda
(P<0.05) dengan Indramayu.
Rataan tertinggi sapi pasundan betina terdapat di wilayah Cianjur yaitu
219.35 kg dan terlihat berbeda nyata (P<0.05) dengan wilayah Garut, Indramayu,
Sumedang, Purwakarta, Sukabumi, Majalengka dan Tasikmalaya namun tidak
berbeda (P>0.05) dengan wilayah Ciamis, Kuningan dan Pangandaran. Wilayah
Majalengka dan Tasikmalaya terlihat tidak berbeda (P>0.05) dengan
Pangandaran, Garut, Indramayu, Sumedang, Purwakarta, Sukabumi. Rataan bobot
badan sapi pasundan betina terendah terdapat di wilayah Tasikmalaya dengan
rataan 186.15 kg.
24

Tabel 4 Deskripsi bobot badan sapi pasundan berdasarkan wilayah subpopulasi


Wilayah Bobot badan (kg)
n JK
Subpopulasi Min Max 𝑥̅ +Sd KK
Kuningan 7 ♂ 182.33 218.85 204.07+18.71ab 19.17
20 ♀ 151.90 276.49 210.25+17.19abc 17.19
Majalengka 5 ♂ 191.46 218.85 205.15+11.08ab 18.85
20 ♀ 176.25 212.76 189.10+9.08d 14.80
Sumedang 5 ♂ 167.10 243.20 192.70+30.50b 15.82
20 ♀ 174.18 226.18 192.55+6.94cd 18.10
Indramayu 5 ♂ 212.80 273.60 234.10+23.50a 10.03
20 ♀ 179.22 214.60 196.91+11.83bcd 26.01
Purwakarta 5 ♂ 182.33 212.76 197.55+11.59ab 25.87
20 ♀ 173.20 212.76 192.27+11.51ab 25.99
Ciamis 8 ♂ 182.33 227.98 205.15+17.29ab 28.43
20 ♀ 173.19 258.73 215.24+22.04abcd 10.24
Pangandaran 5 ♂ 182.33 212.76 199.98+15.58ab 17.79
20 ♀ 182.33 243.19 200.49+16.23d 18.10
Tasikmalaya 5 ♂ 212.76 227.98 217.63+7.01ab 13.22
20 ♀ 167.12 211.36 186.15+11.18bcd 11.18
Garut 10 ♂ 167.12 227.98 196.33+10.47b 10.47
20 ♀ 136.69 243.19 198.95+5.40bcd 23.55
Cianjur 5 ♂ 197.55 212.76 203.63+8.33ab 24.09
20 ♀ 185.38 232.32 219.35+21.75a 19.92
Sukabumi 5 ♂ 179.29 197.55 186.59+7.64b 24.09
20 ♀ 153.70 215.45 191.38+15.32cd 28.01
n=jumlah sampel, JK=jenis kelamin (♂=jantan, ♀=betina), min=nilai minimum, max=nilai
maksimum, 𝑥̅ = rataan, Sd=standar deviasi, a,b..dstAngka dengan huruf yang berbeda pada kolom
yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05), KK = Koefisien keragaman (%)

Keragaman Sapi
Ukuran Tubuh
bobot badan n
sapi
JK
pasundan
Min
jantan dan𝑥̅ /Sd
Max
betina diKKwilayah
subpopulasi
Tinggi pundakterlihat cenderung
Pasundan 65 beragam.
♂ Hal ini
115.00 ditunjukkan
145.50 dengan 14.40
124.76+5.52b koefisien
keragaman antara 10 sampai220 mendekati
♀ 30%.
106.34 Koefisien
145.50 121.38+11.87a 19.78 sapi
keragaman tertinggi
pasundan jantan terendah
Bali terdapat
30 ♂ di wilayah
118.95 Indramayu
135.50 (10.03%) dan tertinggi
3.58 di
124.20+4.47ab
Purwakarta (25.87%). Sapi pasundan 30 ♀
betina memiliki
118.88 127.67
keragaman tertinggi1.90
120.18+6.53b
28.01%
terdapat di wilayah Sukabumi sedangkan terendah di Ciamis yaitu 10.24%. Nilai
Madura 30 ♂ 122.00 132.00 127.25+3.87ab 3.04
koefisien keragaman bobot badan sapi pasundan terlihat sama dengan yang
30 ♀ 120.00 123.00 121.65+1.02ab 0.84
dilaporkan pada sapi pesisir dan sapi katingan.
PO 30 ♂ 123.50 136.00 127.23+3.02a 2.37
Tingginya tingkat keragaman bobot badan sapi pasundan diduga

dipengaruhi oleh tingginya 30 keragaman 123.00 129.00
lingkungan 124.54+1.65a
pemeliharaan. 1.32
Keragaman
Panjang
yang badan
tinggi didugaPasundan 65 ♂
karena belum adanya 122.31 137.50 127.02+3.77b 12.97
program pemuliaan yang terarah (Adrial
2010 dan Utomo 2016). Namun ♀keragaman
220 92.22 yang145.50
tinggi pada ternak 29.18
124.70+11.87b ini dapat
dimanfaatkan untuk 30 ♂ dan seleksi.
Balipemuliabiakan 97.00 140.50
Sebagaimana127.02+3.77b
Sodiq et al.2.97
(2009)
30 ♀ 118.88
menjelaskan bahwa keragaman yang tinggi memberikan 127.67 1.90
peluang dilakukan
121.38+2.36b
seleksi “dalam bangsa”
Madura untuk ♂
30 memperoleh
127.00 ternak
151.00
dengan140.91+4.70a 3.34
tingkat produktivitas
yang tinggi. 30 ♀ 134.95 141.56 139.33+1.65a 1.70
Bobot badanPOpada hasil30penelitian
♂ ini
124.65 lebih kecil
135.00 dibandingkan
128.38+3.83b sapi
2.92lokal
Ciamis berdasarkan penelitian ♀
30 Hilmia (2014). Rataan
123.00 126.00 bobot badan sapi0.82
121.65+1.02b Ciamis
mencapai 267.68
Tinggi pinggul kg dan
Pasundanterlihat lebih
65 ♂ tinggi
119.00dibandingkan sapi aceh dan
147.50 127.04+5.30ab 14.18 katingan.
Sapi lokal Ciamis diduga merupakan
220 ♀ hasil persilangan
100.00 147.50 antara sapi lokal di15.99
122.20+2.33b wilayah
Ciamis yang merupakanBali keturunan
30 ♂ dari sapi
120.20 bali dengan
136.75 sapi PO,
126.05+4.50bhasil program
3.57
30 ♀ 120.13 128.92 124.20+2.64b 2.13
Madura 30 ♂ 125.00 128.35 127.37+1.28ab 1.01
30 ♀ 125.00 130.00 127.95+1.28a 1.00
PO 30 ♂ 125.00 138.00 129.14+3.12a 2.41
30 ♀ 128.60 134.60 130.10+1.68a 1.29
25

Ongolisasi di Indonesia. Wilayah pemeliharaan sapi lokal Ciamis berada di


wilayah pedesaaan dengan pemeliharaan secara tradisional. Pemeliharaan
dilakukan seadanya dengan pemberian pakan yang terbatas secara kuantitas dan
kualitas (hanya diberikan rumput) dengan kondisi kandang semi permanen.
Kondisi lingkungan pemeliharaan yang dikategorikan wilayah tropik, memiliki
suhu udara relatif panas dengan kelembaban relatif tinggi (Hilmia 2014).
Secara umum lokasi pemeliharaan sapi pasundan di seluruh wilayah
subpopulasi bersifat semi intensif sampai ekstensif kecuali pada BPPT Ciamis.
Terlihat adanya integrasi secara alamiah antara sapi pasundan yang dipelihara di
wilayah sekitar hutan atau lahan perkebunan karet dan kayu jati. Sapi pasundan
digembalakan dari pagi sampai sore hari. Hal serupa terjadi di wilayah
pemeliharaan sepanjang pesisir pantai, dengan mengandalkan tanaman hijauan di
area timbunan pasir. Hal ini diduga mempengaruhi performa sapi pasundan yang
relatif kecil. Sebagaimana hasil penelitian Andiwinarti (2011) bahwa
pemeliharaan sapi PO yang bersifat tradisional yaitu digembalakan pada siang
hari selanjutnya dikandangkan pada sore hari menyebabkan pertumbuhan yang
tidak optimal.

Deskripsi Morfometrik Ukuran Tubuh Sapi Pasundan, Bali, Madura dan PO

Deskripsi morfometrik ukuran tubuh sapi pasundan, bali, madura dan PO


jantan dan betina disajikan pada Tabel 5, 6 dan 7. Deskripsi ukuran tinggi pundak,
panjang badan dan tinggi pinggul disajiikan pada Tabel 5. Deskripsi ukuran lebar
pinggul dan panjang kelangkang disajikan pada Tabel 6. Tabel 7 menyajikan
deskripsi ukuran lebar dada, dalam dada dan lingkar dada. Hasil menunjukkan
bahwa secara umum perbedaan rumpun memberikan pengaruh terhadap ukuran
tubuh sapi baik jantan maupun betina.
Hasil pada Tabel 5 menunjukkan bahwa secara umum ukuran tinggi pundak
sapi PO jantan dan betina berbeda nyata (P<0.05) dengan sapi bali namun tidak
berbeda nyata (P>0.05) dengan sapi pasundan dan madura. Rataan ukuran tinggi
pundak sapi PO jantan dan betina terlihat lebih tinggi dibandingkan sapi
pasundan, bali dan madura dengan rataan 127.23 cm dan 124.54 cm. Rataan
ukuran tinggi pundak terendah pada sapi bali jantan dan betina yaitu 123.20 cm
dan 120.18 cm.
Data SNI menunjukkan bahwa sapi madura memiliki ukuran tinggi pundak
tertinggi dan selanjutnya diikuti oleh sapi PO, pasundan dan bali. Rataan berturut-
turut pada sapi jantan yaitu 132.00 cm; 130.00 cm; 124.00 cm dan 120.00 cm
sedangkan pada sapi betina yaitu 126.00 cm; 125.00 cm; 121.00 cm dan 106.00
cm (BSN tahun 2013 dan 2015b,c). Hasil penelitian ini sesuai dengan Putra et al.
(2016) yang melaporkan bahwa sapi PO memiliki kerangka lebih besar
dibandingkan sapi bali. Selanjutnya dijelaskan bahwa tinggi badan, tinggi hips
dan tinggi pinggang sapi PO berturut-turut yaitu 117.44 cm, 124.25 cm dan
120.38 cm.
Secara umum rataan ukuran panjang badan sapi madura jantan dan betina
berbeda nyata (P<0.05) dan lebih tinggi dibandingkan dengan sapi bali, PO dan
pasundan. Ukuran panjang badan sapi madura jantan dan betina yaitu 140.91 cm
dan 139.33 cm. Rataan ukuran panjang badan sapi pasundan, bali dan PO jantan
26

dan betina tidak berbeda nyata (P>0.05) namun sapi PO terlihat memiliki rataan
panjang badan lebih tinggi dibandingkan sapi pasundan dan bali. Rataan panjang
badan sapi bali lebih rendah, sapi bali jantan memiliki rataan yaitu 127.024 cm
sedangkan betina 121.38 cm.
Tabel 5 Deskripsi ukuran tinggi pundak, panjang badan dan tinggi pinggul sapi

Ukuran Tubuh Sapi n JK Min Max 𝑥̅ /Sd KK


Tinggi pundak Pasundan 65 ♂ 115.00 145.50 124.76+5.52b 14.40
220 ♀ 106.34 145.50 121.38+11.87a 19.78
Bali 30 ♂ 118.95 135.50 124.20+4.47ab 3.58
30 ♀ 118.88 127.67 120.18+6.53b 1.90
Madura 30 ♂ 122.00 132.00 127.25+3.87ab 3.04
30 ♀ 120.00 123.00 121.65+1.02ab 0.84
PO 30 ♂ 123.50 136.00 127.23+3.02a 2.37
30 ♀ 123.00 129.00 124.54+1.65a 1.32
Panjang badan Pasundan 65 ♂ 122.31 137.50 127.02+3.77b 12.97
220 ♀ 92.22 145.50 124.70+11.87b 29.18
Bali 30 ♂ 107.00 140.50 126.04+7.57b 2.32
30 ♀ 118.88 127.67 121.38+2.36b 1.90
Madura 30 ♂ 127.00 151.00 140.91+4.70a 3.34
30 ♀ 134.95 141.56 139.33+1.65a 1.70
PO 30 ♂ 124.65 135.00 128.38+3.83b 2.92
30 ♀ 123.00 126.00 121.65+1.02b 0.82
Tinggi pinggul Pasundan 65 ♂ 119.00 147.50 127.04+5.30ab 14.18
220 ♀ 100.00 147.50 122.20+2.33b 15.99
Bali 30 ♂ 120.20 136.75 126.05+4.50b 3.57
30 ♀ 120.13 128.92 124.20+2.64b 2.13
Madura 30 ♂ 125.00 128.35 127.37+1.28ab 1.01
30 ♀ 125.00 130.00 127.95+1.28a 1.00
PO 30 ♂ 125.00 138.00 129.14+3.12a 2.41
30 ♀ 128.60 134.60 130.10+1.68a 1.29
n=jumlah sampel, JK=jenis kelamin (♂=jantan, ♀=betina), min=nilai minimum (cm), max=nilai
maksimum (cm), 𝑥̅ = rataan (cm), Sd=standar deviasi, a,b..dstAngka dengan huruf yang berbeda
pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05), KK = Koefisien keragaman (%)
pasundan, bali, madura dan PO
Hasil penelitian ini serupa dengan rataan ukuran panjang badan sapi madura
namun lebih tinggi dibandingkan sapi bali dan PO (BSN 2015 b,c) pada kelas II
serta pada sapi pasundan (Kementan 2014). Selanjutnya dilaporkan bahwa rataan
panjang badan sapi madura jantan dan betina masing-masing yaitu 142.00 cm dan
130.00 cm. Sedangkan pada sapi bali, PO dan pasundan yaitu 124.00 cm dan
110.00 cm; 133.00 cm dan 129.00 cm; serta 127.00 cm dan 124.00 cm.
Rataan tinggi pinggul sapi PO jantan dan betina pada hasil penelitian ini
lebih tinggi yaitu 129.14 cm dan 130.10 cm. Sapi PO jantan memiliki rataan
tinggi pinggul tertinggi tetapi tidak berbeda (P>0.05) dengan sapi madura dan
pasundan, tetapi berbeda nyata (P<0.05) jika dibandingkan dengan sapi bali.
Rataan tinggi pinggul sapi PO betina tidak berbeda (P>0.05) dengan sapi madura
tetapi berbeda nyata (P<0.05) dengan sapi pasundan dan bali. Tinggi pinggul sapi
pasundan dan bali tidak berbeda (P>0.05) namun sapi pasundan memiliki rataan
yang lebih tinggi dibandingkan sapi bali. Sapi bali jantan maupun betina memiliki
27

rataan yang lebih rendah masing-masing yaitu 126.05 cm dan 122.20 cm. Secara
umum terlihat bahwa sapi pasundan memiliki tinggi pinggul yang hampir sama
dengan sapi madura dan PO tetapi lebih tinggi jika dibandingkan dengan sapi bali.
Tabel 5 menyajikan koefisien keragaman sebagai representasi dari
keragaman ukuran tubuh tinggi pundak, panjang badan maupun tinggi pinggul
sapi pasundan, bali, madura dan PO. Hasil menunjukkan bahwa keragaman
ukuran tinggi pundak, panjang badan dan tinggi pinggul sapi pasundan lebih
tinggi dibandingkan sapi bali, madura dan PO. Hal ini mengindikasikan bahwa
ukuran tubuh tersebut cukup beragam. Koefisien keragaman sapi pasundan jantan
dan betina berturut-turut pada ukuran tinggi pundak yaitu 14.40% dan 19.78%,
panjang badan (12.97% dan 29.18%) serta tinggi pinggul (14.18% dan 15.99%).
Tingginya keragaman dapat dimanfaatkan dalam upaya seleksi.
Tabel 6 Deskripsi ukuran lebar pinggul dan panjang kelangkang sapi pasundan,
bali, madura dan PO
Ukuran Tubuh Sapi n JK Min Max 𝑥̅ /Sd KK
Lebar pinggul Pasundan 65 ♂ 24.00 39.00 30.34+3.30c 10.88
(cm) 220 ♀ 24.00 42.00 32.31+3.54b 10.96
Bali 30 ♂ 35.40 50.10 40.21+4.29a 10.66
30 ♀ 34.48 37.06 36.06+0.86a 2.39
Madura 30 ♂ 32.00 49.00 38.03+3.87ab 10.18
30 ♀ 35.50 37.00 36.35+0.50a 1.38
PO 30 ♂ 34.10 35.64 35.03+0.65b 1.86
30 ♀ 34.50 38.50 36.11+1.03a 2.86
Panjang Pasundan 65 ♂ 21.00 36.40 27.76+2.39d 8.75
kelangkang 220 ♀ 19.50 41.82 30.90+4.69c 15.19
(cm) Bali 30 ♂ 41.24 57.18 34.76+4.46c 9.48
30 ♀ 39.39 45.57 35.20+1.75b 4.01
Madura 30 ♂ 37.18 44.18 36.61+2.14b 5.14
30 ♀ 32.00 40.00 36.28+2.07a 5.70
PO 30 ♂ 36.00 38.00 37.10+0.74a 2.02
30 ♀ 32.00 40.00 37.60+2.07a 5.70
n=jumlah sampel, JK=jenis kelamin (♂=jantan, ♀=betina), min=nilai minimum, max=nilai
maksimum, 𝑥̅ = rataan (cm), Sd=standar deviasi, a,b..dstAngka dengan huruf yang berbeda pada
kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05), KK = Koefisien keragaman (%)

Hasil pada Tabel 5 menunjukkan bahwa ukuran lebar pinggul sapi bali
jantan nyata (P<0.05) lebih tinggi dibandingkan sapi PO dan pasundan namun
terlihat tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan sapi madura. Sapi madura terlihat
tidak berbeda dengan sapi PO. Rataan ukuran lebar pinggul tertingi terdapat pada
sapi bali jantan yaitu 40.21 cm dan sapi pasundan memiliki rataan terendah yaitu
30.34 cm. Sedangkan pada sapi betina terlihat bahwa rataan ukuran lebar pinggul
sapi bali, madura dan PO tidak berbeda nyata (P<0.05) namun nyata lebih tinggi
dibandingkan sapi pasundan. Rataan lebar pinggul sapi pasundan betina terlihat
lebih rendah yaitu 32.31 cm.
Rataan ukuran panjang kelangkang sapi PO jantan dan betina terlihat nyata
(P<0.05) lebih tinggi dibandingkan sapi pasundan, madura dan PO dengan rataan
masing-masing yaitu 37.10 cm dan 37.60 cm. Sedangkan panjang kelangkang sapi
PO betina tidak berbeda nyata (P<0.05) dengan sapi madura namun terlihat nyata
(P<0.05) lebih tinggi dibandingkan sapi bali dan pasundan. Rataan terendah
28

panjang kelangkang terdapat pada sapi pasundan jantan maupun dengan rataan
masing-masing yaitu 27.76 cm dan 30.90 cm.
Keragaman ukuran lebar pinggul sapi pasundan, bali, madura dan PO jantan
berkisar antara 1.86%–10.88%. Sedangkan pada sapi pasundan, bali, madura dan
PO betina memiliki keragaman antara 1.38% sampai 9.48%. Keragaman ukuran
panjang kelangkang sapi pasundan, bali, madura dan PO jantan yaitu 2.02%
sampai 9.48%. Sedangkan pada betina berkisar antara 4.01%–15.19%. Secara
umum hasil menunjukkan bahwa keragaman ukuran lebar pinggul dan panjang
kelangkang sapi pasundan lebih tinggi dibandingkan sapi bali, madura dan PO
jantan maupun betina.

Tabel 7 Deskripsi ukuran dalam dada dan lingkar dada sapi pasundan, bali,
madura dan PO
Ukuran Tubuh Sapi n JK Min Max 𝑥̅ /Sd KK
Lebar dada Pasundan 65 ♂ 22.00 34.00 28.62+2.93c 10.24
(cm) 220 ♀ 21.00 36.00 29.24+5.46c 18.68
Bali 30 ♂ 30.00 40.00 39.11+4.29a 2.91
30 ♀ 31.50 42.00 34.36+0.86b 2.51
Madura 30 ♂ 28.00 38.00 36.89+4.03a 10.91
30 ♀ 28.00 38.00 35.23+0.46a 1.29
PO 30 ♂ 26.00 39.00 34.13+0.69a 3.22
30 ♀ 28.00 39.50 33.93+3.57b 6.45
Dalam dada Pasundan 65 ♂ 21.00 60.00 38.03+6.69c 17.59
(cm) 220 ♀ 20.83 58.30 38.08+4.93c 12.94
Bali 30 ♂ 53.81 67.50 59.36+3.85a 6.49
30 ♀ 51.99 57.54 55.97+1.71a 3.06
Madura 30 ♂ 53.81 67.50 52.49+4.36b 8.31
30 ♀ 52.00 54.50 53.46+0.845a 1.58
PO 30 ♂ 48.00 52.55 49.78+1.60b 3.22
30 ♀ 44.50 53.63 49.83+3.21b 6.45
Lingkar Pasundan 65 ♂ 120.00 155.00 140.88+3.83b 2.72
dada (cm) 220 ♀ 110.00 153.10 129.99+6.62c 5.09
Bali 30 ♂ 135.44 175.00 145.45+9.94a 6.83
30 ♀ 132.92 141.70 141.74+2.74a 2.01
Madura 30 ♂ 130.00 160.00 141.79+6.16a 4.34
30 ♀ 138.00 159.00 136.76+5.98b 4.22
PO 30 ♂ 137.15 147.50 140.88+3.88a 2.72
30 ♀ 135.50 138.50 137.15+1.02b 0.82
n=jumlah sampel, JK=jenis kelamin (♂=jantan, ♀=betina), min=nilai minimum, max=nilai
maksimum, 𝑥̅ = rataan, Sd=standar deviasi, a,b..dstAngka dengan huruf yang berbeda pada kolom
yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05), KK = Koefisien keragaman (%)

Ukuran lebar dada tertinggi terdapat pada sapi bali jantan dan sapi madura
betina dengan rataan masing-masing yaitu 39.11 cm dan 35.23 cm (Tabel 7).
Meskipun rataan lebar dada sapi bali jantan lebih tinggi tetapi tidak berbeda nyata
(P>0.05) dengan sapi madura dan PO namun terlihat berbeda nyata (P<0.05)
dengan sapi pasundan. Ukuran lebar dada sapi madura betina nyata lebih tinggi
dibandingkan sapi pasundan, bali dan PO, sedangkan sapi bali dan PO memiliki
29

ukuran yang tidak berbeda nyata (P>0.05). Sapi pasundan jantan dan betina
memiliki rataan terendah masing-masing yaitu 28.62 cm dan 29.24 cm.
Tabel 7 menunjukkan bahwa dalam dada sapi bali jantan dan betina
memiliki rataan tertinggi yaitu 59.36 cm dan 55.97 cm. Rataan dalam dada sapi
bali jantan terlihat berbeda nyata (P>0.05) dengan dengan sapi madura, PO dan
pasundan. Sedangkan rataan dalam dada sapi jantan bali dan madura berbeda
nyata (P<0.05) dengans api PO dan pasundan. Rataan terendah dalam dada
terdapat pada sapi pasundan jantan yaitu 38.03 cm dan pada sapi pasundan betina
yaitu 38.08 cm. Hasil penelitian ini didukung oleh Putra et al. (2016) bahwa sapi
bali memiliki dalam dada yang lebih besar dibandingkan dengan sapi PO dengan
rataan 56.00 cm. Hal ini sesuai dengan Rollinson dan Payne (1999) yang
menyatakan bahwa sapi bali memiliki bagian dada yang dalam.
Rataan lingkar dada sapi bali, madura dan PO jantan tidak berbeda nyata
(P>0.05) namun berbeda nyata (P>0.05) jika dibandingkan dengan sapi pasundan.
Ukuran sapi pasundan jantan memiliki rataan lebih rendah dibandingkan sapi bali,
madura dan PO yaitu 140.88 kg. Sedangkan rataan ukuran lingkar dada sapi bali
betina terlihat nyata (P<0.05) lebih tinggi dibandingkan sapi pasundan, madura
dan PO. Sapi madura dan PO betina tidak berbeda nyata (P<0.05) namun nyata
(P<0.05) lebih tinggi dibandingkan sapi pasundan betina. Rataan lingkar dada sapi
pasundan betina yaitu 129.99 kg. Rataan tertinggi ukuran lingkar dada terdapat
pada sapi bali jantan dengan rataan 145.45 cm dan sapi madura betina yaitu
141.76 cm.
Keragaman ukuran lebar dada dan dalam dada tertinggi terdapat pada sapi
pasundan jantan maupun betina dengan rataan koefisien keragaman masing-
masing yaitu 10.24% dan 18.68% serta 17.59% dan 12.94%. Sedangkan
keragaman ukuran lingkar dada tertinggi terdapat pada sapi bali jantan yaitu
6.83%. Pada sapi betina, keragaman tertinggi ukuran lingkar dada terdapat pada
sapi pasundan 5.08%. Tingginya nilai koefisien keragaman menunjukkan bahwa
ukuran tubuh lebar dada, dalam dada dan lingkar dada pada sapi pasundan jantan
dan betina sangat bervariasi dan cenderung beragam.

Deskripsi Bobot Badan Sapi Pasundan, Bali, Madura dan PO


Bobot badan merupakan salah satu indikator produktivitas ternak yang dapat
diduga berdasarkan ukuran linear tubuh lingkar dada, panjang badan dan tinggi
badan (Kadarsih 2003). Deskripsi bobot badan sapi pasundan, bali, madura dan
PO jantan dan betina disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Deskripsi bobot badan sapi pasundan, bali, madura dan PO
Sapi JK n Min Max 𝑥̅ +Sd KK
Sapi pasundan ♂ 65 167.12 273.62 203.38+19.80c 19.74
♀ 220 136.69 276.49 199.40+21.39c 10.73
Sapi bali ♂ 30 211.12 334.48 243.95+30.74a 2.60
♀ 30 206.29 233.35 233.81+8.43b 3.87
Sapi madura ♂ 30 197.55 288.83 233.42+18.74ab 6.03
♀ 30 223.41 285.79 218.04+17.96a 5.68
Sapi PO ♂ 30 227.02 259.63 238.77+12.08b 5.06
♀ 30 214.28 223.41 219.30+3.10b 1.41
n=jumlah sampel, JK=jenis kelamin (♂=jantan,♀=betina), min=nilai minimum, max=nilai
maksimum, 𝑥̅ = rataan, Sd=standar deviasi, a,b..dstAngka dengan huruf yang berbeda pada kolom
yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05), KK = Koefisien keragaman (%)
30

Bobot badan sapi bali, madura dan PO jantan berbeda nyata (P<0.05) dan
terlihat lebih tinggi dibandingkan sapi pasundan. Sapi bali betina terlihat berbeda
nyata (P<0.05) dan memiliki bobot badan lebih berat dibandingkan sapi madura,
PO dan pasundan. Rataan bobot badan sapi pasundan terlihat lebih kecil pada
jantan maupun betina dengan rataan masing-masing yaitu 203.38 kg dan 199.40
kg. Hasil penelitian ini terlihat sama dengan Abdullah et al. (2007) yang
melaporkan bahwa pada tingkatan umur yang sama, sapi Aceh terlihat memiliki
bobot badan lebih rendah dibandingkan sapi bali, madura dan PO. Utomo et al.
(2010) juga menyatakan bahwa bobot badan sapi bali dan PO terlihat lebih tinggi
daripada sapi katingan.
Bobot badan ternak merupakan representasi dari kondisi pemeliharaan
ternak. Berdasarkan hasil penelitian ini, bobot badan sapi pasundan jantan dan
betina terlihat lebih rendah dibandingkan sapi bali, madura dan PO. Rendahnya
bobot badan sapi pasundan diduga karena perbedaan sistem pemeliharaan dan
arah seleksi. Sebagaimana Sumantri (2007) dan Gunawan et al. (2008) bahwa
mengungkapkan bahwa selain faktor genetik, ukuran-ukuran tubuh dapat
dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan. Sapi pasundan dipelihara secara semi
intensif sampai ekstensif. Peternak di wilayah subpopulasi sapi pasundan
memiliki kebiasaan mengembalakan di wilayah sekitar hutan maupun di pesisir
pantai. Sebelum ditetapkan sebagai rumpun, pemerintah belum merumuskan
kebijakan dalam pelestarian dan pengembangan sapi pasundan. Sehingga diduga
belum adanya kebijakan terhadap arah seleksi sapi pasundan. Kemungkinan
terjadi seleksi negatif, yaitu penjulan terhadap ternak dengan ukuran yang lebih
besar dan produktif tanpa adanya upaya perbaikan mutu genetik sehingga yang
tersisa adalah sapi dengan performa kecil dan bobot badan rendah.
Tawaf dan Kuswaryan (2006) menyatakan bahwa kebijakan pemerintah
dalam pembangunan peternakan masih bersifat top-down. Sebelum adanya
penetapan rumpun terhadap sapi pasundan, pemeliharaan atau budidaya masih
dilakukan oleh peternak kecil dengan orientasi sebagai tabungan. Hal ini berbeda
dengan sapi bali, madura dan PO yang telah diorientasikan arah
pengembangannya ke ternak penghasil daging. Adanya upaya pemerintah terlihat
dengan adanya penetapan rumpun maupun penentuan wilayah sumber bibit pada
sapi bali, madura dan PO (Kementrian Pertanian 2010 dan 2012). Implikasi dari
adanya orientasi tersebut ditandai dengan tingginya bobot badan pada sapi bali,
madura maupun pasundan. bobot badan dapat mencerminkan bobot karkas yang
dihasilkan suatu ternak. Semakin tinggi bobot badan ternak akan menghasilkan
persentase bobot karkas yang tinggi.
Adanya perhatian dalam pengembangan ternak sapi bali, madura dan PO
secara khusus juga ditunjukkan dengan keragaman yang rendah. Sebagaimana
Tabel 8 terlihat bahwa sapi bali, madura dan PO memiliki nilai koefisien
keragaman pada kisaran 1.41–6.03%. Sapi pasundan memiliki keragaman bobot
badan yang lebih tinggi. Hal ini dapat dilihat dari tingginya koefisien keragaman
masing-masing pada jantan dan betina yaitu 19.74% dan 10.73%. Namun
keragaman yang tinggi ini dapat dimanfaatkan dalam seleksi. Semakin
beragamnya nilai suatu sifat akan memungkinkan dilakukannya seleksi. Seleksi
merupakan salah satu faktor yang perlu dilakukan dalam upaya peningkatan mutu
genetik ternak. Utomo et al. (2015) yang menjelaskan bahwa semakin tinggi
31

variasi genotipe dalam populasi, semakin besar perbaikan mutu bibit yang
diharapkan.

Penciri Ukuran Tubuh dan Bentuk Sapi Pasundan, Bali, Madura dan PO
Hasil analisis T2-Hotelling menunjukkan bahwa sapi pasundan vs bali,
pasundan vs madura, pasundan vs PO, bali vs madura dan bali vs PO jantan dan
betina memiliki ukuran tubuh dan bentuk yang berbeda nyata (P<0.05).
Persamaan ukuran dan bentuk tubuh sapi pasundan, bali, madura dan PO jantan
dan betina disajikan pada Tabel 9.
Keragaman total komponen ke-1 terendah yaitu 36.00% dan tertinggi
88.80% masing-masing terdapat pada sapi madura jantan dan betina. Keragaman
total komponen ke-2 yang disetarakan dengan bentuk terendah yaitu 8.20%
terdapat pada sapi madura betina dan tertinggi 35.30% terdapat pada sapi bali
jantan. Nilai eigen ukuran dan bentuk tertinggi yaitu 373.93 dan 224.71 terdapat
pada sapi pasundan betina, sedangkan nilai eigen ukuran dan bentuk terendah
masing-masing yaitu 41.44 terdapat pada sapi madura betina dan 3.816 pada sapi
bali betina.
Tabel 9 Persamaan penciri ukuran tubuh dan bentuk serta nilai korelasi pada
sapi pasundan, bali, madura dan PO jantan dan betina
Sapi JK Persamaan KT Λ
Pasundan ♂ Ukuran 0,351x1+0,648x2+0,493x3+0,113x4+0,209x5 51,70 204,73
+0,364x6+0,158x7-0,004x8
Bentuk 0,137x1+0,507x2-0,528x3+0,022x4- 25,90 102,51
0,650x5+0,054x6-0,013x7+0,137x8
♀ Ukuran 0,137x1+0,507x2+0,528x3+0,022x4- 48,00 373,93
0,650x5+0,054x6-0,013x7+0,137x8
Bentuk 0,137x1+0,507x2-0,528x3+0,022x4- 28,90 224,71
0,650x5+0,054x6-0,013x7-0,137x8
Bali ♂ Ukuran 0,306x1+0,267x2+0,608x3+0,315x4+0,255x5 58,80 132,08
+0,303x6+0,315x7+0,331x8
Bentuk -0,237x1-0,192x2+0,793x3-0,238x4-0,225x5- 35,30 79,43
0,239x6-0,238x7+0,237x8
♀ Ukuran -0,555x1-0,463x2-0,531x3+0,024x4+0,132x5- 75,90 25,04
0,518x6+0,053x7+0,088x8
Bentuk - 17,60 5,81
0,168x1+0,163x2+0,106x3+0,004x4+0,645x5-
0,099x6+0,205x7+0,683x8
Madura ♂ Ukuran 0,259x1+0,157x2+0,722x3-0,305x4- 36,00 48,13
0,311x5+0,319x6+0,274x7+0,011x8
Bentuk 0,146x1+0,444x2+0,282x3+0,578x4+0,095x5 24,20 32,34
+0,134x6+0,569x7+0,131x8
♀ Ukuran 0,249x1-0,015x2+0,929x3-0,009x4- 88,80 41,44
0,002x5+0,254x6+0,037x7+0,092x8
Bentuk 0,059x1+0,972x2+0,043x3-0,123x4+0,006x5- 8,20 3,82
0,111x6-0,116x7-0,095x8
PO ♂ Ukuran -0,203x1-0,670x2- 71,70 32,19
0,670x3+0,098x4+0,134x5+0,151x6+0,098x7-
0,035x8
Bentuk 0,956x1-0,161x2-0,161x3+0,046x4-0,165x5- 21,70 9,31
0,053x6+0,046x7+0,003x8
♀ Ukuran 0,746x1+0,060x2+0,577x3+0,168x4+0,122x5 48,90 158,98
+0,059x6+0,173x7+0,173x8
Bentuk 0,248x1-0,688x2-0,070x3-0,109x4-0,043x5- 33,60 109,46
32

0,667x6-0,118x7-0,122x8
x1=tinggi pundak, x2=panjang badan, x3=lingkar dada, x4= lebar dada, x5=dalam dada,
x6= tinggi pinggul, x7= lebar pinggul, x8= panjang kelangkang, KT = keragaman total, λ
= nilai eigen

Adapun rekapitulasi penciri ukuran tubuh dan bentuk sapi pasundan, bali,
mandura dan PO jantan dan betina disajikan pada Tabel 10. Hasil Analisis
Komponen Utama menunjukkan bahwa penciri ukuran tubuh dan bentuk sapi
pasundan, bali, madura dan PO jantan maupan betina memiliki perbedaan. Hasil
ini sesuai dengan analisis uji T2-Hottelling yang menunjukkan bahwa ukuran-
ukuran tubuh kelompok sapi pasundan, bali, madura dan PO berbeda nyata
(P<0.05).
Tabel 10 Rekapitulasi penciri ukuran kranium dan bentuk serta nilai korelasi
pada sapi pasundan, bali, madura dan PO
Sapi JK Penciri ukuran dan korelasi Penciri bentuk dan korelasi
terhadap skor ukuran terhadap skor bentuk
Sapi pasundan ♂ Panjang badan (+0.0001) Panjang badan (+0.0002)
♀ Lingkar dada (+0.0005) Tinggi pundak (+0.0002)
Sapi bali ♂ Lingkar dada (+0.0023) Lingkar dada (+0.0005)
♀ Dalam dada (+0.0015) Panjang kelangkang (+0.0336)
Sapi madura ♂ Lingkar dada (+0.0008) Lebar dada (+0.0022)
♀ Lingkar dada (+0.0019) Panjang badan (+0.0667)
♂ Tinggi pinggul (+0.002) Panjang badan (+0.0667)
Sapi PO
♀ Tinggi pundak (+0.0002) Lingkar dada (-0.0001)
(+) = berkorelasi positif, (-) = berkorelasi negatif

Hasil Analisis Komponen Utama yang dirangkum pada Tabel 10


menunjukkan bahwa penciri ukuran tubuh dan bentuk sapi pasundan, bali, madura
dan PO jantan maupan betina memiliki perbedaan. Penciri ukuran tubuh diambil
dari nilai tertinggi pada persamaan Komponen Utama ke-1 (ukuran) dan penciri
bentuk diambil dari nilai tertinggi pada persamaan Komponen Utama ke-2
(bentuk).
Penciri bentuk tubuh merupakan karakteristik khas dari masing-masing sapi
yang diamati. Everitt dan Dunn (1999) menjelaskan bahwa ukuran tubuh (size)
lebih dipengaruhi oleh lingkungan sedangkan bentuk (shape) menggambarkan
potensi genetik masing-masing ternak yang diamati. Perbedaan penciri ukuran
tubuh dan bentuk masing-masing sapi diduga disebabkan karena perbedaan nilai
ukuran-ukuran tubuh masing-masing sapi sebagai akibat adanya perbedaan
manajemen pemeliharaan dan arah seleksi. Shresta (2004) menjelaskan bahwa
perbedaan karakter morfologi disebabkan oleh adanya perbedaan adaptasi
terhadap kondisi ekologi yang berbeda.
Hasil penelitian Hikmawaty et al. (2014) menunjukkan bahwa penciri
ukuran tubuh dan bentuk sapi bali yang berasal dari BPTU Pulukan Bali,
BPTHMT Kabupaten Sumbawa NTB dan VBC Kabupaten Barru Sulawesi
Selatan berbeda-beda yaitu panjang badan, lingkar dada dan tinggi gumba. Hasil
penelitian Gerli et al. (2013) menunjukkan bahwa terdapat penciri ukuran tubuh
dan bentuk antara kerbau murrah dan kerbau rawa memiliki kesamaan meskipun
secara morfometrikal sangat berbeda. Penciri ukuran tubuh adalah tinggi pundak
dan penciri bentuk adalah lebar dada.
33

Nilai korelasi sapi yang positif pada masing-masing penciri ukuran tubuh
dan bentuk tubuh sapi pasundan, bali, madura dan PO menunjukkan bahwa
peningkatan nilai ukuran tubuh akan meningkatkan skor ukuran tubuh ataupun
bentuk. Sedangkan korelasi negatif akan menurunkan skor ukuran tubuh ataupun
bentuk. Karakteristik domba tangkas dan pedaging berdasarkan hasil penelitian
Gunawan et al. (2012) bahwa arah korelasi yang berbeda menunjukkan bahwa
program pemuliaan kedua kelompok domba tersebut telah mengalami seleksi ke
arah sifat yang berbeda.

Kerumunan Ukuran Tubuh Sapi Pasundan, Bali, Madura dan PO


Visualisasi penciri ukuran dan bentuk tubuh berdasarkan hasil Analisis
Komponen Utama (AKU) sapi pasundan, bali, madura dan PO disajikan pada
Gambar 10. Sapi pasundan, bali, madura dan PO jantan memiliki kerumunan yang
terpisah. Hal ini merepresentasikan bahwa masing-masing sapi memiliki
karakteristik yang khas atau spesifik.
Kerumunan sapi bali mendekati sumbu X dengan nilai skor ukuran
(Komponen Utama I) yang lebih tinggi selanjutnya diikuti oleh sapi pasundan, PO
dan madura. Kerumunan sapi madura terlihat mendekati sumbu Y dengan nilai
skor bentuk (Komponen Utama II) lebih tinggi namun nilai skor ukuran
(Komponen Utama I) terlihat lebih kecil jika dibandingkan dengan sapi pasundan,
bali dan PO.

Keterangan :
: Sapi pasundan : Sapi madura
: Sapi bali : Sapi Peranakan Ongole
Gambar 10 Diagram kerumunan sapi pasundan, bali, madura dan PO jantan
berdasarkan ukuran tubuh

Terpisahnya kerumunan sapi madura jantan menunjukkan bahwa terdapat


karakteristik yang khas. Hal ini diduga karena sapi madura yang dijadikan sample
berasal dari wilayah sumber bibit di pulau Madura. Kutsiyah (2012) menjelaskan
bahwa breed (bangsa) sapi potong lokal yang terbentuk sebagai akibat isolasi
34

alam dan pengaruh lingkungan mempunyai keseragaman karakteristik yang


menonjol diantara breed sapi potong lainnya di Indonesia.
Sapi pasundan, bali, madura dan PO betina memiliki kerumunan yang
terpisah tetapi terlihat adanya kedekatan antara sapi pasundan dan bali (Gambar
11). Hal ini menggambarkan bahwa sapi bali dan madura memiliki kedekatan
secara skor ukuran dan bentuk. Sapi bali, pasundan dan madura memiliki nilai
skor ukuran (Komponen Utama I) yang lebih tinggi dan kerumunan mengarah
mendekati sumbu X, nilai skor bentuk (Komponen Utama II) sapi PO lebih tinggi
tetapi nilai skor ukuran (Komponen Utama I) lebih rendah dengan kerumunan
menjauhi sumbu X. Sapi madura memiliki kerumunan yang terpisah dengan sapi
pasundan, bali dan PO dan mendekati sumbu X sedangkan sapi PO memiliki
kerumunan yang terpisah namun mendekati sumbu Y.

Keterangan :
: Sapi pasundan : Sapi madura
: Sapi bali : Sapi Peranakan Ongole
Gambar 11 Diagram kerumunan sapi pasundan, bali, madura dan PO betina
berdasarkan ukuran tubuh

Letak kerumunan sapi pasundan dan bali yang saling berdekatan dan
mengarah mendekati sumbu Y menunjukkan bahwa terdapat kedekatan secara
genetis antar keduanya. Hal ini didukung pernyataan Indrijani et al. (2013) bahwa
sapi pasundan memiliki kesamaan genetis dengan sapi bali murni, namun karena
faktor seleksi negatif mengakibatkan penurunan performa sapi pasundan menjadi
lebih kecil. Berdasarkan kajian arkeologis pada zaman kolonial tahun 1896,
pemerintah Jawa Barat melakukan gradding up sapi lokal dengan sapi bali dengan
tujuan untuk meningkatkan performa ternak.
Kerumunan yang terpisah antara sapi jantan antara pasundan dengan bali
dan PO dengan madura menunjukkan tidak adanya hubungan yang dekat antara
masing-masing sapi. Hasil penelitian Gerli et al. (2012) mengungkapkan bahwa
kerbau murrah dan rawa sangat berbeda. Hal tersebut ditunjukkan dengan
35

kerumunan data yang saling terpisah. Perbedaan ini disebabkan kerbau murrah
dan rawa memiliki asal-usul yang berbeda.
Perbedaan penciri ukuran dan bentuk tubuh masing-masing sapi yang
diamati diduga dipengaruhi oleh keragaman lingkungan pemeliharaan. Gunawan
et al. (2012) mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan penciri ukuran dan
bentuk tubuh Domba Ekor Gemuk (DEG) Madura dan Rote yang diduga
dipengaruhi oleh tingginya keragaman lingkungan pemeliharaan. Hal ini
sependapat dengan Everitt dan Dunn (1999) yang menjelaskan bahwa skor ukuran
(sumbu X) lebih dipengaruhi faktor lingkungan sedangkan skor bentuk (sumbu Y)
lebih dipengaruhi faktor genetik. Perbedaan kerumunan juga diduga disebabkan
karena adanya perbedaan asal-usul ternak yang diamati.
Lingkungan pemeliharaan sapi pasundan, madura dan PO relatif beragam.
Pengambilan sampel ternak yang dilakukan secara purpossive sampling, hal ini
diduga mempengaruhi tingginya keragaman ukuran tubuh. Pemeliharaan sapi
pasundan, bali, madura dan PO pada penelitian ini cukup bervariasi mulai dari
pemeliharaan intensif, semi intensif sampai ekstensif. Pemeliharaan sapi pasundan
secara umum masih bersifat tradisional dengan secara pola semi intensif dan
ekstensif. Kedua pola ini mengandalkan vegetasi alam sebagai daya dukung pakan
(Arifin et al. 2015). Sapi pasundan biasanya digembalakan di sekitar hutan
maupun sepanjang pesisir pantai. Hal tersebut menunjukkan bahwa ukuran tubuh
lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan.

Indeks Morfometrik Sapi Pasundan, Bali, Madura dan PO


Dalam pengembangan ternak diperlukan suatu nilai standar untuk
membedakan ternak yang satu dengan ternak yang lainnya. Ukuran-ukuran tubuh
ternak dapat dimanfaatkan sebagai penentu nilai indeks. Indeks morfometrik
merupakan standar yang dapat digunakan sebagai alternatif dalam penilaian ternak
sebagai indikator tipe (pedaging, perah atau dwiguna) dan fungsi ternak (Alderson
1999; Salako et al. 2006).
Deskripsi nilai indeks sapi pasundan, bali, madura dan PO jantan dan betina
disajikan pada Tabel 11,12 dan 13. Hasil yang ditunjukkan pada Tabel 11 terdiri
atas deskripsi nilai indeks heigth slope, length index dan balance. Secara umum
perbedaan rumpun/jenis sapi berpengaruh terhadap nilai indeks heigth slope,
length index dan balance.
Tabel 12 menunjukkan bahwa nilai heigth slope, sapi pasundan berbeda
nyata (P>0.05) dengan sapi bali, madura dan PO. Namun antara sapi bali, madura
dan PO terlihat tidak berbeda nyata (P>0.05). Heigth slope merupakan nilai
indeks yang didapatkan dari pengurangan antara dua ukuran tubuh yaitu tinggi
pundak dan tinggi pinggang. Rataan indeks heigth slope tertinggi terdapat pada
sapi pasundan jantan dan betina dengan nilai masing-masing yaitu 2.84 dan 2.82
sedangkan rataan terendah terdapat pada sapi bali jantan (1.36) dan betina (1.29).
Menurut Nurfaridah et al. (2014) salah satu karakteristik ternak sapi yang
unggul ditunjukkan dari ukuran pundak sampai pinggul yang membentuk garis
lurus mendatar sama tinggi. Heigth slope positif mendekati nol atau sama dengan
nol, maka ternak tersebut dikategorikan memiliki perpaduan tinggi yang baik.
Hasil penelitian ini cenderung lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian
Takaendengan (2011) yang melaporkan bahwa nilai heigth slope kuda pacu
Thoroughberd jantan yaitu 1.00 sedangkan pada betina sebesar 0.98. Sedangkan
36

Yunusa et al. (2013) mengungkapkan bahwa rata-rata nilai heigth slope pada
domba uda dan balami di Nigeria sebesar 2.56.
Hasil menunjukkan bahwa nilai length index sapi pasundan, bali, madura
dan PO relatif sama (Tabel 12), namun terlihat bahwa sapi madura terlihat
berbeda nyata (P<0.05) dengan sapi pasundan, bali dan PO. Sedangkan antara sapi
pasundan, bali dan PO terlihat tidak berbeda nyata (P>0.05). Length index
merupakan nilai yang diperoleh dari rasio panjang badan dengan tinggi pundak.

Tabel 11 Deskripsi nilai indeks heigth slope, length index dan balance sapi
pasundan, bali, madura dan PO
Nilai indeks n JK Min Max 𝑥̅ /Sd KK
Heigth slope Sapi pasundan 65 ♂ 1.00 4.00 2.84+2.17a 66.66
220 ♀ 1.40 4.00 2.82+2.21a 22.31
Sapi bali 30 ♂ 1.03 2.56 1.36+0.25b 19.07
30 ♀ 0.90 3.48 1.29+0.86b 40.38
Sapi madura 30 ♂ 0.50 4.60 1.31+0.91b 47.51
30 ♀ 5.18 4.60 1.59+0.13b 2.31
Sapi PO 20 ♂ 3.00 4.50 1.67+4.53b 37.75
10 ♀ 1.50 4.00 1.50+3.92b 40.43
Length index Sapi pasundan 65 ♂ 0.95 1.12 1.01+0.02b 4.99
220 ♀ 1.77 5.56 1.01+0.07b 7.07
Sapi bali 30 ♂ 0.95 1.06 1.02+0.02b 1.99
30 ♀ 2.11 2.41 1.01+0.01b 0.08
Sapi madura 30 ♂ 0.95 1.18 1.11+0.03a 3.25
30 ♀ 2.55 2.71 1.12+0.02a 1.86
Sapi PO 20 ♂ 1.01 1.02 1.01+0.03b 3.04
10 ♀ 2.28 2.76 1.10+0.02b 2.06
Balance Sapi pasundan 65 ♂ 0.39 1.55 0.81+0.22a 26.89
220 ♀ 0.51 1.46 0.93+0.17a 18.13
Sapi bali 30 ♂ 0.72 0.90 0.81+0.03a 3.84
30 ♀ 0.76 0.85 0.82+0.02b 3.06
Sapi madura 30 ♂ 0.67 1.04 0.82+0.03a 10.35
30 ♀ 0.83 0.89 0.84+0.02b 2.44
Sapi PO 20 ♂ 0.71 0.82 0.76+0.03a 4.98
10 ♀ 0.70 0.89 0.82+0.04b 5.14
n=jumlah sampel, JK=jenis kelamin (♂=jantan, ♀=betina), min=nilai minimum, max=nilai
maksimum, 𝑥̅ = rataan, Sd=standar deviasi, a,b..dstAngka dengan huruf yang berbeda pada kolom
yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05), KK = Koefisien keragaman (%)

Menurut Takaendengan (2011) nilai length index menggambarkan dimensi


panjang tubuh ternak. Nilai length index positif diatas satu dapat dinyatakan
bahwa ternak tersebut bertipe panjang (Nurfaridah et al. 2013). Nilai length index
tertinggi terdapat pada sapi madura jantan dan betina dengan rataan masing-
masing yaitu 1.11 dan 1.12. Hal ini mengindikasikan bahwa sapi madura memiliki
dimensi panjang badan lebih tinggi dibandingkan sapi pasundan, bali dan madura.
Hasil penelitian ini relatif sama dengan nilai length index pada sapi white park
yaitu 1.10 (Alderson 1999).
Tabel 11 menunjukkan bahwa nilai balance sapi pasundan, bali, madura dan
PO jantan tidak berbeda nyata (P>0.05). Nilai balance antara sapi bali dan PO
37

betina tidak berbeda nyata (P>0.05) tetapi antara sapi pasundan dan madura
terlihat adanya perbedaan yang nyata (P>0.05). Nilai balance merupakan rasio
antara lebar pinggul dan panjang pinggang dengan dalam dada dan lebar dada.
Rataan tertinggi nilai balance terdapat pada sapi madura jantan yaitu 0.82 dan sapi
pasundan betina sebesar 0.93. Nilai indeks balance pada sapi pasundan, bali,
madura jantan lebih tinggi dibandingkan sapi white park dengan nilai 0.86
(Alderson 1999).
Hasil penelitian Handiwirawan et al. (2011) melaporkan nilai balance pada
beberapa domba yaitu domba barbados belly cross, domba garut lokal, domba
garut komposit, domba sumatera komposit dan domba St. Croix cross dengan
nilai masing-masing 0.74, 0.64, 0.91, 0.75 dan 0.77. Hasil penelitian Nurfaridah et
al. (2013) menunjukkan bahwa nilai balance domba komposit dropper suffolk
adalah 0.67. Nilai balance pada kuda pacu Thoroughberd jantan dan betina
memiliki rataan yaitu 1.02 dan 1.09 (Takaendengan 2011).
Nilai indeks heigth slope, length index dan balance pada sapi pasundan
terlihat lebih beragam jika dibandingkan dengan sapi bali, madura dan PO. Hal ini
ditunjukkan dengan tingginya nilai koefisien keragaman (Tabel 11). Selanjutnya
nilai keragaman tertinggi terdapat pada sapi madura, PO dan bali. Nilai
keragaman nilai indeks heigth slope pada sapi pasundan jantan mencapai 66.66%
sedangkan pada betina 22.31%. Selanjutnya nilai length index dan balance pada
jantan dan betina masing-masing yaitu 4.99% dan 7.07%; serta 26.89% dan
18.13%. Nilai keragaman terendah ditunjukkan pada sapi bali jantan dan betina
dengan koefisien keragaman nilai masing-masing pada heigth slope (19.07%;
40.38%), length index (1.99%; 0.08%) dan balance (3.84%; 3.06%).
Tabel 12 menyajikan deskripsi nilai indeks width slope, depth index dan
foreleg length pada sapi pasundan, bali, madura dan PO. Secara umum terlihat
bahwa perbedaan rumpun/jenis sapi berpengaruh terhadap nilai indeks width
slope, depth index maupun foreleg length.
38

Tabel 12 Deskripsi nilai indeks width slope, depth index dan foreleg length (cm)
sapi pasundan, bali, madura dan PO
Nilai indeks n JK Min Max 𝑥̅ /Sd KK
Width slope Sapi pasundan 65 ♂ 2.00 3.50 2.17+2.16a 99.67
220 ♀ 2.14 3.00 3.84+2.75a 71.60
Sapi bali 30 ♂ 1.10 1.11 1.10+0.01b 0.17
30 ♀ 0.10 2.49 1.70+0.59b 34.81
Sapi madura 30 ♂ 1.13 0.43 1.13+0.43b 38.31
30 ♀ 1.00 2.00 1.12+0.30b 26.82
Sapi PO 30 ♂ 0.01 1.10 1.10+0.01b 0.10
30 ♀ 0.71 0.89 1.20+0.51b 42.58
Depth Sapi pasundan 65 ♂ 0.16 0.51 0.30+0.59c 19.39
index 220 ♀ 0.42 0.48 0.32+0.04c 14.17
Sapi bali 30 ♂ 0.43 0.52 0.47+0.02a 4.59
30 ♀ 0.41 0.43 0.46+0.03a 3.94
Sapi madura 30 ♂ 0.33 0.48 0.41+0.03b 9.40
30 ♀ 0.41 0.44 0.43+0.01b 2.13
Sapi PO 30 ♂ 0.37 0.43 0.39+0.02b 5.34
30 ♀ 0.37 0.45 0.42+0.02b 5.58
Foreleg Sapi pasundan 65 ♂ 57.00 117.00 86.17+10.16a 11.79
length 220 ♀ 57.10 109.50 81.31+8.11a 9.98
(cm) Sapi bali 30 ♂ 57.50 75.25 65.40+3.17b 4.84
30 ♀ 61.34 71.14 66.53+3.17b 4.76
Sapi madura 30 ♂ 65.00 91.00 74.74+6.25b 8.36
30 ♀ 69.25 75.50 71.08+1.91b 2.69
Sapi PO 30 ♂ 65.00 91.00 77.47+4.73b 6.11
30 ♀ 68.00 84.17 71.66+4.80b 6.70
n=jumlah sampel, JK=jenis kelamin (♂=jantan, ♀=betina), min=nilai minimum, max=nilai
maksimum, 𝑥̅ = rataan (cm), Sd=standar deviasi, a,b..dstAngka dengan huruf yang berbeda pada
kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05), KK = Koefisien keragaman (%)

Tabel 12 menunjukkan bahwa nilai indeks width slope sapi pasundan


berbeda nyata (P<0.05) dengan sapi bali, madura dan PO namun antara sapi bali,
madura dan PO menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05). Rataan
tertinggi nilai indeks width slope terdapat pada sapi pasundan jantan (2.17) dan
sapi pasundan betina (3.84). Width slope merupakan nilai perbandingan lebar dada
dan lebar pinggul. Nilai width slope dapat merepresentasikan lebar tubuh dari
ternak.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rataan nilai width slope tertinggi
(P<0.05) terdapat pada sapi pasundan jantan (2.17) dan sapi pasundan betina
(3.84) sedangkan pada sapi bali, madura dan PO berkisar antara 1.11–1.64.
Hadiwirawan et al. (2011) melaporkan bahwa domba barbados belly cross,
domba garut lokal, domba garut komposit, domba sumatera komposit dan domba
St. Croix cross memiliki rata-rata width slope sebesar 1.11–1.64. Sedangkan width
slope domba uda dan balami di Nigeria cenderung lebih kecil dengan nilai 0.83
(Yunusa et al. 2013).
Hasil menunjukkan bahwa nilai depth index sapi bali jantan dan betina
berbeda nyata (P>0.05) dengan sapi bali dan madura maupun dengan sapi
pasundan. Sapi bali dan madura menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0.05) jika
dibandingkan dengan sapi pasundan baik jantan maupun betina. Depth index
39

merupakan nilai indeks yang diperoleh dari rasio antara dalam dada dan tinggi
pundak. Depth index merepresentasikan tipe gemuk dan berkaki panjang atau
berkaki pendek, nilai depth index lebih besar dari 0.5 maka ternak memiliki tipe
gemuk dan berkaki pendek sedangkan lebih kecil dari 0.5 menggambarkan tipe
ternak berkaki panjang (Nurfaridah et al. 2013). Sapi bali jantan dan betina
memiliki rataan depth index tertinggi yaitu 0.47 dan 0.46. Hasil penelitian
Alderson (1999) yang menunjukkan bahwa nilai depth index sapi white park
adalah 0.56 dan terlihat lebih tinggi dibandingkan sapi bali, madura, PO maupun
pasundan.
Nilai foreleg length diperoleh dari pengurangan tinggi pundak dengan dalam
dada. Foreleg length hanya dapat menjelaskan berapa panjang kaki depan ternak
(Nurfaridah et al. 2013). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai foreleg
length sapi pasundan jantan dan betina nyata (P<0.05) lebih tinggi dibandingkan
sapi bali, madura dan PO dengan rataan pada sapi pasundan jantan (79.08 cm) dan
betina (85.47 cm). Nilai foreleg length terendah terdapat pada sapi bali dan
terlihat tidak berbeda nyata (P>0.05) dibandingkan sapi madura dan PO dengan
rataan pada jantan 65.610 cm dan betina 65.40 cm. Nilai foreleg length sapi white
park (Alderson 1999) lebih kecil dibandingan sapi pasundan, bali dan PO dengan
nilai 56.31 cm. Sapi white park memiliki bobot badan 619.43 kg dapat
dikategorikan memiliki kaki yang pendek.
Nilai cumulative index merupakan gabungan perhitungan nilai indeks yang
terdiri dari weigth, length index dan balance yang mempunyai peranan penting
dalam menentukan tipe dari suatu ternak sapi (Alderson 1999). Rataan cumulative
index sapi pasundan, bali dan madura berkisar antara 2.79–2.99. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa sapi bali memiliki nilai cumulative index yang lebih
tinggi (P<0.05) dibandingkan sapi pasundan, madura dan PO.

Tabel 13 Deskripsi nilai cumulative index sapi pasundan, bali, madura dan PO
Sapi JK n Min Max 𝑥̅ /Sd KK
Sapi pasundan ♂ 65 2.25 3.48 2.64+0.26a 9.84
♀ 217 2.16 3.23 2.73+0.19b 7.20
Sapi bali ♂ 30 2.63 2.84 2.86+0.14a 4.88
♀ 30 2.63 2.78 2.89+0.04b 1.60
Sapi madura ♂ 30 2.66 3.16 2.81+0.12a 4.29
♀ 30 2.83 3.11 2.71+0.08a 2.66
Sapi PO ♂ 20 2.63 2.84 2.73+0.08ab 3.25
♀ 10 2.56 2.81 2.74+0.06b 2.12
n=jumlah sampel (ekor), JK=jenis kelamin (♂=jantan, ♀=betina), min=nilai minimum (cm),
max=nilai maksimum (cm), 𝑥̅ = rataan (cm), Sd=standar deviasi, a,b..dstAngka dengan huruf yang
berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05), KK = Koefisien
keragaman (%)

Hasil penelitian Nurfaridah et al. (2013) terhadap indeks morfometrik


domba komposit droper suffolk (DS) pada umur berbeda dengan rataan bobot
badan umur 1 tahun yaitu 27 kg, 2 tahun 39 kg dan 3 tahun 47 kg memiliki rata-
rata cumulative index 2.63 dengan bobot badan domba komposit droper suffolk
(DS) pada umur 1, 2 dan 3 tahun masing-masing yaitu 27 kg, 39 kg dan 47 kg.
Nilai cumulative index domba barbados black belly yaitu 2.80, domba Garut lokal
40

yaitu 2.62, domba Garut komposit yaitu 3.38, domba Sumatera komposit yaitu
2.71 dan domba St. Croix cross dengan rataan 2.61 (Hendriwirawan et al. 2011).
Sedangkan Alderson (1999) melaporkan bahwa sapi betina dewasa white park
memiliki nilai CI 3.88. Handriwirawan et al. (2011) menjelaskan bahwa
perbedaan nilai indeks morfometrik disebabkan karena perbedaan bangsa dan
tetuanya.
41

Karakteristik Morfometrik Ukuran Kranium

Kranium merupakan salah satu bagian tubuh yang sifatnya diturunkan


secara genetik, setiap bangsa sapi mempunyai ukuran-ukuran kranium yang
berbeda dengan bangsa sapi lainnya (Saparto 2004). Kranium adalah bagian
skeleton yang membentuk kerangka dasar kepala. Kranium ini berfungsi sebagai
pelindung otak, penyokong berbagai organ sensum dan membentuk awal saluran
sistem digestoria dan respiratoria (Frandson 1996).

Deskripsi Ukuran Kranium Sapi Pasundan di Wilayah Subpopulasi

Hasil rataan analisis deskriptif keragaman ukuran kranium sapi pasundan di


seluruh wilayah subpopulasi disajikan pada Tabel 14, 15, 16 dan 17. Secara
umum keragaman ukuran profile length (x1), median frontal length (x2) dan length
of the nasals (x3) sapi pasundan jantan dan betina di wilayah subpopulasi relatif
seragam. Hal ini ditunjukkan dengan koefisien keragaman dibawah 15%. Adapun
koefisien keragaman ukuran profile length (x1), median frontal length (x2) dan
length of the nasals (x3) pada sapi jantan maupun betina masing-masing yaitu
antara 1.17%–11.73%, 1,47%–11.44% dan 2.23–12.51%.
Ukuran profile length (x1) pada sapi pasundan jantan di wilayah Ciamis
berbeda nyata (P<0.05) dengan Cianjur, Indramayu, Pangandaran, Kuningan,
Tasikmalaya. Wilayah Garut, Sumedang, Sukabumi, Purwakarta, Majalengka
berbeda nyata (P<0.05) dengan Cianjur, Indramayu, Pangandaran, Kuningan dan
Tasikmalaya. Wilayah Ciamis memiliki rataan tertinggi 43.05 cm dan terendah
pada Tasikmalaya (38.40 cm). Ukuran profile length (x1) pada sapi pasundan
betina di wilayah Garut berbeda nyata (P<0.05) dengan Kuningan dan
Majalengka. Sementara di wilayah Sumedang, Ciamis, Sukabumi, Cianjur,
Purwakarta, Pangandaran, Indramayu, Tasikmalaya, Kuningan dan Majalengka
tidak berbeda nyata (P>0.05). Rataan tertinggi terdapat di wilayah Garut yaitu
41.284 cm dan Majalengka 37.711 cm.
Ukuran median frontal length (x2) sapi pasundan jantan wilayah Ciamis
berbeda nyata (P<0.05) dengan Cianjur, Indramayu, Pangandaran, Kuningan,
Tasikmalaya dan Cianjur. Wilayah Garut terlihat berbeda (P<0.05) dengan
Indramayu, Pangandaran, Kuningan, Tasikmalaya dan Cianjur. Nilai tertinggi
median frontal length (x2) terdapat pada Ciamis (22.027 cm) dan terendah di
wilayah Cianjur (19.106 cm). Sedangkan sapi pasundan betina di wilayah Garut
berbeda nyata (P<0.05) dengan Kuningan dan Majalengka. Wilayah Sumedang
terlihat tidak berbeda (P<0.05) dengan Kuningan dan Majalengka. Garut,
Sumedang, Sukabumi, Cianjur, Purwakarta, Ciamis, Pangandaran, Indramayu dan
Tasikmalaya. Rataan di wilayah Sumedang, Sukabumi, Cianjur, Purwakarta,
Ciamis, Pangandaran, Indramayu dan Tasikmalaya tidak berbeda (P>0.05) dengan
Kuningan dan Majalengka. Rataan tertinggi terdapat di wilayah Garut yaitu
21.142 cm dan terendah di wilayah Majalengka 19.355 cm.
42

Tabel 14 Deskripsi ukuran kranium profile length, median frontal length dan length of the nasals sapi pasundan wilayah subpopulasi

Profile Length (x1) (cm) Median frontal length (x2) (cm) Length of the nasals (x3) (cm)
Wilayah n JK
Min Max ̅ /Sd KK Min Max ̅ /Sd KK Min Max ̅ /Sd KK
Kuningan 7 ♂ 36.00 40.50 39.79+1.73b 4.46 18.50 19.75 22.03+1.558bc 5.08 13.40 15.20 14.46+ 0.81a 5.57
20 ♀ 34.00 40.50 37.81+0.61bc 5.13 17.50 20.75 19.40+0.31b 5.00 12.60 15.20 14.12+ 0.25ab 5.49
Majalengka 5 ♂ 37.00 42.00 40.25+1.55ab 3.84 19.00 21.50 20.30+0.91abc 4.47 14.60 15.80 15.0+ 0.476ab 3.17
20 ♀ 33.50 41.00 37.71+0.52c 2.25 17.25 21.00 19.36+0.26b 5.81 12.40 15.40 14.08+ 0.21b 6.39
Sumedang 5 ♂ 39.50 41.50 40.54+0.88ab 2.00 19.75 21.00 20.35+2.39abc 2.39 14.30 15.10 14.74+ 0.33ab 2.23
20 ♀ 38.75 41.50 40.46+0.28abc 2.20 19.88 21.25 20.73+0.46ab 2.15 13.80 15.60 15.18+ 0.11ab 2.35
Indramayu 5 ♂ 38.00 41.50 39.00+1.26b 3.23 19.50 20.75 20.05+0.72bc 3.57 14.20 15.60 14.64+ 0.57b 3.91
20 ♀ 37.00 41.50 38.71+0.40abc 3.29 19.00 21.00 19.86+0.20ab 3.20 13.80 15.60 14.85+ 0.16ab 3.51
Purwakarta 5 ♂ 37.50 41.50 40.33+1.12ab 2.76 19.25 21.25 29.60+ 2.07abc 3.71 14.00 15.60 14.96+ 0.61ab 4.06
20 ♀ 37.50 41.50 39.85+0.39abc 3.13 19.25 21.25 20.43+0.92ab 3.06 14.00 15.60 14.94+ 0.16ab 3.34
Ciamis 8 ♂ 38.70 48.20 43.05+3.12a 7.24 19.85 24.60 22.02+1.56a 7.07 14.48 18.28 16.22+ 1.25b 7.68
20 ♀ 35.10 44.80 40.37+0.44ab 2.68 17.55 22.40 20.13+0.22ab 6.66 13.04 18.28 15.21+ 0.19a 7.78
Pangandaran 5 ♂ 38.00 40.50 39.1+0.88b 2.25 19.50 22.00 20.03+0.45bc 2.27 14.20 15.20 14.62+ 0.36b 2.49
20 ♀ 37.50 41.50 39.02+0.31abc 1.17 19.25 21.25 20.01+0.16ab 2.92 14.00 15.60 14.61+ 0.418 3.20
Tasikmalaya 5 ♂ 34.50 42.00 39.00+2.59b 6.63 17.75 21.50 19.70+1.47bc 1.47 12.80 15.80 14.36+8.20b 8.20
20 ♀ 34.50 46.00 38.53+ 0.69abc 3.02 17.75 23.50 19.76+0.35ab 7.64 14.50 15.60 14.41+0.28ab 8.38
Garut 10 ♂ 40.00 45.00 42.75+2.13ab 4.97 20.50 23.00 21.55+1.12ab 5.21 15.00 17.00 15.84+ 5.67b 5.67
20 ♀ 36.00 48.00 41.28+0.672a 7.09 18.50 24.50 21.14+0.34a 6.92 13.40 18.20 15.51+ 0.27a 7.55
Cianjur 5 ♂ 36.50 42.00 39.34+2.04b 5.18 18.50 19.75 19.11+0.50c 2.62 13.85 15.80 14.72+ 0.88b 5.93
20 ♀ 33.00 51.00 39.97+1.08abc 11.73 17.00 26.00 20.48+0.54ab 11.44 12.20 19.40 14.99+0.430ab 12.51
Sukabumi 5 ♂ 38.00 42.00 39.79+1.66ab 4.13 19.50 22.00 20.60+1.08abc 5.26 14.20 15.80 14.96+ 0.67ab 4.67
20 ♀ 38.00 43.00 40.30+0.54abc 4.27 19.50 22.00 20.65+0.27ab 4.16 14.20 16.20 15.12+ 0.28ab 4.55
n=jumlah sampel, JK=jenis kelamin (♂=jantan, ♀=betina), min=nilai minimum, max=nilai maksimum, ̅ = rataan, Sd=standar deviasi, a,b..dstAngka dengan huruf yang berbeda pada kolom
yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05), KK = Koefisien keragaman (%)
43

Tabel 15 Deskripsi ukuran kranium foramen gums length, candilo bassal length dan greatest breadth of the skulls sapi pasundan berdasarkan wilayah
subpopulasi
Foramen gums length (x4) (cm) Candilo bassal length (x5) (cm) Greatest breadth of the skulls (x6) (cm)
Wilayah n JK
Min Max 𝑥̅ /Sd KK Min Max 𝑥̅ /Sd KK Min Max 𝑥̅ /Sd KK
Kuningan 7 ♂ 7.90 8.40 8.22+0.20bc 2.45 32.00 36.50 34.65+2.01c 5.81 20.75 23.25 21.90+1.15b 5.27
20 ♀ 7.75 8.40 8.13+0.06b 2.38 30.00 36.50 33.81+0.62bc 5.73 20.00 23.25 21.90+0.31bc 4.43
Majalengka 5 ♂ 8.00 8.55 8.30+0.20bc 2.41 33.00 38.00 35.60+1.87bc 5.10 20.00 24.00 22.30+1.56ab 7.02
20 ♀ 7.70 8.45 8.12+ 0.05b 2.77 29.50 37.00 33.71+0.52c 6.68 19.75 23.50 21.86+0.285b 5.15
Sumedang 5 ♂ 9.25 10.00 9.47+0.31a 3.23 35.50 37.50 36.60+0.82bc 2.24 22.75 24.00 23.50+0.47ab 1.99
20 ♀ 8.22 8.50 8.39+0.03b 1.06 34.75 47.50 36.46+0.28abc 2.44 22.37 23.75 23.22+0.14ab 1.92
Indramayu 5 ♂ 8.15 8.50 8.26+0.14bc 1.73 34.00 37.50 35.10+1.43c 4.08 22.00 23.75 22.55+0.72b 3.17
20 ♀ 8.05 8.50 8.22+0.04b 1.55 33.00 36.50 34.71+0.40abc 3.67 21.50 23.75 22.36+0.20ab 2.85
Purwakarta 5 ♂ 8.10 8.50 8.34+0.15abc 1.82 33.50 37.50 35.90+1.52bc 4.22 21.75 23.75 22.95+0.76ab 3.30
20 ♀ 8.10 8.50 8.34+0.04b 1.50 33.50 37.50 35.85+0.39abc 3.48 21.75 23.75 22.93+0.19ab 2.72
Ciamis 8 ♂ 8.22 9.17 8.66+0.32abc 3.60 34.70 44.20 39.05+7.98a 7.98 21.90 25.70 23.80+1.08a 4.55
20 ♀ 8.36 9.67 8.90+0.05a 3.32 31.10 40.80 36.27+0.44ab 7.40 18.20 23.50 20.29+0.20d 5.88
Pangandaran 5 ♂ 8.10 8.40 8.26+0.09bc 1.10 34.00 36.50 35.05+0.90c 2.59 22.00 23.25 22.53+0.45b 2.02
20 ♀ 8.10 8.50 8.25+0.04b 1.42 33.50 37.50 35.03+0.37abc 3.34 21.75 23.75 22.51+0.19ab 2.60
Tasikmalaya 5 ♂ 6.35 8.55 7.90+0.89c 11.25 30.50 38.00 34.40+2.95c 8.56 18.50 24.00 21.50+2.23b 10.37
20 ♀ 7.80 8.95 8.20+0.07b 3.68 34.75 37.50 34.53+0.69abc 8.75 20.25 26.00 22.26+0.346 6.78
Garut 10 ♂ 8.35 8.85 8.56+0.26abc 2.63 36.00 41.00 38.10+2.25ab 5.90 19.75 24.00 22.10+1.70ab 7.70
20 ♀ 7.95 9.15 8.48+0.06b 3.45 32.00 44.00 37.28+0.67a 32.00 21.00 27.00 23.64+0.336a 6.19
Cianjur 5 ♂ 8.00 11.49 9.22+1.44ab 15.60 32.50 38.00 32.32+6.59c 6.59 18.50 24.00 21.68+1.82b 8.37
20 ♀ 7.65 9.45 8.347+0.11b 5.62 29.00 47.00 35.97+1.08abc 13.03 19.50 28.50 22.98+0.54ab 10.20
Sukabumi 5 ♂ 7.75 8.55 8.19+0.29bc 3.52 34.00 38.00 35.90+1.75 4.86 18.50 24.00 20.10+6.44ab 6.44
20 ♀ 8.15 8.65 8.38+0.05b 2.05 34.75 37.50 36.30+0.54abc 4.74 18.50 21.50 20.14+0.30cd 4.70
n=jumlah sampel, JK=jenis kelamin (♂=jantan, ♀=betina), min=nilai minimum, max=nilai maksimum (cm), 𝑥̅ = rataan (cm), Sd=standar deviasi, a,b..dst
Angka dengan huruf yang berbeda
pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05), KK = Koefisien keragaman (%)
44

Ukuran length of the nasals (x3) sapi pasundan jantan di wilayah Ciamis
berbeda nyata (P<0.05) dengan Indramayu, Pangandaran, Kuningan dan
Tasikmalaya. Wilayah Garut, Majalengka, Sukabumi, Purwakarta dan Sumedang
tidak berbeda nyata (P<0.05) dengan Ciamis, Cianjur, Indramayu, Pangandaran,
Kuningan dan Tasikmalaya. Wilayah Ciamis memiliki rataan tertinggi yaitu 16.22
cm dan terendah di Tasikmalaya yaitu 14.36 cm. Ukuran length of the nasals (x3)
sapi pasundan betina di wilayah Garut dan Ciamis terlihat berbeda nyata (P<0.05)
dengan Majalengka. Namun wilayah Sumedang, Sukabumi, Cianjur, Purwakarta,
Pangandaran, Indramayu, Tasikmalaya dan Kuningan terlihat tidak berbeda nyata
(P>0.05) dengan wilayah Garut dan Ciamis serta Majalengka. Rataan tertinggi
terdapat di wilayah Garut yaitu 15.51 cm dan terendah di Majalengka 14.08 cm.
Hasil menunjukkan bahwa ukuran foramen gums lengths (x4) sapi pasundan
jantan di wilayah Sumedang berbeda nyata (P<0.05) dengan wilayah Majalengka,
Indramayu, Pangandaran, Kuningan, Sukabumi dan Tasikmalaya. Wilayah
Cianjur berbeda nyata (P<0.05) dengan Tasikmalaya. Rataan tertinggi sapi
pasundan jantan terdapat di wilayah Sumedang sebesar 9.47 cm dan terendah di
wilayah Tasikmalaya yaitu 7.90 cm. Sapi pasundan betina di wilayah Ciamis
memiliki ukuran foramen gums lengths (x4) yang berbeda nyata (P<0.05) dengan
wilayah Garut, Sumedang, Sukabumi, Cianjur, Purwakarta, Pangandaran,
Indramayu, Tasikmalaya, Kuningan dan Majalengka. Wilayah Garut berbeda
nyata (P<0.05) dengan wilayah Majalengka tetapi tidak berbeda nyata (P>0.05)
dengan wilayah Sumedang, Sukabumi, Cianjur, Purwakarta, Pangandaran,
Indramayu, Tasikmalaya dan Kuningan. Rataan tertinggi ukuran foramen gums
lengths (x4) sapi pasundan betina terdapat di wilayah Ciamis dengan rataan 8.90
cm dan terendah di Majalengka 8.12 cm.
Ukuran candilo bassal length (x5) sapi pasundan jantan di wilayah Ciamis
nyata (P<0.05) lebih tinggi dengan rataan 37.28 cm dibandingkan wilayah
Cianjur, Indramayu, Pangandaran, Kuningan, Tasikmalaya. Wilayah Garut,
Sumedang, Sukabumi, Purwakarta, Majalengka tidak berbeda nyata (P<0.05)
dengan wilayah Ciamis, Cianjur, Indramayu, Pangandaran, Kuningan dan
Tasikmalaya. Rataan terendah candilo bassal length (x5) sapi pasundan jantan
terdapat di wilayah Tasikmalaya yaitu 34.40 cm. Ukuran candilo bassal length
(x5) sapi pasundan betina di wilayah Garut memiliki rataan yang tidak nyata
(P<0.05) dibandingkan wilayah Kuningan dan Majalengka. Wilayah Garut terlihat
tidak berbeda (P<0.05) dengan Sumedang, Sukabumi, Ciamis, Cianjur,
Purwakarta, Pangandaran, Indramayu, Tasikmalaya. Sedangkan wilayah Ciamis
tidak berbeda (P>0.05) dengan wilayah Sumedang, Sukabumi, Ciamis, Cianjur,
Purwakarta, Pangandaran, Indramayu, Tasikmalaya dan Kuningan. Rataan
tertinggi terdapat di wilayah Garut yaitu 37.28 cm dan rataan terendah di wilayah
Majalengka (33.71 cm).
Ukuran greatest breadth of the skulls (x6) sapi pasundan jantan di wilayah
Ciamis nyata berbeda (P<0.05) dengan wilayah Cianjur, Tasikmalaya dan
Sukabumi. Sumedang dan Purwakarta berbeda nyata (P<0.05) dengan Sukabumi.
Wilayah Indramayu, Pangandaran, Majalengka, Garut dan Kuningan terlihat
berbeda nyata (P<0.05) dengan Sukabumi. Rataan tertinggi terdapat di wilayah
Ciamis yaitu 23.80 cm dan terendah di wilayah Sukabumi yaitu 20.10 cm. Ukuran
greatest breadth of the skulls (x6) pada sapi pasundan betina di wilayah Garut
terlihat berbeda nyata (P<0.05) dengan Kuningan, Majalengka, Ciamis dan
45

Sukabumi. Rataan tertinggi terdapat di wilayah Ciamis yaitu 23.80 cm dan


terendah
46

Tabel 16 Deskripsi ukuran kranium least breadth between the basess of the horn cores, least frontal breadth dan least breadth between supraorbital

Least breadth between supraorbital foramina Breadth between the infraorbital foramina (x9)
Least breadth between the orbits(x8) (cm)
Wilayah n JK (x7) (cm) (cm)
Min Max ̅ /Sd KK Min Max ̅ /Sd KK Min Max ̅ /Sd KK
Kuningan 7 ♂ 12.75 14.75 13.97+0.91d 6.52 18.00 20.25 19.33+1.01d 5.21 8.57 9.64 9.20+0.48bc 5.21
20 ♀ 13.75 14.96 15.65+0.307a 13.75 17.00 20.25 18.90+0.97bc 6.19 8.10 9.64 9.00+0.46bc 5.13
Majalengka 5 ♂ 15.25 17.75 16.55+0.91abc 5.49 18.50 21.00 19.80+0.91abc 4.59 8.00 9.52 9.29+0.22bc 7.14
20 ♀ 14.50 15.75 15.60+0.26a 13.50 16.75 20.50 18.86+1.13b 7.21 7.98 9.76 8.98+0.54b 5.97
Sumedang 5 ♂ 16.50 17.50 17.05+0.41ab 2.41 19.75 20.75 20.30+0.41ab 2.02 9.40 9.88 9.68+0.19ab 1.02
20 ♀ 16.69 17.08 16.98+0.141a 16.13 19.38 20.75 20.23+0.46ab 2.62 9.23 9.88 9.63+0.21ab 2.20
Indramayu 5 ♂ 15.75 17.50 16.30+0.72abc 4.39 19.00 20.75 19.55+0.72abc 3.66 9.05 9.88 9.31+0.34abc 3.66
20 ♀ 15.75 15.90 16.11+0.201a 15.25 18.50 20.75 19.36+0.64ab 3.95 8.81 9.88 9.22+0.31ab 3.29
Purwakarta 5 ♂ 13.40 15.90 14.70+1.037cd 7.05 18.75 20.75 19.95+ 0.76cd 3.80 8.93 9.88 9.50+0.36ab 3.80
20 ♀ 16.38 16.63 16.67+0.19a 15.50 18.75 20.75 19.925+0.62ab 3.74 8.93 9.88 9.49+0.29ab 3.13
Ciamis 8 ♂ 15.65 19.45 17.55+1.083a 6.17 18.90 22.70 20.80+1.08a 5.21 9.00 10.80 9.90+0.52ab 5.21
20 ♀ 11.40 13.50 14.69+1.54a 7.40 15.20 20.50 17.29+1.19d 3.87 7.24 9.76 8.23+7 0.56d 6.91
Pangandaran 5 ♂ 15.75 17.00 16.27+0.45abc 2.79 19.00 20.25 19.53+0.45abc 2.33 9.05 9.64 9.29+0.22abc 9.29
20 ♀ 15.93 16.18 16.26+0.18a 15.50 18.75 20.75 19.51+0.59ab 3.60 8.93 9.88 9.29+0.28ab 3.00
Tasikmalaya 5 ♂ 13.00 17.00 15.15+1.46bcd 9.66 17.25 21.00 19.20+1.48bcd 7.67 8.21 10.00 9.14+0.70bc 7.67
20 ♀ 14.75 15.75 16.01+0.346 14.00 17.25 23.00 19.26+1.51ab 9.43 8.22 10.95 9.17+0.72 ab 7.84
Garut 10 ♂ 13.75 16.25 14.80+1.12cd 7.59 20.00 22.50 21.05+1.12cd 5.34 9.52 12.00 10.40+0.99a 9.53
20 ♀ 16.25 17.25 17.39+0.336 14.75 18.00 24.00 20.65+1.47a 8.40 8.57 11.43 9.83+0.69a 7.09
Cianjur 5 ♂ 15.00 17.75 16.35+1.16abc 7.09 19.59 21.16 19.59+1.16abc 5.91 8.69 10.00 9.33+0.55b 5.91
20 ♀ 14.75 16.62 16.73+0.538a 13.25 16.50 25.50 19.98+2.33ab 14.01 7.86 12.14 9.52+1.16ab 11.73
Sukabumi 5 ♂ 12.75 15.25 14.00+.090d 7.78 15.50 18.50 17.10+1.30d 7.57 7.38 9.00 8.18+0.67c 7.38
20 ♀ 13.13 14.00 13.89+0.299a 12.25 15.50 18.50 17.14+0.95ab 6.81 9.23 9.88 7.38+8.81cd 5.52
foramina sapi pasundan berdasarkan wilayah subpopulasi
n=jumlah sampel, JK=jenis kelamin (♂=jantan, ♀=betina), min=nilai minimum, max=nilai maksimum, ̅ = rataan, Sd=standar deviasi, a,b..dstAngka dengan huruf yang berbeda pada kolom
yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05), KK = Koefisien keragaman (%)
44

di wilayah Sukabumi yaitu 20.10 cm. Ukuran greatest breadth of the skulls (x6)
pada sapi pasundan betina di wilayah Garut terlihat berbeda nyata (P<0.05)
dengan Kuningan, Majalengka, Ciamis dan Sukabumi. Wilayah Sumedang,
Cianjur, Purwakarta, Pangandaran, Indramayu, Tasikmalaya terlihat tidak berbeda
(P>0.05) dengan Garut, Kuningan dan Majalengka. Perbedaan tidak nyata
terdapat pula di wilayah Kuningan dengan Sukabumi. Rataan tertinggi wilayah
Kuningan yaitu 23.64 cm terdapat di wilayah Garut dan terendah di wilayah
Ciamis yaitu 20.29 cm.
Secara umum keragaman ukuran foramen gums lengths (x4), candilo bassal
length (x5), greatest breadth of the skulls (x6) sapi pasundan jantan dan betina di
wilayah subpopulasi relatif seragam kecuali pada ukuran x 5 yang cenderung
beragam. Sedangkan persentase koefisien keragaman ukuran x4 dan x6 berada
pada kisaran dibawah 20%. Rataan koefisien keragaman sapi pasundan jantan dan
betina masing-masing yaitu 1.06%–15.60% (x4), 2.24%–32.00% (x5) dan 1.92%–
10.37% padan ukuran greatest breadth of the skulls (x6) (Tabel 15). Sedangkan
ukuran least breadth between supraorbital foramina (x7), least breadth between
the orbits (x8) dan ukuran breadth between the infraorbital foramina (x9)
memiliki keragaman yang rendah. Adapun keragaman pada masing-masing
ukuran x7, x8 dan x9 yaitu 2.41%–16.13%, 2.02%–14.01% dan 1.02%–11.73%
(Tabel 16).
Ukuran least breadth between supraorbital foramina (x7) sapi pasundan
jantan di wilayah Ciamis berbeda nyata (P<0.05) dengan Tasikmalaya tetapi tidak
berbeda nyata (P>0.05) dibandingkan Sumedang, Majalengka, Cianjur,
Indramayu, Pangandaran. Wilayah Sumedang berbeda nyata (P>0.05) dengan
wilayah Garut, Purwakarta, Sukabumi, Kuningan tetapi tidak berbeda nyata
dengan Majalengka, Cianjur, Indramayu, Pangandaran dan Tasikmalaya.
Majalengka nyata tidak berbeda (P>0.05) dengan wilayah Cianjur, Indramayu,
Pangandaran, Tasikmalaya, Garut, dan Purwakarta. Sukabumi dan Kuningan
terlihat tidak berbeda nyata (P>0.05). Wilayah Ciamis memiliki rataan tertinggi
yaitu 17.55 cm dan terendah di wilayah Kuningan yaitu 13.975 cm. Sedangkan
sapi pasundan di wilayah Garut berbeda nyata (P<0.05) dengan wilayah
Majalengka, Sumedang, Cianjur, Purwakarta, Pangandaran, Indramayu,
Tasikmalaya dan Kuningan. Wilayah Garut memiliki rataan ukuran least breadth
between supraorbital foramina (x7) tertinggi dengan nilai sebesar 17.392 cm dan
terendah di Ciamis dengan rataan 13.614 cm.
Ukuran least breadth between the orbits (x8) sapi pasundan jantan di
wilayah Garut, Ciamis, Sumedang, Purwakarta, Majalengka, Cianjur, Indramayu,
Pangandaran, Kuningan berbeda nyata (P<0.05) dengan wilayah Sukabumi.
Sedangkan wilayah Tasikmalaya tidak berbeda (P<0.05) dengan Sukabumi.
Rataan tertinggi ukuran least breadth between the orbits (x8) terdapat di wilayah
Garut yaitu 21.05 cm dan terendah di Sukabumi dengan rataan 17.10 cm. Wilayah
Garut berbeda nyata (P<0.05) dengan Kuningan, Majalengka, Ciamis dan
Sukabumi tetapi tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan Sumedang, Cianjur,
Purwakarta, Pangandaran, Indramayu, dan Tasikmalaya. Wilayah Majalengka
berbeda (P<0.05) dengan Ciamis tetapi terlihat tidak berbeda (P>0.05) dengan
Sumedang, Cianjur, Purwakarta, Pangandaran, Indramayu, Tasikmalaya dan
Kuningan. Rataan tertinggi terdapat di wilayah Garut yaitu 20.642 cm dan
Sukabumi yaitu 17.14 cm.
45

Ukuran breadth between the infraorbital foramina (x9) sapi pasundan jantan
di wilayah Garut berbeda nyata (P<0.05) dengan wilayah Cianjur, Kuningan,
Tasikmalaya, Majalengka, Sukabumi dan Ciamis. Wilayah Sumedang,
Purwakarta tidak berbeda nyata (P>0.05) namun berbeda nyata (P<0.05) dengan
Sukabumi. Rataan tertinggi wilayah Garut yaitu 10.47 cm sedangkan terendah di
wilayah Sukabumi dengan rataan 8.18 cm. Wilayah Garut berbeda nyata (P<0.05)
dengan Kuningan, Majalengka, Ciamis, Sukabumi tetapi tidak berbeda (P>0.05)
dengan Sumedang, Cianjur, Purwakarta, Pangandaran, Indramayu, Tasikmalaya.
Kuningan, Majalengka dan Sukabumi berbeda nyata dengan Ciamis. Rataan
tertinggi (x9) yaitu 9.83 cm dan terendah yaitu 8.16 cm masing-masing di wilayah
Garut dan Sukabumi.

Tabel 17 Deskripsi ukuran kranium least breadth between the orbits dan breadth
between supraorbital foramina sapi pasundan berdasarkan wilayah
Breadth between supraorbital foramina
Least breadth between the orbits (x10)
Wilayah n JK (x11)
Min Max 𝑥̅ /Sd KK Min Max 𝑥̅ /Sd KK
Kuningan 7 ♂ 14.00 16.87 15.53+1.19bcd 7.176.25 7.32 6.88+0.48b 6.97
20 ♀ 13.67 16.38 15.25+0.81bcde 5.305.77 7.32 6.68+0.46bc 6.91
Majalengka 5 ♂ 15.42 17.50 16.50+0.76abc 4.594.59 7.71 8.25+0.38a 4.59
20 ♀ 13.46 16.58 15.21+0.94cde 6.165.65 7.44 6.65+0.54b 8.05
Sumedang 5 ♂ 15.75 17.29 16.65+0.60ab 3.617.08 8.00 7.45+0.36ab 4.81
20 ♀ 16.15 17.29 16.86+0.37a 2.206.90 7.56 7.31+0.21ab 2.90
Indramayu 5 ♂ 14.03 15.49 14.49+0.59d 4.126.72 7.56 6.98+0.34b 4.88
20 ♀ 14.90 16.79 15.63+0.53abcd 3.396.48 7.56 6.89+0.30ab 4.40
Purwakarta 5 ♂ 14.63 16.29 15.63+0.63bcd 4.046.60 8.60 7.17+0.36b 5.03
20 ♀ 15.13 16.79 16.10+0.51abc 3.236.60 7.56 7.16+0.29ab 4.15
Ciamis 8 ♂ 15.75 18.92 17.33+0.90a 5.216.68 8.48 7.58+0.52ab 0.59
20 ♀ 12.67 17.08 14.40+0.99e 6.916.24 8.78 7.23+0.57ab 7.86
Pangandaran 5 ♂ 14.33 15.38 14.77+0.38cd 2.566.73 7.32 6.98+0.22b 3.10
20 ♀ 15.13 16.79 15.76+0.48abcd 3.096.60 7.56 6.96+0.28ab 4.00
Tasikmalaya 5 ♂ 12.75 15.83 13.98+1.19d 8.476.38 7.92 7.04+0.58b 8.20
20 ♀ 13.88 18.67 15.55+1.26abcd 8.095.89 8.63 6.85+0.72ab 10.50
Garut 10 ♂ 15.68 17.75 16.54+0.94abc 5.667.83 9.00 8.33+0.55a 6.65
20 ♀ 14.50 19.50 16.70+1.22ab 7.306.25 9.11 7.50+0.69a 9.29
Cianjur 5 ♂ 14.00 16.00 15.17+6.29bcd 6.297.00 8.00 7.58+0.48ab 6.29
20 ♀ 13.25 20.75 16.15+1.95abc 12.095.53 9.82 7.19+1.12ab 10.52
Sukabumi 5 ♂ 9.651 11.00 10.32+0.56e 5.425.07 6.68 5.86+0.67cb 15.46
20 ♀ 12.92 15.42 14.28+0.79de 5.525.07 6.49 5.06+6.49c 11.72
n=jumlah sampel, JK=jenis kelamin (♂=jantan, ♀=betina), min=nilai minimum, max=nilai maksimum, 𝑥̅ = rataan,
Sd=standar deviasi, a,b..dstAngka dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata
(P<0.05), KK = Koefisien keragaman (%)

subpopulasi

Rataan ukuran least breadth between the orbits (x10) breadth between the
infraorbital foramina (x11) disajikan pada Tabel 17. Secara umum Keragaman
ukuran least breadth between the orbits (x10) dan breadth between the infraorbital
foramina (x11) relatif seragam. Koefisien keragaman masing-masing ukuran x10
dan x11 yaitu 2.20%–12.09% dan 0.59%–15.46%.
46

Ukuran least breadth between the orbits (x10) sapi pasundan jantan di
wilayah Ciamis berbeda nyata (P<0.05) dengan wilayah Purwakarta, Kuningan,
Cianjur, Pangandaran, Indramayu, Tasikmalaya dan Sukabumi. Wilayah
Sumedang terlihat berbeda nyata (P<0.05) dengan Purwakarta, Kuningan, Cianjur,
Pangandaran, Indramayu, Tasikmalaya dan Sukabumi. Wilayah Indramayu dan
Tasikmalaya memiliki perbedaan yang nyata (P<0.05) dengan wilayah Sukabumi.
Ratan ukuran tertinggi terdapat di wilayah Ciamis yaitu 17.33 cm dan terendah di
wilayah Sukabumi yaitu 10.32 cm. Sapi pasundan betina di wilayah Sumedang
berbeda nyata (P<0.05) dengan wilayah Kuningan, Majalengka, Ciamis dan
Sukabumi tetapi tidak berbeda (P>0.05) dengan wilayah Sumedang, Garut
Cianjur, Purwakarta, Pangandaran, Indramayu, Tasikmalaya, Kuningan,
Majalengka. Wilayah Sukabumi memiliki rataan terendah dengan nilai 14.41 cm
namun terlihat tidak berbeda nyata (P<0.05) dengan wilayah Indramayu,
Tasikmalaya, Kuningan, Majalengka dan Ciamis.
Ukuran breadth between the infraorbital foramina (x11) sapi pasundan
jantan di wilayah Garut terlihat berbeda nyata (P<0.05) dibandingkan dengan
wilayah Purwakarta, Tasikmalaya, Indramayu, Pangandaran, Kuningan dan
Sukabumi. Garut, Majalengka, Cianjur, Ciamis dan Sumedang terlihat tidak
berbeda nyata (P<0.05). Ukuran di wilayah Purwakarta, Tasikmalaya, Indramayu,
Pangandaran dan Kuningan berbeda nyata (P<0.05) dengan Sukabumi. Rataan
tertinggi ukuran breadth between the infraorbital foramina (x11) terdapat di
wilayah Garut jantan dan betina masing-masing yaitu 8.33 cm dan 7.50 cm.
Rataan terendah terdapat di wilayah sukabumi pada jantan (5.86 cm) dan betina
(5.06 cm).

Deskripsi Ukuran Kranium Sapi Pasundan, Bali, Madura dan PO

Deskripsi ukuran kranium sapi pasundan, bali, madura dan PO disajikan


pada Tabel 18, 19 dan 20. Secara umum perbedaan rumpun sapi memberikan
pengaruh terhadap ukuran kranium.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ukuran profile length (x1), sapi PO
jantan terlihat berbeda nyata (P<0.05) dengan sapi bali dan madura tetapi tidak
berbeda (P>0.05) dengan sapi pasundan. Sapi pasundan berbeda (P<0.05) dengan
sapi madura, sapi PO dan pasundan berbeda nyata (P<0.05) dengan sapi bali.
Rataan tertinggi ukuran profile length atau jarak akrokranion ke prosthion
terdapat pada sapi PO jantan dan betina yaitu 44.85 cm dan 43.44 cm. Rataan
terendah terdapat pada sapi bali jantan dan betina yaitu 40.61 cm dan 39.57 cm.
koefisien
Ukuran median frontal length (x2) yaitu jarak akrokranion ke nasion dan
length of the nasals (x3) yaitu jarak nasion ke rhinion pada penelitian ini
menunjukkan bahwa sapi PO berbeda nyata (P<0.05) dengan sapi bali, madura
dan pasundan. Sapi PO juga menunjukkan ukuran tertinggi pada x 2 dengan rataan
jantan dan betina masing-masing yaitu 23.43 cm dan 22.72 cm sedangkan x3 yaitu
17.94 cm dan 17.34 cm. Sedangkan rataan ukuran median frontal length (x2) dan
length of the nasals (x3) terkecil terdapat pada sapi bali jantan dan betina masing-
masing yaitu 19.52 cm dan 19.81 serta 14.24 cm dan 14.25 cm.
47

Ukuran foremen gums length (x4) atau jarak rhinion sampai prosthion pada
bali dan pasundan jantan terlihat berbeda nyata (P<0.05) dengan sapi madura dan
PO. Ukuran x4 pada sapi bali betina berbeda nyata (P<0.05) dengan pasundan, PO
dan madura. Sapi pasundan dan PO terlihat berbeda (P<0.05) dengan sapi madura.
Rataan tertinggi ukuran foremen gums length (x4) terdapat pada sapi bali jantan
yaitu 10.21 cm dan betina 9.03 cm. Sedangkan rataan terendah terdapat pada sapi
madura jantan yaitu 7.73 cm dan pada sapi pasundan betina dengan rataan 8.41
cm.

Tabel 18 Deskripsi ukuran kranium profile length (x1), median frontal length
(x2), length of the nasals (x3) dan foremen gums length (x4) sapi
pasundan, bali, madura dan PO
Ukuran kranium n JK Min Max 𝑥̅ /Sd KK
Profile Sapi pasundan 65 ♂ 38.70 48.20 44.85+2.57ab 3.50
length 220 ♀ 33.00 51.00 39.99+2.85b 7.20
(x1) Sapi bali 30 ♂ 38.95 41.57 40.61+0.73c 1.79
(cm) 30 ♀ 38.95 41.50 39.57+0.90b 2.25
Sapi madura 30 ♂ 39.00 45.25 42.06+2.06bc 4.88
30 ♀ 37.50 44.00 39.56+2.13b 5.38
Sapi PO 30 ♂ 42.50 48.00 44.85+1.57a 3.50
30 ♀ 40.25 46.21 43.44+2.07a 4.76
Median Sapi pasundan 65 ♂ 19.85 24.60 22.03+1.56b 7.07
frontal 220 ♀ 17.00 26.00 20.18+1.03b 6.99
length Sapi bali 30 ♂ 18.00 20.79 19.52+1.03b 5.26
(x2) 30 ♀ 18.27 20.75 19.81+0.70b 3.54
(cm) Sapi madura 30 ♂ 18.00 23.13 21.30+1.38b 6.45
30 ♀ 19.25 22.50 20.28+1.06b 6.99
Sapi PO 30 ♂ 22.25 25.00 23.43+0.79a 3.35
30 ♀ 21.16 24.10 22.72+1.03a 4.55
Length of Sapi pasundan 65 ♂ 14.48 18.28 16.22+1.25b 7.68
the nasals 220 ♀ 12.20 18.40 15.79+1.14b 7.69
(x3) Sapi bali 30 ♂ 13.58 14.63 14.24+0.29bc 2.05
(cm) 30 ♀ 14.04 15.60 14.25+0.71bc 4.50
Sapi madura 30 ♂ 14.60 17.10 15.77+0.85b 5.38
30 ♀ 14.00 16.60 14.83+0.85b 5.74
Sapi PO 30 ♂ 17.00 19.20 17.94+0.63a 3.50
30 ♀ 16.10 18.48 17.37+0.83a 4.76
Foremen Sapi pasundan 65 ♂ 7.35 12.40 10.06+1.41a 13.99
gums 220 ♀ 7.65 9.45 8.41+0.37b 12.43
length Sapi bali 30 ♂ 9.32 12.40 10.21+1.03a 7.07
(x4) 30 ♀ 8.89 9.32 9.03+0.13a 1.49
(cm) Sapi madura 30 ♂ 7.25 10.00 7.72+0.67b 8.60
30 ♀ 7.15 9.25 7.73+0.64c 8.31
Sapi PO 30 ♂ 8.25 8.80 8.49+0.16b 1.85
30 ♀ 8.03 9.50 8.53+0.43b 4.99
n=jumlah sampel, JK=jenis kelamin (♂=jantan, ♀=betina), min=nilai minimum, max=nilai
maksimum, 𝑥̅ = rataan, Sd=standar deviasi, a,b..dstAngka dengan huruf yang berbeda pada kolom
yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05), KK=koefisien keragaman (%)
48

Keragaman ukuran kranium sapi pasundan, bali, madura dan PO pada


profile length (x1) berada pada kisaran 1.79–7.20 %, median frontal length (x2)
berada pada kisaran 3.35–7.07%, length of the nasals (x3) pada kisaran 2.05–
7.68% dan ukuran foremen gums length (x4) berada pada kisaran 1.49–13.99%. Ini
mengindikasikan bahwa keragaman ukuran kranium x1–x4 relatif seragam, kecuali
pada ukuran foremen gums length (x4) sapi pasundan jantan dan betina. Secara
umum koefisien keragaman ukuran profile length (x1), median frontal length (x2),
length of the nasals (x3) dan foremen gums length (x4) berada pada kisaran
dibawah 15%.
Secara umum hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sapi PO memiliki
ukuran profile length (x1), median frontal length (x2), length of the nasals (x3)
lebih tinggi dibandingkan sapi pasundan, bali dan madura sedangkan ukuran
foremen gums length (x4) tertinggi terdapat pada sapi bali. Hasil penelitian ini
terlihat sesuai dengan hasil penelitian Saparto (2004) yang melaporkan bahwa
sapi PO memiliki ukuran profile length (x1), median frontal length (x2) dan length
of the nasals (x3) lebih tinggi dibandingkan sapi bali dan sapi jawa. Selanjutnya
rataan masing-masing berturut-turut profile length (x1) (43.793 cm), median
frontal length (x2) (19.891) dan length of the nasals (x3) (16.262 cm). Sementara
ukuran foremen gums length (x4) tertinggi terdapat pada sapi jawa dengan rataan
9.187 cm.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ukuran candilo bassal length (x5)
sapi PO jantan dan betina berbeda nyata (P<0.05) dengan sapi pasundan, bali dan
madura dengan rataan tertinggi (42.16 cm dan 41.44 cm). Sapi pasundan, bali dan
madura jantan terlihat tidak berbeda nyata (P>0.05). Ukuran candilo bassal length
(x5) pada sapi bali betina terlihat berbeda nyata dengan sapi pasundan. Sapi
madura betina terlihat tidak berbeda nyata (P<0.05) dengan sapi pasundan.
Ukuran candilo bassal length (x5) pada sapi pasundan memiliki rataan terkecil
yaitu 35.57 cm.
49

Tabel 19 Deskripsi ukuran kranium candilo bassal length (x5), greatest breadth
of the skulls (x6), least breadth between the supraorbital foramina (x7)
sapi pasundan, bali, madura dan PO
Ukuran kranium n JK Min Max 𝑥̅ /Sd KK
Candilo Sapi pasundan 65 ♂ 34.70 44.20 39.05+3.12b 7.98
bassal 220 ♀ 29.00 47.00 35.57+2.85c 8.02
length Sapi bali 30 ♂ 36.95 39.57 38.58+0.75b 1.96
(x5) 30 ♀ 36.95 39.50 37.94+0.90b 2.36
(cm) Sapi madura 30 ♂ 36.00 42.25 38.99+2.07b 5.32
30 ♀ 34.50 41.00 36.56+2.13bc 5.82
Sapi PO 30 ♂ 38.50 46.00 42.16+2.12a 5.02
30 ♀ 38.25 44.21 41.44+2.07a 4.99
Greatest Sapi pasundan 65 ♂ 21.90 25.70 23.80+1.08a 4.55
breadth of 220 ♀ 18.20 28.50 22.01+1.75a 7.93
the skull Sapi bali 30 ♂ 16.95 20.00 18.01+0.78b 4.15
(x6) 30 ♀ 16.98 18.25 17.51+0.46c 2.60
(cm) Sapi madura 30 ♂ 16.50 23.63 21.40+2.13b 9.96
30 ♀ 16.00 25.56 21.09+2.51ab 11.90
Sapi PO 30 ♂ 18.75 21.50 19.93+0.79b 3.93
30 ♀ 17.63 20.60 19.22+1.03bc 5.38
Least Sapi pasundan `65 ♂ 15.65 19.45 17.55+0.79a 15.42
breatdh
220 ♀ 10.40 20.75 15.54+2.20a 14.15
between
supraorbital Sapi bali 30 ♂ 10.47 13.75 11.99+0.89c 7.39
foramina 30 ♀ 10.47 12.75 11.83+0.66b 5.54
(x7) Sapi madura 30 ♂ 9.00 14.38 11.45+1.76c 15.37
30 ♀ 9.50 16.31 12.26+1.89b 15.42
Sapi PO 30 ♂ 13.25 16.00 14.43+0.79b 5.44
30 ♀ 11.50 14.88 13.50+1.03b 7.66
n=jumlah sampel, JK=jenis kelamin (♂=jantan, ♀=betina), min=nilai minimum, max=nilai
maksimum, 𝑥̅ = rataan, Sd=standar deviasi, a,b..dstAngka dengan huruf yang berbeda pada kolom
yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05), KK=koefisien keragaman (%)
50

Tabel 20 Deskripsi ukuran kranium least breadth between the orbits (x 8), breadth
between the infraorbital foramina (x9), least breadth between the orbit
(x10), breadth between the infraorbital foramina (x11) sapi pasundan,
bali, madura dan PO
Ukuran kranium Sapi n JK Min Max 𝑥̅ /Sd KK
Least breadth Sapi pasundan 65 ♂ 34.70 44.20 39.05+3.12b 7.98
between the 220 ♀ 29.00 47.00 35.57+2.85c 8.02
orbits (x8) Sapi bali 30 ♂ 36.95 39.57 38.58+0.75b 1.96
(cm)
30 ♀ 36.95 39.50 37.94+0.90b 2.36
Sapi madura 30 ♂ 36.00 42.25 38.99+2.07b 5.32
30 ♀ 34.50 41.00 36.56+2.13bc 5.82
Sapi PO 30 ♂ 38.50 46.00 42.16+2.12a 5.02
30 ♀ 38.25 44.21 41.44+2.07a 4.99
Breadth Sapi pasundan 65 ♂ 34.70 44.20 39.05+3.12b 7.98
between the 220 ♀ 29.00 47.00 35.57+2.85c 8.02
infraorbital Sapi bali 30 ♂ 36.95 39.57 38.58+0.75b 1.96
foramina 30 ♀ 36.95 39.50 37.94+0.90b 2.36
(x9) (cm) Sapi madura 30 ♂ 36.00 42.25 38.99+2.07b 5.32
30 ♀ 34.50 41.00 36.56+2.13bc 5.82
Sapi PO 30 ♂ 38.50 46.00 42.16+2.12a 5.02
30 ♀ 38.25 44.21 41.44+2.07a 4.99
Least breadth Sapi pasundan 65 ♂ 21.90 25.70 23.80+1.08a 4.55
between the 220 ♀ 18.20 28.50 22.01+1.75a 7.93
orbit (x10) Sapi bali 30 ♂ 16.95 20.00 18.01+0.78c 4.15
(cm) 30 ♀ 16.98 18.25 17.51+0.46c 2.60
Sapi madura 30 ♂ 16.50 23.63 21.40+2.13b 9.96
30 ♀ 16.00 25.56 21.09+2.51ab 11.90
Sapi PO 30 ♂ 18.75 21.50 19.93+0.79b 3.93
30 ♀ 17.63 20.60 19.22+1.03b 5.38
Breadth Sapi pasundan 65 ♂ 15.65 19.45 17.55+0.79a 15.42
between the 220 ♀ 10.40 20.75 15.54+2.20a 14.15
infraorbital Sapi bali 30 ♂ 10.47 13.75 11.49+0.89c 7.39
foramina 30 ♀ 10.47 12.75 11.83+0.66c 5.54
(x11) Sapi madura 30 ♂ 9.00 14.38 11.95+1.76c 15.37
(cm) 30 ♀ 9.50 16.31 12.26+1.89b 15.42
Sapi PO 30 ♂ 13.25 16.00 14.43+0.79b 5.44
30 ♀ 11.50 14.88 13.50+1.03b 7.66
n = jumlah sampel, JK = jenis kelamin (♂ = jantan; ♀ = betina), Min = nilai minimum, Max =
nilai maksimum, 𝑥̅ = rata-rata, Sd = standar deviasi, a,b...dstsuperskrip huruf kecil pada kolom yang
sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05), KK = koefisien keragaman (%)

Ukuran greatest breadth of the skull (x6) dan least breadth between
supraorbital foramina (x7) pada sapi pasundan jantan dan betina berbeda nyata
(P<0.05) dengan sapi bali, madura dan PO. Sapi pasundan memiliki rataan lebih
tinggi pada ukuran x6 dan x7 masing-masing jantan dan betina yaitu 23.80 cm dan
22.01 cm serta 17.55 cm dan 15.54 cm. Ukuran greatest breadth of the skull (x6)
sapi bali, madura dan PO jantan terlihat tidak berbeda. Ukuran terendah terdapat
pada sapi bali (18.01 cm).
51

Ukuran least breadth between supraorbital foramina (x7) pada sapi PO


jantan berbeda nyata (P<0.05) dengan sapi bali dan madura. Ukuran least breadth
between supraorbital foramina (x7) pada sapi bali, madura dan PO betina terlihat
tidak berbeda. Rataan terendah terdapat pada sapi madura jantan (11.45 cm) dan
sapi bali betina (11.83 cm).
Ukuran least breadth between the orbits (x8) sapi PO jantan dan betina
terlihat berbeda nyata (P<0.05) dengan sapi pasundan, bali dan madura dengan
rataan tertinggi masing-masing yaitu 22.43 cm dan 21.72 cm. Sedangkan ukuran
pada sapi pasundan, bali dan madura jantan betina terlihat tidak berbeda nyata
(P>0.05). Rataan terendah ukuran least breadth between the orbits (x8) terdapat
pada sapi madura jantan yaitu 11.45 cm dan sapi bali betina 11.83 cm.
Ukuran breadth between the infraorbital foramina (x9) pada sapi PO jantan
dan betina terlihat berbeda nyata (P<0.05) dengan sapi pasundan, bali dan madura
dengan rataan 42.16 cm dan 41.44 cm. Ukuran breadth between the infraorbital
foramina (x9) pada sapi pasundan, bali dan madura jantan tidak berbeda (P>0.05).
Sapi bali dan madura betina memiliki rataan yang berbeda nyata (P<0.05) dengan
sapi pasundan. Ukuran breadth between the infraorbital foramina (x9) terdapat
pada sapi bali jantan (38.58 cm) dan pada sapi pasundan betina (35.57 cm).
Ukuran least breadth between the orbits (x10) dan breadth between the
infraorbital foramina (x11) sapi pasundan jantan dan betina berbeda nyata
(P<0.05) dan lebih tinggi dibandingkan sapi bali dan PO. Sapi madura betina
memiliki ukuran least breadth between the orbits (x10) tidak berbeda dengan sapi
pasundan dan PO tetapi berbeda (P<0.05) dengan sapi bali. Ukuran x11 sapi PO
jantan berbeda nyata (P<0.05) dengan sapi bali dan madura. Sapi madura dan PO
betina terlihat berbeda (P<0.05) dengan sapi pasundan. Rataan terendah ukuran
least breadth between the orbits (x10) dan breadth between the infraorbital
foramina (x11) terdapat pada sapi bali jantan dan betina dengan rataan masing-
masing yaitu 18.01 cm dan 17.51 cm serta 11.49 cm dan 11.83 cm.
Hasil penelitian Saparto (2004) menunjukkan bahwa rataan tertinggi ukuran
breadth between the infraorbital foramina (x9) dan least breadth between the
orbits (x10) tertinggi terdapat pada sapi PO. Sedangkan ukuran breadth between
the infraorbital foramina (x11) terdapat pada sapi pasundan. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pada ukuran breadth between the infraorbital foramina (x9)
tertinggi terdapat pada sapi PO sedangkan ukuran least breadth between the
orbits (x10) dan breadth between the infraorbital foramina (x11) terdapat pada sapi
pasundan.

Penciri Ukuran Kranium dan Bentuk Sapi Pasundan, Bali, Madura dan PO
Menurut Gaspersz (1992) analisis T2-Hotelling memiliki tujuan untuk
mendapatkan perbedaan vektor nilai rata-rata diantara dua populasi. Pengujian
secara statistik dilakukan secara bersamaan pada sebelas variabel ukuran kranium.
Hasil analisis T2-Hotelling menunjukkan bahwa antara sapi pasundan vs sapi bali,
sapi pasundan vs sapi madura, sapi pasundan vs sapi PO, sapi bali vs sapi madura
dan sapi bali vs sapi PO jantan dan betina memiliki perbedaan (P<0.05).
Persamaan ukuran dan bentuk kranium sapi pasundan, bali, madura dan PO
jantan dan betina disajikan pada Tabel 21. Keragaman total komponen ke-1 yang
disetarakan dengan ukuran tertinggi terdapat pada sapi PO jantan yaitu 79.70%
dan terendah pada sapi PO betina yaitu 25.70%. Keragaman total komponen ke-2
52

yang disetarakan dengan bentuk tertinggi terdapat pada sapi madura betina yaitu
39.02% dan terendah pada sapi PO betina yaitu 0.08%. Nilai eigen tertinggi
ukuran dan bentuk terdapat pada sapi bali betina masing-masing yaitu 36.541 dan
23.937. Sedangkan nilai eigen ukuran dan bentuk terendah terdapat pada sapi bali
jantan yaitu 2.143 dan pada sapi PO betina yaitu 0.999.
Tabel 21 Persamaan, keragaman total dan nilai eigen ukuran kranium dan bentuk
sapi pasundan, bali, madura dan PO jantan dan betina
Sapi JK Persamaan KT λ
Pasundan ♂ Ukuran 0.186x1+0.004x2+0.074x3+0.108x4+0.982x5+0.945x6
64.20 9.585
+0.048x7+0.031x8+0.079x7+0.062x10+0.088x11
Bentuk 0.658x1-0.063x2-0.114x3+0.364x4-0.114x5+0.002x6-
14.30 2.143
0.372x7+0.571x8-0.137x9-0.003x9+0.062x11
♀ Ukuran 0.234x1+0.550x2+0.290x3+0.017x4+0.760x5+0.105x6
46.80 3.239
+0.291x7-0.545x8+0.306x7+0.067x10+0.009x11
Bentuk 0.944x1+0.278x2-
0.153x3+0.112x4+0.448x5+0.108x6+0.095x7+0.682x8 38.70 2.677
-0.018x9-0.048x9-0.018x11
Bali ♂ Ukuran 0.379x1+0.286x2+0.173x3-
0.031x4+0.607x5+0.458x6+0.192x7+0.514x8+0.163x9 73.00 19.757
+0.114x10+0.165x11
Bentuk -0.542x1-0.002x2-0.152x3-0.238x4-
0.467x5+0.242x6+0.422x7+0.992x8+0.007x9- 16.60 4.479
0.010x10+0.134x11
♀ Ukuran 0.359x1+0.569x2+0.125x3-
0.034x4+0.362x5+0.495x6+0.423x7+0.415x8+0.192x9 53.40 13.879
+0.158x10+0.193x11
Bentuk -0.503x1-0.250x2-0.196x3-0.113x4-
0.571x5+0.415x6+0.203x7+0.630x8+0.139x9+0.110x1 38.00 9.822
0+0.098x11
Madura ♂ Ukuran 0.537x1+0.252x2+0.202x3+0.076x4+0.523x5+0.238x6
60.90 16.473
+0.192x7+0.683x8+0.109x9+0.362x10+0.103x11
Bentuk 0.536x1-0.222x2-0.127x3+0.002x4-
0.375x5+0.298x6+0.583x7+0.340x8+0.062x9- 17.80 4.814
0.383x10+0.154x11
♀ Ukuran 0.383x1+0.226x2+0.297x3+0.037x4+0.745x5+0.396x6
44.35 36.541
+0.206x7+0.170x8+0.062x9+0.123x10+0.222x11
Bentuk 0.902x1-0.045x2-0.115x3-0.012x4-
0.293x5+0.992x6+0.259x7+0.072x8+0.030x9+0.054x1 39.02 23.937
0-0.054x11
PO ♂ Ukuran 0.502x1+0.256x2+0.174x3+0.055x4+0.651x5+0.252x6
79.70 8.394
+0.252x7+0.214x8+0.122x9+0.130x10+0.143x11
Bentuk 0.758x1+0.221x2+0.171x3+0.052x4-
0.754x5+0.219x6+0.219x7+0.169x8+0.167x9+0.069x1 15.40 1.627
0+0.040x11
♀ Ukuran 0.660x1+0.351x2+0.208x3+0.058x4+0.607x5+0.327x6
25.70 9.501
+0.296x7+0.288x8+0.161x9+0.123x10+0.114x11
Bentuk 0.897x1-0.368x2+0.041x3+0.132x4+0.775x5+0.135x6-
0.08 0.999
0.338x7-0.279x8+0.064x9+0.022x10+0.142x11
x1= profile length, x2= median frontal length, x3= length of the nasals, x4 = foramen gums length x5= candilo
bassal length, x6 = greatest breadth of the skull, x7= least breadth between supraorbital foramina, x8 = least
breadth between the orbits, x9= breadth between the infraorbital foramina; x10= least breadth between the
orbits; x11= breadth between the infraorbital foramina, KT= keragaman total; λ= nilai eigen

Adapun rekapitulasi hasil persamaan berdasarkan Analisis Komponen


Utama (AKU) dan nilai korelasi disajikan pada Tabel 22. Hasil ini menunjukkan
bahwa penciri ukuran dan bentuk kranium antara sapi pasundan dengan bali dan
madura jantan dan betina berbeda-beda. Namun terlihat terdapat kesamaan antara
penciri ukuran kranium sapi pasundan dengan sapi PO jantan dan betina.
53

Tabel 22 Rekapitulasi penciri ukuran kranium dan bentuk serta nilai korelasi
pada sapi pasundan, bali, madura dan PO jantan dan betina
Penciri ukuran dan korelasi Penciri bentuk dan korelasi
Rumpun Sapi JK
terhadap skor ukuran-nilai korelasi terhadap skor bentuk-nilai korelasi
Sapi pasundan ♂ x5 Candilo basal length (+0.0069) x1 Profile length (+0.0266)
♀ x5 Candilo basal length (+0.0021) x1 Profile length (+0.0038)
Sapi bali ♂ x5 Candilo basal length (+0.0163) x8 Least frontal breadth (+0.1130)
♀ x2 Median frontal length x8 Least frontal breadth (+0.0849)
(+0.0730)
Sapi madura ♂ x8 Least frontal breadth (+0.0053) x7 Least breadth between the
basess of the horn cores
(+0.00003)
♀ x6 Greatest breadth of the skull x6 Greatest breadth of the skull
(+0.0073) (+0.0087)
Sapi PO ♂ x5 Candilo basal length (+0.0183) x1 Profile length (+0.08688)
♀ x5 Candilo basal length (+0.0138) x1 Profile length (+0.0255)
(+) = korelasi positif , tanda (-) = berkorelasi negatif

Hasil analisis menunjukkan bahwa penciri ukuran antara sapi pasundan


dengan sapi PO memiliki kemiripan. Penciri ukuran sapi pasundan jantan dan
betina memiliki kemiripan dengan sapi PO pada candilo bassal length (x5).
Sedangkan penciri bentuk sapi pasundan dan betina juga memiliki kemiripan,
ditunjukkan dengan kesamaan pada ukuran profile length (x1). Sedangkan antara
sapi bali dan madura jantan dan betina terlihat memiliki perbedaan penciri ukuran
dan bentuk. Nilai korelasi yang ditunjukkan pada Tabel 22 terlihat relatif kecil,
namun secara umum berkorelasi positif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sapi pasundan memiliki
karakteristik penciri bentuk yang khas. Namun karakteristik tersebut menyerupai
karakteristik kranium sapi PO. Penciri ukuran ditunjukkan oleh ukuran candilo
bassal length (x5) yaitu panjang rahang sedangkan penciri bentuk ditunjukkan
oleh ukuran profile length (x1). Munculnya penciri profile length mengindikasikan
bahwa sapi pasundan memiliki karakteristik muka yang panjang, hal ini didukung
dengan ukuran kranium pada profile length (x1) yang terlihat lebih panjang
dibandingkan sapi bali dan madura tetapi lebih pendek dibandingkan sapi PO.
Diduga karakteristik yang muncul berdasarkan ukuran kranium ini lebih
didominasi oleh faktor genetik daripada lingkungan. Secara umum pemeliharaan
sapi pasundan, bali, madura dan PO relatif sama. Sapi pasundan merupakan ternak
hasil adaptasi lebih dari sepuluh generasi antara Bos sundaicus dengan sapi jawa,
madura dan sumba ongole (Kementerian Pertanian 2014). Adanya perpaduan
antara sapi jawa, madura dan sumba ongole diduga berpengaruh terhadap penciri
kranium sapi pasundan.
Everitt dan Dunn (1998) ahli taksonomi lebih menekankan komponen utama
kedua yang mengindikasikan bentuk karena lebih banyak dipengaruhi oleh faktor
genetik. Adanya perbedaan penciri ukuran kranium juga diduga disebabkan
karena perbedaan asal-usul ternak sapi. Hasil penelitian Saparto (2004)
mengungkapkan bahwa perbedaan bangsa sapi berpengaruh terhadap ukuran
kranium. Selanjutnya dijelaskan perbedaan bangsa berpengaruh nyata terhadap
ukuran kranium kecuali variabel greatest of the skulls pada banteng, sapi PO, sapi
Jawa dan sapi bali. Hal ini mengindikasikan ukuran kranium bersifat mewaris.
54

Kerumunan Ukuran Kranium Sapi Pasundan, Bali, Madura dan PO


Hasil Analisis Komponen Utama (AKU) dapat digunakan untuk membentuk
diagram kerumunan. Sumbu X menunjukkan skor ukuran dan sumbu Y
menunjukkan skor bentuk (Nishida 1982). Perbedaan ukuran dan bentuk kranium
sapi pasundan, bali, madura dan PO jantan disajikan pada Gambar 12. Sedangkan
perbedaan ukuran dan bentuk kranium sapi pasundan, bali, madura dan PO jantan
disajikan pada Gambar 13.

Keterangan :
: Sapi pasundan : Sapi madura
: Sapi bali : Sapi Peranakan Ongole
Gambar 12 Diagram kerumunan sapi pasundan, bali, madura dan PO jantan
berdasarkan ukuran kranium

Berdasarkan diagram kerumunan, sapi pasundan, madura dan PO jantan dan


betina terlihat memiliki ukuran linear permukaan kranium yang relatif sama. Hal
ini ditunjukkan dengan posisi kerumunan dengan skor ukuran (sumbu x) yang
juga relatif sama. Hasil ini diasumsikan karena ketiga jenis sapi ini merupakan
hasil persilangan. Sapi PO merupakan hasil persilangan antara sapi Jawa dengan
sapi Ongole (Kementerian Pertanian 2012).
Gambar 12 dan 13 menginterpretasikan bahwa ukuran kranium sapi
pasundan dengan PO jantan berdekatan dan terlihat memiliki ukuran yang lebih
tinggi dibandingkan dengan sapi bali dan madura. Hal ini ditunjukkan dengan
kerumunan yang mengarah mendekati sumbu X (skor ukuran). sapi madura jantan
memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan sapi bali. Namun sapi bali terlihat
memiliki karakteristik bentuk kranium yang khas. Hal tersebut ditunjukkan
dengan kerumunan yang terpisah dan berjauhan dengan kerumunan sapi
pasundan, PO maupun madura. Kerumunan sapi bali mengarah mendekat sumbu
Y (skor bentuk).
Menurut Harjosubroto (1994) sapi madura merupakan sapi lokal Indonesia
yang merupakan hasil persilangan antara Banteng dengan sapi Zebu. Sedangkan
55

sapi pasundan Menurut Kementan (2014) merupakan hasil adaptasi 10 generasi


dari persilangan antara sapi bali, sapi jawa dan sapi Ongole.

Keterangan :
: Sapi pasundan : Sapi madura
: Sapi bali : Sapi Peranakan Ongole
Gambar 13 Diagram kerumunan sapi pasundan, bali, madura dan PO betina
berdasarkan ukuran kranium

Saparto (2004) menjelaskan bahwa sapi PO memiliki ukuran kranium lebih


tinggi karena merupakan hasil persilangan dan memiliki performa lebih besar
dibandingkan sapi lokal. Selanjutnya ditambahkan bahwa persilangan diduga
mengakibatkan adanya implikasi pada ukuran ukuran-ukuran kranium. Abdullah
(2007) menjelaskan bahwa ukuran tubuh berkorelasi positif dengan besarnya
ukuran kranium sapi Aceh.
Menurut Mahdi et al. (2013) sapi bali memiliki ukuran kranium yang relatif
lebih kecil dibandingkan dengan kranium Banteng Baluran dan Banteng
Marubetiri. Hal ini diduga karena hasil domestikasi. Hasil penelitian ini berbeda
dengan Saparto (2004) bahwa bentuk kranium terbesar adalah sapi bali,
selanjutnya disusul oleh sapi madura, PO dan sapi jawa. Selanjutnya dijelaskan
bahwa sapi bali merupakan hasil domestikasi dari banteng yang secara langsung
memiliki karakteristik ukuran kranium yang khas seperti banteng meskipun sudah
mengalami penyusutan menjadi lebih kecil.

Jarak Genetik Sapi Pasundan, Bali, Madura dan PO

Jarak Genetik Sapi Pasundan, Bali, Madura dan PO berdasarkan Ukuran


Tubuh
Tabel 25 menggambarkan nilai kesamaan fenotipe dari morfometrik tubuh
tertinggi terdapat pada sapi bali dengan derajat kesamaan 98.30%, sapi madura
(93.30%), sapi pasundan (91.50%) dan sapi PO (73.30%).
56
57

Tabel 25 Persentase nilai kesamaan dan campuran sapi pasundan, bali, madura
dan PO berdasarkan ukuran tubuh
Sapi Pasundan Bali Madura PO Total
Pasundan 91.50 0.55 0.55 7.40 100.00
Bali 0.00 98.30 0.00 1.70 100.00
Madura 1.70 1.70 93.30 0.00 100.00
PO 21.8 3.00 0.00 73.30 100.00

Hasil penelitian Anggraeni et al. (2011) pada beberapa populasi kerbau di


Indonesia menunjukkan nilai kesamaan fenotipe tertinggi terdapat pada populasi
kerbau Nusa Tenggara Barat dengan derajat kesamaan sebesar 95.0%, Sumatera
Utara (74.51%), Sulawesi Selatan (74.90%), Jawa Tengah (64.90%) dan Nangro
Aceh Darrussalam (66.00%) dan Kalimantan Selatan (38.02%). Selanjutnya
dijelaskan bahwa tingginya nilai kesamaan dalam populasi NTB dan Sumut
karena kedua Provinsi ini cukup terisolasi hingga tidak mengalami banyak
pencampuran dengan kerbau dari luar. Selanjutnya dijelaskan bahwa ternak yang
memiliki nilai kesamaan dalam populasi pada taraf yang tinggi menunjukkan
bahwa campuran pengaruh gen dari populasi luar semakin berkurang.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kesamaan campuran
fenotipe tertinggi terdapat pada sapi bali dan madura dengan persentase yang
sama yaitu 98.30%. Hal ini diasumsikan karena wilayah sumber bibit sapi bali dan
madura yang terdapat di pulau Bali dan Madura merupakan wilayah tertutup bagi
sapi lokal yang lain. Menurut Hardjosubroto (1994) sapi madura merupakan sapi
lokal Indonesia yang sudah menunjukkan bentuk yang seragam. Staadblaat No. 57
tahun 1934 mengatur tentang permurnian sapi madura yang dipusatkan di Pulau
Madura dan sapi bali di pulau Bali (Kutsiyah et al. 2003 dan Wijono et al. 2004).
Upaya pemurnian dilakukan untuk meningkatkan mutu genetik dan keseragaman
sapi.
Nilai campuran fenotipe sapi pasundan mencapai 91.50% dan mendapat
pencampuran dari sapi madura sebesar 1.70% dan PO sebesar 21.8%. Hal ini
menunjukkan bahwa morfometrik ukuran tubuh sapi pasundan memiliki
kesamaan dengan sapi madura maupun PO. Sebagaimana dijelaskan Suparyanto
(1999) bahwa adanya campuran antara populasi dapat disebabkan karena adanya
kebijakan peternak dalam mengambil kebijakan maupun terjadi secara alami.
Kemungkinan adanya introduksi atau pemasukan ternak dari luar wilayah
pemeliharaan sapi pasundan cukup besar. Hal ini diduga karena sebelum adanya
penetapan rumpun, pengelolaan sapi pasundan belum terarah dan tidak terkontrol.
Nilai campuran fenotipik pada sapi PO sebesar 73.30% termasuk lebih kecil
dibandingkan sapi pasundan, bali dan madura. Hal ini diduga karena lokasi
pengambilan sampel sapi PO berada di wilayah Jawa Barat yang diasumsikan
masih memiliki keragaman yang tinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
sapi PO mendapatkan campuran fenotipik dari sapi pasundan sebesar 7.40% dan
sapi bali sebesar 1.70%. Hal ini juga disebabkan karena sapi PO merupakan jenis
sapi potong yang adaptif di beberapa wilayah di Indonesia termasuk pada Provinsi
Jawa Barat.
Hasil analisis matriks jarak genetik antara sapi pasundan dengan sapi bali,
madura dan PO berdasarkan ukuran tubuh disajikan pada Tabel 26. Hasil
menunjukkan bahwa sapi pasundan mempunyai jarak genetik terdekat dengan sapi
58

PO sebesar 2.932 dan jarak genetik terjauh dengan sapi bali sebesar 4.434.
Selanjutnya terlihat bahwa sapi bali memiliki jarak genetik antara sapi bali dengan
PO sebesar 3.455 dan sapi bali dengan madura yaitu 5.635.
Tabel 26 Matriks jarak genetik sapi pasundan, bali, madura dan PO berdasarkan
ukuran tubuh
Sapi Sapi pasundan Sapi bali Sapi madura Sapi PO
Sapi pasundan 0.000 4.438 4.242 2.932
Sapi bali 4.438 0.000 5.635 3.455
Sapi madura 4.242 5.635 0.000 4.969
Sapi PO 2.932 3.455 4.969 0.000

Hasil analisis jarak matriks genetik menunjukkan bahwa sapi pasundan


memiliki hubungan morfologis yang relatif lebih dekat dengan sapi PO. Hal ini
sesuai dengan pernyataan dalam SK penetapan sapi pasundan bahwa sapi
pasundan merupakan hasil adaptasi lebih sepuluh generasi antara Bos
sondaicus/Banteng/sapi bali, dengan sapi jawa, sapi madura dan sapi sumba
ongole (Kementrian Pertanian 2014). Kemiripan sapi pasundan dengan sapi PO
diduga karena merupakan hasil persilangan antara sapi Ongole dengan sapi Jawa.
Adanya darah sapi ongole yang sama seperti pada sapi sumba ongole diduga
mempengaruhi kesamaan yang relatif lebih dekat. Secara fenotipik sapi pasundan
sebagian besar memiliki kesamaan dengan sapi PO ditunjukkan dengan adanya
gelambir. Pada penelitian ini ditemukan adanya gelambir sebagian besar pada sapi
pasundan betina.

Jarak Genetik Sapi Pasundan, Bali, Madura dan PO berdasarkan Ukuran


Kranium
Tabel 27 menunjukkan bahwa nilai kesamaan fenotipe dari morfometrik
kranium sapi pasundan, bali dan PO memiliki persentase tertinggi yaitu 100%
sedangkan sapi madura memiliki persentase campuran fenotipik sebesar 96.00%
dan memiliki campuran 4.00% dari populasi sapi pasundan.
Tabel 27 Persentase nilai kesamaan dan campuran sapi pasundan, bali, madura
dan PO berdasarkan ukuran kranium
Sapi Pasundan Bali Madura PO Total
Sapi pasundan 100.00 0.00 0.00 0.00 100.00
Sapi bali 0.00 100.00 0.00 0.00 100.00
Sapi madura 4.00 0.00 96.00 0.00 100.00
Sapi PO 0.00 0.00 0.00 100.00 100.00

Hasil penelitian menunjukkan adaya keseragaman ukuran kranium yang


relatif tinggi, hal ini ditunjukkan dengan persentase total yang mencapai 100%
(Tabel 27). Secara umum nilai campuran fenotip kranium sapi pasundan, bali dan
PO memiliki keseragaman yang tinggi kecuali pada sapi madura yang
mendapatkan campuran 4% dari sapi pasundan. Hasil penelitian Suryani et al.
(2013) pada ukuran kranium tiga jenis kambing di Jawa Tengah yaitu kambing
kejobong, kacang dan PE menunjukkan bahwa persentase fenotipe kranium
ketiganya mencapai 100%.
59

Hasil analisis matriks jarak genetik sapi pasundan, bali, madura dan PO
berdasarkan ukuran kranium disajikan pada Tabel 28. Berdasarkan ukuran
kranium terlihat bahwa sapi pasundan memiliki kedekatan dengan sapi madura hal
ini ditunjukkan dengan nilai 6.305. Selanjutnya terlihat sapi pasundan memiliki
kedekatan dengan lebih dekat dengan sapi bali dibandingkan sapi PO
Tabel 28 Matriks jarak genetik sapi pasundan, bali, madura dan PO berdasarkan
ukuran kranium
Sapi Sapi pasundan Sapi bali Sapi madura Sapi PO
Sapi pasundan 0.000 9.561 6.305 10.318
Sapi bali 9.561 0.000 8.623 6.265
Sapi madura 6.305 8.623 0.000 6.280
Sapi PO 10.318 6.265 6.280 0.000

Hubungan kekerabatan yang lebih dekat tersebut diduga karena sapi


pasundan merupakan hasil persilangan dengan sapi madura. Indrijani et al. (2013)
mengungkapkan bahwa berdasarkan kajian arkeologis sapi pasundan merupakan
hasil gradding up antara sapi lokal Jawa Barat dengan sapi madura dan sapi bali.
Hasil penelitian ini sesuai dengan Saparto (2004) menunjukkan bahwa sapi jawa
memiliki kedekatan dengan sapi madura, namun sapi madura memiliki kedudukan
yang dekat dengan sapi bali namun menjauh dari sapi PO.
Nilai matriks jarak genetik yang berjauhan antara sapi bali dengan PO dan
madura diasumsikan karena perbedaan asal-usul masing-masing sapi. Hal ini
sesuai dengan Asoen dan Anggraeni (2011) pada kerbau rawa dan sungai. Hasil
menunjukkan bahwa kelompok kerbau rawa terpisah dari kelompok kerbau
sungai. Hal tersebut disebabkan karena kerbau rawa dan sungai didomestikasi dari
nenek moyang yang berbeda. Hal ini menegaskan bahwa perbedaaan asal usul
dalam hal ini tetua yang berbeda akan memberikan nilai yang tinggi pada matriks
jarak genetik dan menggambarkan semakin jauhnya hubungan kekerabatan.
60

4 PEMBAHASAN UMUM

SK Menteri Nomor 1051/Kpts/RI/SR.10/2014 menjelaskan bahwa sapi


pasundan merupakan sumberdaya genetik ternak sapi lokal Jawa Barat yang perlu
dilestarikan dan dikembangkan. Karakterisasi merupakan langkah awal dalam
pelestarian dan pengembangan serta dapat dilakukan melalui pendekatan
sederhana menggunakan studi morfometrik ukuran tubuh dan kranium.
Karakterisasi di seluruh wilayah subpopulasi meliputi wilayah Kuningan,
Majalengka, Sumedang, Indramayu, Purwakarta, Ciamis, Pangandaran,
Tasikmalaya, Garut, Cianjur dan Sukabumi serta perbandingan dengan sapi bali,
madura dan PO dilakukan untuk mendapatkan gambaran potensi genetik sapi
pasundan berdasarkan sifat kuantitatif secara komprehensif.
Secara umum hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan wilayah
subpopulasi memberikan pengaruh terhadap ukuran tubuh maupun bobot badan.
Ukuran tubuh sapi pasundan relatif beragam ditunjukkan dengan nilai koefisien
keragaman yang tinggi (Tabel 1, 2 dan 3). Hal ini diduga karena secara geografi
wilayah subpopulasi atau sentra budidaya dan pembibitan sapi pasundan tidak
terpisah dan tidak berada pada daerah yang terisolasi. Mwacharo et al. (2006) dan
Zhang et al. (2007) mengungkapkan bahwa jarak geografi yang berjauhan pada
populasi tertutup, pemeliharaan ternak secara ekstensif dan tidak terseleksi akan
berpengaruh pada tingkat keragaman suatu populasi. Apabila jarak geografik antar
wilayah berdekatan maka keragaman populasinya akan semakin tinggi. Hal ini
diperkuat dengan adanya introduksi atau pemasukan sapi dari luar wilayah.
Penetapan rumpun sapi pasundan sebagai ternak lokal Jawa Barat (SK
Mentan tahun 2014) memberikan pengaruh positif pada kondisi budidaya dan
pembibitan sapi pasundan khususnya di wilayah subpopulasi. Upaya legalisasi
terhadap sumberdaya genetik sapi pasundan dalam bentuk penetapan rumpun ini
setidaknya dapat mengurangi pengurasan sumberdaya genetik yang
mengakibatkan penurunan populasi. Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebab
penurunan tersebut yaitu seleksi negatif, pemotongan betina produktif dan
program inseminasi buatan (IB) yang tidak terarah. Hasil survei di lapangan
menunjukkan di beberapa wilayah subpopulasi sudah terjadi percampuran atau
introduksi. Tetapi khusus di wilayah sentra pembibitan sapi pasundan, introduksi
ini dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya pelestarian dan pengembangan.
Sejak tahun 2015 pemerintah Jawa Barat melalui Dinas Peternakan
bekerjasama dengan BP3IPTEK memberikan bantuan ternak sapi pasundan
kepada kelompok tenak di wilayah sentra pengembangan. Selain itu dilakukan
seleksi secara ketat terhadap sapi pasundan jantan di setiap wilayah subpopulasi.
Seleksi intensif dimaksudkan sebagai penjaringan sapi pasundan jantan yang
memiliki performa produktifitas baik untuk dijadikan bibit yang
pengembangannya dipusatkan di BPPT Sapi Potong Ciamis. Pemeliharaan sapi
pasundan di Balai Pengembangan dan Pembibitan Sapi Potong Ciamis
dikonsentrasikan pada program pembibitan dan produksi semen beku.
Bobot badan sapi pasundan di wilayah subpopulasi memiliki keragaman
yang lebih besar dan variatif dibandingkan dengan ukuran tubuh (Tabel 4).
Masing-masing wilayah subpopulasi memiliki nilai koefisien keragaman yang
berbeda tetapi secara umum relatif cukup tinggi, hampir mencapai 30%. Hal ini
61

mengindikasikan bahwa potensi sapi pasundan dari segi ukuran tubuh relatif
hampir sama namun bobot badan lebih beragam. Sebagaimana Warwick et al.
(1995) mengungkapkan bahwa ukuran tubuh merupakan sifat yang lebih dominan
dipengaruhi oleh faktor genetik sedangkan bobot badan dipengaruhi oleh faktor
lingkungan.
Tabel 4 menunjukkan bahwa rataan ukuran tubuh sapi pasundan jantan dan
betina tertinggi masing-masing terdapat di wilayah Indramayu dan Ciamis.
Namun berdasarkan data luasan lahan ketersediaan padang pengembalaan/rumput
terlihat bahwa kedua wilayah tersebut memiliki luasan lahan yang lebih sempit
dibandingkan wilayah lain (Lampiran 4a). Luas lahan padang
pengembalaan/rumput di wilayah Indramayu yaitu 155 ha pada tahun 2013 (BPS
Jawa Barat 2014) dan tersisa 151 ha pada tahun 2014 (BPS Jawa Barat 2015)
sementara di wilayah Ciamis memiliki luasan lahan sebesar 587 ha pada tahun
2013 dan 2014 (BPS Jawa Barat tahun 2014 dan 2015). Hal ini memperjelas
bahwa ketersediaan lahan hijauan atau padang pengembalaan tidak selalu menjadi
parameter peningkatan ataupun penurunan performa ternak sapi di suatu wilayah.
Performa ternak tidak hanya dipengaruhi oleh faktor pakan dalam hal ini
ketersediaan pakan di lingkungan tetapi merupakan akumulasi dari faktor genetik
(G) dan lingkungan (E) serta interaksi genetik dan lingkungan (IGE). Dapat
diasumsikan bahwa faktor lingkungan yang dimaksudkan adalah manajemen
pakan baik pengolahan maupun sistem pemberian pakan. Hal ini sejalan dengan
Soeharsono (2008) yang menyatakan bahwa produksi merupakan manifestasi dari
interaksi antara faktor dalam (genetik) dan faktor luar (lingkungan). Selanjutnya
dijelaskan bahwa lingkungan dapat bersifat nutrisional, klimatologis dan
manajerial.
Perbedaan jenis/rumpun sapi memberikan pengaruh terhadap ukuran tubuh
dan bobot badan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum ukuran
tubuh dan bobot badan sapi pasundan terlihat lebih kecil dibandingkan sapi bali,
madura dan PO (Tabel 5, 6 dan 7). Ukuran tinggi pundak dan tinggi pinggul
tertinggi terdapat pada sapi PO. Sapi madura memiliki rataan ukuran panjang
badan lebih tinggi dibandingkan sapi pasundan, bali dan PO. Ukuran lebar dada,
panjang kelangkang, dalam dada dan lingkar dada serta bobot badan tertinggi
ditunjukkan pada sapi bali. Hasil ini menginterpretasikan bahwa potensi genetik
sapi pasundan secara kuantitatif tergolong relatif lebih rendah daripada sapi bali,
madura dan PO. Tingkat keragaman sapi pasundan secara umum terlihat lebih
tinggi, koefisien keragaman mencapai lebih dari 20%. Tingginya keragaman sapi
pasundan diasumsikan disebabkan oleh faktor luasnya wilayah penyebaran
populasi dan belum adanya manajemen pemeliharaan yang terarah. Wilayah
penyebaran sapi pasundan meliputi 11 Kabupaten memiliki agroekosistem dan
iklim serta potensi daya dukung pakan yang berbeda (Lampiran 2). Hal ini diduga
menjadi faktor penyebab tingginya keragaman ukuran maupun bobot badan pada
sapi pasundan.
Tampilan performa atau bobot badan sapi bali, madura dan PO berdasarkan
hasil penelitian ini terlihat lebih tinggi dibandingkan sapi pasundan. Berdasarkan
pengamatan di lapangan wilayah sentra populasi sapi bali, madura dan PO
menunjukkan telah adanya manajemen pemeliharaan yang optimal dengan
didukung oleh kemampuan adaptasi masing-masing ternak yang cukup tinggi. Hal
ini ditambahkan dengan pernyataan Thalib (2002) bahwa perkembangan hidup
62

sapi bali lebih sesuai di pulau Bali karena adanya budaya orang Bali yang
memuliakan sapi bali. Hal ini serupa seperti pada sapi madura, yang mana
masyarakat madura memiliki tradisi dalam pemuliaan sapi madura karena
dijadikan sebagai kontes sapi sonok (sapi madura betina) dan karapan (sapi
madura jantan). Sapi madura betina dipelihara khusus untuk budaya kontes
(Kutsiyah 2012).
Sistem pemeliharaan sapi bali, madura dan PO relatif lebih baik dan terarah.
Berdasarkan Keputusan Menteri Nomor 325/Kpts/OT.140/1/2010 menyatakan
bahwa sapi bali merupakan ternak hasil domestikasi dari banteng asli Indonesia
yang mempunyai keunggulan dalam daya adaptasi dan presentase karkas yang
tinggi. Wilayah sebaran populasi sapi bali murni berada di pulau Bali (Thalib
2002; Hadiwirawan dan Subandriyo 2004). Sedangkan sapi madura ditetapkan
sebagai rumpun ternak lokal berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor
3735/Kpts/HK.040/11/2010 dan memiliki sebaran asli geografis di pulau Madura
(Kementan 2010). Sementara rumpun sapi PO sebagai salah satu plasma nutfah
ternak dengan wilayah sebaran populasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur
ditetapkan melalui Keputusan Menteri Nomor 2841/Kpts/LB.430/8/2012
(Kementerian Pertanian 2012).
Hasil penelitian ini sejalan dengan Anggraaeni et al. (2011) yang
menunjukkan adanya keragaman yang tinggi dari beberapa populasi kerbau,
disebabkan oleh perbedaan sumber pakan karena pada umumnya ternak kerbau
dipelihara dengan cara digembalakan pada siang dan sore hari sambil diberi pakan
rumput alam. Secara umum di wilayah subpopulasi sapi pasundan menggunakan
sistem pemeliharaan semi intensif sampai ekstensif. Sapi pasundan digembalakan
di lingkungan sekitar peternakan. Pengembalaan dilakukan di wilayah sekitar
hutan dan pesisir pantai. Peternak pun melakukan pengumpulan hijauan pakan
ternak untuk diberikan pada malam hari melalui sistem cut and curry atau dikenal
dengan “pengaritan”. Namun alih fungsi lahan pengembalaan menjadi perkebunan
karet dan jati menjadi faktor pemicu penurunan performa sapi pasundan secara
berkesinambungan. Hasil penelitian Abdullah et al. (2007) melaporkan bahwa
terjadi penurunan penampilan sapi Aceh, diduga karena tekanan penduduk dan
industri tinggi menjadikan pergeseran ternak ke lahan yang kurang produktif
bahkan ke lahan kritis. Aslimah et al. (2014) menjelaskan bahwa alih fungsi lahan
pertanian menjadi pemukiman, industri, pusat perbelanjaan menyebabkan
ketersediaan hijauan pakan semakin berkurang khususnya untuk peternakan yang
berlokasi di sekitar kota (daerah urban).
Hasil uji T2-Hottelling menunjukkan bahwa sapi pasundan, bali, madura dan
PO memiliki perbedaan berdasarkan ukuran tubuh yang diduga disebabkan oleh
adanya perbedaan asal-usul ternak dan arah seleksi. Hal ini dijelaskan oleh Otsuka
et al. bahwasanya ukuran-ukuran tubuh sapi Asia dipengaruhi oleh perbedaan
bangsa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sapi pasundan memiliki penciri
ukuran tubuh panjang badan dan penciri bentuk tubuh tinggi pinggul. Menurut
Everitt dan Dunn (1991) pada penelitian terkait anatomi ternak, komponen utama
kedua sebagai vektor bentuk dapat memberikan informasi lebih spesifik mengenai
karakteristik khas pada ternak tertentu, sedangkan komponen pertama sebagai
vektor ukuran, tidak ditekankan. Sehingga dapat diinterpretasikan bahwa sapi
pasundan sebagai sumberdaya genetik ternak lokal Jawa Barat memiliki penciri
yang spesifik secara ukuran tubuh. Hal ini ditunjukkan dengan penciri bentuk
63

pada sapi pasundan yaitu tinggi pundak dan terlihat berbeda dengan penciri sapi
bali, madura dan PO.
Secara umum penciri ukuran ketiga sapi tersebut relatif sama yaitu lingkar
dada dan dalam dada. Hal ini juga mengindikasikan telah terjadinya seleksi secara
spesifik pada ukuran tersebut yang. Selanjutnya terlihat bahwa sapi beberapa hasil
penelitian menunjukkan adanya korelasi antara lingkar dada dengan dalam dada
terhadap bobot badan. Hal ini mengasumsikan bahwa telah adanya arah seleksi
dan pemuliaan ke arah peningkatan bobot badan masing-masing ternak tersebut.
Nilai indeks dapat dijadikan indikator untuk membedakan ternak yang satu
dengan yang lain dan dapat menjadi standar karakteristik ternak berdasarkan
ukuran tubuh. Terdapat beberapa nilai indeks menurut Alderson (1999) yang
terdiri atas nilai heigth slope, length index, balance, width slope, depth index,
foreleg length (cm) dan cumulative index. Takaendengan (2011) menjelaskan
bahwa heigth slope merepresentasikan indeks panjang, width slope (selang lebar),
depth index (indeks tebal), foreleg length (panjang kaki depan dalam satuan cm)
dan balance sebagai standar keseimbangan ukuran tubuh ternak. Sedangkan nilai
cumulative index merupakan akumulasi dari beberapa nilai indeks meliputi rasio
bobot badan dengan rataan bobot badan di suatu populasi dengan penjumlahan
antara indeks panjang dengan indeks keseimbangan.
Alderson (1999), Salako dan Ngere (2002), Hadiwirawan et al. (2011) dan
Takaendengan (2011) menjelaskan bahwa nilai indeks kumulatif (cumulative
index) dapat merepresentasikan tipe dan fungsi dari ternak. Aldeson (1999)
mendapatkan nilai kumulatif indeks pada sapi white park sebesar 3.88, bobot
badan sapi ini mencapai 660 kg. Nilai indeks ini dijadikan sebagai standar sapi
white park sebagai ternak tipe pedaging. Artinya semakin tinggi nilai kumulatif
indeks maka akan merepresentasikan potensi yang optimal sebagai tipe ternak
potong. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa indeks tertinggi terdapat pada
sapi bali selanjutnya diikuti oleh sapi madura dan PO. Sapi pasundan memiliki
nilai indeks sebesar 2.81 untuk sapi jantan dan 2.77 untuk sapi pasundan betina.
Hal ini mengindikasikan bahwa potensi sapi pasundan sebagai ternak tipe
pedaging masih perlu ditingkatkan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ukuran kranium sapi pasundan di
wilayah subpopulasi relatif beragam. Perbandingan antara jenis/rumpun sapi yaitu
sapi pasundan, bali, madura dan PO menunjukkan adanya perbedaan. Hal ini juga
diperkuat dengan adanya karakteristik khas dari kranium sapi pasundan yang
ditunjukkan oleh penciri bentuk yaitu profile length dan candilo bassal length.
Adanya pengaruh perbedaan lingkungan dalam hal ini perbedaan lintang di
masing-masing lokasi pemeliharaan sapi pasundan, bali, madura dan PO diduga
menjadi pengaruh terhadap perbedaan ukuran permukaan linear kranium. BPS
Jawa Barat tahun 2015 melaporkan bahwa Provinsi Jawa Barat terletak diantara
5o50– 7o50’Lintang Selatan dan 104o48’–108o48 Bujur Timur, BPS Bali 2015
mengungkapkan bahwa secara astronomis Provinsi Bali terletak pada titik
koordinat 08o03’40”–08o50’48”Lintang Selatan dan 114o25’53”–115o42’40”
Bujur Timur sedangkan Pamekasan berada pada 113o19’–113o58’ Bujur Timur
6o51’–7o31 Lintang Selatan. Letak lintang berpengaruh pada suhu udara, yang
mana semakin besar lintang maka suhu udara akan semakin rendah. Hal ini
disebabkan karena lingkungan menerima radiasi matahari yang relatif sedikit. Hal
ini mempengaruhi ukuran kranium dari sapi yang diamati.
64

Hasil analisis jarak genetik menggambarkan bahwa secara ukuran tubuh


sapipasundan memiliki hubungan kekerabatan yang lebih dekat dengan sapi PO
sedangkan secara ukuran kranium kedekataan relatif ditunjukkan dengan sapi
madura. Adanya variasi ini diasumsikan karena berdasarkan asal-usul dijelaskan
bahwa sapi pasundan merupakan hasil adaptasi sepuluh generasi yang merupakan
hasil persilangan antara sapi jawa, madura dan ongole (Kementerian 2014).
Namun analisis kedekatan hubungan kekerabatan berdasarkan morfometrik
ukuran tubuh khususnya dengan pendekatan pengukuran ukuran tubuh dan
kranium memiliki keakuratan yang rendah jika dibandingkan dengan analisis
protein maupun analisis molekuler. Sehingga analisis lanjutan dengan
menggunakan pendekatan teknologi tersebut perlu diupayakan guna mendapatkan
hasil yang akurat terhadap estimasi hubungan kekerabatan sapi pasundan dengan
sapi lokal Indonesia lainnya khsuusnya sapi bali, madura dan PO yang secara
fenotipik memiliki kemiripan dengan sapi pasundan. Kajian ini penting dilakukan
sebagai penentuan kebijakan pemuliaan sapi pasundan.

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Ukuran tubuh dan kranium sapi pasundan di wilayah subpopulasi maupun


perbandingannya dengan sapi bali, madura dan PO relatif lebih beragam. Nilai
indeks sapi pasundan terlihat lebih kecil dibandingkan dengan sapi bali, madura
dan PO dengan nilai 2.64 pada sapi pasundan jantan dan 2.73 pada sapi pasundan
betina. Penciri ukuran tubuh sapi pasundan adalah panjang badan sedangkan
penciri bentuk adalah lingkar dada. Penciri kranium sapi pasundan yaitu least
breadth between the orbits (penciri ukuran) dan profile length serta candilo bassal
length (penciri bentuk). Jarak genetik sapi pasundan berdasarkan ukuran tubuh
memiliki hubungan kekerabatan lebih dekat dengan sapi PO sedangkan
berdasarkan ukuran kranium terlihat lebih dekat dengan sapi madura.

Saran

Diperlukannya kajian dengan pendekatan analisis genetik molekuler untuk


mengetahui keragaman dan jarak genetik sapi pasundan. Perlu dilakukan kajian
perbandingan dengan beberapa sapi lokal lainnya.
65

DAFTAR PUSTAKA

[Bappeda] Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Indramayu.


RPJMD Kabupaten Indramayu 2011–2015 Tahun. Sumedang [Internet].
[diunduh 2016 Februari 6]. Tersedia pada
file:///C:/Users/user/Downloads/Profil%20Daerah%20Kabupaten%20Sum
edang%202014%20(2).pdf
[Bappeda] Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Indramayu.
2011. Indramayu [Internet]. [diunduh 2016 Februari 5]. Tersedia pada
http://www.bapeda.indramayukab.go.id/data/rpjmd/BAB-II-RPJMD.pdf
[Bappeda] Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Jembrana.
2015. Jembrana dalam Angka. Jawa Barat (ID): Badan Pusat Statistik
Provinsi Bali.
[Bappeda] Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Majalengka.
2011. Majalengka [Internet]. [diunduh 2016 Februari 03]. Tersedia pada
http://bappeda.majalengkakab.go.id/sektoral/2011/01%20BAB%20I.pdf
[Bappeda] Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Sumedang.
Profil Daerah Kabupaten Sumedang Tahun 2014. Sumedang [Internet].
[diunduh 2016 Februari 6]. Tersedia pada
file:///C:/Users/user/Downloads/Profil%20Daerah%20Kabupaten%20Sum
edang%202014%20(2).pdf
[Bappeda] Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat.
2014. Jawa Barat dalam Angka. Jawa Barat (ID): Badan Pusat Statistik
Provinsi Jawa Barat.
[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2015. Perkiraan cuaca
Provinsi Jawa Barat [Internet]. [diunduh 2015 Desember 12]. Tersedia
pada http://bmkg.go.id
[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2015. Perkiraan cuaca
Kabupaten Jembrana [Internet]. [diunduh 2016 Februari 02]. Tersedia pada
http://bmkg.go.id
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Pamekasan. 2013. Kabupaten Pamekasan
dalam Angka. (ID): BPS
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Pamekasan. 2013. Pamekasan Dalam
Angka. Katalog BPS:1102001.3528.2013. (ID) : Badan Pusat Statistik
Provinsi Bali.
[BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2010. Bali Dalam Angka. Katalog
BPS:1102001.51.2010. (ID) : Badan Pusat Statistik Provinsi Bali
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2013. Bibit Sapi Potong. Bagian 2: Madura.
Katalog Sapi Madura Nomor 7651.2:2013. (ID): Badan Standarisasi
Nasional.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2015. Bibit Sapi Potong. Bagian 4: Bali.
Katalog Sapi Bali Nomor 7355:2008. (ID): Badan Standarisasi Nasional.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2015. Bibit Sapi Potong. Bagian 5:
Peranakan Ongole. Katalog Sapi peranakan ongole Nomor 7651.5:2015.
(ID): Badan Standarisasi Nasional.
[Disnak] Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat 2014. Laporan Populasi Sapi
Potong di Provinsi Jawa Barat Tahun 2014.
66

[Kementan] Kementerian Pertanian. 2014. Keputusan Menteri Pertanian Republik


Indonesia Nomor 1051 Tahun 2014 tentang Penetapan Rumpun Sapi
Pasundan. Jakarta: Kementan.
Abdullah MAN, Noor RR, Martojo H, Solihin DD & E Handiwirawan. 2007.
Keragaman fenotipik sapi Aceh di Nanggroe Aceh Darussalam [The
phenotypic variability of Aceh cattle in Nanggroe Aceh Darussalam].
JITAA. 32(1), 11-21.
Adiwinarti, Fariha RU & Lestari, CMS. 2011. Pertumbuhan sapi Jawa yang diberi
pakan jerami padi dan konsentrat dengan level protein berbeda. JITV.
16(4), 260-265.
Adrial. 2010. Potensi sapi pesisir dan upaya pengembangannya di Sumatera Barat.
Jur. Litbang Pert. 29 [2]: 66-72
Alderson G. L. H. 1999. The development of a system of linear measurements to
provide an assessment of type and function of beef cattle. Anim. Gene.
Resour. Infr. 25: 45-55.
Amano T, Katsumata S, Suzuki K, Nozawa Y, Kawamoto T, Namikawa H,
Martojo IK, Abdulgani and H. Nadjib. 1981. Morphological and
genetical survey of buffalous in Indonesia. The Origin and Phyl of
Indonesia Livestock. Part II. pp. 31–54.
Anggraeni A, Sumantri C, Praharani L & Andreas E. 2011. Genetic distance
estimation of local swamp buffaloes through morphology analysis
approach. IJAVS. 16 (3), p-199.
Arifin J, Anang A, Indrijani A & Wendry. 2014. Strategi konservasi sapi
pasundan dan pola pengembangan potensi genetik sapi lokal (sapi Rancah)
Jawa Barat. Workshop konservasi dan pengembangan sapi lokal tahun
2013 hal 48. ISBN:9786021478806. Fapet Unpad. Bandung.
Arifin J, Indrijani H dan Anang A. 2015. Laporan pengembangan sapi pasundan
sebagai upaya konservasi. Unpublish
Aslimah S, Yamin M, Astuti D Apri. 2014. Produktivitas karkas domba garut
jantan pada pemberian jenis pakan dan waktu yang berbeda. JIPTHP.
ISSN 2303-227. Vol 02. No.1 Januari 2014. Hlm : 251-256.
Asoen dan Anggraeni. 2011. Estimasi jarak genetik kerbau sungai, rawa dan
silangannya melalui pendekatan analisis craniometrics. Seminar dan
Lokakarya Nasional Kerbau 2011.
Astuti M. 2004. Potensi dan keragaman sumberdaya genetik sapi PO. Wartazoa.
14 3, 98-106
Baharun A. 2015. Potensi reproduksi serta keberhasilan pembekuan semen
menggunakan pengencer tris kuning telur dan tris soya pada pejantan sapi
pasundan. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Cray JJJ. 2009. The interaction of androgenic hormone and craniofacial variation:
relationship between epigenetics and the environment on the genome with
an eye toward non-syndromic craniosynostosis. [disertasi]. Pittsburgh,
Amerika Serikat (US): University of Pittsburgh. p.4.
Dwitresnadi R, Sulaeman M & Arifin J. 2015. Kinerja usaha pembibitan sapi
potong pasundan pada pemeliharaan sistem semi ekstensif. Jur. Fapet
Unpad. Bandung Vol 4 No 3 Tahun 2015. Diunduh:
http://jurnal.unpad.ac.id/ejournal/article/view/6933/3248
67

Erdiansyah E & Anggraeni, A. 2014. Keragaman fenotipe dan pendugaan jarak


genetik antara subpopulasi kerbau rawa lokal di Kabupaten Dompu, Nusa
Tenggara Barat. JITV. 19 (3).
Everitt, B.S and Dunn. 1999. Applied multivariate data analysis Edward Arnold,
London.
FAO. 2009. Status Terkini Dunia. Sumberdaya genetik ternak untuk pangan dan
pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementrian Pertanian. ISBN.
978-605-8475-17-4. Bogor.
Frandson RD. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Cetakan ke-3 Gadjah
Mada. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Gasperz V. 1992. Teknik analisis dalam penelitian percobaan Jilid ke-2. Penerbit
Tarsito. Bandung.
Gerli, Hamdan dan Daulay AH. 2012. Karakteristik morfologi ukuran tubuh
kerbau Murrah dan kerbau Rawa di BTU Siborong-borong. J. Peter.
Integr. Vol 1 No. 3:276-287.
Gunawan A & Sumantri C. 2008. Pendugaan nilai campuran fenotipik dan jarak
genetik domba Garut dan persilangannya. J. Indonesian Trop. Anim.
Agric. 3:176-185.
Gunawan A. Sumantri C. 2007. Karakteristik morfometrik ukuran tubuh dan
bentuk domba ekor gemuk pulau Madura dan Rote dengan menggunakan
analisis komponen utama. Bul Peter. 31(4), 186-199. ISSN 0126-4400.
Gunawan A. 2015. Laporan Hasil Penelitian. Pemuliaan sapi PO dalam upaya
sebagai penghasil bibit yang berkelanjutan di Kabupaten Bojonegoro.
Unpublished.
Handiwirawan E, Noor RR, Sumantri C & Subandriyo S. 2011. The
Differentiation of sheep breed based on the body
measurements. JITAA. 36(1), 1-8.
Hardjosubroto. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT. Grasindo,
Jakarta.
Hartati, Sumadi, Subandriyo, Hartatik T. 2010. Keragaman morfologi dan
diferensiasi genetik sapi PO di peternakan rakyat. JITV. Vol 15 No 1 Th
2010: 72-80.
Hayashi JJ, Otsuka T, Nishida & Martojo M. 1982. Multivariate craniometrics of
wild Banteng, Bos banteng and five types of native cattle in Eastern Asia.
The origin and phylogeny of Indonesian native cattle in eastern Asia. Part
III 19-30.
Hayashi Y, Nishida T, Otsuka J, Abdulgani IK. 1980. Measurement of the skull of
native cattle and banteng in Indonesian. (ID). The Research Group of
Overseas Scientific Survey.
Hayashi Y, Nishida T, Otsuka J, Abdulgani IK. 1980. Measurement of the skull of
native cattle and banteng in Indonesia. (ID): The Research Group of
Overseas Scientific Survey.
Hikmawaty, Gunawan A, Noor RR, Jakaria. 2014. Identifikasi ukuran tubuh dan
bentuk tubuh sapi bali di beberapa pusat pembibitan melalui pendekatan
analisis komponen utama. JIPTHP. Vol. 02 No. 1, Januari 2014. Hlm:
231-237.
68

Hilmia N. 2013. Karakterisasi fenotipe dan potensi genetika serta gubungannya


dengan produktivitas dan kualitas daging sapi lokal Ciamis Jawa Barat.
[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Huyen, LTTP. Herold A. Markemann dan Zarate AV. 2011. Resource use cattle
perdormance and output patternson different farm types in mountainous
province of Nothern Vietnam. Anim. Prod. Sci.51:650-661.
Indrijani H, Arifin J, Anang A. 2013. Proposal Usulan Penetapan Rumpun Sapi
Pasundan. Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat. Unpublish
Itty P. P Ankers, J Zinsstag. S. Trawally and K Pfister. 1997. Productivity and
profitability of sheep production in the Gamba: Implication for livestock
development in west Africa. J.of int Agric. 36:153– 72.
Kadarsih S. (2003). Peranan ukuran tubuh terhadap bobot badan sapi bali di
provinsi bengkulu. J. Penelitian UNIB, 9(1), 45-48.
Kayastha RB, Zaman G, Goswami RN, Haque A. 2011. Physical and
morphometric characterization of indigenous cattle of Assam. Open Vet.
Jour. Vol. 1 : 7-9. ISSN : 2218-6050.
http://www.openveterinaryjournal.com
Kayastha RB, Zaman G, Goswami RN, Haque A. 2011. Physical and
morphometric characterization of indigenous cattle of Assam. Open Vet.
Jour. Vol. 1 : 7-9. ISSN : 2218-6050.
http://www.openveterinaryjournal.com
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2010. Penetapan rumpun sapi bali. Keputusan
Menteri Pertanian Nomor:325/Kpts/OT.140/1/2010. Jakarta (ID):
Departemen Pertanian
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2010. Penetapan rumpun sapi madura.
Keputusan Menteri Pertanian Nomor:3735/Kpts/HK.040/11/2010. Jakarta
(ID): Departemen Pertanian
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2012. Penetapan rumpun sapi peranakan
ongole. Keputusan Menteri Pertanian Nomor:2841/Kpts/LB.430/8/2012.
Jakarta (ID): Departemen Pertanian
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2014. Penetapan rumpun sapi pasundan.
Keputusan Menteri Pertanian Nomor:1051/Kpts/RI/SR.10/2014. Jakarta
(ID): Departemen Pertanian
Kohler dan Rollefson I. 1997. Indigenous practices of animal genetic resources
management and their relevance for the conservation of domestic animal
diversity in developping countries. J. of Anim. Breed and Gen. 114: 231-
238.
Komariah. Produktivitas kerbau lumpur berdasarkan agrosistem dan strategi
pengembangannya di kabupaten Cianjur. 2016. [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Kugonza DR, Nabasirye M, Mpairwe D, Hanotte O & Okeyo AM. 2011
Productivity and morphology of Ankole cattle in three livestock
production system in Uganda. J. AniM Gen Resour. FAO of the United
Nations. 48, 13-22. doi:10.1017/S2078633611000038.
Kurnianto E, Sutopo S, Purbowati E, Setiatin ET, Samsudewa D & Permatasari T.
2013. Multivariate analysis of morphological traits of local goats in
Central Java, Indonesia. Iranian J. of Appl. Anim. Sci. 3(2).
69

Kutsiyah. 2012. Analisis Pembibitan Sapi Potong di Pulau Madura. Wartazoa.


Vol 22 No. 3 Tahun 2012.
Mahdi A. Wiyono HT, Suratno. Hubungan Kekerabatan Sapi Bali (Bos sondaicus
Muller) dan Banteng (Bos bibos d’alton) Approach Through The
Craniometric. J. Ilm Das.Vol 14 No 2 Juli 2013: 121-128.
Martodjo H. 1992. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar
Universitas Bioteknologi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Mattjik, Sumertajaya AA, Wijayanto M, Indahwati H, AK & Sartono, B. 2004.
Modul teori pelatihan analisis multivariat. Departemen Statistika FMIPA
IPB. Bogor.
Mwacharo JM, Okeyo AM, Kamande GK. JEO Rege. 2006. The small east
African shorthorn zebu cows in Kenya. 1:Linear body measurements.
Trop. Anim. Health Prod. 38: 65-76.
Nei. M. 1987. Molecular Evolutionary Genetics. Columbia. University Press,
New York.
Nisihida T, Y Hayashi, C S Lee dan Y J Cjo. 1983. Measurement of the skull of
native cattle Korea. Jpn. J. Vet. Sci. 45: 537-541.
Noor RR. 2008. Genetika Ternak. (ID): PT Penebar Swadaya. Jakarta.
Nugraha 2015. Karakteristik sapi sonok dan sapi kerapan pada umur yang berbeda
di Kabupaten pamekasan pulau Madura. JTT. 16 (1), 55-60.
Nurfaridah A. Sri Bandiati K. Nurachma S. 2013. Indeks kumulatif ukuran-ukuran
tubuh dan bobot badan domba komposit betina dewasa sebagai domba
pedaging. J Ilm Pet. Unpad. Bandung.
Otsuka J, Kondo K, T Namikawa, K Nozama and H Martojo. 1982. Statistical
analysis on the body measurments of east Asia native cattle and bantengs.
The origin and Phylogeny of Indonesian Native Livestock. Part III. The
Research Group of Overseases Scientifict Survey, 7-17.
Payne WJA dan DHL Rollinson. 1993. Bali Cattle. World Anim Rev. (7): 13-21
Pemerintah Daerah Kabupaten Ciamis. 2014. Gambaran umum Kabupaten
Ciamis. [Internet]. [diunduh 2016 Maret 15]. Tersedia pada
http://www.ciamiskab.go.id/tentang_ciamis
Pemerintah Kabupaten Sumedang. Geografis dan topografis Sumedang. [Internet].
[diunduh 2016 Februari 03]. Tersedia pada
https://sumedangonline.com/geografis-dan-topografi-sumedang/2251/
Pundir RK, PK Singh. KP Singh. PS Dangi. 2011. Factor analysis of biometric
traits of krankrej cows to explain body conformation. Asia-Aust J. Anim.
Sci. 24 : 449–1509
Putra, B. W., Fuah, A. M., Nuraini, H., & Priyanto, R. 2016. Penerapan teknik
citra digital sebagai metode pengukuran morfometrik ternak pada sapi bali
dan peranakan ongole. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 21(1), 63-68.
Salako AE and Ngere LO. 2002. Application of multifactoral discriminant
analysis in morphometric structural differentiattions of west african dwarf
(WAD) and Yankasa Sheep in South West Nigeria. Nig. J. Anim. Prod.
29, 163-167.
Salako AE. 2006. Application of morphological indices in the assesment of type
and Function in Sheep. Inter. Jour. of Morph. Vol 24 (1): 13- 18.
70

Salamena JF, Noor RR, Sumantri C, Inonu I. 2006. Hubungan genetik, ukuran
populasi efektif dan laju silang dalam per Generasi populasi domba di
pulau kisar. J. Indon. Trop. Anim. Agric. 32 [2] :71-75
Sampurna IP. 2013. Pola pertumbuhan dan kedekatan hubungan dimensi tubuh
sapi bali. Disertasi Program Pascasarjana, Program Studi Ilmu Peternakan,
Universitas Udayana, Denpasar.
Sanjaya AMP. 2013. Efektivitas penerapan Simantri dan pengaruhnya terhadap
peningkatan pendapatan petani-peternak di Bali. [disertasi]. Bali (ID):
Universitas Udayana.
Saparto. 2004. Studi kraniometri sapi Jawa dan beberapa bangsa sapi potong di
Indonesia [tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.
Sarbaini. 2004. Kajian keragaman karakter eksternal dan DNA mikrosatelit sapi
pesisir di Sumatera Barat. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Sartika. 2013. Perbandingan morfometrik ukuran tubuh ayam KUB dan Sentul
melalui pendekatan analisis diskriminan. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner.
Setiadi B dan Dwiyanto K. 2008. Pengelolaan berkelanjutan sumberdaya genetik
ternak. Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumberdaya
Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Memajukan Ketahanan
Nasional. Balai Penelitian Ternak Bogor.
Shodiq A. 2009. Karakterisasi sumberdaya kambing lokal khas Kejobong di
Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah. Jur. Agripet. Vol 9, No 1
April 2009.
Soeharsono. 2008. Bionomika Ternak. PT Widya Padjajaran Press. Bandung.
Steel and Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Cetakan ke-2. PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Stynder DD, Ackermann RR & Sealy JC. 2007. Clinical Epidemiology. Amric J.
of phys Anthr.
Suhaema E, Widiatmaka, Tjahjono B. 2014. Pengembangan wilayah peternakan
sapi potong berbasis kesesuaian fisik lingkungan dan kesesuaian lahan
untuk pakan di Kabupaten Cianjur. J Tanah & Lingk. 16 (2) Oktober: 53-
60. ISSN 1410-7333.
Sumantri C, Einstiana A, Salamena, JF & Inounu, I. 2007. Keragaan dan
hubungan phylogenik antar domba lokal di Indonesia melalui pendekatan
analisis morfologi. JITV. 12 (1), 42-54.
Sumantri C, Nuraini H, Nurdiati S & Mulatsih S. 2016. Performans kerbau
lumpur dan strategi pengembangannya pada daerah dengan ketinggian
berbeda di Kabupaten Cianjur (Performance analysis of Swamp Buffalo at
different altitudes in Cianjur district and its development
strategies). Jur.Vet. 16 (4).
Suparyanto A. Purwadaria A. Subandriyo. 1999. Pendugaan jarak genetik dan
faktor peubah pembeda bangsa dan kelompok domba di Indonesia melalui
pendekatan analisis morfologi. JITV. 4:80-87.
Suryani HF, Purbowati E & Kurnianto E. 2013. Multivariate analysis on cranium
measurements of three breeds of goat in central java. JITAA. 38(4): 217-
224.
71

Sutopo K. Nomura Y. Sugimoto and Amano T. 2001. Gen relationships among


Indonesian native cattle. J Anim Gene. 28 (2): 311.
Takaendengan, B. J., Noor, R. R., Sumantri, C., & Adiani, S. (2011). Jarak
genetik populasi kuda lokal sulawesi utara berdasarkan analisis morfologi
dan polimorfisme protein darah. Jur. Ilmiah Sains. 11(1), 48-57.
Tawaf R dan Kuswaryan S. 2006. Kendala kecukupan daging 2010. hlm.
173185. Dalam B. Suryanto, Isbandi, B.S. Mulayatno, B. Sukamto, E.
Rianto, dan A.M. Legowo (Ed.). Pemberdayaan Masyarakat Peternakan di
Bidang Agribisnis untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Prosiding
Seminar Nasional 2006, Semarang. Universitas Diponegoro.
Thalib C. 2002. Sapi Bali di daerah sumber bibit dan peluang
pengembangannya. Wartazoa. 12 (3), 100-107.
Tsegeye D, Belay B & Haile A. 2013. Morphological Characterization of
Indegenous Hararghe Highland Goat Breed in Their Native Environment,
West hararghe, Ethiopia. Ame Eur Jour of Scie Res. 8 (2):72-79, 2013.
ISSN 1818-6785. IDOSI Publications.
doi:10.5829/idosi.aejsr.2013.8.2.7267.
Utomo BN, Noor RR, Sumantri C, Supriyatna I dan Gunardi ED. 2010.
Keragaman morfometrik sapi Katingan di Kalimantan Tengah. JITV. 15
(3): 220-230.
Utomo BN. 2015. Sapi Katingan sapi lokal Kalimantan Tengah dan upaya
pelestariannya. Jur. Penel dan Pengem. Pertan. 34 (3). 135-145.
Walpole RE. 1998. Pengantar Statistik. Bambang S, penerjemah. Jakarta (ID):
Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Introduction to Statistic 3rd
Edt.
Warwick EJ, JM Astuti dan Hardjosubroto W. 1995. Pemuliaan Ternak. Edisi
ke-5.
Wijono DB dan Setiadi B. 2004. Potensi dan keragaman sumber daya genetik
sapi madura. Di dalam: Prosiding Lokakarya Nasional Sapi Potong. hlm,
42-52.
Yakubu. Ogah ADM. K.O Idahor. 2011. Principal component analysis of the
morphostructural indices of white fulani cattle. Trak Jour of Scie. Vol. 7,
No.2. 2011.
Yunusa AJ, Salako AE, Oladejo OA. 2013. Principal component analysis of the
morphostructure of uda and balami sheep of Nigeria. Jour. of Agri. Scie.
Vol 1 (3) pp. 45–51, July 2013.
Zhang Y, Sun D, Yu Y, Zhang Y. 2007. Genetic diversity and differentiation of
Chinese domestic bufallo based on 30 microsatellite markers. Anim Genet.
38: 569-575.
Zulkharnaim Z & Noor RR. 2010. Identifikasi keragaman genetik gen reseptor
hormon pertumbuhan (GHR|Alu I) pada sapi Bali. Jour. of Anim. Scie and
Tech, 33(2).
72

LAMPIRAN
73

Lampiran 1 Lokasi dan jumlah ternak sapi dalam penelitian

Wilayah subpopulasi / Jenis Kelamin


Wilayah sumber Lokasi Jantan Betina
Bibit (n) ekor
Sapi pasundan
Kuningan Desa Dukuh Badak 7 20
Majalengka Desa Mekarjaya 5 20
Sumedang Desa Surian 5 20
Indramayu Desa Cikedung 5 20
Purwakarta Desa Cikolotok 5 20
Ciamis Desa Rancah 15 20
Pangandaran Desa Ciakar 5 20
Tasikmalaya Desa Sirnajaya 5 20
Garut Desa Karya Mukti 10 20
Cianjur Desa Cikalapa 5 20
Sukabumi Desa Sumberjaya 5 20
Sapi bali
Denpasar Bali Balai Veteriner 10 20
Jembrana 20 10
Sapi madura
Pamekasan Peternakan Rakyat 30 30
Sapi PO
Ciamis BPPT Ciamis 10 10
Indramayu Peternakan Rakyat 20 20
Total 162 310
74

Lampiran 2 Letak geografi dan iklim wilayah subpopulasi sapi pasundan


Kabupaten Letak geografi dan iklim
Kuningan Letak geografis 108°23 - 108° 47 BT dan 6°45 - 7°13 LS
Curah hujan (mm/tahun) 2 168
Temperatur (OC) 26.1 – 27.9
Kelembaban udara (%) 70 – 80
Luas wilayah (km2) 1 178.58
Ketinggian (mdpl)
Majalengka Letak geografis 1080 03’-1080 19’ BT, 1080 12’-1080 25’
BT-60 36’-6 0 58’ LU dan 60 43’-7 0 03’ LS
Curah hujan (mm/tahun) 586 mm
Temperatur (OC) 26.5°C – 28.0°C
Kelembaban udara (%) 80
Luas wilayah (km2) 1 343.93
Ketinggian (mdpl) 19 – 857
Sumedang Letak geografis 6º44’- 70º83’ LS dan 107º21’-108º21’ BT
Curah hujan (mm/tahun)
Temperatur (OC) 20.0 – 28.0
Kelembaban udara (%) 65 – 85
Luas wilayah (km2) 1 560.49
Ketinggian (mdpl) 100 – 1 100
Indramayu Letak geografis 1070 52’ – 1080 36’BT dan 060 15’ – 060
40’ LS
Curah hujan (mm/tahun) 1 428.45
Temperatur (OC) 270 – 340
Kelembaban udara (%) 70 – 80
Luas wilayah (km2) 204 011 Ha
Ketinggian (mdpl)
Purwakarta Letak geografis 107o30'-107o40'BT dan 6o25'-6o45'LS
Curah hujan (mm/tahun) 3 093
Temperatur (OC) 22 – 28 dan 17 – 26
Kelembaban udara (%) 70 – 80
Luas wilayah (km2) 989.89
Ketinggian (mdpl) 1 100 – 2 036
Ciamis Letak geografis 108°20’ – 108°40’ BT dan 7°40’20” –
7o41’20’’ LS
Curah hujan (mm/tahun) 3 606.50
Temperatur (OC) 20.0 – 30.0
Kelembaban udara (%) 70 – 80%
Luas wilayah (km2) 2 740.76
Ketinggian (mdpl)
75

Lampiran 2 Lanjutan
Kabupaten Letak geografi dan iklim
Ciamis Letak geografis 108°20’ – 108°40’ BT dan 7°40’20” –
7o41’20’’ LS
Curah hujan 3 606.50
(mm/tahun)
Temperatur (OC) 20.0 – 30.0
Kelembaban udara (%) 70 – 80%
Luas wilayah (km2) 2 740.76
Ketinggian (mdpl)
Pangandaran Letak geografis 108O18’ – 108O47’BT dan 7O30O’20” –
7O50’00” BT
Curah hujan 2 987
(mm/tahun)
Temperatur (OC)
Kelembaban udara (%) 70 – 80
Luas wilayah (km2) 1 010
Ketinggian (mdpl)
Tasikmalaya Letak geografis 108o 08' 38" - 108o 24' 02" BT dan 7o 10' -
7o 26' 32" LS
Curah hujan 2 072
(mm/tahun)
Temperatur (OC) 20 – 34 dan 18 – 22
Kelembaban udara (%)
Luas wilayah (km2) 2 551.19
Ketinggian (mdpl) 0 – 1 500
Garut Letak geografis 6º56'49 - 7 º45'00 LS dan 107º25'8-
108º7'30 BT
Curah hujan 2 589
(mm/tahun)
Temperatur (OC) 24 – 27
Kelembaban udara (%)
Luas wilayah (km2) 3 074.07
Ketinggian (mdpl) 0 – 1 500
Cianjur Letak geografis 6021‟ - 7025‟ Lintang Selatan dan
106042‟ - 107025‟ Bujur Timur.
Curah hujan 1 000 – 4 000 mm
(mm/tahun)
Temperatur (OC) 28 – 30
Kelembaban udara (%) 75 – 80
Luas wilayah (km2) 3 840.16
Ketinggian (mdpl) 0 – 2962
Sukabumi Letak geografis 106º49 - 107º BT 60º57 - 70º25 LS
Curah hujan 2 805
(mm/tahun)
Temperatur (OC) 20 - 30
Kelembaban udara (%)
Luas wilayah (km2) 4 160.75
Ketinggian (mdpl) 0 - 2958
76

Lampiran 3 Luas lahan dan jenis penggunaannya di wilayah subpopulasi


Kabupaten Jenis Penggunaan Luas Lahan (ha) Luas Lahan (ha)
(2013) (2014)
Kuningan Sawah 28.716 28.646
Pekarangan - -
Tegal/kebun 15.675 17.246
Ladang/huma 11.833 9.274
Padang rumput 1 598 1.449
Hutan rakyat 7.123 10.109
Hutan negara - -
Perkebunan 2.907 2.829
Majalengka Sawah 50.962 50.334
Pekarangan -
Tegal/kebun 22.060 22.058
Ladang/huma 1.066 2.066
Padang rumput 495 495
Hutan rakyat 5.628 5.702
Hutan negara - -
Perkebunan 739 739
Sumedang Sawah 33.178 33.143
Pekarangan - -
Tegal/kebun 33.402 33.964
Ladang/huma 6.680 5.945
Padang rumput 1 259 1.319
Hutan rakyat 11.528 11.690
Hutan negara - -
Perkebunan 3.235 5.945
Indramayu Sawah 116.805 117.792
Pekarangan - -
Tegal/kebun 10.227 10.947
Ladang/huma 7.835 7.835
Padang 155 151
pengembalaan/
rumput
Hutan rakyat 5.529
Hutan negara - -
Perkebunan 6.809 5.773
Purwakarta Sawah 17.653 17.580
Pekarangan - -
Tegal/kebun 11.098 10.435
Ladang/huma 5.364 5.001
Padang rumput 946 946
Hutan rakyat 7.352 7.471
77

Hutan negara -
Perkebunan 10.691 11.652

Lampiran 3 Lanjutan
Kabupaten Jenis Penggunaan Luas Lahan (ha) Luas Lahan (ha)
(2013) (2014)
Ciamis Sawah 51.813 35.474
Pekarangan - -
Tegal/kebun 53.455 37.478
Ladang/huma 10.515 6.601
Padang rumput 587 587
Hutan rakyat 27.079 17.201
Hutan negara - -
Perkebunan 21.391 6.601
Pangandaran Sawah - 18.187
Pekarangan - -
Tegal/kebun - 22.292
Ladang/huma - 4.301
Padang rumput - 1.764
Hutan rakyat - 9.201
Hutan negara - -
Perkebunan - 22.292
Tasikmalaya Sawah 51.329 51.188
Pekarangan - -
Tegal/kebun 47.432 45.193
Ladang/huma 22.809 22.490
Padang rumput 7.499 6.925
Hutan rakyat 39.265 18.205
Hutan negara - -
Perkebunan 29.621 22.490
Garut Sawah 48.541 48.300
Pekarangan - -
Tegal/kebun 63.774 62387
Ladang/huma 37.554 40.436
Padang 4.642 5.568
pengembalaan/
rumput
Hutan rakyat 11.946 18.205
Hutan negara - -
Perkebunan 11.946 27.657
Cianjur Sawah 66.283 66.431
Pekarangan - -
Tegal/kebun 50.125 52.371
Ladang/huma 40.037 42.282
Padang rumput 730 830
78

Hutan rakyat 25.447 26.531


Hutan negara - -
Perkebunan 40.705 17.316

Lampiran 3 Lanjutan
Kabupaten Jenis Penggunaan Luas Lahan Luas Lahan
(ha) (2013) (ha) (2014)
Sukabumi Sawah 64.028 64.066
Pekarangan - -
Tegal/kebun 80.500 83.717
Ladang/huma 40.823 42.282
Padang pengembalaan/ rumput 1.546 1.716
Hutan rakyat 61.517 31.042
Hutan negara - -
Perkebunan 61.517 63.040

Lampiran 4 Luas lahan dan jenis penggunaannya wilayah Denpasar, Kabupaten


Jembrana dan Kabupaten Pamekasan
Kabupaten Jenis Penggunaan Luas Lahan (ha)
Denpasar Sawah
Pekarangan
Tegal/kebun
Ladang/huma 0
Padang rumput 0
Hutan rakyat
Hutan negara
Perkebunan
Jembrana Sawah
Pekarangan
Tegal/kebun 9 332
Ladang/huma 0
Padang rumput 0
Hutan rakyat
Hutan negara
Perkebunan
Sawah
Pekarangan
Tegal/kebun
Ladang/huma
Padang rumput 0
Hutan rakyat 0
Hutan negara
Perkebunan
79

Lampiran 5 Analisis sidik ragam ukuran tubuh dan bobot badan sapi pasundan di
wilayah subpopulasi
Sum of Mean
Liniear Body Measurements df F Sig.
Squares Square
Tinggi pundak
District/subpopulation area 882.9 88.30 10 4.47 .000
Error 1066.3 19.7 54
Total 1949.2
Panjang badan
District/subpopulation area 6489.6 649.0 10 22.19 .000
Error 1579.0 29.30 54
Total 1949.2
Lingkar dada
District/subpopulation area 915.1 91.5 10 2.75 .008
Error 1794.7 33.2 54
Total 1949.2
Lebar dada
District/subpopulation area 199.78 19.98 10 6.24 .000
Error 172.92 3.20 54
Total 372.71
Dalam dada
District/subpopulation area 1721.9 172.2 10 8.15 .000
Error 1140.8 21.1 54
Total 2862.8
Tinggi pinggul
District/subpopulation area 778.3 77.8 10 4.11 .000
Error 1022.5 18.9 54
Total 1800.8
Lebar pinggul
District/subpopulation area 478.68 47.87 10 11.82 .000
Error 218.75 4.05 54
Total 697.43
80

Lampiran 5 Lanjutan

Sum of Mean
Liniear Measurements Df F Sig.
Squares Square
Panjang Kelangkang
District/subpopulation area 215.97 21.60 10 7.73 .000
Error 150.82 2.79 54
Total 366.79
Bobot Badan
District/subpopulation area 8 473.0 847 10 2.75 .008
Error 16 617.0 308 54
Total 25 090

Lampiran 6 Analisis sidik ragam ukuran tubuh dan bobot badan sapi pasundan
betina di wilayah subpopulasi
Sum of Mean
Liniear Body Measurements Df F Sig.
Squares Square
Tinggi pundak
Clumps of cattle 3 500.8 350.1 10 12.66 .000
Error 5 697.5 27.7 216
Total 9 198.3
Panjang badan
Clumps of cattle 20 775.8 2 077.6 10 44.26 .000
Error 9 670.7 46.9 216
Total 30 446.5
Lingkar dada
Clumps of cattle 3514.0 351.4 10 12.19 .000
Error 5940.2 28.8 216
Total 9554.2
Lebar dada
Clumps of cattle 571.55 57.16 10 7.87 .000
Error 1495.33 7.26 216
Total 2066.88
Dalam dada
Clumps of cattle 3698.16 369.82 10 49.25 .000
Error 1546.71 7.51 216
Total 5244.87
81

Lampiran 6 Lanjutan
Sum of Mean
Liniear Body Measurements df F Sig.
Squares Square
Tinggi pinggul
Clumps of cattle 2 460.5 246.1 10 9.57 .000
Error 5 297.1 25.7 216
Total 7 757.6
Lebar pinggul
Clumps of cattle 1 081.95 108.19 10 13.70 .000
Error 1 627.15 7.90 216
Total 2 709.10
Panjang kelangkang
Clumps of cattle 2 255.8 225.6 10 18.59 .000
Error 2 499.2 12.1 216
Total 4 755.0
Bobot Badan
Clumps of cattle 2 4244 2 424 10 6.69 .000
Error 7 4611 362 216
Total 98 856

Lampiran 7 Analisis sidik ragam ukuran tubuh dan bobot badan sapi pasundan,
bali, madura dan PO jantan
Sum of Mean
Liniear Body Measurements df F Sig.
Squares Square
Tinggi pundak
Clumps of cattle 237.3 79.1 3 3.54 .017
Error 2 928.1 22.4 131
Total 3 165.4
Panjang badan
Clumps of cattle 4 398.3 51.0 3 2.49 .063
Error 9 254.4 20.5 131
Total 13 652.7
Lingkar dada
Clumps of cattle 4 578.9 1 526.3 3 29.37 .000
Error 6 807.6 52.0 131
Total 11 386.4
Lebar dada
Clumps of cattle 3 508.9 1 326.2 3 9.38 .000
Error 2 407.0 52.0 131
Total 5 915.9
82

Lampiran 7 Lanjutan
Sum of Mean
Liniear Body Measurements df F Sig.
Squares Square
Dalam dada
Clumps of cattle 10 793 3 597.7 3 121.82 .000
Error 3 868.7 29.5 131
Total 14 661.6
Tinggi pinggul
Clumps of cattle 153.0 51.0 3 24.9 .000
Error 2 684.8 20.5 131
Total 2 837.8
Lebar pinggul
Clumps of cattle 2 476 825.6 3 64.82 .000
Error 1 668.4 12.7 131
Total 4 145.1
Panjang kelangkang
Clumps of cattle 9 483.22 3 161.07 3 382.67 .000
Error 1 082.14 8.26 131
Total 10 565.37
Bobot badan
Clumps of cattle 4 3176 14 572 3 29.83 .000
Error 63 998 489 131
Total 107 714

Lampiran 8 Analisis sidik ragam ukuran tubuh dan bobot badan sapi pasundan,
bali, madura dan PO betina
Sum of Mean
Liniear Body Measurements df F Sig.
Squares Square
Tinggi pundak
Clumps of cattle 1 061.8 353.9 3 10.71 .000
Error 9 683.1 33.0 293
Total 3 165.4
Panjang badan
Clumps of cattle 8 626 2 875 3 27.31 .000
Error 30 850 105 293
Total 39 476
Lingkar dada
Clumps of cattle 5 168.6 1 722.9 3 37.42 .000
Error 10 847.9 37.0 293
Total 16 016.5
83

Lampiran 8 Lanjutan
Sum of Mean
Liniear Body Measurements df F Sig.
Squares Square
Lebar dada
Clumps of cattle 625.0 281.55 3 19.22 .000
Error 635.0 9.55 293
Total 1 260.0
Dalam dada
Clumps of cattle 15 054.3 5 018.1 3 270.83 .000
Error 5 428.9 18.5 293
Total 20 483.2
Tinggi pinggul
Clumps of cattle 2 066.1 688.7 3 25.02 .000
Error 8 064.9 27.5 293
Total 10 131.0
Lebar pinggul
Clumps of cattle 835.64 278.55 3 29.27 .000
Error 2 788.17 9.52 293
Total 3 623.82
Panjang kelangkang
Clumps of cattle 8 709.6 2 903.2 3 169.10 .000
Error 5 030.2 17.2 293
Total 13 739.9
Bobot badan
Clumps of cattle 42 7335 14 245 3 37.42 .000
Error 111 536 381 293
Total 154 271

Lampiran 9 Analisis sidik ragam indeks morfometrik sapi pasundan, bali, madura
dan PO jantan
Sum of Mean
Variable index df F Sig.
Squares Square
Heigth slope
Clumps of cattle 34.76 34.76 10 0.70 .722
Error 268.97 268.97 54
Total 303.73
Length index
Clumps of cattle 0.2361 0.02361 10 16.63 .000
Error 0.0767 0.00142 54
Total 0.3127
84

Lampiran 9 Lanjutan
Sum of Mean
Variable index df F Sig.
Squares Square
Balance
Clumps of cattle 2.3827 0.2383 10 20.34 .000
Error 0.6326 0.0117 54
Total 3.0152
Width slope
Clumps of cattle 216.79 21.68 10 14.03 .000
Error 83.45 1.55 54
Total 300.24
Depth index
Clumps of cattle 0.1423 0.0142 10 9.00 .000
Error 0.0854 0.0854 54
Total 0.2276
Foreleg length (cm)
Clumps of cattle 4438.7 4 438.7 10 11.04 .000
Error 2171.5 2 171.5 54
Total 6610.2
Cumulative index
Clumps of cattle 3.4178 0.3418 10 20.16 .000
Error 0.9155 0.0170 54
Total 4.3333

Lampiran 10 Analisis sidik ragam indeks morfometrik sapi pasundan, bali, madura
dan PO betina
Sum of Mean
Variable index df F Sig.
Squares Square
Balance
Clumps of cattle 304.88 30.49 10 8.40 .000
Error 747.31 3.63 206
Total 1 052.19
Length index
Clumps of cattle 0.5338 0.0534 10 19.60 .000
Error 0.5611 0.0027 206
Total 1.0951
Balance
Clumps of cattle 2.1154 0.2115 10 10.74 .000
Error 4.0589 0.0197 206
Total 6.1743
85

Lampiran 10 Lanjutan
Sum of Mean
Variable index df F Sig.
Squares Square
Width slope
Clumps of cattle 885.27 88.53 10 24.25 .000
Error 752.08 3.65 206
Total 1 637.35
Depth index
Clumps of cattle 0.2943 0.0294 10 40.61 .000
Error 0.1493 0.0007 206
Total 0.4436
Foreleg length (cm)
Clumps of cattle 7 143.5 714.3 10 20.80 .000
Error 7 074.3 34.3 206
Total 14 217.8
Cumulative index
Clumps of cattle 2.7343 0.2734 10 9.96 .000
Error 5.6564 0.0275 206
Total 8.3908

Lampiran 11 Analisis sidik ukuran kranium sapi pasundan jantan di wilayah


subpopulasi
Sum of Mean
Cranium measurements df F Sig.
Squares Square
Profile length (x1)
District/subpopulation area 187.54 18.76 10 3.65 .001
Error 282.65 5.14 55
Total 470.22
Median frontal length (x2)
District/subpopulation area 59.53 5.95 10 4.88 .000
Error 67.13 1.22 55
Total 126.66
Length of the nasals (x3)
District/subpopulation area 30.213 3.021 10 3.82 .001
Error 43.534 0.792 55
Total 73.747
Foramen gums length (x4)
District/subpopulation area 11.727 1.173 10 3.96 .000
Error 16.288 0.296 55
Total 28.015
86

Lampiran 11 Lanjutan
Sum of Mean
Cranium measurements df F Sig.
Squares Square
Candilo bassal length (x5)
District/subpopulation area 187.57 18.76 10 3.65 .001
Error 282.65 5.14 55
Total 470.22
Greatest breadth of the skulls (x6)
District/subpopulation area 72.01 7.20 10 4.29 .000
Error 92.22 1.68 55
Total 164.23
Least breadth between supraorbital foramina (x7)
District/subpopulation area 104.37 10.44 10 10.25 .000
Error 55.98 1.02 55
Total 160.35
Least breadth between the orbits (x8)
District/subpopulation area 64.45 6.44 10 6.24 .000
Error 56.76 1.03 55
Total 121.20
Breadth between the infraorbital foramina (x9)
District/subpopulation area 18.584 1.858 10 6.05 .000
Error 16.902 0.307 55
Total 35.486
Least breadth between the orbits (x10)
District/subpopulation area 221.740 22.174 10 30.96 .000
Error 39.398 0.716 55
Total 261.138
Breadth between the supraorbital foramina (x11)
District/subpopulation area 24.377 2.438 10 10.81 .000
Error 12.406 0.226 55
Total 36.784

Lampiran 12 Analisis sidik ragam ukuran kranium sapi pasundan betina di wilayah
subpopulasi
Sum of Mean
Cranium measurements df F Sig.
Squares Square
Profile length (x1)
District/subpopulation area 224.50 22.45 10 3.10 .001
Error 1 172.02 7.23 162
Total 1 396.52
87

Lampiran 12 Lanjutan
Sum of Mean
Cranium measurements df F Sig.
Squares Square
Median frontal length (x2)
District/subpopulation area 48.82 4.88 10 2.70 .004
Error 293.24 1.81 162
Total 342.07
Length of the nasals (x3)
District/subpopulation area 37.56 3.76 10 3.09 .001
Error 196.64 1.21 162
Total 234.20
Foramen gums length (x4)
District/subpopulation area 13.0203 1.3020 10 17.16 .000
Error 12.2897 0.0759 162
Total 25.3100
Candilo bassal length (x5)
District/subpopulation area 218.51 21.85 10 3.02 .002
Error 1 172.97 7.24 162
Total 1 391.48
Greatest breadth of the skulls (x6)
District/subpopulation area 242.19 24.22 10 13.95 .000
Error 281.16 1.74 162
Total 523.35
Least breadth between supraorbital foramina (x7)
District/subpopulation area 300.91 30.09 10 11.29 .000
Error 431.78 2.67 162
Total 732.69
Least breadth between the orbits (x8)
District/subpopulation area 242.19 24.22 10 13.95 .000
Error 281.16 1.74 162
Total 523.35
Breadth between the infraorbital foramina (x9)
District/subpopulation area 54.918 5.429 10 13.59 .000
Error 63.755 0.394 162
Total 118.673
Least breadth between the orbits (x10)
District/subpopulation area 119.81 11.98 10 9.94 .000
Error 195.25 1.21 162
Total 315.06
88

Lampiran 12 Lanjutan
Sum of Mean
Cranium measurements df F Sig.
Squares Square
Breadth between the supraorbital foramina (x11)
District/subpopulation area 26.146 2.615 10 6.64 .000
Error 63.755 0.394 162
Total 89.901

Lampiran 13 Analisis sidik ragam ukuran kranium sapi pasundan, bali, madura dan
PO jantan
Sum of Mean
Cranium measurements df F Sig.
Squares Square
Profile length (x1)
Clumps of cattle 143.05 47.68 3 11.27 .000
Error 236.86 4.63 56
Total 379.91
Median frontal length (x2)
Clumps of cattle 118.89 39.63 3 26.50 .000
Error 83.76 1.50 56
Total 202.65
Length of the nasals (x3)
Clumps of cattle 104.436 34.812 3 50.57 .000
Error 38.552 0.688 56
Total 142.988
Foramen gums length (x4)
Clumps of cattle 16 379.21 5 459.74 3 1 945.0 .000
Error 157.19 2.81 56
Total 16 536.40
Candilo bassal length (x5)
Clumps of cattle 123.32 41.11 3 8.63 .000
Error 266.76 4.76 56
Total 390.08
Greatest breadth of the skulls (x6)
Clumps of cattle 268.47 89.49 3 51.97 .000
Error 96.44 1.72 56
Total 364.91
Least breadth between supraorbital foramina (x7)
Clumps of cattle 348.79 116.26 3 82.00 .000
Error 79.40 1.42 56
Total 428.19
89

Lampiran 13 Lanjutan
Sum of Mean
Cranium measurements df F Sig.
Squares Square
Candilo bassal length (x8)
Clumps of cattle 39.70 13.23 3 5.65 .002
Error 131.20 2.34 56
Total 170.91
Breadth between the infraorbital foramina (x9)
Clumps of cattle 9.387 3.129 3 8.43 .000
Error 20.795 0.371 56
Total 30.182
Least breadth between the orbits (x10)
Clumps of cattle 175.579 58.526 3 144.45 .000
Error 22.689 0.405 56
Total 198.268
Breadth between the supraorbital foramina (x11)
Clumps of cattle 24.262 8.087 3 24.77 .000
Error 18.285 0.327 56
Total 42.547

Lampiran 14 Analisis sidik ragam ukuran kranium sapi pasundan, bali, madura dan
PO betina
Sum of Mean
Cranium measurements df F Sig.
Squares Square
Profile length (x1)
Clumps of cattle 224.50 22.45 10 3.10 .001
Error 1 172.02 7.23 162
Total 1 396.52
Median frontal length (x2)
Clumps of cattle 48.82 4.88 10 2.70 .004
Error 293.24 1.81 162
Total 342.07
Length of the nasals (x3)
Clumps of cattle 37.56 3.76 10 3.09 .001
Error 196.64 1.21 162
Total 234.20
Foramen gums length (x4)
Clumps of cattle 13.0203 1.3020 10 17.16 .000
Error 12.2897 0.0759 162
Total 25.3100
90

Lampiran 14 Lanjutan
Sum of Mean
Cranium measurements df F Sig.
Squares Square
Candilobassal length (x5)
Clumps of cattle 218.51 21.85 10 3.02 .000
Error 1 172.97 7.24 162
Total 1 391.48
Greatest breadth of the skulls (x6)
Clumps of cattle 242.19 24.22 10 13.95 .000
Error 281.16 1.74 162
Total 523.35
Least breadth between supraorbital foramina (x7)
Clumps of cattle 300.91 30.09 10 11.29 .000
Error 431.78 2.67 162
Total 732.69
Breadth between the infraorbitalforamina
(x8)
Clumps of cattle 242.19 24.22 10 13.95 .000
Error 281.16 1.74 162
Total 523.35
Breadth between the infraorbital foramina (x9)
Clumps of cattle 54.918 5.492 10 13.95 .000
Error 63.755 0.394 162
Total 118.673
Least breadth between the orbits (x10)
Clumps of cattle 119.81 11.98 10 9.94 .000
Error 195.25 1.21 162
Total 315.06
Breadth between supraorbital foramina (x11)
Clumps of cattle 26.146 2.615 10 6.64 .000
Error 63.755 0.394 162
Total 89.901
91

RIWAYAT HIDUP

Sulasmi lahir di Ambon, 18 Januari 1992, putri pertama dari Kisman


Minggu SP MSi dan Kasehati P Nittisastro. Pendidikan awal penulis adalah
Taman Kanak-kanak Pembina Ambon dimulai tahun 1997 dan lulus tahun 1998.
Selanjutnya melanjutkan pendidikan sekolah dasar di SD Islamiyah II Kota
Ternate dan lulus pada tahun 2003. Pendidikan lanjut menengah pertama yaitu di
SMP Negeri 1 Kota Ternate menyelesaikan studi pada tahun 2003. Selanjutnya
Penulis melanjutkan pendidikan sekolah menengah atas yaitu di SMA Negeri 1
Kota Ternate melalui jalur Undangan dan diselesaikan pada tahun 2009.
Setelah menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas, Penulis
melanjutkan pendidikan sarjana di Universitas Khairun Ternate Fakultas Pertanian
Program Studi Peternakan melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SNMPTN). Selama kuliah di Universitas Khairun Ternate Penulis
berkesempatan mendapatkan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA)
tahun 2010–2013. Pendidikan sarjana ditempuh dalam waktu 3 tahun 4 bulan
lulus pada tahun 2013. Selanjutnya pada tahun 2014, penulis diterima sebagai
mahasiswi Pascasarjana di Program Studi Ilmu dan Teknologi Peternakan. Selama
menjadi mahasiswa penulis aktif menjadi anggota Himpunan Mahasiswa
Wirausaha Pascasarjana (HIMAWIPA) dan anggota Animal Breeding and
Genetics Science (ABGSci) Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2016 penulis
menyelesaikan penelitian dengan judul “Karakteristik Sapi Pasundan berdasarkan
Studi Morfometrik dan Kraniometrik” sebagai salah satu syarat guna memperoleh
gelar Magister Sains (Msi) pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Peternakan
dibawah bimbingan Dr agr Asep Gunawan SPt MSc, Dr Ir Rudy Priyanto dan
Prof Dr Ir Cece Sumantri MSc.

Anda mungkin juga menyukai