SKRIPSI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Program Studi Kedokteran Hewan
Fakultas Kedokteran
Disetujui Oleh,
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Diketahui Oleh,
Dekan Ketua
Fakultas Kedokteran Program Studi Kedokteran Hewan
Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.Bs Prof. Dr. Drh. Lucia Muslimin M.Sc
NIP. 19551019 198203 1 001 NIP. 19480307 197411 2 001
PERNYATAAN KEASLIAAN
ABSTRAK
Kerbau lumpur adalah hewan ruminansia yang bernilai ekonomis tinggi, dan
mudah beradaptasi dengan lingkungan geografisnya, sehingga mudah untuk
dikembangkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui performa reproduksi kerbau
lumpur (Bubalus bubalis) yang ada di Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang.
Penelitian ini dilakukan dengan metode Survei, melalui wawancara langsung kepada
peternak. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 77 ekor kerbau lumpur
betina yang telah berusia 3 tahun atau lebih dan telah beranak. Pengambilan sampel
menyebar di Desa Bone-bone (DB, n=5 ekor), Desa Kendenan (DK, n=26 ekor), Desa
Salukanan (DS, n=1 ekor) dan Desa Pepandungan (DP, n=45 ekor). Parameter yang
digunakan untuk menilai performa reproduksi kerbau lumpur dalam penelitian ini adalah
umur induk berahi pertama, lama bunting, umur induk beranak pertama, jarak partus, dan
berahi setelah beranak. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah rata-rata umur induk
pertama berahi 3,59 ± 0,49 tahun, lama kebuntingan 11,11 ± 0,73 bulan, umur induk
beranak pertama 4,41 ± 0,59 tahun, jarak beranak 2,04 ± 0,75 tahun, dan berahi setelah
beranak 30,11 ± 0,73 hari. Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa performa
reproduksi kerbau lumpur di Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang berada dalam
kategori baik. Hal ini didukung oleh pengamatan di lapangan yang menunjukkan bahwa
kondisi ternak dalam keadaan prima, sistem pemeliharaan yang baik, dan pengetahuan
peternak yang baik mengenai reproduksi dengan pengalaman beternak yang telah turun-
temurun dari para peternak.
Kata kunci : kerbau lumpur, performa, reproduksi, parameter, Enrekang
vi
ABSTRACT
Water buffalo is a ruminant animal that has high economical value, which easily
adapt with their geographical environment and becoming one of the livestock. The study
aims to gather the information about the reproductive performance of buffaloes (Bubalus
bubalis) in Sub-district Baraka, Enrekang. The study was conducted by survey method,
with interviews to buffalo breeders. The study used about 77 female water buffaloes that
has the age three years or more and has been breeding. Sampling was distributed into
Bone-bone Village (DB, n = 5), Kendenan Village (DK, n = 26), Salukanan Village (DS,
n = 1) and Pepandungan Village (DP, n = 45). The parameters used to assess buffalo
performance in this study are the age of the mother at the first estrus, pregnancy duration,
age of the mother delivering first birth, time interval between each birth, and estrus after
delivered. The results obtained from this study are: the average age of the mother at the
first estrus is 3.59 ± ± 0,49 years; the pregnancy duration is 11,11 ± 0,73 months; the age
of the mother delivering first birth is 4,41 ± 0,59 years; the time interval between each
birth is 2,04 ± 0,75 years; and the estrus after delivered is 30,11 ± 0,73 days. From the
results of this study, it can be concluded that the reproductive performance of water
buffalo in Sub-district Baraka, Enrekang is in a good category. This is supported by field
observations that is indicate that the condition of livestock is in its prime condition and
in a good maintenance system, also supported by breeder's knowledge about buffalo
reproduction and the breeder's years of experiences.
Keywords: water buffalo, performance, reproduction, parameter, Enrekang
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Azza wa Jalla, Sang Pemilik
Kekuasaan dan Rahmat, yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Performa Reproduksi Pada
Kerbau Lumpur (Bubalus Bubalis), Di Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang”
ini. Salam, shalawat serat taslim senantiasa tercurahkan kepada baginda Muhammad
Saw. keluarga beliau yang Muslim, para sahabat, kepada orang senantiasa menyeruh pada
jalan Allah, kepada orang-orang yang senantiasa menempatkan Islam sebagai asas
berfikir mereka, dan kepada orang-orang yang senantiasa mengunakan Syariat Islam
sebagai tolak ukur bertingkah laku mereka. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan
banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, sejak persiapan,
pelaksanaan hingga pembuatan skripsi setelah penelitian selesai. Penulis menyadari
bahwa penyelesaian skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan,
motivasi dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan
hati, penyusun mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ayahanda Kadir Pole dan Ibunda Rosmina B. yang telah memberikan dorongan
inspirasi, semangat juang serta do’a yang tak putus-putusnya sehingga meringankan
langkah penulis untuk menghadapi segala kesulitan yang ada.
2. Saudara-saudaraku yang tercinta Sitti Khadijah Kadir Pole, Nuur Munjiyah
Kadir Pole, Mukhammad Muhsyih Kadir Pole, Syachrul Ramadan Kadir Pole,
Amirah Al-Khumairah serta seluruh keluarga besar yang selalu memberikan
motivasi dan semangat kepada penulis agar cepat menjadi sarjana.
3. Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS selaku Dekan Fakultas Kedokteran
4. Prof. Dr. Drh. Lucia Muslimin, M.Sc selaku Ketua Program Studi Kedokteran
Hewan
5. Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc dan Drh. Suhartila sebagai dosen pembimbing
skripsi yang telah memberikan bimbingan dan nasihat penuh kesabaran dan rasa
semangat selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.
6. Drh. Zainal Abidin Kholilullah, M.Kes dan Dr. Muhammad Yusuf S.Pt sebagai
dosen pembahas dalam seminar proposal yang telah memberikan masukan-masukan
dan penjelasan untuk perbaikan penulisan ini.
7. Drh. Zainal Abidin Kholilullah, M.Kes dan Drh. Imam Sobari sebagai dosen
pembahas dalam seminar hasil yang telah memberikan masukan-masukan dan
penjelasan untuk perbaikan penulisan ini.
8. Drh. Zainal Abidin Kholilullah, M.Kes sebagai penguji dalam ujian meja yang
telah banyak memberikan saran dan masukan dalam penulisan hasil penelitian.
9. Seluruh staf Dosen dan Pegawai di PSKH FK UNHAS yang telah membantu dalam
melakukan penelitian dan penyusunan skripsi.
10. Teman seangkatan 2013 ‘O-BREV’ sesama pencari makna kehidupan, terima kasih
atas cinta, pendidikan, petualangan, perasaan dan pengalaman lainnya selama
viii
DAFTAS ISI
HALAMAN SAMPUL i
HALAMAN JUDUL ii
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN iv
ABSTRAK v
KATA PENGENTAR vii
DAFTAS ISI ix
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xi
1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penelitian 2
1.4 Manfaat Penelitian 3
1.5 Keaslihan Penelitian 3
2. TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1 Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis) 4
2.2 Karakteristik Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis) 7
2.3 Performa Reprosuksi 9
2.4 Parameter Performa Reroduksi 12
2.4.1. Umur Induk Berahi Pertama 13
2.4.2. Lama Bunting 13
2.4.3. Umur Induk Beranak Pertama 14
2.4.4. Jarak Beranak 14
2.4.5. Berahi Setelah Beranak 15
3. METODE PENELITIAN 16
3.1 Waktu dan Tempat 16
3.2 Jenis Penelitian dan Metode Pengambilan Sampel 16
3.3 Materi Penelitian 16
3.4 Metode Penelitian 16
3.5 Analisis Data 16
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 18
4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian 18
4.1.1 Keadaan Topografi 18
4.1.2 Keadaan Demografi 19
4.2 Karakteristik Peternak 21
x
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1. Populasi kerbau di delapan kota/provinsi di Indonesia 6
2. Tabel 2. Keunggulan kerbau dibandingkan
dengan sapi pada kondisi ekstensif 10
3. Tabel 3. Teknologi pembudidayaan kerbau lumpur di Indonesia 11
4. Tabel 4. Jumlah kepala keluarga, jumlah penduduk, kepadatan
penduduk, dan luas wilayah, Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang 20
5. Tabel 5. Katakterristik peternak kerbau lumpur di Kecamatan Baraka 21
6. Tabel 6. Populasi kerbau lumpur Kecamatan Baraka 24
7. Tabel 7. Jumlah sampel dari lokasi penelitian 25
8. Tabel 8. Umur berahi pertama kerbau lumpur di Kecamatan Baraka 27
9. Tabel 9. Umur induk kerbau beranak pertama di Kecamatan Baraka 28
10. Tabel 10. Lama kebuntingan kerbau lumpur di Kecamatan Baraka 29
11. Tabel 11. Jarak beranak kerbau lumpur di Kecamatan Baraka 30
12. Tabel 12. Berahi setelah beranak pada kerbau lumpur
di Kecamatan Baraka 31
13. Tabel 13. Hasil Penilaian BCS karbau lumpur di Kecamatan Baraka 32
14. Tabel 14. Metode penilaian BCS pada kerbau lumpur 47
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1. Kerbau belang (Tana Toraja/Sulawesi Selatan) 8
2. Gambar 2. Peta Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang 18
3. Gambar 3. Kondisi topografi Kecamatan Baraka 19
4. Gambar 4. Gambaran sistem pemeliharaan ternak kerbau lumpur 23
5. Gambar 5. Penyebaran populasi kerbau lumpur di Kecamatan Baraka 25
6. Gambar 6. Penentuan nilai BCS 46
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran 1. Kuesioner Penelitian 40
2. Lampiran 2. Perhitungan dari parameter penelitian 44
3. Lampiran 3. Penentuan niali Body Condition Score (BCS) pada kerbau
lumpur 47
4. Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian 52
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Beberapa tahun terakhir ini, konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia selalu
mengalami penurunan. Hal ini dilihat dengan penurunan konsumsi protein hewani yang
juga mengalami penurunan yang sama. Jumlah populasi ternak yang ada, ternyata tidak
dapat menunjang pemenuhan kebutuhan masyarakat Indonesia akan konsumsi protein
hewani yang sangat bermanfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan masyarakat
Indonesia. Konsumsi protein hewani asal ternak per kapita per hari di Indonesia masih
sangat rendah, yakni 5,68 g/kapita/hari. Sementara itu, 30 – 35% kebutuhan daging dalam
negeri masih harus diimpor berupa sapi bakalan dan daging beku (Anonim, 2009).
Kondisi ini dapat dilihat dari konsumsi daging pada tahun 2015 yang ditargetkan
mencapai 632.9 ribu ton. Namun, pada tahun yang sama jumlah ternak yang ada di
Indonesia hanya mampu memproduksi daging dengan angkan pencapaian 395.14 ribu
ton, dengan adanya perhitungan ini dapat dipastikan kebutuhan daging di Indonesia akan
mengalami defisit mencapai 225.6 ribu ton. Data statistik seperti yang ada di atas, sesuai
dengan apa yang diusulkan oleh Kementerian Pertanian Republik Indonesia dalam
Rancangan Pembangunan Menengah Nasional dalam Bidang Pangan dan Pertanian 2015-
2019.
Dengan kondisi yang tercantum dari data statistik tersebut, menunjukkan bahwa
jumlah produksi tidak pernah seimbang dengan jumlah kebutuhan dan konsumsi secara
nasional, maka dibutukan langkah strategis untuk mengembangkan ternak produktif yang
ada di Indonesia. Pengembangan ternak ruminansia besar seperti kerbau lumpur adalah
salah satu jalan yang dapat ditempuh dalam menggagas solusi pemenuhan konsumsi
daging Indonesia. Kerbau lumpur merupakan salah satu ternak penghasil protein hewani
yang dapat dijadikan sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, sebab
kerbau lumpur selain mudah untuk dipelihara juga dapat memanfaatkan rumput
berkualitas rendah dan menghasilkan berat karkas yang memadai. Kerbau lumpur adalah
hewan ruminansia yang bernilai ekonomis tinggi, dimana kerbau lumpur mudah
beradapatasi dengan lingkungan geografis, memiliki kemampuan tinggi di dalam
mencerna serat kasar dibanding ternak ruminansia lainnya (Baliarti, 2006).
Dalam beberapa tahun terakhir, produksi kerbau Indonesia selalu mengalami
peningkatan. Pada tahun 2011 tercatat produksi daging kerbau mancapai 35.3 ribu ton,
dan meningkat pada tahun 2012 dengan jumlah produksi yang mencapai 37.0 ribu ton.
Pada tahun yang sama, provinsi Sulawesi Selatan masuk dalam delapan besar ketegori
pemasok daging kerbau terbesar di Indonesia. Pada tahun 2011, provensi Sulawesi
Selatan mampu memproduksi daging kerbau yang mencapai 1.821 ton.
Jumlah tersebut, mengalami peningkatan pada tahun 2012 yang mampu mencapai
2.690 ton. Setiap tahun jumlah tersebut selalu mengalami peningkatan, dan terbukti pada
tahun 2015, provinsi Sulawesi Selatan mampu masuk dalam dua besar dengan jumlah
produksi daging kerbau terbesar di Indonesia, setelah provinsi Sumatera Utara. Prosduksi
2
yang mencapai 3.622 ton di tahun 2015, membuktikan provinsi Sulawesi Selatan sebagai
daerah yang mampu menyuplai produksi daging kerbau skala nasional.
Pada tahun 2015, jumlah kerbau yang ada di Indonesia mencapai 1.381 juta ekor,
dengan provinsi Sulawesi Selatan mencapai 111.683 ekor. Sedangkan jumlah kerbau
lumpur yang ada di kecemaran Baraka, kebupaten Enrekang, pada tahun 2015, mencapai
690 ekor. Dengan jumlah populasi ternak dan luas wilayah yang mencapai 159,15 𝑘𝑚2 .
Kecamatan Baraka adalah salah satu daerah yang ada di Kabupaten Enrekang sebagai
daerah pemuliabiakan kerbau lumpur yang produktif. Hal ini di dukung dengan kultur
lahan peternakan yang baik sehingga dapat menunjang produktifitas dari performa
reproduksi yang baik.
Hubungan antara kultur lahan, serta manajemen peternakan yang baik, sangat
berpengaruh pada performa reproduksi pada ternak, khususnya kerbau lumpur. Sehingga,
performa reproduksi pada kerbau lumpur merupakan hal yang sangat penting untuk
diperhatikan. Demikian halnya, untuk mendukung peningkatan hasil produksi dari kerbau
lumpur di Kecamatan Baraka, maka hal yang penting diperhatikan dan dipahami adalah
performa reproduksi pada kerbau lumpur tersebu. Performa reproduksi pada kerbau akan
dipengaruhi oleh nilai performa reproduksi pada kerbau lumpur. Adapun parameter
performa reproduksi yaitu meliputi, jarak beranak, perkawinan sampai dengan bunting,
lama bunting, dan waktu kosong pada kerbau lumpur (Chaiklun et al., 2012).
Mengetahui performa reproduksi yang terdiri dari, umur induk berahi pertama,
lama bunting, umur induk beranak pertama, jarak beranak, dan berahi setelah
beranak, pada kerbau lumpur (Bubalus bubalis) yang teradapat di Kecamatan
Baraka, Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
sekitar 4000 tahun yang lalu bersamaan dengan munculnya budidaya padi (Hasinah,
2009).
Kerbau yang ada di Indonesia diduga telah lama dibawa ke Jawa, yaitu pada saat
perpindahan masyarakat India ke pulau Jawa pada tahun 1.000 SM. Melihat kemampuan
adaptasi kerbau tersebut pengembangan dan penyebaran kerbau lumpur dapat dilakukan
di banyak daerah yang terdapat di Indonesia dengan memperhatikan kerbau lumpur dan
daya adaptasinya terhadap lingkungannya.
Sebagian besar kerbau di Indonesia adalah tipe kerbau lumpur, namun telah muncul
berbagai jenis kerbau lumpur yang mengikuti agroekosistem dan membentuknya
sehingga kerbau lumpur ini dikenal dengan berbagai nama seperti di Tana Toraja yang
dikenal dengan Tedong Bonga, di daerah Alabio terdapat kerbau Kalang yang selalu
berendam di rawa-rawa dan hanya naik ke darat apabila menjelang malam hari untuk
masuk ke kandang yang disebut kalang, di Tapanuli Selatan terdapat kerbau Binanga dan
di Maluku ada kerbau Moa. Kerbau lumpur mempunyai variasi yang cukup besar pada
bobot badan dan warna kulit (Siregar et al., 1997).
Sementara kerbau sungai hanya sedikit ditemukan di sekitar Medan yaitu kerbau
Murrah yang dibawa oleh masyarakat keturunan India dari negeri asalnya. Kerbau
Murrah merupakan kerbau perah menghasilkan susu yang lebih banyak jika
dibandingkan dengan kerbau lumpur dengan kemampuan produksi susu sekitar 8
liter/ekor/hari. Pemerahan susu kerbau yang banyak dilakukan di beberapa daerah
biasanya diolah sebelum dikonsumsi dan dikenal dengan berbagai nama seperti Dadih
(Sumatra Utara), Sago puan, Gulo puan (Sumatra Selatan dan Barat), Danke (Sulawesi
Selatan), susu goreng (NTT) dan lain-lain (Hasinah, 2009).
Dewasa ini, banyak metode pemeliharaan yang digunakan untuk melakukan
pengembangan budidaya kerbau lumpur. Beberapa wilayah di Indonesia secara khusus
telah melakukan beberapa menajemen yang digunakan untuk meningkatkan produksi dari
budidaya kerbau lumpur tersebut. Dalam pemeliharaan ternak, untuk mendapatkan
produksi yang maksimal diperlukan performa reproduksi yang baik. Sehingga performa
merupakan hal yang sangat penting diperhatikan dalam pemeliharaan ternak, termasuk
kerbau. Kerbau lumpur sebagai penghasil daging dan susu harus mempunyai performa
yang baik, termasuk didalamnya performa reproduksi. Performa reproduksi nantinya
akan mempengaruhi produksi yang dihasilkan oleh yang dihasilkan setelah mengalami
proses reproduksi seperti kawin, bunting dan beranak.
Dalam beberapa tahun terakhir, populasi kerbau lumpur yang terdapat di Indonesia
selalu mengalami peningktan yang signifikan. Pada tahun 2011 sekitar 1.305 juta ekor,
mengalami peningkatan pada tahun 2014 menjadi 1,335 juta ekor. Populasi kerbau
lumpur lebih terpusat di Nusa Tenggara Timur, Aceh, dan Jawa Barat (Tabel 1). Namun,
dari peningkatan populasi yang terjadi, jumlah produksi daging dari empat tahun terakhir
ini, mengalami penurunan. Pada tahun 2011, total produksi daginga kerbau lumpur
mencapai 35.331 ton, namun pada tahun 2014, produksi daging kerbau lumpur
mengalami penurunan dengan total produksi menjadi 35. 237 ton (Anonim, 2015).
6
Provinsi/ Tahun/Year
Provinces 2011 2012 2013 2014 2015*
Nusa Tenggara 150.038 152.449 133.122 134.457 139.208
Timur
Aceh 131.494 164.294 111.950 166.903 175.248
Jawa Barat 130.157 121.854 108.303 113.869 117.313
Sumatera Utara 114.289 131.483 93.966 116.008 117.200
Kerbau lumpur merupakan sumber genetik khas yang dapat berperan dalam
perbaikan mutu genetik ternak lokal yang terdapat di Indonesia. Kerbau lokal yang
dimiliki merupakan plasma nutfah yang dapat dikembangkan untuk perbaikan kualitas
baik secara morfologi maupun genetik pada semua kerbau lumpur yang terdapat di
Indonesia. Kerbau lumpur (Bubalus bubalis Linn.), merupakan salah satu komuditas
peternakan yang potensial dalam hal penyediaan daging karena pada kondisi pakan
berkualitas rendah, kerbau spesies ini mampu mencerna serat kasar yang relatif tinggi
mencapai 40-47 persen (Siregar, 2012).
Menurut Subandriyo et al., (2006), kerbau lumpur merupakan ternak yang
mempunyai keistimewaan tersendiri dibanding dengan ternak sapi dan beberapa ternak
besar lainnya. Hal ini didukung karena kerbau lumpur mampu hidup dalam kawasan atau
lingkungan yang relatif sulit terutama bila pakan yang tersedia berkualitas sangat rendah.
Pada kondisi pakan yang tersedia kurang baik, setidaknya pertumbuhan kerbau lumpur
dapat menyamai atau justru lebih baik jika dibandingkan dengan sapi. Kondisi ekstrim
pada suatu daerah masih dapat membuat kerbau lumpur berkembang biak dengan baik.
Kondisi ini didukung dengan kemampuan kerbau lumpur yang dapat tumbuh pada
lahan yang relatif sulit dalam keadaan pakan yang kurang baik di wilayah-wilayah dalam
dengan kondisi argoekosistem yang sangat luas dari daerah yang sangat basah sampai
kering. Melihat adaptasi kerbau lumpur tersebut, pengembangan dan penyebaran kerbau
lumpur dapat dilakukan pada banyak daerah di Indonesia, dengan memperhatikan jenis
kerbau lumpur dan daya adaptasi terhadap lingkungannya.
7
Kerbau yang khas di Sulawesi Selatan adalah kerbau belang yang berasal dari
Kabupaten Tana Toraja. Hewan ini bernilai paling tinggi baik secara ekonomi maupun
status sosial dalam budaya masyarakat yang terdapat di Tana Toraja. Kerbau yang dalam
bahasa setempat disebut ‘Tedong atau Karembau’, memainkan peran sangat penting
dalam kehidupan sosial masyarakat Tana Toraja. Hewan ini selain rnenjadi hewan pekerja
(membantu membajak sawah dan mengangkut barang), alat transaksi (misalnya dalam
jual beli tanah, mahar, warisan), kerbau juga dipakai sebagai persembahan dalam upacara
Rambu Solo' (acara kematian) masyarakat Tana Toraja. Berkaitan dengan tradisi adat
masyarakat setempat, maka sangat memungkinkan apabila harga kerbau belang menjadi
9
mahal. Kerbau belang tersebut merupakan jenis kerbau yang termasuk kedalam bangsa
kerbau lumpur (Swamp buffalo) (Afandi, 2011).
Seperti yang dilaporkan oleh Praharani (2009), bahwa pada pemeliharaan sistem
ekstensif di dataran rendah Amerika Selatan dengan kondisi gersang kerbau lebih
produktif dibandingkan dengan sapi (Tabel 2). Selain itu kerbau lumpur memiliki
kapasitas yang cukup tinggi untuk mengatasi tekanan dan perubahan lingkungan yang
ekstrim. Sebagai contoh, kerbau lumpur mampu bertahan hidup dengan baik meski terjadi
perubahan temperature (heat load) dan perubahan vegetasi padang rumput. Dengan
keunggulan-keunggulan tersebut, kerbau lumpur adalah salah satu ternak yang potensial
untuk dikembangkan, pengembangan usaha peternakan kerbau lumpur dan wilayah
agribisnis kerbau lumpur sangat luas, hampir meliputi seluruh agroekosistem dan sosio-
budaya yang ada.
Tabel 2. Keunggulan kerbau dibandingkan dengan sapi pada kondisi ekstensif
Sejauh ini peternak tradisional memegang peranan yang besar dalam pelestarian
ternak asli dan ternak lokal termasuk kerbau. Di sisi lain ancaman kelestarian sumberdaya
genetik datang sebagai akibat dari pemanfaatan yang berlebihan dan pencemaran akibat
migrasi genetik yang terjadi. Upaya untuk mempertahankan kelestarian dan kemurnian
ternak asli perlu ditangani dalam rangka mempertahankan sumber daya genetik ternak
asli yang mempunyai keunggulan adaptasi yang tinggi. Upaya pengembangan dapat
dilakukan sesuai dengan potensi daerah yang didukung dengan perbaikan teknologi
(bibit, manajemen, pakan) (Hasinah, 2009).
Kendala reproduksi diantaranya adalah lambatnya angka pertumbuhan,
keterlambatan pubertas, musim kawin, tingginya umur beranak pertama, panjangnya
calving interval, dan lain-lain (Fahimuddin, 1975). Menurut Cockrill (1974), Kerbau
lumpur mampu menghasilkan anak 10-15 ekor selama hidupnya dan dapat hidup sampai
25 tahun.
Dalam upaya pelestarian perlu adanya dukungan dan campur tangan pemerintah
dalam hal regulasi dan kebijakan, penerapan teknologi yang tepat, penguatan
kelembagaan serta peningkatan keterampilan dan wawasan para peternak. Pembentukan
village breeding centre dapat dilakukan dengan melibatkan kelompok-kelompok
peternak yang merupakan salah satu cara untuk memperbanyak populasi atau
pembentukan pusat-pusat/usaha pembibitan kerbau terutama pada wilayah yang memiliki
populasi kerbau banyak. Upaya pelestarian lainnya adalah diperlukan adanya lomba
11
keindahan, kontes ternak misalnya dilihat dari performaya dan bursa hewan, kegiatan
seperti ini sekaligus untuk penjaringan bibit unggul (Hasinah, 2009).
Jika dilihat dari komponen teknologi yang dilakukan dalam peningkatan populasi
kerbau di Indonesia (Tabel 3), banyaknya metode pengembangan yang dilakukan,
ternyata berbanding terbalik dengan hasil yang diharapkan. Salah satu masalahnya yang
sangat berpengaruh dalam pengembangan populasi kerbau adalah manajeman ternak dan
pengetahuan akan performa reproduksi yang masih sangat kudang di antara peternak.
Hal ini didukung dengan kurangnya pemberian pakan tambahan pada kerbau oleh
peternak tradisional berskala kecil (Herawati, 2011).
yang dimiliki oleh hewan jantan, sedangkan pada hewan betina ditandai dengan
terjadinya estrus dan ovulasi. Estrus dan ovulasi pertama disertai oleh kenaikan ukuran
dan berat organ reproduksi secara cepat (Toelihere, 1981).
Hasil penelitian Lendhanie (2005) menyatakan bahwa umur pubertas kerbau
lumpur tidak diketahui dengan pasti. Meskipun demikian, berdasarkan umur kelahiran
pertama yaitu 3-4 tahun diperkirakan konsepsi pertama terjadi pada umur 2-3 tahun.
Umur konsepsi pertama ini dapat dijadikan patokan sebagai umur dewasa kelamin
dengan asumsi lama kebuntingan selama 12 bulan.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi keberhasilan reproduksi adalah penentuan
siklus berahi yang tepat pada kerbau. Berahi adalah saat hewan betina bersedia menerima
pejantan untuk kopulasi. Jarak antara berahi yang satu sampai pada berahi berikutnya
disebut satu siklus berahi, jika berahi yang pertama tidak menghasilkan kebuntingan
maka berahi yang pertama itu akan disusul dengan berahi kedua. Lama berahi berkisar
antara waktu penerimaan pertama sampai penolakan terakhir.
Mongkopunya (1980) menjelaskan bahwa lama berahi kerbau lumpur adalah 32
jam. Kerbau lumpur Thailand memiliki siklus berahi 2l hari, sedangkan di Philipina siklus
berahi kerbau lumpur selama 20 hari (Guzman, 1980). Gejala berahi tidak muncul
disebabkan oleh temperatur yang tinggi pada kondisi lingkungan yang berpengaruh dalam
perubahan berahi menjadi lebih pendek (dari 11,9 jam menjadi 6,1 jam) (Cockrill, 1974).
Penyebab lain rendahnya produktivitas kerbau dikemukakan Qomariah et al.,
(2006) adalah:
1. Penurunan mutu bibit, rendahnya produktivitas dan terjadinya inbreeding.
2. Tingginya penjualan pejantan.
3. Lokasi pemeliharaan kerbau terlalu jauh dari tempat permukiman penduduk
sehingga penyuluhan yang rutin sukar dilakukan.
4. Pada musim kemarau panjang mengalami kekeringan sehingga ternak
kekurangan air minum.
5. Terjadi serangan penyakit yang menyebabkan kematian. Kematian anak kerbau
(gudel) mencapai 10% dan rendahnya reproduktivitas.
optimum dapat mengakibatkan kerbau stress. Hal ini dapat menurunkan produktivitas
kerbau. Suhu 15-25 ℃ dan kelembaban 60-70 persen adalah zona optimum bagi kerbau
untuk hidup dan berkembang biak (Yurleni, 2000).
Menurut Joseph (1996), dalam penelitian yang dilakukannya, menyatakan bahwa
zona nyaman untuk hidup kerbau adalah 15,5-21 ℃ dengan curah hujan 500-2000
mm/tahun. Ketinggian tempat dapat berpengaruh secara tidak langsung, yaitu terhadap
ketersediaan pakan hijauan dari segi kualitas maupun kuantitas dan pengaruhnya secara
langsung yaitu melalui suhu. Suhu lingkungan yang optimal memberi suasana kondusif
bagi kerbau yang hidup.
Faktor produksi kerbau yang dapat berperan dalam meningkatkan hasil maksimal
dalam pembudidayaan kerbau adalah terletak pada pemahaman akan performa reproduksi
yang dimiliki hewan tersebut. Sehingga performa reproduksi merupakan hal yang sangat
penting diperhatikan dalam pembudidayaan kerbau. Untuk menunjang peningkatan hasil
produksi dari kerbau, maka diperlukan pengetahuan tentang kondisi performa reproduksi.
Performa reproduksi yaitu , umur induk berahi pertama, lama bunting, umur induk
beranak pertama, jarak beranak, dan berahi setelah beranak Chaiklun et al., 2012).
dan selanjutnya dikatakan bahwa perbedaan lama kebuntingan bisa disebabkan oleh
manajemen, pakan dan iklim lingkungan.
3 METODE PENELITIAN
S= √𝑠2
Keterangan:
S = Standar Deviasi
2
𝑠 = Ragam
Enrekang dengan keadaan dan kultur topografi yang sama, yaitu dari 18°C sampai 25°C
dengan rata-rata 21-22°C. Kondisi ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh
Prabuningrum (2005), bahwa semakin tinggi suatu tempat dari permukaan laut maka suhu
tempat tersebut akan semakin rendah.
Pemualiabiakan kerbau di daerah ini, sangat berpotensi dengan kondisi toporgrafi
yang sangat mendukung. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Fahimuddin (1975),
menyimpulkan bahwa zona nyaman untuk kerbau dapat berkembang biak dengan baik
adalah berkisar antara 15,5-21°C, jika suhu udara lebih dari 24°C kerbau akan mudah
mengalami stress dan batas kritis untuk mekanisme termoregulasi yang dimiliki oleh
kerbau ialah 36,5°C. Dengan melihat potensi yang ada dan ditunjang dengan kondisi suhu
yang terdapat di Kecamatan Baraka, usaha peternakan kerbau adalah bentuk usaha
peternakan yang sangat berpotensi tinggi dalam pengembangan usaha masyarakat yang
ada di kecamatan tersebut. Keunggulan ini, juga didukung dengan kuntur lahan yang
memcukupi, dengan luas wilayah yang mencapai 159 Km2, usaha peternakan kerbau lumpur
sangatlah menjanjikan pada seluruh masyarakat yang ada di Kecamatan Baraka.
kepadatan penduduk yang didasarkan atas kondisi distribusi penduduk dengan jumlah
penduduk yang menghuni suatu wilayah berdasarkan batasan wilayah yang terbangun.
Maka, jumlah penduduk yang terdistribusi pada suatu wilayah akan mempengaruhi
tingkat konsentrasi pelayanan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam wilayah
tersebut.
Pada tahun 2015 penduduk Kecamatan Baraka tercatat sebanyak 22.081 jiwa.
Dengan luas wilayah yang mencapai 159 Km2, kondisi ini menunjukkan, bahwa
pertumbuhan penduduk yang terjadi di Kecamatan Baraka pada tahun 2015 sekitar 138,9
jiwa/Km2. Jumlah penduduk yang berkisar 22.081 jiwa terdiri atas 11.161 laki-laki dan
10.920 perempuan dengan kepadatan penduduk. Rincian jumlah penduduk dan KK di
Kecamatan Baraka, disajikan pada tabel 4.
Tabel 4. Jumlah kepala keluarga, jumlah penduduk, kepadatan penduduk, dan luas
wilayah, Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang.
Jumlah Jumlah Penduduk Luas
Desa/ Kepala Kepadatan Daerah/
Kelurahan Keluarga Laki- Penduduk Wilayah
(Kk) Perempuan (𝐊𝐦𝟐)
laki
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Kadingeh 283 650 605 103,5 12.13
Janggurara 253 605 556 102.1 11.37
Banti 407 823 764 215.6 7.36
Perangian 195 489 435 249.0 3.71
Parinding 378 769 769 240.7 6.39
Tomenawa 442 982 999 273.2 7.52
Baraka 550 1230 1341 905.3 2.84
Bontongan 558 1370 1300 117.4 22.74
Pepandungan 318 614 643 65.5 19.16
Kendenan 320 655 631 68.3 18.82
Salukanan 304 587 589 68.5 17.16
Tiro Wali 258 484 500 175.7 5.60
Pandung Batu 218 597 560 420.7 2.75
Balla 334 856 845 697.1 2.44
Bone-Bone 134 450 383 43.4 19.17
Total: 4.952 11.161 10.920 138.9 159.00
Sumber: Badan Pusat Statistik, Kabupaten Enrekang, 2015
21
untuk dilakukan pengembangan dalam bidang pemuliabiakan kerbau lumpur yang ada
dilokasi tersebut. Hal ini sangat sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Dekayanti
(2008), bahwa semakin lama peternak menjalankan usaha ternaknya semakin banyak pula
pengalaman yang mereka peroleh sehingga dapat dijadikan pedoman dalam menghadapi
permasalahan dalam menjalankan usaha ternak tersebut.
Semi Intensif
5%
Intensif
95%
Intensif Semi Intensif
Sistem yang paling banyak digunakan di Kecamatan Baraka, pada empat desa atau
lokasi penelitian yang berbeda adalah sistem pemeliharaan intensif sebanyak 95 % (54
peternak) dan sistem pemeliharaan semi intensif dengan persetase sebanyak 5 % (3
peternak). Sistem pemeliharaan intensif yang digunakan berbeda dengan definisi seperti
yang dikemukakan oleh Rahardi (2003). Sistem pemeliharaan intensif yang diguakan
oleh peternak yang ada di Kecamatan Baraka, dilakukan dengan cara, mengikat kerbau
lumpur pada lokasi rumput tertentu, dengan menggunakan tali tambang, dengan
pemberian pakan rumput yang rutin dari peternak.
24
Dari total pupulasi kerbau lumpur yang ada di Kecamatan Baraka, Desa
Pepandungan memperoleh posisi pertama dengan jumlah populasi di tahun 2015
sebanyak, 226 ekor. Sebaliknya, desa dengan jumlah populasi kerbau lumpur paling
sedikit terdapat pada Desa Tominawa dan Perangian dengan jumlah populasi pada tahun
2015, sebanyak 1 ekor. Jumlah populasi kerbau lumpur betina terbanyak juga terdapat
pada Desa Pepandungan, di tahun 2015 seperti tercatat pada tabel di atas, menunjukkan
bahwa populasi kerbau betina di Desa Pepandungan mencapai 150 ekor. Kemudia dan
ketiga desa berikutya, yaitu Desa Kendenan dengan jumlah populasi 145 ekor, Desa
Bone-bone dengan jumlah populasi 62 ekor, dan Desa Salukanan dengan jumlah
populasi 60 ekor.
25
Sehingga, kesimpulan untuk pengambilan sampel di keempat desa tersebut bertolak dari
jumlah populasi yang dimiliki. Penyebaran populasi kerbau lumpur betina di Kecamatan
Baraka sepeti tergambar pada gambar 5.
Kadingeh
0%
2% 1% 0% Janggurara
14% 3% Perangian
1%
Parinding
4%
Tominawa
Bontongan
33%
13% Pepandungan
Kendenan
Salukanan
Tiro Wali
29% Balla
Bone-Bone
Jumlah sampel yang didapatkan dari keempat desa atau lokasi penelitian adalah seperti
yang tergamarkan pada tabel 7.
Dari hasil yang didapatkan ini, penilaian performa reproduksi kerbau lumpur yang
ada di Kecamatan Baraka, berapa pada kondisi atau produktifitas reproduksi yang baik.
Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fahimuddin (1975),
yang menyimpulkan bahwa, umur pubertas atau berahi pertama pada kerbau betina ialah
sangat bervariasi di berbagai daerah hal ini dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan,
pemberian pakan dan faktor genetik, namun rata-rata berahi pertama dari kerbau betina
ialah berkisar dari umur 2 tahun sampai 4 tahun. Pernyataan ini diperkuat dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Tomaszewska et al. (l99l), yang menyatakan bahwa faktor
terbesar yang mempengaruhi munculnya berahi pertama pada kerbau adalah menajemen
pakan atau kebutuha nutrisi yang diberikan. Sehingga sesuai dengan apa yang dikatakan
27
oleh Putu (2003) yang menjelaskan bahwa pemberian pakan yang lebih baik pada kerbau
yaitu dengan penambahan konsentrat sebanyak 5 kg/ekor/hari. Pakan jenis ini akan
meningkatkan bobot badan dan memperbaiki kondisi tubuh kerbau betina sehingga
akhirnya dapat merangsang aktivitas berahi, konsepsi dan reproduksi anak. Berdasarkan
penjelasan Fahimuddin (1975) tersebut, maka umur berahi pertama kerbau lumpur betina
di lokasi penelitian masih relatif wajar dan normal dengan usia yang didapatkan. Hal ini
diperkuat oleh, hasil penelitian Lendhanie (2005), yang juga menunjukkan bahwa ternak
kerbau betina di Kalimantan Selatan mengalami masa berahi pertama setelah berumur 3
tahun. Hasil penelitian ini umur berahi pertama kerbu di Kecamatan Baraka, seperti yang
tergambarkan pada tabel 8.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Lendhanie (2005), yang menyatakan
bahwa, lama bunting yang terjadi pada kerbau lumpur adalah suatu aspek yang
mempengaruhi selang beranak pada setiap kerbau lumpur dalam setiap populasi. Pada
hasil penelitian yang dilakukan di keempat lokasi berbeda di Kecamatan Baraka,
didapatkan hasil yang bervariasi pada tiap lokasi tersebuat. Misalkan di Desa Bone-bone,
dari sampel yang didapatkan ditemukan niali rata-rata dari lama kebuntingan berkisar
10,6 ± 0,8 bulan. Namun Desa Kendenan memberikan hasil rata-rata yang sedikit lebih
dari desa Bone-bone, yaitu dengan nilai rata-rata lama kebuntingan 10,69 ± 0,64 bulan.
Hasil yang berbeda juga ditunjukkan pada lokasi yang lain yaitu Desa Salukanan,
yakni dengan nilai rata-rata lama kebuntingan 12,0 bulan. Sedangkan pada Desa
Pepandungan, nilai rata-rata juga menghasilkan perbedaan dengan lokasi penelitian yang
lain yaitu dengan lama kebuntingan pada induk kerbau lumpur 11,11 ± 0,73 bulan dalam
sekali kebuntingan. Hasil yang bervariasi dari data rata-rata yang didapatkan pada empat
lokasi yang berbeda, adalah hal yang wajar atau normal ditemukan. Hasil dari penelitian
ini, seperti apa yang tergambarkan pada tabel 9.
28
Hasil ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Toelihere (1981), dalam hasil
penelitian yang menjelaskan bahwa, perbedaan dari lama kebuntingan kerbau lumpur
sering terjadi, hal ini disebabkan oleh manajemen, pakan dan iklim lingkungan lokasi
pemeliharaan kerbau tersebut. Namun, dari hasil yang ditemukan dalam penelitia ini,
performa reproduksi dari kerbau lumpur yang ada di Kecamatan Baraka, dari lama
kebuntingan yang dialami, maka performa reproduksi dapat dikatakan baik. Hal ini sesuai
dengan apa yang dipaparkan oleh Toliehere (1981), dalam hasil penelitian yang dilakukan
dengan menyimpulkan bahwa, periode kebuntingan pada kerbau lumpur yang ada di
Indonesia berkisar antara 11-12 bulan. Serta dilengkapi dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Guzman (1980), yang menyatakan bahwa lama kebuntingan dari kerbau
lumpur ialah berkisar antara 320-325 hari atau 10-11 bulan.
diberbagai daerah dengan objek penelitian yang sama. Hasil penelitian Ini dapat dilihat
dalam tabel 10.
Tabel 10 . Umur induk kerbau beranak pertama di Kecamatan Baraka
Umur Induk Beranak Pertama
Total Rata-Rata
No Desa/ Kelurahan (Tahun)
(Ekor) (Tahun)
3 4 ≥5
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1 Bone-Bone 2 0 3 5 4,2 ± 0,8
2 Kendenan 6 10 10 26 4,15 ± 0,86
3 Salukanan 1 0 0 1 3,11
4 Pepandungan 9 24 12 45 4,06 ± 0,59
Total: 18 34 25 77
Sumber: Data primer penelitian yang telah diolah, 2017
Jika hasil dalam penelitian ini dihubungkan dengan hasil penelitian dari Ismawan
(2000), seperti yang telah dijelaskan di atas. Maka, sebagian besar lokasi penelitian
mengalami keterlambatan beranak di tahun pertama dari rata-rata kerbau yang ada.
Keterlambatan beranak kerbau ini disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya berahi
pertama yang terlambah sehingga mengakibatkan waktu beranak pertama pada kerbau
juga akan terlambat. Hal ini disebabkan karena pengolahan atau menajemen pakan,
sebagai pemenuhan kebutuhan kerbau yang masih sangat rendah pada keempat lokasi
penelitian. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Williamson dan Payne (1993) dalam
penelitiannya yang menyatakan bahwa, faktor yang paling mempengaruhi mekanisme
siklus berahi yang ada ada setiap induk hewan termasuk kerbau, dalam munjang kelahiran
pertama pada adalah manajeman pakan yang baik atau pemenuhan kebutuhan nutrisi pada
kerbau yang maksimal.
Sedangkan faktor lain yang menyebabkan lambatnya waktu beranak pertama pada
kerbau yang ada ditempat lokasi penelitian ini ialah jumlah pejantan yang kurang.
Kurangnya jumlah pejantan menyebabkan perkawinan alami sebagai sistem perkawinan
utama yang ada di desa atau lokasi penelitian ini mengalami kesulitan untuk dilakukan.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh, Afandi (2011), bahwa faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan dalam perkawianan alami adalah
keberhasilan perkawinan antara jantan dan betina. Sehingga, jika faktor pejantan yang
kurang pada suatu daerah akan menyebabkan tingkat kelahiran yang juga akan
mengalami penurunan.
oleh faktor non-genetik yaitu ada kesempatan, efisiensi manajemen pemeliharaan dan
pemberian pakan yang tepat kepada kerbau.
Hasil yang ditemukan dalam penelitian menunjukkan bahwa, jarak beranak yang
dimiliki oleh kerbau lumpur yang ada di Kecamatan Baraka, sangat bervariasi, namun
masih dalam kondisi performa reproduksi yang baik. Misalnya, pada Desa Bone-bone
dari sampel yang didapatkan, nilai rata-rata dengan jarak beranak berkisar 2,2 ± 0,4 tahun.
Pada desa yang lain, yaitu Desa Kendenan, nilai rata-rata dari mengukuran jarak beranak
mencapai 3,07 ± 0,99 tahun. Desa Salukanan juga memberikan gambaran yang berbeda,
dengan hasil nilai rata-rata dari jarak beranak berkisar 2,0 tahun. Serta pada desa yang
terakhir yaitu Desa Pepandungan, nilai rata-rata jarak beranak dari desa ini berkisar 2,04
± 0,75 tahun. Namun, jika dilihat dari parameter jarak beranak masing-masing kerbau
yang ada pada lokasi penelitian, menunjukkan bahwa performa reproduksi dari kerbau
lumpur yang ada di Kecamatan Baraka, masih dapat diklasifikasikan pada nilai performa
reproduksi yang cukup baik di beberapa lokasi misalnya Desa Bone-bone, Desa
Salukanan dan Desa Pepandungan. Pernyataan ini sesuai dengan apa yang dikemukakan
Hardjopranjoto (1995) bahwa jarak beranak seekor induk ialah dengan niali rata-rata 1,7-
2,1 tahun. Pernyatan tersebut, diperkuat oleh teori yang dikemukakan oleh Herianti dan
Pawarti (2010) dalam hasil penelitian yang dilakukan, dengan menyatakan bahwa
keberhasilan pemeliharaan ternak berkaitan dengan reproduksinya terukur dari
kemampuannya untuk menghasilkan anak dalam periode tertentu, artinya semakin
pendek jarak beranak performa reproduksi yang dimiliki oleh kelompok ternak tersebut
akan semakin baik. Berikut ini adalah hasil penelitian seperti yang tergambarkan. dalam
tabel 11.
proses penyembuhan dari kerusakan di beberapa bagian. Proses ini disebut dengan istilah
Involusi uterus. Setelah Involusi uterus selesai maka akan terjadi berahi kembali. Proses
berahi setelah beranak pada tiap individu berbeda-beda bergantung kepada lamanya
proses Involusi uterus.
Dari data penelitian yang didapatkan, menunjukkan kesesuaian dari apa yang
dikemukakan oleh, Lendhanie (2005) di atas. Keempat desa yang digunakan sebagai
lokasi pengambilan sampel, memberikan nilai rata-rata yang berbeda, walaupun tidak
begitu signifikan. Desa Bone-bone misalkan, dari sampel yang didapatkan diperoleh nilai
rata-rata berahi pertama setelah beranak yaitu 35,0 hari. Sebaliknya, di Desa Kendenan,
memberikan penampilan berbeda dengan nilai rata-rata berahi pertama setelah beranak
ialah 33,46 ± 2,30 hari. Desa Salukanan juga memberikan gambaran yang berbeda dengan
perolehan nilai rata-rata berahi pertama setelah beranak selama 35,0 hari. Dari ketiga desa
sebelumnya juga menyelisih nilai rata-rata yang telah diolah dari Desa Pepandungan.
Data yang diperoleh dari desa ini, menunjukkan nilai rata-rata berahi pertama setelah
beranak yaitu, 30,11 ± 0,73 hari, setelah proses kelahiran terjadi. Hasil penelitian dan
pengolahan data terkait dengan berahi pertama setelah beranak, seperti ditunjukkan pada
tabel 12.
Tabel 12. Berahi setelah beranak pada kerbau lumpur di Kecamatan Baraka
Berahi Setelah Beranak
Total Rata-Rata
No Desa/ Kelurahan (Hari)
(Ekor) (Hari)
30 35 40
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1 Bone-Bone 0 5 0 5 35,0
2 Kendenan 8 18 0 26 33,46 ± 2,30
3 Salukanan 0 1 0 1 35,0
4 Pepandungan 44 1 0 45 30,11 ± 0,73
Total: 52 25 0 77
Sumber: Data primer penelitian yang telah diolah, 2017
Dari hasil penelitian di atas, performa reproduksi dari kerbua lumpur yang ada di
lokasi penelitian jika dilihat dari siklus berahi setelah beranak, ialah baik. Hal ini dapat
dilihat dari kesesuaian hasil penelitian yang dilakukan oleh Guzman (1980), menyatakan
bahwa pada kerbau lumpur berahi kembali setelah beranak adalah 30-35 hari.
Performa reproduksi kerbau lumpur di Kecamatan Baraka, khususnya di keempat
desa atau lokasi penelitian secara umum adalah baik, hal ini dapat dilihat dari hasil
deskripsi parameter-parameter yang digunakan sebagai tolak ukur penilaian dari
penelitian ini, yakni umur induk berahi pertama, lama bunting, umur induk beranak
pertama, jarak beranak, dan berahi setelah beranak. Hasil ini dapat diamati berdasarkan
kondisi di lapangan, dimana sistem pemeliharaan kerbau cukup baik dengan persentase
manajeman pemiliharaan secara intensif sebesar 95 % (73 orang) dari total sampel yang
digunakan. Hal lain yang mendukung ialah bahwa sebagian sebesar dari peternak telah
32
memiliki pengalaman beternak kerbua yang cukup lama, sehingga memiliki pengetahuan
yang cukup baik terhadap siklus reproduksi kerbau, hal terpenting adalah peternak telah
mulai melakukan pencatatan reproduksi pada kerbau yang dimiliki dan melakukan
penanganan reproduksi secara tepat bersinergi dengan petugas yang berwenang di desa-
desa tersebut.
Hasil ini juga didukung oleh kondisi kerbau yang sehat dan prima untuk dapat
melangsungkan proses reproduksi dengan baik. Hal ini dapat dari kondisi kerbau pada
data Body Condition Score (BSC) hasil pemeriksaannya di lapangan. Data BCS kerbau
lumpur di Kecamtan Baraka khususnya pada keempat desa penelitian. Sebagaimana
tertera dalam table 13.
di India memiliki nilai BCS dari 3,3 sampai 4 dengan skala 0,5. Dengan demikian, BCS
menjadi salah satu faktor penting dalam pencapaian performa reproduksi yang optimal.
34
5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Performa reproduksi pada kerbau lumpur betina yang ada di Kecamatan Baraka,
khususnya di Desa Bone-bone, Desa Kendenan, Desa Salukanan, dan Desa Pepandungan,
cukup baik. Hal ini dilihat dari parameter penilaian performa reprodukasi yaitu, umur
induk berahi pertama, lama bunting, umur induk beranak pertama, jarak beranak, dan
berahi setelah beranak. Hasil yang baik dari setiap parameter dalam penuntuan performa
reproduksi didukung oleh beberapa faktor, diantaranya faktor sistem pemeliharaan dan
menajeman pakan yang baik pada ternak.
5.2 Saran
Dalam menunjang pengembangan populasi ternak khususnya kerbau lumpur
pada beberapa daerah di Indonesai, temasuk di Kecamtan Baraka, Kabupaten Enrekang,
maka dibutuhkan peningkatan dalam manajemen yang baik dalam sistem pemeliharaan
ternak, pengembangan ketersediaan kerbau jantan, pengadaan semen beku, dan
manajemen pengelolahan pakan yang baik. Maka, dibutuhkan peran yang maksimal dari
seluruh stakeholder, dan lapisan masyarakat khususnya pihak pemerintah, dalam
mensosialisasikan pentingnya pengetahuan akan performa reproduksi, mengevaluasi
sistem pemeliharaan peternak, memfasilitasi penyediaan semen beku dalam menunjang
pengembangan populasi ternak. Sehingga kedepannya dapat dilakukan penelitian yang
lebih mendalam dan komprehensif tentang peningkatan performa reproduksi pada
kerbau lumpur.
35
DAFTAR PUSTAKA
Afandi Arfan. 2011. Produktivitas, Potensi Dan Strategi Pengembangan Kerbau Belang
Di Kecamatan Sanggalangi, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan.
Departemen Ilmu Produksi Dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Alapati, Anitha et. al. 2010. Development of the body condition score system in Murrah
buffaloes: validation through ultrasonic assessment of body fat reserves.
Departments of Livestock Production and Management, Livestock Products
Technology, and Dairy Technology Programme, College of Veterinary Science.
India
Anonim. 2009. Blue Print Kegiatan Prioritas Pencapaian Swasembada Daging Sapi
2014. Direktorat Jenderal Peternakan. Kementerian Pertanian RI, Jakarta.
Anonim. 2015. Blue Print Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2015. Direktorat
Jenderal Peternakan. Kementerian Pertanian RI, Jakarta
Anonim. 2016. Statistik Daaerah Kecamatan Baraka 2016. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Enrekang. Enrekang
Baliarti, E. N. Ngadiono. 2006. Peran Perguruan Tinggi dalam Pengembangan Ternak
Kerbau. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerja sama dengan
Direktorat Perbibitan Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Propinsi
Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa.
Basuki, P. 1998. Dasar llmu Ternak Potong dan Kerja. Universitas Gajah
Mada,Yogyakarta.
Busono, W. 1993. Pengaruh beban kerja dan pakan tambahan terhadap perubahan bobot
badan dan beberapa aktivitas reproduksi kerbau lumpur betina (Bubalus bubalis).
Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor
Busrayana. 2011. Identifikasi Karakteristik Ternak Dalam Penentuan Harga Jual Kerbau
Di Desa Sumbang Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang. Fakultas Peternakan.
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Chaikhun, T. Hengtrakunsin, R. Rensis, F, D. 2012. Reproductive and Dairy
Performances of Thai Swamp Buffaloes under Intensive Farm Management. Thai J
Vet Med. 2012. 42(1): 81-85.
Cockrill, W. 1974. The Husbandry and Health of The Domestic Buffalo: The Buffalo of
Indonesia. Food and Agriculture Organization of The United Nations, Rome.
Dekayanti. 2008. Analisis potensi pengembangan usaha penggemukan sapi potong di
Kota Tangerang. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Dwi, Suhendro. W, Gatot Ciptadi. Suyadi. 2014. Performa Reproduksi Kerbau Lumpur
(Bubalus Bubalis) Di Kabupaten Malang. Jurusan Produksi Ternak Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya. Malang.
36
LAMPIRAN
40
KUESIONER PENELITIAN
Nama Peneliti : MUKHAMMAD YUSUF KADIR POLE
NIM : O111 13 307
Judul Penelitian : PERFORMA REPRODUKSI TERNAK KERBAU
(Bubalus bubalis), DI KECAMATAN BARAKA,
KABUPATEN ENREKANG
Nomor :
a. Diikat di kandang
b. Dilepas dalam kandang
c. Dilepas pada waktu siang dan malam kembali dikandangkan
d. Dilepas bebas
e. Lainnya :
5. Status kepemilikan kandang?
a. Milik sendiri b. Kandang sewaan c. Lainnya:
6. Berapa nilai Body Condition Score (BCS):
a. 1 – 1,5 b. 2 - 2,5 c. 3 – 3,5 d. 4 – 4,5 e. 5
Baraka, /03/2017
Enumerator/Pewawancara
Lampiran 3. Penentuan niali Body Condition Score (BCS) pada kerbua lumpur
Gambar 6. Penentuan nilai BCS pada kerbau lumpur dengan melihat 8 point berikut, 1).
Pangkal ekor ke bagian pin, 2). Processus spinosus sampai bagian Vertebrae lumbal, 3).
Penampilan penekanan antara Processus spinosus dan Prosessus transversae, 4).
Prosessus tranversus bagian vertebra lumbalis, 5). Penampilan Os costae ke 12 dan ke
13, 6). Penampilan dari Processus Os sacrum, 7). Penampilan penekanan antara
Processus Os sacrum dan kait, 8). Penampilan pada penekanan antara kait dan pin.
Tabel 14. Metode penilaian BCS pada kerbau lumpur
Pangkal ekor Processus Processus Penekanan
Prosessus Penampilan Processus Os
ke bagian spinosus- spinosus dan Os costae ke antara kait
Nilai BCS tranversus Processus Os sacrum dan
Tuber Vertebrae Prosessus 12 dan ke 13 dan Tuber
Os. lumbalis sacrum kait
inchiadicus lumbal transversae inchiadicus
1,0 Bentuk pangkal Processus Penekanan Panjang Penekanan Sangat tajam Penekanan Penekanan
(Sangat ekor berbnetuk berbentuk tajam dalam terlihat >1/2 yang parah yang parah yang parah
Kurus) “V”
2,5 Lemak dibawa Punggung tajam Terdapat Terlihat pada Penakanan Cukup Penakanan Tampak
ekor penekanan 1/3 dan 1/4 yang sedang menonjol yang sedang kegemukan
3,0 Tulang halus di Punggung Sedikit Terlihat < 1/4 Sedikit Punggung Sedikit Sedikit
(Sedang) bawah ekor menonjol cekung penekanan yang cekung penekanan penekanan
3,5 Lemak di bawah Menonjo lembut Seperti lereng Tidak terlihat Sedikit Seperti Sedikit Sedikit
ekor processus penekanan busung penekanan penekanan
4,0 Tulang bulat Terlihat rata, Hampir datar Bulat pada Terlihat rata Sedikit Sedikit Miring
(Gemuk) karena lemak seimbang tepi terlihat penekanan
4,5 Tulang ditutupi Tidak tempak Terlihat rata Hampir bulat Hampir bulat Hampir Tertutupi Tertutupi
lemak processus tertutup lemak lemak
5,0 Jaringan lemak Tertutupi lemak Tampak bulat Tertutupi Tampak bulat Hampir datar Tampak bulat Tampak
(Obesitas) di pangkal ekor lemak bulat
50
RIWAYAT HIDUP