Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

TOKSIKOLOGI FORENSIK

DiSusun Oleh :

Charlie Marselino Suasa 115 018 005

Diana Nursafitri 115 018 061

Feren Lavenia 115 018 012

Ivanna Nathalia Lameanda 115 018 018

Mira Santika 115 018 063

Veni Pole 115 020 077

Dosen Mata Kuliah :

Matius Paundanan, S.Si., M.Si

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Jaya Palu

Tahun 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur patut kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala berkat rahmat dan karunia-NYA sehingga Makalah “ TOKSIKOLOGI
FORENSIK ” ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktu yang
ditentukan. Makalah ini telah kami selesaikan dengan maksimal dan teliti.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat, maupun susunan bahasanya. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik yang
membangun sehingga kami dapat memperbaiki makalah ini.

Kami berharap agar makalah ini dapat memberi manfat maupun inspirasi
terhadap pembaca.

Palu, 27 April 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Toksikologi Forensik


B. Tugas Toksikologi Forensik
C. Jenis-jenis Kasus Toksikologi Forensik
D. Metode Kontak Toksikologi Forensik
E. Efek Biologis Toksikologi Forensik
F. Pengertian Racun
G. Klasifikasi Keracunan

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Istilah forensik belakang ini sering mampir di telinga kita
melalui berbagai berita kriminal. Biasanya menyangkut penyidikan
tindak pidana seperti mencari sebab-sebab kematian korban, dan usaha
pencarian pelaku kejahatan. Secara garis besar yang dimaksud dengan
forensik sains adalah aplikasi atau pemanfatan ilmu pengetahuan untuk
penegakan hukum dan peradilan.

Pemeriksaan forensik dalam kasus keracunan, dapat dibagi


dalam dua kelompok, yang pertama bertujuan untuk mencari penyebab
kematian, misalnya kematian akibat keracunan morfin, sianida, karbon
monoksida, keracunan insektisida, dan lain sebagainya, dan kelompok
yang kedua – dimana sebenarnya yang terbanyak kasusnya, akan tetapi
belum banyak disadari – adalah untuk mengetahui mengapa suatu
peristiwa, misalnya peristiwa pembunuhan, kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan pesawat udara dan perkosaan dapat terjadi. Dengan
demikian, tujuan yang kedua bermaksud untuk membuat suatu rekaan
rekonstruksi atas peristiwa yang terjadi.
Bila pada tujuan pertama dari pemeriksaan atas diri korban
diharapkan dapat ditemukan reaksi atau obat dalam dosis yang
mematikan, maka tidaklah demikian pada yang kedua, dimana disini
yang perlu dibuktikan atau dicari korelasinya adalah sampai sejauh mana
reaksi obat tersebut berperan dalam memungkinkan terjadinya berbagai
peristiwa tadi.

Dalam ilmu kedokteran kehakiman, keracunan dikenal sebagai


salah satu penyebab kematian yang cukup banyak sehingga
keberadaannya tidak dapat diabaikan. Jumlah maupun jenis reaksi pun
semakin bertambah, apalagi dengan makin banyaknya macam-macam
zat pembasmi hama. Selain karena faktor murni kecelakaan, racun yang
semakin banyak jumlah dan jenisnya ini dapat disalahgunakan untuk
tindakan-tindakan kriminal. Walaupun tindakan meracuni seseorang itu
dapat dikenakan hukuman, tapi baik di dalam kitab Undang- Undang
Hukum Pidana maupun di dalam Hukum Acara Pidana (RIB) tidak
dijelaskan batasan dari keracunan tersebut, sehingga banyak dipakai
batasan- batasan racun menurut beberapa ahli, untuk tindakan kriminal
ini, adanya racun harus dibuktikan demi tegaknya hukum.

Arsenic, As, banyak digunakan sebagai bahan campuran obat


pembasmi tikus (rodentisida). Arsen juga banyak digunakan dalam
masyarakat sebagai hasil industri, misalnya sebagai bahan pengawet,
bahan cat, insektisida, herbisida, campuran dalam pupuk, maupun
mencemari lingkungan masyarakat karena dampak dari industri. Arsen
juga digunakan dalam bidang pengobatan. Dalam hal ini digunakan
arsen jenis tertentu dan dalam dosis tertentu pula, seperti neosalveran
untuk pengobatan penyakit sifilis, frambusia (sampar / patek), sebagai
salah satu campuran dalam tonikum, dan obat-obat lainnya seperti
solarson, optarson, arsentriferrol, liquor arsenicallis, dan lain-lain.
Senyawaan arsen lainnya ialah Arsine, AsH3 (arsenicum lekas uap),
Arsen Trioxide (As2O3), Arsen putih, As2S2, As2S3.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan toksikologi forensik ?
2. Apa tugas toksikologi forensik ?
3. Bagaimana jenis -jenis kasus toksikologi forensik ?
4. Bagaimana metode kontak toksikologi forensik ?
5. Bagaimana efek biologis toksikologi forensik ?
6. Apakah yang dimaksud dengan racun ?
7. Bagaimana klasifikasi keracunan ?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan toksikologi forensik.


2. Untuk mengetahui tugas toksikologi forensik.
3. Untuk mengetahui jenis -jenis kasus toksikologi forensik.
4. Untuk mengetahui metode kontak toksikologi forensik.
5. Untuk mengetahui efek biologis toksikologi forensik.
6. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan racun.
7. Untuk mengetahui klasifikasi keracunan
BAB I
PEMBAHASAN

A. Pengertian Toksikologi Forensik


Toksikologi forensik adalah Ilmu yang mempelajari tentang
penerapan Ilmu toksikologi, yang berguna untuk membantu proses
peradilan. Toksikologi forensik tidak hanya untuk mengidentifikasi /
mengetahui jumlah / kuantitas dari obat, racun atau bahan-bahan dalam
tubuh manusia tapi juga dapat menentukan akibat-akibatnya.
Tosikologi forensik adalah salah satu cabang forensik sain, yang
menekunkan diri pada aplikasi atau pemanfaatan ilmu toksikologi dan
kimia analisis untuk kepentingan peradilan. Kerja utama dari
toksikologi forensik adalah melakukan analisis kualitatif maupun
kuantitatif dari racun dari bukti fisik dan menerjemahkan temuan
analisisnya ke dalam ungkapan apakah ada atau tidaknya racun yang
terlibat dalam tindak kriminal, yang dituduhkan, sebagai bukti dalam
tindak kriminal (forensik) di pengadilan. Hasil analisis dan interpretasi
temuan analisisnya ini akan dimuat ke dalam suatu laporan yang sesuai
dengan hukum dan perundangan-undangan. Menurut Hukum Acara
Pidana (KUHAP), laporan ini dapat disebut dengan ”Surat Keterangan
Ahli” atau ”Surat Keterangan”.

B. Tugas Toksikologi Forensik


Secara umum tugas toksikolog forensik adalah membantu
penegak hukum khususnya dalam melakukan analisis racun baik
kualitatif maupun kuantitatif dan kemudian menerjemahkan hasil
analisis ke dalam suatu laporan (surat, surat keterangan ahli atau saksi
ahli), sebagai bukti dalam tindak kriminal (forensik) di pengadilan.
Lebih jelasnya toksikologi forensik mencangkup terapan ilmu alam
dalam analisis racun sebagi bukti dalam tindak kriminal, dengan tujuan
mendeteksi dan mengidentifikasi konsentrasi dari zat racun dan
metabolitnya dari cairan biologis dan akhirnya menginterpretasikan
temuan analisis dalam suatu argumentasi tentang penyebab keracunan
dari suatu kasus.
C. Jenis -jenis Kasus Toksikologi Forensik

Jenis Kasus Pertanyaan yang muncul Litigasi


Kematian yang tidak Apakah ada keterlibatan obat Kriminal: Pembunuhan
wajar (mendadak) atau racun sebagai penyebab
Sipil: klaim tanggungan
kematiannya?
asuransi, tuntunan kepada
pabrik farmasi atau kimia

Kematian di penjara Kecelakaan, pembunuhan yang Kriminal: pembunuhan


melibatkan racun atau obat
Sipil: gugatan tanggungan dan
terlarang?
konpensasi terhadap
pemerintah

Kematian pada Apakah ada unsur penghilangan Kriminal: pembunuhan


kebakaran jejak pembunuhan?
Sipil: klaim tanggungan
asuransi
Apa penyebab kematian: CO,
racun, kecelakaan, atau
pembunuhan?
Kematian atau Berapa konsentrasi dari obat dan Malpraktek kedokteran,
timbulnya efek samping metabolitnya? gugatan terhadap fabrik
obat berbahaya akibat farmasi
Apakah ada interaksi obat?
salah pengobatan
Kematian yang tidak Apakah pengobatannya tepat? Klaim malpraktek, tindak
wajar di rumah sakit kriminal, pemeriksaan oleh
Kesalahan terapi?
komite ikatan profesi
kedokteran (”IDI”)
Kecelakaan yang fatal Apakah ada keterlibatan racun, Gugatan terhadap ”employer”,
di tempat kerja, sakit alkohol, atau obat-obatan? Memperkerjakan kembali
akibat tempat kerja,
Apakah kematian akibat
pemecatan
”human eror”?

Apakah sakit tersebut


diakibatkan oleh senyawa kimia
di tempat kerja? Pemecatan
akibat terlibat penyalahgunaan
Narkoba?
Kecelakan fatal dalam Meyebabkan kematian? Kriminal: Pembunuhan,
menyemudi kecelakaan bermotor
Adakah keterlibatan alkohol,
obat-obatan atau Narkoba?
Sipil: klaim gugatan asuransi

Kecelakaan, atau pembunuhan?

Kecelakaan tidak fatal Apakah kesalahan pengemudi? Kriminal: Larangan


atau mengemudi Mengemudi dibawah pengaruh Mengemudi dibawah
dibawah pengaruh obat- obat-obatan atau Narkoba? pengaruh Obat-obatan atau
obatan Narkona

Sipil: gugatan pencabutan atau


pengangguhan SIM
Penyalahgunaan Penyalahgunaan atau pasient Kriminal:
Narkoba yang sedang mengalami terapi
Sipil: rehabilitasi
rehabilitasi narkoba
Farmaseutikal dan Obat Identifikasi bentuk sediaan, Kriminal: pengedaran obat
palsu, atau tidak kandungan sediaan obat, ilegal.
memenuhi syarat penggunaan obat palsu.
Sipil: tuntutan penggunan obat
standar ”Forensik
palsu terhadap dokter atau
Farmasi”
yang terkait

Sumber: Finkle, B.S., (1982), Progress in Forensic Toxicology:


Beyond Analytical Chemistry, J. Anal. Tox. (6): 57-61
D. Metode Kontak Toksikologi Forensik

1. Tertelan : Efeknya bisa lokal pada saluran cerna dan bisa juga
sistemik. Contoh kasus: over dosis obat, pestisida.
2. Topikal (melalui kulit, mata, dll) : Efeknya iritasi lokal, tapi bisa
berakibat keracunan sistemik. Kasus ini biasanya terjadi di tempat
industri. Contoh : soda kaustik, pestida organofosfat.
3. Inhalasi : Iritasi pada saluran nafas atas dan bawah, bisa berefek pada
absopsi dan keracunan sistemik. Keracunan melalui inhalasi juga
banyak terjadi di tempat-tempat industri. Contoh : atropin, gas klorin,
CO (karbonmonoksida).
4. Injeksi : Efek sistemik, iritasi lokal dan bisa menyebabkan nekrosis.
Masuk ke dalam tubuh bisa melalui intravena, intramuskular,
intrakutan maupun intrademal.

E. Efek Biologis Toksikologi Forensik


1. Potensiasi : satu dari dua bahan tidak menimbulkan toksik, namun
ketika terjadi paparan kedua bahan tersebut, efek toksik dari bahan
yang aktif akan meningkat.
2. Sinergistik : Dua bahan yang mempunyai sifat toksik sama atau
salah satu bahan memperkuat bahan yang lain, maka efek toksik
yang dihasilkan lebih bahaya.
3. Antagonistik : dua bahan toksik yang mempunyai kerja berlawanan,
toksik yang dihasilkan rendah/ringan.
4. Toleransi: Merupakan keadaan yang ditandai oleh menurunnya
reaksi terhadap efek toksik suatu bahan kimia tertentu. Biasanya
efek toksik campuran bahan kimia bersifat adiktif.

F. Pengertian Racun
Menurut Taylor, racun adalah suatu zat yang dalam jumlah relatif
kecil (bukan minimal), yang jika masuk atau mengenai tubuh seseorang
akan menyebabkan timbulnya reaksi kimiawi (efek kimia) yang besar
yang dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian.
Menurut Gradwohl racun adalah substansi yang tanpa kekuatan
mekanis, yang bila mengenai tubuh seorang (atau masuk), akan
menyebabkan gangguan fungsi tubuh, kerugian, bahkan kematian.
Sehingga jika dua definisi di atas digabungkan, racun adalah
substansi kimia, yang dalam jumlah relatif kecil, tetapi dengan dosis
toksis, bila masuk atau mengenai tubuh, tanpa kekuatan mekanis, tetapi
hanya dengan kekuatan daya kimianya, akan menimbulkan efek yang
besar, yang dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian

Jalan masuk racun


            Racun dapat masuk ke dalam tubuh seseorang melalui beberapa cara:
1. Melalui mulut (peroral / ingesti).
2. Melalui saluran pernafasan (inhalasi)
3. Melalui suntikan (parenteral, injeksi)
4. Melalui kulit yang sehat / intak atau kulit yang sakit.
5. Melalui dubur atau vagina (perektal atau pervaginal) (Idris, 1985)
G. Klasifikasi Keracunan
1. Menurut cara terjadinya :
1) Self poisoning : Pada keadaan ini pasien makan obat dengan dosis
berlebihan tetapi dengan pengetahuan bahwa dosis ini tidak
membahayakan. Self poisoning biasanya terjadi karena kekurang
hati-hatian dalam penggunaan.Pada korban hidup, bau alkohol yang
keluar dari udara pernapasan merupakan petunjuk awal.
2) Attempted poisoning : Dalam kasus ini , pasien memang ingin bunuh
diri, tetapi bisa berakhir dengan kematian atau pasien sembuh
kembali karena salah tafsir dalam penggunaan dosis.
3) Accidental poisoning : Kondisi ini merupakan suatu kecelakaan tanpa
adanya unsur kesengajaan sama sekali. Kasus ini banyak terjadi pada
anak dibawah umur 5 tahun, karena kebiasaannya memasukkan
segala benda ke dalam mulut.
4) Homicidal poisoning : Keracunan ini terjadi akibat tindak kriminal
yaitu seseorang dengan sengaja meracuni seseorang.
2. Menurut waktu terjadinya :
1) Keracunan kronis
Diagnosis keracuna ini sulit dibuat, karena gejala timbul perlahan
dan lama sesudah pajanan. Gejala dapat timbul secara akut setelah
pemajanan berkali-kali dalam dosis yang relatif kecil.

2) Keracunan akut

Terjadi secara mendadak setelah makan atau terkena sesuatu.


Pada keracunan akut biasanya mempunyai gejala hampir sama
dengan sindrom penyakit, oleh karena itu harus diingat adanya
kemungkinan keracunan pada sakit mendadak.
3. Berdasarkan sumber dan tempat dimana racun-racun tersebut mudah
didapat, maka racun dapat dibagi menjadi lima golongan, yaitu:
1) Racun-racun yang banyak terdapat dalam rumah tangga.
Misalnya: desinfektan, deterjen, insektisida, dan sebagainya.
Racun-racun yang banyak digunakan dalam lapangan pertanian, perkebunan.
Misalnya: pestisida, herbisida.
1. Racun-racun yang banyak dipakai dalam dunia kedokteran / pengobatan.
Misalnya: sedatif hipnotis, analgetika, obat penenang, anti depresan, dsb.
2. Racun-racun yang banyak dipakai dalam industri / laboratorium.
Misalnya: asam dan basa kuat, logam berat, dsb.
3. Racun-racun yang terdapat di alam bebas.
Misalnya: opium ganja, racun singkong, racun jamur serta binatang.

Mekanisme kerja racun


1. Racun yang bekerja secara setempat (lokal)
Misalnya:
-  Racun bersifat korosif: lisol, asam dan basa kuat.
-  Racun bersifat iritan: arsen, HgCl2.
-  Racun bersifat anastetik: kokain, asam karbol.
Racun-racun yang bekerja secara setempat ini, biasanya akan
menimbulkan sensasi nyeri yang hebat, disertai dengan peradangan,
bahkan kematian yang dapat disebabkan oleh syok akibat nyerinya
tersebut atau karena peradangan sebagai kelanjutan dari perforasi yang
terjadi pada saluran pencernaan.
2. Racun yang bekerja secara umum (sistemik)
Walaupun kerjanya secara sistemik, racun-racun dalam golongan ini
biasanya memiliki akibat / afinitas pada salah satu sistem atau organ tubuh
yang lebih besar bila dibandingkan dengan sistem atau organ tubuh
lainnya.
Misalnya:
-  Narkotik, barbiturate, dan alkohol terutama berpengaruh pada susunan
syaraf pusat.
-  Digitalis, asam oksalat terutama berpengaruh terhadap jantung.
-  Strychine terutama berpengaruh terhadap sumsum tulang belakang.
-  CO, dan HCN terutama berpengaruh terhadap darah dan enzim
pernafasan.
-  Cantharides dan HgCl2 terutama berpengaruh terhadap ginjal.
-  Insektisida golongan hidrokarbon yang di-chlor-kan dan phosphorus
terutama berpengaruh terhadap hati.
3. Racun yang bekerja secara setempat dan secara umum
Misalnya:
-  Asam oksalat
-  Asam karbol
Selain menimbulkan rasa nyeri (efek lokal) juga akan menimbulkan
depresi pada susunan syaraf pusat (efek sistemik). Hal ini dimungkinkan
karena sebagian dari asam karbol tersebut akan diserap dan berpengaruh
terhadap otak.
-  Arsen
-  Garam Pb
2.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja racun
1. Cara pemberian
Setiap racun baru akan menimbulkan efek yang maksimal pada tubuh
jika cara pemberiannya tepat. Misalnya jika racun-racun yang berbentuk
gas tentu akan memberikan efek maksimal bila masuknya ke dalam tubuh
secara inhalasi. Jika racun tersebut masuk ke dalam tubuh secara ingesti
tentu tidak akan menimbulkan akibat yang sama hebatnya walaupun dosis
yang masuk ke dalam tubuh sama besarnya.
Berdasarkan cara pemberian, maka umumnya racun akan paling cepat
bekerja pada tubuh jika masuk secara inhalasi, kemudian secara injeksi
(i.v, i.m, dan s.c), ingesti, absorbsi melalui mukosa, dan yang paling
lambat jika racun tersebut masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang sehat.
2. Keadaan tubuh
a. Umur
Pada umumnya anak-anak dan orang tua lebih sensitif terhadap
racun bila dibandingkan dengan orang dewasa. Tetapi pada beberapa
jenis racun seperti barbiturate dan belladonna, justru anak-anak akan
lebih tahan.
b. Kesehatan
Pada orang-orang yang menderita penyakit hati atau penyakit
ginjal, biasanya akan lebih mudah keracunan bila dibandingkan
dengan orang sehat, walaupun racun yang masuk ke dalam tubuhnya
belum mencapai dosis toksis. Hal ini dapat dimengerti karena pada
orang-orang tersebut, proses detoksikasi tidak berjalan dengan baik,
demikian pula halnya dengan ekskresinya. Pada mereka yang
menderita penyakit yang disertai dengan peningkatan suhu atau
penyakit pada saluran pencernaan, maka penyerapan racun pada
umumnya jelek, sehingga jika pada penderita tersebut terjadi kematian,
kita tidak boleh terburu-buru mengambil kesimpulan bahwa kematian
penderita disebabkan oleh racun. Dan sebaliknya pula kita tidak boleh
tergesa-gesa menentukan sebab kematian seseorang karena penyakit
tanpa melakukan penelitian yang teliti, misalnya pada kasus keracunan
arsen (tipe gastrointestinal) dimana disini gejala keracunannya mirip
dengan gejala gastroenteritis yang lumrah dijumpai.
c. Kebiasaan
Faktor ini berpengaruh dalam hal besarnya dosis racun yang dapat
menimbulkan gejala-gejala keracunan atau kematian, yaitu karena
terjadinya toleransi. Tetapi perlu diingat bahwa toleransi itu tidak
selamanya menetap. Menurunnya toleransi sering terjadi misalnya
pada pencandu narkotik, yang dalam beberapa waktu tidak
menggunakan narkotik lagi. Menurunnya toleransi inilah yang dapat
menerangkan mengapa pada para pencandu tersebut bisa terjadi
kematian, walaupun dosis yang digunakan sama besarnya.
d. Hipersensitif (alergi – idiosinkrasi)
Banyak preparat seperti vitamin B1, penisilin, streptomisin dan
preparat-preparat yang mengandung yodium menyebabkan kematian,
karena sikorban sangat rentan terhadap preparat-preparat tersebut. Dari
segi ilmu kehakiman, keadaan tersebut tidak boleh dilupakan, kita
harus menentukan apakah kematian korban memang benar disebabkan
oleh karena hipersensitif dan harus ditentukan pula apakah pemberian
preparat-preparat mempunyai indikasi. Ada tidaknya indikasi pemberi
preparat tersebut dapat mempengaruhi berat-ringannya hukuman yang
akan dikenakan pada pemberi preparat tersebut.
3. Racunnya sendiri
a. Dosis
Besar-kecilnya dosis racun akan menentukan berat-ringannya
akibat yang ditimbulkan. Dalam hal ini tidak boleh dilupakan akan
adanya faktor toleransi, dan intoleransi individual. Pada intoleransi,
gejala keracunan akan tampak walaupun racun yang masuk ke dalam
tubuh belum mencapai level toksik. Keadaan intoleransi tersebut dapat
bersifat bawaan / kongenital atau intoleransi yang didapat setelah
seseorang menderita penyakit yang mengakibatkan gangguan pada
organ yang berfungsi melakukan detoksifikasi dan ekskresi.
b. Konsentrasi
Untuk racun-racun yang kerjanya dalam tubuh secara lokal
misalnya zat-zat korosif, konsentrasi lebih penting bila dibandingkan
dengan dosis total. Keadaan tersebut berbeda dengan racun yang
bekerja secara sistemik, dimana dalam hal ini dosislah yang berperan
dalam menentukan berat-ringannya akibat yang ditimbulkan oleh
racun tersebut.
c. Bentuk dan kombinasi fisik
Racun yang berbentuk cair tentunya akan lebih cepat menimbulkan
efek bila dibandingkan dengan yang berbentuk padat. Seseorang yang
menelan racun dalam keadaan lambung kosong, tentu akan lebih cepat
keracunan bila dibandingkan dengan orang yang menelan racun dalam
keadaan lambungnya berisi makanan.
d. Adiksi dan sinergisme
Barbiturate, misalnya jika diberikan bersama-sama dengan alkohol,
morfin, atau CO, dapat menyebabkan kematian, walaupun dosis
barbiturate yang diberikan jauh di bawah dosis letal. Dari segi hukum
kedokteran kehakiman, kemungkinan-kemungkinan terjadinya hal
seperti itu tidak boleh dilupakan, terutama jika menghadapi kasus
dimana kadar racun yang ditemukan rendah sekali, dan dalam hal
demikian harus dicari kemungkinan adanya racun lain yang
mempunyai sifat aditif (sinergitik dengan racun yang ditemukan),
sebelum kita tiba pada kesimpulan bahwa kematian korban disebabkan
karena reaksi anafilaksi yang fatal atau karena adanya intoleransi.

e. Susunan kimia
Ada beberapa zat yang jika diberikan dalam susunan kimia tertentu
tidak akan menimbulkan gejala keracunan, tetapi bila diberikan secara
tersendiri terjadi hal yang sebaliknya.
f. Antagonisme
Kadang-kadang dijumpai kasus dimana seseorang memakan lebih
dari satu macam racun, tetapi tidak mengakibatkan apa-apa, oleh
karena reaksi-reaksi tersebut saling menetralisir satu sama lain. Dalam
klinik adanya sifat antagonis ini dimanfaatkan untuk pengobatan,
misalnya nalorfin dan kaloxone yang dipakai untuk mengatasi depresi
pernafasan dan oedema paru-paru yang terjadi pada keracunan akut
obat-obatan golongan narkotik.
2.7 Kriteria diagnosis kasus keracunan
1. Anamnesa yang menyatakan bahwa korban benar-benar kontak dengan
racun (secara injeksi, inhalasi, ingesti, absorbsi, melalui kulit atau
mukosa).
Pada umumnya anamnesa tidak dapat dijadikan pegangan sepenuhnya
sebagai kriteria diagnostik, misalnya pada kasus bunuh diri – keluarga
korban tentunya tidak akan memberikan keterangan yang benar,
bahkan malah cenderung untuk menyembunyikannya, karena kejadian
tersebut merupakan aib bagi pihak keluarga korban.
2. Tanda dan gejala-gejala yang sesuai dengan tanda / gejala keracunan
zat yang diduga.
Adanya tanda / gejala klinis biasanya hanya terdapat pada kasus yang
bersifat darurat dan pada prakteknya lebih sering kita terima kasus-
kasus tanpa disertai dengan data-data klinis tentang kemungkinan
kematian karena kematian sehingga harus dipikirkan terutama pada
kasus yang mati mendadak, non traumatik yang sebelumnya dalam
keadaan sehat.
3. Secara analisa kimia dapat dibuktikan adanya racun di dalam sisa
makanan / obat / zat yang masuk ke dalam tubuh korban.
Kita selamanya tidak boleh percaya bahwa sisa sewaktu zat yang
digunakan korban itu adalah racun (walaupun ada etiketnya) sebelum
dapat dibuktikan secara analisa kimia, kemungkinan-kemungkinan
seperti tertukar atau disembunyikannya barang bukti, atau si korban
menelan semua racun – kriteria ini tentunya tidak dapat dipakai.
4. Ditemukannya kelainan-kelainan pada tubuh korban, baik secara
makroskopik atau mikroskopik yang sesuai dengan kelainan yang
diakibatkan oleh racun yang bersangkutan.
Bedah mayat (otopsi) mutlak harus dilakukan pada setiap kasus
keracunan, selain untuk menentukan jenis-jenis racun penyebab
kematian, juga penting untuk menyingkirkan kemungkinan lain
sebagai penyebab kematian. Otopsi menjadi lebih penting pada kasus
yang telah mendapat perawatan sebelumnya, dimana pada kasus-kasus
seperti ini kita tidak akan menemukan racun atau metabolitnya, tetapi
yang dapat ditemukan adalah kelainan-kelainan pada organ yang
bersangkutan.
5. Secara analisa kimia dapat ditemukan adanya racun atau metabolitnya
di dalam tubuh / jaringan / cairan tubuh korban secara sistemik.
Pemeriksaan toksikologi (analisa kimia) mutlak harus dilakukan.
Tanpa pemeriksaan tersebut, visum et repertum yang dibuat dapat
dikatakan tidak memiliki arti dalam hal penentuan sebab kematian.
Sehubungan dengan pemeriksaan toksikologis ini, kita tidak boleh
terpaku pada dosis letal sesuatu zat, mengingat faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi kerja racun. Penentuan ada tidaknya racun harus
dibuktikan secara sistematik, diagnosa kematian karena racun tidak
dapat ditegakkan misalnya hanya berdasar pada ditemukannya racun
dalam lambung korban.
Dari kelima kriteria diagnostik dalam menentukan sebab kematian pada
kasus-kasus keracunan seperti tersebut di atas, maka kriteria keempat dan kelima
merupakan kriteria yang terpenting dan tidak boleh dilupakan.
B
A
B

I
I
I

P
E
N
U
T
U
P

3.1 KESIMPULAN
1. Toksikologi forensik adalah Ilmu yang mempelajari tentang
penerapan Ilmu toksikologi, yang berguna untuk membantu proses
peradilan. Toksikologi forensik tidak hanya untuk
mengidentifikasi / mengetahui jumlah / kuantitas dari obat, racun
atau bahan-bahan dalam tubuh manusia tapi juga dapat menentukan
akibat- akibatnya.
2. Toksikologi forensik mencangkup terapan ilmu alam dalam
analisis racun sebagi bukti dalam tindak kriminal, dengan tujuan
mendeteksi dan mengidentifikasi konsentrasi dari zat racun dan
bentuk metabolitnya dari dalam cairan biologi dan akhirnya
menginterpretasikan temuan analisis dalam suatu argumentasi
tentang penyebab keracunan dari suatu kasus.
DAFTAR PUSTAKA

Adiwisastra, A. Keracunan, Sumber, Bahaya serta Penanggulangannya.

Andarwendah, Sumardi, 1982, Keracunan Arsen, Program Pendidikan Pasca


Sarjana Hyperkes, FK-UGM.
Finkle, B.S., (1982), Progress in Forensic Toxicology: Beyond Analytical
Chemistry, J. Anal. Tox. (6): 57-61

Hadikusumo, Nawawi, dr. , 1997, DSPF, Ilmu Kedokteran Forensik, IKF III, FK
UGM – UMY Kerrigan, S, (2004), Drug Toxicology for Prosecutors Targeting
Hardcore Impaired Drivers,

New Mexico Department of Health Scientific Laboratory Division Toxicology


Bureau, New
Mexico.

Anda mungkin juga menyukai