PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Intoksikasi/ keracunan merupakan permasalahan serius yang perlu ditangani
secara baik. insidens keracunan di dunia secara pasti tidak diketahui, dapat diperkirakan
sekitar 500.000 orang meninggal setiap tahun akibat berbagai macam keracunan. Studi
mengenai prilaku dan efek yang merugikan dari suatu zat terhadap oranisme/ mahluk
hidup disebut toksikologi (berasal dari kata Yunani, toxicos dan logos). Toksikologi
bermanfaat untuk memprediksi atau mengkaji akibat yang berkaitan dengan bahaya
toksik dari suatu zat terhadap manusia dan lingkungannya. Sedangkan toksikologi
forensik adalah penerapan toksikologi untuk membantu investigasi medikolegal dalam
kasus kematian, keracunan maupun penggunaan obat-obatan.1
WHO secara konservatif memperkirakan bahwa kasus keracunan paling tinggi
terjadi di negara-negara sedang berkembang dan meningkat hampir dua kali lipat dalam
sepuluh tahun terakhir ini. Dari laporan Badan Pom untuk kasus keracunan Nasional
yang terjadi di Indonesia tahun 2014 kasus keracunan obat sebanyak 717. 2 Racun
merupakan istilah untuk toksikan yang dalam jumlah sedikit (dosis rendah) dapat
menyebabkan kematian atau penyakit (efek merugikan) yang secara tiba-tiba. Bapak
Toksikologi modern, Paracelsus (1493-1541) menyatakan bahwa semua zat adalah
racun, tidak ada yang bukan racun. Dosis yang tepat membedakan suatu racun dengan
obat. Toksikan (zat toksik) adalah bahan apapun yang dapat memberikan efek yang
berlawanan (merugikan).1
Asetaminofen merupakan salah satu obat analgesik dan antipiretik yang telah
banyak digunakan di seluruh dunia sejak tahun 1950. Di Indonesia sendiri merk obat
yang mengandung asetaminofen dari tahun ke tahun semakin bertambah, dan saat ini
telah tercatat dalam ISO 2006 terdapat 305 merk obat yang mengandung asetaminofen. 3
Analgesik derivat para amino fenol ini telah dapat diperoleh dan digunakan secara
bebas bahkan tanpa perlu menggunakan resep dokter seperti yang saat ini terjadi pada
beberapa negara berkembang termasuk Indonesia. Sesuai dengan laporan United States
Regional Poisons Center yang menyatakan bahwa lebih dari 100.000 kasus per tahun
yang menghubungi pusat informasi keracunan, 56.000 kasus datang ke unit gawat
darurat, 26.000 kasus memerlukan perawatan intensif dirumah sakit dan 450 orang
meninggal akibat keracunan asetaminofen.4
Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara
kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP).
Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalan bentuk sediaan tunggal
sebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat
flu, melalui resep dokter atau yang dijual bebas. Parasetamol adalah paraaminofenol
yang merupakan metabolit fenasetin. Pemakaian dalam jangka waktu yang lama atau
overdosis dari parasetamol dapat menimbulkan hepatotoksisitas, kerusakan yang
ditimbulkan dapat berupa nekrosis dari sel hati dan tubulus ginjal.5
Banyak kesalahan dalam mengkonsumsi obat ini, karena obat digunakan secara
terus menerus untuk menghilangkan gejala rasa sakit yang timbul. Misalnya seorang
yang sering merasakan sakit kepala, untuk mengatasi sakit kepalanya selalu minum
parasetamol. Bila gejala yang dirasakan tidak hilang setelah efek obat habis, yang
bersangkutan seharusnya segera konsultasi ke dokter untuk dicari penyebab penyakitnya
sehingga dapat diobati penyebabnya dengan benar. 5
Karena parasetamol merupakan obat bebas yang digunakan secara luas oleh
masyarakat, maka kemungkinan terjadinya kesalahan dalam penggunaan yang dapat
menyebabkan keracunan parasetamol cukup besar, sehingga dirasa perlu untuk
memberikan informasi mengenai dosis yang tepat dalam penggunaan nya. 5
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian toksikologi forensik ?
2. Bagaimana profil obat paracetamol dalam farmakologi ?
3. Jelaskan intoksikasi paracetamol meliputi definisi, prevalensi, gejala,
pemeriksaan, dan penatalaksanaannya ?
1.3 Tujuan
1. Menjelaskan toksikologi forensik
2. Menjelaskan profil obat paracetamol
3. Menjelaskan intoksikasi paracetamol
1.4 Manfaat
1. Manfaat Teoritis
2
Referat ini dapat dijadikan sebagai sumber bacaan dan pelengkap referensi
mengenai intoksikasi paracetamol.
2. Manfaat Praktis
a. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah dibidang kedokteran.
b. Memenuhi salah satu persyaratan mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal di RSUP DR Kariadi Semarang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
apakah ternoda oleh warna tablet atau kapsul obat atau menunjukan kelainan
disebabkan oleh zat korosif. Pada esophagus bagian atas dibuka sampai pada ikatan
atas diafragma. Adakah terdapat regurgitasi dan selaput lendir diperhatikan akan
adanya hiperemi dan korosi. Pada epiglotis dan glotis perhatikan apakah terdapat
hiperemi atau edema, disebabkan oleh inhalasi atau aspirasi gas atau uap yang
meransang atau akibat regurgitasi dan aspirasi zat yang meransang. Edema glotis juga
dapat ditemukan pada pemakaian akibat syok anafilaktik, misalnya akibat penisilin.8
Pada pemeriksaan paru-paru ditemukan kelainan yang tidak spesifik, berupa
pembendungan akut. Pada inhalasi gas yang meransang seperti klorin dan nitrogen
oksida ditemukan pembendungan dan edema hebat, serta emfisema akut karena terjadi
batuk, dipsneu dan spasme bronki. Pada lambung dan usus dua belas jari lambung
dibuka sepanjang kurvakura mayor dan diperhatikan apakah mengeluarkan bau yang
tidak biasa. Perhatikan isi lambung warnanya dan terdiri dari bahan-bahan apa. Bila
terdapat tablet atau kapsul diambil dengan sendok dan disimpan secara terpisah untuk
mencegah disintegrasi tablet/kapsul. Pada kasus - kasus non-toksikologik hendaknya
pembukaan lambung ditunda sampai saat akhir otopsi atau sampai pemeriksa telah
menemukan penyebab kematian. Hal ini penting karena umumnya pemeriksa baru
teringat pada keracunan setelah pada akhir autopsi ia tidak dapat menemukan
penyebab kematian.8
Pemeriksaan usus diperlukan pada kematian yang terjadi beberapa jam setelah
korban menelan zat beracun dan ini ingin diketahui berapa lama waktu tersebut. Pada
hati apakah terdapat degenerasi lemak atau nekrosis. Degenerasi lemak sering
ditemukan pada peminum alcohol. Nekrosis dapat ditemukan pada keracunan fosfor,
karbon tetraklorida, klorform dan trinitro toulena.8
Pada ginjal terjadi perubahan degeneratif, pada kortek ginjal dapat disebabkan
oleh racun yang meransang. Ginjal agak membesar, korteks membengkak, gambaran
tidak jelas dan berwarna suram kelabu kuning. Perubahan ini dapat dijumpai pada
keracunan dengan persenyawaan bismuth, air raksa, sulfonamide, fenol, lisol, karbon
tetraklorida. Umumnya analisis toksikologik ginjal terbatas pada kasus-kasus
keracunan logam berat atau pada pencarian racun secara umum atau pada
pemeriksaan histologik ditemukan Kristal-kristal Caoksalat atau sulfonamide.8
10
Pemeriksaan urin dilakukan dengan semprit dan jarum yang bersih, seluruh
urin diambil dari kandung kemih. Bila bahan akan dikirim ke kota lain untuk
dilakukan pemeriksaan maka urin dibiarkan berada dalam kandung kemih dan dikirim
dengan cara intoto, prostat dan kedua ureter diikat dengan tali. Walaupun kandung
kemih dalam keadaan kosong, kandung kemih harus tetap diambil untuk pemriksaan
toksikologik.8
Pemeriksaan otak biasanya tidak ditemukan adanya edema otak pada kasus
kematian yang cepat, misalnya pada kematian akibat barbiturat, eter dan juga pada
keracunan kronik arsen atau timah hitam. Perdarahan kecil-kecil dalam otak dapat
ditemukan pada keracunan karbonmonoksida, barbiturat, nitrogen oksida, dan logam
berat seperti air raksa air raksa, arsen dan tmah hitam. Obat-obat yang bekerja pada
otak tidak selalu terdapat dalam konsentrasi tinggi dalam jaringan otak.8
Pada pemeriksaan jantung dengan kasus keracunan karbon monoksida bila
korban hidup selama 48 jam atau lebih dapat ditemukan perdarahan berbercak dalam
otot septum interventrikel bagian ventrikel kiri atau perdarahan bergaris pada
muskulus papilaris ventrikel kiri dengan garis menyebar radier dari ujung otot tersebut
sehingga tampak gambaran seperti kipas.8
Pada pemeriksaan limpa selain pembendungan akut limpa tidak menunjukkan
kelainan patologik. Pada keracunan sianida, limpa diambil karena karena kadar
sianida dalam limpa beberapa kali lebih besar daripada kadar dalam darah. Empedu
merupakan bahan yang baik untuk penentuan glutetimida, quabaina, morfin dan
heroin. Pada keracunan karena inhalasi gas atau uap beracun, paru-paru diambil,
dalam botol kedap udara.8
Jaring lemak diambil sebanyak 200 gram dari jaringan lemak bawah kulit
daerah perut. Beberapa racun cepat di absorpsi dalam jaringan lemak dan kemudian
dengan lambat dilepaskan kedalam darah. Jika terdapat persangkaan bahwa korban
meninggal akibat penyuntikan jaringan di sekitar tempat suntikan diambil dalam
radius 5-10 cm.8
Pada dugaan keracunan arsen rambut kepala dan kuku harus diambil. Rambut
diikat terlebih dahulu sebelum dicabut, harus berikut akar-akarnya, dan kemudian
diberi label agar ahli toksikologi dapat mengenali mana bagian yang proksimal dan
bagian distal. Rambut diambil kira-kira 10 gram tanpa menggunakan pengawet. Kadar
11
arsen ditentukan dari setiap bagian rambut yang telah digunting beberapa bagian yang
dimulai dari bagian proksimal dan setiap bagian panjangnya inci atau 1 cm.
terhadap setiap bagian itu ditentukan kadar arsennya.8
Kuku diambil sebanyak 10 gram, didalamnya selalu harus terdapat kuku-kuku kedua ibu
jari tangan dan ibu jari kaki. Kuku dicabut dan dikirim tanpa diawetkan. Ahli
toksikologi membagi kuku menjadi 3 bagian mulai dari proksimal. Kadar tertinggi
ditemukan pada 1/3 bagian proksimal.
2.1.4.3 Analisis Toksikologik
1. Pengambilan Bahan Pemeriksaan Toksikologik
Lebih baik mengambil bahan dalam keadaan segar dan lengkap pada waktu
autopsi daripada kemudian harus mengadakan penggalian kubur untuk
mengambil bahan-bahan yang diperlukan dan melakukan analisis toksikologik
atas jaringan yang sudah busuk atau sudah diawetkan.8
a. Pengambilan darah dari jantung dilakukan secara terpisah dari sebelah
kanan dan sebelah kiri masing-masing sebnayak 50 ml. Darah tepi
sebanyak 30-50 ml, diambil dari vena iliaka komunis bukan darah dari
vena porta. Pada korban yang masih hidup, darah adalah bahan yang
terpenting, diambil 2 contoh darah masing-masing 5 ml, yang pertama
diberi pengawet NaF 1% dan yang lain tanpa pengawet.
b. Urin dan bilasan lambung diambil semua yang ada didalam kandung
kemih untuk pemeriksaannya. Pada mayat diambil lambung beserta isinya.
Usus beserta isinya berguna terutama bila kematian terjadi dalam waktu
beberapa jam setelah menelan racun sehingga dapat diperkirakan saat
kematian dan dapat pula ditemukan pil yang tidak hancur oleh lambung.
c. Organ hati harus diambil setelah disisihkan untuk pemeriksaan patologi
anatomi dengan alasan takaran forensik kebanyakan racun sangat kecil,
hanya beberapa mg/kg sehingga kadar racun dalam tubuh sangat rendah
dan untuk menemukan racun, bahan pemeriksaan harus banyak, serta hati
merupakan tempat detoksikasi tubuh terpenting.
d. Ginjal harus diambil keduanya, organ ini penting pada keadan intoksikasi
logam, pemeriksaan racun secara umum dan pada kasus dimana secara
histologik ditemukan Caoksalat dan sulfo-namide. Pada otak, jaringan
lipoid dalam otak mampu menahan racun. Misalnya CHCI3 tetap ada
12
walaupun jaringan otak telah membusuk. Otak bagian tengah penting pada
intoksikasi CN karena tahan terhadap pembusukan. Untuk menghidari
cairan empedu mengalir ke hati dan mengacaukan pemeriksaan, sebaiknya
kandung empedu jangan dibuka.8
2. Wadah Bahan Pemeriksaan Toksikologi
Untuk wadah pemeriksaan toksikologi idealnya diperllukan minimal 9 wadah,
karena masing-masing bahan pemeriksaan ditempatkan secara tersendiri, tidak
boleh dicampur, yaitu :8
a. 2 buah toples masing-masing 2 liter untuk hati dan usus.
b. 3 buah toples masing-masing 1 liter untuk lambung beserta isinya, otak dan
ginjal.
c. 4 buah botol masing-masing 25 ml untuk darah (2 buah) urine dan empedu
d. Wadah harus dibersihkan terlebih dahulu dengan mencuci dengan asam
Kromat hangat lalu dibilas dengan Aquades dan dikkeringkan. Pemeriksaan
toksikologi yang dapat dilakukan selain penentuan kadar AchE dalam darah
dan plasma dapat juga dilakukan pemeriksaan.
e. Kristalografi
Bahan yang dicurigai berupa sisa makanan/ minuman, muntahan, isi
lambung dimasukan ke dalam gelas beker, dipanasakan dalam pemanas air
sampai kering, kerimudian dilarutkan dalam aceton dan disaring dengan
kertas saring. Filtrate yang didapat, diteteskan di bawah mikroskop. Bila
bentuk Kristal-kristal seperti sapu, ini adalah golongan hidrokarbon
terklorisasi.
f. Kromatografi lapisan tipis (TLC)
Kaca berukuran 20cmx20cm, dilapisi dengan absorben gel silikat atau
dengan alumunium oksida, lalu dipanaskan dalam oven 110 C selama 1 jam.
Filtrate yang akan diperiksa (hasil ekstraksi dari darah atau jaringan korban)
diteteskan dengan mikropipet pada kaca, disertai dengan tetesan lain yang
telah diketahui golongan dan jenis serta konsentrasinya sebagai pembanding.
Ujung kaca TLC dicelupkan ke dalam pelarut, biasanya n-Hexan. Celupan
tidak boleh mengenai tetesan tersebut diatas. Dengan daya kapilaritas maka
pelarut akan ditarik keatas sambil melarutkan filitrat-filitrat tadi. Setelah itu
kaca TLC dikeringkan lalu disemprot dengan reagensia Paladum klorida
0,5% dalam HCL pekat, kemudian dengan Difenilamin 0,5% dalam alcohol.
Interprestasi : warna hitam (gelap) berarti golongan hidrokarbon terklorinasi
sedangkan bila berwarna hijau dengan dasar dadu berarti golongan
13
besar
bercak
dan
intensitas
warnanya
dengan
14
15
Merkuri dalam logam lain dalam pangan atau dalam spesimen biologi seperti :
seperti darah, urine, kuku dan rambut untuk menginvestigasi kasus keraunan
paparan zat toksik. Darah dalam urine, sebagimana udara pernafasan dan saliva, dapat
digunakan untuk mendokumentasikan paparan terkini ; paparan dimasa lalu dapat
dievaluasi menggunakan darah dan urine sebagaimana jaringan yang mengandung
keratin (rambut dan kuku), jaringan menulang (gigi dan tulang), jaringan adiposa dan
air susu. Media lain yang tersedia dalam studi biomarker meliputi feses, dahak, dll.
Waktu pengambilan sampel spesimen biologis tergantung dari toksikokinetik masingmasing zat.8
2.1.6 Kriteria Diagnostik
Diagnosa keracunan didasarkan atas adanya tanda dan gejala yang sesuai dengan
racun penyebab. Dengan analisis kimiawi dapat dibuktikan adanya racun dari sisa
barang bukti. Yang terpenting pada penegakan diagnosis keracunan adalah dapat
ditemukan racun/sisa racun dalam tubuh/cairan tubuh korban, jika racun menjalar secara
sistemik serta terdapatnya kelainan pada tubuh korban, baik makroskopis maupun
mikroskopis yang sesuai dengan racun penyebab. Selain itu perlu pula dipastikan bahwa
korban tersebut benr-benar kontak dengan racun. Yang perlu diperhatikan untuk
pemeriksaan korban keracunan ialah : keterangan tentang racun apa kira-kira yang
16
17
18
NHCOCH3
20
2.2.6 Farmakokinetik
1. Absorpsi
Parasetamol yang diberikan secara oral diserap secara cepat dan mencapai kadar
serum puncak dalam waktu 30 120 menit. Adanya makanan dalam lambung
akan sedikit memperlambat penyerapan sediaan parasetamol lepas lambat
2. Distribusi
Parasetamol terdistribusi dengan cepat pada hampir seluruh jaringan tubuh.
Lebih kurang 25% parasetamol dalam darah terikat pada protein plasma. Waktu
paruh parasetamol adalah antara 1,25 3 jam. Penderita kerusakan hati dan
konsumsi parasetamol dengan dosis toksik dapat memperpanjang waktu paruh
zat ini
3. Metabolisme : metabolisme paracetamol terjadi di hati
4. Ekskresi
Sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui urin dan 80-90 %
dikonjugasi dengan asam glukoronik atau asam sulfurik kemudian diekskresi
melalui urin dalam satu hari pertama; sebagian dihidroksilasi menjadi N asetil
benzokuinon yang sangat reaktif dan berpotensi menjadi metabolit berbahaya.
Pada dosis normal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari glutation menjadi
substansi nontoksik. Pada dosis besar akan berikatan dengan sulfhidril dari
protein hati.11
2.2.7 Farmakodinamik
Efek analgesik Parasetamol dan Fenasetin serupa dengan Salisilat yaitu
menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan
suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti
salisilat. Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu Parasetamol dan
Fenasetin tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat
biosintesis prostaglandin (PG) yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung
tidak terlihat pada kedua obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan
keseimbangan asam basa. Semua obat analgetik non opioid bekerja melalui
penghambatan siklooksigenase. Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga
konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat
siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih
21
kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan Parasetamol menjadi obat antipiretik
yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai
efek ringan pada siklooksigenase perifer. Inilah yang menyebabkan Parasetamol hanya
menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang.19
Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung
prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa prostaglandin
dan bukan blokade langsung prostaglandin. Obat ini menekan efek zat pirogen endogen
dengan menghambat sintesa prostaglandin, tetapi demam yang ditimbulkan akibat
pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu oleh sebab
lain, seperti latihan fisik.19
2.2.8 Indikasi
Parasetamol merupakan pilihan lini pertama bagi penanganan demam dan nyeri
sebagai antipiretik dan analgetik. Parasetamol digunakan bagi nyeri yang ringan sampai
sedang.12
2.2.9 Kontra Indikasi
Penderita gangguan fungsi hati yang berat dan penderita hipersensitif terhadap
obat ini.12
2.2.10 Sediaan dan Posologi
Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500 mg atau sirup
yang mengandung 120 mg/5ml. Selain itu Parasetamol terdapat sebagai sediaan
kombinasi tetap, dalam bentuk tablet maupun cairan. Dosis Parasetamol untuk dewasa
300mg-1g per kali, dengan maksimum 4g per hari, untuk anak 6-12 tahun: 150-300
mg/kali, dengan maksimum 1,2g/hari. Untuk anak 1-6 tahun: 60mg/kali, pada keduanya
diberikan maksimum 6 kali sehari.19
2.1.11 Efek Samping
Reaksi alergi terhadap derivate para-aminofenol jarang terjadi. Manifestasinya
berupa eritem atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam dan lesi pada
mukosa. Fenasetin dapat menyebabkan anemia hemolitik, terutama pada pemakaian
kronik. Anemia hemolitik dapat terjadi berdasarkan mekanisme autoimmune, defisiensi
22
23
yang tidak terdapat peroksid sedangkan pada tempat inflamasi terdapat leukosit yang
melepaskan peroksid sehingga efek anti inflamasinya tidak bermakna. Parasetamol
berguna untuk nyeri ringan sampai sedang, seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri paska
melahirkan dan keadaan lain.20
2.3.1 Etiologi
Keracunan paracetamol dapat terjadi akibat penggunaan dosis yang besar, atau
mengonsumsi paracetamol dalam dosis kecil namun berulang-ulang. Keracunan atau
overdosis paracetamol dapat terjadi karena.21,22
1. Overdosis yang disengaja, seperti usaha untuk bunuh diri.
2. Overdosis karena kecelakaan, seperti pada anak-anak karena tidak diawasi orang
tua, salah pengertian dalam mengonsumsi paracetamol, atau orang dewasa yang
menyalahgunakan alkohol.
3. Mengonsumsi beberapa obat
berbeda
yang
kesemuanya
mengandung
24
Meskipun metabolisme parasetamol melalui ginjal tidak begitu berperan, jalur aktivasi
metabolik ini terdapat pada ginjal dan penting secara toksikologi.23
Dalam keadaan normal, NAPQI akan didetoksikasi secara cepat oleh enzim
glutation dari hati. Glutation mengandung gugus sulfhidril yang akan mengikat secara
kovalen radikal bebas NAPQI, menghasilkan konjugat sistein. Sebagiannya lagi akan
diasetilasi menjadi konjugat asam merkapturat, yang kemudian keduanya dapat
diekskresikan melalui urin. 23
Pada paparan parasetamol overdosis, jumlah dan kecepatan pembentukan
NAPQI melebih kapasitas hati dan ginjal untuk mengisi ulang cadangan glutation yang
diperlukan. NAPQI kemudian menyebabkan kerusakan intraseluler diikuti nekrosis
(kematian sel) hati, dan bisa juga menyebabkan kegagalan ginjal (walaupun lebih jarang
kejadiannya).Sebagaimana juga obat-obat lain, bila penggunaan parasetamol tidak
benar, maka berisiko menyebabkan efek yang tidak diinginkan. Parasetamol dalam
jumlah 10 15g (20-30 tablet) dapat menyebabkan kerusakan serius pada hati dan
ginjal. Kerusakan fungsi hati juga bisa terjadi pada peminum alkohol kronik yang
mengkonsumsi parasetamol dengan dosis 2g/hari atau bahkan kurang dari itu. 23
Keracunan parasetamol disebabkan karena akumulasi dari salah satu
metabolitnya yaitu N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI), yang dapat terjadi karena
overdosis, pada pasien malnutrisi, atau pada peminum alkohol kronik. 23
25
26
27
ini seharusnya dikerjakan di rumah sakit pada saat pada awal pasien diterima. Analisis
pendahuluan ini dapat berupa tes rekasi warna, terhadap toksikan yang terdapat dalam
materi biologi (darah, urin, cucian lambung), sisa tablet atau makanan. Belaka-ngan ini
telah berkembang dengan pesat metode uji penapisan yang lebih sederhana dalam
pengerjaannya dan memberikan hasil yang lebih spesifik dibanding-kan rekasi warna,
yaitu metode immunoki-mia immunoassay. Pemeriksaan gas dari buangan pernapasan
juga dikelompokkan dalam tahap ini. Pemeriksaan ini ditujukan pada toksikan yang
dapat dianalisis dalam bentuk gasnya, seperti pada kasus keracunan alkohol, sianida.
Analisis tahap pendahu-luan dalam analisis toksikologi forensik dikelompok-kan ke
dalam uji penapisan. Sedangkan analisis tahap lanjut disebut dengan uji determinasi.
28,29,30
28
Ada
sejumlah
jenis
penyakit
tertentu
dapat
mempe-ngaruhi
sifat
Tidak adanya tanda khas dari hasil autopsi seringkali membuat ahli forensik
bingung kecuali ada kecurigaan telah meminum obat atau racun yang bisa diambil untuk
penyelidikan. Jika tidak ditemukan kelainan morfologi dipertimbangkan untuk
melakukan pemeriksaan toksikologi, yang mana di beberapa pengadilan menjadi sulit
atau sangat mahal. 28,29,30
Obat-obatan yang baik adalah mudah dicerna dan tidak mengiritasi jaringan dan
saluran pencernaan. Kebanyakan dalam praktek forensik dipilih oral, dan baik untuk
efek farmakologis dari organ dan jaringan sasaran yang tidak mengiritasi / merusak
saluran pencernaan. 28,29,30
Obat-obatan bisa menyebabkan kematian dengan cara yang paling sering adalah
gagal jantung, dan yang ke dua menekan SSP. Cara kematian tersebut hanya perubahan
tidak spesifik yang ditemukan pada autopsi, biasanya bukan alasan dasar untuk
kematian. Kegagalan jantung akut, edema paru, kadang-kadang edem otak, patekie pada
membran serosa tidak satupun hal diatas digunakan oleh ahli forensik, yang lebih
mempercayai hasil analisis toksikologi untuk jawaban pasti. 28,29,30
Ada beberapa jenis pengobatan yang meskipun bukan penyebab kelainan dapat
membantu hasil autopsi, seperti pecahnya membran echimosis yang terlihat pada
keracunan aspirin . hal ini bagaimanapun tidak bisa diterima sebagai penyebab
kematian, kecuali ada bukti nyata dan ditemukan sisa-sisa tablet yang tidak habis
dicerna dalam perut.28,29,30
2.4 Contoh Kasus
1. Seorang wanita 38 tahun hamil dengan usia kehamilan 31 minggu dievaluasi
untuk pengobatan akibat overdosis acetaminophen. Dia mengaku lebih dari 26
jam yang lalu mengonsumsi 35 g acetaminophen. Sebuah operasi caesar darurat
29
dilakukan satu jam setelah pengakuan karena gawat janin akut. Bayi perempuan
lahir dengan berat 1.620 gram dan memiliki skor Apgar 0, 0 dan 1 pada menit
ke-1, ke-5 dan ke-10, inisiasi resusitasi segera dilakukan setelah persalinan.
Asidosis tercatat pada ibu selama operasi; hal ini diikuti oleh kegagalan
hepatorenal akut 16 jam setelah masuk. Yang menyebabkan kematian ibu 40 jam
setelah masuk. Bayi juga meninggal 34 jam setelah melahirkan.
2. Seorang wanita berusia 16 tahun datang ke instalasi gawat darurat dengan
keluhan muntah dan mual. Ibunya melaporkan bahwa anaknya tersebut
bertengkar dengan pacarnya tadi malam. Dia membangunkan ibunya dini hari
tadi dan mengatakan bahwa dia merasa sakit. Dia mengakui bahwa tadi malam
ia meminum beberapa pil pada pukul 21.00. Dia telah muntah 3-4 kali di rumah.
Ibunya membawa botol pil dan isi botol pil tersebut adalah tablet asetaminofen
500 mg sebanyak 30 pil. Ada 8 tablet yang tersisa dalam botol (maksimum 11
gram acetaminophen tertelan). Pada pemeriksaan didapatkan Vital Sign : suhu
37.20CP, nadi 88x/menit, napas 18x/menit, dan tekanan darah 110/70 mmHG,
berat badan 50kg. Dia waspada, tenang, menggeleng ya / tidak untuk
pertanyaan, dengan kontak mata yang buruk. Kulitnya berwarna merah muda
dengan perfusi yang baik. Mukosa mulut nya lembab. Denyut jantung teratur
dengan irama normal. Suara paru-paru terdengar jelas dengan aerasi yang baik.
Perutnya yang lembut, dengan suara normoactive usus, nyeri tekan epigastrium
minimal, ada rebound, dan tidak ada penjagaan. Dia waspada, berorientasi, dan
berjalan tentang ruang tanpa kesulitan. Dia diberikan 50 gram arang aktif dengan
sorbitol secara lisan. Dia juga diberi 10 gram N-asetilsistein oral. Tingkat
acetaminophen, tingkat aspirin, darah dan urine layar toksikologi dan beta-HCG
diambil. Tingkat acetaminophen ditarik sebesar 8,5 jam pasca-konsumsi adalah
150 mcg / mL. Dia dirawat di rumah sakit untuk perawatan lebih lanjut serta
evaluasi psikiatri.
30
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Toksikologi forensik adalah penerapan toksikologi umtuk memnantu investigasi
medikolegal dalam kasus kematian, keracuanan maupun penggunaan obat-obatan
mengenai teknologi dan tekhnik dalam memperoleh serta menginterpretasi hasil
seperti : pemaham perilaku zat, sumber penyebab keracunan/pencemaran, metode
pengambilan sample dan analisa, interpretasi data terkait dengan gejala atau efek atau
dampak yang imbul serta bukti-bukti lainnya yang tersedia. pemeriksaan di tempat
kejadian, autopsi, dan analisis toksikologik.
Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara
kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP).
Keracunan parasetamol disebabkan karena akumulasi dari salah satu metabolitnya yaitu
N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI), yang dapat terjadi karena overdosis, pada
pasien malnutrisi, atau pada peminum alkohol kronik. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan adanya riwayat penggunaan obat, uji kualitatif, uji kuantitatif, dan
pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan otopsi dapat ditemukan adanya sisa tablet
dalam lambung yang belum tercerna, hati berwarna kuning pucat atau cokelat, hati
dapat terlihat membesar walaupun beratnya berkurang atau di bawah normal.
3.2 Saran
Perlu dilakukan edukasi pada pasien mengenai efek samping penggunaan obat
paracetamol dan dibutuhkan pengawasan dalam penggunaan obat paracetamol
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Budiawan, Nat. 2008. Peran Tosiologi Forensik dalam Mengungkap Kasus
Keracunan dan Pencemaran Lingkungan. Indonesian Journal of Legal and
Forensic Sciences; 1 (1): 35-39. Jakarta
2. Seekersbpom.Data Keracunan Paracetamol
di
Indonesia
dalam
situs
http://ik.pom.go.id/v2014/
3. ISFI. ISO informasi spesialite obat Indonesia. Vol.41. Jakarta: ISFI; 2006
4. Moynihan R. FDA fails to reduce accessibility of paracetamol despite 450 deaths
a year. BMJ 2002; 325: 678
5. Kedzierska K , Myslak M, Kwiatkowska E, Bober J, Rozanski J et al. Acute
renal failure after paracetamol (acetaminophen) poisoning report of two cases.
[Online].
2003.
Available
from
URL:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?
db=pubmed&cmd=Retrieve&dopt=AbstractPlus&list_uids=11545233&itool=ic
onabstr&query_hl=7&itool=pubmed_docsum
6. Wirasuta, M. A. G., 2008. Analisis Toksikologi Forensik dan Interpretasi
Temuan Analisis. Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciencies, Volume
1, pp. 47-55
7. Esckert, W. G., 1992. Introdution to Forensic Sciences. New York: Elsivier
8. FKUI, B. K. F., 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. 2nd ed. Jakarta: FKUI.
9. Kerrigan, S., 2004. Drug Toxicology for Prosecutors Targeting Hardcore
Impaired Drivers. New Mexico: New Mexico Department of Health Scientific
Laboratory Division Toxicology Bureau
10. Deutsche Forschungsgemeinschaft, D.,
1995.
Einfache
toxikologische
32
15. Yulida.A.N. 2009. Penetapan Kadar Zat Aktif Paracetamol dalam Obat Sediaan
Oral dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
16. Tjay, Tan Hoan dan Rahardja, Kirana. 2007. Obat-obat Penting: Khasiat,
Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya Edisi VI. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo
17. Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen
Kesehatan Republik Indonesia
18. Kumar, V., Cotran, R., dan Robbins, S. 2007. Buku Ajar Patologi Volume 1.
Diterjemahkan oleh Prasetyo, B. dan Toni, P. Jakarta: EGC
19. Mardjono, Mahar. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Universitas Indonesia
Press
20. Kasus keracunan nasional dalam situs http://ik.pom.go.id/v2014/
21. ISFI. ISO informasi spesialite obat Indonesia. Vol.41. Jakarta: ISFI; 2006
22. Moynihan R. FDA fails to reduce accessibility of paracetamol despite 450 deaths
a year. BMJ 2002; 325: 678
23. Olson, K. R., Poisoning and Drug Overdose 5th ed, McGraw-Hill Inc., 2007, p.
68-71.
24. Rumack B, Matthew H (1975). "Acetaminophen poisoning and toxicity".
Pediatrics55 (6): 87176.
25. Gunnell D, Murray V, Hawton K (2000). "Use of paracetamol (acetaminophen)
for suicide and nonfatal poisoning: worldwide patterns of use and misuse".
Suicide & life-threatening behavior30 (4): 31326.
26. Dart RC, Bailey E (2007). "Does therapeutic use of acetaminophen cause acute
liver failure?". Pharmacotherapy27 (9): 121930.
27. Tierney, L.M., Current Medical Diagnosis and Treatment 43rd ed, McGraw-Hill
Inc, 2004, p. 1555-1556.
28. Guidelines
for
the
management
of
paracetamol
overdose
http://www.imvs.sa.gov.au/wps/wcm/connect/5eebbd49-e07b-421b-9034bcd076e3eebe/Paracetamol+overdose.pdf?MOD=AJPERES
29. Larson AM, Polson J, Fontana RJ, Davern TJ, Lalani E, Hynan LS, Reisch JS,
Schidt FV, Ostapowicz G, Shakil AO, Lee WM; Acute Liver Failure Study
Group. (December 2005). "Acetaminophen-induced acute liver failure: results of
a United States multicenter, prospective study". Hepatology (Baltimore, Md.)42
(6): 136472.
30. Boutis K, Shannon M (2001)."Nephrotoxicity after acute severe acetaminophen
poisoning in adolescents".Journal of toxicology.Clinical toxicology (5): 441
33