Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Intoksikasi/ keracunan merupakan permasalahan serius yang perlu ditangani
secara baik. insidens keracunan di dunia secara pasti tidak diketahui, dapat diperkirakan
sekitar 500.000 orang meninggal setiap tahun akibat berbagai macam keracunan. Studi
mengenai prilaku dan efek yang merugikan dari suatu zat terhadap oranisme/ mahluk
hidup disebut toksikologi (berasal dari kata Yunani, toxicos dan logos). Toksikologi
bermanfaat untuk memprediksi atau mengkaji akibat yang berkaitan dengan bahaya
toksik dari suatu zat terhadap manusia dan lingkungannya. Sedangkan toksikologi
forensik adalah penerapan toksikologi untuk membantu investigasi medikolegal dalam
kasus kematian, keracunan maupun penggunaan obat-obatan.1
WHO secara konservatif memperkirakan bahwa kasus keracunan paling tinggi
terjadi di negara-negara sedang berkembang dan meningkat hampir dua kali lipat dalam
sepuluh tahun terakhir ini. Dari laporan Badan Pom untuk kasus keracunan Nasional
yang terjadi di Indonesia tahun 2014 kasus keracunan obat sebanyak 717. 2 Racun
merupakan istilah untuk toksikan yang dalam jumlah sedikit (dosis rendah) dapat
menyebabkan kematian atau penyakit (efek merugikan) yang secara tiba-tiba. Bapak
Toksikologi modern, Paracelsus (1493-1541) menyatakan bahwa semua zat adalah
racun, tidak ada yang bukan racun. Dosis yang tepat membedakan suatu racun dengan
obat. Toksikan (zat toksik) adalah bahan apapun yang dapat memberikan efek yang
berlawanan (merugikan).1
Asetaminofen merupakan salah satu obat analgesik dan antipiretik yang telah
banyak digunakan di seluruh dunia sejak tahun 1950. Di Indonesia sendiri merk obat
yang mengandung asetaminofen dari tahun ke tahun semakin bertambah, dan saat ini
telah tercatat dalam ISO 2006 terdapat 305 merk obat yang mengandung asetaminofen. 3
Analgesik derivat para amino fenol ini telah dapat diperoleh dan digunakan secara
bebas bahkan tanpa perlu menggunakan resep dokter seperti yang saat ini terjadi pada
beberapa negara berkembang termasuk Indonesia. Sesuai dengan laporan United States
Regional Poisons Center yang menyatakan bahwa lebih dari 100.000 kasus per tahun
yang menghubungi pusat informasi keracunan, 56.000 kasus datang ke unit gawat

darurat, 26.000 kasus memerlukan perawatan intensif dirumah sakit dan 450 orang
meninggal akibat keracunan asetaminofen.4
Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara
kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP).
Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalan bentuk sediaan tunggal
sebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat
flu, melalui resep dokter atau yang dijual bebas. Parasetamol adalah paraaminofenol
yang merupakan metabolit fenasetin. Pemakaian dalam jangka waktu yang lama atau
overdosis dari parasetamol dapat menimbulkan hepatotoksisitas, kerusakan yang
ditimbulkan dapat berupa nekrosis dari sel hati dan tubulus ginjal.5
Banyak kesalahan dalam mengkonsumsi obat ini, karena obat digunakan secara
terus menerus untuk menghilangkan gejala rasa sakit yang timbul. Misalnya seorang
yang sering merasakan sakit kepala, untuk mengatasi sakit kepalanya selalu minum
parasetamol. Bila gejala yang dirasakan tidak hilang setelah efek obat habis, yang
bersangkutan seharusnya segera konsultasi ke dokter untuk dicari penyebab penyakitnya
sehingga dapat diobati penyebabnya dengan benar. 5
Karena parasetamol merupakan obat bebas yang digunakan secara luas oleh
masyarakat, maka kemungkinan terjadinya kesalahan dalam penggunaan yang dapat
menyebabkan keracunan parasetamol cukup besar, sehingga dirasa perlu untuk
memberikan informasi mengenai dosis yang tepat dalam penggunaan nya. 5
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian toksikologi forensik ?
2. Bagaimana profil obat paracetamol dalam farmakologi ?
3. Jelaskan intoksikasi paracetamol meliputi definisi, prevalensi, gejala,
pemeriksaan, dan penatalaksanaannya ?
1.3 Tujuan
1. Menjelaskan toksikologi forensik
2. Menjelaskan profil obat paracetamol
3. Menjelaskan intoksikasi paracetamol
1.4 Manfaat
1. Manfaat Teoritis
2

Referat ini dapat dijadikan sebagai sumber bacaan dan pelengkap referensi
mengenai intoksikasi paracetamol.
2. Manfaat Praktis
a. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah dibidang kedokteran.
b. Memenuhi salah satu persyaratan mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal di RSUP DR Kariadi Semarang.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Toksikologi Forensik


2.1.1 Pengertian Toksikologi Forensik
Toksikologi (berasal dari bahasa Yunani yaitu tokskos dan logos yang
merupakan studi mengenai perilaku dan efek yang merugikan dari suatu zat terhadap
suatu organisme/ makhuk hidup).Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari sumber,
sifat serta khasiat racun, gejala-gejala dan pengobatan pada keracunan, serta kelainan
yang didapatkan pada korban yang meninggal. 8
Menurut Ariens dkk. 1986, toksikologi ialah ilmu pengetahuan mengenai kerja
senywa kimia yang merugikan tubuh organisme hidup. Sedangkan menurut Rand dan
Petrocelli 1985, toksikologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang efek
negatif atau efek racun dari bahan-bhan kimia dan material lain hasil kegiatan manusia
terhadap organisme, termasuk bagaimana bahan-bahan tersebut masuk kedalam
organisme.8

Dalam Toksikologi, dipelajari mengenai gejala, mekanisme, cara detoksifikasi


serta deteksi keracunan pada sistem biologis makhluk hidup. Toksikologi sangat
bermanfaat untuk memprediksi atau mengkasi akibat yang berkaitan dengan bahaya
toksik dari suatu zat terhadap manusia dan lingkungannya.8
Tosikologi forensik adalah salah satu cabang forensik sain, yang menekunkan
diri pada aplikasi atau pemanfaatan ilmu toksikologi dan kimia analisis untuk
kepentingan peradilan. Kerja utama dari toksikologi forensik adalah melakukan analisis
kualitatif maupun kuantitatif dari racun dari bukti fisik dan menerjemahkan temuan
analisisnya ke dalam ungkapan apakah ada atau tidaknya racun yang terlibat dalam
tindak kriminal, yang dituduhkan, sebagai bukti dalam tindak kriminal (forensik) di
pengadilan. Hasil analisis dan interpretasi temuan analisisnya ini akan dimuat ke dalam
suatu laporan yang sesuai dengan hukum dan perundangan-undangan. Menurut Hukum
Acara Pidana (KUHAP), laporan ini dapat disebut dengan Surat Keterangan Ahli
atau Surat Keterangan.8
Toksikologi forensik adalah penerapan toksikologi umtuk memnantu investigasi
medikolegal dalam kasus kematian, keracuanan maupun penggunaan obat-obatan. Yang
menjadi perhatian utama dalam toksikologi forensik bukanlah keluaran aspek hukum
dari investigasi secara toksikologi, namun mengenai teknologi dan tekhnik dalam
memperoleh serta menginterpretasi hasil seperti : pemaham perilaku zat, sumber
penyebab keracunan/pencemaran, metode pengambilan sample dan analisa, interpretasi
data terkait dengan gejala atau efek atau dampak yang imbul serta bukti-bukti lainnya
yang tersedia.8
Secara umum tugas toksikolog forensik adalah membantu penegak hukum
khususnya dalam melakukan analisis racun baik kualitatif maupun kuantitatif dan
kemudian menerjemahkan hasil analisis ke dalam suatu laporan (surat, surat keterangan
ahli atau saksi ahli), sebagai bukti dalam tindak kriminal (forensik) di pengadilan. Lebih
jelasnya toksikologi forensik mencangkup terapan ilmu alam dalam analisis racun
sebagi bukti dalam tindak kriminal, dengan tujuan mendeteksi dan mengidentifikasi
konsentrasi dari zat racun dan metabolitnya dari cairan biologis dan akhirnya
menginterpretasikan temuan analisis dalam suatu argumentasi tentang penyebab
keracunan dari suatu kasus.8

Menurut masyarakat toksikologi forensik amerika society of forensic


toxicologist, inc. SOFT bidang kerja toksikologi forensik meliputi analisis dan
mengevaluasi racun penyebab kematian, analisis ada/tidaknya alkohol, obat terlarang di
dalam cairan tubuh atau napas, yang dapat mengakibatkan perubahan prilaku
(menurunnya kemampuan mengendarai kendaraan bermotor di jalan raya, tindak
kekerasan dan kejahatan, penggunaan dooping), dan analisis obat terlarang di darah dan
urin pada kasus penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan obat terlarang lainnya.8
Dalam mengungkap kasus kejahatan/ pencemaran lingkungan, toksikologis
forensik digunakan untuk memahami perilaku pencemaran, mengapa dapat bersifat
toksik terhadap biota dan manusia, dan sejauh mana resikonya, serta mengindentifikasi
sumber dan waktu pelepasan suatu bahan pencemaran.8
2.1.2 Penggolongan
Berdasarkan sumber, dapat dibagi menjadi racun yang berasal dari tumbuhtumbuhan ; opium (dari papaver somniferum), kokain, kurare, aflatoksin (dari
aspergilus niger), berasal dari hewan : bisa / toksin ular/laba-laba/hewan laut, mineral :
arsen, timah hitam atau sintetik : heroin. 8
Berdasarkan tempat racun berada, dapat dibagi menjadi racun yang terdapat
dialam bebas, misalnya gas racun dialam, racun yang terdapat dirumah tangga; misalnya
detergen, disenfektan, insektisida, pembersih (cleaners). Racun yang digunakan dalam
pertanian, misalnya insektisida, herbisida, pestisida. Racun yang digunakan dalam
industri dan laboratorium, misalnya asam dan basa kuat, logam berat. Racun yang
terdapat dalam makanan, misalnya CN dalam singkong, toksin botulinus, bahan
pengawet, zat aditif serta racun dalam bentuk obat, isalnya hipnotik, sedatif, dll.8

Gambar 2.1 Sumber Racun7


Dapat pula pembagian racun berdasarkan organ tubuh yang dipengaruhi,
misalnya racun yang bersifat hepatotoksik, nefrotoksik. Berdasarkan mekanisme kerja,
dikenal racun yang mengikat gugus sulfhidril (-SH) misalnya Pb, yang berpengaruh
pada ATP-ase, yang membentuk methemoglobin misalnya nitrat dan nitrit. (Nitrat dalam
usus oleh flora usus diubah menjadi nitrit).8
Pembagian lain didasarkan atas cara kerja/efek yang ditimbulkan. Ada racun
yang bekerja lokal dan menimbulkan beberapa reaksi misalnya peransanganm
peradangan atau korosif. Keadaan ini dapat menimbulkan rasa nyeri yang hebat dan
dapat menyebabkan kematian akibat syok neurogenik. Contoh racun korosif adalah
asam dan basa kuat : H2SO4, HNO3, NaOH, KOH; golongan halogen seperti fenol,
lisol dan senyawa logam. Racun yang bekerja sisitemik dan mempunyai afinitas
terhadap salah satu sistem misalnya barbiturat, alkohol, morfin terhadap susunan saraf
pusat, digitalis, oksalat terhadap jantung, CO terhadap hemoglobin darah. Terdapat pula
racun yang mempunyai efek lokal dan sistemik sekaligus misalnya asam karbol
menyebabkan erosi lambung dan sebagian yang diabsorbsi akan menimbulkan depresi
susunan sarap pusat. Tetra-etil yang masih terdapat dalam campuran bensin selain
mempunyai efek iritasi, jika diserap dapat menimbulkan hemolisis akut.8
2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Keracunan
1. Cara masuk. Keracunan paling cepat terjadi jika masuknya racun secara inhalasi.
Cara masuk lain secara berturut-turut melalui intravena, intramuskular,
intraperitoneal, subkutan, peroral dan paling lambat ialah melalui kulit yang
sehat.
2. Umur. Orang tua dan anak-anak lebih sensitif misalnya pada barbiturat. Bayi
prematur lebih rentan terhadap obat oleh karena eksresi melalui ginjal belum
sempurna dan aktifitas mikrosom dalam hati belum cukup.
3. Kondisi tubuh. Penderita penyakit ginjal umumnya lebih mudah mengalami
keracunan. Pada penderita demam dan penyakit lambung absorbs jadi lebih
lambat.
4. Kebiasaan. Berpengaruh pada golongan alkohol dan morfin dikarenakan terjadi
toleransi pada orang yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi alkohol.

5. Idiosinkrasi dan alergi. Pada vitamin E, penisilin, streptomisin dan prokain.


Pengaruh langsung racun tergantung pada takaran, makin tingi takaran maka
akan makin cepat (kuat) keracunan. Konsentrasi berpengaruh pada racun yang
bersifat lokal, misalnya asam sulfat.
6. Waktu pemberian.8

2.1.4 Pemeriksaan Forensik pada Kasus Keracunan


Korban mati akibat keracunan umumnya dapat dibagi menjadi 2 golongan, yang
sejak semula sudah dicurigai kematian akibat keracunan dan kasus yang sampai saat
sebelum di autopsi dilakukan, belum ada kecurigaan terhadap kemungkinan keracunan.
Harus dipikirkan kemungkinan kematian akibat keracuan bila pada pemeriksaan
setempat (scene investigation) terdapat kecurigaan akan keracunan, bila pada autopsi
ditemukan kelainan yang lazim ditemukan pada keracunan dengan zat tertentu,
misalnya lebam mayat yang tidak biasa, luka bekas suntikan sepanjang vena dan
keluarnya buih dari mulut dan hidung serta bila pada autopsi tidak ditemukan penyebab
kematian. Dalam menangani kasus kematian akibat keracunan perlu dilakukan beberapa
pemeriksaan penting, yaitu pemeriksaan di tempat kejadian, autopsi, dan analisis
toksikologik.8
2.1.4.1 Pemeriksaan di Tempat Kejadian
Perlu dilakukan untuk membantu penentuan penyebab kematian dan menentukan
cara kematian.
1. Mengumpulkan keterangan sebanyak mungkin tentang saat kematian
2. Mengumpulkan barang bukti
3. Pemeriksaan luar
a. Bau. Dari bau yang tercium dapat diperoleh petunjuk racun apa yang
kiranya ditelan oleh korban. Segera setelah pemeriksa berada di samping
mayat ia harus menekan dada mayat untuk menentukan apakah ada suatu
bau yang tidak biasa keluar dari lubang hidung dan mulut
b. Segera. Pemeriksa harus segera berada di samping mayat dan harus
menekan dada mayat dan menentukan apakah ada suatu bau yang tidak
biasa keluar dari lubang hidung dan mulut

c. Pakaian. Pada pakaian dapat ditemukan bercak-bercak yang disebabkan


tercecernya racun yang ditelan atau oleh muntahan. Misalnya bercak
berwarna coklat karena asam sulfat atau kuning karena asam nitrat
d. Lebam mayat. Warna lebam mayat yang tidak biasa juga mempunyai
makna, karena warna lebam mayat pada dasarnya adalah manifestasi
warna darah yang tampak pada kulit
e. Perubahan warna kulit. Pada hiperpigmentasi atau melanosis dan keratosis
pada telapak tangan dan kaki pada keracunan arsen kronik. Kulit berwarna
kelabu kebirubiruan akibat keraunan perak (Ag) kronik (deposisi perak
dalam jaringan ikat dan korium kulit). Kulit akan berwarna kuning pada
keracunan tembaga (Cu) dan fosfor akibat hemolisis juga pada keracunan
insektisida hidrokarbon dan arsen karena terjadi gangguan fungsi hati
f. Kuku. Keracunan arsen kronik dapat ditemukan kuku yang menebal yang
tidak teratur. Pada keracunan Talium kronik ditemukan kelainan trofik
pada kuku
g. Rambut. Kebotakan (alopesia) dapat ditemukan pada keracunan talium,
arsen, ari raksa dan boraks
h. Sklera. Tampak ikterik pada keracunan dengan zat hepatotoksik seperti
fosfor, karbon tetraklorida. Perdarahan pada pemakaian dicoumarol atau
akibat bisa ular.8
2.1.4.2 Pembedahan Jenazah
Segera setelah rongga dada dan perut dibuka, tentukan apakah terdapat bau
yang tidak biasa (bau racun). Bila pada pemeriksaan luar tidak tercium "bau racun"
maka sebaiknya rongga tengkorak dibuka terlebih dahulu agar bau visera perut tidak
menyelubungi bau tersebut, terutama bila dicurigai adalah sianida. Bau sianida,
alkohol, kloroform, dan eter akan tercium paling kuat dalam rongga tengkorak.
Perhatikan warna darah. Pada intoksikasi dengan racun yang menimbulkan hemolisis
(bisa ular), pirogarol, hidrokuinon, dinitrophenol dan arsen. Darah dan organ-organ
dalam berwarna coklat kemerahan gelap.8
Pada racun yang menimbulkan gangguan trombosit, akan terdapat banyak
bercak perdarahan, pada organ-organ. Bila terjadi keracunan yang cepat menimbulkan
kematian, misalnya sianida, alcohol, kloroform maka darah dalam jantung dan
pembuluh darah besar tetap cair tidak terdapat bekuan darah. Pada lidah perhatikan

apakah ternoda oleh warna tablet atau kapsul obat atau menunjukan kelainan
disebabkan oleh zat korosif. Pada esophagus bagian atas dibuka sampai pada ikatan
atas diafragma. Adakah terdapat regurgitasi dan selaput lendir diperhatikan akan
adanya hiperemi dan korosi. Pada epiglotis dan glotis perhatikan apakah terdapat
hiperemi atau edema, disebabkan oleh inhalasi atau aspirasi gas atau uap yang
meransang atau akibat regurgitasi dan aspirasi zat yang meransang. Edema glotis juga
dapat ditemukan pada pemakaian akibat syok anafilaktik, misalnya akibat penisilin.8
Pada pemeriksaan paru-paru ditemukan kelainan yang tidak spesifik, berupa
pembendungan akut. Pada inhalasi gas yang meransang seperti klorin dan nitrogen
oksida ditemukan pembendungan dan edema hebat, serta emfisema akut karena terjadi
batuk, dipsneu dan spasme bronki. Pada lambung dan usus dua belas jari lambung
dibuka sepanjang kurvakura mayor dan diperhatikan apakah mengeluarkan bau yang
tidak biasa. Perhatikan isi lambung warnanya dan terdiri dari bahan-bahan apa. Bila
terdapat tablet atau kapsul diambil dengan sendok dan disimpan secara terpisah untuk
mencegah disintegrasi tablet/kapsul. Pada kasus - kasus non-toksikologik hendaknya
pembukaan lambung ditunda sampai saat akhir otopsi atau sampai pemeriksa telah
menemukan penyebab kematian. Hal ini penting karena umumnya pemeriksa baru
teringat pada keracunan setelah pada akhir autopsi ia tidak dapat menemukan
penyebab kematian.8
Pemeriksaan usus diperlukan pada kematian yang terjadi beberapa jam setelah
korban menelan zat beracun dan ini ingin diketahui berapa lama waktu tersebut. Pada
hati apakah terdapat degenerasi lemak atau nekrosis. Degenerasi lemak sering
ditemukan pada peminum alcohol. Nekrosis dapat ditemukan pada keracunan fosfor,
karbon tetraklorida, klorform dan trinitro toulena.8
Pada ginjal terjadi perubahan degeneratif, pada kortek ginjal dapat disebabkan
oleh racun yang meransang. Ginjal agak membesar, korteks membengkak, gambaran
tidak jelas dan berwarna suram kelabu kuning. Perubahan ini dapat dijumpai pada
keracunan dengan persenyawaan bismuth, air raksa, sulfonamide, fenol, lisol, karbon
tetraklorida. Umumnya analisis toksikologik ginjal terbatas pada kasus-kasus
keracunan logam berat atau pada pencarian racun secara umum atau pada
pemeriksaan histologik ditemukan Kristal-kristal Caoksalat atau sulfonamide.8

10

Pemeriksaan urin dilakukan dengan semprit dan jarum yang bersih, seluruh
urin diambil dari kandung kemih. Bila bahan akan dikirim ke kota lain untuk
dilakukan pemeriksaan maka urin dibiarkan berada dalam kandung kemih dan dikirim
dengan cara intoto, prostat dan kedua ureter diikat dengan tali. Walaupun kandung
kemih dalam keadaan kosong, kandung kemih harus tetap diambil untuk pemriksaan
toksikologik.8
Pemeriksaan otak biasanya tidak ditemukan adanya edema otak pada kasus
kematian yang cepat, misalnya pada kematian akibat barbiturat, eter dan juga pada
keracunan kronik arsen atau timah hitam. Perdarahan kecil-kecil dalam otak dapat
ditemukan pada keracunan karbonmonoksida, barbiturat, nitrogen oksida, dan logam
berat seperti air raksa air raksa, arsen dan tmah hitam. Obat-obat yang bekerja pada
otak tidak selalu terdapat dalam konsentrasi tinggi dalam jaringan otak.8
Pada pemeriksaan jantung dengan kasus keracunan karbon monoksida bila
korban hidup selama 48 jam atau lebih dapat ditemukan perdarahan berbercak dalam
otot septum interventrikel bagian ventrikel kiri atau perdarahan bergaris pada
muskulus papilaris ventrikel kiri dengan garis menyebar radier dari ujung otot tersebut
sehingga tampak gambaran seperti kipas.8
Pada pemeriksaan limpa selain pembendungan akut limpa tidak menunjukkan
kelainan patologik. Pada keracunan sianida, limpa diambil karena karena kadar
sianida dalam limpa beberapa kali lebih besar daripada kadar dalam darah. Empedu
merupakan bahan yang baik untuk penentuan glutetimida, quabaina, morfin dan
heroin. Pada keracunan karena inhalasi gas atau uap beracun, paru-paru diambil,
dalam botol kedap udara.8
Jaring lemak diambil sebanyak 200 gram dari jaringan lemak bawah kulit
daerah perut. Beberapa racun cepat di absorpsi dalam jaringan lemak dan kemudian
dengan lambat dilepaskan kedalam darah. Jika terdapat persangkaan bahwa korban
meninggal akibat penyuntikan jaringan di sekitar tempat suntikan diambil dalam
radius 5-10 cm.8
Pada dugaan keracunan arsen rambut kepala dan kuku harus diambil. Rambut
diikat terlebih dahulu sebelum dicabut, harus berikut akar-akarnya, dan kemudian
diberi label agar ahli toksikologi dapat mengenali mana bagian yang proksimal dan
bagian distal. Rambut diambil kira-kira 10 gram tanpa menggunakan pengawet. Kadar

11

arsen ditentukan dari setiap bagian rambut yang telah digunting beberapa bagian yang
dimulai dari bagian proksimal dan setiap bagian panjangnya inci atau 1 cm.
terhadap setiap bagian itu ditentukan kadar arsennya.8
Kuku diambil sebanyak 10 gram, didalamnya selalu harus terdapat kuku-kuku kedua ibu
jari tangan dan ibu jari kaki. Kuku dicabut dan dikirim tanpa diawetkan. Ahli
toksikologi membagi kuku menjadi 3 bagian mulai dari proksimal. Kadar tertinggi
ditemukan pada 1/3 bagian proksimal.
2.1.4.3 Analisis Toksikologik
1. Pengambilan Bahan Pemeriksaan Toksikologik
Lebih baik mengambil bahan dalam keadaan segar dan lengkap pada waktu
autopsi daripada kemudian harus mengadakan penggalian kubur untuk
mengambil bahan-bahan yang diperlukan dan melakukan analisis toksikologik
atas jaringan yang sudah busuk atau sudah diawetkan.8
a. Pengambilan darah dari jantung dilakukan secara terpisah dari sebelah
kanan dan sebelah kiri masing-masing sebnayak 50 ml. Darah tepi
sebanyak 30-50 ml, diambil dari vena iliaka komunis bukan darah dari
vena porta. Pada korban yang masih hidup, darah adalah bahan yang
terpenting, diambil 2 contoh darah masing-masing 5 ml, yang pertama
diberi pengawet NaF 1% dan yang lain tanpa pengawet.
b. Urin dan bilasan lambung diambil semua yang ada didalam kandung
kemih untuk pemeriksaannya. Pada mayat diambil lambung beserta isinya.
Usus beserta isinya berguna terutama bila kematian terjadi dalam waktu
beberapa jam setelah menelan racun sehingga dapat diperkirakan saat
kematian dan dapat pula ditemukan pil yang tidak hancur oleh lambung.
c. Organ hati harus diambil setelah disisihkan untuk pemeriksaan patologi
anatomi dengan alasan takaran forensik kebanyakan racun sangat kecil,
hanya beberapa mg/kg sehingga kadar racun dalam tubuh sangat rendah
dan untuk menemukan racun, bahan pemeriksaan harus banyak, serta hati
merupakan tempat detoksikasi tubuh terpenting.
d. Ginjal harus diambil keduanya, organ ini penting pada keadan intoksikasi
logam, pemeriksaan racun secara umum dan pada kasus dimana secara
histologik ditemukan Caoksalat dan sulfo-namide. Pada otak, jaringan
lipoid dalam otak mampu menahan racun. Misalnya CHCI3 tetap ada

12

walaupun jaringan otak telah membusuk. Otak bagian tengah penting pada
intoksikasi CN karena tahan terhadap pembusukan. Untuk menghidari
cairan empedu mengalir ke hati dan mengacaukan pemeriksaan, sebaiknya
kandung empedu jangan dibuka.8
2. Wadah Bahan Pemeriksaan Toksikologi
Untuk wadah pemeriksaan toksikologi idealnya diperllukan minimal 9 wadah,
karena masing-masing bahan pemeriksaan ditempatkan secara tersendiri, tidak
boleh dicampur, yaitu :8
a. 2 buah toples masing-masing 2 liter untuk hati dan usus.
b. 3 buah toples masing-masing 1 liter untuk lambung beserta isinya, otak dan
ginjal.
c. 4 buah botol masing-masing 25 ml untuk darah (2 buah) urine dan empedu
d. Wadah harus dibersihkan terlebih dahulu dengan mencuci dengan asam
Kromat hangat lalu dibilas dengan Aquades dan dikkeringkan. Pemeriksaan
toksikologi yang dapat dilakukan selain penentuan kadar AchE dalam darah
dan plasma dapat juga dilakukan pemeriksaan.
e. Kristalografi
Bahan yang dicurigai berupa sisa makanan/ minuman, muntahan, isi
lambung dimasukan ke dalam gelas beker, dipanasakan dalam pemanas air
sampai kering, kerimudian dilarutkan dalam aceton dan disaring dengan
kertas saring. Filtrate yang didapat, diteteskan di bawah mikroskop. Bila
bentuk Kristal-kristal seperti sapu, ini adalah golongan hidrokarbon
terklorisasi.
f. Kromatografi lapisan tipis (TLC)
Kaca berukuran 20cmx20cm, dilapisi dengan absorben gel silikat atau
dengan alumunium oksida, lalu dipanaskan dalam oven 110 C selama 1 jam.
Filtrate yang akan diperiksa (hasil ekstraksi dari darah atau jaringan korban)
diteteskan dengan mikropipet pada kaca, disertai dengan tetesan lain yang
telah diketahui golongan dan jenis serta konsentrasinya sebagai pembanding.
Ujung kaca TLC dicelupkan ke dalam pelarut, biasanya n-Hexan. Celupan
tidak boleh mengenai tetesan tersebut diatas. Dengan daya kapilaritas maka
pelarut akan ditarik keatas sambil melarutkan filitrat-filitrat tadi. Setelah itu
kaca TLC dikeringkan lalu disemprot dengan reagensia Paladum klorida
0,5% dalam HCL pekat, kemudian dengan Difenilamin 0,5% dalam alcohol.
Interprestasi : warna hitam (gelap) berarti golongan hidrokarbon terklorinasi
sedangkan bila berwarna hijau dengan dasar dadu berarti golongan
13

organofosfat.Untuk menentukan jenis dalam golongannya dapat dilakukan


dengan menentukan Rf masing-masing bercak. Angka yang didapat
dicocokan dengan standar, maka jenisnya dapat ditentukan dengan
membandingkan

besar

bercak

dan

intensitas

warnanya

dengan

pembandingan, dapat diketahui konsentrasinya secara semikuantatif.8

Gambar 2.2 Wadah Pengawet7


3. Bahan Pengawet
Sebenarnya yang paling baik adalah tanpa pengawet, tetapi bahan pmeriksaan
harus disimpan dalam lemari es. Bila terpaksa misalnya larena pemeriksaan
toksikologik tidak dapat dilakukan dengan segera tetapi beberapa hari kemudian,
maka dapat digunakan bahan pengawet yaitu: a) alcohol absolut; b) larutan
garam dapur jenuh; c) larutan NaF 1% dan NaF + Na sitrat ( 5 ml NaF + Na
sitrat untuk tiap 10 ml bahan); dan e) Na Benzoat + fenil merkuri nitrat ( hanya
untuk urin). Volume pengawet sebaiknya minimal

dua kali volume bahan

pemeriksaan. Penggunaan pengawet alcohol tidak dapat dibenerkan pada


keracunan alcohol dan sebaiknya juga tidak digunakan untuk racun yang mudah
menguap.8
4. Cara Pengiriman
Apabila pemeriksaan toksikologi dilakukan di institusi lain, maka pengiriman
bahan pemeriksaan harus memenuhi kriteria :
a. Satu tempat hanya berisi satu contoh bahan pemeriksaan
b. Contoh bahan pengawet harus disertakan untuk control
c. Tiap tempat yang telah terisi disegel dan diberi label yang memuat
keterangan mengenai tempat pengambilan bahan, nama korban, bahan
pengawet dan isinya
d. Disertakan hasil pemeriksaan otopsi secara singkat jika mungkin disertakan
anamnesis dan gejala klinis

14

e. Surat permintaan pemeriksaan dari penyidik harus disertakan dan memuat


identitas korban dengan lengkap dan dugaa racun apa yang menyebabkan
intoksikasi
f. Hasil otopsi dikemas dalam kotak dan harus dijaga agar botol tertutup rapat
sehingga tidak ada kemungkinan tumpah atau pecah pada saat pengiriman.
Kotak diikat dengan tali yang setiap persilangannya diikat mati serta diberi
lak pengaman.
g. Penyegelan dilakukan oleh Polisi yang mana juga harus dabuat berita acara
penyegelan dan berita acara ini harus disertakan dalam pengiriman.
Demikian pula berita acara penyegelan barang bukti lain seperti barang bukti
atau obat. Dalam berita acara tersebut harus terdapat contoh kertas
pembungkus, segel, atau materi yang digunakan.
h. Pada pengambilan contoh bahan dari korban hidup, alcohol tidak dapat
dipakai untuk desinfektan local, hal ini untuk menghilangkan kesulitan
dalam penarikan kesimpulan bila kasus menyangkut alcohol. Sebagai
gantinya dapat digunakan sublimate 1% atau mercuri klorida 1%.
Setelah semua proses pemeriksaan diatas dilakukan oleh ahlikedokteran
kehakiman maka hasil pemeriksaan tersebut dituangkan ke dalamsebuah surat yaitu
surat visum et repertum. Setelah dibuat berdasarkan aturanyang berlaku maka surat
tersebut sudah dapat digunakan sebagai alat bukti didalam proses peradilan7.
2.1.5 Pentingnya Biomarker dalam Investigasi Toksikologi
Untuk menentukan suatu paparan dalam suatu zat toksik dapat dilakukan analisa
jaringan dan airan tubuh. Hal ini ditunjukkan untuk mengukur zat itu sendiri,
metaboliknya, atau enzim-enzim dan bahan atau respon biologi lainnya sebagai akibat
dari pengaruh zat toksik tersebut. Penetapan zat sebagai petanda bio (biomarker) dengan
cara demikian dikenal sebagai biomonitoring, dan dapat memberikan suatu indikasi
penyebab/ sumber paparan dan dosis internal dari zat toksik.8
Biomonitoring (pemantauan biologis), merupakan suatu deteksi adanya paparan
zat beracun dan berbahaya baik dalam jaringan (organ sel), sekresi, eksresi, udara
pernapasan , atau kombinasi dalam makhlik hidup. Biomarker dapat didefinisikan
sebagai parameter yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi suatu efek beracun dalam

15

organisme. Senyawa spesifik tersebut mampu menggambarkan jenis paparan (bahan


kimia), status paparan mekanisme aksi suatu paparan dan peruahan biokimia atau
fisiologi atau perubahan lain yang dapat diukur serta memproduksi resiko dampak/
penyakit yang akan muncul.8
Contoh biomarker suatu toksik yang bersumber dari lingkungan, tangan
terkontaminasi, maupun penyalahgunaan bahan toksik kimia :

Merkuri dalam logam lain dalam pangan atau dalam spesimen biologi seperti :
seperti darah, urine, kuku dan rambut untuk menginvestigasi kasus keraunan

logam dan pangan, maupun pencemaran lingkungan didaerah pertambangan


Asam t,t-mukokonat dalam urine (sebagai biomaker benzena) untuk
meninvestigasi kasus pencemaran air, panagn dan udara akibat bhan beracun

emisi hidrokarbon, kebakaran hutan, dll.


Aktivitas asetilkoniesterase dalam darah untuk investigasi kasus keracunan atau
pencemaran pestisida orgaofosfat dan karbanat8
Darah dan urine merupakan media utama sebagai petanda biologi terhadap

paparan zat toksik. Darah dalam urine, sebagimana udara pernafasan dan saliva, dapat
digunakan untuk mendokumentasikan paparan terkini ; paparan dimasa lalu dapat
dievaluasi menggunakan darah dan urine sebagaimana jaringan yang mengandung
keratin (rambut dan kuku), jaringan menulang (gigi dan tulang), jaringan adiposa dan
air susu. Media lain yang tersedia dalam studi biomarker meliputi feses, dahak, dll.
Waktu pengambilan sampel spesimen biologis tergantung dari toksikokinetik masingmasing zat.8
2.1.6 Kriteria Diagnostik
Diagnosa keracunan didasarkan atas adanya tanda dan gejala yang sesuai dengan
racun penyebab. Dengan analisis kimiawi dapat dibuktikan adanya racun dari sisa
barang bukti. Yang terpenting pada penegakan diagnosis keracunan adalah dapat
ditemukan racun/sisa racun dalam tubuh/cairan tubuh korban, jika racun menjalar secara
sistemik serta terdapatnya kelainan pada tubuh korban, baik makroskopis maupun
mikroskopis yang sesuai dengan racun penyebab. Selain itu perlu pula dipastikan bahwa
korban tersebut benr-benar kontak dengan racun. Yang perlu diperhatikan untuk
pemeriksaan korban keracunan ialah : keterangan tentang racun apa kira-kira yang

16

merupakan penyebabnya, dengan demikian pemeriksaan dapat dilakukan dengan lebih


terarah dan dapat menghemat waktu, tenaga dan biaya.8
2.1.7 Prinsip Pengobatan
Pengobatan terhadap kasus keracunan terutama berdasarkan cara masuk racun
kedalam tubuh. Bila racun ditelan, keluarkan racun tersebut sebanyak mungkin, dengan
jalan memuntahkan (dengan meransang dinding faring atau pemberian emetik, misalnya
sirup ipecacuanha). Tetapi jika kesadaran sangat menurun, atau racun bersifat korosif
atau racun terlarut dalam minyak, maka usaha untuk memuntahkan merupakan indikasi
kontra.8
Aspirasi dan bilas lambung, merupakan indikasi untuk mengeluarkan racun
nonkorosif dan racun yang menekan susunan saraf pusat. Untik ini diberikan air hangat
atau garam lemah. Dapat juga diberikan norit. (imsikasi kon tra seperti pada cara
memuntahkan).8
Pemberian pencahar, misalnya natrium sulfat 30 g dalam 200 cc air.
Mempercepat eksresi dengan dialisis (pemberian diuretik merupakan indikasi kontra).
Dapat pula dengan pemberian antidotum spesifik, pada keracunan morfin, diberikan
nalorfin atau nalokson, (keduanya bersifat antagonis terhadap morfin, tetapi nalorfin
kadang-kadang dapat juga bersifat agonis, sedangkan nalokson murni antagonis).
Demulcen dalam bentuk pemberian putih telur sebanyak 3 butir yang dilarutkan dalam
500 cc air/susu dengan maksud untuk menghambat absorbsi.8
Pengobatan simptomatik dan suportif perlu dipertimbangkan, tergantung dari
gejala yang timbul. Jika terdapat gejala berupa kejang jangan diberikan barbiturat tetapi
sebaiknya benzodiazepam.8
Bila racun masuk secara inhalasi, keluarkan korban dari ruangan agar tehindar
dari inhalasi lebih lanjut. Bila secara parenteral pertimbangkan untuk pemasangan
torniquet. Bila masuk melalui kulit atau mengenai mata, bersihkan dengan air ledeng
mengalir, jangan dengan bahan kimia.8
2.2 Parasetamol
2.2.1 Pengertian

17

Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara


kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP).
Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan
tunggal sebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan
obat flu, melalui resep dokter atau yang dijual bebas.11

Gambar 2.3 Sediaan Paracetamol


Parasetamol adalah paraaminofenol yang merupakan metabolit fenasetin dan
telah digunakan sejak tahun 1893. Parasetamol (asetaminofen) mempunyai daya kerja
analgetik, antipiretik, tidak mempunyai daya kerja anti radang dan tidak menyebabkan
iritasi serta peradangan lambung12. Hal ini disebabkan Parasetamol bekerja pada tempat
yang tidak terdapat peroksid sedangkan pada tempat inflamasi terdapat lekosit yang
melepaskan peroksid sehingga efek anti inflamasinya tidak bermakna. Parasetamol
berguna untuk nyeri ringan sampai sedang, seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri paska
melahirkan dan keadaan lain.13
Parasetamol, mempunyai daya kerja analgetik dan antipiretik sama dengan
asetosal, meskipun secara kimia tidak berkaitan. Tidak seperti Asetosal, Parasetamol
tidak mempunyai daya kerja antiradang, dan tidak menimbulkan iritasi dan pendarahan
lambung. Sebagai obat antipiretika, dapat digunakan baik Asetosal, Salsilamid maupun
Parasetamol. Diantara ketiga obat tersebut, Parasetamol mempunyai efek samping yang
paling ringan dan aman untuk anak-anak. Untuk anak-anak di bawah umur dua tahun
sebaiknya digunakan Parasetamol, kecuali ada pertimbangan khusus lainnya dari dokter.
Dari penelitian pada anak-anak dapat diketahui bahawa kombinasi Asetosal dengan
Parasetamol bekerja lebih efektif terhadap demam daripada jika diberikan sendirisendiri.14

18

2.2.2 Sejarah Parasetamol


Pada tahun 1946, Lembaga Studi Analgetik dan obat-obatan sedative telah
memberi bantuan kepada Departemen Kesehatan New York untuk mengkaji masalah
yang berkaitan dengan agen analgetik. Bernard Brodie dan Julius Axelrod telah
ditugaskan untuk mengkaji mengapa agen bukan aspirin dikaitkan dengan adanya
methemoglobinemia, sejenis keadaan darah tidak berbahaya.16
Di dalam tulisan mereka pada 1948, Brodie dan Axelrod mengaitkan
penggunaan asetanilida dengan methemoglobinemia, dan mendapati pengaruh analgetik
asetanilida adalah disebabkan metabolit Parasetamol aktif. Mereka membela
penggunaan Parasetamol karena memandang bahan kimia ini tidak mengahasilkan
racun asetanilida. Derivat- asetanilida ini adalah metabolit dari fenasetin, yang dahulu
banyak digunakan sebagai analgetik, tetapi pada tahun 1978 telah ditarik dari peredaran
karena efek sampingnya (nefrotoksisitas dan karsinogen).16
Khasiatnya analgetik dan antipiretik, tetapi tidak antiradang. Dewasa ini pada
umumnya dianggap sebagai zat anti nyeri yang paling aman, juga untuk swamedikasi
(pengobatan mandiri). Efek analgetiknya diperkuat oleh kafein dengan kira-kira 50%
dan kodein. Resorpsinya dari usus cepat dan praktis tuntas, secara rectal lebih lambat.
Efek samping tak jarang terjadi, antara lain reaksi hipersensitivitas dan kelainan darah15.
Overdosis bisa menimbulkan mual, muntah dan anoreksia. Penanggulangannya
dengan cuci lambung, juga perlu diberikan zat-zat penawar (asam amino N-asetilsistein
atau metionin) sedini mungkin, sebaiknya dalam 8-10 jam setelah intoksikasi. Wanita
hamil dapat menggunakan Parasetamol dengan aman, juga selama laktasi walaupun
mencapai air susu ibu. Interaksi pada dosis tinggi memperkuat efek antikoagulansia, dan
pada dosis biasa tidak interaktif.16
2.2.3 Struktur Kimia Parasetamol

Gambar 2.4 Struktur Kimia Parasetamol13


19

2.2.4 Sifat Fisika dan Kimia Parasetamol


Nama kimia : 4-hidroksiasetanilida
Rumus molekul : C8H9NO2
Rumus bangun : HO

NHCOCH3

Rumus Empiris : C8H9NO2


Berat Molekul : 151.16
Pemerian : Serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit
Kelarutan : Larut dalam air mendidih, natrium hidroksida 1 N, dan etanol
Jarak lebur : Antara 168 dan 172
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat dan tidak tembus cahaya17
2.2.5 Mekanisme kerja
Bekerja pada hipotalamus untuk menghasilkam efek antipiretik. Dapat bekerja
pada perifer untuk menghambat impuls nyeri, juga dapat menghambat sintesis
prostaglandin pada SSP.13

Gambar 2.5 Pembentukan metabolit asam arakhidonat18

20

2.2.6 Farmakokinetik
1. Absorpsi
Parasetamol yang diberikan secara oral diserap secara cepat dan mencapai kadar
serum puncak dalam waktu 30 120 menit. Adanya makanan dalam lambung
akan sedikit memperlambat penyerapan sediaan parasetamol lepas lambat
2. Distribusi
Parasetamol terdistribusi dengan cepat pada hampir seluruh jaringan tubuh.
Lebih kurang 25% parasetamol dalam darah terikat pada protein plasma. Waktu
paruh parasetamol adalah antara 1,25 3 jam. Penderita kerusakan hati dan
konsumsi parasetamol dengan dosis toksik dapat memperpanjang waktu paruh
zat ini
3. Metabolisme : metabolisme paracetamol terjadi di hati
4. Ekskresi
Sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui urin dan 80-90 %
dikonjugasi dengan asam glukoronik atau asam sulfurik kemudian diekskresi
melalui urin dalam satu hari pertama; sebagian dihidroksilasi menjadi N asetil
benzokuinon yang sangat reaktif dan berpotensi menjadi metabolit berbahaya.
Pada dosis normal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari glutation menjadi
substansi nontoksik. Pada dosis besar akan berikatan dengan sulfhidril dari
protein hati.11
2.2.7 Farmakodinamik
Efek analgesik Parasetamol dan Fenasetin serupa dengan Salisilat yaitu
menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan
suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti
salisilat. Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu Parasetamol dan
Fenasetin tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat
biosintesis prostaglandin (PG) yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung
tidak terlihat pada kedua obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan
keseimbangan asam basa. Semua obat analgetik non opioid bekerja melalui
penghambatan siklooksigenase. Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga
konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat
siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih

21

kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan Parasetamol menjadi obat antipiretik
yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai
efek ringan pada siklooksigenase perifer. Inilah yang menyebabkan Parasetamol hanya
menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang.19
Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung
prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa prostaglandin
dan bukan blokade langsung prostaglandin. Obat ini menekan efek zat pirogen endogen
dengan menghambat sintesa prostaglandin, tetapi demam yang ditimbulkan akibat
pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu oleh sebab
lain, seperti latihan fisik.19
2.2.8 Indikasi
Parasetamol merupakan pilihan lini pertama bagi penanganan demam dan nyeri
sebagai antipiretik dan analgetik. Parasetamol digunakan bagi nyeri yang ringan sampai
sedang.12
2.2.9 Kontra Indikasi
Penderita gangguan fungsi hati yang berat dan penderita hipersensitif terhadap
obat ini.12
2.2.10 Sediaan dan Posologi
Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500 mg atau sirup
yang mengandung 120 mg/5ml. Selain itu Parasetamol terdapat sebagai sediaan
kombinasi tetap, dalam bentuk tablet maupun cairan. Dosis Parasetamol untuk dewasa
300mg-1g per kali, dengan maksimum 4g per hari, untuk anak 6-12 tahun: 150-300
mg/kali, dengan maksimum 1,2g/hari. Untuk anak 1-6 tahun: 60mg/kali, pada keduanya
diberikan maksimum 6 kali sehari.19
2.1.11 Efek Samping
Reaksi alergi terhadap derivate para-aminofenol jarang terjadi. Manifestasinya
berupa eritem atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam dan lesi pada
mukosa. Fenasetin dapat menyebabkan anemia hemolitik, terutama pada pemakaian
kronik. Anemia hemolitik dapat terjadi berdasarkan mekanisme autoimmune, defisiensi

22

enzim G6PD dan adanya metabolit yang abnormal. Methemoglobinemia dan


Sulfhemoglobinemia jarng menimbulkan masalah pada dosis terapi, karena hanya kirakira 1-3% Hb diubah menjadi met-Hb. Methemoglobinemia baru merupakan masalah
pada takar layak. Insidens nefropati analgesik berbanding lurus dengan penggunaan
Fenasetin. Tetapi karena Fenasetin jarang digunakan sebagai obat tunggal, hubungan
sebab akibat sukar disimpulkan. Eksperimen pada hewan coba menunjukkan bahwa
gangguan ginjal lebih mudah terjadi akibat Asetosal daripada Fenasetin. Penggunaan
semua jenis analgesik dosis besar secara menahun terutama dalam kombinasi dapat
menyebabkan nefropati analgetik.19
2.1.12 Dosis Toksik
Parasetamol dosis 140 mg/kg pada anak-anak dan 6 gram pada orang dewasa
berpotensi hepatotoksik. Dosis 4g pada anak-anak dan 15g pada dewasa dapat
menyebabkan hepatotoksitas berat sehingga terjadi nekrosis sentrolobuler hati. Dosis
lebih dari 20g bersifat fatal. Pada alkoholisme, penderita yang mengkonsumsi obat-obat
yang menginduksi enzim hati, kerusakan hati lebih berat, hepatotoksik meningkat
karena produksi metabolit meningkat.11
Menurut analisis, dosis terapetik 324 mg dalam kosentrasi plasma setelah 6 jam
sekitar 2-6 mg/l namun sebagai menunjukkan peningkatan hingga 25mg/l. Waktu paruh
plasma dipergunakan sebagai petunjuk proses hepatotoksis, sangat bahaya bila paruh
plasma 300mg/l setelah ingesti 4 jam. Kadar dalam darah 100-400mg/l dengan rata-rata
250mg/l setelah konsumsi 10-15 gram disebut overdosis. Urin dapat mengandung 150800mg/l, tapi kadar tersebut tergantung dosis dan waktu paruh. Kombinasi dengan obat
lain , terutama dextropropoxifen dan alkohol mengurangi kadar yang diperlukan untuk
keadaan fatal.26,27
2.3 Intoksikasi Paracetamol
Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara
kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP).
Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan
tunggal sebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan
obat flu, melalui resep dokter atau yang dijual bebas. Parasetamol bekerja pada tempat

23

yang tidak terdapat peroksid sedangkan pada tempat inflamasi terdapat leukosit yang
melepaskan peroksid sehingga efek anti inflamasinya tidak bermakna. Parasetamol
berguna untuk nyeri ringan sampai sedang, seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri paska
melahirkan dan keadaan lain.20
2.3.1 Etiologi
Keracunan paracetamol dapat terjadi akibat penggunaan dosis yang besar, atau
mengonsumsi paracetamol dalam dosis kecil namun berulang-ulang. Keracunan atau
overdosis paracetamol dapat terjadi karena.21,22
1. Overdosis yang disengaja, seperti usaha untuk bunuh diri.
2. Overdosis karena kecelakaan, seperti pada anak-anak karena tidak diawasi orang
tua, salah pengertian dalam mengonsumsi paracetamol, atau orang dewasa yang
menyalahgunakan alkohol.
3. Mengonsumsi beberapa obat

berbeda

yang

kesemuanya

mengandung

paracetamol. Seperti meminum obat sakit kepala bersamaan dengan obat


influenza.
4. Mengidap penyakit kronis tertentu juga dapat membuat Anda rentan terhadap
overdosis obat tertentu. Misalnya, orang dengan kerusakan hati bisa keracunan
paracetamol walaupun dengan dosis rendah. Keracunan juga bisa terjadi jika
paracetamol dikonsumsi bersamaan dengan zat lain yang membahayakan hati
seperti alkohol.22
2.3.2 Faktor Predisposisi
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko Anda terkena keracunan
paracetamol, antara lain:
1. Peminum alkohol
2. Mengonsumsi beberapa obat yang mengandung paracetamol
3. Keinginan untuk bunuh diri21
2.3.3 Mekanisme Toksisitas
Pada dosis terapi (500-2 gram), 5-15% obat ini umunya dikonversi oleh enzim
sitokrom P450 di hati menjadi metabolit reaktifnya, yang disebut N-acetyl-pbenzoquinoneimine (NAPQI). Proses ini disebut aktivasi metabolik, dan NAPQI
berperan sebagai radikal bebas yang memiliki lama hidup yang sangat singkat.

24

Meskipun metabolisme parasetamol melalui ginjal tidak begitu berperan, jalur aktivasi
metabolik ini terdapat pada ginjal dan penting secara toksikologi.23
Dalam keadaan normal, NAPQI akan didetoksikasi secara cepat oleh enzim
glutation dari hati. Glutation mengandung gugus sulfhidril yang akan mengikat secara
kovalen radikal bebas NAPQI, menghasilkan konjugat sistein. Sebagiannya lagi akan
diasetilasi menjadi konjugat asam merkapturat, yang kemudian keduanya dapat
diekskresikan melalui urin. 23
Pada paparan parasetamol overdosis, jumlah dan kecepatan pembentukan
NAPQI melebih kapasitas hati dan ginjal untuk mengisi ulang cadangan glutation yang
diperlukan. NAPQI kemudian menyebabkan kerusakan intraseluler diikuti nekrosis
(kematian sel) hati, dan bisa juga menyebabkan kegagalan ginjal (walaupun lebih jarang
kejadiannya).Sebagaimana juga obat-obat lain, bila penggunaan parasetamol tidak
benar, maka berisiko menyebabkan efek yang tidak diinginkan. Parasetamol dalam
jumlah 10 15g (20-30 tablet) dapat menyebabkan kerusakan serius pada hati dan
ginjal. Kerusakan fungsi hati juga bisa terjadi pada peminum alkohol kronik yang
mengkonsumsi parasetamol dengan dosis 2g/hari atau bahkan kurang dari itu. 23
Keracunan parasetamol disebabkan karena akumulasi dari salah satu
metabolitnya yaitu N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI), yang dapat terjadi karena
overdosis, pada pasien malnutrisi, atau pada peminum alkohol kronik. 23

Gambar 2.6 Metabolisme Paracetamol


2.3.4 Gambaran Klinis

25

1. Stadium I (0-24 jam)


Asimptomatis atau gangguan sistem pencernaan berupa mual, muntah, pucat,
malaise, berkeringat. Pada anak-anak lebih sering terjadi muntah-muntah tanpa
berkeringat.
2. Stadium II (24-72 jam)
Peningkatan SGOT-SGPT. Gejala sistim pencernaan menghilang dan muncul
ikterus, nyeri perut kanan atas, meningkatnya bilirubin dan waktu protombin.
Terjadi pula gangguan faal ginjal berupa oliguria, disuria, hematuria atau
proteinuria. Dapat ditemukan juga adanya takikardi dan hipotensi.
3. Stadium III ( 72 - 96 jam )
Merupakan puncak gangguan faal hati, mual dan muntah muncul kembali,
ikterus dan terjadi penurunan kesadaran, ensefalopati hepatikum. Pada beberapa
pasien dalam keadaan kritis dapat terjadi gagal ginjal akut. Kematian akibat
kegagalan multiorgan dapat terjadi.
4. Stadium IV ( 4 - 10 hari)
Terjadi proses penyembuhan, tetapi jika kerusakan hati luas dan progresif dapat
terjadi sepsis, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) dan kematian.23
2.3.5 Diagnosis
Diagnosis intoksikasi paracetamol ditegakkan berdasarkan :
1. Adanya riwayat penggunaan obat
2. Uji kualitatif: sampel diambil dari urin, isi lambung atau residu di tempat
kejadian. Caranya: 0,5ml sampael + 0,5ml HCL pekat, didihkan kemudian
dinginkan, tambahkan 1ml larutan O-Kresol pada 0,2ml hidrolisat, tambahkan
2ml larutan ammonium hidroksida dan aduk 5 menit, hasil positip timbul warna
biru dengan cepat. Uji ini sangat sensitif
3. Kuantitatif
Kadar dalam plasma diperiksa dalam 4 jam setelah paparan dan dapat dibuat
normogram untuk memperkirakan beratnya paparan
4. Pemeriksaan laboratorium
Antara lain pemeriksaan elektrolit, glukosa, BUN, kreatinin, transaminase hati
dan prothrombin time.24
2.3.6 Penatalaksanaan
1. Dekontaminasi Sebelum ke Rumah Sakit
Dapat diberikan karbon aktif atau sirup ipekak untuk menginduksi muntah pada

26

anak-anak dengan waktu paparan 30 menit


2. Rumah Sakit
Pemberian karbon aktif, jika terjadi penurunan kesadaran karbon aktif diberikan
melalui pipa nasogastrik. Jika dipilih pemberian metionin sebagai antidotum
untuk menstimulasi glutation, karbon aktif tidak boleh diberikan karena akan
mengikat dan menghambat metionin
3. Antidotum
a. N-asetilsistein merupakan antidotum terpilih untuk keracunan Parasetamol.
N-asetil-sistein bekerja mensubstitusi glutation, meningkatkan sintesis
glutation dan mening-katkan konjugasi sulfat pada parasetamol. Nasetilsistein sangat efektif bila diberikan segera 8-10 jam yaitu sebelum
terjadi akumulasi metabolit
b. Methionin per oral, suatu antidotum yang efektif, sangat aman dan murah
tetapi absorbsi lebih lambat dibandingkan dengan N asetilsistein.24,25
Dosis dan cara pemberian N-asetilsistein yaitu Bolus 150 mg /KBB dalam 200
ml dextrose 5 % : secara perlahan selama 15 menit, dilanjutkan 50 mg/KBB dalam 500
ml dextrose 5 % selama 4 jam, kemudian 100 mg/KBB dalam 1000 ml dextrose melalui
IV perlahan selama 16 jam berikut.27
Dosis awal 140 mg/ kgBB 4 jam kemudian, diberi dosis pemeliharaan 70 mg /
kg BB setiap 4 jam sebanyak 17 dosis. Pemberian oral dapat menyebabkan mual dan
muntah. Jika muntah dapat diberikan metoklopropamid (60-70 mg IV pada dewasa ).
Larutan N-asetilsistein dapat dilarutkan dalam larutan 5% jus atau air dan diberikan
sebagai cairan yang dingin. Keberhasilan terapi bergantung pada terapi dini, sebelum
metabolit terakumulasi.27
2.3.7 Pemeriksaan Forensik
Pemeriksaan toksikologi yang sistematis adalah merupakan suatu keharusan
dalam melakukan analisis toksikologi, jika terdapat dugaan keracunan tetapi tidak
terdapat informasi yang tepat tentang toksikan sebagai penyebabnya. mengelompokkan
langkah analisis menjadi dua tahap, yaitu tahap analisis pendahuluan dan analisis
lanjutan. 28,29,30
Tahap analisis pendahuluan adalah analisis yang cepat dan tepat, merupakan
analisis kualitatif, yang merupakan orientasi mencari dugaan penyebab intoksikasi. Uji

27

ini seharusnya dikerjakan di rumah sakit pada saat pada awal pasien diterima. Analisis
pendahuluan ini dapat berupa tes rekasi warna, terhadap toksikan yang terdapat dalam
materi biologi (darah, urin, cucian lambung), sisa tablet atau makanan. Belaka-ngan ini
telah berkembang dengan pesat metode uji penapisan yang lebih sederhana dalam
pengerjaannya dan memberikan hasil yang lebih spesifik dibanding-kan rekasi warna,
yaitu metode immunoki-mia immunoassay. Pemeriksaan gas dari buangan pernapasan
juga dikelompokkan dalam tahap ini. Pemeriksaan ini ditujukan pada toksikan yang
dapat dianalisis dalam bentuk gasnya, seperti pada kasus keracunan alkohol, sianida.
Analisis tahap pendahu-luan dalam analisis toksikologi forensik dikelompok-kan ke
dalam uji penapisan. Sedangkan analisis tahap lanjut disebut dengan uji determinasi.
28,29,30

Analisis tahap lanjut meliputi pemastian dugaan/hasil pada analisis kualitatif


(indentifikasi dan kharakterisasi), disini diperlukan metode instrumentasi yang lebih
canggih seperti GC-MS, LC-MS dan penetapan kadar toksikan serta metabolitnya. 28,29,30
Agar hasil analisis toksikologi dapat dijadikan acuan dalam membuat diagnosa
akhir dari instoksikasi dan mempunyai makna dalam penegakan terapi instoksi-kasi
yang terarah, maka hasil analisis haruslah valid dan sahih. Untuk itu haruslah dikenali
sumber-sumber yang mungkin memberikan kesalahan analisis. Ada tiga tingkat yang
dapat menjadi sumber kesala-han dalam analisis toksikologi, yaitu tataran teknis, tataran
biologis dan tataran nosologi (pengelompokan penyakit). 28,29,30
Dalam tataran teknis kesalahan analisis dapat muncul akibat masalah teknis,
seperti prosedur analisis, meto-de analisis, akurasi dan presisi dari intrumentasi analisis.
Sedangkan kesalahan yang mungkin ditimbulkan dari tataran biologis adalah akibat
besarnya variasi materi biologis dari sampel toksikologi, waktu pengambilan sampel.
Faktor toksokinetik dan waktu pengambilan akan banyak menentukan hasil analisis
toksikologi, misal jika penerokan dilakukan tepat pada saat pasien terpapar,
kemungkinan besar akan dapat menemukan toksikan dalam jumlah besar, baik di dalam
saluran pencernaan (jika terekspose melalui oral), maupun di darah. Namun jika
penerokan dilakukan pada fase terminal, dan jika toksikan mempunyai waktu paruh
yang singkat, maka kemungkinan kecil menemukan toksikan di darah. Untuk
memahami kesalahan-kesalah yang berpengaruh dari tataran biologis, maka sangat
dituntut pemahaman terhadap sifat formakoki-netik dan metabolisme toksikan. 28,29,30

28

Ada

sejumlah

jenis

penyakit

tertentu

dapat

mempe-ngaruhi

sifat

farmakodinamik toksikan. Seperti, se-nyawa opiat sebagian besar dieliminasi melalui


clearance hepatis dengan demikian insufisien hati akanmenghambat laju metabolisme
opiat di dalam tubuh, sehingga morfin akan berada dalam waktu yang lebih lama di
dalam tubuh. Demikian juga pada pasien gagal ginjal terjadi akumulasi dari morfin
glukuronida, sehingga akan terjadi perpanjangan waktu paruh dari morfin glikuronida.
28,29,30

Tidak adanya tanda khas dari hasil autopsi seringkali membuat ahli forensik
bingung kecuali ada kecurigaan telah meminum obat atau racun yang bisa diambil untuk
penyelidikan. Jika tidak ditemukan kelainan morfologi dipertimbangkan untuk
melakukan pemeriksaan toksikologi, yang mana di beberapa pengadilan menjadi sulit
atau sangat mahal. 28,29,30
Obat-obatan yang baik adalah mudah dicerna dan tidak mengiritasi jaringan dan
saluran pencernaan. Kebanyakan dalam praktek forensik dipilih oral, dan baik untuk
efek farmakologis dari organ dan jaringan sasaran yang tidak mengiritasi / merusak
saluran pencernaan. 28,29,30
Obat-obatan bisa menyebabkan kematian dengan cara yang paling sering adalah
gagal jantung, dan yang ke dua menekan SSP. Cara kematian tersebut hanya perubahan
tidak spesifik yang ditemukan pada autopsi, biasanya bukan alasan dasar untuk
kematian. Kegagalan jantung akut, edema paru, kadang-kadang edem otak, patekie pada
membran serosa tidak satupun hal diatas digunakan oleh ahli forensik, yang lebih
mempercayai hasil analisis toksikologi untuk jawaban pasti. 28,29,30
Ada beberapa jenis pengobatan yang meskipun bukan penyebab kelainan dapat
membantu hasil autopsi, seperti pecahnya membran echimosis yang terlihat pada
keracunan aspirin . hal ini bagaimanapun tidak bisa diterima sebagai penyebab
kematian, kecuali ada bukti nyata dan ditemukan sisa-sisa tablet yang tidak habis
dicerna dalam perut.28,29,30
2.4 Contoh Kasus
1. Seorang wanita 38 tahun hamil dengan usia kehamilan 31 minggu dievaluasi
untuk pengobatan akibat overdosis acetaminophen. Dia mengaku lebih dari 26
jam yang lalu mengonsumsi 35 g acetaminophen. Sebuah operasi caesar darurat

29

dilakukan satu jam setelah pengakuan karena gawat janin akut. Bayi perempuan
lahir dengan berat 1.620 gram dan memiliki skor Apgar 0, 0 dan 1 pada menit
ke-1, ke-5 dan ke-10, inisiasi resusitasi segera dilakukan setelah persalinan.
Asidosis tercatat pada ibu selama operasi; hal ini diikuti oleh kegagalan
hepatorenal akut 16 jam setelah masuk. Yang menyebabkan kematian ibu 40 jam
setelah masuk. Bayi juga meninggal 34 jam setelah melahirkan.
2. Seorang wanita berusia 16 tahun datang ke instalasi gawat darurat dengan
keluhan muntah dan mual. Ibunya melaporkan bahwa anaknya tersebut
bertengkar dengan pacarnya tadi malam. Dia membangunkan ibunya dini hari
tadi dan mengatakan bahwa dia merasa sakit. Dia mengakui bahwa tadi malam
ia meminum beberapa pil pada pukul 21.00. Dia telah muntah 3-4 kali di rumah.
Ibunya membawa botol pil dan isi botol pil tersebut adalah tablet asetaminofen
500 mg sebanyak 30 pil. Ada 8 tablet yang tersisa dalam botol (maksimum 11
gram acetaminophen tertelan). Pada pemeriksaan didapatkan Vital Sign : suhu
37.20CP, nadi 88x/menit, napas 18x/menit, dan tekanan darah 110/70 mmHG,
berat badan 50kg. Dia waspada, tenang, menggeleng ya / tidak untuk
pertanyaan, dengan kontak mata yang buruk. Kulitnya berwarna merah muda
dengan perfusi yang baik. Mukosa mulut nya lembab. Denyut jantung teratur
dengan irama normal. Suara paru-paru terdengar jelas dengan aerasi yang baik.
Perutnya yang lembut, dengan suara normoactive usus, nyeri tekan epigastrium
minimal, ada rebound, dan tidak ada penjagaan. Dia waspada, berorientasi, dan
berjalan tentang ruang tanpa kesulitan. Dia diberikan 50 gram arang aktif dengan
sorbitol secara lisan. Dia juga diberi 10 gram N-asetilsistein oral. Tingkat
acetaminophen, tingkat aspirin, darah dan urine layar toksikologi dan beta-HCG
diambil. Tingkat acetaminophen ditarik sebesar 8,5 jam pasca-konsumsi adalah
150 mcg / mL. Dia dirawat di rumah sakit untuk perawatan lebih lanjut serta
evaluasi psikiatri.

30

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Toksikologi forensik adalah penerapan toksikologi umtuk memnantu investigasi
medikolegal dalam kasus kematian, keracuanan maupun penggunaan obat-obatan
mengenai teknologi dan tekhnik dalam memperoleh serta menginterpretasi hasil
seperti : pemaham perilaku zat, sumber penyebab keracunan/pencemaran, metode
pengambilan sample dan analisa, interpretasi data terkait dengan gejala atau efek atau
dampak yang imbul serta bukti-bukti lainnya yang tersedia. pemeriksaan di tempat
kejadian, autopsi, dan analisis toksikologik.
Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara
kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP).
Keracunan parasetamol disebabkan karena akumulasi dari salah satu metabolitnya yaitu
N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI), yang dapat terjadi karena overdosis, pada
pasien malnutrisi, atau pada peminum alkohol kronik. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan adanya riwayat penggunaan obat, uji kualitatif, uji kuantitatif, dan
pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan otopsi dapat ditemukan adanya sisa tablet
dalam lambung yang belum tercerna, hati berwarna kuning pucat atau cokelat, hati
dapat terlihat membesar walaupun beratnya berkurang atau di bawah normal.
3.2 Saran
Perlu dilakukan edukasi pada pasien mengenai efek samping penggunaan obat
paracetamol dan dibutuhkan pengawasan dalam penggunaan obat paracetamol

31

DAFTAR PUSTAKA
1. Budiawan, Nat. 2008. Peran Tosiologi Forensik dalam Mengungkap Kasus
Keracunan dan Pencemaran Lingkungan. Indonesian Journal of Legal and
Forensic Sciences; 1 (1): 35-39. Jakarta
2. Seekersbpom.Data Keracunan Paracetamol

di

Indonesia

dalam

situs

http://ik.pom.go.id/v2014/
3. ISFI. ISO informasi spesialite obat Indonesia. Vol.41. Jakarta: ISFI; 2006
4. Moynihan R. FDA fails to reduce accessibility of paracetamol despite 450 deaths
a year. BMJ 2002; 325: 678
5. Kedzierska K , Myslak M, Kwiatkowska E, Bober J, Rozanski J et al. Acute
renal failure after paracetamol (acetaminophen) poisoning report of two cases.
[Online].

2003.

Available

from

URL:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?
db=pubmed&cmd=Retrieve&dopt=AbstractPlus&list_uids=11545233&itool=ic
onabstr&query_hl=7&itool=pubmed_docsum
6. Wirasuta, M. A. G., 2008. Analisis Toksikologi Forensik dan Interpretasi
Temuan Analisis. Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciencies, Volume
1, pp. 47-55
7. Esckert, W. G., 1992. Introdution to Forensic Sciences. New York: Elsivier
8. FKUI, B. K. F., 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. 2nd ed. Jakarta: FKUI.
9. Kerrigan, S., 2004. Drug Toxicology for Prosecutors Targeting Hardcore
Impaired Drivers. New Mexico: New Mexico Department of Health Scientific
Laboratory Division Toxicology Bureau
10. Deutsche Forschungsgemeinschaft, D.,

1995.

Einfache

toxikologische

Laboratoriumsuntersuchungen bei akuten Vergiftunen. Weinheim: VCH Verlag.


11. Darsono, Lusiana, 2002 Diagnosis dan Terapi Intoksikasi Salisilat dan
Parasetamol JKM Vol. 2, No., 1, Juli 2002
12. Wilmana dan Gan. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Gaya Baru
13. Katzung, Bertram G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: EGC
Penerjemah Staf Dosen Farmakologi FK Universitas Sriwijaya
14. Sartono, 1996. Obat-obat bebas dan Bebas Terbatas. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama

32

15. Yulida.A.N. 2009. Penetapan Kadar Zat Aktif Paracetamol dalam Obat Sediaan
Oral dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
16. Tjay, Tan Hoan dan Rahardja, Kirana. 2007. Obat-obat Penting: Khasiat,
Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya Edisi VI. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo
17. Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen
Kesehatan Republik Indonesia
18. Kumar, V., Cotran, R., dan Robbins, S. 2007. Buku Ajar Patologi Volume 1.
Diterjemahkan oleh Prasetyo, B. dan Toni, P. Jakarta: EGC
19. Mardjono, Mahar. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Universitas Indonesia
Press
20. Kasus keracunan nasional dalam situs http://ik.pom.go.id/v2014/
21. ISFI. ISO informasi spesialite obat Indonesia. Vol.41. Jakarta: ISFI; 2006
22. Moynihan R. FDA fails to reduce accessibility of paracetamol despite 450 deaths
a year. BMJ 2002; 325: 678
23. Olson, K. R., Poisoning and Drug Overdose 5th ed, McGraw-Hill Inc., 2007, p.
68-71.
24. Rumack B, Matthew H (1975). "Acetaminophen poisoning and toxicity".
Pediatrics55 (6): 87176.
25. Gunnell D, Murray V, Hawton K (2000). "Use of paracetamol (acetaminophen)
for suicide and nonfatal poisoning: worldwide patterns of use and misuse".
Suicide & life-threatening behavior30 (4): 31326.
26. Dart RC, Bailey E (2007). "Does therapeutic use of acetaminophen cause acute
liver failure?". Pharmacotherapy27 (9): 121930.
27. Tierney, L.M., Current Medical Diagnosis and Treatment 43rd ed, McGraw-Hill
Inc, 2004, p. 1555-1556.
28. Guidelines
for
the

management

of

paracetamol

overdose

http://www.imvs.sa.gov.au/wps/wcm/connect/5eebbd49-e07b-421b-9034bcd076e3eebe/Paracetamol+overdose.pdf?MOD=AJPERES
29. Larson AM, Polson J, Fontana RJ, Davern TJ, Lalani E, Hynan LS, Reisch JS,
Schidt FV, Ostapowicz G, Shakil AO, Lee WM; Acute Liver Failure Study
Group. (December 2005). "Acetaminophen-induced acute liver failure: results of
a United States multicenter, prospective study". Hepatology (Baltimore, Md.)42
(6): 136472.
30. Boutis K, Shannon M (2001)."Nephrotoxicity after acute severe acetaminophen
poisoning in adolescents".Journal of toxicology.Clinical toxicology (5): 441

33

Anda mungkin juga menyukai