Anda di halaman 1dari 24

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep ADHF


Berikut disajikan konsep ADHF yang meliputi definisi, etiologi,
epidemiologi, patofisiologi, respon tubuh terhadap perubahan fisiologis, dll.

2.1.1. Definisi ADHF


ADHF (Acute Decompensasi Heart Failure) yaitu penyakit gagal
jantung akut dimana serangan nya cepat dari gejala-gejala yang diakibat
oleh abnormalnya fungsi jantung. Disfungsi dapat berupa sistolik maupun
diastolik abnormalitas irama jantung. Gagal jantung bisa terjadi pada seseorang
dengan serangan baru tanpa kelainan jantung sebelumnya (Aaronson. P.I dan
Ward. J, 2011)
Decompensasi cordis adalah suatu kondisi dimana jantung mengalami
penurunan atau kegagalan dalam memompa darah dimana terjadi penurunan
kemampuan kontraktilitas fungsi pompa jantung untuk mencukupi kebutuhan
tubuh akan nutrisi dan oksigen secara adekuat (Alkan et al., 2017)
Penyakit gagal jantung yaitu jantung tidak mampu memompa pasokan
darah, untuk mempertahankan sirkulasi adekuat sesuai kebutuhan tubuh
meskipun tekanan pengisian cukup, dimana gejalanya seperti nafas sesak
selama istirahat, beraktifitas dan kelelahan, edema pulmonal kardiogenik
dengan akumulasi cairan yang cepat pada paru dan pembengkakan pada
tungkai (Nawrocka-millward et al., 2021)
Jadi ADHF adalah gagal jantung akut yang gagal memompa cukup
darah untuk mencukupi kebutuhan tubuh serta tidak dapat mempertahankan
sirkulasi yang adekuat dan serangannya dirasakan secara cepat.

2.1.2. Etiologi
Terjadinya gagal jantung dapat disebabkan: (Wijaya & Putri, 2013)
a. Disfungsi miokard (kegagalan miokardial)
Kegagalan miokard berkontraksi mengakibatkan isi sekuncup dan curah
jantung (cardiac output) terjadi menurun.
b. Beban tekanan berlebihan pembebanan sistolik (systolic overload)
2

Beban berlebihan pada kemampuan ventrikel menyebabkan pengosongan


ventrikel terhambat.
c. Beban volum berlebihan pembebanan diastolic (diastolic overload)
d. Preload yang berlebihan dan melampaui kapasitas ventrikel (diastolic
overload) akan menyebabkan volum dan tekanan pada akhir diastolic dalam
ventrikel meninggi.
e. Gangguan pengisian (hambatan input).
Hambatan dalam pengisian ventrikel dikarenakan gangguan pada aliran masuk
ventrikel akan menyebabkan pengeluaran ventrikel yang berkurang sehingga
curah jantung terjadi penurunan.
f. Hipertensi Sistemik / Pulmonal
Peningkatan beban kerja jantung mengakibatkan pengecilan serabut otot
jantung. Efeknya (hipertrofi miokard) sebagai mekanisme kompensasi karena
meningkatkan kontraktilitas jantung.
g. Penyakit jantung
Penyakit jantung lain seperti stenosis katup semilunar, temponade
perikardium, perikarditis konstruktif, stenosis katup AV.

2.1.3. Patofisiologi
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan
kemampuan kontraksi jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah
dari curah jantung normal. Konsep curah jantung yaitu CO = HR X SV. Curah
jantung atau cardiac output adalah fungsi frekuensi jantung atau heart rate X
volume sekuncup atau stroke volume (Smeltzer & Bare, 2010).
Menurut (Muttaqin, 2012) bila cadangan jantung untuk berespons
terhadap stress tidak adekuat dalam memenuhi kebutuhan metabolik tubuh,
maka jantung gagal untuk melakukan tugasnya sebagai pompa, akibatnya
terjadilah gagal jantung.
Kelainan fungsi otot jantung disebabkan oleh aterosklerosis koroner,
hipertensi arterial dan penyakit otot degeneratif atau inflamasi. Aterosklerosis
koroner mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran
darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam
laktat). Infark Miokardium biasanya mendahului terjadinya gagal jantung.
Hipertensi sistemik/ pulmonal (peningkatan afterload) meningkatkan beban
3

kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertrofi serabut otot


jantung. Efek tersebut (hipertrofi miokard) dapat dianggap sebagai mekanisme
kompensasi karena akan meningkatkan kontraktilitas jantung. Hipertrofi otot
jantung menyebabkan jantung tidak dapat berfungsi secara normal, dan
akhirnya terjadi gagal jantung.
Peradangan dan penyakit miokarium degeneratif berhubungan dengan
gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung,
menyebabkan kontraktilitas menurun. Ventrikel kanan dan kiri dapat
mengalami kegagalan secara terpisah. Gagal ventrikel kiri murni sinonim
dengan edema paru akut. Karena curah ventrikel berpasangan/ sinkron, maka
kegagalan salah satu ventrikel dapat mengakibatkan penurunan perfusi
jaringan. Gagal jantung dapat dimulai dari sisi kiri atau kanan jantung.
Sebagai contoh, hipertensi sitemik yang kronis akan menyebabkan ventrikel
kiri mengalami hipertrofi dan melemah. Hipertensi paru yang berlangsung
lama akan menyebabkan ventrikel kanan mengalami hipertofi dan melemah.
Letak suatu infark miokardium akan menentukan sisi jantung yang
pertama kali
terkena setelah terjadi serangan jantung.
Ventrikel kiri yang melemah akan menyebabkan darah kembali ke
atrium, lalu ke sirkulasi paru, ventrikel kanan dan atrium kanan, maka jelaslah
bahwa gagal jantung kiri akhirnya akan menyebabkan gagal jantung kanan.
Pada kenyataanya, penyebab utama gagal jantung kanan adalah gagal jantung
kiri. Karena tidak dipompa secara optimum keluar dari sisi kanan jantung,
maka darah mulai terkumpul di sistem vena perifer. Hasil akhirnya adalah
semakin berkurangnya volume darah dalam sirkulasi dan menurunnya tekanan
darah serta perburukan siklus gagal jantung.
Menurut (Muttaqin, 2012) keluhan utama pada klien dengan gangguan
system kardiovaskular secara umum antara lain sesak nafas,nafas pendek,
batuk, nyeri dada, pingsan, berdebar-debar, cepat lelah, odema ekstremitas,
dan sebagainya. Dispnea kardiak terjadi secara khas pada pengerahan tenaga
dan disebabkan oleh kenaikan tekanan akhir diastolic dari ventrikel kiri yang
meningkatkan tekanan vena pulmonalis . Hal ini terjadi karena terdapat
kegagalan peningkatan curah darah ventrikel kiri pada waktu melakukan
kegiatan fisik.
4

2.1.4. Pathway

Peradangan pada miokardium


Aterosklerosis Hipertensi Penyakit jantung

Terganggun Peningkat Penurunan


Kerusakan pada otot jantung
ya aliran an pengosongan
atrium
Peningkat
Suplai an Preload menurun
O2 meningkat
Hipoksia pada janutng
Beban kerja
jantung
Metabolisme anaerob Hipertrofi otot jantung

Penimbunan
asam
Asidosis

COP menurun
Kontraktilitas
otot jantung

Kebutuhan O2 Katekolamin
Kompensasimeningkat
tubuh
Beban kerja
pada sel
jantung
HR meningkat

Jantung bekerja Waktu pengisian ventrikel


lebih keras & arteri koroner menurun
Injury miokard

Infark miokard
Jantung
mengalami
kegagalan dalam
21

AD

Gagal jantung kiri Gagal jantung kanan


Penurunan aliran
Ventrikel tidak
darah sistemik Darah dari
mampu
memompa darah Suplai Volume atrium kanan
darah ke darah dari tidak dapat
Suplai O2 ke
jaringan atrium ke tubuh menurun
Tekanan ventrikel
kiri meningkat ventrikel
Tekanan atrium
Penurunan Dispnea kanan
nutrisi dan COP
Permeabilitas &
O2 sel menur
kapiler paru
Tekanan vena
Intolera sistemik
Perfusi Penurunan
Cairan masuk nsi
Perifer Curah
ke Jantung
Tidak

Edema di ekstremitas

Edema paru
Hipervolemia

Proses
difusi
Dispnea, pH
menurun, CO2
Gangguan Pola
Pertukaran Napas
Gas Tidak
2.1.5. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda umum gagal jantung dekompensasi (Wijaya & Putri,
2013):
a. Dispnea (saat aktivitas, paroxysmal nocturnal dyspnea, orthopnea, atau saat
istirahat) yang ditandai adanya ronci dan efusi paru.
b. Takipnea
c. Batuk
d. Berkurangnya kapasitas aktivitas fisik
e. Nokturia
f. Peningkatan /penurunan berat badan
g. Odema (ektremitas, skrotum atau daerah lainnya)
h. Penurunan nafsu makan atau rasa kenyang yang cepat
i. Nafas Cheyne- stokes
j. Gangguan pada abdomen (kembung, begah atau sulit makan) yang ditandai
dengan asites/lingkar perut bertambah, kuadran kanan atas nyeri/tidak
nyaman, hepatomegaly/splenomegaly, sklera icterus, berat badan
bertambah, tekanan vena jugularis meningkat, bunyi jantung S3 meningkat.
k. Lelah yang ditandai dengan extremitas dingin.
l. Perubahan status mental, mengantuk disiang hari, kebingungan, sulit
berkonsentrasi yang ditandai dengan pucat, kulit agak kelabu, perubahan
warna kulit, hipotensi.
m. Pusing, hampir pingsan, pingsan.
n. Depresi.
o. Gangguan tidur.
p. Palpitasi.

2.1.6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan terhadap pasien gagal jantung harus dilakukan agar
tidak terjadi perburukan kondisi. Tujuan penatalaksanaan adalah untuk
menurunkan kerja otot jantung, meningkatkan kemampuan pompa ventrikel,
memberikan perfusi adekuat pada organ penting, mencegah bertambah
parahnya gagal jantung dan merubah gaya hidup (Wijaya & Putri, 2013).
Penatalaksanaan dasar pada pasien gagal jantung meliputi dukungan istirahat
2

untuk mengurangi beban kerja jantung, pemberian terapi farmakologis untuk


meningkatkan kekuatan dan efisien kontraksi jantung, dan pemberian terapi
diuretik untuk menghilangkan penimbunan cairan tubuh yang berlebihan
(Smeltzer & Bare, 2010)

a. Menurunkan Kerja Otot Jantung


Penurunan kerja otot jantung dilakukan dengan pemberian diuretik,
vasodilator dan beta-adrenergic antagonis (beta bloker). Diuretik merupakan
pilihan pertama untuk menurunkan kerja otot jantung. Terapi ini diberikan
untuk memacu ekskresi natrium dan air melalui ginjal (Smeltzer & Bare,
2010). Diuretik yang biasanya dipakai adalah loop diuretic, seperti furosemid,
yang akan menghambat reabsorbsi natrium di ascending loop henle. Hal
tersebut diharapkan dapat menurunkan volume sirkulasi, menurunkan
preload, dan meminimalkan kongesti sistemik dan paru (Wijaya & Putri,
2013). Efek samping pemberian diuretik jangka panjang dapat menyebabkan
hiponatremi dan pemberian dalam dosis besar dan berulang dapat
mengakibatkan hipokalemia (Smeltzer & Bare, 2010). Hipokalemia menjadi
efek samping berbahaya karena dapat memicu terjadinya aritmia (Wijaya &
Putri, 2013). Pemberian vasodilator atau obat-obat vasoaktif dapat
menurunkan kerja miokardial dengan menurunkan preload dan afterload
sehingga meningkatkan cardiac output. Sementara itu, beta bloker digunakan
untuk menghambat efek system saraf simpatis dan menurunkan kebutuhan
oksigen jantung. Pemberian terapi diatas diharapkan dapat menurunkan kerja
otot jantung sekaligus (Wijaya & Putri, 2013).
b. Elevasi Kepala
Pemberian posisi fowler/semi fowler bertujuan untuk mengurangi kongesti
pulmonal dan mengurangi sesak napas. Kaki pasien sebisa mungkin tetap
diposisikan dependen atau tidak dielevasi, meski kaki pasien edema, karena
elevasi kaki dapat meningkatkan venous return yang akan memperberat
beban awal jantung (Black & Hawks, 2014).
c. Mengurangi Retensi
Cairan Mengurangi retensi cairan dapat dilakukan dengan mengontrol asupan
natrium dan pembatasan cairan. Pembatasan natrium digunakan digunakan
dalam diet sehari-hari untuk membantu mencegah, mengontrol, dan
2

menghilangkan edema. Restriksi natrium <2 gram/hari membantu diuretic


bekerja secara optimal. Pembatasan cairan hingga 1000 ml/hari
direkomendasikan pada gagal jantung yang berat.
d. Meningkatkan Pompa Ventrikel Jantung
Penggunaan adrenergic agonist atau obat inotropik merupakan salah satu cara
yang paling efektif untuk meningkatkan kemampuan pompa ventrikel
jantung. Obat-obatan ini akan meningkatkan kontraktilitas miokard sehingga
meningkatkan volume sekuncup. Salah satu inotropik yang sering digunakan
adalah dobutamin. Dobutamin memproduksi reseptor beta yang kuat dan
mampu meningkatkan curah jantung tanpa meningkatkan kebutuhan oksigen
otot jantung atau menurunkan aliran darah koroner. Pemberian kombinasi
dobutamin dan dopamin dapat mengatasi sindroma low cardiac output dan
bendungan paru (Black & Hawks, 2014).
e. Pemberian Oksigen dan Kontrol Gangguan Irama Jantung
Pemberian oksigen dengan nasal kanul bertujuan untuk mengurangi hipoksia,
sesak napas dan membantu pertukaran oksigen dan karbondioksida.
Oksigenasi yang baik dapat meminimalkan terjadinya gangguan irama
jantung, salah satunya aritmia. Aritmia yang paling sering terjadi pada pasien
gagal jantung adalah atrial fibrilasi (AF) dengan respon ventrikel cepat.
Pengontrolan AF dilakukan dengan dua cara, yakni mengontrol rate dan
rhythm (Black & Hawks, 2014).
f. Mencegah Miokardial Remodelling
Angiotensin Converting Enzyme inhibitor atau ACE inhibitor terbukti dapat
memperlambat proses remodeling pada gagal jantung. ACE inhibitor
menurunkan afterload dengan memblok produksi angiotensin, yang
merupakan vasokonstriktor kuat. Selain itu, ACE inhibitor juga meningkatkan
aliran darah ke ginjal dan menurunkan tahanan vaskular ginjal sehingga
meningkatkan diuresis. Hal ini akan berdampak pada peningkatan cardiac
output sehingga mencegah remodeling jantung yang biasanya disebabkan
oleh bendungan di jantung dan tahanan vaskular. Efek lain yang ditimbulkan
ACE inhibitor adalah menurunkan kebutuhan oksigen dan meningkatkan
oksigen otot jantung (Black & Hawks, 2014).
2

g. Merubah Gaya Hidup Perubahan gaya hidup menjadi kunci utama untuk
mempertahankan fungsi jantung yang dimiliki dan mencegah kekambuhan.
Ketaatan pasien berobat, pemantauan berat badan mandiri, asupan cairan,
pengurangan berat badan, latihan fisik, aktvitas seksual (Black & Hawks,
2014).
2.1.7 Konsep asuhan keperawatan pada kasus ADHF
Pengkajian yaitu dimana pemikiran dasar bertujuan yang
mengumpulkan informasi tentang data klien, sehingga bisa mengidentifikasi,
mengenali berbagai macam masalah-masalah kebutuhan kesehatan klien dan
kondisi klien baik pada fisik, mental, maupun sosial dan lingkungan klien
(Muttaqin, 2012). Pengkajian pada pasien ADHF meliputi:
2.1.7.1 Pengkajian
1. Identitas Klien
Meliputi : nama, tempat/tanggal lahir, jenis kelamin, status kawin, agama,
pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, No. MR.
2. Keluhan utama.
Dapat ditemukan pada pasien ADHF dengan manifestasi respiratori
ditemui keluhan utama sesak nafas. Keluhan utama lainnya dirtemui pada
pasien penyakit ADHF, yaitu edema pada ekstremitas, batuk
peningkatan/penurunan berat badan, penurunan nafsu makan/rasa kenyang
yang ceooat, nocturia, takipnea, lelah yang ditandai dengan ekstremitas
dingin.
3. Riwayat kesehatan sekarang.
Dapat ditemukan keluhan yang baisanuya disampaikan pasien ADHF
adalah: pasien akan mengeluhkan napas sesak (dispnea) bagi pasien yang
memiliki manifestasi respiratori, edema pada ekstremitas, dan dingin di
daerah ekstremitasnya.
4. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya pasien pernah dirawat karena penyakit yang sama dan adanya
riwayat hpertensi.
5. Riwayat kesehatan keluarga
2

Hal yang perlu dikaji dalam keluarga klien, adakah yang menderita
penyakit sama dengan klien, penyakit jantung, gagal jantung, hipertensi.
6. Pola aktifitas sehari-hari (ADL) meliputi:
a. Pola Nutrisi
Kebiasaan makan klien sehari-hari, kebiasaan makan-makanan yang
dikonsumsi dan kebiasaan minum klien sehari-hari, pasien gagal jantung
akan mengalami penurunan nafsu makan, meliputi frekwensi, jenis,
jumlah dan masalah yang dirasakan.
b. Pola Eliminasi
Kebiasaan BAB dan BAK klien akan berpengaruh terhadap perubahan
sistem tubuhnya.
c. Pola Istirahat Tidur
Kebiasaan klien tidur sehari-hari, terjadi perubahan saat gejala sesak
nafas dan batuk muncul pada malam hari. Semua klien dengan gagal
jantung akan mengalami sesak nafas, sehingga hal ini dapat menganggu
tidur klien.
d. Personal Hygiene
Kebiasaan mandi, gosok gigi, cuci rambut, dan memotong kuku perlu
dikaji sebelum klien sakit dan setelah klien dirawat dirumah sakit.
e. Pola Aktivitas
Sejauh mana klien mampu beraktivitas dengan kondisinya saat ini dan
kebiasaan klien berolah raga sewaktu masih sehat.
f. Pola presepsi dan kosep diri
Pada pasien ADHF biasanya mengalami perasaan marah, cemas, depresi
dan stres.
g. Pola sensori kognitif
Pada pasien ADHF biasanya mengalami penurunan pengecapan dan
gangguan penglihatan. Pasien juga biasanya mengalami penurunan daya
ingat, kesulitan berkonsentrasi, kesulitan dalam respon verbal. Gangguan
kognitif lain yang terganggu yaitu bisa mengalami halusinasi.
7. Pemeriksaan fisik
a. Gambaran umum: ditemukan pasien tampak lemah
2

b. Kesdaran : composmentis kooperatif, sampai terjadi penurunan


tingkat kesadaran, apatis, somnolen, stupor bahkan koma.
c. Vital sign : TD; biasanya ditemukan dalam batas normal, nadi;
terkadang ditemukan frekuensi nadi meningkat, pernapasan : biasanya
ditemukn frekuensi pernapasan meningkat, suhu; suhu biasanya
ditemukan meningkat krena demam, BB ; biasanya mengalami
penrunan(bahkan hingga 10% BB), TB; Biasanya tidak mengalami
peningkatan (tinggi badan tetap).
d. Kepala : biasanya ditemukan kulit kepala kering karena dermatitis
seboreika
e. Mata : biasnay konjungtifa anemis , sce;era tidak ikterik, pupil
isokor,refleks pupil terganggu
f. Hidung : biasanya ditemukan adanya pernapasan cuping hidung
g. Leher: kaku kuduk (penyebab kelainan neurologic karena infeksi
jamur criptococus neofarmns)
h. Gigi dan mulutr : biasany ditemukan ulserasi dan adanya bercak-
bercak putih seperti krim yang menunjukan kandidiasis
i. Jantung: Biasanya tidak ditemukan kelainan
j. Paru-paru : Biasanya terdapat nyeri dada pada pasien ADHF yang
disertai dengan TB napas pendek (cusmaul)
k. Abdomen : Biasanya bising usus yang hiperaktif
l. Kulit : Biasanya ditemukan turgor kulit jelek, terdapatnya tandatanda
lesi (lesi sarkoma kaposi)
m. Ekstremitas : Biasanya terjadi kelemahan otot, tonus oto menurun,
akral dingin
2.1.7.2 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada penderita ADHF
yaitu:
1. Intoleransi aktivitas. Hal ini berhubungan dengan kelemahan, kelelahan,
efek samping pengobatan, demam, malnutrisi, dan gangguan pertukaran
gas (sekunder terhadap infeksi paru atau keganasan).
2

2. Bersihan jalan napas tidak efektif. Hal ini berhubungan dengan penurunan
energi, kelelahan, infeksi respirasi, sekresi trakeobronkial, keganasan paru,
dan pneumotoraks.
3. Kecemasan, adalah hal berhubungan dengan prognosis yang tidak jelas,
persepsi tentang efek penyakit, dan pengobatan terhadap gaya hidup.
4. Gangguan gambaran diri. Hal ini berhubungan dengan penyakit kronis,
alopesia, penurunan berat badan, dan gangguan seksual.
5. Ketegangan peran pemberi perawatan (aktual atau risiko) berhubungan
dengan keparahan penyakit penerima perawatan, tahap penyakit yang tidak
dapat diprediksi atau ketidakstabilan dalam perawatan kesehatan penerima
perawatan, durasi perawatan yang diperlukan, lingkungan fisik yang tidak
adekuat untuk menyediakan perawatan, kurangnya waktu santai dan
rekreasi bagi pemberi perawatan, serta kompleksitas dan jumlah tugas
perawatan
6. Konfusi (akut atau kronis) berhubungan dengan infeksi susunan saraf pusat
(misalnya toksoplasmosis), infeksi sitomegalovirus, limfoma, dan
perkembangan HIV.
7. Koping keluarga berkaitan dengan ketidakmampuan untuk berhubungan
dengan informasi atau pemahaman yang tidak adekuat atau tidak tepat
tentang penyakit kronis, dan perasaan yang tidak terselesaikan secara
kronis.
8. Koping tidak efektif berhubungan dengan kerentanan individu dalam
situasi krisis (misalnya penyakit terminal).
9. Diare, berhubungan dengan pengobatan, diet, dan infeksi.
10. Kurangnya aktivitas pengalihan, berhubungan dengan sering atau lamanya
pengobatan medis, perawatan di rumah sakit dalam waktu yang lama, bed
rest yang lama
11. Kelelahan, berhubungan dengan proses penyakit serta kebutuhan
psikologis dan emosional yang sangat banyak.
12. Takut, berhubungan dengan ketidakberdayaan, ancaman yang nyata
terhadap kesejahteraan diri sendiri, kemungkinan terkucil, dan
kemungkinan kematian.
2

13. Volume cairan kurang, berhubungan dengan asupan cairan yang tidak
adekuat sekunder terhadap lesi oral dan diare.
14. Berduka disfungsional/diantisipasi, berhubungan dengan kematian atau
perubahan gaya hidup yang segera terjadi, kehilangan fungsi tubuh
perubahan penampilan, dan ditinggal mati oleh orang yang berarti orang
terdekat).
15. Perubahan pemeliharaan rumah, berhubungan dengan sistem pendukung
yang tidak adekua, kurang pengetahuan, dan kurang akrab dengan sumber-
sumber komunitas
16. Keputusasaan, berhubungan dengan perubahan kondisi fisik dan prognosis
yang buruk.
17. Risiko infeksi berhubungan dengan imunodefisiensi seluler.
18. Risiko penyebaran infeksi (bukan diagnosis NANDA) faktor risiko: sifat
cairan tubuh yang menular.
19. Risiko injuri (jatuh), berhubungan dengan kelelahan, kelemahan,
perubahan kognitif, ensefalopati, dan perubahan neuromuskular.
20. Pengelolaan pengobatan yang tidak efektif, berhubungan dengan
kompleksitas bahan-bahan pengobatan, kurang pengetahuannya tentang
penyakit, obat, dan sumber komunitas, depresi, sakit, atau malaise.
21. Ketidakseimbangan nutrisi (kurang dari kebutuhan tubuh), berhubungan
dengan kesulitan mengunyah, kehilangan nafsu makan, lesi oral dan
esofagus, malabsorbsi gastrointestinal, dan infeksi oportunistik
(kandidiasis dan herpes).
22. Nyeri akut, berhubungan dengan: perkembangan penyakit, efek samping
pengobatan, odem limfe, sakit kepala sekunder terhadap infeksi SSP
(Sistem Saraf Pusat). neuropati perifer, dan mialgia parah.
23. Ketidakberdayaan, berhubungan dengan penyakit terminal, bahan
pengobatan, dan perjalanan penyakit yang tidak bisa diprediksi.
24. Kurang perawatan diri yang terdiri atas berhias, toileting, instrumental,
makan/ minum, dan mandi, berhubungan dengan penurunan kekuatan dan
ketahanan, intoleransi aktivitas, dan kebingungan akut/kronis.
3

25. Harga diri rendah (kronis dan situasional), berhubungan dengan penyakit
kronis dan krisis situasional.
26. Perubahan persepsi sensori (pendengaran/penglihatan), berhubungan
dengan kehilangan pendengaran sekunder efek pengobatan, kehilangan
penglihatan akibat infeksi CMV.
27. Pola seksual tidak efektif, berhubungan dengan tindakan seks yang lebih
aman. takut terhadap penyebaran infeksi HIV, tidak berhubungan seks,
impoten sekunder akibat efek obat.
28. Kerusakan integritas kulit, berhubungan dengan kehilangan otot dan
jaringan sekunder akibat perubahan status nutrisi, ekskoriasi perineum
sekunder akibat diare dan lesi (kandidiasis dan herpes), dan kerusakan
mobilitas fisik.
29. Perubahan pola tidur, berhubungan dengan nyeri, berkeringat di malam
hari. obat-obatan, efek samping obat, kecemasan, depresi, dan purus obat
heroin kokain).
30. Isolasi sosial, berhubungan dengan stigma, ketakutan orang lain terhadap
penyebaran infeksi, ketakutan diri sendiri terhadap penyebaran HIV,
moral. budaya, agama, penampilan fisik, serta gangguan harga diri dan
gambaran diri
31. Distres spiritual, berhubungan dengan tantangan sistem keyakinan dan
nilai dan tes keyakinan spiritual
32. Adanya risiko kekerasan yang diarahkan pada diri sendiri, seperti adanya
ide bunuh diri akibat rasa keputusasaan. (Nursalam dan Kurniawati, 2013)
2.1.7.3 Implementasi Keperawatan
Implementasi dilakukan sesuai dengan rencana tindakan keperawatan
atau intervensi.
2.1.7.4 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan dilakukan sesusai dengan kriteria hasil yang
ditetapkan.
3

2.2 Konsep CKD


Berikut disajikan konsep emfisema yang meliputi definisi, klasifikasi,
patogenesis, patofisiologi, penilaian radiologis pada emfisema, hubungan
ADHF dengan terjadinya CKD.

2.2.1 Definisi
Definisi Penyakit Ginjal Kronis adalah penurunan fungsi ginjal secara
kronis yang memerlukan waktu bulanan hingga tahunan yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal (Glomerulus Filtration Rate) 30mg/g tidak terikat
pada umur, tekanan darah, dan apakah teradapat diabetes atau tidak pada
pasien. Penyakit ginjal kronis juga tidak hanya didefinisikan sebagai penyakit
ginjal stase akhir atau End Stage Renal Disease (ESRD), namun juga
diasosiasikan dengan komplikasi-komplikasi penyakit ginjal kronis seperti:
anemia, hiperparatiroid, hiperphospatemia, penyakit jantung, infeksi, dan
fraktur yang khusus terdapat pada CKD-MBD (Chronic Kidney Disease –
Mineral Bone Disorder). Namun penurunan GFR dan albuminuria tidak
merupakan pengukuran yang simptomatis simtomatis namun merupakan
pengukuran langsung dari fungsi ginjal dan kerusakan ginjal (Siregar, 2020)

2.2.2 Epidemiologi
Angka prevalensi penyakit ginjal kronis di Indonesia pada tahun 2018
cukup tinggi yaitu mencapai 3.8 permil populasi Indonesia menderita
penyakit ginjal kronis yang terdiagnosis dokter. Angka ini lebih tinggi
dibandingkan prevalensi penyakit ginjal kronis pada tahun 2013 yaitu 2
permil di seluruh Indonesia. Prevalensi tertinggi terdapat pada provinsi
Kalimantan utara yaitu sebanyak 6.4 permil sedangkan prevalensi terendah di
Indonesia terdapat pada provinsi Sulaswesi Barat pada angka 1.8 permil.
Penderita penyakit ginjal kronis tersering berada pada umur 65-74 tahun,
lebih banyak terjadi pada laki- laki. Persentase penderita penyakit ginjal
kronis yang sedang menjalani hemodialisa di Indonesia juga cukup rendah
dimana hanya 19.3% penderita penyakit ginjal kronis menjalani terapi
hemodialisa (Bikbov et al., 2018).
Di dunia, sebanyak 1 dari 10 orang mempunyai penyakit ginjal kronis.
Daerah-daerah seperti Afrika, Amerika, Asia Selatan, dan Asia Tenggara
merupakan daerah yang paling sering ditemukannya penyakit ginjal kronis.
3

Penyakit ginjal kronis merupakan penyebab dari 956.000 kematian di seluruh


dunia pada tahun 2013. Pada tahun 2016, Penyakit ginjal kronis terdapat pada
sekitar 753 juta orang di seluruh dunia yang meliputi 336 juta pada pasien
laki- laki dan 417 juta pada pasien perempuan. Di seluruh dunia terdapat 1,2
juta kematian per tahun akibat penyakit ginjal kronis, Penyebab tersering
penyakit ginjal kronis adalah Hipertensi pada 550 ribu pasien, diabetes
melitus pada 418 ribu pasien, dan glomerulonephritis pada 238 ribu pasien.

2.2.3 Etiologi
Menurut (Kalengkongan et al., 2018) Penyebab tersering penyakit
ginjal kronis yang diketahui adalah diabetes melitus, selanjutnya diikuti oleh
tekanan darah tinggi dan glomerulonephritis. Penyebab lainnya dapat berupa
idiopatik. Namun penyebab-penyebab dari penyakit ginjal kronis dapat
diklasifikasikan berdasarkan anatomi ginjal yang terlibat:
- Penyakit vaskular, yang dapat melibatkan pembuluh darah besar seperti
bilateral artery stenosis, dan pembuluh darah kecil seperti nefropati iskemik,
hemolytic-uremic syndrome, dan vasculitis
- Kelainan pada glomerulus yang dapat berupa
a. Penyakit glomerulus primer seperti nefritis dan focal segmental
glomerulosclerosis
b. Penyakit glomerulus sekunder seperti nefropati diabetic dan lupus nefritis
- Penyakit bawaan seperti penyakit ginjal polikistik
- Nefropati obstruktif yang dapat berupa batu ginjal bilateral dan hyperplasia
prostate
- Infeksi parasite (yang sering berupa enterobiasis) dapat menginfeksi ginjal
dan menyebabkan nefropati
Penyakit ginjal kronis juga dapat idiopatik yang mempunyai gejala yang berupa
penuruhnan aliran darah ke ginjal yang menyebabkan sel ginjal menjadi nekrosis.

2.2.4 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronis menurut (Milik & Hrynkiewicz,
2014) KDIGO pada tahun 2012 meliputi kriteria penurunan GFR dan
peningkatan rasio albuminuria dan serum kreatinin. Klasifikasi penyakit
ginjal kronis
3

menurut KDIGO bertujuan untuk menentukan penanganan pasien, dan urgensi


penanganan dari penyakit ginjal kronis tersebut.
Kriteria pertama yang digunakan KDIGO untuk menentukan urgensi
penyakit ginjal kronis adalah GFR, GFR (Glomerulus Filtration Rate)
merupakan kemampuan glomerulus ginjal untuk memfiltrasi darah. GFR dapat
dihitung dengan menggunakan jumlah serum creatinine dengan rumus
menggunakan formula GFR MDRD sebagai berikut
GFR = (140-umur)xBBx1 pada laki-laki/0,85 pada perempuan dibagi serum
kreatinin x 72
Hasil GFR dapat diinterpretasikan dengan tabel berikut

Gambar 2.1 kategori CKD (Sumber: kemkes, 2017)


Selanjutnya dilakukan pengukuran albuminuria dan serum kreatinin untuk
mengetahui katergori penyakit ginjal kronis berdasarkan rasio albuminuria dan
serum kreatinin. Kategori menurut KDIGO 2017 dapat dilihat pada tabel berikut:
Table 2.1 kategori albuminuria dan serum kteatinin menurut KDIGO
kategori AER ACR (approximate terms
(mg/24 equivalent)
hours) (mg/mmol) (mg/g)
A1 <30 <3 <30 notmal-peningkatan ringan
A2 30-300 3-30 30-300 sedang
3

A3 >300 >30 >300 berat

Dengan mengkombinasikan kedua kriteria diatas dapat dimasukkan ke cross-


table untuk mengetahui resiko referral untuk pasien ginjal kronis dan urgensi
penanganan penyakit ginjal kronis. Cross table untuk referral dapat dilihat pada
gambar berikut:

Gambar 2.2 tabel cross referral (Vania et.al, 2019)


Sedangkan untuk grading penyakit ginjal kronis itu sendiri hanya menggunakan
GFR dengan beberapa kriteria tambahan yang dapat dilihat pada tabel dibawah

Table 2.2 grading CKD


Grade GFR Kategori Keterangan
1 >=90 normal atau sedikit disertai dengan albuminuria yang
berkurang persisten
2 60-89 penurunan ringan disertai dengan peningkatan serum
kreatinin dan albuminuria
3 30-59 penurunan sedang
4 15-29 penurunan berat persiapan untuk terapi ginjal
3

5 <15 gagal ginjal/ End Stage terapi ginjal permanen


Renal Disease (hemodialisa)/ transpalasi ginjal

2.2.5 Manifestasi klinis


Menurut (Aisara et al., 2018) penyakit ginjal kronis secara umum pada
stadium awal tidak terdapat gejala yang khas, namun penyakit ginjal kronis
stadium awal hanyak dapat dideteksi dengan peningkatan serum kreatinin dan
proteinuria. Namun jika fungsi ginjal terus menerus mengalami penurunan
akan menimbulkan gejala-gejala sebagai berikut:
a. Peningkatan tekanan darah akibat kelebihan cairan dan produksi dari
hormone vasoaktif yang diekskresikan oleh ginjal melalui sistam Renin-
AngiotensinAldosterone-System (RAAS), menyebabkan resiko penderita
penyakit ginjal kronis menderita hipertensi atau penyakit jantung kongestif
b. Akumulasi urea pada darah yang menyebabkan uremia, gejala uremia dapat
berupa pericarditis, ensefalopati, gastropati. Akibat jumlah urea yang tinggi
dalam darah, urea dapat diekskresikan melalui kelenjar keringat dalam
konsentrasi tinggi dan mengkristal pada kulit yang disebut dengan “uremic
frost”
c. Kalium terakumulasi dalam darah sehingga menyebabkan hiperkalemi yang
mempunyai gejala-gejala seperti malaise, hingga aritmia jantung.
Hiperkalemi dapat terjadi jika GFR dari ginjal mencapai <25 ml/min/1.73
mm³ dimana kemampuan ginjal mengeksresikan melalui berkurang
d. Penurunan produksi eritropoietin yang dapat menyebabkan penurunan
produksi sel darah merah yang dapat menyebabkan anemia, eritropoietin
diproduksi di jaringan interstitial ginjal, dalam penyakit ginjal kronis,
jaringan ini mengalami nekrosis sehingga produksi eritropoietin berkurang.
e. Overload volume cairan yang disebabkan oleh retensi natrium dan cairan
pada ginjal sehingga dapat menyebabkan edema ringan hingga edema yang
mengancam nyawa misalnya pada edema paru.
f. Hyperphosphatemia yang disebabkan oleh berkurangnya ekskresi phosphate
oleh ginjal. Hiperphospatemia meningkatkan resiko dari penyakit
3

kardiovaskular, dimana phosphate merupakan stimulus dari kalsifikasi


vascular.
g. Hipokalsemia yang disebabkan oleh stimulasi pembentukan FGF-23 oleh
osteosit dibarengi dengan penurunan masa ginjal. FGF-23 merupakan
inhibitor dari enzim pembentukan vitamin D yang secara kronis akan
menyebabkan hipertropi kelenjar paratiroid, kelainan tulang akibat panyakit
ginjal, dan kalsifikasi vaskular.
h. Asidosis metabolic yang disebabkan oleh akumulasi dari fosfat dan urea.
Asidosis juga dapat disebabkan oleh penuruan kemampuan produksi
ammonia pada sel-sel ginjal.
i. Anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh beberapa factor yaitu:
peningkatan inflamasi yang disebabkan oleh akumulasi urea, penurunan
eritropoietin dan penurunan fungsi sumsum tulang.

2.2.6 Patofisiologis
Secara umum penyebab dari penyakit ginjal kronis adalah penurunan
aliran darah ke ginjal yang umumnya disebabkan oleh Hipertensi , kerusakan
sel mesangial oleh Diabetes Melitus:
a. Hipertensi
Mekanisme kerusakan ginjal oleh hipertensi disebabkan oleh penebalan
sel-sel tunica intima pada glomerulus ginjal, penebalan sel tunica intima
menyebabkan mengecilnya vaskular yang berujung pada mengecilnya aliran
pembuluh darah ke bagian glomerulus, berkurangnya aliran pembuluh darah
ke glomerulus menyebabkan aktifnya system Renin- Angiotensin-Aldosteron
yang menyebabkan kenaikan tekanan darah lebih lanjut sehingga terjadi
kerusakan ginjal yang permanen.
Awalnya mekanisme aktifasi system Renin-Angiotensin-Aldosterone
dapat mengkompensasi kurangnya aliran darah ke ginjal, namun seiring
waktu akan menyebabkan nekrosis pada sel ginjal. Kerusakan glomerulus
ginjal dapat menyebabkan Global sclerosis dimana terjadi kerusakan yang
permanen dari glomerulus atau Focal segmental necrosis yang merupakan
system kompensasi ginjal dimana terjadi pembesaran glomerulus pada suatu
area karena kerusakan nefron pada area lain pada ginjal. Secara kronik
perubahan-perubahan pada
3

glomerulus ginjal akan menyebabkan kematian nefron yang akan


menyebabkan penurunan GFR secara perlahan.
b. Diabetes Millitus
Patofisiologi penyakit ginjal kronis untuk diabetes melitus melibatkan
hiperglikemia yang memicu pembentukan reactive oxygen species (ROS) dan
Advanced Glycosylation End Products (AGE). Pembentukan AGE dan ROS
menyebabkan terjadi stress oxidative pada jaringan nefron ginjal.
Peningkatan stress oxidative pada nefron ginjal menyebabkan kenaikan
permeabilitas ginjal lalu terjadinya proteinuria, efek lain kenaikan
permeabilitas glomerulus juga mengaktifkan system RAAS yang
menyebabkan kenaikan tekanan darah dan lebih jauh meningkatkan
permeabilitas ginjal dan memperparah kerusakan ginjal. Mekanisme lain dari
kerusakan ginjal dimana AGE dan ROS menstimulasi pembentukan growth
factor, growth factor yang terbentuk berupa TGF, VEGF, dan PDGF.
Pembentukan growth factor tersebut dapat menyebabkan terjadinya fibrosis
pada ginjal dan menurunkan GFR.

2.2.7 Komplikasi
Secara umum komplikasi pada penyakit ginjal kronis disebabkan oleh
berkurangnya kemampuan ginjal untuk mengekskresikan zat-zat berlebihan
dalam tubuh. Zat-zat ini dapat berupa: urea, kalium, fosfat. Penyebab
komplikasi pada ginjal lain adalah berkurangnya produksi darah akibat
kematian jaringan ginjal yang ireversibel yang menyebabkan produksi
eritropoietin yang berkurang. Penyakit-penyakit yang dapat timbul akibat
penyakit ginjal kronis adalah sebagai berikut:
a. Sindrom Uremia: sindrom uremia disebabkan oleh akumulasi urea dalam
darah. Akumulasi ini disebabkan oleh berkurangnya kemampuan ginjal untuk
mengekskresikan urea sehingga urea diabsorbsi kembali ke peredaran darah
dan terakumulasi di darah. Penyakit-penyakit yang dapat ditimbulkan oleh
uremia antara lain:
- Sistem Saraf Pusat: kelelahan, gangguan memori, insomnia, nyeri kepala,
kebingungan, ensefalopati (infeksi pada system saraf pusat)
- System saraf perifer: keram, neuropati perifer
3

- Gastrointestinal: anorexia, mual/muntah, gastroparesis, ulkus


gastrointestinal
- Hematologi: anemia, gangguan hemostasis
- Kardiovaskular: hipertensi, atherosclerosis, penyakit arteri coroner,
pericarditis, edema pulmonal
- Kulit: gatal-gatal, kulit kering, uremic frost (sekresi urea yang berlebihan
melalui kelenjar keringat)
- Nutrisi: malnutrisi, berat badan menurun, katabolisme otot
b. Hypoalbuminemia: hipoalbumin pada darah disebabkan oleh ekskresi
albumin yang berlebihan oleh ginjal yang ditandai dengan proteinuria pada
urinalisis. Secara umum gejala albuminuria ditandai dengan edema pada
wajah atau tungkai, dapat terjadi juga edema yang mengancam nyawa
misalnya seperti edema paru
c. Gagal Jantung Kongestif: penyakit ini juga disebut “high-output heart failure”
penyakit ini pada penyakit ginjal kronis disebabkan oleh tingginya volume
darah akibat retensi cairan dan natrium pada ginjal. Peningkatan volume
darah menyebabkan jantung tidak dapat memompa secara adekuat dan
menyebabkan gagal jantung.
d. Anemia: Anemia pada penyakit ginjal kronis secara umumnya disebabkan
oleh penurunan produksi eritropoietin dalam ginjal dimana eritropoietin
berfungsi sebagai hormone untuk maturasi sel darah merah. Mekanisme lain
anemia adalah berkurangnya absorpsi besi dan asam folat dari pencernaan
sehingga terjadi defisiensi besi dan asam folat.
e. CKD-MBD (Chronic Kidney Disease-Mineral Bone Disorder): merupakan
kelainan tulang yang disebebkan oleh penyakit ginjal kronis yang disebabkan
oleh bebebrapa hal: 1. Kelainan pada mineral seperti kalsium, fosfat, dan
kelainan pada hormone paratiroid serta vitamin D: 2. Kelainan pada
pembentukan tulang; 3. Kalsifikasi sel-sel vascular.

2.2.8 Penatalaksanaan
1. Hipertensi
Pasien dengan hipertensi diperlukan terapi antihipertensi yang
mencakup ACE inhibitor atau angiotensin receptor blocker. untuk tekanan
3

darah ditargetkan systolik kurang dari 130 mm Hg dan diastolic kurang


dari 80mm Hg.
2. Diabetes
Target control glikemik haru dicapai dengan aman dan mengikuti
Canadian Diabetes Association Guidelines dengan hemoglobin A1c <
7.0%, glukosa plasma puasa 4–7 mmol/L. Kontrol glikemik menjadi
strategi intervensi multifaktoral yang membahas kontrol tekanan darah,
resiko kardiovaskular dan dukung pemakaian ACE Inhibitor, angiotensin-
receptor blocker, statins, dan acetylsalicylic acid.
Metformin di rekomendasikan untuk pasien dengan diabetes melitus
tipe tipe 2 dengan stage 1 atau 2 penyakit ginjal kronis dengan fungsi
ginjal yang stabil dan tidak berubah selama 3 bulan terakhir. Metfomin
dapat dilanjutkan pada pasien penyakit ginjal kronis stabil stage 3.
Metformin diberhentikan jika terjadi perubahan akut dalam fungsi
ginjal atau selama periode penyakit yang dapat memicu perubahan
tersebut (gangguan gastrointertinal atau dehidrasi) atau menyebabkan
hipoksia (gagal jantung atau pernapasan). Pasien ini juga menggunakan
ACE Inhibitor, angiotensin receptor blocker, NSAID atau setelah
pemberian kontras intravena karena resiko gagal ginjal akut.
Menyesuaikan pilihan agen penurun glukosa lainnya (termasuk
insulin) untuk masingmasing pasien, tingkat fungsi ginjal dan
komorbiditas. Resiko hipoglikemia harus dinilai secara teratur untuk
pasien yang menggunakan insulin atau insulin secretagogues. Pasien juga
harus mengetahui cara mengenaili, mendeteksi dan mengobati
hipoglikemia. Short acting sulfonylureas (gliclazide) lebih dipilih
daripada long acting agents untuk pasien dengan penyakit ginjal kronis.
3. Proteinuria
Monitoring proteinuria dilakukan pada semua pasien dengan resiko
tinggi penyakit ginjal (pasien dengan diabetes, hipertensi, penyakit
vascular, penyakit autoimmune, eGFR 100mg/mmol atau ratio albumin
terhadap creatinine >60 mg/mmol dianggap sebagai batas untuk
menunjukkan adanya resiko peningkatan yang tinggi.
4

Pasien dewasa dengan diabetes dan albuminuria persistent harus


mendapatkan ACE Inhibitor atau angiotensin-receptor blocker untuk
memperlambat perkembangan penyakit ginjal kronis. ACE Inhibitor dan
angiotension reseptor blocker adalah obat pilihan untuk menurunkan
proteinuria. Pada beberapa pasien, aldosterone-receptor antagonist dapat
menurutkan proteinuria. diet kontrol protein serta penurunan berat badan
dapat memerikan manfaat dalam mengurani proteinuria.
4. Anemia
Anemia ditandai dengan tinggi Hemoglobin < 135g/L untuk pria
dewasa dan >120g/L untuk wanita dewasa. Pertimbangan untuk menguji
kadar-kadar yang lain pada pasien dengan hemoglobin<120g/L seperti
jumlah dan perbedaan leukosit, jumlah trombosit, indeks eritrosit, jumlah
retikulosit absolut, serum ferritin dan saturasi transferrin.
Pada pasien anemia dengan simpanan besi adekuat, penggunaan
erythropoiesisstimulating agent diperbolehkan apabila hemoglobin
dibawah 100g/L. untuk pasien yang mendapat erythropoiesis-stimulating
agents, target hemoglobin harus 110g/L dengan range hemoglobin normal
100-120g/L. erythropoiesis-stimulating agent hanya dapat diresepkan oleh
spesialis yang mempunyai pengalaman meresepkan obat ini.
Besi oral adalah terapi lini pertama untuk pasien dengan penyakit
ginjal kronis. Pada pasien yang dapat dan tidak mendapatkan
erythropoiesis- stimulating agent dengan hemoglobin 16 100ng/mL dan
saturasi transferrin
>20%. Pasien dengan target serum ferritin dan saturasi trasnferrin yang
tidak mencukupi atau keduanya saat mengambil besi oral atau tidak
mentoleransi bentuk oral harus mendapatkan besi intravena.

Anda mungkin juga menyukai