BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2. Etiologi
Terjadinya gagal jantung dapat disebabkan: (Wijaya & Putri, 2013)
a. Disfungsi miokard (kegagalan miokardial)
Kegagalan miokard berkontraksi mengakibatkan isi sekuncup dan curah jantung
(cardiac output) terjadi menurun.
b. Beban tekanan berlebihan pembebanan sistolik (systolic overload)
18
2.1.3. Patofisiologi
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan
kemampuan kontraksi jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah
dari curah jantung normal. Konsep curah jantung yaitu CO = HR X SV. Curah
jantung atau cardiac output adalah fungsi frekuensi jantung atau heart rate X
volume sekuncup atau stroke volume (Smeltzer & Bare, 2010).
Menurut (Muttaqin, 2012) bila cadangan jantung untuk berespons
terhadap stress tidak adekuat dalam memenuhi kebutuhan metabolik tubuh,
maka jantung gagal untuk melakukan tugasnya sebagai pompa, akibatnya
terjadilah gagal jantung.
Kelainan fungsi otot jantung disebabkan oleh aterosklerosis koroner,
hipertensi arterial dan penyakit otot degeneratif atau inflamasi. Aterosklerosis
koroner mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran
darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam
laktat). Infark Miokardium biasanya mendahului terjadinya gagal jantung.
Hipertensi sistemik/ pulmonal (peningkatan afterload) meningkatkan beban
19
kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung.
Efek tersebut (hipertrofi miokard) dapat dianggap sebagai mekanisme
kompensasi karena akan meningkatkan kontraktilitas jantung. Hipertrofi otot
jantung menyebabkan jantung tidak dapat berfungsi secara normal, dan
akhirnya terjadi gagal jantung.
Peradangan dan penyakit miokarium degeneratif berhubungan dengan
gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung,
menyebabkan kontraktilitas menurun. Ventrikel kanan dan kiri dapat
mengalami kegagalan secara terpisah. Gagal ventrikel kiri murni sinonim
dengan edema paru akut. Karena curah ventrikel berpasangan/ sinkron, maka
kegagalan salah satu ventrikel dapat mengakibatkan penurunan perfusi jaringan.
Gagal jantung dapat dimulai dari sisi kiri atau kanan jantung. Sebagai
contoh, hipertensi sitemik yang kronis akan menyebabkan ventrikel kiri
mengalami hipertrofi dan melemah. Hipertensi paru yang berlangsung lama
akan menyebabkan ventrikel kanan mengalami hipertofi dan melemah. Letak
suatu infark miokardium akan menentukan sisi jantung yang pertama kali
terkena setelah terjadi serangan jantung.
Ventrikel kiri yang melemah akan menyebabkan darah kembali ke
atrium, lalu ke sirkulasi paru, ventrikel kanan dan atrium kanan, maka jelaslah
bahwa gagal jantung kiri akhirnya akan menyebabkan gagal jantung kanan.
Pada kenyataanya, penyebab utama gagal jantung kanan adalah gagal jantung
kiri. Karena tidak dipompa secara optimum keluar dari sisi kanan jantung, maka
darah mulai terkumpul di sistem vena perifer. Hasil akhirnya adalah semakin
berkurangnya volume darah dalam sirkulasi dan menurunnya tekanan darah
serta perburukan siklus gagal jantung.
Menurut (Muttaqin, 2012) keluhan utama pada klien dengan gangguan
system kardiovaskular secara umum antara lain sesak nafas,nafas pendek, batuk,
nyeri dada, pingsan, berdebar-debar, cepat lelah, odema ekstremitas, dan
sebagainya. Dispnea kardiak terjadi secara khas pada pengerahan tenaga dan
disebabkan oleh kenaikan tekanan akhir diastolic dari ventrikel kiri yang
meningkatkan tekanan vena pulmonalis . Hal ini terjadi karena terdapat
kegagalan peningkatan curah darah ventrikel kiri pada waktu melakukan
kegiatan fisik.
20
2.1.4. Pathway
Asidosis
Kontraktilitas otot
jantung menurun
COP menurun
Katekolamin meningkat
Beban kerja jantung
meningkat
HR meningkat
Infark miokard
Jantung mengalami
kegagalan dalam
mekanisme
pemompaan
21
ADHF
Edema paru
Hipervolemia
Proses difusi
terganggu
Dispnea, pH menurun,
CO2 menurun
2.1.6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan terhadap pasien gagal jantung harus dilakukan agar
tidak terjadi perburukan kondisi. Tujuan penatalaksanaan adalah untuk
menurunkan kerja otot jantung, meningkatkan kemampuan pompa ventrikel,
memberikan perfusi adekuat pada organ penting, mencegah bertambah
parahnya gagal jantung dan merubah gaya hidup (Wijaya & Putri, 2013).
Penatalaksanaan dasar pada pasien gagal jantung meliputi dukungan istirahat
23
g. Merubah Gaya Hidup Perubahan gaya hidup menjadi kunci utama untuk
mempertahankan fungsi jantung yang dimiliki dan mencegah kekambuhan.
Ketaatan pasien berobat, pemantauan berat badan mandiri, asupan cairan,
pengurangan berat badan, latihan fisik, aktvitas seksual (Black & Hawks,
2014).
2.1.7 Konsep asuhan keperawatan pada kasus ADHF
Pengkajian yaitu dimana pemikiran dasar bertujuan yang
mengumpulkan informasi tentang data klien, sehingga bisa mengidentifikasi,
mengenali berbagai macam masalah-masalah kebutuhan kesehatan klien dan
kondisi klien baik pada fisik, mental, maupun sosial dan lingkungan klien
(Muttaqin, 2012). Pengkajian pada pasien ADHF meliputi:
2.1.7.1 Pengkajian
1. Identitas Klien
Meliputi : nama, tempat/tanggal lahir, jenis kelamin, status kawin, agama,
pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, No. MR.
2. Keluhan utama.
Dapat ditemukan pada pasien ADHF dengan manifestasi respiratori ditemui
keluhan utama sesak nafas. Keluhan utama lainnya dirtemui pada pasien
penyakit ADHF, yaitu edema pada ekstremitas, batuk
peningkatan/penurunan berat badan, penurunan nafsu makan/rasa kenyang
yang ceooat, nocturia, takipnea, lelah yang ditandai dengan ekstremitas
dingin.
3. Riwayat kesehatan sekarang.
Dapat ditemukan keluhan yang baisanuya disampaikan pasien ADHF
adalah: pasien akan mengeluhkan napas sesak (dispnea) bagi pasien yang
memiliki manifestasi respiratori, edema pada ekstremitas, dan dingin di
daerah ekstremitasnya.
4. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya pasien pernah dirawat karena penyakit yang sama dan adanya
riwayat hpertensi.
5. Riwayat kesehatan keluarga
26
Hal yang perlu dikaji dalam keluarga klien, adakah yang menderita penyakit
sama dengan klien, penyakit jantung, gagal jantung, hipertensi.
6. Pola aktifitas sehari-hari (ADL) meliputi:
a. Pola Nutrisi
Kebiasaan makan klien sehari-hari, kebiasaan makan-makanan yang
dikonsumsi dan kebiasaan minum klien sehari-hari, pasien gagal jantung
akan mengalami penurunan nafsu makan, meliputi frekwensi, jenis, jumlah
dan masalah yang dirasakan.
b. Pola Eliminasi
Kebiasaan BAB dan BAK klien akan berpengaruh terhadap perubahan
sistem tubuhnya.
c. Pola Istirahat Tidur
Kebiasaan klien tidur sehari-hari, terjadi perubahan saat gejala sesak nafas
dan batuk muncul pada malam hari. Semua klien dengan gagal jantung
akan mengalami sesak nafas, sehingga hal ini dapat menganggu tidur klien.
d. Personal Hygiene
Kebiasaan mandi, gosok gigi, cuci rambut, dan memotong kuku perlu
dikaji sebelum klien sakit dan setelah klien dirawat dirumah sakit.
e. Pola Aktivitas
Sejauh mana klien mampu beraktivitas dengan kondisinya saat ini dan
kebiasaan klien berolah raga sewaktu masih sehat.
f. Pola presepsi dan kosep diri
Pada pasien ADHF biasanya mengalami perasaan marah, cemas, depresi
dan stres.
g. Pola sensori kognitif
Pada pasien ADHF biasanya mengalami penurunan pengecapan dan
gangguan penglihatan. Pasien juga biasanya mengalami penurunan daya
ingat, kesulitan berkonsentrasi, kesulitan dalam respon verbal. Gangguan
kognitif lain yang terganggu yaitu bisa mengalami halusinasi.
7. Pemeriksaan fisik
a. Gambaran umum: ditemukan pasien tampak lemah
27
2. Bersihan jalan napas tidak efektif. Hal ini berhubungan dengan penurunan
energi, kelelahan, infeksi respirasi, sekresi trakeobronkial, keganasan paru,
dan pneumotoraks.
3. Kecemasan, adalah hal berhubungan dengan prognosis yang tidak jelas,
persepsi tentang efek penyakit, dan pengobatan terhadap gaya hidup.
4. Gangguan gambaran diri. Hal ini berhubungan dengan penyakit kronis,
alopesia, penurunan berat badan, dan gangguan seksual.
5. Ketegangan peran pemberi perawatan (aktual atau risiko) berhubungan
dengan keparahan penyakit penerima perawatan, tahap penyakit yang tidak
dapat diprediksi atau ketidakstabilan dalam perawatan kesehatan penerima
perawatan, durasi perawatan yang diperlukan, lingkungan fisik yang tidak
adekuat untuk menyediakan perawatan, kurangnya waktu santai dan
rekreasi bagi pemberi perawatan, serta kompleksitas dan jumlah tugas
perawatan
6. Konfusi (akut atau kronis) berhubungan dengan infeksi susunan saraf pusat
(misalnya toksoplasmosis), infeksi sitomegalovirus, limfoma, dan
perkembangan HIV.
7. Koping keluarga berkaitan dengan ketidakmampuan untuk berhubungan
dengan informasi atau pemahaman yang tidak adekuat atau tidak tepat
tentang penyakit kronis, dan perasaan yang tidak terselesaikan secara
kronis.
8. Koping tidak efektif berhubungan dengan kerentanan individu dalam situasi
krisis (misalnya penyakit terminal).
9. Diare, berhubungan dengan pengobatan, diet, dan infeksi.
10. Kurangnya aktivitas pengalihan, berhubungan dengan sering atau lamanya
pengobatan medis, perawatan di rumah sakit dalam waktu yang lama, bed
rest yang lama
11. Kelelahan, berhubungan dengan proses penyakit serta kebutuhan psikologis
dan emosional yang sangat banyak.
12. Takut, berhubungan dengan ketidakberdayaan, ancaman yang nyata
terhadap kesejahteraan diri sendiri, kemungkinan terkucil, dan
kemungkinan kematian.
29
13. Volume cairan kurang, berhubungan dengan asupan cairan yang tidak
adekuat sekunder terhadap lesi oral dan diare.
14. Berduka disfungsional/diantisipasi, berhubungan dengan kematian atau
perubahan gaya hidup yang segera terjadi, kehilangan fungsi tubuh
perubahan penampilan, dan ditinggal mati oleh orang yang berarti orang
terdekat).
15. Perubahan pemeliharaan rumah, berhubungan dengan sistem pendukung
yang tidak adekua, kurang pengetahuan, dan kurang akrab dengan sumber-
sumber komunitas
16. Keputusasaan, berhubungan dengan perubahan kondisi fisik dan prognosis
yang buruk.
17. Risiko infeksi berhubungan dengan imunodefisiensi seluler.
18. Risiko penyebaran infeksi (bukan diagnosis NANDA) faktor risiko: sifat
cairan tubuh yang menular.
19. Risiko injuri (jatuh), berhubungan dengan kelelahan, kelemahan, perubahan
kognitif, ensefalopati, dan perubahan neuromuskular.
20. Pengelolaan pengobatan yang tidak efektif, berhubungan dengan
kompleksitas bahan-bahan pengobatan, kurang pengetahuannya tentang
penyakit, obat, dan sumber komunitas, depresi, sakit, atau malaise.
21. Ketidakseimbangan nutrisi (kurang dari kebutuhan tubuh), berhubungan
dengan kesulitan mengunyah, kehilangan nafsu makan, lesi oral dan
esofagus, malabsorbsi gastrointestinal, dan infeksi oportunistik (kandidiasis
dan herpes).
22. Nyeri akut, berhubungan dengan: perkembangan penyakit, efek samping
pengobatan, odem limfe, sakit kepala sekunder terhadap infeksi SSP
(Sistem Saraf Pusat). neuropati perifer, dan mialgia parah.
23. Ketidakberdayaan, berhubungan dengan penyakit terminal, bahan
pengobatan, dan perjalanan penyakit yang tidak bisa diprediksi.
24. Kurang perawatan diri yang terdiri atas berhias, toileting, instrumental,
makan/ minum, dan mandi, berhubungan dengan penurunan kekuatan dan
ketahanan, intoleransi aktivitas, dan kebingungan akut/kronis.
30
25. Harga diri rendah (kronis dan situasional), berhubungan dengan penyakit
kronis dan krisis situasional.
26. Perubahan persepsi sensori (pendengaran/penglihatan), berhubungan
dengan kehilangan pendengaran sekunder efek pengobatan, kehilangan
penglihatan akibat infeksi CMV.
27. Pola seksual tidak efektif, berhubungan dengan tindakan seks yang lebih
aman. takut terhadap penyebaran infeksi HIV, tidak berhubungan seks,
impoten sekunder akibat efek obat.
28. Kerusakan integritas kulit, berhubungan dengan kehilangan otot dan
jaringan sekunder akibat perubahan status nutrisi, ekskoriasi perineum
sekunder akibat diare dan lesi (kandidiasis dan herpes), dan kerusakan
mobilitas fisik.
29. Perubahan pola tidur, berhubungan dengan nyeri, berkeringat di malam hari.
obat-obatan, efek samping obat, kecemasan, depresi, dan purus obat heroin
kokain).
30. Isolasi sosial, berhubungan dengan stigma, ketakutan orang lain terhadap
penyebaran infeksi, ketakutan diri sendiri terhadap penyebaran HIV, moral.
budaya, agama, penampilan fisik, serta gangguan harga diri dan gambaran
diri
31. Distres spiritual, berhubungan dengan tantangan sistem keyakinan dan nilai
dan tes keyakinan spiritual
32. Adanya risiko kekerasan yang diarahkan pada diri sendiri, seperti adanya
ide bunuh diri akibat rasa keputusasaan. (Nursalam dan Kurniawati, 2013)
2.1.7.3 Implementasi Keperawatan
Implementasi dilakukan sesuai dengan rencana tindakan keperawatan
atau intervensi.
2.1.7.4 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan dilakukan sesusai dengan kriteria hasil yang
ditetapkan.
31
2.2.1 Definisi
Definisi Penyakit Ginjal Kronis adalah penurunan fungsi ginjal secara
kronis yang memerlukan waktu bulanan hingga tahunan yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal (Glomerulus Filtration Rate) 30mg/g tidak terikat pada
umur, tekanan darah, dan apakah teradapat diabetes atau tidak pada pasien.
Penyakit ginjal kronis juga tidak hanya didefinisikan sebagai penyakit ginjal
stase akhir atau End Stage Renal Disease (ESRD), namun juga diasosiasikan
dengan komplikasi-komplikasi penyakit ginjal kronis seperti: anemia,
hiperparatiroid, hiperphospatemia, penyakit jantung, infeksi, dan fraktur yang
khusus terdapat pada CKD-MBD (Chronic Kidney Disease – Mineral Bone
Disorder). Namun penurunan GFR dan albuminuria tidak merupakan
pengukuran yang simptomatis simtomatis namun merupakan pengukuran
langsung dari fungsi ginjal dan kerusakan ginjal (Siregar, 2020)
2.2.2 Epidemiologi
Angka prevalensi penyakit ginjal kronis di Indonesia pada tahun 2018
cukup tinggi yaitu mencapai 3.8 permil populasi Indonesia menderita penyakit
ginjal kronis yang terdiagnosis dokter. Angka ini lebih tinggi dibandingkan
prevalensi penyakit ginjal kronis pada tahun 2013 yaitu 2 permil di seluruh
Indonesia. Prevalensi tertinggi terdapat pada provinsi Kalimantan utara yaitu
sebanyak 6.4 permil sedangkan prevalensi terendah di Indonesia terdapat pada
provinsi Sulaswesi Barat pada angka 1.8 permil. Penderita penyakit ginjal
kronis tersering berada pada umur 65-74 tahun, lebih banyak terjadi pada laki-
laki. Persentase penderita penyakit ginjal kronis yang sedang menjalani
hemodialisa di Indonesia juga cukup rendah dimana hanya 19.3% penderita
penyakit ginjal kronis menjalani terapi hemodialisa (Bikbov et al., 2018).
Di dunia, sebanyak 1 dari 10 orang mempunyai penyakit ginjal kronis.
Daerah-daerah seperti Afrika, Amerika, Asia Selatan, dan Asia Tenggara
merupakan daerah yang paling sering ditemukannya penyakit ginjal kronis.
32
2.2.3 Etiologi
Menurut (Kalengkongan et al., 2018) Penyebab tersering penyakit ginjal
kronis yang diketahui adalah diabetes melitus, selanjutnya diikuti oleh tekanan
darah tinggi dan glomerulonephritis. Penyebab lainnya dapat berupa idiopatik.
Namun penyebab-penyebab dari penyakit ginjal kronis dapat diklasifikasikan
berdasarkan anatomi ginjal yang terlibat:
- Penyakit vaskular, yang dapat melibatkan pembuluh darah besar seperti
bilateral artery stenosis, dan pembuluh darah kecil seperti nefropati iskemik,
hemolytic-uremic syndrome, dan vasculitis
- Kelainan pada glomerulus yang dapat berupa
a. Penyakit glomerulus primer seperti nefritis dan focal segmental
glomerulosclerosis
b. Penyakit glomerulus sekunder seperti nefropati diabetic dan lupus nefritis
- Penyakit bawaan seperti penyakit ginjal polikistik
- Nefropati obstruktif yang dapat berupa batu ginjal bilateral dan hyperplasia
prostate
- Infeksi parasite (yang sering berupa enterobiasis) dapat menginfeksi ginjal dan
menyebabkan nefropati
Penyakit ginjal kronis juga dapat idiopatik yang mempunyai gejala yang berupa
penuruhnan aliran darah ke ginjal yang menyebabkan sel ginjal menjadi nekrosis.
2.2.4 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronis menurut (Milik & Hrynkiewicz, 2014)
KDIGO pada tahun 2012 meliputi kriteria penurunan GFR dan peningkatan
rasio albuminuria dan serum kreatinin. Klasifikasi penyakit ginjal kronis
33
2.2.6 Patofisiologis
Secara umum penyebab dari penyakit ginjal kronis adalah penurunan
aliran darah ke ginjal yang umumnya disebabkan oleh Hipertensi , kerusakan
sel mesangial oleh Diabetes Melitus:
a. Hipertensi
Mekanisme kerusakan ginjal oleh hipertensi disebabkan oleh penebalan
sel-sel tunica intima pada glomerulus ginjal, penebalan sel tunica intima
menyebabkan mengecilnya vaskular yang berujung pada mengecilnya aliran
pembuluh darah ke bagian glomerulus, berkurangnya aliran pembuluh darah
ke glomerulus menyebabkan aktifnya system Renin- Angiotensin-Aldosteron
yang menyebabkan kenaikan tekanan darah lebih lanjut sehingga terjadi
kerusakan ginjal yang permanen.
Awalnya mekanisme aktifasi system Renin-Angiotensin-Aldosterone
dapat mengkompensasi kurangnya aliran darah ke ginjal, namun seiring waktu
akan menyebabkan nekrosis pada sel ginjal. Kerusakan glomerulus ginjal dapat
menyebabkan Global sclerosis dimana terjadi kerusakan yang permanen dari
glomerulus atau Focal segmental necrosis yang merupakan system kompensasi
ginjal dimana terjadi pembesaran glomerulus pada suatu area karena kerusakan
nefron pada area lain pada ginjal. Secara kronik perubahan-perubahan pada
37
2.2.7 Komplikasi
Secara umum komplikasi pada penyakit ginjal kronis disebabkan oleh
berkurangnya kemampuan ginjal untuk mengekskresikan zat-zat berlebihan
dalam tubuh. Zat-zat ini dapat berupa: urea, kalium, fosfat. Penyebab
komplikasi pada ginjal lain adalah berkurangnya produksi darah akibat
kematian jaringan ginjal yang ireversibel yang menyebabkan produksi
eritropoietin yang berkurang. Penyakit-penyakit yang dapat timbul akibat
penyakit ginjal kronis adalah sebagai berikut:
a. Sindrom Uremia: sindrom uremia disebabkan oleh akumulasi urea dalam
darah. Akumulasi ini disebabkan oleh berkurangnya kemampuan ginjal untuk
mengekskresikan urea sehingga urea diabsorbsi kembali ke peredaran darah
dan terakumulasi di darah. Penyakit-penyakit yang dapat ditimbulkan oleh
uremia antara lain:
- Sistem Saraf Pusat: kelelahan, gangguan memori, insomnia, nyeri kepala,
kebingungan, ensefalopati (infeksi pada system saraf pusat)
- System saraf perifer: keram, neuropati perifer
38
2.2.8 Penatalaksanaan
1. Hipertensi
Pasien dengan hipertensi diperlukan terapi antihipertensi yang
mencakup ACE inhibitor atau angiotensin receptor blocker. untuk tekanan
39
darah ditargetkan systolik kurang dari 130 mm Hg dan diastolic kurang dari
80mm Hg.
2. Diabetes
Target control glikemik haru dicapai dengan aman dan mengikuti
Canadian Diabetes Association Guidelines dengan hemoglobin A1c <
7.0%, glukosa plasma puasa 4–7 mmol/L. Kontrol glikemik menjadi
strategi intervensi multifaktoral yang membahas kontrol tekanan darah,
resiko kardiovaskular dan dukung pemakaian ACE Inhibitor, angiotensin-
receptor blocker, statins, dan acetylsalicylic acid.
Metformin di rekomendasikan untuk pasien dengan diabetes melitus
tipe tipe 2 dengan stage 1 atau 2 penyakit ginjal kronis dengan fungsi ginjal
yang stabil dan tidak berubah selama 3 bulan terakhir. Metfomin dapat
dilanjutkan pada pasien penyakit ginjal kronis stabil stage 3.
Metformin diberhentikan jika terjadi perubahan akut dalam fungsi
ginjal atau selama periode penyakit yang dapat memicu perubahan tersebut
(gangguan gastrointertinal atau dehidrasi) atau menyebabkan hipoksia
(gagal jantung atau pernapasan). Pasien ini juga menggunakan ACE
Inhibitor, angiotensin receptor blocker, NSAID atau setelah pemberian
kontras intravena karena resiko gagal ginjal akut.
Menyesuaikan pilihan agen penurun glukosa lainnya (termasuk insulin)
untuk masingmasing pasien, tingkat fungsi ginjal dan komorbiditas. Resiko
hipoglikemia harus dinilai secara teratur untuk pasien yang menggunakan
insulin atau insulin secretagogues. Pasien juga harus mengetahui cara
mengenaili, mendeteksi dan mengobati hipoglikemia. Short acting
sulfonylureas (gliclazide) lebih dipilih daripada long acting agents untuk
pasien dengan penyakit ginjal kronis.
3. Proteinuria
Monitoring proteinuria dilakukan pada semua pasien dengan resiko
tinggi penyakit ginjal (pasien dengan diabetes, hipertensi, penyakit
vascular, penyakit autoimmune, eGFR 100mg/mmol atau ratio albumin
terhadap creatinine >60 mg/mmol dianggap sebagai batas untuk
menunjukkan adanya resiko peningkatan yang tinggi.
40