TINGGI DI INDONESIA
Muhammad Khoirul Anam1, Ardita Esti Ramadani2, Khansa Inggita Sari3, Nadia
yolanda Simangunsong4, Uut Ristiana5
1programstudi ilmu hukum, universitas negeri semarang,
muhammadkhoirulanam@students.unnes.ac.id
2program studi ilmu hukum, universitas negeri semarang, arditaest@students.unnes.ac.id
3program studi ilmu hukum ,universitas negeri semarang,
khasainggita91@students.unnes.ac.id
4program studi ilmu hukum, universitas negeri semarang,
5program studi ilmu hukum, universitas negeri semarang, uutristiana@students.unnes.ac.id
Abstract
This study aims to find out the constitutional perspective regarding the depth of state high
institutions. This paper aims to find out the meaning of state institutions, the position and
relationship between state institutions according to the 1945 Constitution, the duties and
powers of state institutions. According to the constitution, lower statutory regulations, third,
state institutions are located in the center of government and can also be in the regions, the
position of auxiliary state institutions cannot be equated with the main state institutions because
these auxiliary state institutions are only functional.secondary or additional to primary or
primary state institutions, but this cannot be used as a reason to judge that auxiliary state
institutions are not more important than main state institutions, because both have the same
interests or constitutional interests. .
Keywords: institutions of state, government, power
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prespektif konstitusi mengenai kedaulatan lembaga
tinggi negara. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui makna lembaga negara, kedudukan dan
relasi antar lembaga negara menurut UUD Tahun 1945 tugas dan juga wewenang Lembaga
negara.Menggunakan data kepustakaan disimpulkan bahwa, pertama lembaga negara
merupakan organisasi pemerintahan yang menjalankan fungsi-fungsi kenegaraan, kedua
lembaga negara dapat dibentuk oleh konstitusi, Undang-undang atau peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah, ketiga, lembaga negara berkedudukan di pusat pemerintahan dan
dapat pula di daerah, kedudukan lembaga negara bantu tidak dapat disejajarkan dengan
lembaga negara utama karena lembaga negara bantu ini secara fungsi hanya bersifat sekunder
atau penunjang (auxiliary) terhadap lembaga negara yang bersifat pokok atau utama, meskipun
demikian hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk menilai bahwa lembaga negara bantu itu
tidak lebih penting dari pada lembaga negara utama, karena keduanya sama-sama memiliki
kepentingan atau constitutional importance yang sama.
Secara konseptual dan strategis, ada empat pilar reformasi yang semestinya menjadi
acuan dalam pembaharuan politik, ekonomi, sosial dan lain-lain, termasuk pembaharuan di
bidang hukum. Terjadinya perubahan yang mendasar terhadap sistem ketatangeraan Indonesia
terutama mengenai lembaga negara, MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara dan tidak
lagi disebut sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, munculnya lembaga baru seperti Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) dan Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY),
ditiadakannya Dewan Pertimbangan Agung (DPA), sistem demokrasi langsung diterapkan
untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden serta ketentuan tentang hak asasi manusia
dicantumkan secara rinci. Pada pemerintahan pusat terbagi tiga yaitu legislatif, eksekutif dan
yudikatif, yang memiliki tugas yang berbeda-beda dan terpisah satu sama lainnya, baik
mengenai tugas maupun mengenai alat perlengkapan yang melakukan.
Analisis dilakukan dengan cara membandingkan antara isi dokumen dan konsep-
konsep yang ditemukan dalam literatur. Kemudian, ditarik kesimpulan dan dilakukan diskusi
mengenai temuan yang diperoleh dari analisis. Hasil analisis kemudian diperkuat dengan
menggunakan teori-teori yang relevan dengan tujuan penelitian. Metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini memiliki kelebihan dalam memberikan gambaran yang lebih
mendalam mengenai konstitusi dan lembaga tinggi negara Indonesia. Metode kualitatif
deskriptif memberikan ruang bagi peneliti untuk lebih memahami konsep-konsep dan prinsip-
prinsip yang terkandung dalam dokumen, serta memberikan kesempatan untuk mengeksplorasi
sudut pandang yang berbeda-beda.
Namun, metode ini juga memiliki kekurangan dalam hal keabsahan data yang
digunakan. Karena metode ini hanya menggunakan data sekunder, maka keabsahan data sangat
tergantung pada keakuratan dan keberhasilan peneliti dalam mengumpulkan data. Selain itu,
metode kualitatif deskriptif juga membutuhkan waktu yang cukup lama dan tenaga yang besar
dalam melakukan analisis data, sehingga memerlukan ketekunan dan konsistensi dari peneliti.
Dalam penelitian ini, peneliti telah berusaha untuk memperoleh data yang akurat dan
terpercaya serta melakukan analisis data secara kritis dan objektif. Diharapkan hasil penelitian
ini dapat memberikan kontribusi dalam pemahaman mengenai konstitusi dan lembaga tinggi
negara Indonesia, khususnya dalam konteks kedaulatan dan kekuasaan lembaga tinggi negara.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
a) Definisi Lembaga Negara
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan istilah lembaga antara lain
(1) asal mula (yang menjadi akan sesuatu); bakal (binatang dan tumbuhan); (2)
bentuk yang asli; (3) acuan; ikatan; (4) badan (organisasi); (5) pola perilaku manusia
yang mapan. Kamus tersebut memberi contoh frasa yang menggunakan kata
lembaga yaitu pemerintah yang diartikan badan-badan pemerintahan dalam
lingkungan eksekutif sehingga kata pemerintahan diganti dengan negara yang
artinya badan-bada negara disemua lingkungan pemerintahan negara (eksekutif,
legislative,yudikatif).
Secara definitif, alat-alat kelengkapan suatu negara atau yang lazim disebut
sebagai lembaga negara adalah institusi-institusi yang dibentuk guna melaksanakan
fungsi-fungsi negara.1 Berdasarkan teori-teori klasik mengenai negara setidaknya
terdapat beberapa fungsi negara yang penting seperti fungsi membuat kebijakan
peraturan perundang-undangan (fungsi legislatit), fungsi melaksanakan peraturan
atau fungsi penyelenggaraan pemerintahan (fungsi eksekutif), dan fungsi mengadili
(fungsi yudikatif). 2
Kecenderungan praktik ketatanegaraan terkini di Indonesia oleh banyak ahli
hukum tata negara dan ahli politik dikatakan menuju sistem pemisahan kekuasaan
antara ketiga pelaksana fungsi negara tersebut. Alat kelengkapan negara
berdasarkan teori-teori klasik hukum negara meliputi kekuasaan eksekutif, dalam
hal ini bisa presiden atau perdana menteri atau raja, kekuasaan legislatif, dalam hal
ini bisa disebut parlemen atau dengan nama lain seperti dewan perwakilan rakyat,
dan kekuasaan yudikatif seperti mahkamah agung atau supreme court. Setiap alat
kelengkapan negara tersebut bisa memiliki organ-organ lain untuk membantu
pelaksanaan fungsinya.
Kekuasaan eksekutif misalnya, dibantu wakil dan menteri-menteri yang biasanya
memimpin satu departemen tertentu.3 Meskipun demikian, dalam kenyataannya,
tipe-tipe lembaga negara yang diadopsi setiap negara berbeda-beda sesuai dengan
perkembangan sejarah politik kenegaraan dan juga sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dalam negara yang bersangkutan.
Secara konseptual, tujuan diadakannya lembaga-lembaga negara atau alat-alat
kelengkapan negara adalah selain untuk menjalankan fungsi negara, juga untuk
rnenjalankan fungsi pernerintahan secara aktual. Dengan kata lain, lembaga-
lembaga itu harus mernbentuk suatu kesatuan proses yang satu sama lain saling
berhubungan dalarn rang ka penyelenggaraan fungsi negara atau istilah yang
digunakan Sri Soemantri adalah actual governmental process.4
1
Moh. Kusnadi dan Bintan Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000)
2
Ibid
3
Ibid
4
Sri Soemantri. Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945. (Bandung:Alumni) 1993
parlemen. Sehingga Presiden di Indonesia berwenang dalam mengepalai negara dan
juga pemerintahan yang mana kewenangan ini di atur di dalam UUD NRI 1945.
Kewenangan Presiden dan Wakil Presiden di atur dalam Pasal 4 Ayat 1 dan 2
yang menjelaskan bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menrut
UUD dan dibantu oleh Wakil Presiden. Serta dalam Pasal 5 Ayat 1 dan 2 yang
menjelaskan bahwa Presiden berhak mangajukan RUU kepada DPR serta
menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang
sebagaimana mestinya. Di Indonesia sendiri Presiden dan Wakil Presiden memgang
jabatan selama 5 tahun yang apabila dalam masa jabatanya Presiden tidak dapat
melanjutkanya dengan alasan seperti mangkat, berhenti, atau tidak dapat
melaksanakan kewajibannya karena sebab lain maka Wakil Presiden akan
menggantikanya sampai habis masa jabatanya.
Kewenangan Presiden sebagai Kepala Negara diatur dalam Pasal 10 sampai
Pasal 15. Dalam Pasal 10 dijelaskan bahwa Presiden ialah pemegang kekuasaan
tertinggi dalam angkatan udara, laut dan darat. Dalam Pasal 11 ayat 1 dan 2
dijelaskan bahwa Presiden dapat menyatakn perang, membuat perdamian dan
perjajian yang mana hal ini membutuhkan persetujuan DPR. Pasal 12 juga
menyebutkan bahwa Presiden dapat menyatakan keadaan bahaya. Dalam Pasal 13
Ayat 1-3 disebutkan bahwa Presiden mengangkat duta dan konsul serta menerima
penempatan duta dari negara lain atas pertimbangan DPR. Dalam Pasal 14 Ayat
1dan2 Presiden berwenang untuk memberikan grasi dan rehabilitasi atas dasar
pertimbangan MA dan memberikan amnesti dan abolisi atas pertimbangan DPR.5
Sedangkan dalam Pasal 15 Presiden diberikan wewenang untuk memberikan gelar,
tanda jasa serta tanda kehormatan lain sebgaimana telah diatur di dalam Undang-
Undang.
5
Dr. Ni’Matul Huda,SH.,M.Hum. Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta:Rajawali Pers) 2015, hlm.196-197
Hingga pada akhirnya lebih dari 50%anggota MPR memilih untuk sistem
keanggotaan MPR sendiri terdiri atas DPR dan juga DPD yang dipilih melalui
pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang. 6
Pada awalnya MPR mempunyai kewenangan dalam penetapan Garis Besar Haluan
Negara (GBHN.Namun setelah amandemen ketiga UUD, MPR tidak lagi
mempunyain kewenangan untuk meneteapkan GBHN. ).Salah satu alasannya
adalah karena GBHN dianggap merusak sistem presidensial di Indonesia serta
memperburuk kinerja parlemen. Akan tetapi MPR masih memiliki kewenangan
untuk mengubah dan menetapkan UUD 1945. Kewenangan MPR dalam mengubah
UUD 1945 sendiri diatur di dalam Pasal 37 Ayat 1. Dimana dalam pengubahan
Pasal UUD tersebut memiliki beberapa syarat diantaranya adalah :
a. 2/3 dari jumlah angggota MPR hadir dalam sidang.
b. Menggunakan sistem persetujuan sekurang-kurangnya 50%+1 anggota MPR
dalam putusan pengubahan Pasal-pasal UUD.7
MPR dalam menjalankan tugas dan wewenang untuk mengubah dan
menetapkan UUD 1945 sudah dilakukan sebanyak 4 tahap yaitu :
a. Tahap pertama dilaksanakan 14 sampai 21 Oktober 1999
b. Tahap kedua dilaksanakan 7 sampai 18 Agustus 2000
c. Tahap ketiga dilaksanakan 1sampai 9 Oktober 2001
d. Tahap keempat dilaksanakan 1 sampai 12 Agustus 2002
MPR selain mempunyai kewenang dalam mengubah dan mentepkan UUD, juga
berwenang untuk melantik dan juga memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden sendiri diatur dalam Pasal 1
dimana pemberhentian ini membutuhkan usualan dari DPR dan putusan MK
Presiden dan Wakil Presiden diberhentikan oleh MPR apabila terbukti melakukan
pelanggran hukum seperti penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindakan pidana berat lainnya maupun perbuatan tercela, serta Presiden dan/atau
Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat menduduki jabatannya. Pemberhentian
Presiden dan Wakil Presiden akan diputuskan oleh MPR maksimal 30 hari sejak
penerimaan usul dari DPR.
MPR memiliki kewenangan dalam melantik Wakil Presiden menjadi Presiden
apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak menjalankan
kewajibanya. MPR juga berwenang dalam pemilihan Wakil Presiden yang
diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatn Wakil Presiden.
6
MPR RI, Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(Jakarta:Sekertariat Jendral MPR RI, 2003), hlm 204-205.
7
Dr. Ni’Matul Huda,SH.,M.Hum. Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta:Rajawali Pers) 2015, hlm 174
8
Hal-hal yang terkait dengan pemilu untuk pemilihan DPR diatur di dalam UU No 10 Tahun 2008.
Pada awalnya kewenangan untuk memebentuk Undang-Undang berada di
tangan Presiden namun pada akhirnya terjadi pergeseran kewenangan yang mana
kewenangan itu berpindah tangan kepada DPR. Pergeseran kewenangan ini bukan
semata-mata dilakukan namun dilakukann dengan maksud dan tujuan agar DPR
dapat menjalankan fungsi legilatifnya dengan baik. Sebab fungsi dari legilatif itu
sendiri adalah untuk membentuk Undang-Undang.Hal ini tercantum dalam Pasal 20
yang mana dalam Pasal tersebut juga diatur mengenai RUU yang akan menjadi
pembahasan DPR dan Presiden untuk disetujui bersama.
Selanjutnya dalam Pasal 20 Ayat 3 dijelaskan kembali apabila Rancangan
Undang-Undang yang dibahas tersebut tidak memiliki persetujuan bersama maka
rancangan tersebut tidak diperkenankan unntuk diajukan lagi dalam persidangan
DPR pada masa itu.
Dalam Pasal 20A Ayat 1 dijelaskan bahwa DPR memiliki fungsi legislasi,
fungsi anggran, serta fungsi pengawasan. Yang mana fungsi legislasi sendiri
menyangkut 4 bentuk yaitu :
a) Prakarsa pembuatan Undang-Undang (legislative initiation)
b) Pembahasan RUU (law makinsg process)
c) Persetujuan atas pengesahan RUU (law enachtnment approval)
d) Ratifikasi atas perjanjian internasional dan dokumen-dokumen hukum yang
mengikat lainya (binding decision making on international agreement and
treaties or other legal binding documents) 9
Dalam fungsi pengawasan sendiri DPR berwenang dalam mengawasi jalanya
pemerintahan agar tetap tercipta kesejahteraan di dalam masyarkat.Sedangkan
dalam fungsi pengawasan (control) DPR berwenang dalam melakukan kontrol di
pemerintahan yang terbagi dalam 3 hal yaitu :
a) Kontrol atas pemerintahan (control executive)
b) Kontrol atas pengeluaran (control of expenditure)
c) Kontrol atas pemungutan pajak (control of taxation) 10
Untuk mendukung jalanya fungsi DPR, DPR diberikan hak yang diatur didalam
Pasal 20A Ayat 2 dan 3. Hak-hak tersebut adalah hak interpelasi, hak angket, hak
menyatakan pendapat, hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul dan
pendapat serta hak imunitas. Berdasarkan Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000
tentang Peran Kepolisian Negara RI kewenangan DPR adalah menyetujui Presiden
dalam mengangkat Panglima TNI serta Kepala Kepolisian Negara yang diatur
dalam Pasal 3 Ayat 2 dan Pasal 7 Ayat 3. DPR juga berwenang dalam
memilih/menyeleksi anggota KPK, Gubernur Bank Indonesia, dan anggota Komisi
Nasional HAM. DPR juga berwenang memberikan pertimbangan Presiden dalam
pengangkatan Duta Besar serta penempatan duta negara lain yang diatur dalam
Pasal 13 Ayat 2&3. Dalam Pasal 14 Ayat 2 DPR berwenang memberikan amnesti
dan abolisi. Sedangkan di dalam Pasal 11 dituliskan mengenai kekuasaan DPR
dalam menyetujui pembuatan perjanjian dengan negara lain kepada Presiden. DPR
memiliki hak budget yang mana dapat memilih annggota BPK atas saran dari DPD
yang diatur dalam Pasal 23F Ayat 1.
DPR juga berwenang meneytujui pengangkatan atau pemberhentian KY yang
dilakukan oleh Presiden dan diatur dalam Pasal 24 B Ayat 3.
Serta DPR juga berwenang dalam menominasikan 3 orang anggota MK
sebagimana diatur dalam Pasal 24C Ayat 3.
9
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta:Rajawali Pers) 2016. Hlm.300
10
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta:Rajawali Pers) 2016.
Hlm.302
e) Kewenangan DPD Sebagai Lembaga Tinggi Negara Berdasarkan
Konstitusi
DPD (Dewan Perwakilan Daerah) merupakan Lembaga tinggi negara
cabang kekuasaan legislatif. DPD sendiri baru lahir setelah amandemen ketiga
UUD 1945. Struktur DPD diatur di dalam Pasal 22C Ayat 1 yang dituliskan
bahwa anggota DPD dipilih dari setiap Provinsi melalui pemilu. Lalu diperjelas
lagi dalam Ayat 2 yang mana anggota DPD dari setiap Provinsi tidak lebih dari
sepertiga jumlah anggota DPR. Dalam Ayat 3 disebutkan bahwa persidangan
DPD dilakukan sedikitnya sekali dalam setahun. Yang terrakhir dalam Ayat 4
dikatakan bahwa susunan dan kedudukan DPD diatur dengan UU. 11
Dalam pencalonan anggota DPD sendiri merupakan perorangan serta
bukan merupakan pengurus partai politik. Masa jabatan DPD adalah 5 tahun
yang memiliki alat kelengkapan seperti yang diatur dalam Pasal 234 UU No 27
Tahun 2009. Yang terdiri atas pimpinan, panitia musyawarah, panitia kerja,
panitia perancang Undang-Undang, panitia urusan rumah tangga, badan
kehormatan, serta alat lain yang diperlukan dan diebntuk dalam rapat
paripurna.
DPD sendiri memiliki fungsi dalam pengajuan usul dan pemberian
pertimbangan tentang hal yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu serta
mengawasi atas pelaksanaan UU tertentu. DPD juga berwenang untuk
mempertimbangkan RUU APBN dan RUU yang memiliki kaitan dengan pajak,
Pendidikan, dan agama. Namun dalam memberikan pertimbangan RUU DPD
tidak memiliki hak tolak sehingga tidak berwenang dalam pembatalan RUU
tersebut.DPD mempunyai kewenangan yang diatur didalam Pasal 22D yang
dirinci sebagai berikut :
1) DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, penggolongan SDA& Sumber Daya Ekonomi
lainya, serta yang berkaitan dengan pertimbangan keuangan pusat dan
daerah.
2) Ikut serta dalam pembahasan RUU seperti yang dijelaskan diatas serta
memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU anggaran pendapatan
dan belanja negara serta RUU yang berkaitan dengan pajak, Pendidikan,
dan agama.
3) Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai rincian
yang dijelaskan dalam poin ke 1&2 yang selanjutnnya pengawasan
tersebut disampaikan kepada DPR untuk ditindaklanjuti.
4) DPD dapat diberhentikan dengan syarat dan tata caranya diatur dalam UU.
12
Selain itu dalam Pasal 23E Ayat 2 juga disebutkan mengenai kewenangan
DPD dalam memeriksa keuangan negara yang telah dikelola oleh BPK(Badan
Pengurus Keuangan). Dalam Pasal 23F Ayat 1 juga dituliskan kewenangan
DPD mengenai pertimbangan anggota BPK yang selanjutnya akan di pilih oleh
DPR dan dilantik oleh Presiden. Dalam menjalankan kewenangan-kewenangan
diatas, DPD juga memiliki hak untuk mengajukan RUU serta membahas RUU.
Sedangkan hak bagi anggota DPD sendiri adalah sebagai berikut :
a) Menyampaikan usul dan pendapat
11
Pasal 221&222 UU No 22 Tahun 2009
12
Pasal 282-288 UU No 27 Tahun 2009
b) Memilih dan dipilih
c) Membela diri
d) Imunitas13
e) Protokoler14
f) Keuangan dan adsministratif
13
Hak imunitas/hak kekebalan adalah hak kekebalan hokum anggota DPD untuk tidak dapat dituntut dimuka
pengadilan karena pernyataan dan pendapat yang disampaikan dalam rapat-rapat DPD sebagimana diatur
didalam Pasal 49F UU No 22 Tahun 2003
14
Hak protokoler adalah hak anggota DPD untuk memperoleh penghormatan berkenaan dengan jabatanya
maupun dalam melkasanakan tugasnya sebagaimana diatur dalam Pasal 49E UU No Tahun 2003
kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan
tertentu15.
15
Abdul Rokhim, Kewenangan Pemerintahan Dalam Konteks Negara Kesejahteraan. Jurnal Ilmiah Dinamika
Hukum FH Unisma Malang Edisi Februari-Mei 2013. Hal. 1
10. Memberi pertimbangan atas rancangan sistem pengendalian intern
Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah sebelum ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat/Pemerintah Daerah.
Asshidqie, J. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Konstitusi Pers.
Bachtiar. (2015). Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Pada Pengujian
UU terhadap UUD. Jakarta: Raih Asa Sukses.
KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA. (n.d.).
Kelsen, H. (2006). Teori Umum Tentang Hukum dan Negara. Bandung: Nuasa dan Nusa
Media.
Moh. Kusnadi dan Bintan Saragih. (2000). Ilmu Negara. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Mukhlis. (2011). KEWENANGAN LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA DALAM
MEMUTUS DAN MENAFSIRKAN UUD SETELAH AMANDEMEN KEEMPAT
UNDANG-UNDANG DASAR 1945. Syiar Hukum, 43-60.
Rokhim, A. (2013). Kewenangan Pemerintahan Dalam Konteks Negara Kesejahteraan. Jurnal
Ilmiah Dinamika Hukum FH Unisma.
Safa'at, M. A. (2014). Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara.
Soemantri, S. (1993). Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945. Bandung:
Alumni.
Suparno, B. (2018). Ilmu Hukum Tata Negara. Surabaya: UBHARA PRESS.
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem
Undang-Undang Dasar 1945, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1978. hal.66
RENALDO, M. F. R. (2022). IMPLIKASI KEDUDUKAN, TUGAS DAN WEWENANG MPR
SEBELUM DAN PASCA AMANDEMEN UNDANG- UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 1945 ( Doctoral dissertation, Fakultas Hukum, Universitas Islam Sumatera Utara).
Badaruddin, S., Supriadi, S., & Ramadhani, S. I. (2022). DINAMIKA KELEMBAGAAN NEGARA
BERDASARKAN PASCAAMANDEMEN UUD NRI TAHUN 1945. QISTHOSIA: Jurnal Syariah dan
Hukum, 3(1), 37-47.