Anda di halaman 1dari 3

Jamaah Jumat yang Berbahagia

Rasa syukur hendaknya terus kita panjatkan kepada Allah SWT lantaran hingga Jumat ini
diberikan nikmat iman dan Islam. Dengan kedua nikmat tersebut kita dapat menjalankan shalat
Jumat berjamaah di masjid yang penuh berkah ini. Sebagai bentuk syukur, mari terus
menambahkan takwallah yakni dengan menjalankan perintah dan menjauhi yang dilarang.

Hadirin Rahimakumullah
Khalifah kedua, Sayyidina Umar bin Khattab Radliyallahu Anhu pernah menyampaikan
kalimat berikut:
‫د َولَ َد ْتهُ ْم ُأ َّمهَاتُهُ ْم َأحْ َرارًا؟‬6ْ َ‫ـــــــــاس َوق‬
َ َّ‫َمتَى ا ْستَ ْعبَ ْدتُم الن‬
Artinya: Sejak kapan kalian memperbudak manusia, sedangkan ibu-ibu mereka melahirkan
mereka sebagai orang-orang merdeka. (Lihat: Al-Wilâyah ‘alal Buldân fî ‘Ashril Khulafâ’ ar-
Râsyidîn).
Sayyidina Umar memang menyampaikannya dengan nada tanya, namun sesungguhnya
amirul mukminin ini sedang mengorek kesadaran kita tentang hakikat manusia. Menurutnya,
manusia secara fitrah adalah merdeka. Bayi yang lahir ke dunia tak hanya dalam keadaan suci
tapi juga bebas dari segala bentuk ketertindasan. Sebagai konsekuensinya, penjajahan
sesungguhnya adalah proses pengingkaran akan sifat hakiki manusia. Karena itu Islam
mengizinkan membela diri ketika kezaliman menimpa diri.
Bahkan, pada level penjajahan yang mengancam jiwa, umat Islam secara syari
diperbolehkan mengobarkan perang. Perang dalam konteks ini adalah untuk kepentingan
mempertahankan diri (defensif), bukan perang dengan motif asal menyerang (ofensif).
Jamaah Jumat yang Berbahagia
Hal ini pula yang dilakukan para ulama, santri, dan umat Islam bangsa ini ketika
menghadapi penjajahan Belanda dan Jepang pada masa lalu. Perjuangan mereka lakukan
bersama berbagai elemen bangsa lain yang tidak hanya beda suku dan daerah tapi juga agama
dan kepercayaan. Sebab, kemerdekaan memang menjadi persoalan manusia secara keseluruhan,
bukan cuma golongan tertentu. Islam mengakuinya sebagai nilai yang universal.

Jamaah Shalat Jumat Rahimakumullah


Tanah Air menjadi elemen penting dalam perjuangan tersebut. Tanah Air tidak ubahnya
rumah yang dihuni jutaan bahkan ratusan juta manusia. Islam mengakui hak atas keamanan
tempat tinggal dan memperbolehkan melakukan pembelaan bila terjadi ancaman yang
membahayakannya. Al-Qur’an bahkan secara tersirat menyejajarkan posisi agama dan Tanah Air
dalam surat Al-Mumtahanan ayat 8 sebagai berikut:

ُّ‫ ِإلَ ْي ِه ْم ۚ ِإ َّن هللاَ يُ ِحب‬6‫م َوتُ ْق ِسطُوا‬6ُْ‫م َأ ْن تَبَرُّ وه‬6ْ ‫ار ُك‬ ِ ‫اَل يَ ْنهَا ُك ُم هللاُ َع ِن الَّ ِذينَ لَ ْم يُقَاتِلُو ُك ْم فِي الد‬
ِ َ‫ِّين َولَ ْم ي ُْخ ِرجُو ُك ْم ِم ْن ِدي‬
َ‫ْال ُم ْق ِس ِطين‬
Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Al-Mumtahanah: 8)
Pakar ilmu tafsir, KH Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat tersebut memberi pesan
bahwa Islam menyejajarkan antara agama dan Tanah Air. Oleh Al-Qur’an, keduanya dijadikan
alasan untuk tetap berbuat baik dan berlaku adil. Al-Qur’an memberi jaminan kebebasan
beragama sekaligus jaminan bertempat tinggal secara merdeka. Tidak heran bila sejumlah ulama
memunculkan jargon hubbul wathan minal iman (cinta Tanah Air sebagian dari iman).

Jamaah Rahimakumullah
Dengan demikian, cara pertama yang bisa dilakukan untuk menyambut hari kemerdekaan
ini adalah mensyukuri secara sungguh-sungguh dan sepenuh hati atas anugerah keamanan atas
agama dan negara kita dari belenggu penjajahan yang menyengsarakan. Sebab, nikmat agung
setelah iman adalah aman (a’dhamun ni‘ami ba‘dal îmân billâh ni‘matul aman). Lalu, bagaimana
cara kita mensyukuri kemerdekaan ini?
Pertama, mengisi kemerdekaan selama ini dengan meningkatkan ketakwaan kepada
Allah. Menjalankan syariat secara tenang adalah anugerah yang besar di tengah sebagian
saudara-saudara kita di belahan dunia lain berjuang mencari kedamaian. Umat Islam Indonesia
harus mensyukurinya dengan senantiasa mendekatkan diri kepada sang khaliq dan berbuat baik
kepada sesama. Perlombaan yang paling bagus di momen ini adalah perlombaan menuju paling
menjadi pribadi paling takwa karena di situlah kemuliaan dapat diraih.

َ ‫ َوقَبَاِئ َل لِتَ َع‬6‫يَا َأيُّهَا النَّاسُ ِإنَّا َخلَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن َذ َك ٍر َوُأ ْنثَ ٰى َو َج َع ْلنَا ُك ْم ُشعُوبًا‬
َ ‫ارفُوا ۚ ِإ َّن َأ ْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد هَّللا ِ َأ ْتقَا ُك ْم ۚ ِإ َّن هَّللا‬
‫َعلِي ٌم َخبِي ٌر‬

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
(QS Al-Hujurat: 13)
Yang kedua, mencintai negeri ini dengan memperhatikan berbagai kemaslahatan dan
kemudaratan bagi eksistensinya. Segala upaya yang memberikan manfaat bagi rakyat luas kita
dukung, sementara yang merugikan masyarakat banyak kita tolak. Dukungan terhadap
kemaslahatan publik bisa dimulai dari diri sendiri yang berpatisipasi terhadap proses kemajuan di
masyarakat, andil bergotong royong, atau patuh terhadap peraturan yang berlaku.
Sebaliknya, mencegah mudarat berarti menjauhkan bangsa ini dari berbagai marabahaya,
seperti bencana, korupsi, kriminalitas, dan lain sebagainya. Inilah pengejawantahan dari sikap
amar ma’ruf nahi munkar dalam pengertian yang luas. Ajakan kebaikan dan pengingkaran
terhadap kemungkaran dipraktikkan dalam konteks pembangunan masyarakat. Tujuannya,
menciptakan kehidupan yang lebih harmonis, adil, dan sejahtera. Termasuk dalam praktik ini
adalah mengapresiasi pemerintah bila kebijakan yang dijalankan berguna dan mengkritiknya
tanpa segan ketika kebijakan pemerintah melenceng dari kemaslahatan bersama.

Jamaah Jumat Rahimakumullah


Al-Imam Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihyâ’ ‘Ulûmid Dîn mengatakan:

َ َ‫س لَهُ ف‬
‫ضاِئ ٌع‬ ِ ‫ارسٌ َو َما اَل َأصْ َل لَهُ فَ َم ْه ُدوْ ٌم َو َما اَل َح‬
َ ‫ار‬ ِ ‫ك َوال ِّديْنُ تَوْ َأ َما ِن فَال ِّديْنُ َأصْ ٌل َوالس ُّْلطَانُ َح‬
ُ ‫ال ُم ْل‬

Artinya: Kekuasaan (negara) dan agama merupakan dua saudara kembar. Agama adalah
landasan, sedangkan kekuasaan adalah pemelihara. Sesuatu tanpa landasan akan roboh.
Sedangkan sesuatu tanpa pemelihara akan lenyap.

Al-Ghazali dalam pernyataan itu seolah ingin menegaskan bahwa ada hubungan simbiosis yang
tak terpisahkan antara agama dan negara. Alih-alih bertentangan, keduanya justru hadir dalam
keadaan saling menopang. Negara membutuhkan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam agama,
sementara agama memerlukan “rumah” yang mampu merawat keberlangsungannya secara aman
dan damai.

Indonesia adalah sebuah nikmat yang sangat penting. Kita bersyukur dasar negara ini senafas
dengan substansi ajaran Islam. Kemerdekaan memang belum diraih secara tuntas dalam segala
bidang. Namun, itulah tugas kita sebagai warga negara yang baik untuk tidak hanya
mengeluhkan keadaan tapi juga harus turut serta memperbaikinya sebagai bagian dari ekspresi
hubbul wathan. Semoga Allah Subhânahu Wa Taâlâ senantiasa menjaga negara dan agama kita
dari malapetaka hingga bisa kita wariskan ke generasi-generasi berkutnya, amin ya rabbal
alamin.

Anda mungkin juga menyukai