Anda di halaman 1dari 3

Kisah Ulama Melayu Usman Perak yang Mengajar Ngaji di Kawasan Basmol dan

Rawa Buaya Cengkareng، Jakarta Barat.

Dulu di pinggiran Jakarta Barat ada seorang ulama asal Melayu bernama Usman
Perak. Tiba di Jakarta usai pemilu 1955
Versi tutur masyarakat Rawa Buaya dan Basmol, keduanya di Jakarta Barat,
Usman Perak menetap di kedua wilayah itu dan mengajar ngaji. Karena
pengetahuan agamanya banyak dibanding ulama kampung pinggir Jakarta saat
itu, jadilah Usman Perak ditokohkan.

Di Rawa Buaya dan Basmol dia mendirikan majelis pengajian, mengajarkan fiqih
dan hishab. Khusus yang terakhir adalah barang baru bagi ulama pinggir Jakarta
saat itu.
Alkisah, menurut cerita tutur masyarakat seputaran Cengkareng sampai pinggir
Tangerang saat ini, ulama kampung akan mendatangi Usman Perak -- saat itu
tinggal di Rawa Buaya -- untuk bertanya kapan awal Ramadhan dan Idul Fitri.
Menggunakan hishab, Usman Perak menentukan awal Ramadhan. Maka, semua
ulama sekitar Cengkareng saat itu mengacu pada Usman Perak.

Usman Perak tak hanya mengajar di Rawa Buaya dan Basmol, tapi juga Sawah
Besar dan Bogor. Ia tidak punya ajudan dan kerap pulang dan pergi sendiri dan
naik kendaraan umum.

Kepada H Achmad Syarofi, Kasudin Kebudayaan Jakarta Barat, Radwan Saidi


mengatakan tahu Usman Perak karena pernah ikut pengajiannya di Sawah
Besar.

Usman Perak dalam pandangan Ridwan Saidi berbeda 180 derajat dibanding
kesan yang diperoleh orang Rawa Buaya dan Basmol. Menurut Ridwan Saidi,
Usman Perak adalah ulama pergerakan, postur tubuhnya seperti Soekarno,
dengan kemampuan berorasi yang luar biasa.

Dalam pengajiannya, Usman Perak berusaha membakar semangat umat Islam


untuk bangkit dan bangkit secara ekonomi dan sosial.
Seorang mantan preman tahun 1960-an, kini jadi dukun dan juga bernama
Ridwan, punya kisah lain tentang Usman Perak. Kepada Teguh Setiawan, yang
sempat mencoba menelusuri Usman Perak, Ridwan mengatakan; Usman Perak
bertubuh tinggi, berkulit putih glowing, dan istrinya cantik.

Suara bicaranya 'dalam' dan penuh wibawa. "Saya memanggilnya tuan guru,
karena dia berasal dari Malaysia," kata Ridwan, yang tak pernah mengikuti
pengajian Usman Perak meski bersebelahan rumah dengan sang tokoh.

Usman Perak tak punya anak. Ia mengangkat seorang perempuan asal Bogor
sebagai anak. Kehadirannya di Rawa Buaya dan Basmol relatif singkat. Ia
meninggal tahun awal 1970-an dan dimakamkan di Rawa Buaya tanpa nisan.

Kisah Usmah Perak berakhir di sini. Mereka yang pernah mengikuti


pengajiannya, terutama di lingkaran dalam, menuturkan kisahnya kepada
masyarakat.

Dasar orang pinggiran, yang diceritakan ya terbatas sesuatu yang mistis pada
diri Usman Perak. Padahal, menurut Ridwan sang mantan preman, Usman Perak
tak pernah mengajarkan apa pun selain agama, terutama fiqih.

"Orang-orang di Rawa Buaya itu selalu mengatakan kereta tidak akan jalan
sebelum Usman Perak naik," kata Ridwan. "Yang saya tahu, dan saya lihat
sendiri, Usman Perak lebih banyak naik oplet. Ia tak pernah menunggu oplet
sekian lama."

Penulis: Teguh Setiawan, Jurnalis Senior.

Anda mungkin juga menyukai