Disusun Oleh :
Agustina Rahayu
2020.005
Hari :
Tanggal :
Mengetahui
Pembimbing
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan anugerah-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Pendahuluan dengan judul “Muskuluskeletal
dengan Fraktur Terbuka”. Laporan pendahuluan ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat
tugas Praktik Klinik Keperawatan Medikal Bedah II (BLOKPK 018). Laporan pendahuluan ini
dapat penulis selesaikan berkat bantuan banyak pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Ibu Dra. E. Dwi Ningsih, M.M., selaku direktur Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Panti Kosala
Surakarta.
2. Ibu Warsini, SST., MPH selaku pembimbing laporan pendahuluan ini yang telah memberi
bimbingan dan pengarahan kepada penulis.
3. Para dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Panti Kosala Surakarta, yang telah memberi
bekal ilmu yang sangat besar manfaatnya bagi penulis.
4. Orang tua tercinta yang telah memberikan motivasi bagi penulis.
Penulis menyadari dalam penyusunan laporan pendahuluan ini masih banyak kekurangan.
Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak
demi kesempurnaan penulisan ini di waktu yang akan datang. Penulis berharap semoga
laporan pendahuluan ini dapat berguna bagi semua pihak.
Penulis
DAFTAR ISI
LAPORAN PENDAHULUAN
a. Ekstrinsik meliputi kecepatan dari durasi trauma yang mengenai tulang, arah,
dan kekuatan trauma.
b. Instrisik meliputi kapasitas tulang mengabsorbsi energi trauma, kelenturan,
kekuatan dan densitas tulang.
3. Tingkatan Fraktur Terbuka
Menurut Wahid (2013), fragmen terbuka dibagi menjadi tiga tingkat, yaitu :
a. Pecah tulang menusuk kulit, kerusakan jaringan sedikit terkontaminasi ringan,
luka kurang dari 1 cm.
b. Kerusakan jaringan sedang, potensi infeksi lebih besar dari 1 cm.
c. Luka besar sampai dengan 8 cm, kehancuran otot, kerusakan neuromaskuler,
kontaminasi besar.
4. Patofisiologi
Menurut LeMone et al. (2015), fraktur dapat terjadi akibat pukulan langsung,
kekuatan tabrakan, gerakan memutar tiba-tiba, kontraksi otot tertentu, dan penyakit
yang melemahkan tulang. Menurut Manurung (2018), pada fraktur tulang dapat
terjadi pergeseran fragmen-fragmen tulang. Pergeseran fragmen bisa diakibatkan
adanya keparahan cedera yang terjadi, gaya berat, maupun tarikan otot yang
melekat padanya. Pergeseran fragmen fraktur akibat suatu trauma dapat berupa:
a. Aposisi (pergeseran kesamping, tumpang tindih dan berhimpitan, bertubrukan
sehingga saling tancap). Fragmen dapat bergerak ke samping, ke belakang atau
kedepan dalam hubunganya dengan satu sama lain, sehingga permukaan fraktur
kehilangan kotak.
b. Angulasi (kemiringan antara kedua aksis fragmen fraktur). Fragmen dapat miring
atau menyudut dalam hubunganya satu sama lain.
c. Rotasi (pemuntiran fragmen fraktur pada sumbu panjang). Salah satu fragmen
dapat berotasi pada poros longutidinal, tulang itu tampak lurus tetapi tungkai
akhirnya mengalami deformitas rotasional.
d. Panjang (Pemanjangan atau pemendekan akibat distraction atau overlapping
antara fragmen fraktur). Fragmen dapat tertarik dan terpisah atau dapat tumpang
tindih, akibat spasmen otot, menyebabkan pemendekan tulang.
Berikut adalah patoflow dari fraktur terbuka :
Kekerasan Kekerasan tidak Kekerasan akibat
langsung langsung tarikan otot
Aposisi, Angulasi,
Rotasi,
Pemanjangan atau
pemendekan tulang
Fraktur
terbuka
Hambata
n
Nyeri mobilitas
akut fisik
5. Manifestasi Klinis
Menurut LeMone et al. (2015), fraktur sering kali disertai dengan cedera jaringan
lunak yang melibatkan otot, arteri, saraf, atau kulit. Derajat keterlibatan jaringan
lunak bergantung pada jumlah energi atau kekuatan yang diberikan ke area.
a. Manifestasi awal
1) Nyeri akut.
2) Nadi perifer normal atau turun.
b. Manifestasi lanjut
1) Sianosis.
2) Kesemutan, kehilangan sensasi.
3) Kelemahan.
4) Nyeri hebat, khususnya ketika ekstremitas fleksi secara pasif.
6. Pemeriksaan Fraktur
Menurut Manurung (2018), pemeriksaan yang dapat dilakukan pada pasien
dengan fraktur terbuka adalah :
a. Pemeriksaan fisik
1) Look (inspeksi)
Pembengkakan, memar, dan deformitas mungkin terlihat jelas tetapi hal yang
penting adalah apakah kulit itu utuh atau tidak.
2) Feel (palpasi)
Terdapat nyeri tekan setempat,tetapi perlu juga memeriksa bagian distal dari
fraktur untuk merasakan nadi dan untuk menguji sensasi.
3) Movement (gerakan)
Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditentukan, tetapi lebih penting untuk
menanyakan apakah pasien dapat mengerakan sendi-sendi di bagian distal
dari cidera.
b. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis bertujuan untuk menentukan keparahan kerusakan
tulang dan jaringan lunak yang berhubungan dengan derajat energi dari trauma
itu sendiri.
c. Pencitraan khusus
Kadang-kadang fraktur atau keseluruhan fraktur tidak nyata pada foto rontgen
biasa. Tomografi mungkin berguna untuk lesi spinal atau fraktur kondilus tibia CT
atau MRI mungkin merupakan satu-satunya cara untuk menunjukkan apakah
fraktur vertebra mengancam akan menekan medulla spinalis, sesungguhnya
potret transeksional sangat penting untuk visualisasi fraktur secara tepat pada
tempat yang sukar misalnya kalkaneus atau asetabulum, dan potret rekonstruksi
tiga dimensi bahkan lebih baik. Scanning radioisotop berguna untuk
mendiagnosis fraktur tekanan yang dicurigai atau fraktur tidak bergeser yang
lain.
7. Penatalaksanaan
Menurut Manurung (2018), penatalaksanaan fraktur terbuka meliputi tindakan life
saving dan life limb dengan resusitasi sesuai dengan indikasi, pembersihan luka
dengan irigasi, eksisi jaringan mati dan debridement, pemberian antibiotik (sebelum,
selama dan sesudah operasi), pemberian anti tetanus, penutupan luka, stabilisasi
fraktur dan fisioterapi. Prinsip penanganan fraktur terbuka secara umum adalah
sebagai berikut :
1) Pertolongan pertama
Secara umum untuk mengurangi dan menghilangkan nyeri dan mencegah gerak-
gerak fragmen yang dapat merusak jaringan sekitar.
2) Resusitasi
Penatalaksanaan sesuai dengan ATLS (Advance Trauma Life Support) dengan
memberikan penanganan sesuai prioritas (resusitasi), bersamaan itu pula
dikerjakan penanganan fraktur terbuka agar terhindar dari komplikasi. Tindakan
resusitasi dilakukan Ketika ditemukan tanda syok hipovolemik, gangguan nafas
atau denyut jantung karena fraktur terbuka sering kali bersamaan dengan cidera
organ lain.
3) Mobilisasi GIPS (Plaster of paris)
Penggunaan gips sebagai fiksasi agar fragmen-fragmen fraktur tidak bergeser
setelah dilakukan manipulasi/reposisi atau sebagai pertolongan yang bersifat
sementara agar tercapai imobilisasi dan mencegah fragmen fraktur tidak
merusak jaringan lunak disekitarnya.
4) Pemasangan fiksasi
Pemasangan fiksasi dalam sering menjadi pilihan terapi yang paling diperlukan
dalam stabilisasi fraktur pada umumnya termasuk fraktur terbuka. Pilihan metode
yang dipergunakan untuk fiksasi dalam ada beberapa macam,yaitu:
a) Pemasangan plate and screws
Pemasangan plat perlu hati-hati dalam melakukan irisan jaringan lunak agar
tidak terjadi kerusakan periosteum, fascia dan otot. Penutupan kulit di atas
plat sering mengalami kesulitan dan dapat terjadi nekrosis kulit atau infeksi
superfisial Untuk pencegahan kerusakan jaringan lunak dilakukan dengan
pemasangan plat di bawah kulit dan sekrup langsung dipasang ke tulang
dengan bantuan alat fluoroskopi.
b) Pemasangan screws or wires
Pemasangan screw banyak digunakan dalam fiksasi fraktur intraartikuler dan
periartikuler, baik digunakan secara tunggal atau kombinasi bersamaan
dengan pemasangan plat atau external fixation device.
c) Pemasangan external fixation devices
Akhir-akhir ini pakar lebih tertarik pemasangan fiksasi luar daripada
pemasangan plat. Pada penelitian pemasangan plat dibanding konservatif
ternyata angka infeksi lebih tinggi pada pemasangan plat seperti infeksi
superfisial, nekross kulit dan osteomyelitis. Kejadian infeksi pada
pemasangan plat akan memerlukan operasi berulang kali.
8. Komplikasi
Menurut LeMone et al. (2015), Komplikasi yang dapat terjadi antara lain:
a. Edema dan hemoragi
b. Terjadinya emboli lemak
c. Trombosis vena profunda
d. Gangguan penyembuhan
e. Gangguan neural
B. Proses Keperawatan
1. Pengkajian Pada Pasien Fraktur
a. Riwayat kesehatan
Menurut LeMone (2015), riwayat kesehatan yang harus ditanyakan meliputi usia,
riwayat kejadian traumatis, riwayat cedera muskuloskeletal sebelumnya,
kesakitan kronik, medikasi.
b. Pengkajian fisik
Menurut LeMone (2015), pengkajian fisik yang harus dilakukan pada pasien
dengan gangguan muskuluskeletal diantaranya :
1) Nyeri saat bergerak, nadi, edema, warna kulit dan suhu, deformitas, rentang
gerak, sentuhan. 5P pengkajian neurovaskular, seperti berikut ini, disertakan
pada pengkajian awal dan fokus pengkajian yang terus-menerus:
a) Nyeri (pain). Kaji nyeri di ekstremitas yang cedera dengan meminta pasien
membuat tingkatan pada skala paling 0 hingga dengan skala 10 sebagai
nyeri paling hebat.
b) Nadi (pulse). Pengkajian nadi distal dimulai dengan ekstremitas yang tidak
terkena. Bandingkan kualitas nadi di ekstremitas yang terkena dengan
yang tidak terkena.
c) Kepucatan (palor). Observasi kepucatan dan warna kulit di ekstremitas
yang cedera. Pucat dan dan dingin dapat mengindikasikan penurunan
arteri, sedangkan hangat dan warna kebiruan dapat mengindikasikan
genangan darah vena.
d) Paralisis/Paresis. Kaji kemampuan untuk memindahkan bagian tubuh distal
ke tempat fraktur. Ketidakmampuan untuk berpindah mengindikasikan
paralisis. Kehilangan kekuatan otot (kelemahan) ketika bergerak adalah
paresis.
e) Parestesia. Tanyakan pasien ada atau tidak adanya perubahan dalam hal
sensasi, seperti terbakar, baal, perasaan berduri, atau menyengat (semua
ini adalah parestesia) terjadi. Kaji sensasi distal terhadap cedera, termasuk
kemampuan untuk membedakan sentuhan tajam dan tumpul serta
membedakan dua titik.
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut LeMone (2015), diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan pada
pasien fraktur adalah :
a. Nyeri akut yang berhubungan dengan fraktur.
b. Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan tirah baring.
c. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan perifer yang berhubungan dengan
ketidakstabilan tulang dan pembengkakan.
d. Risiko gangguan persepsi sensori yang berhubungan dengan risiko gangguan
saraf.
No Indikator 1 2 3 4 5
3 Menggambarkan nyeri
Keterangan:
1: tidak menunjukkan
2: jarang menunjukkan
3: kadang menunjukkan
4: sering menunjkkan
5: secara konsisten menunjukkan
Menurut Butcher et al. (2018), NIC (Nursing Interventions Classification) yang
dapat ditegakkan adalah:
1) Manajemen nyeri
a) Definisi
Pengurangan atau reduksi nyeri sampai pada tingkat kenyamanan yang
dapat diterima oleh pasien.
b) Aktivitas
(1) Lakukan pengkajian komprehensif yang meliputi
lokasi,karakteristik,onset,frekuensi,dan kualitas ,intensitas ,serta apa
yang mengurangi nyeri dan faktor yang memicu.
(2) Identifikasi intensitas nyeri selama pergerakan.
(3) Gali bersama pasien faktor-faktor yang dapat menurunkan atau
memperbesar nyeri.
(4) Monitor kepuasan pasien terhadap manajemen nyeri dalam interval yang
spesifik.
(5) Dukung istirahat atau tidur yang adekuat untuk membantu penurunan
nyeri.
(6) Dorong pasien untuk menggunakan obat-obatan penurun nyeri yang
adekuat.
(7) Tentukan akibat dari pengalaman nyeri terhadap kualitas hidup pasien
(misalnya: tidur, nafsu makan, pengertian, perasaan, hubungan,
performa kerja dan tanggung jawab peran).
(8) Berikan informasi mengenai nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama
nyeri akan dirasakan dan antsipasi dari ketidakseimbangan akibat
prosedur.
(9) Berikan informasi yang akurat yang meningkatkan pengetahuan dan
respon keluarga terhadap analgesik pengalaman nyeri.
(10) Pastikan keperawatan analgesik bagi pasien dilakukan dengan
pemantauan yang ketat.
(11) Kolaborasi dengan pasien, orang terdekat dan tim kesehatan lainnya
untuk tindakan penurunan nyeri nonfarmakologi sesuai kebutuhan.
(12) Beri tahu dokter jika tindakan tidak berhasil atau jika keluhan pasien saat
ini berubah signifikan dari pengalaman nyeri sebelumnya.
Menurut Butcher et al. (2018), NIC (Nursing Interventions Classification) yang
dapat ditegakkan adalah:
2) Pemberian analgesik
a) Definisi
Penggunaan agen farmakologi untuk menghilangkan nyeri.
b) Aktivitas
(1) Lakukan pola komunikasi yang efektif diantara pasien,keluarga untuk
mencapai manajemen nyeri yang adekuat.
(2) Tentukan respon pasien sebelumnya terhadap analgesic.
(3) Monitor tanda tanda vital sebelum dan setelah memberi analgesic.
(4) Bantu pasien untu memilih aktivitas non farmakologi yang mengurangi
nyeri.
(5) Berikan jaminan bahwa pasien tidak memiliki resiko untuk menggunakan
opoid.
(6) Informasikan ke pasien yang mendapat narkotika bahwa rasa ngantuk
kadang terjadi 2-3 hari pertama.
(7) Instruksikan pasien dan keluarga tentang penggunaan analgesic.
(8) Kolaborasi dengan dokter apakah obat,dosis,rute pemberian,atau
perubahan,interval dibutuhkan,buat rekomendasi khusus.
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI dalam Standar Diagnosa Keperawatan
Indonesia (2017), diagnosa yang dapat ditegakkan pada pasien gangguan
muskuluskeletal adalah:
b. Aplikasi 3 S (SDKI, SLKI, SIKI)
1) Gangguan mobilitas fisik
a) Definisi
Keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas secara
mandiri.
b) Penyebab
(1) Kerusakan integritas struktur tulang.
(2) Perubahan metabolisme.
(3) Ketidakbugaran fisik.
(4) Penurunan kendali otot.
(5) Penurunan massa otot.
(6) Penurunan kekuatan otot.
(7) Keterlambatan perkembangan.
(8) Kekakuan sendi.
(9) Kontraktur.
(10) Malnutrisi.
(11) Gangguan musculoskeletal.
(12) Gangguan neuromuskular.
(13) Indeks masa tubuh diatas persentil ke-75 sesuai usia.
(14) Efek agen farmakologis.
(15) Program pembatasan gerak.
(16) Nyeri.
(17) Kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik.
(18) Kecemasan.
(19) Gangguan kognitif.
(20) Keengganan melakukan pergerakan.
(21) Gangguan sensori persepsi.
c) Gejala dan tanda mayor
(1) Subjektif
(a) Mengeluh sulit menggerakan ekstremitas.
(2) Objektif
(a) Kekuatan otot menurun.
(b) Rentang gerak (ROM) menurun.
d) Gejala dan tanda minor
(1) Subjektif
(a) Nyeri saat bergerak.
(b) Enggan melakukan pergerakan.
(c) Merasa cemas saat bergerak.
(2) Objektif
(a) Sendi kaku.
(b) Gerakan tidak terkoordinasi.
(c) Gerakan terbatas.
(d) Fisik lemah.
e) Kondisi klinis terkait
(1) Stroke.
(2) Cedera medulla spinalis.
(3) Trauma.
(4) Fraktur.
(5) Osteoarthritis.
(6) Ostemalasia.
(7) Keganasan.
Menurut TIM Pokja SLKI DPP PPNI dalam Standar Luaran Keperawatan
Indonesia (2019), SLKI yang dapat ditegakkan untuk diagnosa gangguan mpbilitas
fisik adalah:
1) Mobilitas fisik
a) Definisi
Kemampuan dalam gerakan fisik dan satu atau lebih ektremitas secara
mandiri.
b) Kriteria hasil
No Kriteria Hasil 1 2 3 4 5
1 Kekuatan otot
3 Nyeri
4 Kaku sendi
5 Kelemahan fisik
Keterangan :
(1-2) (3-5)
1: Menurun 1: Meningkat
2: Cukup menurun 2: Cukup Meningkat
3: Sedang 3: Sedang
4: Cukup meningkat 4: Cukup Menurun
5: Meningkat 5: Menurun
Menurut TIM Pokja SIKI DPP PPNI dalam Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia (2018), SIKI yang dapat ditegakkan untuk diagnosa Gangguan Mobilitas
Fisik adalah:
1) Dukungan mobilisasi
a) Definisi
Memfasilitasi pasien untuk meningkatkan aktivitas pergerakan fisik.
b) Tindakan
(1) Observasi
(a) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya.
(b) Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan.
(c) Monitor frekuensi jantug dan tekanan darah sebelum memulai
mobilisasi.
(d) Monitor kondisi umum selama selaku melakukan mobilisasi.
(2) Terapeutik
(a) Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (mis. pagar tempat
tidur).
(b) Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu.
(c) Libatkan kelurga untuk membantu pasien dalam meningkatkan
pergerakan.
(3) Edukasi
(a) Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi.
(b) Anjurkan melakuakn mobilisasi dini.
(c) Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis. duduk di
tempat tidur, duduk di sisi tempat tidur, pindah dari tempat tidur ke
kursi).
Menurut TIM Pokja SIKI DPP PPNI dalam Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia (2018), SIKI yang dapat ditegakkan untuk diagnosa Gangguan Mobilitas
Fisik adalah:
2) Dukungan ambulasi
a) Definisi
Memfasilitasi Pasien untuk meningkatkan aktivitas berpindah.
b) Tindakan
(1) Observasi
(a) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainya.
(b) Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi.
(c) Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai
ambulasi.
(d) Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi.
(2) Terapeutik
(a) Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu (mis.tongkat,kruk).
(b) Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik.
(c) Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan
ambulasi.
(3) Edukasi
(a) Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi.
(b) Anjurkan melakukan ambulasi dini.
(c) Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan (mis.berjalan dari
tempat tidur ke kursi roda,berjalan dari tempat tidur ke kamar
mandi,berjalan sesuai toleransi).
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, M Gloria et al., (2018). Nursing Interventions Classifikation (NIC) Edisi Ketujuh. Alih
Haryono Rudi dan Utami. (2019). Keperawatan Medikal Bedah II. Pustaka Baru Press,
Yogyakarta.
LeMone et al. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah : Gangguan Respirasi Dan
Manurung Nixson. (2018). Keperawatan Medikal Bedah : Konsep, Mind Mapping Dan Nanda
Moorhead, U. E. (2018). Nursing Outcome Classification (NOC) Edisi keenam. Elsevier Global
Right.
Tim Pokja. (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Edisi 1 Cetakan III (Revisi).
Tim Pokja. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Edisi 1 Cetakan III (Revisi).
Tim Pokja. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Edisi 1 Cetakan III (Revisi). Dewan