Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi masyarakat diperlukan penanganan


khusus agar kualitas air sungai sesuai dengan standar. Ada beberapa contoh pengolahan
air diantaranya pengolahan secara fisika, kimia, dan biologi. Pada pengolahan secara
fisika, cara yang bisa dilakukan adalah filtrasi dan sedimentasi. Pada pengolahan secara
biologi biasanya dilakukan untuk membunuh mikroorganisme pathogen yaitu dengan
pemberian bahan desinfektan. Pada pengolahan secara kimia dilakukan dengan cara
menambahkan sesuatu senyawa kimia yang biasanya disebut dengan koagulan dan
flokulan. Saat ini metode yang paling banyak digunakan untuk mengolah air yaitu
metode pengolahan kimia dan pengolahan fisika.

Pada dasarnya air sungai mengandung partikel-partikel koloid yang sulit untuk
mengendap dengan gaya gravitasi, sehingga diberi penambahan koagulan secara
flokulan agar partikel-partikel koloid dapat mengendap. Umumnya koagulan yang
sering digunakan adalah alumunium sulfat atau biasa disebut tawas.

Air sungai pun saat ini banyak yang tercemar oleh limbah. Salah satu cara untuk
meminimalisasi dampak pencemaran limbah adalah dengan menghilangkan kekeruhan
limbah melalui pembubuhan sejenis bahan kimia dengan sifat-sifat tertentu yang
disebut koagulan, seperti tawas,garam Fe, atau suatu polielektrolit organis. Selain
pembubuhan koagulan, diperlukan pengadukan sampai flok-flok terbentuk.

Pada praktikum nantinya berkaitan dengan proses koagulasi dan flokulasi. Koagulasi
adalah peristiwa pembentukan atau penggumpalan partikel-partikel kecil menggunakan
zat koagulan. Flokulasi adalah peristiwa penggumpalan partikel-partikel kecil hasil
koagulasi menjadi flok yang lebih besar sehingga cepat mengendap. Zat koagulan yang
sering digunakan dalam proses ini adalah tawas.
1.2. Tujuan
1. Mendispersikan larutan koagulan secara merata keseluruhan cairan baku secara
merata dan cepat agar proses koagulasi dapat berjalan efektif.
2. Untuk mengetahui dosis optimum koagulasi yang dibutuhkan dalam koagulasi dan
flokualsi
3. Untuk mengetahui jenis koagulan yang tepat digunakan

1.3. Ruang Lingkup


1. Metode ini mencakup prosedur umum untuk mengetahui pengolahan dalam rangka
mengurangi bahan-bahan terlarut, koloid, dan yang tidak dapat diendapkan dalam air
melalui proses koagulasi-flokulasi.
2. Air sampel yang digunakan dalam praktikum ini adalah air sungai depan UPN
“Veteran” Jatim.
3. Praktikum ini dilakukan di Laboratorium Kimia Lingkungan UPN “Veteran” Jatim.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Koagulasi

Koagulasi merupakan proses menurunkan atau menetralkan muatan listrik pada


partikel-partikel tersuspensi atau zeta-potential-nya. Muatan-muatan listrik yang sama
pada partikel-partikel kecil dalam air menyebabkan partikel-partikel tersebut saling
menolak sehingga membuat partikel-partikel koloid kecil terpisah satu sama lain dan
menjaganya tetap berada dalam suspense. Proses koagulasi berfungsi untuk
menetralkan atau mengurangi muatan negatif pada partikel sehingga mengijinkan gaya
tarik van der waals untuk mendorong terjadinya agregasi koloid dan zat-zat tersuspensi
halus untuk membentuk microfloc. Reaksi-reaksi koagulasi biasanya tidak tuntas dan
berbagai reaksi-reaksi samping lainnya dengan zat-zat yang ada dalam air limbah dapat
terjadi bergantung pada karakteristik air limbah tersebut dan akan terus berubah seiring
berjalannya waktu. Ebeling dan Ogden (2004)

Koagulasi adalah proses destabilisasi koloid dan partikel-partikel yang tersuspensi


didalam air baku karena adanya pencampuran yang merata dengan senyawa kimia
tertentu (koagulan) melalui pengadukan cepat.
Ada tiga faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses koagulasi, yaitu :
a. Jenis koagulan yang dipakai
b. Dosis pembubuhan koagulan
c. Proses pengadukan

2.2. Flokulasi

Flokulasi adalah proses berkumpulnya partikel-partikel flok mikro membentuk


aglomerasi besar melalui pengadukan fisis atau melalui aksi pengikatan oleh flokulan.
Flokulan adalah bahan kimiawi, biasanya organik, yang ditambahkan untuk
meningkatkan proses flokulasi.

Istilah flokulasi digunakan untuk menggambarkan proses ketika ukuran partikel


meningkat sebagai akibat tubrukan antar partikel. Flokulasi dibedakan menjadi:
a. Mikroflokulasi (flokulasi perikinetik) terjadi ketika partikel teragregasi karena
gerakan termal acak dari molekul-molekul cairan yang disebut Brownian Motion.
b. Makroflokulasi (flokulasi ortokinetik) terjadi ketika partikel teragregasi karena
adanya peningkatan gradien-gradien kecepatan dan pencampuran dalam media.
Bentuk lain dari makroflokulasi disebabkan oleh pengendapan diferensial, yaitu
ketika partikel-partikel besar menarik partikel-partikel kecil membentuk partikel-
partikel yang lebih besar. Makroflokulasi belum efektif sampai partikel-partikel
koloid mencapai ukuran 1-10 µm melalui kontak yang didorong oleh Brownian
Motion dan sedikit pencampuran.

Tujuan flokulasi adalah pembentukan partikel melalui agregasi yang dapat


disisihkan dengan prosedur pemisahan partikel yang tidak mahal, seperti sedimentasi
gravitasi dan filtrasi. Flokulasi air limbah dengan agitasi udara atau mekanis dapat
dipertimbangkan untuk meningkatkan penyisihan padatan tersuspensi dan BOD pada
unit pengendapan primer, mengkondisikan air limbah yang mengandung limbah
industri tertentu, memperbaiki kinerja tangki pengendapan sekunder setelah proses
lumpur aktif, dan sebagai salah satu pengolahan pendahuluan untuk filtrasi effluent
sekunder.

2.3. Koagulan

Senyawa koagulan adalah senyawa yang mempunyai kemampuan mendestabilisasi


koloid dengan cara menetralkan muatan listrik pada permukaan koloid sehingga koloid
dapat bergabung satu sama lain membentuk flok dengan ukuran yang lebih besar
sehingga mudah mengendap.

Penambahan dosis koagulan yang lebih tinggi tidak selalu menghasilkan kekeruhan
yang lebih rendah. Dosis koagulan yang dibutuhkan untuk pengolahan air tidak dapat
diperkirakan berdasarkan kekeruhan, tetapi harus ditentukan melalui percobaan
pengolahan. Tidak setiap kekeruhan yang tinggi membutuhkan dosis koagulan yang
tinggi. Jika kekeruhan dalam air lebih dominan disebabkan oleh lumpur halus atau
lumpur kasar maka kebutuhan akan koagulan hanya sedikit, sedangkan kekeruhan air
yang dominan disebabkan oleh koloid akan membutuhkan koagulan yang banyak.

Koagulan dapat berupa garam-garam logam (anorganik) atau polimer (organik).


Polimer adalah senyawa-senyawa organik sintetis yang disusun dari rantai panjang
molekul-molekul yang lebih kecil. Koagulan polimer ada yang kationik (bermuatan
positif), anionik (bermuatan negatif), atau nonionik (bermuatan netral). Sedangkan
koagulan anorganik mencakup bahan-bahan kimia umum berbasis aluminium atau besi.
Ketika ditambahkan ke dalam contoh air, koagulan anorganik akan mengurangi
alkalinitasnya sehingga pH air akan turun. Koagulan organik pada umumnya tidak
mempengaruhi alkalinitas dan pH air. Koagulan anorganik akan meningkatkan
konsentrasi padatan terlarut pada air yang diolah (Gebbie 2005).

Beberapa jenis koagulan yang dapat digunakan untuk pengolahan air limbah di
antaranya:

a. Aluminium Sulphate (Alum)


b. Ferric sulphate
c. Ferrous sulphate
d. Ferric chloride
e. Polyelectrolyte
f. Polyaluminium Chloride (PAC)

Koagulan berbasis besi cenderung lebih mahal dibandingkan alum pada basis dosis
ekivalen per kilogramnya. Koagulan-koagulan ini juga mengambil lebih banyak
alkalinitas dibandingkan alum sehingga cenderung menurunkan pH air yang diolah
lebih besar. Sebagian berpendapat bahwa koagulan berbasis besi menghasilkan flok
dengan bentuk yang membuatnya lebih sulit untuk mengendap. Koagulan ini sangat
korosif dan ketika terjadi tumpahan atau kebocoran akan meninggalkan noda karat yang
berwarna merah darah (Gebbie 2005).

Untuk koagulan tertentu seperti alum, pH akan menentukan spesies hidrolisis mana
yang mendominasi. Nilai pH yang lebih rendah cenderung menyukai spesies-spesies
bermuatan positif sehingga dapat bereaksi dengan koloid dan partikulat yang bermuatan
negatif untuk membentuk flok yang tidak larut.

Waktu penambahan bahan-bahan kimiawi pengkondisi dan koagulan terbukti sangat


penting dan biasanya sangat menentukan keefektifan performa unit sedimentasi, filtrasi,
dan kualitas air akhir. Pemisahan titik pengumpanan yang tepat untuk tiap-tiap bahan
kimiawi yang berbeda dan pengawasan waktu penundaan yang tepat antara
penambahan-penambahan bahan kimia juga dapat menjadi sangat penting untuk
mendapatkan proses koagulasi yang optimum. Urutan penambahan bahan kimiawi
tidak terlalu berpengaruh terhadap kualitas air yang telah diolah. Hasil yang sama atau
sedikit lebih baik dapat didapatkan dengan menambahkan bahan pengatur pH terlebih
dahulu.

Menurut Davis dan Cornwell (1991) dalam Yuliati (2006), ada tiga hal penting yang
harus diperhatikan ketika memilih suatu koagulan, yaitu:

a. Kation bervalensi tiga (trivalen) merupakan kation yang paling efektif untuk
menetralkan muatan listrik koloid,
b. Tidak beracun,
c. Tidak larut dalam kisaran pH netral (Koagulan yang ditambahkan harus terendapkan
dari larutan sehingga ion-ion tersebut tidak tertinggal dalam air)

Dosis koagulan yang berlebihan maupun yang kurang dapat menurunkan


efisiensi penyisihan padatan. Kondisi tersebut dapat dikoreksi dengan percobaan Jar-
Test dan memverifikasi kinerja proses setelah melakukan perubahan dalam operasi
proses koagulasi. Hal serupa juga kemungkinan perlu dilakukan jika terjadi perubahan
kualitas atau karakteristik air yang akan diolah.

Residu alkalinitas dalam air berperan untuk mencegah perubahan pH dan membantu
presipitasi koagulan. Alkalinitas biasanya tidak menjadi masalah kecuali jika alkalinitas
air yang hendak diolah terlalu rendah. Dalam hal ini, alkalinitas dapat ditingkatkan
dengan menambahkan lime, soda kaustik, atau sodium karbonat.

2.4. Jar Tes

Gambar 2.1 Alat Jar-Test


Sumber : EPA, 20
Penentuan jenis koagulan dan perkiraan kasar dosis yang dibutuhkan untuk
pengendapan padatan air limbah ekstraksi jamu yang efektif dilakukan dengan melakukan
percobaan awal dengan Jar-Test. Hasil percobaan perlu untuk diinterpretasikan dengan
hati-hati dan setelahnya perlu dilakukan optimisasi kondisi proses pada jenis koagulan
yang dipilih sebelum digunakan untuk modifikasi dan pengontrolan instalasi pengolahan.
Hasil percobaan awal belum dapat digunakan untuk memprediksi biaya operasi tambahan
pada circular clarifier.

Jar Test adalah alat yang digunakan untuk mengetahui proses koagulasi dan flokulasi
dalam penentuan dosis optimum koagulan khususnya Alum untuk koagulasi air tanah. Jar
Test dilengkapi dengan pengaduk, pengatur waktu dan kontrol kecepatan pengadukan.
kinerja dari alat yang dibuat dapat diketahui dengan membandingkan hasil analisa nilai
parameter air tanah menggunakan Jar Test yang dibuat, dengan Jar Test standar.

Parameter yang dianalisa adalah pH, turbidity, conductivity, TSS dan TDS. Perbedaan
dosis optimum yang dicapai dari pengujian dengan Jart Test yang berbeda disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain, kecepatan pengadukan, pembubuhan dosis dan waktu
pengambilan sampel yang tidak bersamaan. Untuk mengoptimalkan Jar Test yang dibuat
sebaiknya ditambahkan peralatan pengukuran langsung parameter pH, Turbidity,
conductivity, dan TDS secara digital. Sehingga lebih praktis dalam pengukuran nilai
parameter-parameter tersebut (Yuliani, 2010). Jar tes merupakan metode standar yang
dilakukan untuk menguji proses koagulasi (Gozan dkk, 2006; Kemmer, 2002).

Hubungan antara jar test dan nilai kekeruhan yaitu pada keterkaitan hasil akhirnya. Jar
test memiliki hasil pengukuran akhir berupa nilai TSS dari suatu limbah yang telah
diendapkan sehingga secara tidak langsung juga mengetahui derajat kekeruhan dari sampel
limbah cair yang sedang diuji. Hal ini dapat terlihat dari perubahan kekeruhan dari limbah
cair pada saat sebelum dan sesudah perlakuan jar test (Sary, 2009).

Salah satu langkah penting dalam pengolahan air untuk mendapatkan air bersih adalah
menghilangkan kekeruhan dari air tersebut. Kekeruhan disebabkan oleh adanya partikel-
partikel kecil dan koloid yang tidak lain adalah kwarts, tanah liat, sisa tanaman, dan
sebagainya. Partikel-partikel kecil dan koloid tersebut sulit mengendap dengan proses
sedimentasi biasa (Wagiman dan Setyoningrum Desi, 2014).

Padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut, dan
tidak dapat mengendap langsung. Padatan tersuspensi terdiri dari partikel-partikel yang
ukuran maupun beratnya lebih kecil dari sedimen, misalnya tanah liat, bahan-bahan
organik tertentu, sel-sel mikroorganisme, dan sebagainya. Air buangan industri
mengandung jumlah padatan tersuspensi dalam jumlah yang sangat bervariasi tergantung
dari jenis industrinya. Air buangan dari industri-industri makanan sering mengandung
padatan tersuspensi dalam jumlah relatif tinggi (Alaert dan Santika, 1987).

2.5. Pengadukan
Jenis pengandukan dapat dikelompokkan berdasarkan kecepatan pengadukan dan
metoda pengadukan. Berdasarkan kecepatannya, pengadukan dibedakan menjadi
pengadukan cepat dan pengdukan lambat. Sedangkan berdasarkan metodenya, pengadukan
dibedakan menjadi pengadukan mekanis, pengadukan hidrolis, dan pengadukan pneumatis.
Kecapatan pengaduakan merupakan paramater penting dalam pengdaukan yang dinyatakan
dengan gradien kecepatan.
2.5.1. Pengadukan Cepat
Tujuan pengadukan cepat dalam pengolahan air adalah untuk menghasilkan
turbulensi air sehingga dapat mendispersikan bahan kimia yang akan dilarutkan
dalam air. Secara umum, pengadukan yang dilakukan pada gradien kecepatan besar
(300 sampai 1000 detik-1) selama 5 hingga 60 detik atau nilai GTd (bilangan
Champ) berkisar 300 hingga 1700. Secara spesifik, nilai G dan td bergantung pada
maksud atau sasaran pengadukan cepat.
a. Untuk proses koagulasi-flokulasi:
• Waktu detensi = 20 - 60 detik
• G = 1000 - 700 detik-1
b. Untuk penurunan kesadahan (pelarutan kapur/soda):
• Waktu detensi = 20 - 60 detik
• G = 1000 - 700 detik-1
c. Untuk presipitasi kimia (penurunan fosfat, logam berat, dan lain-lain)
• Waktu detensi = 0,5 - 6 menit
• G = 1000 - 700 detik-1

2.5.2. Pengadukan Lambat


Tujuan pengadukan lambat dalam pengolahan air adalah untuk menghasilkan
gerakan air secara perlahan sehingga terjadi kontak antar partikel untuk membentuk
gabungan partikel hingga berukuran besar. Pengadukan lambat adalah pengadukan
yang dilakukan dengan gradien kecepatan kecil (20 sampai 100 detik-1) selama 10
hingga 60 menit atau nilai GTd (bilangan Champ) berkisar 48000 hingga 210000.
Untuk menghasilkan flok yang baik, gradien kecepatan diturunkan secara bertahap
agar flok yang telah terbentuk tidak pecah lagi dan berkesempatan bergabung dengan
yang lain membentuk gumpalan yang lebih besar. Secara spesifik, nilai G dan waktu
detensi untuk proses flokulasi adalah sebagai berikut:
a. Untuk air sungai:
 Waktu detensi = minimum 20 menit
 G = 10 - 50 detik-1
b. Untuk penurunan kesadahan (pelarutan kapur/soda):
 Waktu detensi = minimum 30 menit
 G = 10 - 50 detik-1
c. Untuk presipitasi kimia (penurunan fosfat, logam berat, dan lain-lain)
 Waktu detensi = 15 - 30 menit
 G = 20 - 75 detik-1
 GTd = 10.000 - 100.000
BAB III

PERALATAN DAN BAHAN

3.1. Peralatan

1. Jartest apparatus
2. Beaker Glass 1000 ml 3 buah
3. Gelas ukur 100 ml 3 buah
4. Turbidimeter
5. pH meter
6. Pipet ukur 1ml, 5ml, dan 10ml
7. Filler
8. Stopwatch
9. Tabung Oswold
10. Oven
11. Desikator
12. Neraca Analitik
13. Penjepit
14. Kertas saring
15. Areometer
16. Filter holder

3.2. Bahan
1. Larutan Koagulan Ferry Clorit 40ml, 45ml, dan 50 ml
2. Sampel air sungai kebon agung (depan UPN)

Anda mungkin juga menyukai