Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Proses Pengolahan Air


Sistem pengelolaan air ini dikenal dengan istilah Water Treatment. Ada
beberapa tahap pengelolaan air yang harus dilakukan sehingga air tersebut bisa
dikatakan layak untuk dipakai. Namun, tidak semua tahap ini diterapkan oleh masing-
masing pengelola air, tergantung dari kualitas sumber airnya. Menurut Peraturan
Pemerintah Republik Nomor 82 Tahun 2001, tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air, Pengelolaan kualitas air adalah upaya pemeliharaan air
sehingga tercapai kualitas air yang diinginkan sesuai peruntukannya untuk menjadi agar
kualitas air tetap dalam kondisi alamiahnya. Sedangkan proses pengolahan air bersih
dilakukan bila air baku tidak memenuhi persyaratan fisik untuk air minum seperti air
permukaan, misalnya air sungai, air telaga, air waduk.
Pengolahan air minum merupakan proses pemisahan air dan pengotornya secara
fisik, kimia, dan biologi. Tujuan utama dari pengolahan air adalah untuk mendapatkan
air bersih dan sehat yang memenuhi standar sehingga dapat digunakan sebagai baku
mutu air minum.

II.1.1 Koagulasi
Kaogulasi adalah proses pengumpulan partikel-partikel ukuran halus yang dapat
diendapkani, menjadi partikel yang berukuran lebih besar sehingga bisa
diendapkan secara gravitasi. Peristiwa koagulasi banyak kita jumpai dalam kehidupan
sehari-hari tanpa kita sadari itu adalah koagulasi. Misalnya pada proses pembuatan tahu.
Tahu merupakan sari kedelai yang pada awalnya berbentuk cair, setelah didiamkan akan
menjadi padat. 
Koagulasi merupakan sebuah proses perubahan yang dialami oleh cairan yang
ada didalam darah menjadi gumpalan-gumpalan yang lunak baik penggumpalan secara
keseluruhan ataupun penggumpalan yang terjadi hanya sebagian. Jadi, dengan kata lain,
koagulasi merupakan sebuah proses penggumpalan yang terjadi pada suatu cairan
ataupun larutan sehingga akan terbentuk padatan yang lunak seperti gel. Proses
koagulasi terjadi karena bermacam-macam sebab, diantaranya:
a. Proses koagulasi alami
Proses koagulasi secara alami adalah proses menjadi keras atau padat, baik
seluruh maupun sebagian cairan sebagai akibat perubahan kimiawi, seperti
menggumpalnya darah, mengerasnya protoplasma, dan zat putih telur apabila
dipanaskan
b. Pemanasan atau pendinginan
Proses pemanasan atau pendinginan terjadi misalnya pada santan yang
dipanaskan, akan membentuk suatu endapan. Juga terjadi saat perebusan telur
(penanasan) dan pembuatan agar-agar (pendinginan).

II-1
Secara garis besar, berikut ini adalah proses mekanisme dari koagulasi:
a. Destabilisasi muatan negatif partikel oleh muatan positif dari koagulan
b. Tumbukan antar partikel
c. Mulai terjadi penggumpalan atau terbentuknya endapan dikarenakan sudah
melebihi faktor jenuh kelarutan
Faktor-faktor yang mempengaruhi koagulasi adalah sebagai berikut:
a. Suhu
Suhu berpengaruh terhadap daya koagulasi dan memerlukan pemakaian bahan
kimia berlebih, untuk mempertahankan hasil yang didapat atau mendapatkan
hasil yang sesuai dengan keinginan
b. pH
pH ekstrim baik pH saat tinggi maupun rendah, dapat berpengaruh terhadap
koagulasi, pH optimum pada koagulasi tergantung jenis koagulan yang
digunakan
c. Alkalinitas
Alkalinitas yang rendah membatasi reaksi ini dan menghasilkan reaksi koagulasi
yang kurang baik. Pada kasus demikian, mungkin perlu tambahan alkalinitas
terhadap air, melalui penambahan alkali/bahan kimia basa lainnya.
d. Kekeruhan
Semakin rendah kekeruhan, semakin sukar terbentuk endapan-endapan. Semakin
sedikit partikel, semakin jarang terjadi tumbukan antar partikel, oleh karena itu
semakin sedikit endapan yang terakumulasi
e. Penentuan dosis optimum koagulan
Untuk memperoleh koagulasi yang baik, dosis optimum koagulan perlu
ditentukan. Dosis optimum mungkin bervariasi sesuai dengan karakteristik dan
seluruh komponen kimiawi yang ada pada pada air.
Menurut Metcalf dan Edy (1991), proses koagulasi berfungsi untuk:
1. Mengurangi kekeruhan akibat adanya partikel koloid anorganik maupun organik
di dalam air
2. Mengurangi warna yang diakibatkan oleh partikel koloid di dalam air
3. Mengurangi bakteri patogen dalam partikel koloid
4. Mengurangi rasa dan bau yang diakbiatkan oleh partikel koloid dalam air

II.1.2 Flokulasi
Flokululasi merupakan penggabungan inti flok yang berukuran kecil menjadi
flok yang berukuran besar yang memungkinkan partikel-partikelnya dapat mengendap.
Menurut Metcalf dan Edy (1991), ada dua tahap pembentukan flok:
a. Tahap pembentukan dan penggabungan mikroflok yang terjadi pada proses
koagulasi
b. Tahap pembentukan dan penggabungan makroflok yang terjadi pada proses
flokulasi

II-2
Adanya pengadukan lambat dalam proses flokulasi akan menghasilkakn gerakan
secara perlahan dan terjadi kontak antara air dengan partikel. Sehingga terbentuk
gabungan partikel yang berukuran besar dan mudah mengendap. Pengadukan lambat
adalah pengadukan yang dilakukan dengan gradien kecepatan kecil (20 hingga 100
detik). Untuk menghasilkan menghasilkan flok yang baik, gradien kecepatan diturunkan
secara bertahap agar flok yang telah dibentuk tidak pecah lagi. Dan berkesempatan
bergabung dengan yang lain membentuk gumpalan yang lebih besar.
Pengadukan lambat dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain dengan
pengadukan mekanik dan pengadukan hidrolik. Proses flokulasi berlangsung saat
pengadukan lambat agar campuran dapat membentuk flok-flok berukuran lebih besar
dan dapat mengendap dengan cepat. Keefektifan proses ini bergantung pada konsentrasi
serta jenis koagulan, flokulan, ph dan temperatur.
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam desaini unit flokulasi:
a. Kualitas air baku dan karakteristik flokulasi
b. Kualitas tujuan dari proses pengolahan
c. Headloss tersedia dan variasi debit instalasi
Tujuan dari flokulasi selain lanjutan dari proses koagulasi adalah:
1. Meningkatkan penyisihan suspended solid dan BOD dari pengolahan fisik
2. Memperlancar proses conditioning air limbah, khususnya air limbah industri
3. Meningkatkan kerja secondary-clarifier dan proses lumpur aktif
4. Sebagai pretreatment untuk proses pembentukan secondary effluent dalam
filtrasi

II.1.3 Sendimentasi
Sendimentasi adalah proses pemisahan solid-liquid menggunakan pengendapan
secara gravitasi untuk menyisihkan suspended solid. Pada umumnya, sendimentasi
digunakan pada proses pengolahan air minum, pengolahan air limbah, dan pengolahan
air limbah pada tingkat lanjutan. Menurut Metcald dan Edy (1991), pada pengolahan air
limbah tingkat lanjutan, sendimentasi digunakan untuk:
a. Penyisihan grit, pasir, atau silt (lanau)
b. Penyisihan padatan tersuspensi pada clarifier pertama
c. Penyisihan flok atau lumpur biologis hasil proses activated sludge pada clarifier
akhir
d. Penyisihan humus pada clarifier akhir setelah trickling filter
Pada pengolahan air limbah tingkat lanjutan, sendimentasi ditujukan untuk
penyisihan lumpur setelah koagulasi dan sebelum proses filtrasi. Selain itu, prinsip
sendimentasi juga digunakan dalam pengendalian partikel udara. Prinsip sendimentasi
pada pengolahan air minum dan air limbah adalah sama, demikian untuk metoda dan
peralatannya.
Menurut Metcalf dan Edy (1991), berdasarkan pada konsentrasi partikel dan
kemampuan partikel untuk berinteraksi, klarifikasi ini dibagi menjadi empat tipe:

II-3
a. Setting tipe 1 : Pengendapan partikel diskrit, partikel mengendap secara
individual dan tidak ada interaksi antar partikel
b. Setting tipe II : Pengendapan partikel flokulen, terjadi interaksi antara partikel
sehingga ukuran meningkat dan kecepatan pengendapan bertambah
c. Setting tipe III : Pengendapan pada lumpur biologis, dimana gaya antar partikel
saling menahan partikel untuk mengendap
d. Setting tipe IV : Terjadi pemampatan partikel yang telah mengendap yang terjadi
karena berat partikel
Bak sendimentasi umumnya dibangun dari bahan beton bertulang dengan bentuk
lingkaran, bujur sangkar atau segi empat. Bak berbentuk lingkaran, umumnya
berdiameter 10,7 hingga 45,7 meter dan kedalaman hingga 3-4,5 meter. Bak berbentuk
bujur sangkar, umunya mempunyai lebar 10 hingga 70 meter dengan kedalaman 1,8-5,8
meter. Bak berbentuk segi empat, umumnya mempunyai lebar 1,5 hingga 6 meter,
panjang bak sampai 76 meter dan kedalaman lebih dari 1,8 meter.

II.1.4 Sterilisasi
Sterilisasi adalah suatu proses untuk mematikan semua organisme yang terdapat
pada atau di dalam suatu benda. Ketika untuk pertama kalinya melakukan pemindahan
biakan bakteri secara aseptic, sesungguhnya hal itu telah menggunakan salah satu cara
sterilisasi, yaitu pembakaran. Namun, kebanyakan peralatan dan media yang umum
dipakai di dalam pekerjaan mikrobiologi akan menjadi rusak bila dibakar. Untungnya
tersedia berbagai metode lain yang efektif.
Steril akan didapatkan melalui sterilisasi, sedang cara sterilisasi yang utama
adalah:
1. Sterilisasi secara fisik, misalnya dengan pemanasan, penggunaan sinar
bergelombang pendek seperti sinar X, sinar gamma, sinar ultra violet dan
sebagainya.
2. Sterilisasi secara kimiawi, misalnya dengan penggunaan disenfeksi larutan
alkohol, larutan formalin, larutan AMC (campuran asam khlorida dengan garam
Hg) dan sebagainya.
3. Sterilisasi secara mekanik, misalnya dengan menggunakan saringan atau filter.
Sterilisasi bisa dilakukan secara kimiawi dan fisik. Berdasarkan mekanisme
kerjanya zat anti-mikroba, maka sterilisasi kimiawi bisa diklasifikasikan atas 3
golongan, yaitu:
a. Golongan zat yang menyebabkan kerusakan membran sel.
b. Golongan zat yang menyebabkan denaturasi protein.
c. Golongan zat yang mampu mengubah grup protein dan asam amino yang
fungsional
Sterilisasi fisik bisa diklasifikasikan sebagai:
1. Sterilisasi dengan panas.
2. Sterilisasi dengan pembekuan.
3. Sterilisasi dengan radiasi.

II-4
4. Sterilisasi dengan ultrasonik dan vibrasi sonik.
5. Sterilisasi dengan cara filtrasi
Sterilisasi secara kimia, dapat dilakukan dengan cara sterilisasi gas digunakan
dalam pemaparan gas atau uap untuk membunuh mikroorganisme dan sporanya.
Meskipun gas dengan cepat berpenetrasi ke dalam pori dan serbuk padat sterilisasi
adalah fenomena permukaan dan mikroorganisme yang terkristal akan dibunuh.
Gas yang biasa digunakan adalah etilen oksida dalam bentuk murni atau
campuran dengan gas inert lainnya. Gas ini sangat mudah menguap dan sangat mudah
terbakar. Merupakan agen alkilasi yang menyebabkan dekstruksi mikroorganisme
termasuk sel-sel spora dan vegetatif. Sterilisasi dilakukan dalam ruang atau chamber
sterilisasi.
Sterilisasi menghasilkan bahan toksik seperti etilen klorohidrin yang
menghasilkan ion klorida dalam bahan-bahan. Digunakan untuk sterilisasi ala-alat
medis dan baju-baju medis, bahan-bahan seperti pipet sekali pakai dan cawan petri yang
digunakan dalam laboratorium mikrobiologi. Residu etilen oksida adalah bahan yang
toksik yang harus dihilangkan dari bahan-bahan yang disterilkan setelah proses
sterilisasi, yang dapat dilakukan dengan mengubah suhu lebih tinggi dari suhu kamar.
Juga perlu dilakukan perlindungan terhadap personil dari efek berbahaya gas ini.
Faktor-faktor yang mempengaruhi sterilisasi ini termasuk kelembaban,
konsentrasi gas, suhu dan distribusi gas dalam chamber pengsterilan. Penghancuran
bakteri tergantung pada adanya kelembaban, gas dan suhu dalam bahan pengemas,
penetrasi melalui bahan pengemas, pada pengemas pertama atau kedua, harus
dilakukan, persyaratan desain khusus pada bahan pengemas.
Mekanisme aksi etilen oksida dianggap menghasilkan efek letal terhadap
mikroorganisme dengan mengalkilasi metabolit esensial yang terutama mempengaruhi
proses reproduksi. Alkilasi ini barangkali terjadi dengan menghilangkan hidrogen aktif
pada gugus sulfhidril, amina, karboksil atau hidroksil dengan suatu radikal hidroksi etil
metabolit yang tidak diubah dengan tidak tersedia bagi. mikroorganisme sehingga
mikroorganisme ini mati tanpa reproduksi

II.1.5 Demineralisasi
Demineralisasi adalah suatu proses kimia untuk menghilangkan mineral–mineral
yang masih terdapat dalam air ketel. Dalam proses demineralisasi ini dilakukan
pengambilan mineral–mineral yang masih ada dalam air ketel melalui pertukan ion.
Untuk ini digunakan dua macam resin yaitu resin kation dan resin anion.
Resin kation mempunyai ion positif hidrogen H2+ yang ditempelkan pada
polimer yang bermuatan negatif. Ion–ion hidrogen positif ini dimaksudkan untuk
menangkap kation dari kalsium, magnesium, dan natrium. Berbeda dari resin kation,
resin anion mempunyai ion negatif hidroksida OH – yang ditempelkan pada polimer
positif. Ion hidroksida negatif ini digunakan untuk menangkap ion–ion positif dari
sulfat, klorida, dan karbonat. Kation dan anion yang sudah “kotor” dengan ion–ion

II-5
negatif dan ion–ion positif ini bisa dibersihkan (diregenerasi) dengan melakukan asam
pada resin kation dan basa pada resin anion.
Kation yang “kotor” telah banyak menangkap banyak ion–ion negatif dan
kalsium, magnesium, dan natrium sehingga terbentuk basa Ca(OH)2, Mg(OH)2, dan
Na(OH)2–. “Kotoran” berupa basa ini dibersihkan dengan menggunakan larutan asam
misalnya H2SO4. Anion yang “kotor” mengandung banyak asam H 2SO4, HCl, dan
H2cO3. Untuk membersihkan “kotoran” ini bisa digunakan larutan basa NaOH.

Gambar II.1 Suatu Rangkaian Proses Demineralisasi


Dari Gambar II.1 tampak bagaimana mineral–mineral yang ada dalam air
ketel secara bertahap dibersihkan. Dekarbonator berfungsi mengeluarkan CO 2 yang larut
dalam air ketel dengan cara meniupkan udara ke arah atas dalam aliran air yang
mengalir ke bawah, sehingga gas CO 2 yang larut dalam air tertiup keluar. Secara fisik
proses ini berlangsung seperti Gambar II.2 berlangsung dalam tangki-tangki baja
disertai dengan pompa-pompa penggerak air dan ditambahkan dengan saringan-
saringan.

Gambar II.2 Prinsip Kerja Deaerator untuk Membuang


Gas– Gas yang pada Air Ketel
Air yang keluar dari instalasi demineralisasi masih
mengandung gas-gas oksigen dan amoniak. Untuk mengeluarkan
gas-gas ini, air ketel yang keluar dari instalasi demineralisasi
dialirkan ke daerator. Dalam daeraor air disemprotkan melalui
sprinkle sehingga menjadi butir- butir kecil yang kemudian jatuh
dan mengalir di atas plat baja, terus ke bawah dan akhirnya keluar.
Demineralisasi dibedakan berdasarkan pada tipe bed (unggun) dari resin penukar
ion dan berdasarkan cara reginerasinya. Berdasarkan pada tipe bed (unggun) dari resin
penukar ion, yaitu:

a. Tipe bed campuran

II-6
Gambar II.3 Mix Bed Demineralizer
b. Tipe dua bed satu degasifikasi

Gambar II.4 Two Bed Demineralizer


c. Tipe empat bed satu degasifikasi

Gambar II.5 Four Bed Demineralizer


Berdasarkan cara regenerasinya :
a. Regenerasi aliran searah
b. Regenerasi aliran berlawanan arah
c. Regenerasi berkesinambungan
Dalam paparan ringkas di bawah ini disampaikan empat tahap proses
demineralisasi.
1. Tahap operasi (service, layanan)
Umumnya air baku mengalir dari atas ke bawah (downflow). Pada artikel ini
disisipkan juga sebuah unit tipikal demineralisasi dengan dua media (two bed
demineralizer).
2. Tahap cuci (backwash)
Kalau kemampuan resin berkurang banyak atau habis maka tahap pencucian
perlu dilaksanakan. Air bersih dialirkan dari bawah ke atas (upflow) agar memecah
sumbatan pada resin, melepaskan padatan halus yang terperangkap di dalamnya lalu
melepaskan jebakan gas di dalam resin dan pelapisan ulang resin.
3. Tahap regenerasi
Tujuan tahap ini adalah mengganti ion yang terjerat resin dengan ion yang
semula ada di dalam media resin dan mengembalikan kapasitas tukar resin ke tingkat
awal atau ke tingkat yang diinginkan. Operasi regenerasi dilaksanakan dengan
mengalirkan larutan regeneran dari atas resin. Ada empat tahap dalam regenerasi,
yaitu backwashing untuk membersihkan media resin (tahap dua di atas),
memasukkan regeneran, slow rinse untuk mendorong regeneran ke media resin, fast

II-7
rinse untuk menghilangkan sisa regeneran dari resin dan ion yang tak diinginkan ke
saluran pembuangan (disposal point).
4. Tahap bilas (fast rinse)
Air berkecepatan tinggi membilas partikulat di dalam media resin, juga ion
kalsium dan magnesium ke pembuangan dan untuk menghilangkan sisa-sisa larutan
regenerasi yang terperangkap di dalam resin. Pembilasan dilakukan dengan air bersih
aliran ke bawah. Setelah tahap ini, proses kembali ke awal (tahap service).

II.1.6 Reverse Osmosis


Reverse Osmosis (RO) adalah teknik pemisahan yang cocok untuk berbagai
macam aplikasi, terutama ketika mengeluarkan endapan garam atau padatan dari suatu
larutan. Dengan demikian, RO dapat digunakan untuk desalinasi air laut dan air payau
menghasilkan air jernih yang biasanya digunakan untuk industri serta air minum. Ini
juga diterapkan untuk produksi air ultra murni (misalnya semi konduktor, industri
farmasi) dan air umpan boiler. Selain itu sistem membran semi-permeable pada RO
digunakan untuk mengolah air limbah pada skala industri dan rumah tangga sehingga
dapat digunakan lagi.
Prinsip dasar reverse osmosis adalah memberi tekanan hidrostatik yang melebihi
tekanan osmosis larutan sehingga pelarut dalam hal ini air dapat berpindah dari larutan
yang memiliki konsentrasi zat terlarut tinggi ke larutan yang memiliki konsentrasi zat
terlarut rendah. Prinsip reverse osmosis ini dapat memisahkan air dari komponen-
komponen yang tidak diinginkan dan dengan demikian akan didapatkan air dengan
tingkat kemurnian yang tinggi.
Menurut Lewabreane (2013), aliran silang adalah konfigurasi yang diterapkan
untuk pemisahan membran menggunakan membran RO. Aliran umpan air umpan
mengalir secara tangensial ke permukaan membran, Fraksi-fraksi air dalam aliran
umpan ini melewati membran, sedangkan sebagian besar aliran umpan bergerak
sepanjang permukaan. Jadi, dua aliran yang dimaksud adalah:
a. Permeate, yaitu air yang telah diolah menjadi air murni dengan kandungan
konsentrasi ion rendah.
b. Concentrate, yaitu air yang telah diolah memiliki konsentrasi tinggi karena
adanya partikel kecil dan ion-ion yang terlarut.
Untuk memahami proses reverse osmosis, di bawah ini merupakan prinsip kerja
dari reverse osmosis:

II-8
Gambar II.6 Prinsip kerja Osmosis dan Reverse Osmosis
Osmosis merupakan proses yang didefinisikan sebagai gerakan murni air yang
melalui membran semi-permeable dari larutan yang mempunyai konsentrasi rendah
menuju larutan yang mempunyai konsentrasi tinggi. Membran bersifat permeable
terhadap air, tetapi membran menghilangkan hampir seluruh ion-ion dan padatan yang
terlarut pada air. Proses ini terjadi hingga osmotik equilibrium tercapai atau padatan-
padatan serta ion-ion yang ada sama di kedua sisi selaput.
Perbedaan ketinggian diamati diantara kedua kompartemen saat ptensi bahan
kimia disetarakan. Perbedaan tinggi pada kedua aliran osmotik akan diketahui diantara
dua aliran (aliran consentrate dan permeate). Proses osmosis sendiri terjadi ketika
terjadi tekanan yang kebih besar dari tekanan osmosisnya yang diterapkan pada larutan
yang memiliki konsentrasi. Air dipaksa mengalir dari aliran yang memiliki konsentrasi
tinggi menuju tempat pengenceran ion-ion lalu zat-zat yang terlarut akan dibawa oleh
membran.

II.1.7 Deodorisasi
Deodorisasi adalah suatu tahap proses pemurnian minyak yang bertujuan untuk
menghilangkan bau dan rasa (flavor) yang tidak enak dalam minyak. Senyawa-senyawa
yang menimbulkan rasa dan bau yang tidak enak tersebut biasanya berupa senyawa
karbohidrat tak jenuh, asam lemak bebas dengan berat molekul rendah, senyawa-
senyawa aldehid dan keton serta senyawa-senyawa yang mempunyai volatilitas tinggi
lainnya. Kadar senyawa-senyawa tersebut, walaupun cukup kecil telah cukup untuk
memberikan rasa dan bau yang tidak enak, kadarnya antara 0,001 – 0,1 %.
Prinsip proses deodorisasi yaitu penyulingan minyak dengan uap panas dalam
tekanan atmosfir atau keadaan vakum. Proses deodorisasi perlu dilakukan terhadap
minyak yang digunakan untuk bahan pangan. Proses deodorisasi dilakukan dengan cara
memompakan minyak ke dalam ketel deodorisasi. Kemudian minyak tersebut
dipanaskan pada suhu 240 – 270 oC pada tekanan 1 atmosfer dan selanjutnya pada
tekanan rendah dengan tetap dialiri uap panas, selama 4 - 6 jam. Pada suhu yang lebih
tinggi, komponen yang menimbulkan bau dalam minyak akan lebih mudah menguap.
Penurunan tekanan selama proses deodorisasi akan mengurangi jumlah uap yang
digunakan dan mencegah hidrolisis minyak oleh uap air. Setelah proses deodorisasi

II-9
sempurna, minyak harus cepat didinginkan dengan mengalirkan air dingin melalui pipa
pendingin sehingga suhu minyak menurun menjadi sekitar 84 oC dan selanjutnya ketel
dibuka serta minyak dikeluarkan.
Deodorisasi didasarkan pada perbedaan volalitas (kemudahan menguap) antara
minyak ( trigliserida) dengan komponen pengotor yang tidak diinginkan ini
mempengaruhi aroma, rasa, warna, dan stabilitas minyak.
Faktor yang penting pada proses deodorisasi, adalah jumlah minyak, jumlah
komponen volatil, jumlah uap yang dipakai, dan besar tekanan dalam proses.
Proses deodorisasi perlu dilakukan terhadap minyak yang akan digunakan untuk
bahan pangan. Beberapa jenis minyak yang baru diekstrak mengandung flavor yang
baik untuk tujuan bahan pangan, sehingga tidak memerlukan proses deodorisasi ;
misalnya lemak susu, lemak babi, lemak coklat, dan minyak olive.

II.1.8 Desalinasi
Desalinasi pada prinsipnya merupakan cara untuk mendapatkan air bersih
melalui proses penyulingan air kotor. Secara umum terdapat berbagai cara yang sering
digunakan untuk mendapatkan air bersih yaitu : perebusan, penyaringan, desalinasi dan
lain-lainnya. Cara perebusan dilakukan hanya untuk mematikan kuman dan bakteri-
bakteri yang merugikan, namun kotoran yang berupa padatanpadatan kecil tidak bisa
terpisah dengan air. Penyaringan digunakan hanya untuk menyaring kotoran-kotoran
yang berupa padatan kecil, namun kuman dan bakteri yang merugikan tidak bisa
terpisah dari air. Cara desalinasi merupakan cara yang efektif digunakan untuk
menghasilkan air bersih yang bebas dari kuman, bakteri, dan kotoran yang berupa
padatan kecil, Proses desalinasi secara umum biasanya yang diambil hanyalah air
kondensatnya, sedangkan konsentrat garam dibuang dan ini dapat berakibat buruk bagi
kehidupan air laut.
Prinsip kerja desalinasi secara umum sebenarnya sangat sederhana. Air laut
dipanaskan hingga menguap, dan kemudian uap yang dihasilkan dikondensasikan
kembali dan ditampung di sebuah wadah. Air kondensat tersebut adalah air bersih.
Sedangkan air laut yang tidak mendidih selama pemanasan adalah konsentrat garam.
Proses desalinasi yang akan penulis bahas pada penelitian ini adalah desalinasi sistem
vakum dengan modifikasi suplai panas menggunakan elemen pemanas berdaya rendah.
Konsep dari sistem ini adalah memanfaatkan ruang vakum yang dibentuk secara alami
untuk dapat mengevaporasikan sejumlah air laut pada tekanan rendah sehingga dapat
berevaporasi dengan suplai energi panas yang lebih sedikit dibanding dengan teknik
konvensional. Suplai energi panas yang sedikit dapat diambil dari kolektor surya plat
datar dan / atau panas yang dibuang. Namun pada penelitian ini digunakan elemen
pemanas daya rendah agar suplai panas dalam evaporator konstan. Keunikan dari sistem
ini adalah cara gaya gravitasi dan tekanan atmosfer digunakan dalam pembentukan
kondisi vakum. Pembentukan sistem vakum bertujuan untuk menurunkan tekanan ruang
evaporator agar pemanasan dapat berlangsung dengan suplai panas yang rendah.
Tekanan atmosfer akan sama dengan tekanan hidrostatis yang dibentuk dengan pipa air

II-10
yang tingginya sekitar 10 meter. Jadi, jika ketinggian pipa lebih dari 10 meter dan
ditutup dari bagian atas dengan air, dan air dibiarkan jatuh kebawah akibat gravitasi, air
akan jatuh pada ketinggian sekitar 10 meter, dan membentuk ruang vakum diatasnya.
Komponen-komponen yang terdapat pada desalinasi sistem vakum natural
adalah evaporator, kondensor, dan alat penukar kalor berupa Tube-in-Tube. Evaporator
berfungsi sebagai ruang pemanasan air laut dengan suplai panas berasal dari pemanas
listrik berdaya rendah untuk menjaga kestabilan suplai panas. Kondensor berfungsi
untuk mengumpulkan uap yang dihasilkan oleh pemanasan air laut di evaporator untuk
dikondensasikan kembali sehingga air kondensat dapat ditampung dan didapat air bersih
sebagai produk sistem. Sedangkan tube in tube heat exchanger berfungsi sebagai heat
recovery (pemulih panas), dimana air laut yang tidak mendidih akibat pemanasan di
ruang evaporator akan jatuh melalui pipa luar dari tube in tube untuk memanaskan pipa
dalam yang sedang dialiri air laut dari tangki pengumpan. Alasan penggunaan system
desalinasi vakum natural dalam penelitian ini adalah karena penggunaan daya listriknya
yang rendah, cocok untuk pemakaian skala besar terutama di pesisir pantai, dan
keunikan dari sistemnya yang tidak membutuhkan pompa vakum untuk menyuplai air
laut ke evaporator yang tingginya 10 m. Adapun kelebihan dan kelemahan dari system
desalinasi vakum natural adalah sebagai berikut :
Kelebihan menggunakan Desalinasi Vakum natural:
1. Tidak membutuhkan pompa vakum untuk menyuplai air laut
2. Biaya konstruksi yang terjangkau
3. Pemanasan menggunakan suplai panas rendah karena system dalam kondisi
vakum.
Kelemahan menggunakan Desalinasi Vakum natural:
1. Konstruksi cukup sulit karena proses instalasi berhubungan dengan ketinggian
2. Hanya cocok untuk pengguanaan skala besar (untuk luas alas evaporator yang
besar).

II.1.9 Dekolorisasi
Dekolorisasi merupakan bagian proses pemurnian yang dapat menggunakan
teknik absorpsi dengan cairan yang dipompakan melalui kolom. Proses dekolorisasi
sendiri terjadi karena menambahkan zat yang dapat menyerap warna sehingga hasilnya
lebih jernih. Biasanya proses dekolorisasi digunakan pada pembuatan gula. Proses
dekolorisasi sendiri dapat menyebabkan turunnya pH. Oleh karena itu perlu
ditambahkan zat lain agar pHnya tetap normal. Umumnya proses ini digunakan dengan
menambahkan resin penukar ion karena metode ini, resin dapat diregenerasi dan
memiliki kapasitas lebih besar. Biasanya setelah proses dekolorisasi perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut agar dihasilkan produk yang sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan dan sesuai dengan keinginan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi dekolorisasi adalah sebagai berikut:
a. pH

II-11
Semakin rendah pH maka harus berhati-hati dalam penambahan zat kimia
karena dapat menyebabkan pH semakin drop sehingga tidak layak pakai
b. Kekeruhan
Semakin keruh suatu air maka semakin besar konsentrasi zat yang ditambahkan
c. Jenis zat
Setiap zat memiliki konsentrasi berbeda-beda, oleh karena itu perlu dilakukan
pemilihan yang tepat agar tidak terjadi pemborosan biaya

II.2.1 Koagulan
Koagulan adalah senyawa yang mempunyai kemampuan mendestabilisasi koloid
dengan cara menetralkan muatan listrik pada permukaan koloid sehingga koloid dapat
bergabung satu sama lain membentuk flok dengan ukuran yang lebih besar sehingga
mudah mengendap.
Penambahan dosis koagulan yang lebih tinggi tidak selalu menghasilkan
kekeruhan yang lebih rendah. Dosis koagulan yang dibutuhkan untuk pengolahan air
tidak dapat diperkirakan berdasarkan kekeruhan, tetapi harus ditentukan melalui
percobaan pengolahan. Tidak setiap kekeruhan yang tinggi membutuhkan dosis
koagulan yang tinggi. Jika kekeruhan dalam air lebih dominan disebabkan oleh lumpur
halus atau lumpur kasar maka kebutuhan akan koagulan hanya sedikit, sedangkan
kekeruhan air yang dominan disebabkan oleh koloid akan membutuhkan koagulan yang
banyak.
Koagulan dapat berupa garam-garam logam (anorganik) atau polimer (organik).
Polimer adalah senyawa-senyawa organik sintetis yang disusun dari rantai panjang
molekul-molekul yang lebih kecil. Koagulan polimer ada yang kationik (bermuatan
positif), anionik (bermuatan negatif), atau nonionik (bermuatan netral). Sedangkan
koagulan anorganik mencakup bahan-bahan kimia umum berbasis aluminium atau besi.
Ketika ditambahkan ke dalam contoh air, koagulan anorganik akan mengurangi
alkalinitasnya sehingga pH air akan turun. Koagulan organik pada umumnya tidak
mempengaruhi alkalinitas dan pH air. Koagulan anorganik akan meningkatkan
konsentrasi padatan terlarut pada air yang diolah.
Beberapa jenis koagulan yang dapat digunakan untuk pengolahan air limbah di
antaranya:
a. Aluminium Sulphate (Alum)
Alum merupakan salah satu koagulan yang paling lama dikenal dan paling luas
digunakan. Alum dapat dibeli dalam bentuk likuid dengan konsentrasi 8,3% atau
dalam bentuk kering (bisa berupa balok, granula, atau bubuk) dengan
konsentrasi 17%. Alum padat akan langsung larut dalam air tetapi larutannya
bersifat korosif terhadap aluminium, besi, dan beton sehingga tangki-tangki dari
bahan-bahan tersebut membutuhkan lapisan pelindung. Rumus kimia alum
adalah Al2(SO4)3.18H2O tetapi alum yang disuplai secara komersial
kemungkinan hanya memiliki 14 H2O. Ketika ditambahkan ke dalam air, alum
bereaksi dengan air dan menghasilkan ion-ion bermuatan positif. Ion-ion dapat

II-12
bermuatan +4 tetapi secara tipikal bermuatan +2 (bivalen). Ion-ion bivalen 30-60
kali lebih efektif dalam menetralkan muatan-muatan partikel dibanding ion-ion
yang bermuatan +1 (monovalen). Pembentukan flok aluminium hidroksida
merupakan hasil dari reaksi antara koagulan yang bersifat asam dan alkalinitas
alami air (biasanya mengandung kalsium bikarbonat). Jika air kurang memiliki
kapasitas alkalinitas (buffering capacity), basa tambahan seperti hydrated lime,
sodium hidroksida (soda kaustik) atau sodium karbonat harus ditambahkan.
Dengan penambahan sodium karbonat: 1 mg/L alum bereaksi dengan 5,3 mg/L
alkalinitas (CaCO3). Jadi jika tidak ada basa yang ditambahkan, alkalinitas akan
turun dan terjadi penurunan pH. Flok aluminium hidroksida tidak dapat larut
pada rentang pH yang relatif sempit, dan akan bervariasi tergantung air yang
diolah. Oleh karenanya, kontrol pH menjadi penting dalam koagulasi, tidak
hanya untuk menyisihkan kekeruhan dan warna, tetapi juga untuk menjaga
residu terlarut tetap berada dalam jumlah minimum untuk membantu
sedimentasi. Nilai pH optimum koagulasi sebaiknya dijaga dengan
menambahkan asam seperti asam sulfat, tidak dengan menambahkan koagulan
yang berlebih. pH optimum untuk koagulasi menggunakan alum, sangat
tergantung pada karakteristik air yang diolah, biasanya berada dalam rentang 5-
8.
b. Ferric sulphate
Ferric sulphate tersedia dalam bentuk granula atau bubuk yang berwarna merah
kecoklatan. Rumus kimianya adalah Fe2(SO4)3.9H2O. Koagulan ini sedikit
bersifat higroskopik tetapi sulit untuk larut. Larutannya bersifat korosif terhadap
aluminium, beton, dan hampir semua besi-besian. Seperti reaksi alum, flok ferric
hydroxide merupakan hasil dari reaksi antara koagulan yang asam dan
alkalinitas alami dalam air. Reaksi-reaksi dengan penambahan basa analog
dengan reaksi yang terjadi jika menggunakan alum.
c. Ferrous sulphate
Ferrous sulphate disebut juga copperas atau iron sulphate atau gula besi,
merupakan garam termurah yang dapat digunakan untuk koagulasi. Ferrous
sulphate bersifat positif sehingga dapat melemahkan gaya tolak-menolak antar
partikel koloid yang bermuatan negatif. Ketika elektrolit diserap partikel koloid
dalam air, ferrous sulphate dapat menurunkan bahkan menghilangkan
kekokohan partikel koloid dan menetralkan muatannya. Penetralan muatan
partikel oleh koagulan hanya mungkin terjadi jika muatan partikel mempunyai
konsentrasi yang cukup untuk mengadakan gaya tarik-menarik antar partikel
koloid.
d. Ferric chloride
Ferric chloride tersedia dalam bentuk yang tidak mengandung H2O berupa
bubuk hijau-hitam dengan rumus kimia FeCl3, dan dalam bentuk likuid dengan
rumus kimia FeCl3.6H2O berupa sirup berwarna cokelat gelap. Bentuk padatnya

II-13
bersifat higroskopik dan tidak sesuai untuk pengumpanan kering. Larutannya
bersifat sangat korosif dan menyerang hampir semua logam dan beton. Reaksi
koagulasinya: Koagulan besi bervalensi 3 (ferric) bekerja pada rentang pH yang
lebar dan sering kali dapat digunakan pada batas rentang yang lebih tinggi,
misalnya dari 7,5-8.
e. Polyelectrolyte
Larutan dari polyelectrolyte bersifat sangat viskos dan sering kali dibutuhkan
hanya dalam dosis yang sangat kecil. Oleh karenanya turbulensi yang cukup
harus tersedia pada titik pengumpanan untuk memastikan pencampuran yang
cepat dan menyeluruh. Larutan polyelectrolyte yang encer lebih mudah
terdispersi ke dalam aliran dibandingkan larutan terkonsentrasi. Polyelectrolyte
organik alami seperti sodium alginate dan sebagian produk pati yang larut dalam
air telah lama digunakan dalam pengolahan air. Saat ini tersedia secara luas
polyelectrolyte sintetis yang lebih baru. Koagulan bermerk yang berupa larutan
polyelectrolyte sintetis dan garam-garam logam juga tersedia di pasaran.
f. Polyaluminium Chloride (PAC)
PAC memiliki rumus kimia umum AlnCl(3n-m)(OH)m banyak digunakan karena
memiliki rentang pH yang lebar sesuai nilai n dan m pada rumus kimianya. PAC
yang paling umum dalam pengolahan air adalah Al12Cl12(OH)24.
Senyawasenyawa modifikasi PAC di antaranya polyaluminium
hydroxidechloride silicate (PACS) dan polyaluminium hydroxidechloride
silicate sulfate (PASS). PAC digunakan untuk mengurangi kebutuhan akan
penyesuaian pH untuk pengolahan, dan digunakan jika pH badan air penerima
lebih tinggi dari 7,5.
PAC mengalami hidrolisis lebih mudah dibandingkan alum, mengeluarkan
polihidroksida yang memiliki rantai molekul panjang dan muatan listrik besar
dari larutan sehingga membantu memaksimalkan gaya fisis dalam proses
flokulasi. Pada air yang memiliki kekeruhan sedang sampai tinggi, PAC
memberikan hasil koagulasi yang lebih baik dibandingkan alum. Pembentukan
flok dengan PAC termasuk cepat dan lumpur yang muncul lebih padat dengan
volume yang lebih kecil dibandingkan dengan alum. Oleh karenanya, PAC
merupakan pengganti alum padat yang efektif dan berguna karena dapat
menghasilkan koagulasi air dengan kekeruhan yang berbeda dengan cepat,
menggenerasi lumpur lebih sedikit, dan meninggalkan lebih sedikit residu
aluminium pada air yang diolah.
Menurut Echanpin (2005) dalam Yuliati (2006), PAC merupakan koagulan
anorganik yang tersusun dari polimer makromolekul dengan kelebihan seperti
memiliki tingkat adsorpsi yang kuat, mempunyai kekuatan lekat, tingkat
pembentukan flok-flok tinggi walau dengan dosis kecil, memiliki tingkat
sedimentasi yang cepat, cakupan penggunaannya luas, merupakan agen
penjernih air yang memiliki efisiensi tinggi, cepat dalam proses, aman, dan

II-14
konsumsinya cukup pada konsentrasi rendah. Menurut Eaglebrook Inc (1999)
dalam Yuliati (2006), keuntungan koagulan PAC yaitu sangat baik untuk
menghilangkan kekeruhan dan warna, memadatkan dan menghentikan
penguraian flok, membutuhkan kebasaan rendah untuk hidrolisis, sedikit
berpengaruh pada pH, menurunkan atau menghilangkan kebutuhan penggunaan
polimer, serta mengurangi dosis koagulan sebanyak 30-70%.
Dalam reaksi hidrolisis PAC, 3 molekul H+ akan terbentuk. Hidrolisis tersebut
terjadi pada koagulasi pada pH 5,8-7,5. Dalam rentang pH ini, warna dan zat
koloid disisihkan melalui adsorpsi ke dalam hidroksida logam hasil hidrolisis
yang terbentuk.
Agar proses destabilisasi efektif, molekul polimer harus mengandung kelompok
kimia yang dapat berinteraksi dengan permukaan partikel koloid. Pada saat
terjadi kontak antara molekul polimer dengan partikel koloid, beberapa dari
kelompok kimia pada polimer terserap ke permukaan partikel, meninggalkan
molekul polimer yang tersisa pada larutan. Apabila terjadi kontak antar molekul
polimer yang tersisa dengan partikel ke dua yang memiliki permukaan
penyerapan yang kosong, maka akan terjadi ikatan. Partikel polimer kompleks
akan terbentuk dengan polimer sebagai penghubung. Jika partikel ke dua tidak
dapat berikatan, maka seiring dengan waktu bagian polimer yang tersisa akan
terserap pada permukaan partikel yang lain secara perlahan sehingga polimer
tidak dapat lagi berfungsi sebagai penghubung.
Dosis polimer yang berlebih akan mengakibatkan koloid menjadi stabil kembali
karena tidak adanya ruang untuk membentuk penghubung antar partikel. Pada kondisi
tertentu, suatu sistem yang telah didestabilisasi dan membentuk agregat dapat menjadi
stabil kembali pada agitasi yang berlebihan dan mengakibatkan putusnya polimer
permukaan partikel dan proses berulang antara polimer tersisa dengan permukaan
partikel. Menurut Gebbie (2005), overdosis polimer kation akan menyebabkan
restabilisasi, yaitu ketika muatan keseluruhan permukaan partikel-partikel yang ada
berubah dari negatif menjadi positif dengan kekeruhan setelah pengolahan justru
meningkat.
Semua koagulasi menyisihkan zat koloid dan zat berwarna dari air dalam proses
dengan menggenerasi lumpur dalam bentuk hidroksida logam. Setiap koagulan
memiliki rentang kondisi pH optimum yang sempit. Satu-satunya cara untuk
menentukan koagulan mana yang terbaik pada air tertentu adalah dengan melakukan
percobaan jar-test di laboratorium.
PAC memiliki kelebihan dibandingkan alum ketika mengkoagulasi air yang sulit
diolah. Larutan ferric sulphate dan chloride bersifat agresif dan merupakan likuid asam
yang korosif, dengan chloride lebih tajam dari sulphate. Ferric sulphate dan chloride
bereaksi sebagai koagulan dengan cara yang sama dengan alum tetapi membentuk flok
ferric hydroxide jika ada alkalinitas bikarbonat. Pengolahan air yang menggunakan
koagulan besi membutuhkan kontrol proses yang ketat. Garam-garam aluminium atau
besi paling banyak digunakan sebagai koagulan dalam pengolahan air karena efektif,

II-15
relatif murah, mudah didapatkan, mudah ditangani, mudah disimpan, dan mudah
diaplikasikan.
Koagulan berbasis besi cenderung lebih mahal dibandingkan alum pada basis
dosis ekivalen per kilogramnya. Koagulan-koagulan ini juga mengambil lebih banyak
alkalinitas dibandingkan alum sehingga cenderung menurunkan pH air yang diolah
lebih besar. Sebagian berpendapat bahwa koagulan berbasis besi menghasilkan flok
dengan bentuk yang membuatnya lebih sulit untuk mengendap. Koagulan ini sangat
korosif dan ketika terjadi tumpahan atau kebocoran akan meninggalkan noda karat yang
berwarna merah darah.
Untuk koagulan tertentu seperti alum, pH akan menentukan spesies hidrolisis
mana yang mendominasi. Nilai pH yang lebih rendah cenderung menyukai
spesiesspesies bermuatan positif sehingga dapat bereaksi dengan koloid dan partikulat
yang bermuatan negatif untuk membentuk flok yang tidak larut. Waktu penambahan
bahan-bahan kimiawi pengkondisi dan koagulan terbukti sangat penting dan biasanya
sangat menentukan keefektifan performa unit sedimentasi, filtrasi, dan kualitas air akhir.
Pemisahan titik pengumpanan yang tepat untuk tiap-tiap bahan kimiawi yang berbeda
dan pengawasan waktu penundaan yang tepat antara penambahan-penambahan bahan
kimia juga dapat menjadi sangat penting untuk mendapatkan proses koagulasi yang
optimum. Urutan penambahan bahan kimiawi tidak terlalu berpengaruh terhadap
kualitas air yang telah diolah. Hasil yang sama atau sedikit lebih baik dapat didapatkan
dengan menambahkan bahan pengatur pH terlebih dahulu.
Menurut Davis dan Cornwell (1991) dalam Yuliati (2006), ada tiga hal penting
yang harus diperhatikan ketika memilih suatu koagulan, yaitu: - kation bervalensi tiga
(trivalen) merupakan kation yang paling efektif untuk menetralkan muatan listrik
koloid, - tidak beracun, - tidak larut dalam kisaran pH netral (Koagulan yang
ditambahkan harus terendapkan dari larutan sehingga ion-ion tersebut tidak tertinggal
dalam air) Dosis koagulan yang berlebihan maupun yang kurang dapat menurunkan
efisiensi penyisihan padatan. Kondisi tersebut dapat dikoreksi dengan percobaan JarTest
dan memverifikasi kinerja proses setelah melakukan perubahan dalam operasi proses
koagulasi. Hal serupa juga kemungkinan perlu dilakukan jika terjadi perubahan kualitas
atau karakteristik air yang akan diolah. Residu alkalinitas dalam air berperan untuk
mencegah perubahan pH dan membantu presipitasi koagulan. Alkalinitas biasanya tidak
menjadi masalah kecuali jika alkalinitas air yang hendak diolah terlalu rendah. Dalam
hal ini, alkalinitas dapat ditingkatkan dengan menambahkan lime, soda kaustik, atau
sodium karbonat.

II.2.2 Flokulan
Flokulan adalah bahan yang mempunyai kemampuan untuk mengikat partikel
koloid sehingga flok yang terjadi menjadi lebih berat dan menjadi lebih cepat
mengendap. Penambahan flokulan dianjurkan apabila koagulan sulit mengikat partikel
yang ada didalam air atau koloid yang terjadi lambat mengendap. Beberapa macam
flokulan yaitu: silika aktip, natrium alginat dan poli-elektrolit.
Pada proses flokulasi terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu:

II-16
a. Alkalinitas
Proses lumpur aktiv membutuhkan alkalinitas yang cukup, untuk memastikan
pH itu tetap berada pada kisaran yang dapt diterima dari 6,6-9.0. jika nitogen
organik dan amonia sedang dikonversi menjadi nitrat (nitrifikasi) maka
alkalinitas  yang cukup harus tersedia untuk mendukung proses ini.
b. pH
pH larutan campuran harus dipertahankan dalam kisaran 6,5-9.0 (idealnya 6-8).
Fluktuasi bertahap dalam kisaran ini biasanya tidak akan mengganggu proses
flokulasi.
c. Temperatur
Sebagai akibat fluktuasi suhu, maka proses koagulasi-flokulasi tidak akan
berjalan maksimal.
d. Turbidity (kekeruhan)
Kekeruhan mengacu pada kejerniahan air, dimana kekeruhan disebabkan oleh
adanya materi atau zat dalam air sehingga mempengaruhi penyerapan dan
hamburan cahaya. Kekeruhan mempengaruhi analisa kejernihan air dan radiasi
UV pada proses desinfektan air limbah dimana efektivitas iradiasi (penetrasi
cahaya) tidak akan bekerja maksimal. Semakin tinggi jumlah total padatan
dalam air limbah akan menunjukkan kekeruhan.
Jenis Flokulan dalam proses flokulasi:
1. Kopolimer dari akrilamida dan N,N−dimetil amino propilen akrilat
Sifat muatan elektrostatik : Ionik
Sifat : Kopolimer yang linier dan kationik kepadatan muatanelektrostatik
tergantung dari status kopolomerisasi (n/m + n) dan pH,membentuk jarak yang
sensitif terhadap hidrolisab.
2. Poli (Natriumakrilat)
Sifat muatan elektrostatik : Anionik
Sifat : Polimeryang paling penting anionik dan segmen linierdalam kopolimer
dengan akril amida dan anionikc.
3. Poli akrilamida
Sifat muatan elektrostatik : Nonionogen
Sifat : Molekul yang sangat panjang dan linier yang dikenalsebagai flokulan
pembantu yang ionogen.
Zat polimer itu sangat cocok berdasarkan struktur kimia untuk membantudalam
proses flokulasi dan untuk mempengaruhi sifat flok. Pembubuhan Koagulan/flokulan
pembantu dilakukan setelah pembubuhan koagulan.
Prinsip pengerjaannya merupakan proses destabilisasi partikel koloid
(mentidakstabilkan partikel koloid). Partikel-partikel koloid yang berukuran sangat kecil
memiliki muatan negatif, interaksi antar partikel saling tolak-menolak karena memiliki
muatan yang sama sehingga partikel koloid menyebar. Dengan penambahan Koagulan
(misal tawas Al), maka ion Al yang berukuran lebih besar dari ukuran partikel koloid
dan memiliki muatan positif akan mengikat partikel-partikel koloid sehingga
membentuk gumpalan yang lebih besar. 
Penambahan Flokulan bertujuan untuk mengikat gumpalan-gumpalan yang
terbentuk akibat penambahan Koagulan (inti flok) sehingga gumpalan yang terbentuk
lebih besar lagi dan dapat disaring. Penambahan Flokulan dan atau Flokulan harus
sesuai dengan dosis, apabila kurang maka penggumpalan partikel koloid tidak
sempurna, sedangkan apabila ditambahkan berlebih akibatnya akan menambah

II-17
kekeruhan pada air. Sehingga ada metode yang biasa digunakan untuk menentukan
takaran atau dosis dari penggunaan Koagulan atau Flokulan yaitu dengan metode
Jartest.
Flokulan merupakan suatu bahan yang dibutuhkan untuk mendekatkan jarak
antar partikel agar membentuk flok yang cukup besar sehingga mengendap lebih cepat.
Kecepatan pengendapan biasanya diperbesar dengan aluminium sulfat.
Pembentuk flok pada proses koagulasi dipengaruhi oleh faktor fisika dan kimia
seperti kondisi pengadukan, pH, Alkalinitas, kekeruhan dan suhu air. Seperti alum
apabila digunakan diluar kisaran pH optimumnya (5,8 – 7,4), maka flok yang terbentuk
akan tidak sempurna dan akan larut kembali. Namun demikian dosis bahan koagulan
optimum yang ditambahkan harus ditentukan berdasarkan percobaan laboratorium
dengan Jar test.
Ada dua jenis yaitu flokulan organik dan nonorganik, flokulan dari bahan
organik dapat berupa polimer sintetik dan polimer alami. Flokulan dari polimer sintetik
lebih disukai karena tidak perlu mengatur pH media, dapat digunakan hanya dalam
jumlah kecil 1-5 ppm, flok yang terbentuk lebih besar, lebih kuat dan pengendapannya
lebih baik/menghasilkan sedikit sludge. Flokulan organik sering menimbulkan masalah
baru karena menghasilkan banyak sludge dalam proses flokulasi. Efisiensi flokulasi
polimer meningkat seiring dengan meningkatnya berat molekul. Diantara flokulan
polimer, polimer sintetik biasa dibuat dengan mengontrol berat molekul, distribusi berat
molekul, struktur kimia polimer, dan perbandingan gugus fungsi dari polimer backbone.
Flokulan anionik akan bereaksi dengan suspensi bermuatan positif (zeta
potensial positif), biasanya berupa garam dan hidroksida logam. Flokulan kationik akan
bereaksi dengan suspensi bermuatan negatif (zeta potensial negatif), seperti silika dan
subatansi organik. Namun demikian hal tersebut tidak berlaku umum, sebagai contoh
flokulan anionik dapat mengaglomerasi tanah liat (clays) yang bersifat elektro negatif.
Terdapat tiga kelompok flokulan yang saat ini digunakan yaitu; mineral, alami
dan sintetis. Flokulan mineral : berupa kolloid yang dapat berperan pada beberapa
mekanisme flokulasi yaitu mengadsorbsi dan netralisasi muatan. Sebagai contoh adalah
silika yang diaktifkan (activated silica), tanah liat tertentu (bentonite clays), hidroksida
logam tertentu dengan struktur polimer (tawas dan hidroksida besi).
Flokulan sintetis merupakan flokulan yang diproduksi dengan berbagai
kebutuhan sehingga flokulan ini diproduksi bermuatan negatif (anionic), bermuatan
positif (cationic), dan netral (nonionic). Flokulan bermuatan negatif dapat bereaksi
dengan partikel bermuatan negatif seperti garam-garam dan logam-logam hidroksida,
sedangkan flokulan bermuatan positif akan bereaksi dengan partikel bermuatan negatif
seperti silika maupun bahan-bahan organik, tetapi hukum itu tidak berlaku secara umum
karena flokulan negatif dapat mengikat tanah liat yang bermuatan negatif.
Flokulan sintetis yang umum digunakan adalah polyacrilamide (PAM),
sedangkan untuk kegunaan pada kondisi tertentu dipakai polietilen-imine, poliamida-
amine, poliamine, polietilen-oksida, dan senyawa tersulfonasi. PAM merupakan polimer
nonionik, dapat menjembatani antara partikeldengan rantai polimer, memiliki berat

II-18
molekul paling tinggi diantara sintesa kimia lainnya, yaitu 10–20 juta. Biasanya
kekuatan intrinsik flokulan meningkat seiring meningkatnya berat molekul. Polimer
dapat diberikan karakter anionik melalui kopolimerisasi akrilamida dengan asam akrilat.
Kopolimerisasi akrilamida dengan monomer kationik menghasilkan polimer kationik.
Flokulan alami, merupakan polimer yang larut dalam air, berkarakter anionik,
kationik atau nonionik. Polimer nonionik mengadsobsi partikel tersuspensi. Flokulan
alami yang paling umum adalah turunan pati dari jagung dan kentang, polisakarida dan
alginat. Penggunaan turunan pati sebagai flokulan untuk pengolahan airmengalami
penurunan, tetapi tetap penting untuk industri kertas. Polisakarida biasanya berasal dari
guar gums, digunakan untuk flokulan yang bermedium asam. Alginat berkarakter
anionik, digunakan untuk pengolahan air minum.
Bioflokulan merupakan polimer esensial yang diproduksi oleh mikroorganisme
pada fase pertumbuhannya dengan produksi bioflok berbeda-beda tergantung pada
komunitas mikrobanya. Bioflok berkemampuan untuk aplikasi pada air minum,
pengolahan air limbah, proses pengolahan hilir, dan proses fermentasi. Aplikasi bioflok
pada sistem akuakultur ditujukan untuk mengatasi kualitas air biaya tinggi.
Polyelectrolite adalah flokulan yang saat ini sedang banyak digunakan. Molekul
organik ini memiliki senyawa-senyawa makromolekul yang panjang. Beberapa senyawa
memiliki muatan listrik atau gugus-gugus yang dapat terionisasi. Berdasarkan sifatnya,
polyelectrolite dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu non-ionik polimer (misalnya
polyacrylamide), anionik polimer (misalnya polyacrylic acid), dan kationik polimer
(misalnya polyethylene-imine). Seluruh flokulan tersebut berperan untuk mempercepat
terbentuknya floc. Dalam beberapa kasus, penggunaan PE tanpa disertai dengan
penggunaan koagulan dapat bekerja secara sangat efektif. Polyelectrolite memiliki sifat
yang menguntungkan dalam penggunaannya, antara lain volume lumpur yang terbentuk
realtif lebih kecil, mempunyai kemampuan untuk menghilangkan warna, dan efisien
untuk proses pemisahan air dari lumpur.
Tabel II.1 Jenis Flokulan dalam Pengolahan Air Limbah
Sumber Flokulan Jenis Flokulan
Silika aktif
Flokulan mineral Tanah liat (koloid): bentonit
Logam hidroksida (aluminium dan ferri hidroksida)
Turunan pati (pati singkong, dan kentang)
Polisakarida
Flokulan organik
Kitosan
Gelatin dan alginat
Polyethylene-imines (cationic)
Polyamides-amines (cationic)
Polyamines (cationic)
Flokulan sintetis
Polyethylene-oxide (nonionic)
Komponen karboksil dan sulfonat (anionic)
Polyacrylamide (nonionic)

II-19
Renewable flocculants yang berasal dari produk dan limbah pertanian dalam arti
luas telah dilaporkan oleh beberapa penelitiantara lain yaitu; kitosan, gelatin babi dan
ekstrak protein dari daging dan tulang, protein dari darah sapi, campuran kitosan dan
jamur lapuk putih, turunan polimer selulosa yaitu karbosi-metil-selulosa, ati sagu
termodifikasi digabung dengan akrilamid. Beberapa protein dari hasil pertanian dalam
arti luas memiliki kemampuan yang dapat menggantikan PAM yang merupakan
flokulan turunan dari minyak bumi (Sugihartono,2014)

II.2.3 Karbon Aktif


Karbon aktif merupakan senyawa amorf yang dihasilkan dari bahan-bahan yang
mengandung karbon atau arang yang diperlakukan secara khusus untuk mendapatkan
daya adsorpsi yang tinggi. Karbon aktif dapat mengadsorpsi gas dan senyawa-senyawa
kimia tertentu atau sifat adsorpsinya selektif, tergantung pada besar atau volume pori-
pori dan luas permukaan. Daya serap karbon aktif sangat besar, yaitu 25-100% terhadap
berat karbon aktif.
Karbon aktif dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu:
a. Karbon Aktif Sebagai Pemucat Biasanya berbentuk powder yang halus dengan
diameter pori 1000 Aø, digunakan dalam fase cair dan berfungsi untuk
memindahkan zat-zat pengganggu.
b. Karbon Aktif Sebagai Penyerap Uap Biasanya berbentuk granular atau pelet
yang sangat keras, diameter porinya 10-200 Aø, umumnya digunakan pada fase
gas yang berfungsi untuk pengembalian pelarut, katalis, dan pemurnian gas
Berdasarkan bentuknya, karbon aktif dibagi sebagai berikut:
1. Karbon Aktif Bentuk Serbuk. Karbon aktif berbentuk serbuk dengan ukuran
lebih kecil dari 0,18 mm. Terutama digunakan dalam aplikasi fasa cair dan gas.
Biasanya digunakan pada industri pengolahan air minum, industry farmasi,
bahan tambahan makanan, penghalus gula, pemurnian glukosa dan pengolahan
zat pewarna kadar tinggi
2. Karbon Aktif Bentuk Granular. Karbon aktif bentuk granular/tidak beraturan
dengan ukuran 0,2 -5 mm. Jenis ini umumnya digunakan dalam aplikasi fasa
cair dan gas. Beberapa aplikasi dari jenis ini digunakan untuk: pemurnian emas,
pengolahan air, air limbah dan air tanah, pemurni pelarut dan penghilang bau
busuk.
3. Karbon Aktif Bentuk Pellet. Karbon aktif berbentuk pellet dengan diameter 0,8-
5 mm. Kegunaaan utamanya adalah untuk aplikasi fasa gas karena mempunyai
tekanan rendah, kekuatan mekanik tinggi dan kadar abu rendah.
Pada umumnya karbon/arang aktif digunakan sebagai bahan pembersih, dan
penyerap, juga digunakan sebagai bahan pengemban katalisator. Pada industri karet ban
arang aktif yang mempunyai sifat radikal dan serbuk sangat halus, digunakan sebagai
bahan aditif kopolimer.

II-20
1. Karbon aktif berfungsi sebagai filter untuk menjernihkan air
2. Karbon aktif berfungsi sebagai adsorben pemurnian gas
3. Karbon aktif berfungsi sebagai filter industri minuman
4. Karbon aktif berfungsi sebagai penyerap hasil tambang dalam industri
pertambangan.
5. Karbon aktif berfungsi sebagai pemucat atau penghilang warna kuning pada
gula pasir.
6. Karbon aktif berfungsi untuk mengolah limbah B3 (Bahan Beracun
Berbahaya)
7. Dapat berfungsi sebagai penyegar/pembersih udara ruangan dari kandungan
uap air
Sifat adsorpsi karbon aktif sangat tergantung pada porositas permukaannya,
namun dibidang industri, karakterisasi karbon aktif lebih difokuskan pada sifat adsorpsi
dari pada struktur porinya. Bentuk pori karbon aktif bervariasi yaitu berupa: silinder,
persegi panjang, dan bentuk lain yang tidak teratur. Gugus fungsi dapat terbentuk pada
karbon aktif ketika dilakukan aktivasi, yang disebabkan terjadinya interaksi radikal
bebas pada permukaan karbon dengan atom-atom seperti oksigen dan nitrogen, yang
berasal dari proses pengolahan ataupun atmosfer. Gugus fungsi ini menyebabkan
permukaan karbon aktif menjadi reaktif secara kimiawi dan mempengaruhi sifat
adsorpsinya. Oksidasi permukaan dalam produksi karbon aktif, akan menghasilkan
gugus hidroksil, karbonil, dan karboksilat yang memberikan sifat amfoter pada karbon,
sehingga karbon aktif dapar bersifat sebagai asam maupun basa.
Berikut ini adalah beebrapa faktor yang mempengaruhi karbon aktif:
1. Sifat Serapan Banyak senyawa yang dapat diadsorpsi oleh arang aktif, tetapi
kemampuannya untuk mengadsorpsi berbeda untuk masing- masing senyawa.
Adsorpsi akan bertambah besar sesuai dengan bertambahnya ukuran molekul
serapan dari sturktur yang sama. Adsorbsi juga dipengaruhi oleh gugus fungsi,
posisi gugus fungsi, ikatan rangkap, struktur rantai dari senyawa serapan.
2. Temperatur Dalam pemakaian arang aktif dianjurkan untuk mengamati
temperatur pada saat berlangsungnya proses. Faktor yang mempengaruhi
temperatur proses adsoprsi adalah viskositas dan stabilitas thermal senyawa
serapan. Jika pemanasan 9 tidak mempengaruhi sifat-sifat senyawa serapan,
seperti terjadi perubahan warna maupun dekomposisi, maka perlakuan dilakukan
pada titik didihnya.
3. pH (Derajat Keasaman) Untuk asam-asam organik, adsorpsi akan meningkat bila
pH diturunkan, yaitu dengan penambahan asam-asam mineral. Ini disebabkan
karena kemampuan asam mineral untuk mengurangi ionisasi asam organik
tersebut. Sebaliknya bila pH asam organik dinaikkan yaitu dengan
menambahkan alkali, adsorpsi akan berkurang sebagai akibat terbentuknya
garam.

II-21
4. Waktu Kontak Bila arang aktif ditambahkan dalam suatu cairan, dibutuhkan
waktu untuk mencapai kesetimbangan. Waktu yang dibutuhkan berbanding
terbalik dengan jumlah arang yang digunakan. Pengadukan juga mempengaruhi
waktu kontak. Pengadukan dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada
partikel arang aktif untuk berkontakan dengan senyawa serapan. Untuk larutan
yang mempunyai viskositas tinggi, dibutuhkan waktu kontak yang lebih lama.

II.2.4 Resin Penukar Ion


Ion exchanger atau resin penukar ion dapat didefinisikan sebagai senyawa
hidrokarbon terpolierisasi yang mengandung ikatan silang (crosslinking) serta gugus-
gugus fungsional yang mempunyai ion-ion yang dapat dipertukarkan. Sebagai zat
penukar ion resin mempunyai karakteristik yang berguna dalam analisis kimia, antara
lain kemampuan menggelembung (selling), kapasitas penukuran dan selektivitas
penukaran. Pada saat dikontakkan dengan resin penukar ion, maka ion terlarut dalam air
akan terserap ke resin penukar ion dan resin akan melepaskan ion lain dalam kesetaraan
ekivalen, dengan melihat kondisi tersebut maka dapat mengatur jenis ion yang diikat
dan dilepas. Sebagai media penukar ion, maka resin penukar ion harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut : 1. Kelarutan yang rendah dalam berbagai larutan
sehingga dapat digunakan berulang-ulang. Resin akan bekerja dalam cairan yang
mempunyai sifat melarutkan, karena itu harus tahan terhadap air. 2. Kapasitas yang
tinggi, yaitu resin memiliki kapasitas pertukaran ion yang tinggi. 3. Kestabilan fisik
yang tinggi, yaitu resin diharapkan tahan terhadap tekanan mekanis tekanan hidrostatis
cairan serta tekanan osmosis.
Penukar ion kebanyakan berupa bahan bahan organik, yang umumnya dibuat
secara sintetik. Bahan tersebut sering juga disebut resin penukar ion. Penukar ion
mengandung bagian-bagian aktif dengan ion yang dapat ditukar Bagian aktif semacam
itu misalnya adalah:
- Pada penukar kation:
Kelompok-kelompok asam sulfo – SO3 - H + (dengan sebuah ion H+ yang dapat
ditukar)
- Pada penukar anion: Kelompok-kelompok amonium kuartener – N- (CH3)3 +
OH- (dengan sebuah ion OHyang dapat ditukar)
Pertukaran ion adalah proses fisika-kimia. Pada proses tersebut senyawa yang
tidak larut, dalam hal ini resin menerima ion positif atau negatif tertentu dari larutan dan
melepaskan ion lain kedalam larutan tersebut dalam jumlah ekivalen yang sama. Jika
ion yang dipertukarkan berupa kation, maka resin tersebut dinamakan resin penukar
kation, dan jika ion yang dipertukarkan berupa anion, makan resin tersebut dnamakan
resin penukar anion.
Contoh reaksi pertukaran kation dan reaksi pertukaran anion disajikan pada
reaksi : Reaksi pertukaran kation: 2NaR (s) + CaCl2 (aq) CaR(s) + 2 NaCl (aq) Reaksi
pertukaran anion : 2RCl (s) + Na2SO4 R2SO4(s) + 2 NaCl

II-22
Reaksi pertukaran kation menyatakan bahwa larutan yang mengandung CaCl2
diolah dengan resin penukar kation NaR, dengan R menyatakan resin. Proses penukaran
kation yang diikuti dengan penukaran anion untuk mendapatkan air yang bebas dari ion-
ion penyebab kesadahan. Konstanta disosiasi air sangat kecil dan reaksi dari H+ dengan
OH sangat cepat. Ketika semua posisi pertukaran yang awalnya dipegang H+ atau ion
OH yang menempati Na+ atau Cl- (kation atau anion lain) yang masing-masing resin
dikatakan habis. Resin kemudian dapat diregenerasi dengan ekuilibrasi menggunakan
asam atau basa yang sesuai.
Pertukaran ion dapat ditempatkan sebagai unit operasi dalam equilibrium
(kesetimbangan) kimia. Pertukaran ion menyangkut salah penempatan ion yang
diberikan spesies dari pertukaran material yang tidak dapat larut dengan ion-ion yang
berbeda spesies ketika larutan yang terakhir dibawa sampai mengontak / berhubungan /
bercampur.
Berdasarkan jenis gugus fungsi yang digunakan, resin penukar ion dapat
dibedakan menjadi empat jenis yaitu :
1. Resin penukar kation asam kuat (mengandung gugusan HSO3) Contoh paling
baik dari resin penukar kation asam kuat adalah “principal sulfonated styrene-
divinylbenzene copolymer produc” seperti amberlite IRP69 (Rhom dan Haas)
dan DOWEX MSC-1 (Dow Chimical). Resin ini dapat digunakan untuk
menutup rasa dan aroma zat aktif kationik (mengandung amin) sebelum
diformulasi dalam tablet kunyah. Resin ini merupakan produk sferik yang dibuat
dengan mensulfonasi butir-butir kopolimer divinilbenzen srien dengan zat
pensulfonasi pilihan berupa asam sulfat, asam klorosulfonoat, atau sulfur
trioksida. Penggunaan zat pengembang yag non reaktif umumnya diperlukan
untuk pengembangan yang cepat dan seragam dengan kerusakan minimum.
Resin penukar kation asam kuat berfungsi diseluruh kisaran pH.
2. Resin penukar kation asam lemah (mengandung gugusan COOH) Resin penukar
kation asam lemah yang paling umum adalah yang dibuat dengan tautan silang
atau asam karboksilat tak jenuh seperti asam metakrilat dengan suatu zat tautan
silang seperti divinilbenzen. Contohnya mencakup DOWEX CCR-2 (DOW
chemical) dan Amberlit IRP-65 (Rhom dan Haas). Resin pertukaran kation asam
lemahberfungsi pada pH diatas 6.
3. Resin penukar anion basa kuat (mengandung gugusan amina tersier atau
kuartener) Resin penukar anion basa kuat adalah resin amin kuartener sebagai
hasil dari reaksi trietilamin yang kopolimer dari stiren dan dvinil benzen yang
diklorometilasi, misalnya amberlite IRP-276 (Rhom and Hass), dan DOWEX
MSA-A (DOWnChemical). Resin penukar anion basa kuat ini befungsi
diseluruh kisaran pH
4. Resin penukar anion basa lemah (mengandung OH sebagai gugusan labil). Resin
penukar ion basa lemah dibentuk dengan mereaksikan amin primer dan amin

II-23
sekunder atau amonia dengan kopolimer stiren dan divinil benzene yang
diklorometilasi, biasanya digunakan dimetilamin. Resin penukar anion basa
lemah ini berfungsi dengan baik dibawah pH.

II.2.5 Bleaching Earth


Pemucatan atau bleaching merupakan suatu tahap proses pemurnian minyak
untuk menghilangkan zat-zat warna yang tidak disukai dalam minyak. Pemucatan ini
dilakukan dengan mencampur minyak dengan sejumlah kecil adsorben, seperti tanah
serap (fuller earth), lempung aktif (activated clay), arang aktif, atau dapat juga dengan
menggunakan bahan kimia. Proses penyisihan warna sebenarnya tidak hanya terjadi
pada proses pemucatan. Pada proses deodorizing dan degumming juga terjadi
penyisihan warna dari CPO. Pada proses pemucatan penyisihan warna CPO hanya
sekitar 50% sedangkan total penyisihan warna untuk keseluruhan proses refining sekitar
75-90% .
Zat warna dalam minyak terdiri dari zat warna alamiah dan zat warna hasil
degradasi zat warna alamiah/ zat warna disebabkan oleh organologam. Zat warna
alamiah dalam minyak dapat dihilangkan dengan penambahan adsorben, sedangkan zat
warna yang disebabkan oleh organologam dihilangkan dengan senyawa pembentuk
kompleks. Zat warna yang termasuk dalam zat warna alamiah adalah karoten, klorofil,
xanthofil, dan anthosianin. Karoten merupakan pigmen yang menghasilkan warna
merah, kuning, atau jingga dan memiliki struktur dasar yang sama. Warna minyak juga
ditentukan oleh komponen-komponen lain selain pigmen tapi pengaruhnya relatif kecil
karena minyak kelapa sawit mengandung karoten dalam jumlah yang tinggi. Kandungan
karoten dalam minyak sawit (ordinary) kurang lebih 500-700 ppm.
Dengan proses pemurnian CPO diperoleh total kandungan karoten minyak sawit
komersial menjadi 17 ppm. Selain penghilangan zat warna, pemucat juga dapat
mengurangi komponen-komponen lain yang tidak diinginkan seperti logam-logam
transisi sekitar 0,001-0,1 ppm. Proses pemucatan juga dapat mengurangi kadar sabun
hasil proses netralisasi hingga 5-10 ppm, sedangkan kadar asam lemak bebas akan
bertambah secara lambat. Selain itu, pemucatan juga akan 5 menyerap sebagian
suspensi koloid (gum dan resin) serta hasil degradasi minyak seperti peroksida.
Menurut Wahyudi (2000), bleaching earth telah lama digunakan untuk proses
adsorpsi komponen warna dalam minyak nabati. Pada awalnya bleaching earth
digunakan dalam bentuk bentonit alami tanpa proses aktivasi. Bleaching earth dalam
bentuk alami pada umumnya hanya mampu menyerap ion-ion bermuatan positif, baik
ion anorganik maupun organik. Hal ini terjadi karena mineral montmorillonit yang
terdapat dalam bentonit mempunyai lapisan silikat yang bermuatan negatif dengan
lingkungan permukaan mineral yang bersifat hidrofilik. Untuk meningkatkan
kemampuan bentonit dalam menyerap senyawa-senyawa organik, terutama yang
bersifat nonpolar, seperti senyawa-senyawa hidrokarbon aromatik, maka bentonit
tersebut perlu diaktivasi terlebih dahulu. Ada dua cara aktivasi untuk meningkatkan
daya serap bentonit:

II-24
a. Aktivasi dengan pemanasan Pengaktifan dengan pemanasan bertujuan agar air
yang terikat dicelah-celah molekul dapat teruap, sehingga porositasnya meningkat.
Proses ini sangat sesuai pada jenis bentonit Swelling.
b. Aktivasi dengan pengasaman. Pengaktifan dengan pengasaman dapat
menaikkan angka perbandingan antara SiO2 : Al2O3. Proses ini dilakukan dengan cara
melarutkan bentonit ke dalam asam (HCl atau H2SO4) pada 8 konsentrasi tertentu
dengan waktu perendaman tertentu pula. Proses ini sangat sesuai untuk dilakukan untuk
bentonit yang non swelling.
Menurut Ketaren (1986), aktivasi menggunakan asam akan menimbulkan tiga
macam reaksi sebagai berikut:
1. Mula-mula asam akan melarutkan komponen Fe2O3, Al2O3, CaO, dan MgO
yang mengisi permukaan adsorben. Hal ini mengakibatkan terbukanya pori-pori yang
tertutup sehingga menambah luas permukaan adsorben,
2. Selanjutnya ion-ion Ca++ dan Mg++ yang berada pada permukaan kristal
adsorben secara berangsur-angsur diganti oleh ion H+ dari asam mineral.
3. Sebagian ion H+ yang telah menggantikan ion Ca++ dan Mg++ akan ditukar
oleh ion Al+++ yang telah larut dalam larutan asam. Daya pemucat bleaching earth
disebabkan oleh ion Al3+ pada permukaan partikel penyerap sehingga dapat lebih
efektif mengabsorbsi zat warna. Gambar 1. Reaksi aktivasi bentonit dengan asam
(Ketaren, 1986) + 4 H+ Mg++ Ca++ Clay + 2H+ 2H+ Clay

II-25

Anda mungkin juga menyukai