Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNIK PENYEDIAAN AIR BERSIH


Koagulasi dan Flokulasi

DISUSUN OLEH:

NAMA : Brahmantya Aryasena Susilo

NIM : 185100907111001

KELOMPOK : M5

ASISTEN :

Rois Kurniawan M. Nashrul Umam


Arinda Fitriansyah Rizky Wulandari
Aulia Rahmah Vania Rosalini G.
Ayu Ramadhona L. Zahwa Fakhrunaz
Fariska Vera Imanda

LABORATORIUM PENGOLAHAN LIMBAH

JURUSAN KETEKNIKAN PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Air limbah adalah air yang tidak bersih dan mengandung berbagai zat yang dapat
membahayakan kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya dan lazimnya muncul
karena hasil aktivitas manusia. Untuk mengolah air limbah maka dilakukan penyisihan
bahan-bahan tersebut pada prinsipnya berlangsung melalui perubahan sifat bahan-
bahan tersebut. Yaitu dari tak dapat diendapkan menjadi mudah diendapkan (flokulasi-
koagulasi), baik dengan atau tanpa reaksi oksidasi-reduksi, dan juga berlangsung
sebagai hasil reaksi oksidasi.
Untuk memenuhi kebutuhan air bersih diperlukan penanganan khusus agar
kualitas air menjadi standar. Ada beberapa contoh pengolahan air diantaranya
pengolahan secara fisik, kimia, dan biologis. Pada pengolahan secara fisik dengan
metode filtrasi dan sedimentasi. Pada pengolahan secara biologis, biasanya dilakukan
untuk membunuh mikroorganisme yang pathogen yaitu dengan pemberian bahan
desinfektan. Pada pengolahan secara kimia, dilakukan dengan cara menambahkan
suatu senyawa kimia yang biasanya disebut dengan koagulan dan flokulan.
Koagulasi dan flokulasi merupakan salah satu metode pengolahan yang
umumnya digunakan dalam pengolahan air minum. Metode ini merupakan dua proses
yang terangkai menjadi kesatuan proses yang tak terpisahkan dalam pembentukan
flok. Pada proses koagulasi terjadi destabilisasi koloid dan partikel dalam air sebagai
akibat dari pengadukan cepat dan pembubuhan koagulan. Setelah proses koagulasi,
dilanjutkan dengan proses flokulasi yang bertujuan untuk membentuk flok. Semakin
banyak jumlah padatan tersuspensi maka semakin besar ukuran dan jumlah flok yang
terbentuk. Padatan tersuspensi terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun
beratnya lebih kecil dari sedimen, seperti bahan-bahan organik tertentu, tanah liat,
lumpur dalam bentuk suspensi dan lain-lain.

1.2 Tujuan Praktikum


a) Mahasiswa mampu mengetahui tahapan proses flokulasi dan koagulasi
b) Mahasiswa mampu mengetahui konsenterasi optimum koagulan yang digunakan
menggunakan teknik jar test (pH, turbidy)
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Definisi Koagulasi
Koagulasi adalah, efek yang dihasilkan oleh penambahan bahan kimia
terhadap dispersi koloid yang mengakibatkan destabilisasi partikel oleh pengurangan
gaya yang cenderung membuat partikel tetap terpisah. Perlakuan kimia biasanya
diterapkan sebelum sedimentasi dan filtrasi untuk meningkatkan kemampuan proses
pengobatan untuk menghilangkan partikel. Koagulasi adalah proses untuk menetralkan
muatan dan kemudian membentuk massa agar-agar untuk menjebak (atau
menjembatani) partikel sehingga membentuk massa yang cukup besar untuk
mengendap atau terjebak dalam saringan (Engelhardt. 2010).
Koagulasi merupakan proses pengumpulan partikel-partikel penyusun kekeruhan
yang tidak dapat diendapkan secara gravitasi, menjadi partikel yang lebih besar
sehingga dapat diendapkan dengan cara pemberian bahan kimia koagulan. Kesulitan
utama dalam proses koagulasi ini adalah menetukan dosis optimum koagulan (zat
pengendap), dalam hal ini aluminium sulfat atau tawas, yang tidak selalu berkolerasi
linier terhadap kekeruhan air di tahap akhir koagulasi. Koagulasi merupakan
pengolahan air baku menjadi air bersih (Permatasari, 2013).

2.2 Prinsip Dan Metode Koagulasi


Koagulasi adalah suatu proses pengubahan partikel koloid menjadi flok yang
berukuran lebih besar dan penyerapan bahan organik terlarut pada flok tersebut
sehingga pengotor yang ada dalam air dapat dipisahkan melalui proses penyaringan
padat-cair. Koagulasi terdiri dari tiga tahapan proses, yaitu pembentukan inti flok,
destabilisasi koloid/partikel, dan pembesaran ukuran partikel. Prinsip tersebut banyak
diterapkan dalam proses pengolahan air limbah (Engelhardt. 2010).
Koagulasi adalah metode untuk menghilangkan bahan-bahan limbah dalam
bentuk koloid, dengan menambahkan koagulan. Dengan koagulasi, partikel-partikel
koloid akan saling menarik dan menggumpal membentuk flok Pengadukan cepat
dilakukan selama 2 menit yang dihitung semenjak penambahan koagulan.
Pengadukan cepat ini bertujuan untuk menghasilkan dispersi yang seragam dari
partikel-partikel koloid, dan untuk meningkatkan kesempatan partikel untuk kontak dan
bertumbukan satu sama lain (Karamah, 2017).

2.3 Definisi Flokulasi


Flokulasi adalah pengadukan lembut atau agitasi untuk mendorong partikel
sehingga terbentuk untuk menggumpal menjadi massa yang cukup besar untuk
diselesaikan atau disaring dari larutan. Flokulasi, tahap pencampuran yang lembut,
meningkatkan ukuran partikel dari mikroflok submikroskopik hingga partikel tersuspensi
yang tampak. Partikel mikroflok bertabrakan, menyebabkan mereka terikat untuk
menghasilkan flok yang lebih besar dan terlihat yang disebut pinflocs (Prakash, 2014).
Flokulasi digunakan untuk memisahkan bagian padatan tersuspensi dari air.
Partikel tersuspensi bervariasi dalam sumber, muatan, ukuran partikel, bentuk, dan
densitas. Aplikasi koagulasi dan flokulasi yang benar tergantung pada faktor-faktor ini.
Padatan tersuspensi dalam air memiliki muatan negatif dan karena mereka memiliki
jenis muatan permukaan yang sama, mereka saling menolak ketika mereka
berdekatan. Oleh karena itu, padatan tersuspensi akan tetap dalam suspensi dan tidak
akan mengumpul dan mengendap keluar dari air, kecuali koagulasi dan flokulasi yang
tepat digunakan (Engelhardt. 2010).

2.4 Prinsip Dan Metode Flokulasi


Koagulasi dan flokulasi terjadi secara berurutan, memungkinkan tumbukan
partikel dan pertumbuhan flok. Hal ini kemudian diikuti oleh sedimentasi. Jika koagulasi
tidak lengkap, langkah flokulasi tidak akan berhasil, dan jika flokulasi tidak lengkap,
sedimentasi tidak akan berhasil. Flokulasi, tahap pencampuran yang lembut,
meningkatkan ukuran partikel dari mikroflok submikroskopik hingga partikel tersuspensi
yang tampak. Partikel mikroflok bertabrakan, menyebabkan mereka terikat untuk
menghasilkan flok yang lebih besar dan terlihat yang disebut pinflocs (Engelhardt.
2010).
Flokulasi merupakan suatu kombinasi pencampuran dan pengadukan atau
agitasi yang menghasilkan agregasi yang akan mengendap setelah penambahan
flokulan. Flokulasi adalah proses fisika yang mana air yang terpolusi diaduk untuk
meningkatkan tumbukan interpartikel yang memacu pembentukan partikel-partikel
besar sehingga dalam waktu 1-2 jam partikel-partikel tersebut akan mengendap
(Sarwono, 2017).

2.5 Faktor Yang Mempengaruhi Koagulasi Dan Flokulasi


proses koagulasi sendiri dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu perubahan pada
tingkat pH dalam air, kandungan garam, alkalinitas, kekeruhan, dan suhu. Tingkat pH,
garam, dan alkalinitas digunakan untuk menilai berapa banyak partikel bermuatan
positif (kation) dan partikel bermuatan negatif (anion) dalam air. Koagulasi adalah
dicampurkannya koagulan dengan pengadukan secara cepat guna mendistabilisasi
koloid dan solid tersuspensi yang halus, dan masa inti partikel, kemudian membentuk
jonjot mikro (mikro flok) (Kristijarti, 2013).

Menurut Rahmiah (2016), faktor-faktor yang mempengaruhi proses floakulasi sebagai


berikut:
a. Kualitas air
b. Temperatur air
c. Jenis koagulan
d. pH air
e. Jumlah garam – garam terlarut dalam air, tingkat kekeruhan air baku
f. Kecepatan pengadukan
g. Waktu pengadukan
h. Dosis koagulan
i. Inti flok yang terbentuk
j. Alkalinitas
Hal tersebut bertujuan untuk menggabungkan partikel–partikel koloid yang telah
mengalami destabilisasi, sehingga terbentuk flok yang dapat dengan mudah
terendapkan. Kecepatan penggumpalan koloid ditentukan oleh banyaknya tumbukan –
tumbukan yang terjadi antar partikel koloid dan efektivitas tumbukan yang terjadi
melalui tiga cara, yaitu : 1) Kontak yang diakibatkan oleh adanya gerak thermal.
2) Kontak yang diakibatkan oleh pengadukan.
3) Kontak yang terjadi akibat kecepatan mengendap masing – masing partikel tidak
sama.

2.6 Msds Koagulan Yang Digunakan Beserta Gambar


Aluminium sulfat adalah cairan kimia dengan formula Al2(SO4)3.14H2O. wujud
dari aluminium sulfat ini adalah bubuk. Aluminium sulfat ini dapat berbahaya jika
kontak langsung dengan mata dan kulit, efek yang ditimbulkan seperti iritasi pada
mata, kulit dan pernafasan. Dan jika cairan ini ditelan dalam jumlah besar dapat
menyebabkan iritasi pada saluran pencernaan. Diharapkan menjadi rendah resiko
saluran pencernaan (Tradeasia, 2012).
Material yang digunakan dalam koagulan adalah aluminium sulfat
(Al2(SO4)3.14H2O). pada aluminium sulfat penggunaan yang teridentifikasi relevan
yakni pemurnian air, pengolahan limbah, dan decolorizing pada proses kilang minyak.
Cairan aluminium sulfat ini termasuk cairan yang tidak tergolong terlalu berbahaya
dalam peraturan di uni-eropa, akan tetapi untuk tetap waspada cairan ini tidak boleh
sampai terkena oleh mata, kulit, atau pakaian. Berat molekul dari cairan aluminium
sulfat sendiri memiliki beban sebesar 594 g/mol (Timur Raya, 2014).

2.7 Efektivitas Dan Efisiensi Koagulan


Koagulan dapat berupa garam-garam logam (anorganik) atau polimer (organik).
Polimer adalah senyawa-senyawa organik sintetis yang disusun dari rantai panjang
molekul-molekul yang lebih kecil. Koagulan polimer ada yang kationik (bermuatan
positif), anionik (bermuatan negatif), atau nonionik (bermuatan netral). Sedangkan
koagulan anorganik mencakup bahan-bahan kimia umum berbasis aluminium atau
besi. Ketika ditambahkan ke dalam contoh air, koagulan anorganik akan mengurangi
alkalinitasnya sehingga pH air akan turun. Koagulan organik pada umumnya tidak
mempengaruhi alkalinitas dan pH air. Koagulan anorganik akan meningkatkan
konsentrasi padatan terlarut pada air yang diolah (Kristijarti, 2013).
Dosis koagulan yang dibutuhkan untuk pengolahan air tidak dapat diperkirakan
berdasarkan kekeruhan, tetapi harus ditentukan melalui percobaan pengolahan. Tidak
setiap kekeruhan yang tinggi membutuhkan dosis koagulan yang tinggi. Jika
kekeruhan dalam air lebih dominan disebabkan oleh lumpur halus atau lumpur kasar
maka kebutuhan akan koagulan hanya sedikit, sedangkan kekeruhan air yang dominan
disebabkan oleh koloid akan membutuhkan koagulan yang banyak. Pada saat ini ada
dua macam koagulan yang banyak digunakan adalah koagulan anorganik dan
koagulan organik. Bahan kimia yang dapat digunakan sebagai koagulan adalah kapur,
alum, dan polielektrolit (organik sintesis) (Karamah, 2017).

2.8 Jelaskan Proses Fisika Dan Kimia Dalam Koagulasi


Koagulasi bertujuan untuk memisahkan partikel koloid yang terdapat pada air
kotor. Umumnya air sungai seperti koloid ini disebabkan banyaknya partikel koloid
yang terkandung didalam air sungai sehingga menyebabkan warna air sungai
kecoklatan. Jadi Koagulasi adalah proses pemisahan air dan pengotor yang
terkandung didalamnya seperti pemisahaan atara susu kedelai dengan air. Pada
sistem koagulasi ini dilakukan pengadukan cepat dan terjunan dengan tujuan untuk
mempercepat proses pemisahan air dan pengotor yang ada dalam air itu (Husaini,
2018).
Koagulasi Tahap ini adalah dilakukan penyaringan melalui media butiran-
butiran, butiran-butiran yang digunakan diantarnya pasir silica, antrasit dan kerikil dan
ukuran yang tidak sama. Proses ini menerapkan sistem gravitasi. – Desinfeksi Air yang
masuk pada proses ini berarti sudah bebas dari pengotor, namun tidak menutup
kemungkinan air tersebut masih mengadung kuman dan bakteri. Oleh sebab itu,
diperlukan zat kimia yang mampu menghilangkan kuman dan bakteri. Zat kimia yang
digunakan antara lain uv, ozonisasi, chlor dan oemabasan (Permatasari, 2013).

2.9 Jenis Dan Fungsi Pengadukan Dalam Koagulasi


Jenis pengadukan berdasarkan kecepatan pengadukannya dibedakan menjadi
2 yaitu pengadukan cepat dan pengadukan lambat. Sedangkan proses pengadukan
berdasarkan jenis alat atau cara pengadukannya dibagi menjadi 3 pengadukan
mekanis, pengadukan hidrolis dan pengadukan pneumatis. proses pengadukan dalam
proses koagulasi-flokulasi berguna untuk mendispersikan koagulan (pengadukan
cepat) serta membantu pembentukan dan penggabungan flok (pengadukan lambat)
(Karamah, 2017).
Proses Koagulasi merupakan proses destabilisasi koloid dan partikel air
dengan menggunakan pembentukan inti gumpalan (presipitat). Proses koagulasi
hanya dapat berlangsung bila adanya pengadukan. Pengadukan pada proses
koagulasi dan flokulasi merupakan pemberian energi agar terjadi tumbukan antar
partikel tersuspensi dan koloid agar terbentuk gumpalan (flok) sehingga dapat
dipisahkan melalui proses pengendapan dan penyaringan (Yunita, 2017).

2.10 Jenis Dan Fungsi Pengadukan Flokulasi


Pada proses Flokulasi memiliki jenisnya tersendiri, flokulasi perikinetik klok
yang diakibatkan oleh adanya gerak thermal yang dikenal sebagai gerak Brown,
prosesnya disebut flokulasi perikinetik. Gerak acak dari partikel koloid yang ditimbulkan
karena adanya tumbuhan molekul-molekul air, akan mengakibatkan terjadinya
gabungan antar partikellebih sangat kecil 1 < 100. Dengan adanya perbedaan
kecepatan aliran media cair akan mempunyai aliran kecepatan yang berbeda pula
akibatnya (Rahimah, 2016).
Flokulasi terjadi setelah koagulasi dan Flokulasi sendiri merupakan
pengadukan pelan atau lamban pada air limbah. Pada proses ini terjadinya endapan
koloid, diharapkan laju fouling yang terjadi pada membran akan berkurang, sehingga
penggunaan mikrofiltrasi dalam proses pengolahan air bersih menjadi layak untuk
dilakukan. Dalam proses ini, dilakukan variasi waktu lamanya pengadukan pelan pada
proses flokulasi. Parameter yang digunakan dalam mengukur kualitas air bersih sangat
banyak, akan tetapi dalam penelitian ini parameter yang digunakan untuk mengukur
kualitas air bersih adalah TDS (Total Dissolved Solid) dan COD (Chemical Oxygen
Demand) (Engelhardt, 2010).
BAB III
METODOLOGI
3.1 Alat dan bahan serta fungsi
3.1.1 pelarutan koagulan
a) Alumunium sulfat : Sebagai Koagulan
b) Timbangan Analitik : untuk menimbang massa yang akan digunakan.
c) Cawan Porselen : sebagai wadah koagulan saat penimbangan.
d) Gelas Ukur : untuk mengukur besarnya aquades yang digunakan.
e) Aquades : sebagai pelarut koagulan.
f) Erlenmeyer : untuk tempat melarutkan koagulan.

3.1.2 proses koagulasi dan flokulasi


a) Jerigen : tempat untuk menampung air sungai yang akan diuji.
b) Air sungai : sebagai bahan perlakuan.
c) Larutan koagulan : sebagai bahan kimia pengendap.
d) Aerator : alat untuk pengadukan cepat.
e) Batu aerator : tempat keluarnya udara dari aerator.
f) Selang : menghubungkan udara yang dihasilkan ke batu aerator.
g) Gelas beker 1000 ml : tempat perlakuan dilakukan.
h) Pengaduk : alat untuk pengadukan lambat.
i) Pipet volum dan Bulp : untuk mengambil larutan dengan volume tertentu.

3.1.3 uji kekeruhan dan PH


a) Turbiditimeter : untuk mengukur tingkat kekeruhan.
b) Kuvet : tempat air sungai saat melakukan pengujian kekeruhan.
c) pH meter : untuk mengukur nilai pH
d) timer : untuk menghitung waktu perlakuan

3.2 gambar alat dan bahan


Aluminium sulfat Batu Aerator Larutan Koagulan Timer
Timbangan analitik Selang Air sungai pH meter

Cawan porselen Gelas Beaker 1000 Jerigen Botol sampel


ml

Gelas ukur Pengaduk Erlenmeyer Turbidimeter

Aquades Pipet volume dan Aerator


Bulb
3.3 Cara kerja
3.3.1 pelarutan koagulan
Alat dan Bahan

Disiapakan

Koagulan

Ditimbang sebanyak 5 gram dengan


menggunakan timbangan analitik

Erlenmeyer

Diisi dengan 50 ml Aquades

Bubuk Koagulan

- Dituang ke dalam Erlenmeyer yang berisi aquades


- Diputar sampai larut

Hasil
3.3 2 proses koagulasi flokulasi

Alat dan Bahan

Disiapkan

Air Sungai

- Diuji kadar pH dan kekeruhan sebagai data awal


- Dituang ke dalam 4 beaker glass masing-masing
sebanyak 1000 ml
- Air sampel dibedakan menjadi kontrol, koagulan
1,6 ml, koagulan 3,6 ml, dan koagulan 5,6 ml
- Ditutup

Batu Aerator

Dimasukkan kedalam air sungai di dalam beaker glass

Aerator

Dinyalakan

Air Sungai

Dilakukan pengadukan cepat air sungai selama 1 menit

Aerator

Dimatikan

Air Sungai

- Diaduk menggunakan pengaduk selama 10 menit dengan


pengaduk lambat
- Didiamkan selama 30 menit
- Diuji pH dan kekeruhan sebagai data akhir
Hasil

3.3.3 uji kekeruhan

Alat dan Bahan

Disiapkan

Turbidimeter

- Ditekan tombol ON
- Ditekan tombol Mode hingga muncul 3 titik display
- Diarahkan anak panah ke Call dengan menekan tombol
seru
- Dikalibrasi dengan memasukkan larutan standar 0,1
dengan memegang botol sampel dibagian atas
- Ditutup
- Ditekan tombol Read
- Ditunggu 1 menit hingga muncul nilai 0,1
- Diulangi untuk larutan 20, 200, dan 800
- Dimasukkn larutan samepl pada botol sampel yang tersedia
- Ditekan tombol read dan tunggu 1 menit
- Diulangi sebanyak 3 kali pada setiap sampel
- Dicatat hasil dalam satuan NTU

Hasil

3.3.4 uji ph

Alat dan Bahan

Disiapkan
Air Sampel

Diambil sebanyak 50 ml dan dimasukkan kedalam beaker glass.

pH meter
Dicelupkan sebagian kedalam beaker glass. Tuliskan nilai.
Lakukan pengulangan sebanyak 3 kali.

Hasil

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 DHP
Sumber Sampel : Air Sungai Sumbersari
Volume sample : 1000 mL
massa( gr) 5 gr
Kadar Koagulan : = =0,1
volume (ml) 50 ml
a) Tabel Hasil sampel Kekeruhan
Kekeruhan Kekeruhan Beaker glass Beaker glass Beaker glass Beaker glass
Awal 1 (kontrol) 2 (1,6 mL) 3 (3,6 mL) 4 (5,6 mL)
1 7,33 7,54 1,9 3,11 3,42
2 7,5 7,58 1,91 2,81 3,55
3 7,28 7,52 1,90 2,81 3,61
Rata-rata 7,37 7,54 1,90 2,91 3,52

b) Tabel Rekap hasil uji pH dan kekeruhan


Dosis Koagulan Kekeruhan
No. pH
(ml) (NTU)
0 Kontrol 7,31 7,54
1 1,6 6,91 1,90
2 3,6 5,99 1,91
3 5,6 5,07 3,52

Dosis optimum koagulan : 1,6 mL

4.2 Analisa DHP


Pada praktikum yang telah dilakukan, didapatkan data hasil praktikum seperti
diatas. Bahan uji yang digunakan adalah air sungai dari sumbersari dengan volume
1000 mL. Koagulan yang digunakan yaitu larutan Aluminium sulfat atau tawas dengan
kadar koagulan sebesar 0,1 gr/ml. Pada proses ini menggunakan 4 sampel berbeda,
yaitu sampel kontrol yang tidak diberikan koagulan, koagulan 1,6 ml, koagulan 3,6 ml,
dan koagulan 5,6 ml. Hasil data pertama berupa kekeruhan dari setiap gelas beaker.
Kekeruhan awal didapatkan hasil sebesar 7,33 NTU, 7,5 NTU, dan 7,28 NTU dengan
rata-rata sebesar 7,37 NTU. Gelas beaker pertama merupakan gelas kontrol dan
didapatkan hasil kekeruhan sebesar 7,54 NTU, 7,58 NTU, 7,52 NTU dengan rata-rata
sebesar 7,54 NTU. Gelas beaker kedua dengan koagulan sebesar 1,6 ml didapatkan
hasil kekeruhan sebesar 1,9 NTU, 1,91 NTU, 1,90 NTU dengan rata-rata sebesar 1,9
NTU. Gelas beaker ketiga dengn koagulan sebesar 3,6 ml didapatkan hasilkekeruhan
pertama sebesar 3,11 NTU, sedangkan kedua dan ketiga sebesar 2,81 NTU dengan
rata-rata sebesar 2,91 NTU. Gelas beaker keempat dengan koagulan 5,6 ml
didapatkan kekeruhan sebesar 3,42 NTU, 3,55 NTU, 3,61 NTU, dengan rata-rata
sebesar 3,52 NTU. Setelah itu, masing-masing gelas beaker diberi tawas lalu
dicampurkan larutan koagulan dan diaduk menggunakan pengaduk cepat selama 1
menit dan pengadukan lambat selama 10 menit, kemudian didiamkan selama 30
menit. Dosis koagulan pada gelas beaker pertama yang merupakan gelas kontrol
didapatkan hasil pH sebesar 7,31 dan kekeruhan sebesar 7,54 NTU. Dosis koagulan
pada gelas beaker kedua dengan koagulan sebsar 1,6 ml didapatkan pH sebesar 6,91
dan kekeruhan sebesar 1,90 NTU. Dosis koagulan pada gelas beaker ketiga dengan
koagulan 3,6 ml didapatkan pH sebesar 5,99 dan kekeruhan sebesar 1,91 NTU. Dan
dosis koagulan pada gelas beaker keempat dengan koagulan 5,6 ml didapatkan pH
sebesar 5,07 dan kekeruhan sebesar 3,52 NTU. Didapatkan hasil dari dosis optimum
koagulan sebesar 1,6 ml/L. Dosis koagulan optimum sebesar 1,6 ml dan pH nya
sebesar 6,91 dengan tingkat kekeruhan 1,90 NTU.

4.3 Pengaruh penambahan koagulan dengan pH bandingkan dengan literature


Menurut Pulungan (2012), Disaat pH di beri penambahan koagulan maka nilai pH
semakin turun. Nilai pH mengalami penurunan karena alkalinitas air limbah dipakai
untuk membentuk larutan sampel dimana penurunannya berbanding lurus dengan
penambahan koagulan. Koagulan kationik bekerja berdasarkan sifat kelarutannya di
dalam air untuk mendestabilisasi partikel koloid pada air limbah batubara, dimana
kelarutan dari koagulan kationik merupakan fungsi pH. Penurunan pH pada air hasil
olahan dengan menggunakan koagulan kationik cukup besar bila dibandingkan dengan
koagulan lainnya. Berdasarkan literatur yang ada jika dibandingkan dengan data hasil
praktikum yang telah didapat, dosis koagulan mempengaruhi pH larutan. Hal ini dapat
dilihat pada jenis kadar koagulan yang didapatkan. Koagulan yang digunakan pada
praktikum adalah tawas yang bersifat asam.
Menurut Pradina (2015), Pada limbah cair industri kulit pH sebelum dan
sesudah perlakuan berkisar antara 6-7. Sehingga pH air limbah tersebut dapat
dikatakan sebagai pH normal atau netral. Setelah perlakuan menggunakan tawas pH
mengalami penurunan karena tawas bersifat asam yang dapat menurunkan pH air,
sedangkan pada kontrol pH mengalami penurunan dikarenakan pada saat sedimentasi
setelah pengadukan endapan yang bersifat basa mengendap di permukaan bawah
dan sifat asam berada di permukaan atas. Dapat disimpulkan dari hasil praktikum
bahwa kadar larutan yang diberi tawas dengan kadar 5,6 ml adalah larutan yang
bersifat asam dan pada dosis koagulan optimum terdapat pada koagulan dengan
kadar 1,6 ml. Hubungan pH dengan dosis koagulan adalah berbanding terbalik
semakin tinggi dosis keagulan yang digunakan maka pHnya akan semakin rendah.

4.4 Pengaruh penambahan koagulan terhadap kekeruhan bandingkan dengan


literatur
Konsentrasi optimum bagi penurunan turbiditas air limbah adalah pada
penggunaan koagulan Moringa oleifera 100 mg/L, sedangkan air tanah pada 80 mg/L.
Pemberian konsentrasi optimum pada air limbah menurunkan turbiditas sebesar 97,9%
dan pada air tanah sebesar 97,5%. Dibandingkan dengan PAC konsentrasi 100 mg/L
yang mampu menurunkan turbiditas sebesar 89,6% bagi air limbah dan 89,4% bagi air
tanah, koagulan M. oleifera memiliki kemampuan koagulasi yang lebih baik untuk
menurunkan nilai turbiditas. Berdasarkan literatur yang ada dapat dibandingkan
dengan data hasil praktikum, bahwa koagulan berpengaruh pada kekeruhan dan pH.
Dapat dilihat pada data hasil praktikum, pada masing-masing bahan uji yang diberi
dosis koagulan berbeda, akan berbeda pula hasil pH dan kekeruhan yang didapat.
Koagulan yang telah diaduk bertumbukan dengan partikel-partikel koloid. (Pradina,
2015).
Penambahan dosis yang tepat akan sangat menentukan nilai turbiditas akhir
proses koagulasi. Hal ini terjadi karena kurangnya kation yang dapat mengkompresi
lapisan ganda partikel koloid sehingga walaupun mekanisme sweep floc dapat bekerja,
penggumpalan partikel karena gaya tarik van der waals tidak terlalu signifikan. Pada
dosis maksimum, dapat diihat bahwa nilai turbiditas kembali naik. Pada dosis ini pun
terlihat flok yang besar, tetapi nilai turbiditasnya lebih tinggi dari variasi dosis sedang.
koloid yang tidak saling menempel dan menggumpal. Dari hasil praktikum yang
dilakukan terdapat Hal ini menyebabkan partikel-partikel koloid mengendap dibawah,
maka dari itu pengadukan dilakukan secara cepat maupun lambat. Hubungan antara
kekeruhan dan dosis koagulan adalah berbanding lurus, akan tetapi setelah melewati
titik optimum akan berbanding terbalik atau kembali tidak setimbang (Pulungan, 2012).

4.5 Dosis optimum koagulan alumunium sulfat pada air sungai bandingkan
dengan literatur
Dosis optimum penggunaan koagulan M. oleifera adalah pada konsentrasi 100
mg/L untuk air limbah dan 80 mg/L untuk air tanah. Hal ini dilihat dari nilai turbiditas
terendah dari limbah cair dan air tanah. Pada konsentrasi yang melebihi dosis
optimum, turbiditas kembali naik karena koloid telah dinetralkan semuanya dan
mengendap dengan dosis yang optimum, sehingga kelebihan koagulan akan
menyebabkan kekeruhan karena tidak berinteraksi dengan partikel koloid lain yang
berbeda muatan. Berdasarkan literatur yang ada jika dibandingkan dengan data hasil
praktikum, Jumlah optimum pada setiap koagulan berbeda-beda. Pada data hasil
praktikum tersebut, didapat jumlah koagulan yang optimum adalah 1,6 ml (Sutapa,
2014).
Penentuan koagulan optimum merupakan kombinasi dari dosis koagulan
terendah. Biaya koagulan ditentukan dari konsentrasi optimum koagulan yang
digunakan terhadap air sungai. Dosis optimum koagulan didapatkan melalui metode
standar Jar-test. Pada penelitian dilakukan percobaan pengolahan telah dilakukan
pada dua sungai tersebut dengan cara koagulasi-flokulasi menggunakan alat jar test
untuk mendapatkan dosis koagulan optimum (Pulungan, 2012).

4.6 Faktor-faktor kesalahan yg mungkin terjadi


Pada praktikum yang telah dilaksanakan terdapat hal-hal yang perlu
diperhatikan. Saat pengadukan cepat menggunakan aerator terdapat kemungkinan
terjadinya kesalahan yaitu waktu yang kurang tepat maupun pengadukan yang kurang
merata. Sedangkan pada pengadukan lambat sering terdapat kemungkinan kesalahan
yang terjadi yaitu pengadukan yang tidak stabil maupun waktu yang kurang tepat. Dan
juga terkadang sering terjadi ketidak telitinya memasukkan volume larutan kedalam
gelas beaker dan kurang bersihnya atau kurang tepat saat melakukan kalibrasi pada
turbidimeter atau pH meter yang digunakan untuk menguji yang dapat mempengaruhi
hasil dari setiap pengukuran menjadi kurang valid.

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Koagulasi dan flokulasi digunakan untuk memisahkan bagian padatan
tersuspensi dari air. Flokulasi merupakan kelanjutan dari proses koagulasi dimana
mikroflok hasil koagulasi mulai menggumpalkan partikel-partikel koloid menjadi flokflok
besar yang dapat diendapkan. Koagulasi merupakan proses pengolahan air, dimana
partikel akan melayang yang memiliki ukuran sangat kecil dan akan bergabung
membentuk flok-flok dengan cara menambahkan zat-zat kimia. Flokulasi adalah
penyisihan kekeruhan air dengan cara penggumpalan partikel (flok) kecil menjadi
partikel yang lebih besar. Proses ini terjadi pengadukan secara lambat.
Pada proses koagulasi-flokulasi digunakan bahan kimia alumunium sufat
sebagai koagulannya. Pada praktikum ini didapat dosis optimum koagulan, yaitu
koagulan sebesr 1,6 ml. dengan pH 6,91 dan kekeruhan 1,9 NTU. Dimana semakin
dekat pH dengan netral dan semakin kecil kekeruhan, maka semakin baik dosis yang
digunakan. Koagulaln juga dapat mempengaurhi hasil Pada praktikum yang telah
dilaksanakan terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan. Saat pengadukan cepat
menggunakan aerator terdapat kemungkinan terjadinya kesalahan yaitu waktu yang
kurang tepat maupun pengadukan yang kurang merata. Sedangkan pada pengadukan
lambat sering terdapat kemungkinan kesalahan yang terjadi yaitu pengadukan yang
tidak stabil maupun waktu yang kurang tepat. Dan juga terkadang sering terjadi ketidak
telitinya memasukkan volume larutan kedalam gelas beaker dan kurang bersihnya atau
kurang tepat saat melakukan kalibrasi pada turbidimeter atau pH meter yang
digunakan untuk menguji yang dapat mempengaruhi hasil dari setiap pengukuran
menjadi kurang valid.
5.2 Saran

Disarankan kepada praktikan untuk memahami materi dan diharapkan asisten


praktikum untuk lebih memahami materi yang dibawakan, dan menjelaskan dengan
perlahan karena internet saya lambat dan patah-patah saat dilakukan proses belajar
mengajar. Terimakasih kepada asisten praktikum yang sudah bersusah payah mau
membimbing kami di praktikum TPAB, semoga semua kegiatan dilancarkan dan
dipermudah.
DAFTAR PUSTAKA

Engelhardt, Terry L. 2010. Coagulation, Flocculation and Clarification of Drinking Water.


Colorado. Hach Company
Husaini, dkk. 2018. PERBANDINGAN KOAGULAN HASIL PERCOBAAN DENGAN
KOAGULAN KOMERSIAL MENGGUNAKAN METODE JAR TEST. Jurnal Teknologi
Mineral dan Batubara Vol. 14 (1): 31 – 45.
Karamah, Eva Fathul, Andrie Oktafauzan Lubis. 2017. PRALAKUAN KOAGULASI DALAM
PROSES PENGOLAHAN AIR DENGAN MEMBRAN: PENGARUH WAKTU
PENGADUKAN PELAN KOAGULAN ALUMINIUM SULFAT TERHADAP KINERJA
MEMBRAN. Jurnal Fakultas Teknik, Universitas Indonesia.
Kristijarti, A Prima. 2013. Penentuan Jenis Koagulan dan Dosis Optimum untuk
Meningkatkan Efisiensi Sedimentasi dalam Instalasi Pengolahan Air Limbah
Pabrik Jamu X. Universitas Katolik Parahyangan : Indonesia
Permatasari, Tri Juliana, Erna Apriliani. 2013. Optimasi Penggunaan Koagulan Dalam
Proses Penjernihan Air. Jurnal Sains dan Seni Pomits Vol. 2, No.1, Hal. 2337-3520.
Rahimah, Zikri dkk. 2016. Pengolahan Limbah Deterjen Dengan Metode Koagulasi-
Flokulasi Menggunakan Koagulan Kapur Dan Pac. Jurnal Teknik Kimia. Vol 5(2).
Hal. 1-7
Sarwono, Edhi, dkk. 2017. PENURUNAN PARAMETER KEKERUHAN, TSS DAN TDS
DENGAN VARIASI UNIT FLOKULASI. Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol. 1 (2).
Timur Raya Tunggal. Material Safety Data Sheet Aluminium Sulfate. Available from: URL:
http://www.timuraya.com/
Tradeasia International PTE LTD. Material Safety Data Sheet Aluminium Sulfate. Available
from: URL: https://docplayer.info/46639547-Material-safety-data-sheet-alumunium-
sulfat.html
Yunita, Marcelena Eka. 2017. Efisiensi Bak Sedimentasi Pada Instalasi Pengolahan Air
Limbah PT Interbis Sejahtera Food Industry. Palembang: Universitas Katolik Musi
Charitas
DAFTAR PUSTAKA TAMBAHAN
Pradina, Pristian. 2015. Keefektifan Variasi Dosis Tawas dalam Mennurunkan
Kandungan COD (Chemical Oxygen Demand) Limbah Cair Industri Penyamakan
Kulit Magetan. Naskah Publikasi. Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pulungan, Amanda Desviani. 2012. Evaluasi Pemberian Dosis Koagulan Aluminium
Sulfat Cair dan Bubuk Pada Sistem Dosing Koagulan Di Instalasi Pengolahan Air
Minum PT. Krakatau Tirta Industri. Bogor: Institut Pertanian Bogor
Sutapa, Ignasius Dwi Atmana. 2014. Perbandingan Efisiensi Koagulan Poli Aluminium
Khlorida dan Aluminium Sulfat dalam Menurunkan Turbiditas Air Gambut dari
Kabupaten Katingan Provinsi Kalimantan Tengah. Jurnal Riset Geologi dan
Pertambangan. Vol 24 (1): 13-21

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai