Anda di halaman 1dari 18

Makalah Filsafat

Rasionalisme

Kelompok 3
Putri Prasiska N 181420138
Suba‘i 181420142
Tatu Roaetu 181420159

PERBANKAN SYARIAH SEMESTER 2 KELAS


D FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UIN SMH BANTEN
2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI......................................................................................................... i
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 1
C. Tujuan Pembahasan ......................................................................................... 1

BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Rasionalisme .................................................................................. 2
B. Rasionalisme Rene Descartes ........................................................................... 3
C. Rasionalisme Pasca Descartes ......................................................................... 8

BAB III : PENUTUP


Kesimpulan..................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................14

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peralihan dari filsafat dari abad pertengahan menuju filsafat modern awal
paling baik digambarkan melalui perubahan kosndisi sosial para filosof itu sendiri.
Ciri-ciri pemikiran filasafat modern, antara lain, menghidupkan kembali rasionalisme
keilmuan subjektivisme, humanisme, dan lepas dari pengruh atau dominasi
agama(gereja). Usaha manusia untuk memberi kepada akal suatu kedudukan yang
‗berdiri sendiri‘, sebagaimana yang telah dirintis oleh para pemikir renaisans
berlanjut terus sampai abad ke-17. Abad ke-17 adalah abad dimulainya pemikiran-
pemkiran kefilsafatan dalam artian yang sebenarnya. Semakin lama manusia semakin
menaruh kepercayaan yang besar terhadap kemampuan akal(rasio), sehingga
tampaklah adanya keyakinan bahwa dengan kemampuan akal itu pasti dapat
dijelaskan segala macam persoalan, dan dapat dipecahkannya segala macam masalah
kemanusiaan.
Akibat dari keyakinan yang berlebihan terhadap kemampuan akal itu,
dinyatakanlah perang terhadap mereka yang malas mempergunakan akalnya, terhadap
kepercayaan yang bersifat dogmatisseperti yang terjadi pada abad pertengahan,
terhadap tata susila yang bersifat tradisi, terhadap apa saja yang tidak masuk akal, dan
terhadap keyakinan-keyakinan dan anggapan-anggapan yang tidak masuk akal.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari rasionalisme?


2. Bagaimana metode pemikiran filsafat Descartes?
3. Siapa saja filsuf rasionalisme setelah Descartes, dan bagaimana metode
pemikirannya?

C. Tujuan Pembahasan

1. Mengetahui pengertian rasionalisme.


2. Mengetahui metode pemikiran filsafat Descartes.
3. Mengetahui para filsuf rasionalisme setelah Descartes dan metode pemikirannya.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian
Rasionalisme

Secara etimologis, rasionalisme berasal dari kata bahasa inggris rationalism,


kata ini berakar dari kata dalam bahasa Latin, yaitu ratio yang berarti ―akal‖.
Secara terminologis, rasionalisme adalah paham filsafat yang menyatakan bahwa akal
merupakan alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan. suatu pengetahuan
diperoleh dengan cara berfikir. Menurut Descartes, rasio atau akal merupakan sumber
kebenaran. Hanya rasio sajalah yang dapat membawa orang pada yang benar hanyalah
tindakan akal yang terang benderang yang disebut Ideas Claires el Distinctes (pikiran
yang terang benderang dan terpilah-pilah). Ide terang benderang ini pemberian Tuhan
sebelum orang dilahirkan (Idea innatae = ide bawaan). Sebagai pemberian Tuhan,
maka tak mungkin tak benar.
Disebut aliran rasionalisme, karena aliran ini mengaggap sumber kebenaran
hanyalah rasio. Adapun pengetahuan indra dianggap sering menyesatkan. Dalam
bidang agama, aliran rasionalisme adalah lawan dari otoritas, dan biasanya digunakan
untuk mengkritik ajaran agama. Dalam bidang filsafat, rasionalisme adalah lawan kata
dari empirisme dan sering berguna dalam menyusun teori pengetahuan.1
Sejarah rasionalisme sudah tua sekali. Thales telah menerapkan rasionalisme
dalam filsafatnya. Ini dilanjutkan dengan jelas sekali pada orang-orang sofis dan
tokoh-tokoh penentangnya (Socrates, Plato, Aristoteles), dan juga beberapa tokoh
sesudah itu. Pada zaman modern filsafat, tokoh pertama rasionalisme ialah Descartes.
Tokoh besar rasionalisme lainnya yaitu Baruch Spinoza dan Leibniz.
Zaman modern dalam sejarah filsafat biasanya dimulai oleh filsafat Descartes.
Kata modern disini hanya digunakan untuk menunjukkan suatu filsafat yang
mempunyai corak yang amat berbeda, bahkan berlawanan dengan corak filsafat pada
Abad Pertengahan Kristen. Corak utama filsafat modern yang dimaksud disini ialah
dianutnya kembali rasionalisme seperti pada masa Yunani Kuno. Gagasan itu, disertai

1
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum: Dari Metologi Sampe Teofilosofi,
2
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 2016), hal. 247

3
oleh argumen yang kuat, diajukan oleh Descartes. Oleh karena itu, gerakan pemikiran
Descartes sering juga disebut bercorak renaisans.2

B. Rasionalisme Rene Descartes


Riwayat Hidup Descartes

Rene Dscartes (Renatus Cartesius) adalah putra keempat Joachim Descartes,


seorang anggota parlemen Kota Britari, propinsi Renatus di Prancis. Kakeknya, Piere
Descartes, adalah seorang dokter. Neneknya juga berlatar belakang kedokteran.
Dilahirkan pada tanggal 31 Maret 1596 di La Haye (sekarang disebut La Haye
Descartes), Propinsi Teuraine, Descartes kecil yang mendapat nama baptis Rene,
tumbuh sebagai anak yang menampakkan bakatnya dalam bidang filsafat, sehingga
ayahnya pun memanggilnya dengan julukan Si Filsuf Cilik.
Descartes menghabiskan masa hidupnya di Swedia tatkala ia memenuhi
undangan Ratu Cristine yang menginginkan pelajaran-pelajaran yang diharuskan
diajarkan setiap jam 5 pagi menyebabkan Descartes jatuh sakit yang menjemput
ajalnya pada tahun 1650, ketika ia belum sempat menikah.
Selain mencurahkan perhatiannya dalam bidang filsafat, Descartes juga
dikenal sebagai seorang Polymath, yaitu seorang yang mempunyai perhatian yang
luas dalam bidang ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu pasti. Sumbangannya
yang besar dalam dunia ilmu adalah keberhasilannya menemukan ilmu ukur koordinat
(coordinate geometry).3
Karya-karya Descartes cukup banyak. Bukunya yang terpenting di dalam
filsafat murni ialah Discours de la Methode (1637) dan Meditations (1642). Kedua
buku ini saling melengkapi satu sama lain. Didalam kedua buku inilah ia menuangkan
metodenya yang terkenal itu, metode keraguan Descartes (Cartesian Doubt). Metode
ini sering juga disebut Cogito Descartes, atau metode cogito saja. Ia mengetahui
bahwa tidak mudah meyakinkan tokoh-tokoh gereja bahwa dasar filsafat haruslah
rasio (akal). Tokoh-tokoh gereja waktu itu tetap yakin bahwa dasar filsafat haruslah
iman sebagaimana tersirat didalam jargon credo ut intelligam dari Anselmus itu.
Untuk meyakinkan orang bahwa dasar filsafat haruslah akal, ia menyusun

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: PT. Remaja
2

Rosdakarya, 2013), hal. 127-128


3
Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Kencana Prenamedia Group, 2003), hal.
92-94

4
argumentasi yang amat terkenal. Argumentasi itu tertuang di dalam metode cogito
tersebut.4

Metode

Agar filsafat dan ilmu pengetahuan dapat diperbarui, kita terutama


memerlukan suatu metode yang baik, demikian pendapat Descartes.5 Untuk
menemukan basis yang kuat bagi filsafat, Descartes meragukan (lebih dahulu) segala
sesuatu yang dapat diragukan. Mula-mula ia mencoba meragukan semua yang dapat
diindera, objek yang sebenarnya tidak dapat diragukan. Inilah langkah pertama
metode cogito tersebut. Dia meragukan adanya badannya sendiri. Keraguan itu
menjadi mungkin karena pada pengalaman mimpi, halusinasi, ilusi, dan juga pada
pengalaman roh halus ada yang sebenarnya itu tidak jelas. Pada keempat keadaan itu
seseorang dapat mengalami sesuatu seolah-olah dalam keadaan yang sesungguhnya.
Di dalam mimpi seolah-olah seseorang mengalami sesuatu yang sungguh-sungguh
terjadi, persis seperti tidak mimpi (jaga). Begitupula pada pengalaman halusinasi,
ilusi, dan kenyataan gaib. Tidak ada batas yang tegas antara mimpi dan jaga. Oleh
karena itu, Descartes berkata, ―Aku dapat meragukan bahwa aku duduk disini dalam
pakaian siap untuk pergi keluar; ya, aku dapat meragukan itu karena kadang-kadang
aku bermimpi persis seperti itu, padahal aku ada di tempat tidur, sedang bermimpi.‖
Tidak ada batas yang tegas antara mimpi (sedang mimpi) dan jaga. Tatkala bermimpi,
rasa-rasanya seperti bukan mimpi. Siapa yang dapat menjamin kejadian-kejadian
waktu jaga (yang kita katakana sebagai jaga ini) sebagaimana kita alami adalah
kejadian-kejadian yang sebenarnya, jadi bukan mimpi? Tidak ada perbedaan yang
jelas antara mimpi dan jaga; demikian yang dimaksud oleh Descartes.
Benda-benda dalam halusinasi dan ilusi juga membawa kita kepada
pertanyaan: Yang manakah sesungguhnya yang benar-benar ada, yang sungguh-
sungguh asli? Benda-benda dalam mimpi, halusinasi, ilusi dan kejadian dengan roh
halus itu, bila dilihat dari posisi kita sedang jaga, itu tidak ada. Akan tetapi, benda-
benda itu sungguh-sungguh ada bila dilihat dari posisi kita dalam mimpi, halusinasi,
ilusi, dan roh halus. Dalam mimpi kita melihat dan mengalami benda-benda itu;

4
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2013), hal. 129
5
Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Kencana Prenamedia Group, 2003), hal. 95

5
dalam mimpi benda-benda itu sungguh ada. Sekali lagi: Adakah beda yang tegas
antara mimpi dan jaga? Begitulah jalan pikiran dalam metode cogito.
Pada langkah pertama ini, Descartes dapat (berhasil) meragukan semua benda
yang dapat diindera. Apa sekarang yang dapat dipercaya, yang sungguh-sungguh ada?
Menurut Descartes, dalam keempat keadaan itu (mimpi, halusinasi, ilusi, roh halus),
juga dalam jaga, ada sesuatu yang selalu muncul. Yang selalu muncul itu ialah gerak,
jumlah, dan besaran (volume). Pada tahap kedua ini Descartes mengajak kita
berpendapat bahwa yang tiga inilah yang lebih ada daripada benda-benda. Ketiga
macam ini lebih meyakinkan adanya. Mungkin ketiga inilah yang benar-benar ada.
Betulkah yang tiga ini (gerak, jumlah, besaran) benar-benar ada? Lalu Descartes
mengujinya. Kemudian ia pun meragukannya. Yang tiga macam itu adalah
matematika. Kata Descartes, matematika dapat salah. Saya sering menjumlah (angka),
salah mengukur (besaran), juga demikian pada gerak. Jadi, ilmu pasti pun masih dapat
saya ragukan. Ilmu pasti lebih pasti daripada benda, tetapi saya masih dapat
meragukannya. Jadi benda dan ilmu pasti diragukan. Kalalu begitu, apa sekarang yang
pasti itu? Sampailah sekarang kepada langkah ketiga dalam metode cogito.
Masih ada satu yang tidak dapat kuragukan, demikian katanya, bahkan tidak
satu setan yang licik pun dapat mengganggu aku, tak seorang skeptis pun mampu
meragukannya, yaitu saya sedang ragu. Jelas sekali, saya sedang ragu. Tidak dapat
diragukan bahwa saya sedang ragu. Boleh saja badan saya ini saya ragukan adanya,
hanya bayangan, misalnya, atau hanya seperti dalam mimpi, tetapi mengenai
―saya sedang ragu‖ benar-benar tidak dapat diragukan adanya.
Aku yang sedang ragu itu disebabkan oleh aku berpikir. Kalau begitu, aku berpikir
pasti ada dan benar. Jika aku berpikir ada, berarti aku ada sebab yang berpikir itu aku.
Cogito ergo sum, aku berpikir, jadi aku ada.
Sekarang Descartes telah menemukan dasar (basis) bagi filsafatnya. Basis itu
bukan filsafat Plato, bukan filsafat Abad Pertengahan, bukan agama atau yang
lainnya. Fondasi itu ialah aku yang berpikir. Pemikiranku itulah yang pantas dijadikan
dasar filsafat karena aku yang berpikir itulah yang benar-benar ada, tidak diragukan,
bukan kamu atau pikiranmu. Disini terlihatlah sifat subjektif, individualistis, humanis
dalam filsafat Descartes. Sifat-sifat inilah, nantinya, yang mendorong perkembangan
filsafat Abad Modern. Descartes memulai filsafat dari metode. Metode keraguan itu
bukanlah tujuannya. Tujuan metode ini bukanlah untuk mempertahankan keraguan.
Sebaliknya, metode ini bergerak dari keraguan menuju kepastian. Keraguan Descartes

6
hanya ditujukan untuk menjelaskan perbedaan sesuatu yang dapat diragukan dari
sesuatu yang tidak dapat diragukan. Ia sendiri tidak pernah meragukan bahwa ia
mampu menemukan keyakinan yang berada dibalik keraguan itu, dan
menggunakannya untuk membuktikan suatu kepastian dibalik sesuatu. Keyakinan itu
begitu jelas dan pasti, clear and distinct, dan menghasilkan keyakinan yang sempurna.
Dalam metode ini berjalan suatu deduksi yang tegas. Bila Descartes telah menemukan
suatu idea yang distinct, maka ia dapat menggunakannya sebagai premise yang dari
sana ia mendeduksi keyakinan lain yang juga distinct. Seluruh proses penyimpulan itu
terlepas dari data empiris; keseluruhannya merupakan proses rasional. basis yang
paling terpercaya dalam berfilsafat. Inilah titik awal kemenangan akal atas iman (hati)
pada Zaman Modern. Ia merupakan reaksi terhadap dominasi iman (hati) pada Abad
Pertengahan Setelah fondasi itu ditemukan, mulailah ia mendirikan bangunan filsafat
diatasnya. Akal itulah. Cara ini kemudian diikuti oleh filosof-filosof zaman itu.
Laksana bendungan yang jebol, dalam waktu yang relatif singkat banyak sekali
pemikir yang muncul dalam presentase yang jauh lebih banyak bila dibandingkan
dengan filosof Abad Pertengahan. Akal telah menang terhadap dominasi iman.
Kemenangan akal pada ronde ini telah menyebabkan tragedi Yunani terulang
kembali: kaidah sains menjadi guncang, ajaran iman menjadi goyah. Orang
meragukan sains dan agama. Orang kembali bingung. Tidak dapat dihindari,
humanisme dan rasionalisme yang dikembangkan oleh Descartes telah menimbulkan
subjektivisme dan relativisme, persis seperti kebimbangan alam pikiran pada zaman
sofisme tempo hari.6

Ide - ide bawaan

Karena kesaksian apapun dari luar tidak dapat dipercaya, maka menurut
Descartes, saya mesti mencari kebenaran dalam diri saya dengan menggunakan norma
tadi, cogito ergo sum. Kalau metode dilangsungkan demikian, apakah hasilnya?
Descartes berpendapat bahwa dalam diri saya terutama dapat ditemukan tiga ide
bawaan (Innate Ideas). Ketiga ide sudah ada pada diri saya sejak saya lahir, yaitu
pemikiran, Allah, dan keluasan.

6
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2013), hal. 129-133

7
a. Pemikiran; sebab saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berpikir, harus
diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.
b. Allah sebagai wujud yang sama sekali sempurna. Karena saya mempunyai ide
sempurna, mesti ada suatu penyebab sempurna untuk ide itu, karena akibat tidak
bisa melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak lain daripada Allah.
c. Keluasan; saya mengerti materi sebagai keluasan atau eksistensi (extention),
sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur.

Substansi

Descartes menyimpulkan bahwa selain dari Allah ada dua substansi, pertama,
jiwa yang hakikatnya adalah pemikiran. Kedua, materi yang hakikatnya adalah
keluasan. Tetapi, karena Descartes telah menyangsikan adanya dunia di luar saya,
sekarang ia mengalami banyak kesulitan untuk membuktikan adanya. Bagi Descartes,
satu-satunya alasan yang menerima adanya dunia material adalah bahwa Allah akan
menipu saya kalau sekiranya ia memberi saya ide keluasan, sedangkan diluar tidak
ada sesuatu pun yang sesuai dengannya. Nah, tidak mungkin bahwa wujud yang
sempurna menipu saya. Jadi, di luar saya sungguh-sungguh ada suatu dunia material.

Manusia

Descartes memandang manusia sebagai makhluk dualitas. Manusia terdiri dari


dua substansi: jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan.
Sebenarnya tubuh tidak lain daripada mesin yang dijalankan oleh jiwa. Karena setiap
substansi yang satu sama sekali terpisah dari substansi yang lain, maka kiranya sudah
nyata bahwa Descartes menganut suatu dualisme tentang manusia. Itulah sebabnya
Descartes mempunyai banyak kesulitan untuk mengartikan pengaruh tubuh atas jiwa,
dan sebaliknya, pengaruh jiwa atas tubuh. Satu kali ia mengatakan bahwa kontak
antara tubuh dengan jiwa berlangsung dalam grandula pincalis (sebuah kelenjar kecil
yang letaknya dibawah otak kecil). Tetapi, akhirnya pemecahan ini tidak memadai
bagi Descartes sendiri.7

7
Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filasafat dan Etika, (Jakarta: Kencana Prenamedia Group, 2003), hal.
98-99

8
C. Rasionalisme Pasca Descartes
1. Baruch De Spinoza
Baruch De Spinoza lahir di kota Amsterdam pada 24 November 1632. Spinoza
merupakan keturunan Yahudi yang juga dari keluarga yang berimigrasi dari
Portugal ke negeri Belanda, karena di Portugal dikuasai oleh kaum beragama
kristen dimana orang yang bukan beragama kristen akan diusir. Spinoza hidup
dalam sebuah masyarakat yang masih percaya pada takhayul dan tabu-tabu
religius, pikiran-pikiran Spinoza berakar dalam tradisi filsafat Yahudi, yang
memadukan ilmu pengetahuan dan mistik. Spinoza berusaha melepaskan diri dari
teror mitologis ini dengan kebebasan berpikir. Filsafat Descartes merupakan
pengaruh terbesar dalam pemikirannya.
Di masa kecilnya, spinoza sudah menunjukan kecerdasannya, dia tidak hanya
belajar matematika dan ilmu-ilmu alam, tetapi juga bahasa Latin, Yunani,
Belanda, Spanyol, Prancis, Yahudi, Jerman, dan Italia. Spinoza tidak puas dengan
ajaran-ajaran kuno dalam agamanya dan lambat laun dia memihak cara berpikir
modern yang banyak dipengaruhi oleh Descartes.
Ketika dia mendiskusikan masalah-masalah agama secara tebuka, gagasan-
gagasannya mengejutkan teman-teman dan para tokoh agama saat itu. Misalnya
dia berpendapat bahwa malaikat itu fiksi atau imajinasi belaka, dan Allah bersifat
material. Gagasannya ini benar-benar menggoyangkan kemapanan dogma agama,
baik dikalangan Yahudi maupun Kristen. Para tokoh Yahudi saat itu menjadi
gelisah dengan ajaran-ajaran Spinoza. Dengan berbagai cara, termasuk suap,
mereka berusaha memaksanya untuk kembai keortodoksi agama, tetapi gagal.8
Di tahun 1656, Spinoza dikucilkan dari Sinagoga. Dia dianggap mati oleh
komunitasnya. Keluarganya memutuskan hubungan dengannya. Hidupnya
terasing di pinggiran Amsterdam, beberapa lama kemudian ia pindah di Voorburg,
dekat Den Haag, dan dia mengganti namanya menjadi Benediktus de Spinoza.
Disana ia mencari nafkah dengan bekerja sebagai pengasah lensa sambil terus
menulis pikiran-pikirannya. Dia pernah ditawarkan untuk mengajar di Universitas
Heidelberg, namun ia menolaknya karena ingin fokus meneruskan tulisannya.
Spinoza menemukan konsep substansi yang dia definisikan sebagai sesuatu
yang ada pada dirinya sendiri dan dipahami melalui dirinya sendiri. Dalam hal

8
Budi Hardiman, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern: Dari Machiavelli sampai
Nietzsche), (Jakarta: Erlangga, 2011), hal. 37-39

9
substansi, Spinoza tidak setuju dengan Descartes. Spinoza berpendapat bahwa ada
satu dan hanya ada satu substansi itu adalah Allah. Itulah sebabnya pendiriaan
spinoza disebut panteisme, yaitu pandangan bahwa alam semesta identik dengan
Allah, atau Allah disamakan dengan segala sesuatu yang ada, Jadi ia menentang
baik Yahudi maupun Kristen.9 Spinoza beranggapan bahwa satu substansi itu
memiliki ciri-ciri yang tak terhingga jumlahnya, yang dirumuskan dalam konsep
‘attribute’ yaitu berupa keluasan dn pemikiran sebagai hakikat substansi, dan
‘modus’ yaitu hal-hal yang berubah-ubah pada substansi berupa warna, ukuran,
dan lain-lain.
Buku-buku karya Spinoza banyak yang dilarang sebagai subversif. Namun
setelah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, buku-buku itu malah termahsyur di
luar negeri. Beberapa karyanya yaitu Renati Descartes Principiorum
Philosophilae (Prinsip Filsafat Descartes, 1663), Tractatus de intellectus
emendatione (Traktat tentang Perbaikan Pemahaman, 1667), Tractatus
Theologico-Politicus (Traktat Politis-teologis, 1670), dan yang paling penting
Ethica more geometrico demonstrata (Etika dibuktikan secara geometris, 1677).10

2. Gottfried wilhelm Leibniz


Gottfried Wilhelm Leibniz lahir pada tanggal 1 Juli 1646, di Leipzig, Jerman.
Pada usia 20 tahun Leibniz sudah meraih gelar doktor. Leibniz hampir mengetahui
segalanya, karena ia mengeluti banyak bidang dan menemukan banyak hal, yaitu
dalam bidang matematika, fisika, astronomi, hukum, ekonomi, pertambangan,
pengairan, pertanian, dan minatnya yang terdalam adalah filsafat.
Leibniz menjalin kontak dengan beberapa tokoh penting, bahkan ia pernah
mengunjungi Spinoza di negeri Belanda. Spinoza menunjukkannya manuskrip
dari bukunya, Eticha. Meskipun tak pernah mengakui secara terang-terangan,
lantaran tak mau dicap subversif, sesungguhnya leibniz banyak menimba inspirasi
dari pemikiran Spinoza. Penuntun filsafat Leibniz ialah ―prinsip akal
yang mencukupi‖, yang secara sederhana dapat dirumuskan, ―sesuatu harus
mempunyai

9
Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filasafat dan Etika, (Jakarta: Kencana Prenamedia Group, 2003), hal.
102
10
Budi Hardiman, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern: Dari Machiavelli sampai

1
Nietzsche), hal. 40-42

1
alasan‖. Bahkan Tuhan juga harus mempunyai alasan untuk setiap yang
diciptakan-Nya.11
Pemikiran Leibniz tentang Substansi, berbeda dengan Descartes maupun
Spinoza. Leibniz berpendapat bahwa substansi itu banyak, ia menyebut substansi-
substansi itu monad (monos = satu, monad = satu unit). Dalam matematika ada
yang terkecil yaitu titik, dalam fisika yaitu atom, dan dalam metafisika yang
terkecil adalah monad, menurutnya. Yang dimaksud terkecil bukanlah ukuran.
Monad-monad bukanlah kenyataan jasmaniah, melainkan kenyataan mental, yang
terdiri dari persepsi dan hasrat, tidak material melainkan spiritual. Setiap monad
berbeda satu dengan yang lain, dan Tuhan (sesuatu yang supermonad dan satu-
satunya monad yang tidak dicipta) adalah pencipta monad-monad itu. Karya
Leibniz tentang ini diberi judul Monadology (studi tentang monad). Kemudian,
bagaimana cara membedakan satu monad dengan monad yang lain?, menurut
prinsip akal mencukupi, tidak akan ada sesuatu yang mengada tanpa alasan yang
cukup. Bila ada monad yang sama, untuk apa Tuhan menciptakan yang sama,
karna satu saja cukup. Oleh karena itu, tidak akan ada dua monad yang sama.
Dalam menemukan hubungan antara satu substansi dengan substansi lainnya,
Descartes yang seorang dualisme saja, menemui kesulitan dalam menemukan
hubungan antara jiwa dan tubuh, bagaimana dengan Leibniz yang seorang
pluralis?, terlebih lagi ia menyatakan bahwa diantara monad-monad tidak ada
interaksi, karena ia menyatakan bahwa ―monad itu tidak mempunyai
jendela, tempat sesuatu keluar atau masuk‖. Leibniz menjawab bahwa Allah pada
saat penciptaan monad, mengadakan ―pre-established harmony‖ yaitu suatu
harmoni atau keselarasan yang ditetapkan sebelumnya.12

3. Blaise Pascal
Blaise Pascal lahir pada tanggal 19 Juli 1623 di Clermont-Ferrand Prancis. Ia
dididik ayahnya secara ketat dalam pendidikan, ia meminati fisika dan
matematika. Dibanding dengan para rasionalis pada zamannya, Pascal punya
kecenderungan yang menyimpang. Pemikiran Blaise Pascal jelas bersifat
reaksioner. Pascal yang –seperti Descartes- menyukai ilmu alam dan matematika

11
Budi Hardiman, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern: Dari Machiavelli sampai
Nietzsche), hal. 46-50
12
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2013), hal. 138-144

1
ini mengkritik Descartes yang mau menerapkan prinsip ilmu pasti dalam
berfilsafat atau upaya untuk mengetahui segala sesuatu, termasuk untuk
menjelaskan Tuhan. Menurut Pascal, keseluruhan realitas tidak bisa dijelaskan
hanya dengan rasio. Jika itu dilakukan, akibatnya adalah terjadinya banyak hal
yang bertentangan, misalnya: problem hubungan jiwa dengan badan sebagaimana
dialami oleh Descartes.
Menurut Pascal, hati (le coeur) lebih penting dari rasio. Dengan rasio, kita
hanya mampu memahami kebenaran-kebenaran matematis dan ilmu alam. Namun
dengan hati, kita mampu memahami kebenaran-kebenaran yang melampaui semua
kebenaran itu, umpamanya pengetahuan tentang Tuhan. Keyakinan ini
diungkapkan Pascal dalam satu kalimatnya yang terkenal: ―Le ceour a ses raisons
que la raison ne connait point‖ artinya ―Hati mempunyai alasan-alasan yang tidak
dimengerti oleh akal‖. Orang mengalami hal ini dalam banyak perkara. Kata
―Hati‖ di sini tidak boleh dipahami sebagai pusat emosi, melainkan pusat
aktivitas jiwa manusia terdalam yanng mampu menangkap sesuatu secara intuitif
dan spontan; hati adalah inti eksistensi. Kata Pascal: ―Kita mengenal kebenaran
tidak hanya lewat akal, melainkan juga lewat hati‖. Kesadaran diri yang paling
dalam dengan demikian tidak terletak pada rasio, melainkan pada hati yang
sanggup menerima kenyataan Ilahi. Dalam konfrontasi dengan Descartes, hal ini
bisa kita rumuskan dengan cara lain: bukan ―cogito ergo sum‖ (―Aku berpikir,
maka aku ada‖), melainkan ―credo ergo sum‖ (―Aku percaya, maka aku ada‖).13
Dalam sejarah, seringkali dipersoalkan tentang ada tidaknya Tuhan atau Allah.
menurut Pascal, manusia harus memutuskan tentang ada tidaknya Allah dengan
sebuah pertaruhan (Le Pari). Doktrin pengakuan terhadap eksistensi tuhan a la
Pascal ini, semata bermotif apologet. Sebab, Pascal ingin memberi penjelasan
pada orang-orang skeptis pada zamannya yang mencemooh orang Kristen yang
percaya eksistensi tuhan. Para skeptikus itu bertanya, bagaimana eksistensi Tuhan
dibuktikan? Menjawab pertanyaan mereka, Pascal malah menantang—mengajak
mereka bertaruh-berjudi. Yang dipertaruhkan adalah eksistensi Tuhan. Tak ada
ruginya bagi manusia mempertaruhkan eksistensi tuhan. Jika Tuhan ada, artinya
manusia tadi menang. Sebaliknya, jika Tuhan tak ada, kita tak mengalami
kerugian apa pun; tak ada yang hilang dari manusia. Manusia bahkan mendapat

13
Budi Hardiman, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern: Dari Machiavelli sampai
Nietzsche), hal. 50-52

1
keutamaan-keutamaan. Manusia yang mempercayai adanya Tuhan, tentu akan
menuruti apa yang telah tertuang jelas pada wahyunya: moralitas normatif
teologis. Hidupnya sejalan dengan isi kitab suci. Hidup yang demikian tak
membawa kerugian, malah menguntungkan, walau akhirnya kita tahu bahwa
tuhan tak ada. Jika Tuhan ada, pelaksanaan moralitas normatif teologis bernilai
ganjaran di akhirat kelak pada kehidupan yang abadi.
―Kalau kau percaya (akan adanya Allah), kalau kau menang,
kau memenangkan segalanya, kalau kau kalah (ternyata Allah tak ada), kau tak
kehilangan apa pun. Jadi, percayalah jika kau dapat‖. Ini menunjukkan bahwa
untuk beragama dibutuhkan Le Coeur, hati; dibutuhkan keyakinan akan eksistensi
tuhan. Dengan argumen ―pertaruhan‖ (le pari) ini Pascal ingin menunjukkan
bahwa soal kepercayaan kepada Tuhan merupakan hal yang tidak menyangkut
rasio saja melainkan keseluruhan eksistensi manusia (kehendak, emosi, daya
pertimbangan, dsb).14

4. Nicolas Malerbranche
Nicolas Malerbrance adalah orang Prancis, ia berusaha mendamaikan filsafat
baru yang dirintis oleh Descartes dengan tradisi pemikiran Kristiani. Nicolas
Malerbranche mengikuti ajaran Descartes bahwa manusia memiliki dua substansi
yaitu pemikiran(jiwa) dan keluasan(tubuh). Akan tetapi untuk hubungan antara
jiwa dan tubuh ia memiliki pendiriannya sendiri, yaitu jiwa tidak dapat
mempengaruhi tubuh, demikian pula sebaliknya.

5. Chritian Wolff
Wolff menyadur menyadur filsafat Leibniz serta menyusunnya menjadi satu
sistem. Disamping itu, dalam penyusunan tersebut ia banyak menggunakan unsur
skolastik. Karena Wolff inilah rasionalisme di jerman pada masanya merajalela di
semua universitas.15

14
Budi Hardiman, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern: Dari Machiavelli sampai
Nietzsche), hal. 53-54
15
Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filasafat dan Etika, (Jakarta: Kencana Prenamedia Group, 2003), hal.
102-103

1
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Rasionalisme adalah paham filsafat yang menyatakan bahwa akal adalah alat
terpenting untuk memperoleh pengetahuan. Suatu pengetahuan diperoleh dengan
cara berfikir. Disebut aliran rasionalisme, karena aliran ini mengaggap sumber
kebenaran hanyalah rasio. Adapun pengetahuan indra dianggap sering
menyesatkan. Dalam bidang agama, aliran rasionalisme adalah lawan dari otoritas,
dan biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama. Dalam bidang filsafat,
rasionalisme adalah lawan kata dari empirisme dan sering berguna dalam
menyusun teori pengetahuan.
Pada zaman modern filsafat, tokoh pertama rasionalisme ialah Descartes.
Tokoh besar rasionalisme lainnya yaitu Baruch Spinoza dan Leibniz, tokoh
lainnya Nicolas Malerbranche dan Critian Wolff. Descartes telah menemukan
dasar (basis) bagi filsafatnya. Basis itu bukan filsafat Plato, bukan filsafat Abad
Pertengahan, bukan agama atau yang lainnya. Fondasi itu ialah aku yang berpikir.
Pemikiranku itulah yang pantas dijadikan dasar filsafat karena aku yang berpikir
itulah yang benar-benar ada, tidak diragukan, bukan kamu atau pikiranmu. Disini
terlihatlah sifat subjektif, individualistis, humanis dalam filsafat Descartes. Sifat-
sifat inilah, nantinya, yang mendorong perkembangan filsafat Abad Modern.

1
DAFTAR PUSTAKA

Hakim Atang Abdul dan Beni Ahmad Saebani. 2016. Filsafat Umum: Dari Metologi Sampe
Teofilosofi. Bandung: CV Pustaka Setia

Hardiman, Budi. 2011. Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Duni Modern: Dari


Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Erlangga

Praja , Juhaya S. 2003. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Kencana Prenamedia
Group

Tafsir , Ahmad. 2013. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya

Anda mungkin juga menyukai